Anda di halaman 1dari 18

REFRESHING

CEDERA KEPALA

Pembimbing :
dr. Wiwin Sundawiyani, Sp.S

Oleh :
Lucky Sendikamas H
2014730050

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SYARAF


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan disertai
atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan gangguan fungsi otak. Menurut Brain
Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter
mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup
untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-
pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.Sebagai
tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi
masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan
CT Scan kepala.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secaralangsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen. Menurut Brain Injury
Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,bukan bersifat
congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik.

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang
sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28%
lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan
rekreasi. Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit
Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan
CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-
50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.

Anatomi dan fisiologi


Anatomi
a. Kulit Kepala (SCALP)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapis jaringan yang disingkat sebagai SCALP yaitu:
1. Skin atau kulit, 2. Connective Tissue atau jaringan penyambung, 3. Aponeurosis
atau galea aponeurotika, 4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, 5.
Perikranium. Jaringan penunjang longgar memisahlan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah hematom subgaleal. Kulit
kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga jika terjadi luka kulit kepala
dapat menyebabkan kehilangan darah cukup banyak, terutama pada bayi dan anak.

b. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (calvaria) dan basis cranii. Khusus di
regio temporal kalvaria tipis tetapi dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii
berbentuk tidak rara sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Lantai dasar rongga tengkorak dibagi atas 3 fossa,
yaitu: fossa anterior tempat lobus frontalis, fossa media dan fossa posterior. Fossa
media merupakan tempat lobus temporalis,dan fossa posterior adalah ruang untuk
bagian bawah batang otak dan otak kecil (cerebelum).

c. Meningen (Selaput Otak)


Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan,
yaitu: duramater, arakknoid dan piamater. Duramater merupakan selaput yang
kuat, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam
kranium. Pasa beberapa tempat tertentu duramater membelah menjadi 2 lapis
membentuk sinus venosus besar yang mengalirkan darah vena otak. Diantara
duramater (epidural space) terdapat pembuluh darah yaitu A.Meninge media yang
berada pada fossa temporal. Trauma pada arteri meningea dapat menyebabkan
epidural hematoma.
Di bawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus
pandang yang disebut selaput arakhnoid, tidak melekat pada duramater sehingga
terdapat rongga subdural (subdural space). Pada cedera otak, vena bridging ynag
berjalan dari permukaan otak ke sinus duramater dapat mengalami robekan yang
menyebabkan terjadinya subdural hematoma.
Lapisan ketiga adalah piaamater yang melekat erat pada permukaan korteks
serebri. Cairan cerebrospinal mengisi rongga antara arachnoid yang kedap air
dengan piamater (arachnoid space), sebagai bantalan dari otak dan medulla
spinalis. Perdarahan pada rongga subarachnoid ini sering terlihat pada kontusio
jaringan otak ataupun cedera pembuluh darah di dasar otak.

d. Otak
Otak terdiri dari 3 bagian besar, yaitu cerebrum, batang otak dan cerebellum,.
Cerebrum dibagi menjadi hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falx
cerebri. Lobus frontal untuk mengatur fungsi eksekutif, emosi, motorik, dan motor
speech. Lobus parietal berfungsi untuk sensori dan orientas spatial. Lobus temporal
untuk regulasi memori. Lobus occipital bertanggng jawab untuk penglihatan.
Batang otal terdiri dari otak tengah (midbrain), pons dan medulla oblongata.
Midbrain dan otak bagian atas terdiri dari reticular activating system. Pusat
cardiorespiratory berada di medulla oblongata dan diteruskan hingga medulla
spinalis. Cerebellum berfungsi untuk koordinasi dan keseimbangan.

Fisiologi
Konsep fisiologi yang terjadi pada trauma otak terdiri dari tekanan intrakranil, doktrin
Monro-Kellie dan aliran darah otak. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dapat
menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. TIK normal pada
keadaan istirahat kira-kira 10 mmHg. TIK lebih tinggi dari 20 mmHg, terutama jika menetap
dan sulit diatasi memiliki prognosis yang buruk. Pada doktrin monro-kellie dengan konsep
utama bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, karena rongga kranium oada dasarnya
merupakan rongga yang kaku, tidak mungkin mekar, Darah didalam vena dan cairan
serebrospinal dapat dipindahkan dari rongga tengkorak, sehingga TIK tetap normal, sehingga
segera setelah cedera otak, suatu massa seperti perdarahan dapat terus bertambah dengan TIK
tetap normal. Namun, jika melampaui batas maka TIK akan meningkat dengan cepat.

Aliran darah otak (ADO) normal pada dewasa antara 50-55 mL per 100 gr jaringan
otak per menit, pada anak, ADO dapat lebih besar bergantung pada usianya dan akan turun
sperti ADO dewasa saat mencapai pertenahan atau akhir masa remaja.Vaskularisasi ke otak
normalnya dapat vasokonstriksi dan vasodilatasi bergantung pada perubahan mean arterial
blood pressure (MAP). Nilai MAP normal adalah 50-150 mmHg yang dipertahankan dengan
cara autoregulasi agar otak mendapat suplai darah. Pada keadaan trauma kepala, autoregulasi
dari MAP ini dapat terganggu dan menyebabkan aliran darah ke otak terganggu. Jika MAP
terlalu rendah, maka dapat terjadi iskemi dan infark jaringa otak. Jika terlalu tinggi dapat
menyebabkan edema cerebri. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pada pembuluh draah otak jua
dipengaruhi oleh akdar oksigen (PaO2) dan kadar karbondioksida (PaCO2) dalam darah.

Klasifikasi
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya
cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan
benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

2. Beratnya Cedera Kepala


Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya
secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total
sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid
dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal
atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai
koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak
dengan nilai GCS 9- 13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita
dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain
Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari Traumatic Brain
Injury yaitu :

Tabel 2.1. Klasifikasi Keparahan Traumatic Brain Injury


Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit
Amnesia post traumatik < 24 jam GCS =
13 – 15
Sedang Kehilangan kesadaran ≥ 20 menit dan ≤
36 jam Amnesia post traumatik ≥ 24 jam
dan ≤ 7 hari GCS = 9 - 12
Berat Kehilangan kesadaran > 36 jam Amnesia
post traumatik > 7 hari GCS = 3 – 8

3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone
window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan
lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara
laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya
fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan
yang terjadi cukup berat Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang
tengkorak sebagai berikut;
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed

2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :


a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )
yang sering terjadi adalah fraktur depresi pada bagian temporal yang
berhubungan dengan terjadinya cedera juga pada otak dan pembuluh darah.

b. Basis cranii ( dasar tengkorak )


fraktur pada basal tulang tengkorak dapat diidentifikasi dengan gejala
patognomonik yaitu adanya racoon’s eyes yang terjadi akibat rembesan
darah dari fossa anterior ke jaringan periorbital, battle signs yang merupakan
ekimosis pada mastoid dan adanya kebocoran cairan verebrospinal dari
hidung (rhinorrhea), telinga (otorrhea), disfungsi saraf kranialis VII dan VIII
yang dapat terjadi langsung atau beberapa hari kemudian.

3. Keadaan luka, dibedakan atas :


a. Terbuka
b. Tertutup

b. Lesi Intra Kranial


1. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi
yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran
dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang
berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang
berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada
beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau
gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini
dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma
otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis
menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi
klinisnya.

2. Perdarahan Epidural Hematoma


epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering
terletak di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh
robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.

3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural.
Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks
serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer
otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
dibandingkan perdarahan epidural.

4. Kontusio dan perdarahan intraserebral


Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan
lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak.
Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi
perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan operasi.

Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis


Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain:
1. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran,
yaitu : pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-
masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah
adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15. Menurut Japardi (2004), GCS bisa
digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi:
• GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat
• GCS 9 – 13 : cedera kepala sedang
• GCS > 13 : cedera kepala ringan

Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali
pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat
kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai
apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk

Tabel Glasgow Coma Scale


Eye Opening
Spontaneous Opens eyes on own E4
Speech Opens eyes when asked 3
to in a loud voice
Pain Opens eyes upon 2
pressure
Pain Does not open eyes 1
Best Motor Response
Commands Follows simple M6
commands
Pain Pulls examiner’s hand 5
away upon pressure
Pain Pulls a part of body away 4
upon pressure
Pain Flexes body 3
inappropriately to pain
(decorticate posturing)
Pain Body becomes rigid in an 2
extended position upon
pressure (decerebrate
posturing)
Pain Has no motor response 1
Verbal Response (Talking)
Speech Carries on a V5
conversation correctly
and tells examiner
where he/she is, who
he/she is and the month
and year
Speech Seems confused or 4
disoriented Talks so
examiner can
understand victim but
makes no sense
Speech Talks so examiner can 3
understand victim but
makes no sense
Speech Makes sounds that 2
examiner cannot
understand
Speech Makes no noise 1

2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah
abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan
terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya
bisa merupakan akibat dari cedera kepala.

3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer.
Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua
hasilnya harus dicatat
4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman
leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak
dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri,
pembengkakan, dan memar.

Glasgow Coma Scale sebagai Indikator Dini dalam Cedera Kepala


Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974).
Sejak itu GCS merupakan tolak ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya
cedera kepala. GCS seharusnya telah diperiksa pada penderita-penderita awal cedera
terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi. Derajat
kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup
dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam menentukan
prognosa. Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS. Penentuan skor GCS
sesudah resusitasi kardiopulmonal, dapat mengurangi nilai prediksi GCS. Pada
beberapa penderita, skor mata dan skor verbal sulit ditentukan pada mata yang
bengkak dan setelah tindakan intubasi endotrakeal. Skor motorik dapat menjadi
prediksi yang kuat; penderita dengan skor mototrik 1 ( bilateral flaksid ) mempunyai
mortalitas 90 %. Adanya skor motorik yang rendah pada awal cedera dan usia di atas
60 tahun merupakan kombinasi yang mematikan).
Penentuan skor awal GCS yang dapat dipercaya dan belum diberi pengobatan apapun
atau sebelum tindakan intubasi mempunyai nilai yang sangat penting.

Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis


a. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar
tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur
karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan.
X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada.
b. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam
memperkirakan prognosa cedera kepala berat. Suatu CT scan yang normal pada
waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan
dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih
baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan
abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan
yang relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi
peningkata TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita.Di
samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena
kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang
di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai
prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak
yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita
dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada
pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan
kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan
intrakranial terkontrol baik. Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance
Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti
merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD).
Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan
penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan
adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata
dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus
ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan
berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera
kepala ringan.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat.
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.

Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara
lain:
a.Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b.Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c.Penurunan tingkat kesadaran
d.Nyeri kepala sedang hingga berat
e.Intoksikasi alkohol atau obat
f.Fraktura tengkorak
g.Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h.Cedera penyerta yang jelas
i.Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan 
j. CT scan abnormal

Terapi medika mentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana
yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa
pemberian cairan intravena, hiperventilasi,pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat
dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan
operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuro
radiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:
a.volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
b.dari 20 cc di daerah infratentorial
c.kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
d.tanda fokal neurologis semakin berat
e.terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
f.pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
g.terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
h.terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
i.terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
j.terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)

Keseimbangan cairan dan elektrolit


Saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan
jumlah cairan 1500-2000 ml/hari parenteral, dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl
0,9% atau Ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa. Keseimbangan
cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, takikardi kembali normal dan volume urin ≥
30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dimulai,makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Bila terjadi
gangguan keseimbangan cairan elektrolit (pemberian diuretik, diabetes insipidus, SIADH),
pemasukan cairan harus disesuaikan. Pada keadaan ini perlu dipantau kadar elektrolit, gula
darah, ureum, kreatinin, dan osmolalitas darah.

Nutrisi
Kebutuhan energi rata-rata pada CKB meningkat rata-rata 40%, kebutuhan protein 1,5-2
g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, dan zinc 12 mg/hari
Selain infus, nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik:
- Hari ke-1: berikan glukosa 10% sebanyak 100ml/2jam

- Hari ke-2: berikan susu dengan dosis seperti glukosa

- Hari ke-3 dan seterusnya: makanan cair 2000-3000 kalori per hari disesuaikan dengan
keseimbangan elektrolit.1,7

Neuroproteksi
Adanya tenggang waktu antara terjadinya trauma dan timbulnya kerusakan jaringan saraf
memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektor
Obat-obat tersebut antara lain:
Antagonis kalsium atau nimodipin (terutama diberikan pada SAH), sitikolin, dan piracetam
12 gr/hari yang diberikan selama 7 hari.

Indikasi operasi penderita cedera kepala


1. EDH (epidural hematoma):
a. > 40cc dengan midline shifting pada daerah temporal/frontal/parietal dengan fungsi
batang otak masih baik.
b. >30cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang otak atau
hidrosefalus denagn fungsi batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak
masih baik
c. EDH progresif
d. EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi

2. SDH (subdural hematoma)


a. SDH luas (>40cc/>5mm)dengan GCS >6, fungsi batang otak masih baik
b. SDH tipis dengan penurunan kesadran bukan indikasi operasi.
c. SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai midline shift dengan fungsi batang
otak masih baik

3. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma


a. Penurunan kesadaran progresif
b. Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (cushing reflex)
c. Perburukan defisit neurologi fokal
4. Fraktur impresi melebihi 1 diploe
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri
6. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial)
7. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangkan operasi
dekompensasi

Prognosis Cedera Kepala


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial Collaborators
(2008), Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan
terdapatnya cedera ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya prognosis. Skor
Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu hubungan linier yang jelas terhadap mortalitas
pasien. Adapun ditemukannya angka mortalitas yang lebih rendah pada GCS 3
dibandingkan dengan GCS 4 mungkin disebabkan skor pasien yang di sedasi dianggap
sebagai 3.
DAFTAR PUSTAKA

1. American college of Surgeons, 1997. Advance Trauma Life Suport . United States
of America: Firs Impression
2. Haryo W et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah.Yogyakarta: PustakaCendekia
Press of Yogyakarta
3. David B. 2009. Head Injury.www.e-medicine.com 
4. Boies adam. 2002. Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6. Jakarta: EGC.
5. Hafid A. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua. Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC
6. Ghazali Malueka. 2007. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
7. Japardi iskandar. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif .
SumatraUtara: USU Press.

Anda mungkin juga menyukai