Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTESI

Oleh :
 Andri Dwi Putra Pasopati 2015730008
 Bob Muhammad Azis 2016730023
 Ikhlima Pramista Janaria 2015730057
 Muhammad Rizki Setiawan 2015730092
 Nur Shafa'ah Yunita 2016730133
 Sarah Faradila 2015730118

Pembimbing :
dr. Irwan Amin, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANASTESI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA SUKAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Tugas ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas Laporan Kasus pada Stase
Ilmu Anastesi Rumah Sakit Islam Jakarta Sukapura mengenai ”General Anestesi”.
Laporan Kasus ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas saya selama menjalani
kepaniteraan klinik stase Ilmu Anastesi.
Terima kasih kepada dokter pembimbing di Rumah Sakit Islam Jakarta
Sukapura dr. Irwan Amin, Sp. An yang telah membantu dalam terselesainya tugas
ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga
tugas ini dapat bermanfaat untuk para pembaca.

Jakarta, Desember 2020

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................I
DAFTAR ISI........................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II PERSIAPAN PRA – ANESTESI....................................................................2
BAB III PELAKSANAAN ANESTESI.......................................................................9
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................41

II
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang berspesialisasi dalam


mengurangi rasa nyeri dan menjaga stabilitas pasien selama dan setelah
prosedur bedah. Anestesi atau bius, digunakan pada hampir semua bidang
kedokteran, jika pembedahan perlu dilakukan atau pasien akan merasa nyeri
selama prosedur berlangsung. Bius juga dapat digunakan pada prosedur
diagnostik, bedah otak dan perut, kandungan, dan lain-lain. Anestesi
mempunyai peran penting dalam kelancaran prosedur bedah dan mengurangi
rasa tidak nyaman pada pasien. Metode bius yang paling sering digunakan
adalah umum dan lokal. Bius lokal hanya untuk bagian tubuh yang akan di
bedah, sehingga pasien tidak merasakan nyeri selama proses berjalan.
Sedangkan bius umum berperan untuk membuat pasien tertidur atau tidak
sadar dan otot-ototnya tidak akan dapat digerakkan karena dilumpuhkan,
sehingga ia tidak akan merasa nyeri. Anestesi dapat berupa cairan yang
disuntikkan melalui vena, atau gas yang akan dihirup oleh pasien dengan
menggunakan masker khusus. Kedua zat bius ini mempunyai efek langsung
yang dapat membuat pasien hilang kesadaran dalam satu menit.
Laryngeal mask airway (LMA) merupakan suatu alat jalan napas yang

relatif baru, yang berperan diantara sungkup muka dengan pipa endotrakea
(ETT). LMA telah digunakan secara luas pada praktek anestesia baik dewasa
ataupun anak-anak semenjak alat ini diperkenalkan pada pertengahan tahun
1980an. LMA memberikan strategi baru dalam penatalaksanaan jalan napas.
Kemudahan dan kecepatan pemasangan, tidak memerlukan pelumpuh otot
dan visualisasi glotis menjadikan LMA pilihan dalam penatalaksanaan pasien
yang gagal dilakukan intubasi endotrakea dan sulit saat ventilasi dengan
sungkup muka. Laryngeal mask airway (LMA) juga dipergunakan untuk
pemberian ventilasi pada pasien dengan nilai Cormack 3 dan 4. Pemasangan
LMA termasuk dalam algoritma tatalaksana pasien sulit intubasi menurut
American Society of Anesthesiologists (ASA) dan difficult airway society
(DAS).

1 Universitas Muhammadiyah Jakarta


2

Universitas Muhammadiyah Jakarta


BAB II
PERSIAPAN PRA – ANESTESI

A. PERSIAPAN PASIEN
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. E
Usia : 48 tahun
Alamat : Jl. Kayu Tinggi Jakarta Timur
Pekerjaan : IRT
NRM : 00 – 29 – xx – xx
Masuk RS : 3 Desember 2020
Ruangan : Al Ghifari
DPJP : dr. Rudi Hermansyah Sp. B

2. Anamnesis

Keluhan Utama
Benjolan di payudara kiri 6 bulan yang lalu

Keluhan Tambahan
Nyeri pada benjolan hilang timbul

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien perempuan usia 48 tahun datang dengan keluhan adanya
benjolan di payudara kiri sebesar telur puyuh disertai nyeri yang hilang
timbul sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan 6
bulan yang lalu benjolan berukuran kelereng. Keluhan penurunan berat
badan, penurunan nafsu makan, keluar cairan dari puting susu,
benjolan di ketiak dan sesak napas disangkal. Keluhan demam, batuk,
pilek juga disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal.
Pasien berobat ke poli bedah RSIJ Sukapura 10 hari yang lalu dan
dijadwalkan untuk operasi pada tanggal 4 Desember 2020.

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mempunyai riwayat benjolan di payudara
sebelumnya, tidak ada riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus
maupun asma.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada di keluarga yang mengalami keluhan yang serupa.

Riwayat Alergi
Pasien tidak memliki alergi terhadap makanan maupun obat – obatan.

Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat sebelumnya.

Riwayat Psikososial
Pasien mengatakan tidak merokok, minuman alkohol, dan obat –
obatan terlarang. Pasien sering makan – makanan berlemak seperti
gorengan.

Riwayat Operasi
Pasien belum pernah menjalani operasi apapun sebelumnya

3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 4 Desember 2020
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Status Gizi :
 BB : 75 Kg
 TB : 155 Cm
 IMT : 31,2 kg/m2

Universitas Muhammadiyah Jakarta


 Tanda Vital
 TD : 140/66 mmHg
 Nadi : 91 kali/menit, reguler, kuat angkat
 RR : 20 kali/menit
 Suhu : 36,6 oC
 Status Generalis :
 Kulit : Warna kulit sawo matang, pucat, tidak ada
sianosis, tidak ada lesi kulit lain, tidak ada
dekubitus.
 Kepala : Normochepal, rambut hitam mengkilat, lurus,
distribusi merata, tidak mudah dicabut
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 Hidung : Deviasi septum nasal (-), sekret (-/-), epistaksis (-),
mukosa hiperemis (-/-)
 Telinga : Normotia, serumen (-/-)
 Mulut : Mukosa bibir kering, tidak ada sianosis, faring
hiperemis (-), tonsil (T1/T1), tonsil hiperemis (-/-),
detritus (-/-), pseudomembran (-/-), lidah kotor (-),
lidah tremor (-), malampati score IV, Gigi geligi
(-), gigi palsu (-).
 Leher : Tidak ada pembesaran KGB, kelenjar tiroid tidak
membesar.
 Thorax
Inspeksi : Normochest, pergerakan dinding dada simetris,
retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi : Vocal fremitus (+/+) di kedua paru.
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru kanan dan kiri
Auskultasi : Vesikuler (+/+) di seluruh lapang paru, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Universitas Muhammadiyah Jakarta
 Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis terlihat di ICS V midclavicula sinistra.
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V midclavicula sinistra.
Perkusi : Batas atas : ICS II linea parasternalis dextra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra

Auskultasi : BJ1 & BJ2 reguler, gallop (-), murmur (-)

 Abdomen
Inspeksi : Perut datar, distensi abdomen (-), sikatriks (-),
striae alba (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel (+), nyeri tekan epigastrium (+), tidak
teraba ada massa di abdomen

Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen.

 Ekstremitas
Atas : Akral hangat (+/+), edema (-/-), RCT <2 detik
(+/+).
Bawah : Akral hangat (+/+), edema (-/-), RCT <2 detik
(+/+).

 Status Lokalis:
Payudara
Payudara kanan dalam batas normal
Payudara kiri
Massa tumor
Lokasi : Sisi lateral payudara kiri
Ukuran : diameter 4 cm (sebesar telur puyuh)
Konsistensi : lunak, Berbatas tegas.
Terfiksasi atau tidak ke kulit: tidak terfiksasi
Perubahan kulit: kemerahan (-), dimpling (-), edema/ nodul

Universitas Muhammadiyah Jakarta


satelit(-), peau de orange (-), ulserasi (-)
Perubahan puting susu/nipple: tertarik (-), erosi (-),
krusta (-), discharge(-)

Status kelenjar getah bening


Tidak ada pembesaran dan nyeri pada KGB aksila,
infraklavikula dan supraklavikula

4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi
Hb 14,1 g/dl 11,3 – 15,5
Hematokrit 41,1 % 38 – 47
Leukosit 9,280 103/µl 3,9 – 11
Trombosit 327 132 – 440
Pembekuan
Massa Perdarahan 3 Menit 1–3
Masa Pembekuan 4,30 Menit 2-6
Kimia Klinik
Gula Darah Sewaktu 168 Mg/dL 70 – 115
Ginjal
Ureum 20 Mg/dL 21 – 43
Kreatinin 0,9 Mg/dL 0,6 – 1,1

 Foto Rontgen Thorax :


Kesan : Cor dan pulmo dalam batas normal

 Pemeriksaan Ekokardiografi :
Irama sinus, Frekuensi 80x/menit, regular, PR interval 0,16 detik,
normoaxis, Gelombang P, kompleks QRS, segmen ST, dan
gelombang T normal

 Pemerikaan SARS – COV – 2 Real Time PCR


Swab Nasofaring dan Orofaring Negatif

Universitas Muhammadiyah Jakarta


5. Diagnosis Kerja
Tumor Mammae Sinistra

6. Diagnosis Anestesi
Status fisik ASA II dan overweight (BMI = 31,2 kg/m2)

7. Rencana Pembedahan
Eksisi

8. Rencana Anestesi
Anestesi umum dengan pemasangan LMA

9. Prognosis
 Quo ad Vitam : ad Bonam
 Quo ad Functionam : ad Bonam
 Quo ad Sanationam : ad Bonam

B. PERSIAPAN PRA ANESTESI


1. Persiapan Pasien
a) Informed consent
b) Surat persetujuan operasi
c) Pasien dipuasakan sejak pukul 10.00 WIB tanggal 4 Desember 2020
tujuannya untuk memastikan bahwa lambung pasien telah kosong
sebelum tindakan untuk menghindari kemungkinan terjadinya muntah
dan aspirasi isi lambung yang akan membahayakan pasien.
d) Pengosongan kandung kemih pada siang hari sebelum operasi
e) Pendataan kembali identitas di kamar operasi, anamnesa singkat yang
meliputi BB, umur, riwayat penyakit, riwayat kebiasaan
f) Pemeriksaan fisik di ruang persiapan: TD: 140/66 mmHg, Nadi : 91
x/mnt, RR :18 x/mnt, Suhu : 36,6°C
g) Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan

Universitas Muhammadiyah Jakarta


2. Persiapan Alat Anestesi
a) Mesin Anestesi
 Komponen I : Sumber gas, flowmeter dan vaporizer
 Komponen II : Sirkuit napas/sistem ventilasi yaitu open,
semi open, semiclose
 Komponen III : Alat penghubung sistem ventilasi dengan
pasien yaitu sungkup muka dan pipa ombak
b) Sfigmomanometer digital
c) Oksimeter pulse
d) Suction
e) Guedel
f) Sungkup muka (face mask)
g) Nasal kanul
h) Balon pernapasan
i) Infus set dan cairan infus
j) Plester
k) Sungkup laring no. 3
l) Stetoskop
m) Gel
n) Spuit berbagai ukuran (3 cc, 5 cc, 10 cc)

3. Persiapan Obat
Anestesi Umum
a) Premedikasi : Ondansentron dosis 4 mg IV, Fentanyl 200
mg
b) Obat Induksi : Propofol
c) Maintenance Anestesi : Sevoflurane, N2O, O2

Obat Tambahan
a) Analgetik : Antrain dosis 1000 mg, Tramadol dosis
100 mg I.V.

Universitas Muhammadiyah Jakarta


b) Antiinflamasi : Dexamethasone dosis 10 mg I.V.
c) Antiemetik : Ondansentron dosis 4 mg I.V.
d) Antikolinergik : Sulfas Atropin dosis 0,25 mg I.V.

BAB III
PELAKSANAAN ANESTESI

A. INTRAOPERATIF
 Pukul 15.50 WIB
o Memasang Infus Ringer Laktat I 500 cc
o Memasang oksimeter pulse
o Pemasangan manset untuk mengukur tekanan darah

 Pukul 15.55 WIB


o Pasien dalam posisi telentang. Pasien diberitahu bahwa akan
dilakukan tindakan pembiusan
o Pemberian premedikasi Ondansentron dosis 4 mg IV dilanjutkan
dengan Fentanyl 200 mcg I.V.
o Induksi dengan Propofol 160 mg I.V.
o Dilakukan preoksigenasi dengan sungkup muka mengunakan O2
sebanyak 5 liter/menit

 Pukul 16.10 WIB


o Setelah relaksasi pasien diintubasi dengan LMA no. 3
o LMA dihubungkan dengan konektor ke sirkuit nafas alat anestesi
kemudian N2O dibuka 2 liter/menit (N2O : O2 = 50% : 50%)
kemudian Sevoflurane dibuka 2 Vol%
o Pemberian Sulfas Atropin dosis 0,25 mg I.V karena nadi 47x/menit

 Pukul 16.14 WIB


o Pembedahan dimulai
o Ventilasi spontan

Universitas Muhammadiyah Jakarta


o Pemberian Metamizole Sodium dosis 1000 mg I.V

 Pukul 16.18 WIB


o Ventilasi spontan menurun dan dibantu
o Saturasi oksigen turun menjadi 93%
o Diberikan Dexamethasone Sodium Phosphate dosis 10 mg I.V
 Pukul 16.23 WIB
o Pemberian N2O diturunkan menjadi 1L/min
o Saturasi oksigen meningkat menjadi 98%

 Pukul 16. 30 WIB


o Pembrian Tramadol dosis 1000 mg I.V
o Ventilasi kembali spontan

 Pukul 16.52 WIB


o Pembedahan selesai
o Pemberian induksi Sevoflurane 2% diberhentikan
o Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2 dipertahankan
o Pelepasan Laryngeal Mask Airway, pemasangan guedel ISO 9 dan
pemasangan sungkup oksigen 6,5 L/min
o Suction sisa lendir didalam mulut
o Oksimeter pulse dan manset tensimeter dilepas, monitor dimatikan
o Pelepasam sungkup oksigen

 Pukul 16.53 WIB


o Kemudian pasien dibangunkan dan dipindahkan ke ruang
pemulihan atau Recovery Room (RR)

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Pemantauan tekanan darah, nadi, dan saturasi oksigen intraoperatif

B.

Terapi Cairan
Berat Badan : 75 Kg
Lama Puasa : 6 jam
a) Maintenance (M) : BB x kebutuhan cairan per jam
4 x 10 = 40 cc
2 x 10 = 20 cc 115 cc
1 x 60 = 60 cc
b) Pengganti Puasa (P) : M x jam puasa
115 cc/jam x 6 jam
= 690 cc
c) Jenis operasi (O) : BB x jenis operasi (kecil)
= 75 kg x 4 cc/kg
= 300 cc
Total kebutuhan cairan durante operasi:
Jam pertama = M + 50% P + O
= 115 cc + 345 cc + 300 cc
= 760 cc
Cairan yang diberikan (selama peri operatif) = Ringer Laktat 500 cc

Universitas Muhammadiyah Jakarta


C. POST OPERATIF
Pasien masuk ke ruang pemulihan pada pukul 16.55 WIB.
 Pukul 16.55 WIB
o Pemasangan pulse oximetry dan manset tensimeter Pemasangan pulse
oximetry dan manset tensimeter, pengukuran tekanan darah setiap 15
menit
o Pemasangan nasal kanul 3L/min
o Pemberian Cairan intravena Ringer Laktat 500 cc
o TD : 133/75 mmHg
ND : 65 x/menit
SpO2 : 98%
o Penilaian Skor Aldrette

 Pukul 17.00 WIB

o o Penilaian Skor Aldrette

Skor Aldrette mencapai angka 10, pasien dapat pindahkan ke ruang


perawatan dan menunggu penjemputan.

 Pukul 17.10 WIB


o TD : 137/78 mmHg
ND : 66 x/menit
SpO2 : 98%

 Pukul 17.25 WIB


o TD : 142/78 mmHg

Universitas Muhammadiyah Jakarta


ND : 76 x/menit
SpO2 : 99%

 Pukul 17.40 WIB


o TD : 137/78 mmHg
ND : 76x/menit
SpO2 : 99%

Pada pasien diberikan instruksi pasca bedah, yaitu:


 Pengelolaan nyeri dengan Tramadol 100 mg I.V.
 Apabila mual / muntah: injeksi Ondansentron 4 mg I.V.
 Dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital setiap 15 menit selama 1
jam pertama
 Terapi lain sesuai dengan terapi bedah
 Bed rest

Universitas Muhammadiyah Jakarta


BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

Pada kasus ini, pasien perempuan, usia 48 tahun dengan diagnosis Tumor
Mammae Sinistra akan dilakuan tindakan Eksisi dan Biopsi. Berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang didapat,
pasien dapat digolongkan dalam ASA II dengan Obesitas II (BMI = 31,25
kg/m²).
Sebelum tindakan operasi, dilakukan persiapan pra anestesi 1-2 hari
sebelum operasi dilaksanakan dengan tujuan:
1. Untuk mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal
2. Merencanakan dan memilih teknik dan obat-obatan anestesi yang sesuai
3. Menentukan klasifikasi yang sesuai berdasarkan klasifikasi ASA)
Rencana anestesi pada pasien ini adalah anestesi umum dengan
pemasangan LMA. Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang
dilakukan dengan cara menghilangkan nyeri secara sentral, disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Pada
anestesi umum harus memenuhi beberapa hal ini yaitu hipnotik, analgesi,
relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot sehingga
akan mempermudah tindakan pembedahan, stabilisasi otonom.

Untuk menjamin jalan nafas pasien selama tidak sadar, maka dilakukan
pemasangan LMA, karena dinilai lebih aman dan lebih tidak invasive
dibanding dengan pemasangan Endotracheal Tube (ET). Dipilih manajemen
jalan nafas dengan LMA karena pertimbangan lama operasi yang tidak begitu
lama, karena LMA tidak dapat digunakan pada pasien yang membutuhkan
bantuan ventilasi dalam jangka waktu lama. LMA juga tidak dapat dilakukan
pada pasien dengan reflek jalan nafas yang intack, karena insersi LMA akan
mengakibatkan laryngospasme. LMA sebagai alternatif dari ventilasi face
mask atau intubasi ET untukairway management. LMA bukanlah suatu
penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi.

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Keuntungan penggunaan LMA diabanding ETT adalah kurang invasif,
mudah penggunaanya, minimal trauma pada gigi dan laring, efek
laringospasme dan bronkospasme minimal, dan tidak membutuhkan agen
relaksasi otot untuk pemasangannya

A. Anatomi & Fisiologi Jalan Napas

Gambar 1. Anatomi Pernapasan

1. Hidung
Jalan napas yang normal secara fungsional dimulai dari hidung,
udaa lewat melalui hidung yang berfungsi sangat penting yaitu
penghangatan dan melembabkan (humidifikasi). Hidung adalah jalan
utama pada pernapasan normal jika tidak ada obstruksi oleh polip atau
infeksi saluran nafas atas. Selama bernafas tenang, tahanan aliran udara
yang melewati hidung sejumlah hampir dua per tiga dari total tahanan
jalan nafas. Tahanan yang melalui hidung adalah hampir dua kali bila
dibandingkan melalui mulut. Ini menjelaskan mengapa pernafasan mulut
digunakan ketika aliran udara tinggi dibutuhkan seperti pada saat aktivitas
berat.
Inervasi sensoris pada mukosa berasal dari dua divisi nervus
trigeminal. Nervus ethmoidalis anterior menginervasi pada septum
anterior, dinding lateral, sedangkan pada area posterior di inervasi oleh
Universitas Muhammadiyah Jakarta
nervus nasopalatinus dari ganglion sphenopalatina. Anestesi lokal dengan
topikal cukup efektif memblokade nervus ethmoidalis anterior dan nervus
maksila bilateral.
2. Faring
Faring meluas dari bagian belakang hidung turun ke kartilago
krikoid berlanjut sampai esofagus. Bagian atas atau nasofaring dipisahkan
dengan orofaring dibawahnya oleh jaringan palatum mole. Prinsip
kesulitan udara melintas melalui nasofaring karena menonjolnya struktur
jaringan limfoid tonsil. Lidah adalah sumber dari obstruksi pada orofaring,
biasanya karena menurunnya tegangan muskulus genioglosus, yang bila
berkontraksi berfungsi menggerakkan lidah kedepan selama inspirasi dan
berfungsi sebagai dilatasi faring.
3. Laring
Laring terbentang pada level Cervical 3 sampai 6 vertebra
servikalis, melayani organ fonasi dan katup yang melindung jalan nafas
bawah dari isi traktus digestifus. Strukturnya terdiri dari otot, ligamen dan
kartilago. Ini termasuk tiroid, krikoid, aritenoid, kornikulata dan epiglotis.
Epiglotis, sebuah kartilago fibrosa, memiliki lapisan membran mukus,
merupakan lipatan gloso epiglotis pada permukaan faring dan lidah. Pada
bagian yang tertekan disebutvallecula. Velecula ini adalah tempat
diletakkannya ujung blade laringoskop Macintosh. Epiglotis menggantung
pada bagian dalam laring dan tidak dapat melindungi jalan nafas selama
edema.
Rongga laring meluas dari epiglotis ke kartilago krikoid dibagian
bawah. Bagian dalam dibentuk oleh epiglotis, gabungan apek kartilago
arytenoid, lipatan ary epiglotis, Bagian dalam rongga laring adalah lipatan
vestibular cincin sempit dan jaringan fibrus pada tiap sisinya. Ini perluasan
dari permukaan anterolateral aritenoid, sudut tiroid, dimana yang terakhir
berikatan dengan epiglotis. Lipatan ini adalah sebagai korda vokalis palsu,
yang terpisah dari korda vokalis sesungguhnya oleh sinus laryngeal atau
ventrikel. Korda vokalis yang sesungguhnya pucat, putih, struktur ligamen
melekat pada sudut tiroid bagian belakang. Celah triangular antara korda

Universitas Muhammadiyah Jakarta


vocalis saat glotis terbuka merupakan segmen tersempit pada orang
dewasa. Pada anak kurang dari 10 tahun, bagian tersempit adalah dibawah
plika vocalis pada level setinggi cincin krikoid. Panjang rata-rata
pembukaan glotis sekitar 23 mm pada laki-laki 17 mm pada wanita. Lebar
glotik adalah 6-9 mm tapi dapat direntangkan sampai 12 mm. Penampang
melintang glotis sekitar 60 - 100 mm2
Bidang pembahasan pada bab ini tidak memungkinkan membahas
secara mendetail aksi dari otot-otot laring, namun demikian otot-otot ini
dapat diklasifikasikan menjadi tiga group berdasarkan aksinya pada korda:
abduktor, adduktor, dan regulasi tegangan. Seluruh inervasi motorik dan
sensorik pada otot-otot laring berasal dari dua cabang nervus vagus yaitu
nervus superior dan rekuren laring, yang secara ringkas disajikan dalam
tabel
4. Trakea
Trakea adalah sebuah struktur berbentuk tubulus yang mulai
setinggi Cervical 6 columna vertebralis pada level kartilago tiroid. Trakea
mendatar pada bagian posterior, panjang sekitar 10 - 15 cm, didukung oleh
16 - 20 tulang rawan yang berbentuk tapal kuda sampai bercabang menjadi
dua atau bifurkasio menjadi bronkus kanan dan kiri pada thorakal 5
kolumna vertebralis. Luas penampang melintang lebih besar dari glotis,
antara 150 - 300mm2
Beberapa tipe reseptor pada trakea, sensitif terhadap stimulus
mekanik dan kimia. Penyesuaian lambat reseptor regang yang berlokasi
pada otot-otot dinding posterior, membantu mengatur rate dan dalamnya
pernafasan, tetapi juga menimbulkan dilatasi pada bronkus melalui
penurunan aktivitas afferen nervus vagus. Respon cepat reseptor iritan
yangberada pada seluruh permukaan trakea berfungsi sebagai reseptor
batuk dan mengandung reflek bronkokontriksi.

B. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan
relaksasi otot. Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi
kemudian mmenyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat
anestesi adalah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga
kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya.
Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk
menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya
kelebihan dosis.

Anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan


utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada
beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi
yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang
ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping
terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah
terbakar, stabil, cepat eliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik,
kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan. Obat anestesi
umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis yang aman
mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah,
mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang
merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan,
mempunyai batas keamanan yang luas.

Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi


maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi,
maintenance, dan lain-lain.

1. Teknik Anestesi Umum


a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan.
Indikasi:
- Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
- Keadaan umum baik (ASA I – II)
- Lambung harus kosong

Prosedur:
Universitas Muhammadiyah Jakarta
- Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
- Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
- Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan
obat penenang) efek sedasi/anti-anxiety: benzodiazepine;
analgesia: opioid, non-opioid.
- Induksi
- Pemeliharaan
b. Intubasi Endotrakeal dengan Napas Spontan
Intubasi endotrakeal adalah memasukkan pipa (tube)
endotrakea (ET= endotrakeal tube) kedalam trakea melalui
oral atau nasal. Indikasi; operasi lama, sulit mempertahankan
airway (operasi di bagian leher dan kepala)

Prosedur:

- Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh


otot/suksinil dgn durasi singkat)
- Intubasi setelah induksi dan suksinil
- Pemeliharaan
Untuk persiapan induksi sebaiknya dengan STATICS:
S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope

T = Tubes, pipa trakea, usia >5 tahun dengan balon(cuffed)


A= Airway, pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring
(nasofaring) yang digunakanuntuk menahan lidah saat pasien
tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.

T = Tape, plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut.
I = Introductor, stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea
mudah dimasukkan

C = Connector, penyambung pipa dan perlatan anestesia.


S = Suction, penyedot lendir dan ludah.

2. Persiapan Pra Anestesi

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah
elektif dilakukan 1 – 2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat
mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi
dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi
adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):

ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir,


tanpa kelainan faali, biokimia, dan psikiater. Angka
mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai
dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau
proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga
aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang
mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan
operasi. Misal: insufisiensi fungsi organ, angina
menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan
hidup dalam 24 jam tanpa operasi dengan operasi.
Angka mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan) Untuk operasi cito, ASA ditambah
huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan otak,
jantung, paru, ibu dan anak.
Universitas Muhammadiyah Jakarta
3. Pemeriksaan pre operasi anestesi
1) Anamnesis
a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi
c. Riwayat penyakit yang sedang pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis (asma bronkhial, pneumonia. bronkhitis), penyakit jantung,
hipertensi, dan penyakit ginjal.
d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat,
dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dan lain lain.
e. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal.
Jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif
pasca bedah.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti
hipertensimaligna.
h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.

2) Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan psikis : Gelisah, takut, kesakitan
b. Keadaan gizi : Malnutrisi atau obesitas
c. Tinggi dan berat badan
Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang diperlukan,
serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
d. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.

Universitas Muhammadiyah Jakarta


e. Jalan nafas (airway)
Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus, keadaan
gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher,
deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan
mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan mulut
maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati sangat
penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
 Mallampati I : Palatum molle, uvula, dinding
posterior oropharynx, tonsilla
palatina dan tonsila pharyngeal
 Mallampati II : Palatum molle, sebagian uvula,
Dinding posterior uvula
 Mallampati III : Palatum molle, dasar uvula
 Mallampati IV : Palatum durum saja

Gambar 2. Klasifikasi Mallampati


f. Jantung, untuk
mengevaluasi
kondisi jantung
g. Paru-paru, untuk melihat adanya dyspneu, ronki dan mengi
h. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia,
atau tanda regurgitasi.

Universitas Muhammadiyah Jakarta


i. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional
3) Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
 Lab rutin
1. Pemeriksaan lab. Darah
2. Urine: protein, sedimen, reduksi
3. Foto rontgen (toraks)
4. EKG
 Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi:
1. EKG pada anak
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada icterus
4. Fungsi ginjal pada hipertensi
5. AGD, elektrolit. Premedikasi Anestesi

4. Premedikasi anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain:
a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. Memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. Mencegah muntah, misal : droperidol, ondansetron
f. Memperlancar induksi, misal : petidin
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. Menekan reflek – reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium,
sulfas atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal: sulfas atropin dan
hiosin.

Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis


pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus
selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik,
derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat
hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi,
macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan :

Obat – Obatan Premedikasi


Pada kasus ini digunakan obat premedikasi :

1) Ondansetron
Merupakan antagonis reseptor serotonin 5-HT 3 selektif.
Digunakan untuk mencegah dan mengobati mual dan muntah pasca
bedah. Efek samping obat ini berupa hipotensi, bronkospasme,
konstipasi, dan sesak nafas.

2) Fentanyl
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid
dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150
mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan
sekarang ini telah ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten dan
sangat cepat onsetnya telah digunakan untuk meminimalkan depresi
pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan selama
operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan
demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana
meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan
perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan
sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan
sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena
untuk memberikan efek analgesi perioperatif.

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin.
Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding
meperidin. Efek euphoria dan analgetik fentanil diantagonis oleh
antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang masanya
atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya
digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil
menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin
disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi dopaminergic di striatum.
Efek ini di antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya digunakan
hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai analgesik
pasca operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan
tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap dengan droperidol'.
Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang berkaitan dengan
haloperidol) diberikan bersama-sama untuk menimbulkan analgesia
dan amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan
suatu efek yang disedut sebagai neurolepanestesia.

5. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan
tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam
stadium anestesi setelah induksi. Pada kasus ini digunakan obat induksi :
a. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide
telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk
induksi tanpa premedikasi. Propofol memiliki kecepatan onset yang
sama dengan barbiturat intravena lainnya, namun pemulihannya lebih
cepat dan pasien dapat di ambulasi lebih cepat setelah anestesi umum.

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah pasca
operasi karena propofol mengurangi mual dan muntah post operasi.
Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan
anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat
jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan
pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi
pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu timbulnya
asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan
kemungkinan adanya skuele neurologi.
Pemberian propofol (2 mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan,
tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat
dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan
opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri
perifer dan vasodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik
kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer
daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal
dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-
kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih
cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam
urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1%
diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih
besar daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan
mekanisme ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim
hati. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan
kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang
lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke
otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun.

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan
konvulsi pasca operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol
memiliki efek antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi,
hipertensi. Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing,
euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri
sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).

b. Antrain
Antrain adalah obat dagang bermerk yang mengandung natrium
metamizole. Metamizole adalah obat analgetik (pereda nyeri),
antispasmodik (meredakan kram), dan antipiretik (penurun demam)
untuk meringankan rasa sakit, seperti: sakit gigi, sakit kepala, nyeri
sendi, nyeri otot, dismenore (nyeri haid), nyeri kolik dan lain-lain.
Terkadang digunakan juga untuk menurunkan demam. Antrain bekerja
dengan cara menghambat prostaglandin. Prostaglandin adalah zat yang
terdapat dalam tubuh yang dapat menyebabkan reaksi peradangan
berupa rasa nyeri dan pembengkakan. Obat ini tersedia dalam bentuk
tablet dan injeksi.
Dosis & cara penggunaa Antrain injeksi 1 g di berikan 4 kali
sehari, atau 2,5 g di berikan 2 kali sehari melalui injeksi intravena
(pembuluh darah) atau intramuskular (melalui otot). Sesuaikan dosis
berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Efek samping penggunaan
Antrain yang mungkin terjadi adalah radang lambung rasa perih atau
sakit pada ulu hati (gastritis), hiperhidrosis, retensi cairan dan garam
Universitas Muhammadiyah Jakarta
dalam tubuh, reaksi alergi berupa gatal pada kulit, kemerahan atau
edema angioneurotik, mual, muntah, diare, sembelit.
c. Tramadol
Tramadol adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada
reseptor mu dan kelemahan analgesinya 10-20% dibanding morfin.
Tramadol dapat diberikan dengan dosis maksimal 400 mg per hari.
d. Dexamethasone
Deksametason merupakan kortikosteroid dari golongan
glukokortikoid yang mempunyai efek anti-inflamasi yang adekuat.
Pemberian deksametason akan menekan pembentukan bradikinin dan
juga pelepasan neuropeptide dari ujung-ujung saraf, hal tersebut dapat
menimbulkan rangsangan nyeri pada jaringan yang mengalami proses
inflamasi. Penekanan produksi prostaglandin oleh deksametason akan
menghasilkan efek analgesia melalui penghambatan sintesis enzim
cyclooksigenase di jaringan perifer tubuh. Deksametason juga
menekan mediator inflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α),
interleukin 1-β (IL-1β), dan interleukin-6 (IL-6).
Dosis dexamethasone tergantung pada kondisi yang diderita pasien.
Dewasa: dosis awal 0,5–9 mg per hari. Dosis maksimal 1,5 mg per
hari.
Anak-anak: dosis awal 0,02–0,3 mg/kgBB/hari, dibagi ke dalam 3–4
konsumsi. Dosis akan disesuaikan dengan tingkat keparahan dan
respons pasien.

6. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif,
tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan
tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai
sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi
dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak

Universitas Muhammadiyah Jakarta


mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi
abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot.
Terhadap SSP menimbulkan analgesik yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida
mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi
dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai
perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam
anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O:O2 adalah sebagai
berikut 60%: 40%; 70% : 30% atau 50% : 50%

b. Sevoflurane
Sevoflurane merupakan suatu cairan yang jernih, tidak berwarna
tanpa stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat biasa.
Tidak terlihat adanya degradasi sevoflurane dengan asam kuat maupun
panas. Sevoflurane bekerja cepat, tidak iritasi, induksi lancar dan cepat
serta pemulihan yang cepat setelah obat dihentikan.
Daerah otak yang spesifik dipengaruhi oleh obat anestesi inhalasi
termasuk reticular activating system, cerebral cortex, cuneate nucleus,
olfactory cortex, dan hippocampus. Obat anestesi inhalasi juga
mendepresi transmisi rangsang di spinal cord, terutama pada level
dorsal horn interneuron yang bertanggung jawab terhadap transmisi
rasa sakit.

7. Laryngeal Mask Airway


Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan
hilangnya pengendalian jalan nafas dan reflex-reflex proteksi jalan nafas.
Tanggung jawab dokter anestesi adalah untuk menyediakan respirasi dan
managemen jalan nafas yang adekuat untuk pasien.

Universitas Muhammadiyah Jakarta


LMA telah digunakan secara luas untuk mengisi celah antara
intubasi ET dan pemakaian face mask. LMA di insersi secara blind ke
dalam pharing dan membentuk suatu sekat bertekanan rendah sekeliling
pintu masuk laring.
a. Desain dan Fungsi
Laryngeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway,
didesain untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam
laring untuk ventilasi spontan dan memungkinkan ventilasi kendali
pada mode level (< 15 cm H2O) tekanan positif. Alat ini tersedia
dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak kecil, anak besar, kecil,
normal dan besar.
b. Macam – macam LMA
LMA dapat dibagi menjadi 4 :
1. Classic LMA
2. Fastrach LMA
3. Proseal LMA
4. Flexible LMA

1. Classic LMA
Merupakan suatu peralatan yang digunakan pada airway
management yang dapat digunakan ulang dan digunakan sebagai
alternatif baik itu untuk ventilasi facemask maupun intubasi ETT.
LMA juga memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
difficult airway. Jika LMA dimasukkan dengan tepat maka LMA
berada diatas sfingter esofagus, cuff samping berada di fossa
pyriformis, dan cuff bagian atas berlawanan dengan dasar lidah.
Dengan posisi seperti ini akan menyebabkan ventilasi yang efektif
dengan inflasi yang minimal dari lambung.

2. LMA Fastrach ( Intubating LMA )


LMA Fastrach terdiri dari sutu tube stainless steel yang
melengkung (diameter internal 13 mm) yang dilapisi dengan

Universitas Muhammadiyah Jakarta


silicone, connector 15mm, handle, cuff, dan suatu batang
pengangkat epiglotis. Perbedaan utama antara LMA clasic dan
LMA Fastrach yaitu pada tube baja, handle dan batang pengangkat
epiglottic.
Nama lain dari Intubating LMA : Fastrach. Laryngeal mask
yang dirancang khusus untuk dapat pula melakukan intubasi
tracheal. Sifat ILMA : airway tube-nya kaku, lebih pendek dan
diameternya lebih lebar dibandingkan cLMA. Ujung proximal
ILMA terdapat metal handle yang berfungsi membantu insersi dan
membantu intubasi, yang memungkinkan insersi dan manipulasi
alat ini. Di ujung mask terdapat "pengangkat epiglotis”, yang
merupakan batang semi rigid yang menempel pada mask. ILMA
didesign untuk insersi dengan posisi kepala dan leher yang netral.
Ukuran ILMA: 3 5, dengan tracheal tube yang terbuat dari silicone
yang dapat dipakai ulang, dikenal : ILMA tube dengan ukuran : 6,0
8,0 mm internal diameter.
ILMA tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien dengan
patologi esofagus bagian atas karena pernah dilaporkan kejadian
perforasi esofagus. Intubasi pada ILMA bersifat "blind intubation
technique". Setelah intubasi direkomendasikan untuk
memindahkan ILMA. Nyeri tenggorok dan suara serak biasanya
ringan, namun lebih sering terjadi pada pemakaian ILMA
dibandingkan CDMA. ILMA memegang peranan penting dalam
managemen kesulitan intubasi yang tidak terduga. Juga cocok
untuk pasien dengan cedera tulang belakang bagian cervical. Dan
dapat dipakai selama resusitasi kardiopulmonal.
Respon hemodinamik terhadap intubasi dengan ILMA mirip
dengan intubasi konvensional dengan menggunakan laryngoscope.
Kemampuan untuk insersi ILMA dari belakang, depan atau dari
samping pasien dan dengan posisi pasien supine, lateral atau
bahkan prone, yang berarti bahwa ILMA merupakan jalan nafas

Universitas Muhammadiyah Jakarta


yang cocok untuk insersi selama mengeluarkan pasien yang
terjebak.

3. LMA Proseal
LMA Proseal mempunyai 2 gambaran desain yang
menawarkan keuntungan lebih dibandingkan LMA standar selama
melakukan ventilasi tekanan positif. Pertama, tekanan jalan nafas
yang lebih baik yang berhubungan dengan rendahnya tekanan pada
mukosa. Kedua, LMA Proseal terdapat pemisahan antara saluran
pernapasan dengan saluran gastrointestinal, dengan penyatuan
drainage tube yang dapat mengalirkan gas-gas esofagus atau
memfasilitasi suatu jalur tube orogastric untuk dekompresi
lambung.
PALMA diperkenalkan tahun 2000. PALMA mempunyai
“mangkuk" yang lebih lunak dan lebih lebar dan lebih dalam
dibandingkan cLMA. Terdapat drainage tube yang melintas
dariujung mask, melewati "mangkuk" untuk berjalan paralel
dengan airway tube. Ketika posisinya tepat, drain tube terletak
dipuncak esofagus yang mengelilingi cricopharyngeal, dan
"mangkuk" berada diatas jalan nafas. Lebih jauh lagi, traktus GI
dan traktus respirasi secara fungsi terpisah.
PLMA di insersi secara manual seperti cLMA. Akhirnya saat
insersi sulit dapat melalui suatu jalur rel melalui suatu bougie yang
dimasukkan kedalam esofagus. Tehnik ini paling invasif tetapi
paling berhasil dengan displacement yang kecil. Terdapat suatu
teori yang baik dan bukti performa untuk mendukung gambaran
perbandingan antara cLMA dengan PLMA, berkurangnya
kebocoran gas, berkurangnya inflasi lambung, dan meningkatnya
proteksi dari regurgitasi isi lambung. Akan tetapi, semua ini
sepenuhnya tergantung pada ketepatan posisi alat tersebut Harga
PLMA kira – kira 10% lebih mahal dari cLMA dan
direkomendasikan untuk 40 kali pemakaian

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Pada pasien dengan keterbatasan komplain paru atau
peningkatan tahanan jalan nafas, ventilasi yang adekuat tidak
mungkin karena dibutuhkan tekanan inflasi yang tinggi dan
mengakibatkan kebocoran. Modifikasi baru, Proseal LMA telah
dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan ini dengan cuf yang
lebih besar dan tube drain yang memungkinkan insersi gastric tube.
Versi ini sering lebih sulit untuk insersinya dan pabrik
merekomendasikan dengan bantuan introduser kaku.
Pada suatu penelitian, ProSeal LMA juga dapat digunakan
dalam jangka waktu panjang 40 jam) tanpa menyebabkan tekanan
yang berlebihan dan kerusakan mukosa hypopharing. Laporan
terakhir, satu kasus injury nervus lingual telah dilaporkan saat
pemakaian ProSeal LMA. Sementara juga dilaporkan terjadi
hypoglossal palsies oleh karena pemakaian clasic LMA. Meskipun
begitu komplikasi tadi sangat jarang terjadi, frekuensi injury pada
nervus cranialis dapat dikurangi dengan cara menghindari trauma
saat dilakukan insersi, menggunakan ukuran yang sesuai dan
meminimalisir volume cuff. Disarankan untuk membatasi tekanan
jalan nafas kurang dari 20 cmH20 selama inflasi paru dan untuk
menggunakan volume tidal yang kecil (6 – 10 ml/kgBB). Ketika
ProSeal LMA digunakan untuk periode memanjang, fungsi
respirasi harus dimonitor secara ketat dan tekanan intracuff harus
diperiksa secara periodik dan dipertahankan lebih rendah dari 60
cmH20. Akhirnya resiko terjadinya inflasi lambung harus secara
aktif disingkirkan dengan mendengarkan daerah leher dan
abdomen dengan menggunakan stetoskop.

4. Flexible LMA
Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA, dengan
airway tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan
fleksibilitasnya meningkat yang memungkinkan posisiproximal
end menjauhi lapang bedah tanpa menyebabkan pergeseran mask.

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Berguna pada pembedahan kepala dan leher, maxillofacial dan
THT. FLMA memberikan perlindungan yang baik terhadap laring
dari sekresi dan darah yang ada diatas fLMA. Populer digunakan
untuk pembedahan nasal dan pembedahan intraoral, termasuktons
kolostomi. Airway tube FLMA lebih panjang dan lebih sempit,
yang akan menaikkan resistensi tube dan work of breathing.
Ukuran fLMA : 2 - 5. Insersi fLMA dapat lebih sulit dari cLMA
karena fleksibilitas airway tube. Mask dapat ber rotasi 180 pada
sumbu panjangnya sehingga masknya mengarah ke belakang.
Harga fLMA kira-kira 30 % lebih mahal dari cLMA dan
direkomendasikan untuk digunakan 40 kali.
c. Teknik Anestesi LMA
 Indikasi :
1. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ETT
untuk airway management. LMA bukanlah suatu penggantian
ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi.
2. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang
tidak diperkirakan.
3. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang
tidak sadarkan diri.
 Kontraindikasi:
1. Pasien – pasien dengan resiko aspirasi isi lambung penggunaan
pada emergency adalah pengecualian).
2. Pasien – pasien dengan penurunan compliance sistem
pernafasan, karena seal yang bertekanan rendah pada cuff LMA
akan mengalami kebocoran pada tekanan inspirasi tinggi dan
akan terjadi pengembangan lambung. Tekanainspirasi puncak
harus dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir
kebocoron cuff dan pengembangan lambung.
3. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik
jangka waktu lama. d. Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas

Universitas Muhammadiyah Jakarta


atas yang intack karena insersi dapat memicu terjadinya
laryngospasme.
 Efek samping :
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri
tenggorok, dengan insidensi 10 % dan sering berhubungan dengan
over inflasi cuff LMA. Efek samping yang utama adalah aspirasi.

 Tehnik Induksi dan Insersi :


Untuk melakukan insersi cLMA membutuhkan kedalaman
anestesi yang lebih besar. Kedalaman anestesi merupakan suatu hal
yang penting untuk keberhasilan selama pergerakan insersi CLMA
dimana jika kurang dalam sering membuat posisi mask yang tidak
sempurna Sebelum insersi, kondisi pasien harus sudah tidak
berespon dengan mandibula yang relaksasi dan tidak berespon
terhadap tindakan jaw thrust. Tetapi, insersi CLMA tidak
membutuhkan pelumpuh otot. Hal lain yang dapat mengurangi
tahanan yaitu pemakaian pelumpuh otot. Meskipun pemakaian
pelumpuh otot bukan standar praktek di klinik, dan pemakaian
pelumpuh otot akan mengurangi trauma oleh karena reflex
proteksiyang di tumpulkan, atau mungkin malah akan
meningkatkan trauma yang berhubungan dengan jalan nafas yang
relax/menyempit jika manuver jaw thrust tidak dilakukan Propofol
merupakan agen induksi yang paling tepat karena propofol dapat
menekan refleks jalan nafas dan mampu melakukan insersi cLMA
tanpa batuk atau terjadinya gerakan. Introduksi LMA ke
supraglotis dan inflasi the cuff akan menstimulasi dinding laring
akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan nadi.
kardiovaskuler setelah insersi LMA dapat ditumpulkan dengan
menggunakan dosis besar propofol yang berpengaruh pada tonus
simpatis jantung.
Jika propofol tidak tersedia, insersi dapat dilakukan setelah
pemberian induksi thiopental yang ditambahkan agen volatil untuk

Universitas Muhammadiyah Jakarta


mendalamkan anestesi atau dengan penambahan anestesi lokal
bersifat topikal ke orofaring. Untuk memperbaiki insersi mask,
sebelum induksi dapat diberikan opioid browser cepat (seperti
fentanyl atau alfentanyl). Jika diperlukan, CLMA dapat di insersi
dibawah anestesi topikal. Insersi dilakukan dengan posisi seperti
akan dilakukan laryngoscopy (Sniffing Position) dan akan lebih
mudah jika dilakukan jaw thrust oleh asisten selama dilakukan
insersi. Cuff cLMA harus secara penuh di deflasi dan permukaan
posterior diberikan lubrikasi dengan lubrikasi berbasis air sebelum
dilakukan insersi.
Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff, beberapa
klinisi lebih menyukai insersi LMA dengan cuff setengah
mengembang. Tekhnik ini akan menurunkan resiko terjadinya
nyeri tenggorokan dan perdarahan mukosa faring. Dokter anestesi
berdiri dibelakang pasien yang berbaring supine dengan satu
tangan men-stabilisasi kepala dan leher pasien, sementara tangan
yang lain memegang cLMA. Tindakan ini terbaik dilakukan
dengan cara menaruh tangan dibawah occiput pasien dan dilakukan
ekstensi ringan pada tulang belakang leher bagian atas. cLMA
dipegang seperti memegang pensil pada perbatasan mask dan tube.
Rute insersi LMA harus menyerupai rute masuknya makanan.
Selama insersi, cLMA dimajukan ke arah posterior sepanjang
palatum durum kemudian dilanjutkan mengikuti aspek posterior-
superior dari jalan nafas. Saat CLMA "berhenti" selama insersi,
ujungnya telah mencapai cricopharyngeus (sfingter esofagus
bagian atas) dan harusnya sudah berada pada posisi yang tepat.
Insersi harus dilakukan dengan satu gerakan yang lembut untuk
meyakinkan "titik akhir" teridentifikasi.
Cuff harus di inflasi sebeum dilakukan koneksi dengan sirkuit
pernafasan. Lima test sederhana dapat dilakukan untuk
meyakinkan ketepatan posisi cLMA:
1. "End point" yang jelas dirasakan selama insersi.

Universitas Muhammadiyah Jakarta


2. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di
inflasi.
3. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit selama cuff
di inflasi.
4. Garis hitam di belakang cLMA tetap di garis tengah.
5. Cuff cLMA tidak tampak di mulut.

Jumlah udara yang direkomendasikan untuk inflasi cuff


tergantung dari pembuat yang direkomendasikan adalah volume
yang maksimum. Biasanya tidak lebih dari setengah volume ini
yang dibutuhkan. Volume ini dibutuhkan untuk mencapai sekat
LMA yang bervariasi sesuai dengan ukuran cLMA. Penting untuk
dicatat bahwa volume bertekanan rendah dengan jalan nafas.
Tekanan didalam cuff tidak boleh melebihi 60 cmH2O. Inflasi
yang berlebihan akan meningkatkan resiko komplikasi
pharyngolaryngeal, termasuk cedera syaraf (glossopharyngeal,
hypoglossal, lingual dan laryngeal recurrent) dan biasanya
menyebabkan obstruksi jalan nafas. Setelah laMA di insersikan,
pergerakan kepala dan leher akan membuat perbedaan kecil
terhadap posisi CLMA dan dapat menyebabkan perubahan pada
tekanan intra cuff dan sekat jalan nafas. N20 jika digunakan akan
berdifusi kedalam cuff cLMA sampai tekanan partial intracuff
sama dengan tekanan campuran gas anestesi. Hal ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan didalam cuff pada 30 menit
pertama sejak pemberian N20. Tekanan cuff yang berlebihan dapat
dihindari dengan mem-palpasi secara intermiten pada pilot ballon.
Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara mem-
bagging dengan lembut. Yang perlu diingat, cuff cLMA
menghasilkan sekat bertekanan rendah sekitar laryng dan tekanan
jalan nafas diatas sekat ini akan menyebabkan kebocoran gas
anestesi dari jalan nafas. Dengan lembut, ventilasi tangan akan
menyebabkan naiknya dinding dada tanpa adanya suara ribut pada
jalan nafas atau kebocoran udara yang dapat terdengar. Saturasi
Universitas Muhammadiyah Jakarta
oksigen harus stabil. Jika kantung reservoir tidak terisi ulang
kembali seperti normalnya, ini mengindikasikan adanya kebocoran
yang besar atau obstruksi jalan nafas yang partial, jika kedua hal
tadi terjadi maka CLMA harus dipindahkan dan di insersi ulang.

 Maintenance (Pemeliharaan)
Saat ventilasi kendali digunakan, puncak tekanan jalan nafas
pada orang dewasa sedang dan juga pada anak-anak biasanya tidak
lebih dari 10 -14 cmH2O. Tekanan diatas 20 cmH2O harus
dihindari karena tidak hanya menyebabkan kebocoran gas dari
cLMA tetapi juga melebihi tekanan sfingter esofagus. Pada
tekanan jalan nafas yang rendah, tekanan gas keluar lewat mulut,
tetapi pada tekanan yang lebih tinggi, gas akan masuk ke esofagus
dan lambung yang akan meningkatkan resiko regurgitasi dan
aspirasi.
Untuk anak kecil dan bayi, nafas spontan lewat cLMA untuk
periode yang lama kemungkinan tidak dianjurkan. cLMA
meningkatkan resistensi jalan nafas dan akses ke jalan nafas untuk
membersihkan sekret, tidak sebaik lewat tube trakea. Untungnya
ventilasi kendali pada grup ini sering lebih mudah sebagaimana
anak-anak secara umum mempunyai paru-paru dengan compliance
yang tinggi dan sekat jalan nafas dengan cLMA secara umum
sedikit lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan pada orang
dewasa.
Selama fase maintenance anestesi, cLMA biasanya
menyediakan jalan nafas yang bebas dan penyesuaian posisi jarang
diperlukan. Biasanya pergeseran dapat terjadi jika anestesi kurang
dalam atau pasien bergerak. Kantung reservoir sirkuit anestesi
harus tampak dan di monitoring dengan alarm yang tepat harus
digunakan selama tindakan anestesi untuk meyakinkan kejadian-
kejadian ini terdeteksi. Jika posisi pasien butuh untuk di ubah, akan
bijaksana untuk melepas jalan nafas selama pergerakan. Saat

Universitas Muhammadiyah Jakarta


pengembalian posisi telah dilakukan, sambungkan kembali ke
sirkuit anestesi dan periksa ulang jalan nafas.

 Tehnik Ekstubasi
Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai
pasien bangun dan mampu untuk membuka mulut sesuai perintah,
dimana reflex proteksi jalan nafas telah normal pulih kembali.
Melakukan penghisapan pada pharynx secara umum tidak
diperlukan dan malah dapat men-stimuli dan meningkatkan
komplikasi jalan nafas seperti laryngospasme.
Saat pasien dapat membuka mulut mereka, cLMA dapat
ditarik. Kebanyakan sekresi akan terjadi pada saat-saat ini dan
adanya sekresi tambahan atau darah dapat dihisap saat CLMA
ditarik jika pasien tidak dapat menelan sekret tersebut. Beberapa
kajian menyebutkan tingkat komplikasi akan lebih tinggi jika
cLMA ditarik saat sadar, dan beberapa saat ditarik "dalam”. Jika
cLMA ditarik dalam kondisi masih dalam”, perhatikan mengenai
obstruksi jalan nafas dan hipoksia. Jika ditarik dalam keadaan
sadar, bersiap untuk batuk dan terjadinya laryngospasme.

 Komplikasi Pemakaian LMA


CLMA tidak menyediakan perlindungan terhadap aspirasi paru
karena regurgitasi isi lambung dan juga tidak bijaksana untuk
menggunakan KOMA pada pasien-pasien yang punya resiko
meningkatnya regurgitasi, seperti: pasien yang tidak puasa,
emergensi, pada hernia hiatus simtomatik atau refluks gastro-
esofageal dan pada pasien obese.
Insidensi nyeri tenggorokan dengan menggunakan LMA sekitar
28 dimana insidensi ini mirip dengan kisaran yang pernah
dilaporkan yaitu antara 21,4 % - 30 % ( Wakeling et al ), 28,5 %
dan sampai 42 % Clasic LMA mempunyai insidensi kejadian batuk
dan komplikasi jalan nafas yang lebih kecil dibandingkan dengan

Universitas Muhammadiyah Jakarta


ET. Namun clasic LMA mempunyai kerugian. LMA jenis ini
hanya menyediakan sekat tekanan rendah rata-rata 18 – 20
cmH2O ) sehingga jika dilakukan ventilasi kendali pada paru, akan
menimbulkan masalah. Peningkatan tekanan pada jalan nafas akan
berhubungan dengan meningkatnya kebocoran gas dan inflasi
lambung. Lebih lanjut lagi, clasic LMA tidak memberikan
perlindungan pada kasus regurgitasi isi lambung. Proseal LMA
berhubungan dengan kurangnya stimulasi respirasi dibandingkan
ET selama situasi emergensi ventilasi kendali ; sekat pada ProSeal
LMA meningkat sampai dengan 50 % dibandingkan clasic LMA
sehingga memperbaiki ventilasi dengan mengurangi kebocoran
dari jalan pembiusan.
ProSeal LMA juga mempunyai keuntungan dibandingkan
clasic LMA selama nafas. Sebagai tambahan drain tube pada
ProSeal LMA akan meminimalisir inflasi lambung dan dapat
menjadi rute untuk regurgitasi isi lambung jika hal ini terjadi.
8. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif
bertujuan untuk :
a) Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang
selamaoperasi.
b) Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi :


a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga
seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml/kg BB /
jam. Setiap kenaikan suhu 1° Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-
15 %.
Universitas Muhammadiyah Jakarta
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
 Ringan : 4 ml/kgBB/jam.
 Sedang : 6 ml/kgBB/jam
 Berat : 8 ml/kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari


10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila
perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian
plasma/koloid / dextran.

c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

9. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang
pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan
demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi
dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi
umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula
diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas

Universitas Muhammadiyah Jakarta


pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage.

Tabel 1. Aldrete Scoring System

No. Kriteria Skor


1 Aktivitas  Mampu menggerakan empat 2
Motorik ekstremitas 1
 Mampu menggerakan dua ekstremitas 0
 Tidak mampu menggerakan ekstremitas
2 Respirasi  Mampu nafas dalam, batuk, dan tangis 2
 Sesak atau pernapasan terbatas 1
 Henti napas 0
3 Tekanan  Berubah sampai 20 % dari pra bedah 2
Darah  Berubah sampai 20-50% dari pra bedah 1
 Berubah sampai > 50% dari pra bedah 0
4 Kesadaran  Sadar baik dan orientasi baik 2
 Sadar setelah dipanggil 1
 Tak ada tanggapan terhadap rangsangan 0
5 Warna Kulit  Kemerahan 2
 Pucat agak suram 1
 Sianosis 0
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.


Ed.2. Cet. V. Jakarta: Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.2010.
2. Dobson MB. editor: Dharma A. Penuntun Praktis Anestesi.Jakarta:
EGC.2011
3. Dachlan, R., dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi
dan Terapi FK UI. Jakarta
4. Romundstad L, Breivik H, Roald H, Skolleborg K, Haugen T, Narum J, dkk.
Methylprednisolone reduces pain, emesis, and fatigue after breast
augmentation surgery: a single dose, randomized parallel group study with
methylprednisolone 125 mg, parecoxib 40 mg, and placebo. Anesth Analg.
2006; 102: 418-25
Universitas Muhammadiyah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai