Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

TONSILITIS KRONIK HIPERTROFI

Dokter Pembimbing :
Dr. Rini Febrianti, Sp.THT-KL

Disusun oleh :

Evita Nur Annisa (2015730040)

Lucky Sendikamas (2014730050)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BANJAR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus dengan judul
“Tonsilitis Kronik Hipertrofi” ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta para pengikutnya hingga akhir
zaman.
Laporan kasus ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas pada kepaniteraan klinik
ilmu penyakit THT dan juga untuk memperdalam pemahaman tinjauan pustaka yang
telah dipelajari sebelumnya.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Rini Febrianti, Sp.THT-KL selaku
dokter pembimbing atas ilmu dan pengalamanya yang telah diberikan di stase THT ini.
Terima kasih juga pada semua pihak yang telah membantu dalam tahap pengumpulan
referensi dan penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari ketidaksempurnaan tugas laporan kasus ini. Untuk itu penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penyusunan laporan selanjutnya.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembacanya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Banjar, 7 Oktober 2019

Penulis

1
BAB I
STATUS PASIEN

1.1 Identitas Pasien


Nama : An. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 6 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal Pemeriksaan : Kamis, 3 Oktober 2019

1.2 Anamnesis
(alloanamnesis)
• Keluhan Utama

Amandel yang makin membesar sejak 3 tahun yang lalu.

• Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dibawa ibunya ke poli THT-KL RSU Kota Banjar dengan
keluhan amandel yang makin membesar sejak 3 tahun yang lalu. Pasien
merasakan seperti ada yang mengganjal ditenggorokan terutama saat makan
padat. Saat ini pasien tidak mengeluhankan nyeri menelan. Keluhan demam (-),
batuk (-), pilek (-), suara serak (-), sulit membuka mulut (-), sesak nafas (-).
Namun dalam satu bulan terkadang pasien mengeluhkan nyeri menelan dan
biasanya disertai demam. Beberapa bulan terakhir terkadang pasien tidur
mendengkur.

• Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengalami keluhan yang sama sejak 3 tahun lalu.

2
• Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit yang sama dengan
pasien.

• Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki alergi obat-obatan, makanan, cuaca atau debu.

• Riwayat Pengobatan
Pasien sudah pernah dibawa berobat ke dokter dan didiagnosa mengalami
tonsilitis. Pasien diberikan obat minum dan dokter menyarankan untuk operasi.

• Riwayat Psikososial
Pasien biasa mengkonsumsi es krim dan minuman dingin. Pasien juga suka
mengkonsumsi gorengan dan jajanan yang menggunakan bumbu-bumbu perasa.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :
• Nadi : 96 x/menit, reguler
• Pernafasan : 20 x/menit, reguler
• Suhu : 36,4º C

A. Status Generalis
Kepala :
• Kepala : Normocephal.
• Rambut : Alopesia (-), distribusi merata (+)
• Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
• Hidung : status lokalis terlampir.
• Telinga : status lokalis terlampir.
• Mulut : status lokalis terlampir.
• Leher : status lokalis terlampir.

3
Thorax : Simetris, Retraksi (-/-), Vesikuler (+/+),Wheezing (-/-), Rhonki (-/-),
BJI = BJII murni reguler
Abdomen : Datar, bising usus (+), nyeri tekan (-)
Ektremitas :
Atas : Akral hangat (+/+), CRT ≤ 2 detik (+/+), edema (-/-)
Bawah : Akral hangat (+/+), CRT ≤ 2 detik (+/+), edema (-/-)

B. Status Lokalis
Telinga

Dekstra Sinistra
Aurikula Normotia, hematoma (-), Normotia, hematoma (-),
perikondritis (-), nyeri perikondritis (-), nyeri
tekan tragus (-), fistel (-) tekan tragus (-),fistel (-)
Preaurikula Peradangan (-), pus (-), Peradangan (-), pus (-),
nyeri tekan (-), nyeri tekan (-),
pembesaran KGB (-) pembesaran KGB (-)
Retroaurikula Peradangan (-), pus (-), Peradangan (-), pus (-),
nyeri tekan (-), nyeri tekan (-),
pembesaran KGB (-) pembesaran KGB (-)
Canalis akustikus Kulit tenang, sekret (-), Kulit tenang, sekret (-),
eksternus serumen (+) berwarna serumen (+) berwarna
coklat kehitaman coklat kehitaman
konsistensi lunak , edema konsistensi lunak , edema
(-) (-)
Membran timpani retraksi (-), hiperemis (-), retraksi (-), hiperemis (-),
reflex cahaya (-) reflex cahaya (-)

Hidung

Deformitas Tidak ada


Kelainan kongenital Tidak ada
Hidung Luar
Trauma Tidak ada
Radang Tidak ada
Rhinoskopi Anterior
Dekstra Sinistra

4
Vestibulum Sekret (-), massa (-), Sekret (-), massa (-),
hiperemis (-) hiperemis (-)
Konka inferior Hipertrofi (-), hiperemis Hipertrofi (-), hiperemis
(-), permukaan licin (-), permukaan licin
Meatus nasi Sekret (-), polip (-) Sekret (-), polip (-)
inferior
Kavum nasi Lapang, mukosa Lapang, mukosa hiperemis
hiperemis (-), sekret (-) (-), sekret (-)
Septum Deviasi (-) Deviasi (-)
Pasase udara (+) (+)

Orofaring

Dekstra Sinistra
Mukosa bibir Tenang Tenang
Gigi Karies (-) Karies (-)
Lidah Simetris, bersih Simetris, bersih
Arkus faring Simetris Simetris
Tonsil T3, hiperemis (+), kripta T3, hiperemis (+), kripta
melebar, detritus (-) melebar, detritus (-)
Uvula Simetris, hiperemis (-), udem (-)
Palatum mole Simetris, hiperemis (-)
Faring Mukosa hiperemis (-)

Maksilofasial

Dekstra Sinistra
N.VII Simetris
Nyeri Tekan
Maksila Tidak ada Tidak ada
Frontalis Tidak ada Tidak ada
Ethmoid Tidak ada Tidak ada
Sphenoid Tidak ada Tidak ada

Pembesaran Kelenjar Tiroid dan KGB

Dekstra Sinistra
Tiroid Tidak ada Tidak ada
Kelenjar Submental Tidak ada Tidak ada
Kelenjar
Tidak ada Tidak ada
Submandibular

5
Kelenjar Jugularis Tidak ada Tidak ada
superior
Kelenjar Jugularis Tidak ada Tidak ada
media
Kelenjar Jugularis Tidak ada Tidak ada
inferior
Kelenjar Suprasternal Tidak ada Tidak ada
Kelenjar Tidak ada Tidak ada
Supraklavikularis

1.4 Resume
An. M, usia 6 tahun datang ke poli THT-KL RSU Banjar dengan keluhan
tonsil semakin membesar sejak 3 tahun lalu. Pasien merasakan seperti ada yang
mengganjal ditenggorokan terutama saat makan padat. Saat ini pasien tidak
mengeluhankan nyeri menelan. Namun dalam satu bulan terkadang pasien
mengeluhkan nyeri menelan dan biasanya disertai demam. Beberapa bulan
terakhir terkadang pasien tidur mendengkur.
Pada pemeriksaan fisik, TTV dan status generalisata dalam batas normal.
Pada pemeriksaan tonsil didapatkan :
• Besar : T3/T3
• Warna : Hiperemis +/+
• Kripta : Melebar +/+
• Detritus : Tidak ada

1.5 Diagnosis Kerja


Tonsilitis Kronik Hipertrofi

1.6 Rencana Penatalaksanaan


Non Medikamentosa
- Kurangi makanan dan minuman pemicu seperti es krim dan minuman dingin
serta bumbu-bumbu perasa.

Medikamentosa
 Rencana tonsilektomi

6
 Puasa pre operasi

 IVFD RL 20 tpm

 Cefotaxime 2 x 1 gr IV

1.7 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tonsila Palatina

Tonsila palatina berbentuk dua massa jaringan limfoid, masing-masing terletak di


dalam cekungan di dinding lateral oropharynx di antara arcus palatoglossus dan
palatopharyngeus. Setiap tonsil diliputi oleh membrana mucosa, dan permukaan
medialnya yang bebas menonjol ke dalam pharynx. Permukaannya berbintik-bintik
yang disebabkan oleh banyak muara kelenjar, yang terbuka ke crypta tonsillaris.1

Permukaan lateral tonsila palatina diliputi oleh capsula. Capsula ini dipisahkan
dari musculus constrictor pharyngis superior oleh jaringan areolar, vena palatina externa
berjalan turun dari palatum molle di dalam jaringan ikat jarang untuk bergabung dengan
plexus venosus pharyngeus. Lateral terhadap musculus constrictor pharyngis superior
terdapat musculus styloglossus, lengkung arteria facialis. dan arteria carotis interna.
Tonsila palatina mencapai ukuran maksimum pada masa kanak-kanak dan ukurannya
menjadi sangat berkurang.1

Arteri yang mendarahi tonsil adalah ramus tonsilaris arteria facialis. Vena-vena
menembus musculus constrictor pharyngis superior dan bergabung dengan vena
palatina externa, vena pharyngealis, atau vena facialis.1

Aliran Limfe Tonsil mengalir dari tonsil ke nodi lymphoidei cervicales profundi
bagian atas, tepat di bawah dan di belakang angulus mandibulae.1

8
2.2 Definisi
Tonsilitis adalah peradang pada tonsil. Sebagian besar kasus tonsilitis bakteri
disebabkan oleh Streptococcus pyogenes beta-hemolitik kelompok A (GABHS).2,3

2.3 Etiologi
Tonsillitis dapat disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri, etiologi virus adalah
yang paling umum. Seringkali sulit untuk membedakan antara dua penyebab
berdasarkan pemeriksaan klinis.4

2.3.1 Infeksi virus


Sekitar setengah dari kasus pharyngotonsillitis akut memiliki etiologi virus.
Pasien biasanya datang dengan keluhan sakit tenggorokan dan disfagia. Pada
pemeriksaan, sering ada demam, limfadenopati serviks yang lunak, radang
tonsil, dan eritema dengan kemungkinan eksudat. Patogen virus yang umum
termasuk Virus Epstein-Barr (EBV), adenovirus, rhinovirus, respiratory
syncytial virus (RSV), influenza, dan virus parainfluenza. Perawatan untuk
sebagian besar infeksi virus umumnya mendukung. Dalam beberapa kasus,

9
pasien mengembangkan superinfeksi bakteri tonsil yang menghasilkan gejala
yang lebih parah. Pasien-pasien ini mendapat manfaat dari antibiotik sistemik.4
Virus Epstein-Barr (EBV) termasuk dalam keluarga virus herpes dan
menyebabkan faringitis akut sebagai bagian dari mononukleosis infeksius. Di
negara maju dan daerah dengan status sosial ekonomi tinggi, infeksi primer oleh
EBV terjadi selama dekade kedua dan ketiga kehidupan. Ini tidak terjadi di
negara-negara berkembang di mana lebih banyak anak kecil terkena penyakit
ini. EBV ditransmisikan secara oral, dan bermanifestasi sebagai demam, malaise
umum, limfadenopati, hepatosplenomegali, dan faringitis. Tonsil membesar,
kadang-kadang sampai membahayakan jalan napas, dan ditutupi dengan eksudat
putih keabu-abuan yang luas. Ketika virus didapat pada usia yang lebih muda,
gejalanya seringkali minimal.4
EBV secara istimewa menginfeksi dan mengubah limfosit B manusia. Masa
inkubasi adalah sekitar 2-6 minggu, di mana EBV menginduksi proliferasi sel B
yang terinfeksi. Ini diikuti oleh respons imun seluler, yang ditandai dengan
munculnya limfosit T sitotoksik “atipikal” dalam darah. Pada pasien
imunosupresi dengan defisiensi imun bawaan atau didapat, seperti AIDS,
kelainan limfoproliferatif terkait-X, dan imunosupresi pasca transplantasi,
respons limfosit-T terbatas, dan proliferasi sel B yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan hiperplasia jaringan limfoid. EBV juga dikaitkan dengan limfoma
Hodgkin dan non-Hodgkin, limfoma Burkett, karsinoma nasofaring, dan
gangguan limfoproliferatif lainnya.4

2.3.2 Infeksi Bakteri


Grup A beta-hemolytic streptococcus (GABHS) adalah penyebab paling
umum dari bakteri faringotonsilitis akut pada anak-anak. "Radang tenggorokan"
adalah penyakit yang sangat umum di kalangan remaja dan anak-anak, dengan
insiden yang memuncak selama musim dingin dan musim semi, dan cenderung
jarang terjadi pada anak-anak di bawah usia 3 tahun. Penularan umumnya terjadi
melalui penyebaran tetesan dan masa inkubasi sekitar 2-5 hari. Gejala biasanya
termasuk demam, sakit tenggorokan, limfadenopati serviks, disfagia, dan
odinofagia. Pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan eritema tonsil dan faring

10
dengan eksudat purulen. Kultur tenggorokan dengan pelat agar darah (BAP)
adalah metode standar untuk menegakkan diagnosis faringitis yang disebabkan
oleh streptokokus grup A pada anak-anak. Tes deteksi antigen cepat (RADT)
berbasis kantor juga tersedia. Tes-tes ini memiliki kekhususan yang sangat baik;
Namun, sensitivitas tes ini lebih rendah jika dibandingkan dengan BAP yang
mengarah ke rekomendasi untuk mengkonfirmasi hasil RADT negatif dengan
kultur BAP. Tes definitif untuk menentukan infeksi GABHS adalah mengukur
titer serum antistreptolysin O (ASO).4

2.4 Epidemiologi
Tonsilitis sering terjadi pada kelompok usia praremaja (usia 6-12 tahun)
sebanyak 69%, kelompok remaja (13-18 tahun) sebanyak 18%, anak-anak (4-5
tahun) sebanyak 17%. Angka kejadian tonsilitis lebih banyak terjadi pada laki-laki
(58%) dibandingkan perempuan (42%). Menurut keadaan sosial ekonomi,
sebanyak 66% kasus terjadi pada kelompok sosial ekonomi rendah,34% pada
kelompok sosial ekonomi sedang, dan 7% pada kelompok sosial ekonomi tinggi.5

2.5 Klasifikasi
1. Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut adalah infeksi tonsil yang dipicu oleh salah satu dari
beberapa jenis bakteri atau virus, dan abses peritonsillar juga dapat terjadi. 2
Banyak pasien mengalami episode tonsilitis akut dengan pemulihan total antar
episode. Karena lokasi tonsil memiliki banyak crypts dan celah yang dapat
menampung bakteri. Terapi medis untuk tonsilitis akut mungkin tidak
mencegah infeksi tambahan. Ahli THT dan penyedia perawatan primer telah
memperdebatkan peran operasi untuk pasien ini selama bertahun-tahun.4

2. Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronis adalah infeksi tonsil yang berat yang dapat
menyebabkan tonsil stone.2 Tonsilitis kronis didiagnosis ketika nyeri
tenggorokan dirasakan setidaknya selama 3 bulan dan dikaitkan dengan
peradangan tonsil. Pemeriksaan klinis sering tidak terlihat tetapi dapat

11
menunjukkan penurunan crypt tonsillar dan kapsul tonsillar yang halus.
Antibiotik yang efektif melawan anaerob dan organisme penghasil beta-
laktamase, seperti klindamisin atau amoksisilin klavulanat, dapat digunakan
untuk pengobatan. 4

3. Tonsiltis Akut Rekuren


Serangan akut tonsillitis yang biasanya disebabkan oleh banyak bakteri
pathogen dan berulang kembali dalam beberapa minggu setelah terapi
antibiotic dihentikan. Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae adalah bakteri yang paling umum diisolasi dalam
tonsilitis berulang, dan Bacteroides fragilis adalah bakteri anaerob yang paling
umum diisolasi dalam tonsilitis berulang.5,8

4. Abses peritonsil
Abses mungkin berasal dari intratonsil, para atau peritonsil atau ruang
retrotonsillar. Patogen penyebabnya seperti Staphylococcus, Streptococcus,
dan Fusobacterium necrophorum.4

5. Hipertropi Adenotonsilar
Jaringan tonsil dan adenoid memiliki banyak kompartemen imunologi
khusus yang bertanggung jawab untuk respon imun humoral dan seluler,
seperti epitel crypt, folikel limfoid, dan daerah ekstrafollicular. Tonsil dan
kelenjar tiroid adalah organ limfoid pertama dalam tubuh yang mengalami
patogen yang tertelan dan terhirup.4
Hipertrofi jaringan limfoid terjadi sebagai respons terhadap kolonisasi
dengan flora normal, paparan mikroorganisme patogen, dan reaksi terhadap
faktor lingkungan. Jaringan limfoid pada cincin Waldeyer sangat kecil pada
bayi dan ukurannya meningkat secara signifikan pada saat anak berusia 4
tahun sehubungan dengan aktivitas imunologis. Obstruksi hidung, rinore, dan
suara hyponasal adalah gejala hipertrofi adenoid yang biasa. Pembesaran
tonsil dapat menyebabkan mendengkur, disfagia, dan suara hipernnas atau
teredam. Hipertrofi adenotonsilar kronis adalah yang paling sering dikaitkan
dengan gangguan pernapasan pada anak, dengan gejala mulai dari obstruksi
jalan napas bagian atas hingga obstruktif sleep apnea sindrom (OSAS).4

12
Obstruksi jalan nafas atas dapat bermanifestasi sebagai mendengkur
keras, pernapasan mulut kronis, dan enuresis sekunder. Riwayat episode apnea
yang disaksikan, hipersomnolensi atau hiperaktif, sering terbangun di malam
hari, kinerja sekolah yang buruk, dan kegagalan umum untuk berkembang
adalah manifestasi umum dari apnea tidur obstruktif. Seiring waktu, kasus
OSAS yang lebih parah dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, cor
pulmonale, dan hipoventilasi alveolar yang mengakibatkan retensi CO2
kronis, yang dapat lambat untuk diselesaikan bahkan setelah meredakan
obstruksi dengan adenotonsilektomi. Diagnosis hipertrofi adenotonsillar
didasarkan pada riwayat klinis dan pemeriksaan fisik. Endoskopi hidung
bermanfaat dalam mendiagnosis hipertrofi adenoid, infeksi adenoid, dan
insufisiensi velopharyngeal (VPI), serta menyingkirkan penyebab lain dari
sumbatan hidung. Radiografi jaringan lunak leher lateral dapat membantu
mengevaluasi adenoid hipertrofik. Karena kesulitan dalam melakukan studi
tidur pada anak-anak muda, penggunaan polysomnography untuk
mendokumentasikan apnea tidur obstruktif pada pasien ini masih
kontroversial. Tes ini biasanya diperuntukkan bagi pasien tanpa riwayat
obstruksi jalan napas yang jelas atau untuk pasien dengan kelainan
kraniofasial dan gangguan neurologis.4

6. Tonsillar Neoplasms
Hipertrofi tonsil asimetris adalah temuan fisik yang harus mendorong dokter
untuk memasukkan neoplasma dalam diagnosis diferensial. Kemungkinan
proses ganas meningkat ketika asimetri tonsil dikaitkan dengan pembesaran
yang cepat, gejala konstitusional, penampilan tonsil atipikal, limfadenopati
ipsilateral, dan riwayat keganasan sebelumnya. Pembesaran tonsil unilateral
pada anak-anak tanpa gejala jarang disebabkan oleh etiologi neoplastik.
Namun, limfoma tonsil harus dipertimbangkan ketika pembesaran tonsil
unilateral hadir pada anak yang mengalami gangguan sistem imun atau ketika
tonsilitis asimetris akut tidak responsif terhadap terapi medis. Ketika temuan
ini disertai dengan perjalanan klinis atau sejarah yang dicurigai, tonsilektomi
harus dilakukan untuk biopsi. Limfoma dan karsinoma sel skuamosa adalah
neoplasma tonsil primer yang paling umum, tetapi tumor ganas lainnya juga

13
dapat muncul. Banyak neoplasma ganas primer seperti melanoma dan sel
ginjal, paru-paru, payudara, lambung, dan karsinoma usus besar telah
dilaporkan bermetastasis ke amandel. Tumor jinak jinak jarang terjadi dan
mereka termasuk lipoma, fibromas, dan schwannoma. Tumor ruang
parapharyngeal penting untuk dipertimbangkan sebagai diagnosis, karena
mereka dapat hadir dengan tanda dan gejala yang menyerupai hipertrofi tonsil
asimetris atau abses tonsil.4

2.6 Gejala dan Pemeriksaan Fisik


Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada penderita adalah mengeluh
sakit tenggorokan serta disfagia dan, pada kasus yang berat, penderita dapat
menolak untuk minum atau makan melalui mulut.
Penderita tampak sakit akut dan mengalami malaise. Suhu biasanya tinggi,
napas berbau. Mungkin terdapat otalgia dalam bentuk nyeri alih. Tonsilitis kronis,
atau infeksi tonsil persisten, terjadi pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa
muda. Keluhan yang muncul adalah sakit tenggorokan yang konstan, kelelahan,
halitosis, dan pengeluaran dari debris tonsil.
Pada pemeriksaan fisik, Seringkali terdapat adenopati servikalis disertai
nyeri tekan. Tonsila meradang dan membesar, kripta tonsillar yang membesar
terisi dengan debris sering ditemukan. Tonsila biasanya berbercak-bercak dan
kadang-kadang diliputi oleh eksudat. Eksudat ini mungkin keabu-abuan atau
kekuningan. Eksudat ini dapat berkumpul dan membentuk membran, dan pada
beberapa kasus dapat terjadi nekrosis jarringan lokal.6

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan gram untuk mengetahui sifat bakteri positif atau negatif
digunakan untuk menentukan terapi antibiotik. Pemeriksaan kultur dan apusan
tenggorokan atau pemeriksaan rapid RNA virus dan bakteri juga dilakukan
mengetahui penyebab pada tonsillitis asimptomatik. Uji kultur diindikasikan bila
dicurigai adanya infeksi GABHS. Kultur swab tenggorok merupakan gold
standart untuk mendeteksi GABHS. Untuk pasien yang diduga tonsillitis akut
yang telah menyebar ke struktur leher dalam (yaitu du luar bidang fasia

14
oropharynx), pemeriksaan radiologis menggunakan foto polos dari leher lateral
atau CTscan dengan kontras diperlukan.8

2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan tonsilitis akut sebagian besar berfokus pada mempertahankan
hidrasi dan asupan kalori yang memadai serta mengendalikan rasa sakit dan
demam. Ketidakmampuan untuk mempertahankan asupan kalori dan cairan oral
yang cukup mungkin memerlukan hidrasi IV, antibiotik, dan kontrol nyeri. Terapi
intravena di rumah di bawah pengawasan untuk memastikan hidrasi.
Kortikosteroid intravena dapat diberikan untuk mengurangi edema faring.3
Obstruksi jalan napas mungkin membutuhkan alat bantu jalan nafas melalui
hidung, menggunakan kortikosteroid intravena, dan pemberian oksigen .
Observasi pasien sampai obstruksi jalan napas mengalami perbaikan.3
Tonsilitis dan komplikasinya sering dijumpai. Antibiotik menyembuhkan
sebagian besar pasien dengan tonsilitis bakteri, dan pembedahan biasanya
menyembuhkan pasien dengan infeksi dan komplikasi yang sulit disembuhkan
dengan manajemen medis. Pembedahan dilakukan bila ada indikasi.3
Perawatan medis termasuk penggunaan cairan intravena (IV), ceftriaxone IV
yang sesuai berat badan, klindamisin, dan deksametason, dengan pasien kemudian
diberhentikan dengan klindamisin selama 10 hari. Perawatan bedah terdiri dari
drainase.

Kortikosteroid

Kortikosteroid dapat mempersingkat durasi demam dan faringitis pada kasus


infeksi mononukleosis (MN). Pada kasus MN yang berat, kortikosteroid atau
gamma globulin dapat membantu. Gejala MN dapat berlangsung selama beberapa
bulan. Kortikosteroid juga diindikasikan untuk pasien dengan obstruksi jalan
napas, anemia hemolitik, dan penyakit jantung dan neurologis. Beri tahu pasien
tentang komplikasi akibat penggunaan steroid.

Antibiotik

15
Antibiotik dicadangkan untuk faringitis bakteri sekunder. Karena risiko
ruam papula umum, hindari ampisilin dan senyawa terkait ketika diduga menular
mononukleosis (MN). Reaksi yang sama dari antibiotik berbasis penisilin oral
(misalnya, sefaleksin) telah dilaporkan. Karena itu, mulailah terapi dengan
antibiotik antistreptokokus lain, seperti eritromisin.

Berikan antibiotik jika etiologinya bakteri, seperti keberadaan eksudat tonsil,


demam, leukositosis, kontak yang sakit, atau kontak dengan orang yang memiliki
infeksi Streptococcus pyogenes (GABHS) beta-hemolitik. Dalam banyak kasus,
bakteri dan virus faringitis tidak dapat dibedakan secara klinis. Menunggu 1-2 hari
untuk hasil kultur tenggorokan belum terbukti mengurangi kegunaan terapi
antibiotik dalam mencegah demam rematik.3

Infeksi GABHS

Infeksi GABHS mewajibkan cakupan antibiotik. Bisno et al menyatakan dalam


pedoman praktik untuk diagnosis dan manajemen GABHS bahwa hasil terapi
yang diinginkan untuk faringitis GABHS adalah pencegahan demam rematik akut,
pencegahan komplikasi supuratif, pengurangan gejala dan tanda klinis,
pengurangan penularan GABHS untuk menutup kontak, dan meminimalkan efek
samping potensial dari terapi antimikroba yang tidak sesuai

Pemberian penisilin oral selama 10 hari adalah pengobatan terbaik untuk


faringitis GABHS akut. Penisilin intramuskular (mis., Benzathine penisilin G)
diperlukan untuk orang yang mungkin tidak patuh dengan terapi oral 10 hari.
Penisilin optimal untuk sebagian besar pasien (kecuali reaksi alergi) karena
keamanan, kemanjuran, spektrum sempit, dan biaya rendah.3

Antibiotik lain yang terbukti efektif untuk GABHS faringitis adalah congener
penisilin, sefalosporin, makrolida, dan klindamisin. Klindamisin mungkin
memiliki nilai tertentu karena penetrasi jaringannya dianggap setara untuk
pemberian oral dan IV. Clindamycin efektif untuk infeksi GABHS. Vankomisin
dan rifampisin juga bermanfaat.3

16
Sebagian besar kasus faringitis akut terbatas, dengan perbaikan klinis diamati
dalam 3-4 hari. Pedoman praktik klinis menyatakan bahwa menghindari terapi
antibiotik untuk periode waktu ini aman dan penundaan hingga 9 hari dari onset
gejala ke pengobatan antimikroba masih harus mencegah komplikasi utama
GABHS (yaitu, demam rematik akut).3

Tonsilitis berulang dapat dikelola dengan antibiotik yang sama seperti faringitis
GABHS akut. Jika infeksi berulang setelah pemberian agen penicillin oral,
pertimbangkan IM benzathine penicillin G. Clindamycin dan amoxicillin/
clavulanate telah terbukti efektif dalam menghilangkan GABHS dari faring pada
orang yang mengalami serangan tonsilitis berulang.

Peritonsillar abses

Selulitis peritonsillar dapat merespons antibiotik oral. Antibiotik, baik secara


oral atau intravena, diperlukan untuk mengobati abses peritonsillar (PTA) secara
medis, meskipun sebagian besar PTA bersifat refrakter terhadap terapi antibiotik
saja. Penisilin (mis. Amoksisilin / asam klavulanat, sefalosporin), dan klindamisin
adalah antibiotik yang sesuai. Dalam kasus yang jarang terjadi pecah PTA
spontan, obat kumur masih disarankan untuk alasan higienis. Diresepkan
antibiotik oral selama 10 hari.3

Diet dan Aktivitas

Cairan intravena mungkin diperlukan untuk dehidrasi parah. Istirahat yang


memadai untuk orang dewasa dan anak-anak dengan tonsilitis mempercepat
pemulihan. Untuk mengurangi risiko pecahnya limpa pada orang yang didiagnosis
dengan mononukleosis sistemik, pasien harus berhati-hati terhadap aktivitas yang
dapat menyebabkan cedera perut.3

2.8.1 Indikasi Adenotonsilektomi dan tonsilektomi


Adenotonsilektomi adalah salah satu operasi yang paling umum
dilakukan pada anak-anak. Tonsilitis streptokokus berulang telah menjadi
alasan paling umum untuk prosedur ini. Namun, tren untuk perawatan bedah
telah bergeser dalam beberapa dekade terakhir ke obstruksi jalan napas

17
bagian atas menjadi indikasi paling umum untuk tonsilektomi dan
adenoidektomi pada anak-anak. Telah ada peningkatan pengakuan tentang
dampak pernapasan pada saat melahirkan sebagai akibat dari gangguan tidur
obstruktif pada perkembangan anak-anak. Hipertrofi adenotonsillar adalah
penyebab paling sering dari gangguan pernapasan saat tidur dan
adenotonsilektomi terbukti efektif dalam meningkatkan gejala dan kualitas
hidup yang terkait; dengan demikian, itu dianggap sebagai terapi garis depan
dalam kasus anak. Namun, efektivitas adenotonsilektomi menurun secara
signifikan pada pasien obesitas, anak-anak dengan morbiditas multipel, dan
pasien dengan apnea tidur pra operasi yang parah. Polisomnografi dianggap
sebagai standar emas untuk evaluasi dan diagnosis gangguan tidur obstruktif
pediatrik. Karena biaya tinggi, akses terbatas, kesulitan dalam melakukan
penelitian pada populasi anak, dan terkait penundaan dalam perawatan,
polisomnografi jarang digunakan sebelum operasi pada anak-anak yang sehat.
Riwayat mendengkur dengan atau tanpa menyaksikan apnea, gelisah,
mengantuk di siang hari, perubahan perilaku, kinerja kognitif yang buruk, dan
hipertrofi adenotonsillar pada pemeriksaan fisik adalah kriteria yang
digunakan untuk merekomendasikan adenotonsilektomi.4
Polisomnografi direkomendasikan untuk anak di bawah usia 3 tahun
dengan komorbiditas medis, obesitas morbid, sindrom kraniofasial, gangguan
neuromuskuler, dan ketika temuan pemeriksaan fisik tidak berkorelasi dengan
tingkat obstruksi jalan napas.4
Indikasi saat ini untuk tonsilektomi dirujuk pada Tabel 1. Dalam
semua kasus, manfaat potensial dari tonsilektomi harus ditimbang terhadap
morbiditas yang signifikan dari prosedur dan potensi komplikasi pasca
operasi. Adenoid sering terlibat dalam proses primer yang mempengaruhi
amandel dan harus dimasukkan dalam diskusi manajemen penyakit tonsil.4

Tabel 1. Indikasi Bedah Tonsilektomi dan Adenoidektomi

Penyakit menular Tonsilitis akut berulang, dengan lebih


dari 6-7 episode 1 tahun, 5 episode per

18
tahun selama 2 tahun, atau 3 episode per
tahun untuk 3 tahun Tonsilitis akut
berulang, dengan kejang demam
berulang, atau penyakit katup jantung
Tonsilitis kronis, tidak responsif
terhadap terapi medis atau local
Pengukuran Abses peritonsillar dengan
riwayat infeksi tonsil
Penyakit Obstruktif Mendengkur dengan pernapasan mulut
kronis, obstruktif sleep apnea atau
gangguan tidur, Hipertrofi
adenotonsillar dengan disfagia atau
kelainan bicara, Hipertrofi
adenotonsillar dengan pertumbuhan
kraniofasial atau oklusif kelainan
Mononukleosis dengan hipertrofi tonsil
obstruktif, tidak responsif terhadap
steroid
Lain Pertumbuhan asimetris atau lesi tonsil
mencurigakan untuk neoplasma (tanpa
adenoidektomi)

2.7.2 Teknik Bedah

Tonsilektomi sederhana menghasilkan pengangkatan total tonsil.


Prosedur ini melibatkan sayatan mukosa yang berdekatan dengan tonsil di
sepanjang pilar anterior, identifikasi kapsul tonsil, dan diseksi subkapsular
dari tonsil yang bebas dari dasar otot. Pembuluh darah yang membentang dari
otot ke kapsul tonsil, terutama di kutub superior dan inferior, diauterisasi atau
diikat.4

Teknik bedah diseksi dingin menggunakan pisau bedah, guillotine, atau


snare sebagian besar telah diganti dengan teknik memanfaatkan kauterisasi
untuk mencapai hemostasis yang lebih baik dan untuk mengurangi kehilangan

19
darah intraoperatif. Electrocautery memperkenalkan peningkatan kerusakan
termal pada jaringan di sekitarnya yang menghasilkan lebih banyak rasa sakit
pasca operasi dan odynophagia, yang menghasilkan penurunan asupan oral
dan peningkatan risiko dehidrasi.4

Teknik tonsilektomi yang lebih baru telah diperkenalkan dalam beberapa


tahun terakhir dengan tujuan untuk mengurangi morbiditas, perdarahan dan
rasa sakit, serta waktu operasi prosedur. Teknik tonsilektomi intrakapsular
melibatkan pengangkatan tonsil dengan tetap mempertahankan kapsul tonsil
dengan tepi jaringan yang tipis, sehingga mengurangi gangguan otot, saraf,
dan pembuluh darah yang mendasarinya. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa pasien yang menjalani tonsilektomi intrakapsular
dengan microdebrider atau coblator memiliki rasa sakit pascaoperasi yang
jauh lebih sedikit dan lebih cepat kembali ke diet dan aktivitas reguler
dibandingkan dengan total pengangkatan tonsil dengan teknik elektrokauter.
Karena keuntungan ini, telah mendapatkan popularitas dalam mengobati
pasien dengan gangguan pernapasan saat tidur sekunder untuk hipertrofi
adenotonsilary. Masih ada pertanyaan mengenai komplikasi jangka panjang
termasuk pertumbuhan kembali tonsil dan pengembangan tonsilitis berulang
yang pasien mungkin perlu menjalani operasi tambahan. Berbagai modalitas
bedah tersedia untuk adenoidektomi. Adenoidektomi tradisional dilakukan
menggunakan adenotome atau kuret adenoid untuk memotong jaringan
adenoid secara tajam. Baru-baru ini, teknik yang memungkinkan
pengangkatan jaringan adenoid yang lebih terkontrol menggunakan
microdebrider, suction electrocautery, dan coblator telah digunakan.
Morbiditas dari prosedur ini cukup rendah, dengan nyeri minimal dan insiden
perdarahan pasca operasi, halitosis, atau nyeri leher yang rendah.4

2.9 Komplikasi Bedah


Adenotonsilektomi dan perjalanan pasca operasi memiliki potensi morbiditas
dan komplikasi yang signifikan. Komplikasi intraoperatif terkait dengan anestesi
umum rendah. Perawatan harus diambil untuk hisap sekresi orofaringeal dan

20
darah untuk mengurangi risiko laringospasme dan aspirasi setelah ekstubasi.
Dengan penggunaan electrocautery, api saluran napas merupakan risiko potensial
dan dapat dihindari dengan mengurangi konsentrasi oksigen dari gas yang
diinspirasikan dan dengan meminimalkan kebocoran udara di sekitar tabung
endotrakeal. Cidera gigi, dislokasi sendi temporomandibular, ekstubasi yang tidak
disengaja, dan luka bakar kauter adalah komplikasi intraoperatif potensial
lainnya.4
Perdarahan pasca operasi adalah komplikasi paling umum dari
adenotonsilektomi. Ini terjadi pada sekitar 5% kasus. Ini dapat terjadi sebagai
peristiwa primer dalam 24 jam operasi atau lebih umum sebagai peristiwa
sekunder, biasanya antara hari-hari pasca operasi 5 dan 10 sebagai akibat dari
pemisahan dini eschar. Arteri karotis interna terletak dalam 5-30 mm dari fossa
tonsil lateral dan dapat cedera akibat kauterisasi dalam, penjahitan, atau diseksi.4
Pada periode pasca operasi segera, pasien dapat mengalami mual, muntah, dan
nyeri orofaringeal yang dapat menyebabkan dehidrasi. Obstruksi jalan napas dapat
terjadi sekunder akibat edema. Edema paru postobstruktif dapat terjadi setelah
pemberian obstruksi jalan napas kompensasi lama atau setelah upaya inspirasi
terhadap obstruksi yang disebabkan oleh laringospasme. Insufisiensi velofaringeal
dapat terjadi setelah adenoidektomi pada pasien dengan langit-langit mulut
sumbing atau sumbing submukosa yang tidak terdiagnosis. Subluksasi
Atlantoaxial, atau sindrom Grisel, dapat terjadi sebagai akibat dari kelemahan
ligamen sekunder akibat proses inflamasi setelah adenoidektomi. Sekitar 15%
pasien dengan sindrom Down memiliki ketidakstabilan atlantoaxial asimptomatik
dan dapat mengalami subluksasi atlantoaxial pasca operasi. Stenosis nasofaring
dan orofaringeal merupakan komplikasi jangka panjang, walaupun jarang terjadi,
akibat dari pengambilan jaringan secara berlebihan.4

2.10 Prognosis
Tonsillitis akut merupakan penyakit yang akut, self-limiting disease yang
dapat sembuh sendiri dalam waktu 1 minggu. Bagaimanapun, beberapa pasien
dapat mengalami tonsillitis berulang, dan membutuhkan tindakan tonsilektomi.
Pada beberaa pasien (bayi, orang tua, immunocompromised), tonsillitis mungkin

21
dapat berkembang menjadi berat. Antibiotic dan atau perawatan di rumah sakit
mungkin dapat disarankan. Beberapa kasus namun sangat jarang, tonsillitis akut
dapat berhubungan dengan komplikasi seperti demam reumatik dan akut
glomerulonephritis.7

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell Richard. Clinical Anatomy By Systems. 2012. Jakarta: Egc


2. Bakar Muhamad Abu, McKimm Judy, Haque Zohurul Seraj, Azim Anwarul
Md, Majumder, Haque Mainul. Chronic tonsillitis and biofilms: a brief overview
of treatment modalities. Journal of Inflammation Research 2018:11 329–337
3. Shah Udayan K. Tonsillitis and Peritonsillar Abscess. Medscape.
https://emedicine.medscape.com/article/871977-overview
4. Lalwani Anil K, Diagnosis & Treatment in Otolaryngology—Head & Neck
Surgery. Edisi 3. 2012.
5. Bukhari H.Q. 2019. Prevalence Study Of Acute Tonsillitis Among Paediatrics
Age Groups (https://www.ejmanager.com/mnstemps/172/172-1546544777.pdf?
t=1558232032)
6. James B. Snow. Ballengers Otorhinolaringology Head and Neck Surgery 16th
Edition. BcDecker:2003
7. Spinks A, Glasziou PP, Del Mar CB. 2013. Antibiotics for sore throat. BMJ.
8. Alasmari, Nuha Saad H. 2017. Causes and Treatment of Tonsillitis. Egypt: The
Egyptian Journal of Hospital Medicine Paraya Assanasen, MD. Medical and
surgical manajement of nasal polyps. 2001

23

Anda mungkin juga menyukai