Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

ILMU PENYAKIT DALAM

ACUTE KIDNEY INJURY

Pembimbing :

DR. dr.Gunawan Widodo, Sp.PD, FINASIM

Penyusun :

Hafizh Yoanta Utama 20190420092

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM

RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

2019

1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

ACUTE KIDNEY INJURY

Referat dengan judul “Acute Kidney Injury” telah diperiksa dan disetujui sebagai
salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di
bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSU Haji Surabaya.

Surabaya, 17 Desember 2019

Pembimbing

DR. dr.Gunawan Widodo, Sp.PD, FINASIM

2
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN …………………………………………………………………... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………………… 2

2.1. Definisi ………………………………………………………………………………….. 2

2.2. Epidemiologi ……………………………………………………………………………. 4

2.3. Patogenesis dan Etiologi ……………………………………………………………... 5

2.3.1. Patogenesis dan Etiologi AKI Prerenal …………………………………………. 5

2.3.2. Patogenesis dan Etiologi AKI Intrinsik ………………………………………….... 6

2.3.3. Patogenesis dan Etiologi AKI Postrenal …………………………………………. 11

2.4. Diagnosis ……………………………………………………………………………… 12

2.4.1 Pemeriksaan Penunjang ………………………………………………………… 15

2.5. Komplikasi …………………………………………………………………………… 17

2.6. Penatalaksanaan …………………………………………………………………….. 18

BAB 3 KESIMPULAN ……………………………………………………………………… 23

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………….. 24

3
BAB 1

PENDAHULUAN

Gangguan ginjal akut adalah suatu kondisi klinis yang spesifik dengan
manifestasi yang sangat bervariasi, mulai dari ringan tanpa gejala, hingga yang sangat
berat dengan disertai gagal organ multipel.

Definisi gangguan ginjal akut yang selama ini kita kenal dalam kepustakaan
barat sebagai "Acute Renal Failure (ARF)" diubah menjadi “Acute Kidney Injury (AKI)"
pada bulan April 2011, draft untuk Panduan Gangguan Ginjal Akut pertama kali
diajukan oleh Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) Amerika Serikat,
yang antara lain berisi konsep baru, definisi dan kriteria diagnosis AKI untuk melengkapi
kriteria RIFLE dari Acute Dialysis Quality Inisiative-ADQI dan kriteria Acute Kidney
Injury Network-AKIN.1

Perubahan ini bukan sekedar penggantian nama atau stilah tetapi benar-benar
perubahan konsep secara mendasar. Pada saat digunakan definisi "acute renal failure"
(gagal ginjal akut), walaupun menggunakan istilah failure (gagal), tetapi nomenklatur ini
mencakup semua tahapan kelainan ginjal tanpa mencerminkan berat kondisi klinis
pasien. Dengan menggunakan istilah injury (gangguan) maka nomenklatur ini
menggambarkan tahapan gangguan ginjal, dari yang paling ringan sampai gagal ginjal
tahap akhir.1

Angka kematian dari AKI berkisar antara 25 sampai dengan 80 persen


tergantung penyebab dan keadaan klinis dari pasien. Dilaporkan, bahwa angka
kematian akibat gagal ginjal akut di Amerika Serikat berkisar antara 20-90%., dimana
yang terjadi di rumah sakit sebesar 40-50% dan di ICU sebesar 70-89%. Maka dari itu,
pengenalan dan diagnosis AKI dini serta penanganan yang baik perlu dilakukan untuk
menghindari dan menurunkan angka kejadian dan kematian akibat AKI. 2

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Secara tradisional, definisi gagal ginjal akut, adalah penurunan fungsi ginjal yang
terjadi mendadak, dalam beberapa jam sampai beberapa minggu, diikuti oleh
kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen dengan atau tanpa
disertai terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. 1

AKI adalah penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan
kadar kreatinin serum ≥ 0,3 mg/dl, presentasi kenaikan kreatinin serum ≥ 50% (1,5 x
kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat ≤ 0,5
ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam.3

Definisi diagnosis AKI harus cukup sensitif untuk mendeteksi gangguan ginjal
tahap dini dan cukup spesifik untuk menentukan prognosis pasien (outcome), sehingga
definisi AKI harus disertai tahapan-tahapan (kriteria) diagnosis. Kelompok ADQI
mengajukan suatu kriteria dengan memperhitungkan berbagai faktor yang
mempengaruhi perjalanan penyakit AKI, yang disebut kriteria RIFLE (Risk- Injury-
Failure- Loss- End- stage renal failure) (Tabel 2.1). Kriteria ini pertama kali
dipresentasikan pada International Conference on Continous Renal Replacement
Therapies, di San Diego pada tahun 2003, yang kemudian secara luas digunakan baik
untuk melakukan peneitian maupun menetapkan diagnosis dan prognosis pasien. 1

Tabel 2.1. Kriteria RIFLE Menurut ADQI4

Kriteria LFG Kriteria Urine Output (UO)


Risk Kenaikan SCr 1,5 × UO < 0,5 ml/kg/jam
atau penurunan LFG > 25% (selama 6 jam)
Injury Kenaikan SCr 2 × UO < 0,5 ml/kg/jam
atau penurunan LFG > 50% (selama 12 jam)
Failure
Kenaikan SCr 3 × UO < 0,3 ml/kg/jam
atau penurunan LFG > 75% (selama 24 jam)
atau SCr ≥ 4 mg/dL atau anuria dalam 12 jam
Loss Gagal ginjal akut menetap (Loss =
hilangnya fungsi ginjal >4 minggu)
ESRF End Stage Renal Failure (Gagal Ginjal

5
Terminal) >3 bulan

Kemudian ada upaya dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk
mempertajam kriteria RIFLE sehingga pasien AKI dapat dikenali lebih awal. Klasifikasi
ini lebih sederhana dan memakai batasan waktu 48 jam (Tabel 2.2). 3

Tabel 2.2. Kriteria AKI Menurut AKIN1

Tahap Kriteria Klinis Kriteria Jumlah Urine


1 (RIFLE – Peningkatan kreatinin serum ≥ 0,3 < 0,5 ml/kgBB selama > 6 jam
R) mg/dL dalam 48 jam atau
peningkatan kreatinin serum 1,5 – 1,9
kali dari kadar kreatinin referensi
2 (RIFLE – I) Peningkatan kreatinin serum 2 – 2,9 kali < 0,5 ml/kgBB selama > 12 jam
dari kadar kreatinin referensi
3 (RIFLE – Peningkatan kreatinin serum 3 kali < 0,3 mL/kgBB selama > 24 jam atau
F) kadar kreatinin sebelumnya atau anuria selama 12 jam
kreatinin serum ≥ 4 mg/dL dengan
peningkatan akut > 0,5 mg/dL

Catatan: Kadar kreatinin referensi adalah kadar serum kreatinin ɔasien terendah
dalam 3 bulan terakhir. Seandainya nilai ini tidak diketahui, maka lakukan pemeriksaan
ulang serum kreatinin dalam 24 jam (kadar serum kreatinin yang pertama dijadikan
kadar referensi).1

Kriteria AKI menurut AKIN sebenarnya tidak berbeda dengan kriteria RIFLE.
Kriteria RIFLE R, I, dan F sama dengan kriteria AKIN pada tahap l, 2 dan 3. Pada
kriteria menurut AKIN, kriteria L dan E dihilangkan karena dianggap sebagai prognosis,
bukan tahapan penyakit. Selain itu, perubahan pada kriteria laju filtrasi glomerulus
(LFG) dilakukan berdasarkan penelitian terbaru bahwa kenaikan serum kreatinin
sebesar 0,3 mg/dl sudah meningkatkan angka kematian 4 kali lebih banyak, serta
sulitnya penggunaan LFG sebagai parameter penurunan fungsi ginjal, terutama jika
pasien berada dalam keadaan kritis atau dirawat di ruang intensif. 4
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat kita menggunakan kriteria
tersebut, yaitu :4
 Tidak ada perbedaan dalam umur dan jenis kelamin
 Dilakukan pemeriksaan kadar kreatinin serum paling sedikit 2 kali dalam 48 jam

6
 Dalam menentukan urine output, hidrasi pasien harus dalam keadaan normal
dan tidak ada obstruksi pada saluran kemih
 Diagnosis AKI harus dilengkapi dengan tahapan penyakit sesuai kriteria RIFLE
atau kriteria AKIN.
 Perlu dibedakan antara diagnosis AKI, penyakit ginjal kronis, atau perburukan
fungsi ginjal pada chronic kidney disease (acute on CKD).

2.2. Epidemiologi

Data epidemiologi mengenai AKI sulit ditemukan, antara lain dikarenakan tidak
adanya keseragaman mengenai definisi dan variasi gejala klinik yang luas sehingga
sulit untuk membuat review kepusatakaan atau meta analisis. Dengan digunakannya
kriteria RIFLE sebagai dasar diagnosis, ternyata ditemukan angka kejadiannya jauh
meningkat. Angka kejadian AKI dapat dikelompokkan menjadi yang terjadi di populasi
umum (community based) dan yang terjadi di rumah sakit (hospital based). 5

Di negara berkembang, insidens AKI pada populasi umum jarang dilaporkan,


karena tidak semua pasien dirujuk kerumah sakit. Gangguan ginjal akut yang ringan
dapat sembuh sendiri diluar rumah sakit sedang AKI yang berat seringkali tidak
mencapai rumah sakit karena masalah geografis atau ekonomi. Wang, dkk. di Cina
melaporkan angka kejadian AKI sebesar 0,54/1000 pasien yang dirawat, sedangkan
Kohl, dkk. di India melaporkan 6,6/1000 pasien yang dirawat. Angka AKI yang terjadi di
populasi umum mungkin masih jauh lebih besar. 1

Di negara maju, angka kejadian AKI di rumah sakit jauh lebih tinggi dibandingkan
negara berkembang, dan umumnya terjadi pada usia lanjut atau pasca operasi jantung.
Sedangkan di Negara berkembang, AKI lebih banyak terjadi pada usia muda atau anak-
anak, dengan etiologi dehidrasi, infeksi, toksik atau kasus-kasus obstetri. Meta-analisis
yang dilakukan oleh Needham (2005) menunjukkan angka kejadian AKI di intensive
care unit (ICU) adalah 1-5% dari seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit dan angka
kematiannya mencapai 50-70%. Sedangkan metaanalisis yang dilakukan Lamier
dengan menggunakan kriteria RIFLE menunjukkan angka kejadian AKI di ICU
bervariasi antara 5-67% dari seluruh pasien yang dirawat dirumah sakit. 1

7
2.3. Patogenesis dan Etiologi

Patogenesis AKI merupakan kejadian yang sangat kompleks dan bervariasi serta
tergantung dari etiologinya. Berdasarkan penyebabnya, AKI terbagi menjadi 3 klasifikasi
yaitu: pre-renal, intrinsik dan post-renal.1

2.3.1. Patogenesis dan Etiologi AKI Prerenal

Gangguan ginjal akut pre-renal menggambarkan reaksi ginjal akibat kekurangan


cairan. Pada keadaan ini, fungsi ginjal sebelumnya adalah normal. Berkurangnya
perfusi ginjal dan volume efektif arterial akan menstimulasi aktivitas sistem saraf
simpatis dan renin-angiotensin-aldosteron. Stimulasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron akan mengakibatkan peningkatan kadar angiotensin II yang akan
menimbulkan vasokonstriksi arteriol efferent glomerulus ginjal (post-glomerulus).
Angiotensin II juga berperan pada arteriol afferent glomerulus ginjal (pre-glomerulus)
tetapi efeknya akan meningkatkan hormon vasodilator prostaglandin sebagai upaya
kontra-regulasi. Vasokonstriksi pada post-glomerulus dilakukan untuk mempertahankan
tekanan kapiler intra-gomerulus serta laju filtrasi glomerulus (LFG) agar tetap normal.
Beberapa faktor gangguan hemodinamik yang akan meningkatkan kadar angiotensin II,
akan merangsang pula sistim saraf simpatis sehingga terjadi reabsorbsi air dan garam
di tubulus proksimal ginjal. Pada keadaan tersebut terjadi perangsangan sekresi dari
hormon aldosteron dan vasopresin (hormon antidiuretik) sehingga mengakibatkan
peningkatan reabsorbsi natrium, urea dan air pada segmen distal nefron. 1

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebagai respons fisiologis terhadap
gangguan hipoperfusi ginjal yang ringan, maka untuk mempertahankan LFG terjadi
retensi urine dan natrium sehingga urine menjadi pekat dengan kadar natrium yang
rendah.1

Profil urine klasik pada pasien dengan azotemia prerenal adalah: kadar natrium
dalam urine rendah (<20 meq/L), ekskresi fraksional Natrium rendah (<1), ekskresi
fraksional urea rendah (<35%) dan osmolalitas urin tinggi. Mekanisme autoregulasi
diatas dapat terganggu atau tidak dapat lagi dipertahankan apabila pasien AKI prerenal
mengalami gangguan hipoperfusi ginjal yang berat atau berlangsung lama. 1

8
Etiologi pre-renal dapat terjadi pada AKI diluar rumah sakit (community-acquired)
atau didalam rumah sakit (hospital-acquired). Angka kejadian etiologi pre-renal
mencapai 70% dari seluruh AKI yang terjadi diluar rumah sakit dan 40% dan yang
terjadi didalam rumah sakit. Berbagai etiologi yang dapat menyebabkan AKI pre-renal
dapat dilihat pada tabel 2.3.1

Tabel 2.3. Etiologi AKI Pre Renal

2.3.2. Patogenesis dan Etiologi AKI Intrinsik

9
Penyebab utama AKI intrinsik adalah nekrosis tubular akut (TNA). Penyebab
kerusakan ginjal pada TNA dapat dibagi menjadi dua yaitu: proses iskemik dan proses
nefrotoksik. Walaupun demikian, TNA umumunya diakibatkan oleh etiologi multifaktorial
yang biasanya terjadi pada keadaan penyakit akut dengan sepsis, hipotensi, atau
penggunaan obat-obatan yang nefrotoksik. 1

Respon ginjal terhadap hipoperfusi umumnya berakhir dalam dua keadaan,


yaitu: azotemia prerenal atau gangguan iskemik. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa
pada azotemia prerenal, hipoperfusi akan mengganggu fungsi ginjal saja dan dapat
kembali normal (reversibel) bila hipoperfusinya diatasi. Apabila hipoperfusi bertambah
berat atau berkelanjutan, maka akan terjadi kerusakan pada sel-sel tubulus disertai
gangguan fungsi ginjal. Kerusakan yang terjadi ditandai dengan ditemukannya sel-sel
epitel tubulus yang mati (nekrosis) dan apoptosis. Gangguan iskemik reperfusi tersebut
ternyata tidak saja terjadi pada epitel tubulus, tetapi juga pada endotel pembuluh darah
serta terjadi pula aktivasi dari sel-sel inflamasi serta mediator-mediator humoral. 1

Patogenesis TNA iskemik terjadi dalam beberapa tahapan. Tahap awal adalah
tahap prerenal, diikuti dengan keadaan yang lebih menonjol akibat hipotensi
berkepanjangan serta iskemik ginjal, yang disebut tahap inisiasi (initiation). Tahap
inisiasi ditandai oleh kerusakan sel-sel epitel dan endotel, yang selanjutnya akan diikuti
oleh tahap ekstensi (extension). Pada tahap ekstensi ini bukan hanya terjadi gangguan
iskemia saja, tetapi juga kerusakan endotel mikrovaskular dan aktivasi jalur-jalur
inflamasi. Kemudian tahap ekstensi akan diikuti oleh "tahap pemeliharaan"
(maintanance) yang ditandai adanya perbaikan dan diferensiasi ulang (redifferentiation)
dari sel- sel epitel dan endotel sehingga terjadi perbaikan fungsi ginjal atau "fase
perbaikan" (recovery). Tahap-tahap seperti tersebut diatas dikemukakan dengan jelas
oleh Sutton dkk seperti terlihat pada gambar 2.1. 1

10
Gambar 2.1. Tahapan TNA Iskemik

Perubahan histopatologis yang terjadi pada TNA setelah terjadinya iskemik


ditingkat sel adalah sebagai berikut: Pada tahap pertama terjadi peregangan dan
hilangnya "brush border" tubulus proksimal disertai penurunan polaritas sel. Bila
gangguan ginjal diperbaiki pada tahap ini akan terjadi penyembuhan sempurna, namun
bila tidak maka akan berlanjut pada tahap ekstensi. Pada tahap ini terjadi aptosis dan
nekrosis sel, deskuamasi yang mengakibatkan sumbatan luminar dan respon inflamasi.
Kehilangan sel-sel tubulus secara tidak merata tersebut disertai penggundulan dari
membrana basalis, dilatasi dari tubulus proksimal, dan diikuti oleh pembentukan "cast"
dari serpihan-serpihan sel yang rusak dan akhirnya akan diikuti kembali oleh regenerasi
dari sel pada saat tahap perbaikan (recovery). Tahapan kerusakan histopatologis
dikemukakan oleh Devarajan P seperti terlihat pada gambar 2.2. 1

11
Gambar 2.2. Tahapan Kerusakan Histopatologis

Mekanisme lain yang diduga menjadi penyebab penurunan LFG pada TNA
antara lain: vasokonstriksi yang dimediasi secara langsung oleh kerusakan endotel dan
secara tidak langsung akibat "tubuloglomerular feedback", mekanisme ini akan
berakibat langsung terhadap penurunan LFG. Selain itu , akibat dari mengendapnya
sel-sel epitel tubulus yang rusak serta membrana basalis yang menjadi gundul akan
terbentuk "cast" intralumen tubulus sehingga menimbulkan obstruksi. Membrana
basalis yang gundul tersebut akan pula menimbulkan kembalinya filtrat glomerulus ke
dalam jaringan mikrovaskuler (back-leak). 1

Etiologi intrinsik (renal) disebabkan oleh semua gangguan yang terjadi didalam
ginjal, baik di tubuli ginjal, parenkim (interstisial), glomeruli, maupun pembuluh darah
(vaskular) seperti yang tercantum pada table 2.4. Etiologi renal biasanya terjadi didalam
rumah sakit (hospital-acquired) atau terjadi sebagai kelanjutan AKI pre-renal
(hipoperfusi) yang terjadi diluar rumah sakit dan tidak dikelola dengan baik sehingga
berlanjut menjadi TNA.1

12
Etiologi TNA paling sering disebabkan oleh sepsis (50%), obat-obat yang bersifat
nefrotoksik (35%) dan keadaan iskemia (15%) (TNA iskemik). Gangguan ginjal akut
pre-renal dengan etiologi hipoperfusi, bila tidak ditangani dengan baik dapat berlanjut
menjadi TNA iskemik. Demikan juga AKI pre-renal pasca bedah yang biasanya
disebabkan oleh keadaan iskemia atau syok perioperatif, bila tidak dikelola dengan baik
dapat berlanjut menjadi TNA. Beberapa faktor dapat menjadi predisposisi AKI seperti:
hipertensi, gangguan jantung, gangguan hati, diabetes melitus, usia lanjut, atau
penyakit vascular perifer.1

13
Tabel 2.4. Etiologi AKI Renal

2.3.3. Patogenesis dan Etiologi AKI Postrenal

Gangguan ginjal akut post-renal terjadi akibat sumbatan dari sistem traktus
urogenitalis. Sumbatan dapat terjadi pada tingkat buli-buli dan uretra atau disebut juga
sumbatan tingkat bawah, atau terjadi pada ureter dan pelvis ginjal yang disebut dengan
sumbatan tingkat atas. Apabila terjadi pada tingkat atas, maka sumbatannya harus
bilateral atau terjadi pada hanya 1 buah ginjal yang berfungsi dimana ginjal satunya
sudah tak berfungsi. Pada anak-anak, sumbatan tingkat atas umumnya diakibatkan
oleh striktur ureter kongenital, atau striktur katup ureter. Pada wanita dewasa,
sumbatan tingkat atas umumnya disebabkan oleh keganasan di daerah retroperitoneal
atau pada panggul, sedangkan pada laki-laki biasanya diakibatkan oleh pembesaran
atau keganasan prostat. Sumbatan dapat bersifat total dan disertai anuria, atau parsial
yang biasanya tidak memiliki manifestasi klinik. Pemeriksaan pencitraan yang spesifik
diperlukan untuk mengevaluasi keadaan-keadaan tersebut di atas. 1

Gangguan ginjal akut post-renal terjadi akibat obstruksi pada saluran air kemih
apapun etiologinya. Obstruksi dapat terjadi di bawah kandung kemih (uretra) atau pada
kedua ureter yang akan menghambat aliran urine. 1

Tabel 2.5. Etiologi AKI Post Renal

14
2.4. Diagnosis

Diagnosis klinik AKI dapat ditegakkan dengan cepat tanpa membutuhkan alat
canggih dan mahal seperti CT-Scan atau MRI, tetapi membutuhkan daya analisis yang
kuat dan pengetahuan patofisiologi yang memadai dalam mengevaluasi data-data yang
ada. Untuk itu, akan disajikan suatu algoritma yang komprehensif berdasarkan
pengalaman klinis dan didukung oleh data-data penelitian, yang diharapkan dapat
membantu menegakkan diagnosis secara dini dan tepat seperti terlihat pada gambar
2.3.

Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) pada tahun 2011


menerbitkan panduan untuk AKI dengan tujuan menjembatani hal-hal yang belum dapat
disepakati oleh ADQI maupun AKIN. Kriteria diagnosis AKI versi KDIGO sebenarnya
hampir sama dengan kriteria diagnosis AKIN. Kesulitan penggunaan paduan ADQI
maupun AKIN adalah menentukan kadar kreatinin dasar (referensi). Seringkali pasien
masuk tanpa mengetahui berapa kadar kreatinin darah sebelumnya., terutama untuk
AKI yang tidak dirawat di rumah sakit. Untuk itu, KDIGO memberikan definisi kadar
kreatinin darah referensi adalah sebagai berikut:

Kadar kreatinin darah terendah dalam 3 bulan terakhir, atau kadar kreatinin saat
awal masuk perawatan. Untuk mengetahui peningkatan kreatinin, maka dilakukan
pemeriksaan kreatinin ulang setelah 24 jam perawatan.

15
Gambar 2.3. Algoritme Diagnosa AKI

Kriteria diagnosis AKI menurut KDIGO1

Peningkatan kadar kreatinin serum sebesar 2 0,3 mg/dl (2 26,4 µmol/l), atau

Peningkatan kadar kreatinin serum 2 1,5 kali (> 50%) bila dibandingkan dengan kadar
referensi yang diketahui dan diduga terjadi peningkatannya dalam 1 minggu, atau

Penurunan produksi urin menjadi kurang dari 0,5 cc/jam selama lebih dari 6 jam

Anamnesa dan pemeriksaan fisik AKI berdasarkan etiologinya dapat dilihat pada
tabel 2.6., 2.7., 2.8.:1

16
Tabel 2.6. Diagnosis Klinis AKI Pre Renal

17
Tabel 2.7. Diagnosis Klinis AKI Renal

Tabel 2.8. Diagnosis Klinis AKI Post Renal

2.4.1 Pemeriksaan Penunjang

Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang diagnostik yang mahal dan canggih


untuk menegakkan diagnosis AKI. Pemeriksaan penunjang umumnya dilakukan untuk
menegakkan etiologi AKI. Pemeriksaan yang sampai saat ini masih sering dilakukan
adalah :

18
1. Pemeriksaan Biokimia Darah

Saat ini yang digunakan sebagai penanda biologis (biomarker) diagnosis adalah
kadar kreatinin serum atau Urea-N, padahal kedua parameter diagnosis ini sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya. Laju filtrasi glomerulus sulit dilakukan pada
penderita dalam keadaan kritis, yang dapat dilakukan adalah menghitung perkiraan
LFG (estimated glomerular filtration rate - EGFR) berdasarkan kadar kreatinin serum
dengan menggunakan rumus MDRD (Modification of Diet in Renal Disease Study).
Kondisi ini mungkin yang menyebabkan pengelolaan AKI tidak mencapai hasil yang
memuaskan, karena terlambat diagnosis dan pengelolaannya. 1

Sampai saat ini belum ada penanda biologis yang ideal untuk AKI, yang dapat
membantu para klinisi menegakkan diagnosis secara cepat (dini) dengan sensitifitas
dan spesifitas yang tinggi. Dengan menegakkan diagnosis dini diharapkan terapi dapat
dilakukan lebih cepat sehingga angka kematian AKI yang saat ini masih tinggi dapat
diturunkan. Menurut American Society of Nephrology (2005) untuk mencapai tujuan
tersebut diatas mungkin diperlukan lebih dari satu penanda biologi yang tergabung
dalam satu panel (set), sebagaimana layaknya penanda biologis untuk infark miokard.
Spesimen untuk pemeriksaan penanda biologis AKI dapat berasal dari urin atau darah.
Sejak 7 tahun yang lalu telah dilaporkan lebih dari 20 penanda biologis untuk AKI, yang
masing- masing mempunyai kekhususan dalam sensitifitas dan spesifitas dalam
menegakkan diagnosis dini, menetapkan AKI yang sudah menetap, dan menentukan
prognosis. Penanda biologis tersebut masih dalam tahap penelitian, dan berdasarkan
jenisnya dapat diklasifikasikan seperti pada tabel 2.9. 1

Tabel 2.9. Penanda Biologis Diagnosis AKI

2. Pemeriksaan Urin

Produksi urin per satuan waktu adalah cara menegakkan diagnosis menurut kriteria
RIFLE. Pemeriksaan urin analisis membantu dalam beberapa hal, walaupun sangat
tidak sensitif. Beberapa parameter yang sering digunakan adalah osmolalitas, fraksi
ekskresi Natrium (FENa), dan pemeriksaan sedimen.1

Untuk menghitung FENa menggunakan rumus:

19
(Kadar Na Urin x Kadar kreatinin serum)
FENa = x 100
Kadar Na serum x Kadar kreatininurin

Pasien dengan oliguria, pengukuran FENa dapat membantu untuk membedakan pre-
renal dengan AKI renal yang menyebabkan AKI. FENa dapat dijelaskan dengan hasil
sebagai berikut: Nilai kurang dari 1 persen menunjukkan AKI akibat pre-renal, dimana
FENa > 2% menunjukkan AKI akibat gangguan renal. Pada pasien yang menjalani terapi
diuretik, FENa > 1% dapat disebabkan oleh proses natriuresis yang disebabkan oleh
diuretik, sehingga kurang dapat diandalakn sebagai AKI akibat pre-renal. FENa kurang
dari 1 persen tidak spesifik untuk AKI pre-renal karena hasil tersebut dapat disebabkan
oleh kondisi lainnya, seperti contrast nephropathy, rhabdomyolisis, acute
glomerulonephritis, dan infeksi saluran kemih.2

2.5. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada AKI dan memerlukan pengelolaan segera adalah: 1

1. Gangguan keseimbangan cairan tubuh

Pada keadaan normal terjadi keseimbangan pengaturan cairan tubuh dan


elektrolit (terutama natrium) sehingga tekanan osmotik plasma stabil dengan
kadar normal natrium sekitar 135-145 meq/liter. Pada AKI, akibat hipoperfusi
ataupun mekanisme lain akan terjadi oligouri atau anuri sehingga keseimbangan
ini terganggu. Terjadinya retensi cairan akan mengakibatkan kelebihan cairan
intravaskular (volume overload) dan disnatremi. Manifestasi kliniknya dapat
berupa peningkatan tekanan vena jugular, hipertensi ringan, edema perifer atau
edema paru.

2. Gangguan keseimbangan elektrolit

Akibat retensi air atau asupan cairan yang hipotonis dapat terjadi hiponatremia
(dilusional). Pada hiponatremia yang berat dapat terjadi edema serebral dengan
gejala kejang atau gangguan neurologis lain. Dalam keadaan normal, kadar K
lebih tinggi di intraselular dibanding dengan ekstraselular. Hiperkalemia dapat
terjadi akibat peningkatan kadar kalium total atau terhambatnya translokasi
kalium dari ekstraselular ke intraselular. Hiperkalemia berat dapat menimbulkan
gangguan neurologis, gagal Napas atau henti jantung (cardiac arrest).

20
3. Asidosis metabolik

Ginjal memegang peranan penting dalam pengaturan kesimbangan asam basa.


Pada AKI terjadi penurunan LFG secara mendadak yang mengakibatkan
terjadinya penimbunan anion organik. Akibat gangguan reabsorbsi dan
regenerasi, produksi bikarbonat menurun. Kedua mekanisme ini akan
menimbulkan komplikasi metabolik asidosis pada penderita AKI.

4. Gagal Jantung

Akibat kelebihan cairan intravaskular dapat terjadi edema perifer, asites atau
efusi pleura. Biła fungsi jantung memburuk akan terjadi gagal jantung akut
dengan edema paru yang dapat disertai hipertensi pada sindrom kardio-renal
atau hipotensi pada syok kardiogenik.

5. Gagal napas

Gagal napas sering terjadi pada AKI dan mekanismenya belum jelas. Beberapa
hal yang dapat menjadi penyebab gagal napas pada AKI adalah: kelebihan
cairan intravaskular (edema kardiogenik), disfungsi ventrikel kiri (edema
kardiogenik), peningkatan permeabilitas kapiler paru (Acute Respiratory Distress
Syndrome - ARDS), gangguan paru akut (acute lung injury)

6. Azotemia

Peningkatan toksin uremik (azotemia) pada AKI menimbulkan berbagai kelainan,


antara lain gangguan saluran pencernaan (anoreksia, mual, muntah), gangguan
kesadaran dengan derajat ringan sampai koma, perikarditis, efusi perikard,
tamponade kardiak, dan berbagai kelainan lain yang dapat mengancam jiwa.
Semua komplikasi diatas terjadi akibat kegagalan fungsi ekskresi maupun
endokrin ginjal, dan umumnya terjadi pada penderita dengan penyakit gawat
darurat atau gagal organ multipel. Bila tidak dikelola dengan baik, komplikasi-
komplikasi tersebut seringkali menimbulkan kematian.

2.6. Penatalaksanaan

Walaupun telah menggunakan kriteria RIFLE untuk menegakkan diagnosis AKI


dan ditemukannya teknik mutakhir terapi pengganti ginjal (TPG) seperti continuous
replacement renal therapy (CRRT) dan dialisis hibrid, ternyata dalam kurun waktu 40
tahun terakhir angka kematian AKI tidak menurun secara bermakna. Hal ini mungkin
diakibatkan oleh berbagai faktor, antara lain :

21
a. Terlambat menegakkan diagnosis AKI karena tidak mengenal kondisi klinik yang
dihadap

b. Tidak mengenal tahapan AKI (Injury, Risk atau Failure)

c. Tidak tepatnya pilihan pengobatan (tidak sesuai dengan tahapan AKI)

Oleh karena itu agar pengelolaan AKI mencapai hasil yang diharapkan harus
memperhatikan berbagai faktor, dengan algoritme sebagai berikut:

Langkah 1
Mengenal kondisi klinis yang dihadapi
- Menentukan diagnosis AKI secara dini dan benar
- Menentukan etiologi AKI
- Mengenal komplikasi AKI
(komplikasi penyakit etiologi maupun komplikasi AKI)
Langkah 2
Pada tahap mana AKI yang dihadapi? Risk - injury – failure
Pemilihan jenis pengobatan yang tepat waktu, sangat tergantung pada tahap masa AKI
yang kita hadapi
Langkah 3
Memilih jenis pengobatan yang tepat
Secara garis besar ada 2 jenis pengobatan AKI yaitu terapi konservatif (suportif) dan
terapi pengganti ginjal (TPG)

Ada 2 jenis pengobatan dalam pengelolaan terhadap komplikasi AKI, yaitu:

1. Terapi konservatif (suportif)

2. Terapi pengganti ginjal (TPG)

Yang dimaksud dengan terapi konservatif (suportif) adalah penggunaan obat-


obatan atau cairan dengan tujuan mencegah atau mengurangi progresifitas, morbiditas
dan mortalitas penyakit akibat komplikasi AKI. Bila terapi konservatif tidak berhasil,
maka harus diputuskan untuk melakukan TPG.

Tujuan terapi konservatif pada AKI adalah sebagai berikut:

- Mencegah progresifitas penurunan fungsi ginjal

- Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia

- Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal

- Memelihara keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa

22
Beberapa prinsip terapi konservatif:

- Hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik

- Hindari keadaan yang menyababkan deplesi volume cairan ekstraselular dan


hipotensi

- Hindari gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis metabolik

- Hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi medis yang


kuat

- Hindari pemeriksaan radiologi dengan media kontras tanpa indikasi medis


yang kuat

- Kendalikan hipertensi sistemik dan tekanan intraglomerular

- Kendalikan keadaan hiperglikemia dan infeksi saluran kemih (ISK)

- Diet protein yang proporsional

- Pengobatan yang sesuai terhadap etiologi AKI

Pada dasarnya terapi konservatif (suportif) adalah untuk menjaga homeostasis


tubuh dengan mengurangi efek buruk akibat komplikasi AKI. Beberapa terapi suportif
beserta dosis obat yang dianjurkan dapat terlihat pada tabel 2.10.

23
Tabel 2.10. Terapi Konservatif AKI

Selain itu, terapi nutrisi pada pasien AKI harus menjadi bagian dari pengelolaan
secara keseluruhan karena dapat mempengaruhi perjalanan penyakit maupun
prognosis pasien. Tujuan dukungan nutrisi pada AKI antara lain: mencegah protein-
energy wasting (PEW), mempertahankan lean body mass dan status nutrisi,
menghindari gangguan metabolik yang lebih berat, mencegah komplikasi, mendukung

24
fungsi imunitas, meminimalisasi inflamasi, memperbaiki aktivitas anti oksidan dan fungsi
endotel serta mengurangi mortalitas.1

Tabel 2.11. Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI

25
BAB 3

KESIMPULAN

Acute Kidney Injury (AKI) merupakan spektrum kerusakan ginjal secara akut,
yaitu proses yang menyebabkan kerusakan ginjal dalam waktu 48 jam dan
didefinisikans ebagai peningkatan kreatinin serum ≥ 0,3 mg/dl atau peningkatan 50%)
atau penurunan produksi urin berdasarkan kriteria AKIN. Penyebab dari AKI dapat
dikelompokkan menjadi pre-renal, renalis, dan post-renal, dimana untuk
membedakannya diperlukan langkah diagnosis yang baik.

Anamnesis dapat dilakukan untuk mendapatkan riwayat penggunaan obat-


obatan yang dapat mempengaruhi perfusi ginjal atau langsung merusak ginjal, atau
apakah terdapat tanda-tanda obstruksi, dan sebagainya. Pemeriksaan fisik juga dapat
dilakukan untuk menilai kelainan yang juga berfungsi untuk menegakkan diagnosis
penyebab AKI.

Pemeriksaan berulang fungsi ginjal, yaitu kadar ureum, kreatinin, dan laju filtrasi
glomerulus harus dilakukan untuk memastikan tingkat keparahan dan kemungkinan
komplikasi dari AKI. Selain itu, analisis urin dan biomarkers juga dapat dilakukan jika
dibutuhkan diagnosis segera. Tatalaksana dari AKI dapat berupa terapi konservatif dan
juga terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal dilakukan juga pasien sudah
memenuhi kriteria untuk dilakukan terapi dialisis segera. Beberapa komplikasi dari AKI
ada yang bersifat emergency sehingga dibutuhkan pengelolaan yang cepat dan tepat,
seperti volume overload, hiperkalemia, dan asidosis metabolik. Tindakan yang
dilakukan untuk dapat mendiagnosis AKI secara dini sangat dibutuhkan, sehingga
tatalaksana yang diberikan juga dapat memperbaiki prognosis pada pasien.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Rubin GS, Ria Bandiara. Gangguan Ginjal Akut (Acute Kidney Injury). In:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam . Jilid 2.
Edisi ke-6. 2014. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 2149-2160.
2. R Mahboob, S Fariha, CS Michael. Acute Kidney Injury: A Guide to Diagnosis
and Management. Am Fam Physician. 2012 Oct 1;86 (7): 631-639.
3. H.M.S. Markum. Gagal Ginjal Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, ed.
Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. 2006. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. Hal: 2168-2177.
4. Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, et al. Acute Kidney Injury Network (AKIN):
Report of an Initiative to Improve Outcomes in Acute Kidney Injury. Critical Care
2007;11: R31.
5. Roesli, RMA. Diagnosis dan Pengelolaan Gangguan Ginjal Akut. 2008. Jakarta:
Puspa Swara.

27

Anda mungkin juga menyukai