Anda di halaman 1dari 50

CLINICAL SCIENCE SESSION

Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A218062/ Agustus 2019

Reumatoid Artritis

dr. Iin Dwiyanti, Sp.PD

Oleh :

Fikri Hidayat, S.Ked

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN
CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

Artritis Reumatoid

Disusun Oleh:
Fikri Hidayat, S.Ked.
G1A218062

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN PENYAKIT DALAM RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


pada Agustus 2019

PEMBIMBING

dr. Iin Dwiyanti, Sp.PD

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Clinical Science Session (CSS) yang berjudul ”Reumatoid Artritis”. Dalam
kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Iin Dwiyanti,
Sp.PD selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak ilmu
pengetahuan selama di Kepaniteraan Klinik Senior di bagian ilmu penyakit dalam.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan referat ini masih banyak
terdapat kekurangan dan tidak terlepas dari bantuan, dorongan dan dukungan dari
berbagai pihak sehingga CSS ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan kritikan agar lebih ke depannya.

Jambi, Agustus

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................. 1


HALAMAN PENGESAHAN ...................................................... 2
KATA PENGANTAR .................................................................. 3
DAFTAR ISI .................................................................. 4
DAFTAR TABEL .................................................................. 5
DAFTAR GAMBAR .................................................................. 6
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 7
1.1 Latar Belakang .................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................... 8
2.1 Definisi .................................................................. 8
2.2 Anatomi dan fisiologi sendi .......................................... 8
2.3 Epidemiologi .................................................................. 12
2.4 Etiologi .................................................................. 14
2.5 Faktor Risiko .................................................................. 16
2.6 Patogenesis .................................................................. 16
2.7 Diagnosis .................................................................. 18
2.8 Diangnosis Banding ...................................................... 25
2.9 Penatalaksanaan .................................................................. 28
2.10 Komplikasi .................................................................. 39
2.11Prognosis .................................................................. 41
BAB III KESIMPULAN .................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 43

4
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 : Agen Infeksi yang Diduga sebagai Penyebab Artritis Reumatoid......15

Tabel 2.2: 1987 Revised American Rheumatism Association Criteria for the

Classification of Rheumatoid Arthritis................................................19

Tabel 2.3 : Kriteria Diagnosis Artritis Reumatoid berdasarkan ACR 2010..........21

Tabel 2.4 : Kelainan ditemukan pada pemeriksaan fisik.......................................24

Tabel 2.5 :Pemeriksaan penunjang diagnostik untuk Artritis Reumatoid.............25

Tabel 2.6 : perbedaan osteoarttritis, reumatoid artritis dan gout artritis................27

Tabel 2.7 : Jenis-jenis DMARD yang Digunakan Dalam terapi AR....................34

Tabel 2.8 : Kategori obat serta definisisnya untuk pengobatan RA menurut

ACR 2015............................................................................................36

Tabel 2.9 : Kriteria remisi dari ACR 1987............................................................37

Tabel 2.10 :Kriteria remisi DAS 28.......................................................................38

Tabel 2.11 : Formulir DAS....................................................................................38

Tabel 2.12 :Komplikasi yang Bisa Terjadi pada Penderita AR.............................40

5
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 : Gambaran skematik dari sendi sinvial.................................................8

Gambar 2.2 : Foto Rontgen rheumatoid arthritis……………………….........................24

Gambar 2.3: Pembengkakan dan erosi pada sendi PIP-5.....................................26

Gambar 2.4 : Penyempitan celah sendi medial yang asimetrik.............................27

6
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi
sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi
klinik klasik Artritis reumatoid adalah poliartritis simetrik yang terutama
mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi,
artritis reumatoid juga bisa mengenai organ – organ diluar persendian seperti
kulit, jantung, paru-paru dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat adanya
komplikasi kardiovaskuler, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan adanya
komorbiditas.1

Pada populasi di dunia, prevelensi Artritis Reumatoid relatif konstan yaitu


berkisar antara 0.5-1%. Prevelensi yang tinggi didapatkan di pima indian dan
chippewa indian masing-masing sebesar 5.3% dan 6.8%. Prevelensi Artritis
Reumatoid di india dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0.75%.1
Menurut arthritis foundation 2006, jumlah penderita arthritis atau gangguan sendi
kronis lain di Amerika Serikat terus meningkat. Pada tahun 1990 terdapat 38 juta
penderita dari sebelumnya 35 juta pada tahun 1985. Data tahun 1998
memperlihatkan hampir 43 juta atau I dmi 6 orang di Amerika menderita
gangguan sendi, dan pada tahun 2005 jumlah penderita arthritis sudah mencapai
66 juta atau hampir 1 dari 3 orang menderita gangguan sendi. Sebanyak 42,7 juta
di antaranya telah terdiagnosis sebagai artritis adalah penderita dengan keluhan
nyeri sendi kronis Sedangkan prevalensi rematik di Indonesia menurut hasil
penelitian yang diiakukan oieh Zeng QY mencapai 23,6% sampai 3l,3%.2

Penyakit arthritis bukan penyakit yang mendapat sorotan seperti penyakit


hipertensi, diabetes atau AIDS, namun penyakit ini menjadi masalah kesehatan
yang cukup mengganggu dan terjadi dimana-mana. Rheumatoid arthritis adalah
bentuk paling umum dari arthritis autoimun, yang mempengaruhi lebih dari 1,3
juta orang Amerika. Dari jumlah tersebut, sekitar 75% adalah perempuan.

7
Bahkan, 1-3% wanita mungkin mengalami rheumatoid arthritis dalam hidupnya.
Penyakit ini paling sering dimulai antara dekade keempat dan keenam dari
kehidupan.3

Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga


apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan
kerusakan sendi yang progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut
Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang memperoleh pengobatan secara
medis yang mengalami remisi atau berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal
onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi
dari berbagai parameter seperti level remisi, status fungsional, dan derajat
kerusakan sendi.4

Menegakan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin, dapat


menurunkan progresifitas penyakit. Metode terapi yang dianut saat ini adalah
pendekatan piramid terbalik, yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk
menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan
terjadi destruksi sendi, deformitas dan disabilitas. Morbiditas dan mortilitas AR
berdapampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi. Kemajuan yang cukup
pesat dalam pengembangan DMARD biologik, memberi harapan baru dalam
penatalaksanaan penderita AR.1

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Artritis reumatoid adalah Penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi


sistemik kronik dan progresif dimana sendi merupakan target utama.. Walaupun
terdapat beragam manfestasi sistemik, fitur karakteristik untuk RA adalah
sinovitis inflamasi persisten, biasanya meliputi sendi-sendi di bagian perifer
dengan distribusi yang simetris. Inflamasi sinovial berpotensi menyebabkan
kerusakan tulang rawan dan erosi tulang serta perubahan pada sendi yang menjadi
fitur khusus peyakit ini. Terlepas dari potensi kerusakan yang terjadi, perjalanan
AR dapat beragam. Beberapa pasien dapat mengalami penyakit oligoartikukar
sedang dengan durasi singkat serta kerusakan sendi minimal, tetapi kebanyakan
akan mengalami poliartritis progresif dengan kerusakan fungsional.5,6

2.2 Epidemiologi

Prevalensi AR sebesar ~0.8% dari populasi (berkisar antara 0.3-2.1%).


Wanita lebih sering menderita penyakit ini dengan rasio 3:1 antara wanita dan
laki-laki. Prevalensi ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan
hilangnya perbedaan seks pada kelompok yang lebih tua. AR dijumpai diseluruh
dunia dan mengenai semua ras. Tetapi, insidensi dan keparahan tampak lebih
ringan pada daerah pedesaan Sahara di Afrika dan Karibian. Onset yang paling
umum ialah ketika dekade ke-4 dan ke-5 kehidupan, dengan 80% dari semua
pasien menderita RA pada usia antara 35 sampai 50 tahun. Insidensi AR 6 kali
lebih tinggi pada wanita tua berusia 60-64 tahun dibandingkan dengan wanita
berusia 18-29 tahun. Data terbaru mengindikasikan bahwa insidensi AR mulai
menghilang. Terlebih lagi, keparahan penyakit ini tampaknya menurun, hal ini
tidak bisa memastikan apakah terdapat hubungan dengan intervensi terapi yang
lebih agresif.5

9
Pada populasi di dunia, prevelensi Artritis Reumatoid relatif konstan yaitu
berkisar antara 0.5-1%. Prevelensi yang tinggi didapatkan di pima indian dan
chippewa indian masing-masing sebesar 5.3% dan 6.8%. Prevelensi Artritis
Reumatoid di india dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0.75%.1
Menurut arthritis foundation 2006, jumlah penderita arthritis atau gangguan sendi
kronis lain di Amerika Serikat terus meningkat. Pada tahun 1990 terdapat 38 juta
penderita dari sebelumnya 35 juta pada tahun 1985. Data tahun 1998
memperlihatkan hampir 43 juta atau I dmi 6 orang di Amerika menderita
gangguan sendi, dan pada tahun 2005 jumlah penderita arthritis sudah mencapai
66 juta atau hampir 1 dari 3 orang menderita gangguan sendi. Sebanyak 42,7 juta
di antaranya telah terdiagnosis sebagai artritis adalah penderita dengan keluhan
nyeri sendi kronis Sedangkan prevalensi rematik di Indonesia menurut hasil
penelitian yang diiakukan oieh Zeng QY mencapai 23,6% sampai 3l,3%.2

2.3 Etiologi

Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya


dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan1

a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki
angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%1

b. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental


Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron
(DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan
stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan
menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan
sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap
perkembangan penyakit ini1

c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang
(host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya
penyakit RA1

10
d. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon
terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog.
Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali
epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan
terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi
imunologis1

2.4 Faktor Resiko

Faktor resiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara


lain jenis kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita AR, umur
lebih tua, paparan salsilat dan merokok. Konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir
sehari, khususnya kopi decaffeinated mungkin juga beresiko. Makanan tinggi
vitamin D, konsumsi teh dan penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan
penurunan resiko. Tiga dari empat perempuan dengan AR mengalami perbaikan
gejala yang bermakna selama kehamilan dan biasanya akan kambuh kembalih
setelah melahirkan. Obesitas juga merupakan faktor resiko. 1,7

2.5 Patofisiologi Artritis Reumatoid

Mekanisme patogenesis dari inflamasi sinovial kemungkinan besar


disebabkan oleh hubungan kompleks antara genetik, lingkungan dan faktor
imunologis yang menyebabkan disregulasi dari sistem imun dan merusak toleransi
diri. Apa yang menyebabkan kejadian ini dan faktor genetik serta lingkungan apa
yang menganggu sistem imun masih menjadi misteri. Tetapi, gambaran molekular
menunjukkan mekanisme penyebab dari respon inflamasi kronis dan destruksi
dari kartilago sendi dan tulang.5

Pada AR, stadium preklinis dikarakteristikkan dengan rusaknya toleransi diri.


Ide ini dibantu dengan temuan autoantibodi, seperti RF dan antibodi anti-CCP,
dapat ditemukan pada sera dari pasien beberapa tahun sebelum penyakit secara
klinis dapat dideteksi. Tetapi, target antigenik dari antibodi ant-CCP dan RF tidak
terbatas pada sendi, dan peran dalam patogenesis masih menjadi spekulasi.
Antibodi anti-CCP dikerahkan untuk melawan peptida deaminasi, yang berasal

11
dari modifikasi postranslasi oleh enzim PADI4. Antibodi ini mengenali regio
yang mengandung citrulline dari beberapa matriks protein yang berbeda, meliputi
filaggrin, keratin, fibrinogen, dan vimetin dan meningkat pada cairan sendi
dibandingkan serum. Autoantibodi lain telah ditemukan pada minoritas pasien
AR, tetapi juga ditemukan pada tipe artritis lain. Autoantibodi ini berikatan
dengan autoantigen, meliputi kolage tipe II, human cartilage gp-39, aggrecan,
calpastatin, BIP (Immunoglobulin Binding Protein) dan glukosa 6 fosfat
isomerase.5

Secara teoritis, stimulan lingkungan dapat bersinergi dengan faktor-faktor


yang menyebabkan inflamasi pada AR. Mereka yang merokok menunjukkan
kadar citrullinasi protein yang lebih tinggi pada cairan bronkoalveolar
dibandingkan mereka yang tidak merokok. Sehingga, dispekulasikan bahwa
paparan lama terhada asap rokok dapat menginduksi citrullinasi dan protein
seluler pada paru dan menstimulasi ekspresi dari neoepitop yang mampu
menginduksi self-reactivity, yang menyebabkan pembentukan kompleks imun dan
inflamasi sendi. Paparan terhadap debu sulikon dan minyak mineral yang
memiliki efek yang membantu, telah dihubungkan dengan peningkatan resiko
untuk antibodi anti-CCP yang positif untuk AR.5

Bagaimanakah mikroba atau produknya terlibat dapat kejadian yang


menyebabkan AR? Sistem imun disiagakan terhadap keberadaan infeksi mikroba
melalui Toll-like receptor(TLRs). Terdapat 10 TLRs pada manusia yang
mengenai beragam produk mikroba, meliputi lipopolisakaradia permukaan sel
bakteri dan heat-shock protein (TLR4), lipoprotein (TLR2), virus-virus RNA
untaian ganda (TLR3) dan Unmethylated CpG DNA dari bakteri (TLR9). TLR 2,
3 dan 4 banyak diekspresikan pada fibroblas sinovial pada RA awal, dan ketika
berikatan dengan ligannya, menungkatkan produksi sitokin proinflamasi.
Walaupun kejadian ini tidak dapat menguatkan pathwayAR, peran spesifik dari
TLRs pada patogenesis penyakit belum jelas.5

12
Patogenesis AR dibentuk dengan konsep bahwa sel T self-reactive
menyebabkan respon inflamasi kronis. Secara teori, sel T self-reactive dapat
meningkat pada AR dari seleksi sentral (thymic) abnormal karena defek perbaikan
DNA yang menyebabkan ketidakseimbangan kematian sel T, atau defek pada sel
yang memberikan signal untuk merendahkan batas bawah untuk aktivasi sel T.
Seleksi abnormal sel T di perifer dapat menyebabkan kerusakan toleransi sel T.
Dukungan untuk teori ini berasal dari penelitian mengenai artritis pada tikus.
Belum ditunjukkan pada pasien dengan AR memiliki seleksi thymic abnormal
untuk sel T atau pathway apoptosis yang defek untuk meregulasi kematian sel.
Setidaknya beberapa antigen menstimulasi di dalam sendi yang kemungkinan
menyebabkan sel T pada sinovium mengekspresikan fenotipe permukaan sel yang
mengindikasikan paparan antigen sebelumnya dan menunjukkan bukti ekspansi
klonal. Sebagai tambahan sel T dari darah tepi pasien AR menunjukkan tanda
penuaan prematur dan mengenai sel T naif. Pada penelitian ini, temuan paling
penting adalah hilangnya urutan telomer dan penurunan output thymic sel T
baru.5,8

13
Gambar 2.4 Patofisiologi mekanisme inflamasi dan destruksi sendi

14
Terdapat bukti yang mendukung peran CD4+ sel T pada patogenesis AR.
Pertama, ko-reseptor CD4 pada permukaan sel T mengikat situs dari molekul
MCH kelas II, menstabilkan kompleks reseptor sel MHC peptida T ketika aktivasi
sel T. Dikarenakan SE di molekul MCH kelas II adalah faktor resiko untuk AR,
aktivasi CD4+ sel T memiliki peran pada patogenesis penyakit ini. Kedua,
aktivasi CD4+ sel T lebih banyak pada jaringan sinovial pada pasien dengan AR.
Ketiga CD4+ sel T telah ditunjukkan memiliki peran penting dalam menginisiasi
artritis pada binatang penelitian. Keempat, mungkin beberapa, tetapi tidak semua
terapi target sel T menunjukkan efikasi klinis untuk penyakit ini. Bila
digabungkan, bukti-bukti ini menunjukkan CD4+ sel T memiliki peran penting
dalam respon inflamasi kronis AR. Tetapi, sel tipe lain seperti CD8+ sel T,
natural killer (NK), dan sel B ditemukan pada jaringan sinovial dan
mempengaruhi respon patogenik.5

Pada sendi rheumatoid, mekanisme kontak sel antar sel dan pelepasan
mediator, stimulasi makrofag oleh sel T yang aktif dan sinovisit menyerupai
fibroblas menghasilkan mediator proinflamasi dan protease yang menimbulkan
respon inflamasi sinovial dan merusak tulang rawan dan tulang. Aktivasi CD4+
sel T dependen terhadap 2 sinyal: (1) reseptor sel T yang mengikat peptida MHC
pada sel antigen; dan (2) pengikatan CD28 terhadap CD80/86 pada sel antigen.
CD4+ sel T juga menolong sel B yang mengjasilkan antibodi yang
mempromosikan inflamasi lebih lanjut pada sendi. Model sel T sebelumnya untuk
patogenesis RA didasari pada paradigma TH1, yang berasal dari penelitian yang
mengindikasikan CD4+ T helper (TH) berdiferensiasi menjadi TH1 dan TH2,
dengan profil sitokin yang berbeda. Sel TH1 ditemukan menghasilkan interferon γ
(IFN-γ), limfotoksin β, dan TNF-α, sedangkan sel TH2 mengsekresikan interleukin
(IL)-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Penemuan terbaru menunjukkan adanya sel
TH lain, yang dinamakan keturunan TH17, yang merevolusi konsep mengenai
patogenesis RA. Pada manusia, sel T naif diinduksi untuk berdiferensiasi oleh sel
TH17 dengan paparan terhadap transforming growth factor β (TGF-β), IL-1, IL-6
dan IL-23. Ketika diaktivasi, sel TH17 mengsekresikan bercama mediator

15
proinflamasi seperti IL-17, IL-21, IL-22, TNF-α, IL-26, IL-6 dan granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Bukti terbaru menunjukkan
bahwa dari binatang dan manusia IL-17 berperan penting tidak hanya dalam
mempromosikan inflamasi sendi, namun juga destruksi dari tulang rawandan
tulang subkondral.5

Sistem imun memiliki mekanisme yang telah berevolusi untuk


menyeimbangkan respon inflamasi yang dimediasi oleh sistem imun yang
berpotensial bahaya yang diprovokasi oleh agen infeksius atau dorongan lainnya.
Diantara regulator negatif ini adalah sel T regulator (T reg) yang diproduksi timus
dan diinduksi di perifer untuk menekan inflamasi yang dimediasi imun. Sel T
regulator ini digambarkan dengan ekspresi permukaan dari CD25 dan
transcription factor forkhead box P3 (FOXP3) dan mengatur toleransi dominan
melalui kontak dengan sel imun lain dan sekresi sitokin inhibitor seperi TGF-β,
IL-10, dan IL-35. Sel Treg tampak heterogenous dan mampu menekan kelas-kelas
tertentu (TH1, TH2, TH17) pada respon imun. Pada AR, data yang menunjukkan
jumlah sel Treg menurunkan dibandingkan kontrol yang sehat dan
berkontraindikasi dan tidak pasti. Walaupun beberapa bukti eksperimen
menunjukkan bahwa aktivitas supresi Treg menghilang dikarenakan disfungsi
ekspresi dari sitotoksin antigen 4 limfosit T (CTLA-4) dan alamiah dari defek T reg
pada AR, bila ada masih belum jelas.5

Sitokin, kemokin, antibody dan sinyal bahaya endogen berikatan dengan


reseptor pada permukaan sel imun dan menstimulasi kaskade sinyal intraseluler
yang dapat memperkuat respon inflamasi. Molekul yang memberikan sinyal dan
partner ikatannya pada jalur ini adalah target dari obat-obatan molekul kecil yang
di desain untuk menganggu transdusi sinyal dan menahan penguatan inflamasi.
Sel B yang teraktivasi juga penting dalam respon inflamasi kronis. Sel B berasal
dari sel plasma, yang menghasilkan antibodi yang meliputi RF dan antibodi anti-
CCP. RF dapat membentuk komplek imun yang besar di dalam sendi yang
berperan terhadap proses patogenik dengan memastikan komplemen dan
mempromosikan pelepasan kemokin dan kemoatraktan proinflamasi.5

16
AR dianggap sebagai penyakit yang didorong oleh makrofag dikarenakan sel
tipe ini adalah sel utama yang menghasilkan sitokin proinflamasi di dalam sendi.
Sitokin proinflamasi penting yang dilepaskan oleh makrofag sinovial meliputi
TNF-α, IL-1, IL-6, IL-12, IL-15, IL-18, dan IL-23. Fibroblas sinovial, tipe sel lain
pada sendi menghasilkan sitokin IL-1 dan IL-6 serta TNF-α. TNF-α adalah sitokin
penting yang berperan dalam patobiologi dari inflamasi sinovial. Sitokin ini
meningkatkan regulasi adhesi dari molekul pada sel endotel, mempromosikan
influks leukosit ke lingkungan sendi, mengaktifkan fibroblas sinovial,
menstimulasi angiogenesis, mempromosikan jalur reseptor nyeri, dan
menjalankan osteoclastogenesis.5

2.7 DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita
artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang
bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang bervariasi.1,5,6
a. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya
b. Poliartritis simetris, terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-sendi
di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal.
Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
c. Kekakuan pagi hari, selama lebih dari satu jam: dapat bersifat
generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda
dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya
berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam
d. Artritis erosif: merupakan ciri khas dari penyakit ini pada gambaran
radiologik.
Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang.
e. Deformitas: kerusakan struktur penunjang sendi meningkat dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi

17
metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah
beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai. Pada kaki terdapat
protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dan subluksasi
metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan mengalami
pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak
ekstensi.
f. Nodul-nodul rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yang
paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau
sepanjang permukaan ekstensor dari lengan. Walaupun demikan, nodul-
nodul ini dapat juga timbul pada tempat lainnya. Adanya nodul-nodul ini
biasanya merupakan petunjuk dari suatu penyakit yang aktif dan lebih
berat.
g. Manifestasi ekstra-artikular; artritis reumatoid juga dapat menyerang
organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis),
mata, dan pembuluh darah dapat rusak.

2. Klasifikasi Diagnosis

Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari artritis
reumatoid dari American Rheumatism Association tahun 1987
Tabel 2.2: 1987 Revised American Rheumatism Association Criteria for the
Classification of Rheumatoid Arthritis.1

Kriteria Definisi
1. Keka Kekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar sendi,
kuan pagi hari lamanya setidaknya 1 jam
Setidaknya tiga area sendi secara bersama-sama dengan
peradangan pada jaringan lunak atau cairan sendi. 14
2. Artrit kemungkinan area yang terkena, kanan maupun kiri
is pada tiga atau
lebih area sendi proksimal interfalangs (PIP), metakarpofalangs (MCP),
pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, dan
sendi metatarsofalangs (MTP)
3. Artrit Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan,

18
is pada sendi
sendi MCP atau sendi PIP
tangan
4. ArtritSecara bersama-sama terjadi pada area sendi yang sama
is simetris pada kedua bagian tubuh
5. Nodu Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau
l-nodul reumatoid permukaan regio ekstensor atau regio juksta-artikular
6. Seru Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada serum faktor
m faktor reumatoid dengan berbagai metode yang mana hasilnya
reumatoid positif jika < 5% pada subyek kontrol yang normal
Perubahan radiografik tipikal pada artritis reumatoid pada
7. Perub radiografik tangan dan pergelangan tangan
ahan radiografik posteroanterior, dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi
terlokalisasi yang tegas pada tulang.
Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika pasien
memenuhi setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah
berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis,
tidak dikeluarkan pada kriteria ini.
Sumber : Daud. R, 2010, Artritis Reumatoid Dalam: Sudoyo. A, Setiyohadi. B, Alwi. I.,
Dkk (Editor) Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II, ed. IV. Hal. 1174-1181. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Selama ini diagnosis AR memakai kriteria ACR tahun 1987 dengan


sensitivitas 77-95% dan spesifisitas 85-98%. Tapi kriteria ini mulai dipertanyakan
kesahihannya dalam mendiagnosis AR dini sehingga dipandang perlu untuk
menyusunkriteria baru yang tingkat kesahihannya lebih baik. Saat ini diagnosis
AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010, yaitu :

Tabel 2.3: Kriteria Diagnosis Artritis Reumatoid berdasarkan ACR 2010.7

Distribusi Sendi (0-5)


1 sendi besar 0
2-10 sendi besar 1
1-3 sendi sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) 2
4-10 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) 3
>10 sendi (minimal satu sendi kecil) 5

19
Serologi (0-3)
RF negative DAN ACPA negative 0
Positif rendaf RF ATAU positif rendah ACPA 2
Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA 3
Durasi Gejala (0-1)
<6 minggu 0
≥6 minggu 1
Acute Phase Reactant (0-1)
CRP normal DAN LED normal 0
CRP abnormal ATAU LED abnormal 1

Sumber : Taher. A, 2014, Artritis Reumatoid. Panduan Praktik Klinis di Fasilitas


Pelayan Kesehatan Primer.Hal 248-253.Jakarta: Penerbit IDI.

3. Pemeriksaan Fisik

Manifestasi artikular:
Bengkak/efusi sendi, nyeri tekan sendi, sendi teraba hangat, deformotas (swan
neck, boutonniere, deviasi ulnar).6
Manifestasi ekstraartikular:

20
1. Kulit: terdapat nodul rheumatoid pada daerah yg banyak menerima penekanan,
vaskulitis.
2. Soft tissue rheumatism, seperti carpal tunnel syndrome atau frozen shoulder.
3. Mata dapat ditemukan kerato-konjungtivitis sicca yang merupakan manifestasi
sindrom Sjorgen, episkleritis/ skleritis. Konjungtiva tampak anemia akibat
penyakit kronik.
4. Sistem respiratorik dapat ditemukan adanya radang sendi krikoaritenoid,
pneumonitis interstitial, efusi pleura, atau fibrosis paru luas.
5. Sistem kardiovaskuler dapat ditemukan perikarditis konstriktif, disfungsi katup,
fenomena embolisasi, gangguan konduksi, aortritis, kardiomiopati.6
Dalam keadaan dini AR dapat bermanifestasi sebagai poiindromic
rheumatism yaitu timbulnya gejala monoartritis yang timbul antar 3-5 hari dan
diselingi masa remisi sempurna sebelum bermanifestasi sebagai Ar yang khas. AR
awal juga dapat bermanifestasi sebagai pauciartrikular rheumatism yaitu gejala
oligoartrikuler yang melibatkan 4 persendian atau kurang. Kedua gambaran ini
seringkali menyulitkan dalam meneggakan diagnosis AR dalam masa ini.8

Tabel 2.4: Kelainan ditemukan pada pemeriksaan fisik:8

Artrikular Ekstra Artrikular

1. Tanda kardinal inflamasi pada sendi, 1. Nodul reumatoid


sendi yang terkena umumnya adalah 2. Skeleritis
metakarpalphalangeal 3. Episkleritis
2. Deformitas sendi (deformitas leher 4. Kelainan pada pemeriksaan paru dan
angsa, deformitas boutoniere, atau jantung
deformitas kunci piano, deviasi 5. Splenomegali
ulna, deformitas Z-thumb, artritis 6. vaskulitis
mutlans, hallux vagus
3. Anikiosis tulang

21
Sumber : Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk diagnosis dan
pengelolaan Artritis Reumatoid.2014.8

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah parifer lengkap : anemia, trombositosis
b. Rheumatoid factor (RF) serum, ACPA (anti-cyclic citrullinated peptide
antibody) / anti-CCP
c. Laju endap darah atau C-reactive protein (CRP) meningkat
d. Fungsi hati, fungsi ginjal
e. Analisis cairan sendi (peningkatan leukosit >2.000/mm3)
f. Biopsi sinovium/nodul rhematoid
g. Pemeriksaan radiologi (foto polos UsSG Doppler) : gambaran dini berupa
pembengkakan jaringan lunak, diikuti oleh osteoporosis juxta-artikular dan
erosi pada bare area tulang.8,9

Gambar 2.2: Foto Rontgen rheumatoid arthritis


Sumber : Waugh A and Grand A, editors. Rose and Wilson Anatomy and Physiology
in Health and Illness 9th ed. Edinburg: Churchill Livingstone; 2010.p.414-5.3

Pada penderita RA, biasanya didapati tanda-tanda dekalsifikasi pada sendi


yang terkena. Pemeriksaan foto rontgen dilakukan untuk melihat progesifitas
penyakit RA. Pemeriksaaan ini dapat memonitor progresifitas dan kerusakan

22
sendi jangka panjang. Foto Rontgen, biasanya ditemukan deformitas tulang. Pada
tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada radiologi, kecuali
pembengkakan jaringan lunak. Tetapi setelah sendi mengalami kerusakan yang
lebih berat, maka dapat terlihat penyempitan ruang sendi, erosi tulang pada tepi
sendi dan pengurangandensitas tulang, tapi yang tersering adalah sendi
metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering terkena.
Perubahan ini bersifat irreversible.1

Tabel 2.5: Pemeriksaan penunjang diagnostik untuk Artritis Reumatoid. 1,7

23
Sumber : Taher. A, 2014, Artritis Reumatoid. Panduan Praktik Klinis di Fasilitas
Pelayan Kesehatan Primer.Hal 248-253.Jakarta: Penerbit IDI.7

2.8 DIAGNOSIS BANDING


a. Gout Artritis
Gout merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan meningkatnya
konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Gout dapat bersifat primer maupun
sekunder. Gout primer merupakan akibat langsung dari pembentukan asam urat
tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan eksresi asam urat, sedangkan gout
sekunder disebabkan oleh pembentukan asam urat yang berkurang akibat proses
penyakit lain atau pemakaian obat-obatan tertentu.

Pada artritis gout akut, terjadi pembengkakan yang mendadak dan nyeri yang luar
biasa, biasanya pada sendi ibu jari kaki, sendi metatarsofalangeal.
Artritis bersifat monoartrikular dan menunjukkan tanda-tanda peradangan lokal.
Mungkin terdapat demam dan peningkatan sejumlah leukosit. Serangan dapat
dipicu oleh pembedahan, trauma, obat-obatan, alkohol, atau stres emosional.
Sendi-sendi lain dapat terserang, termasuk sendi jari tangan, lutut, mata kaki,
pergelangan tangan, dan siku.5

Gambar 2.3: Pembengkakan dan erosi pada sendi PIP-5.5

24
Sumber :Mayo Foundation for Medicine Education Research (MFMER) all Right
Reserved. 2018.

Osteoartritis
Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini
bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh
adanya deteorisasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru
pada permukaan persendian. Gambaran klinis osteoartritis umumnya berupa nyeri
sendi, terutama apabila sendi bergerak atau menanggung beban. Nyeri tumpul ini
berkurang bila sendi digerakkan atau bila memikul beban tubuh. Dapat pula
terjadi kekakuan sendi setelah sendi tersebut tidak digerakkan beberapa lama,
tetapi kekakuan ini akan menghilang setelah digerakkan. Kekakuan pada pagi
hari, jika terjadi, biasanya hanya bertahan selama beberapa menit, bila
dibandingkan dengan kekakuan sendi di pagi hari yang disebabkan oleh artritis
reumatoid yang terjadi lebih lama.5

Gambar 2.4: Penyempitan celah sendi medial yang asimetrik.5

Sumber :Mayo Foundation for Medicine Education Research (MFMER) all Right
Reserved. 2018.

Tabel 2.6 perbedaan osteoarttritis, reumatoid artritis dan gout artritis.1,5

25
2.9 PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari program pengobatan pada reumatoid artritis adalah
untuk menghilangkan nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan
kemampuan maksimal dari penderita, serta mencegah dan atau memperbaiki
deformitas yang terjadi pada sendi.
Non farmakologis :
Eduksi, rehabilitasi, fisioterapi, proteksi sendi pada stadium akut, foot
orthotik/splint(jika perlu), terapi spa, latihan fisik, (dynamic strenght training) 30
menit setiap latihan 2-3 kali seminggu dengan intensitas sedang, suplemen
minyak ikan suplemen asam lemak esensial.8,9
a. Edukasi

Langkah pertama dari program penatalaksanaan artritis reumatoid adalah


memberikan pendidikan kesehatan yang cukup tentang penyakit kepada pasien,
keluarganya, dan siapa saja yang berhubungan dengan pasien. Pendidikan
kesehatan yang diberikan meliputi pengertian tentang patofisiologi penyakit,

26
penyebab dan prognosis penyakit, semua komponen program penatalaksanaan
termasuk obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit,
dan metode- metode yang efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim
kesehatan.8,9

b. Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan


pasien AR dengan cara: 8,9

- Mengurangi rasa nyeri


- Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
- Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
- Mencegah terjadinya deformitas
- Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
- Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang
lain.
Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan
mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan modalitas
terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri
dengan arus listrik.
Manfaat terapi fisis dalam pengobatan AR telah ternyata terbukti dan saat ini
merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan AR.6,9

c. Fisioterapi / latihan

Disamping itu latihan - latihan spesifik dapat bermanfaat dalam


mempertahankan fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada
semua sendi yang sakit, dan sebaiknya dilakukan sedikitnya dua kali sehari. Obat-
obatan penghilang nyeri mungkin perlu diberikan sebelum latihan. Latihan ini
dilakukan sebagai pencegahan terhadap cacat yang lebih lanjut dan bila sudah
terjadi cacat, dicoba dilakukan rehabilitasi bila masih memungkinkan. Di samping
bentuk latihan, sering pula diperlukan alat bantu. Oleh sebab itu, pada pengobatan
fisioterapi tercakup pengertian tentang rehabilitasi termasuk: 6,9

27
- Pemakaian alat bidai, tongkat, tongkat penyangga, walking machine, kursi
roda, sepatu dan alat ortotik lainnya
- Mekanoterapi yaitu alat mekanik untuk latihan
- Pemanasan baik hidroterapi maupun elektroterapi
- Occupational therapy
Untuk menilai kemajuan hasil pengobatan dapat dipakai parameter: 6,9
- Tentang lamanya morning stiffness
- Berapa banyaknya sendi yang nyeri bila berjalan atau digerakkan
- Kekuatan menggenggam yang dinilai dengan sphygnomanometer/tensi meter
- Waktu yang diperlukan untuk berjalan 10-15 meter

Farmakologi :
a. DMARD (disease modifying anti rheumatc drugs) konvensional :Mtx,
hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomid,
azatiofirin, siklosporin.8,9

Penggunaan OAINS dalam pengobatan AR


Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umumnya diberikan pada pasien AR
sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat
inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial
yang bermakna.Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek
analgesik yang sangat baik.
OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklo-oxyge-nase
sehingga menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah hambatan
enzim lipooxygenase juga berperanan dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa
OAINS berkerja dengan cara:
o Memungkinkan stabilisasi membran lisosonial
o Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin,
serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya).
o Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan
o Menghambat proliferasi selular

28
o Menetrahsasi radikal oksigen
o Menekan rasa nyeri
Selama ini telah terbukti bahwa OAINS dapat sangat berguna dalam
pengobatan AR, walaupun OAINS bukanlah merupakan satu satunya obat yang
dibutuhkan dalam pengobatan AR. Hal ini di sebabkan karena golongan OAINS
tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang dari proses
destruksi akibat AR.1,7,8
Glukokortikoid
Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan
komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki
efek samping yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-7,5 mg
satu kali sehari) sangat bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi
sinovitis sebelum DMARD mulai bekerja, yang kemudian dihentikan secara
bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosteroid intraartikular jika terdapat
peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi harus disingkirkan terlebih dahulu.1

DMARD
Untuk mengatasi proses destruksi tersebut masih diperlukan obat obatan lain yang
termasuk dalam golongan DMARD.

Jenis-jenis yang digunakan adalah:1

a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun


efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran
klorokuin fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping
bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan,
dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.

b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x


500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500
mg. Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai
dalam jangka panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan

29
tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau
dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.

c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam


dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar
250-300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping
antara lain ruam kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus.

d. Garam emas. Khasiatnya tidak diragukan lagi meski sering timbul efek
samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular, dimulai dengan
dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua
sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama
20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2
minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3
minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis,
proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah
auranofin yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang
dijumpai, pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan
dosis.

e. Obat imunosupresif atau imunoregulator. Metotreksat sangat mudah


digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek dibandingkan dengan yang
lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak
menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20
mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan siklosporin untuk
artritis reumatoid masih dalam penelitian. 1
b. Agen biologi : infliksimamb, etanersep, tocilizumab, golimumab,
adalimumab
c. Glukokortikoid
d. OAINs: non- selektif atau selektif COX-2

Terapi Kombinasi

30
Regimen terapi kombinasi yang efektif dan aman digunakan untuk
penderita AR aktif yang tidak terkontrol adalah salat satu dari kombinasi berikut:
MTX + hidroksiklorokuin, MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine (bisa juga
ditambah prednisolone), MTX + leflunomid. 1

Prinsip-prinsip penggunaan DMARD: 7


- Semua pasien AR yang diagnosisnya sudah tegak harus mendapatkan
DMARD sedini mungkin kecuali ada kontra indikasi. Idealnya dalam
waktu 3 bulan setelah timbulnya gejala.
- Penggunaan DMARD pada pasien yang hamil
o Pengobatan AR dalam kehamilan merupakan masalah khusus,
karena sebagian besar obat-obat yang digunakan pada pengobatan
AR (DMARD) belum terbukti keamanannya sehingga tidak bisa
diberikan pada kehamilan. Berdasarkan laporan penelitian pada
pasien LES, klorokuin dan azatioprin dapat diberikan pasien yang
hamil sehingga obat tersebut dapat dipertimbangkan untuk
diberikan pada pasien AR yang hamil. Kortikosteroid merupakan
obat yang dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada wanita
hamil dengan AR, tetapi perlu penilaian lebih cermat mengenai
manfaat dan risikonya sebelum memberikan obat ini13-16.
Pengelolaan pasien seperti ini perlu kerjasama yang baik antara
dokter kebidanan dan dokter ahli penyakit dalam konsultan
reumatologi.
- Pemilihan jenis DMARD ditentukan oleh 3 faktor :
- Faktor obat : efektivitasnya, kemudahan pemberian, sistem pemantauan,
waktu yang diperlukan sampai obat memberikan khasiat, kemungkinan
efek samping dan yang tidak kalah penting adalah biaya pengobatan.
- Faktor pasien: kepatuhan pasien, komorbiditas, beratnya penyakit dan
kemungkinan prognosisnya.
- Faktor dokter: kompetensi dalam pemberian dan pemantauan obat.

Memulai dan menghentikan DMARD 7

31
- Sebelum memulai pengobatan dengan DMARD harus dilakukan
pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya TB. (tes tuberculin dan foto
toraks; jika ada keraguan dapat dikonsulkan dengan bagian paru).
Pemeriksaan ini sebaiknya juga dilakukan pada orang-orang yang sering
berhubungan dengan pasien.
- Pertimbangkan pengobatan jangka pendek dengan glukokortikoid (oral,
intramuscular atau intra-artikular) untuk memperbaiki gejala secara cepat
pada pasien AR yang baru terdiagnosis jika mereka belum menerima
glukokortikoid sebagai bagian dari terapi kombinasi DMARD.
- Pada orang dengan recent onset RA yang menerima terapi kombinasi
DMARD dan yang bertahan dengan hasil yang memuaskan, kurangi dosis
obat dengan hati-hati ketingkat yang masih dapat mempertahankan kontrol
penyakit.
- Pada pasien AR yang baru terdiagnosis dimana terapi kombinasi DMARD
tidak dapat diberikan (misalnya karena penyakit penyerta atau kehamilan),
mulai monoterapi DMARD dengan penekanan pada peningkatan yang
cepat hingga dosis klinis efektif.
- Pada pasien AR yang kondisi penyakitnya stabil, kurangi dosis obat
DMARD atau agen biologik dengan hati-hati. Segera kembali ke dosis
penuh pada tanda pertama timbulnya kekambuhan.
- Ketika memulai obat baru untuk memperbaiki pengendalian penyakit pada
rejimen pengobatan pasien AR, pertimbangkan mengurangi atau
menghentikan obat DMARD yang sudah ada saat penyakit telah dapat
dikendalikan.
- Pada setiap pasien AR dimana dosis obat DMARD non-biologik atau
biologic sedang diturunkan atau dihentikan, harus disiapkan review dini.
Tabel 2.7: Jenis-jenis DMARD yang Digunakan Dalam terapi AR :1

32
33
Tabel 2.8: Kategori obat serta definisisnya untuk pengobatan RA menurut ACR
2015.10

34
Sumber : American College of Rheumatology. Guideline for the Treatment of
Rheumatoid Arthritis. 2015.10

A. Pemantauan Pengobatan 4,10


Pengobatan pasien AR memerlukan pemantauan aktivitas penyakit yang baik
melalui evaluasi klinis maupun laboratorium dengan menggunakan skor
seperti kriteria remisi dari ACR 1987 (tabel.9) atau DAS 28 (tabel.10).

35
Tabel 2.9. Kriteria remisi dari ACR 1987 4,10

36
Tabel 2.10. Kriteria remisi DAS 28 4,10

Tabel 2.11. Formulir DAS 28 4,10

37
38
39
40
41
42
43
2.10 KOMPLIKASI

1. Osteoporosis
Rheumatoid arthritis itu sendiri, bersama dengan beberapa obat yang
digunakan untuk mengobati rheumatoid arthritis, dapat meningkatkan
risiko osteoporosis – sebuah kondisi yang melemahkan tulang dan
membuat mereka lebih rentan terhadap patah tulang.4
2. Rheumatoid Nodul

44
ini benjolan perusahaan jaringan yang paling sering terbentuk di sekitar
titik-titik tekanan, seperti siku. Namun, nodul ini dapat membentuk di
mana saja di tubuh, termasuk paru-paru.
3. Mata dan mulut kering
Orang yang memiliki rheumatoid arthritis jauh lebih mungkin untuk
mengalami sindrom Sjogren, gangguan yang menurunkan jumlah uap air
di mata dan mulut.
4. Infeksi
Penyakit itu sendiri dan banyak dari obat yang digunakan untuk
memerangi rheumatoid arthritis dapat merusak sistem kekebalan tubuh,
yang menyebabkan peningkatan infeksi.
5. Komposisi tubuh yang tidak normal
Proporsi lemak dibandingkan dengan bersandar massa seringkali lebih
tinggi pada orang yang memiliki rheumatoid arthritis, bahkan pada orang
yang memiliki indeks massa tubuh normal (BMI).
6. Carpal tunel syndrome
Jika rheumatoid arthritis mempengaruhi pergelangan tangan, peradangan
dapat menekan saraf yang berfungsi sebagian tangan dan jari.
7. Masalah jantung
Rheumatoid arthritis dapat meningkatkan risiko pengerasan arteri dan
diblokir, serta radang kantung yang membungkus jantung.
8. Penyakit paru
Orang dengan rheumatoid arthritis memiliki peningkatan risiko
peradangan dan jaringan parut dari jaringan paru-paru, yang dapat
menyebabkan sesak progresif napas.
9. Lymphoma
Rheumatoid arthritis meningkatkan risiko limfoma, sekelompok kanker
darah yang berkembang dalam sistem getah bening.4

45
Tabel 2.11: Komplikasi yang Bisa Terjadi pada Penderita AR.1

Sumber : Taher. A, 2014, Artritis Reumatoid. Panduan Praktik Klinis di Fasilitas


Pelayan Kesehatan Primer.Hal 248-253.Jakarta: Penerbit IDI.7

2.11 PROGNOSIS
kriteria remisi pada artritis reumatoid dapat menggunakan ACR/Elular yaitu
apabila pasien memenuhi kriteria berikut:8
1. Jumlah sendi yang nyeri ≤1
2. Jumlah sendi yang bengkak ≤1
3. Nilsi CRp ≤1 mg/dl
4. Penilaian global pasien ≤1(dalam skala 0-10)

Sejumlah 10% pasien yang memenuhi kriteria AR akan mengalami remisi spontan
dalam 6 bulan. Akan tetapi kebanyakan pasien akan mengalami penyakit yang
parsisten dan progresif. Tingkat kematian pada AR dua kali lebih besar dari
populasi umum dengan panyakit jantung iskemik yang menjadi penyebab utama
kematian terbanyak diikuti dengan infeksi.

46
Median harapan hidu pendek dengan rata-rata 7 tahun untuk laki-laki dan 3 tahun
untuk perempuan dibandingkan dengan populasi kontrol.8

47
BAB III
KESIMPULAN

1. Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yag ditandai oleh


inflamasi sistemik kroik dan progresif dimana sendi merupakan target
utama selain organ lain. sehingga mengakibatkan kerusakan dan
deformitas sendi, bahkan disabilitas dan kematian.

2. Beberapa faktor yang menjadi etiologi dan predisposisi dari Rheumatoid


Arthritis Beberapa faktor yang menjadi etiologi dan predisposisi dari
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah faktor genetik, hormon seks, faktor
infeksi.
3. Pada pasien penderita reumatoid artritis, membran sinovial telah
mengalami hiperplasia, peningkatan vaskulariasi, dan infiltrasi dari sel-sel
pemicu inflamasi, terutama sel T CD4+. Untuk menegakkan diagnosis
dapat berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism Association),
diagnosa AR ditegakkan jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7
kriteria dan kriteria 1 sampai 4 harus ada minimal 6 minggu.
4. Penatalaksanaan untuk penyakit Rheumatoid Arthritis (RA) dapat berupa
tatalaksana non- farmakologis dan farmakologis
Non-farmakologis : Eduksi, proteksi sendi pada stadium akut, foot
orthotik/splint(jika perlu), terapi spa, latihan fisik, (dynamic strenght
training) 30 menit setiap latihan 2-3 kalis seminggu dengan insensitas
sedang, suplemen minyak ikan suplemen asam lemak esensial.
Farmakologis : Obat-obatan antiinflamasi nonsteroid,
glukokortikoid, DMARD, Terapi kombinasi, emas serta tatalaksana bedah.
5. Komplikasi dari Rheumatoid Arthritis (RA) dapat berupa osteoporosis dan
Carpal Tunnel Sydrome (CTS), Prognosis Sejumlah 10% pasien yang
memenuhi kriteria AR akan mengalami remisi spontan dalam 6 bulan.
Akan tetapi kebanyakan pasien akan mengalami penyakit yang parsisten
dan progresif.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Suarjana Nyoman. Artritis Reumatoid dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi V. Jilid III. Editor: Setiawati Siti, dkk. Jakarta: InternaPublishing,
2014.hlm.3151-3159.

2. Daud. R, 2006, Artritis Reumatoid Dalam: Sudoyo. A, Setiyohadi. B, Alwi. I.,


Dkk (Editor) Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II, ed. IV. Hal. 1174-1181.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

3. Waugh A and Grand A, editors. Rose and Wilson Anatomy and Physiology in
Health and Illness 9th ed. Edinburg: Churchill Livingstone; 2010.p.414-5.

4. Smith HR. The Medscape Journal of Medicine. Rheumatoid arthritis. 06 Juni


2018. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/331715-overview
15 Agustus 2018.

5. Mayo Foundation for Medicine Education Research (MFMER) all Right


Reserved. 2018. Diunduh dari : https://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/rheumatoid-arthritis/symptoms-causes/syc-20353648 15 Agustus
2018.

6. Carter, Michael A. Arthritis Reumatoid. Dala: Price, SA and Wilson LM,


editors. Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2015.hal.1385-91.

7. Taher. A, 2014, Artritis Reumatoid. Panduan Praktik Klinis di Fasilitas


Pelayan Kesehatan Primer.Hal 248-253.Jakarta: Penerbit IDI.

8. Rekomendasi P erhimpunan Reumatologi Indonesia untuk diagnosis


dan pengelolaan Artritis Reumatoid.2014. Diunduh dari
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUK
Ewi9frorvHaAhWIPo8KHegTAfEQFggpMAA&url=http%3A%2F
%2Fwww.reumatologi.or.id%2Freurek%2Fdownload
%2F23&usg=AOvVaw3M7TmjNClpEfcd1s_xceun.14 April 2018.

9. Alwi I,2015, Arthritis Reumatoid. Salim, S. Hidayat R., DKK (Editor)


Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.Jilid II, ed V. Hal 809-
813.Jakarta: Internal Publishing Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam.

10. American College of Rheumatology. Guideline for the Treatment of


Rheumatoid Arthritis. 2015. Diunduh dari:www.rheumatology.org. 14
Agusrus 2018.

49
50

Anda mungkin juga menyukai