Reumatoid Artritis
Oleh :
1
HALAMAN PENGESAHAN
CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)
Artritis Reumatoid
Disusun Oleh:
Fikri Hidayat, S.Ked.
G1A218062
PEMBIMBING
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Clinical Science Session (CSS) yang berjudul ”Reumatoid Artritis”. Dalam
kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Iin Dwiyanti,
Sp.PD selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak ilmu
pengetahuan selama di Kepaniteraan Klinik Senior di bagian ilmu penyakit dalam.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan referat ini masih banyak
terdapat kekurangan dan tidak terlepas dari bantuan, dorongan dan dukungan dari
berbagai pihak sehingga CSS ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan kritikan agar lebih ke depannya.
Jambi, Agustus
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 : Agen Infeksi yang Diduga sebagai Penyebab Artritis Reumatoid......15
Tabel 2.2: 1987 Revised American Rheumatism Association Criteria for the
ACR 2015............................................................................................36
5
DAFTAR GAMBAR
6
BAB I
PENDAHULUAN
7
Bahkan, 1-3% wanita mungkin mengalami rheumatoid arthritis dalam hidupnya.
Penyakit ini paling sering dimulai antara dekade keempat dan keenam dari
kehidupan.3
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
9
Pada populasi di dunia, prevelensi Artritis Reumatoid relatif konstan yaitu
berkisar antara 0.5-1%. Prevelensi yang tinggi didapatkan di pima indian dan
chippewa indian masing-masing sebesar 5.3% dan 6.8%. Prevelensi Artritis
Reumatoid di india dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0.75%.1
Menurut arthritis foundation 2006, jumlah penderita arthritis atau gangguan sendi
kronis lain di Amerika Serikat terus meningkat. Pada tahun 1990 terdapat 38 juta
penderita dari sebelumnya 35 juta pada tahun 1985. Data tahun 1998
memperlihatkan hampir 43 juta atau I dmi 6 orang di Amerika menderita
gangguan sendi, dan pada tahun 2005 jumlah penderita arthritis sudah mencapai
66 juta atau hampir 1 dari 3 orang menderita gangguan sendi. Sebanyak 42,7 juta
di antaranya telah terdiagnosis sebagai artritis adalah penderita dengan keluhan
nyeri sendi kronis Sedangkan prevalensi rematik di Indonesia menurut hasil
penelitian yang diiakukan oieh Zeng QY mencapai 23,6% sampai 3l,3%.2
2.3 Etiologi
a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki
angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%1
c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang
(host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya
penyakit RA1
10
d. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon
terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog.
Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali
epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan
terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi
imunologis1
11
dari modifikasi postranslasi oleh enzim PADI4. Antibodi ini mengenali regio
yang mengandung citrulline dari beberapa matriks protein yang berbeda, meliputi
filaggrin, keratin, fibrinogen, dan vimetin dan meningkat pada cairan sendi
dibandingkan serum. Autoantibodi lain telah ditemukan pada minoritas pasien
AR, tetapi juga ditemukan pada tipe artritis lain. Autoantibodi ini berikatan
dengan autoantigen, meliputi kolage tipe II, human cartilage gp-39, aggrecan,
calpastatin, BIP (Immunoglobulin Binding Protein) dan glukosa 6 fosfat
isomerase.5
12
Patogenesis AR dibentuk dengan konsep bahwa sel T self-reactive
menyebabkan respon inflamasi kronis. Secara teori, sel T self-reactive dapat
meningkat pada AR dari seleksi sentral (thymic) abnormal karena defek perbaikan
DNA yang menyebabkan ketidakseimbangan kematian sel T, atau defek pada sel
yang memberikan signal untuk merendahkan batas bawah untuk aktivasi sel T.
Seleksi abnormal sel T di perifer dapat menyebabkan kerusakan toleransi sel T.
Dukungan untuk teori ini berasal dari penelitian mengenai artritis pada tikus.
Belum ditunjukkan pada pasien dengan AR memiliki seleksi thymic abnormal
untuk sel T atau pathway apoptosis yang defek untuk meregulasi kematian sel.
Setidaknya beberapa antigen menstimulasi di dalam sendi yang kemungkinan
menyebabkan sel T pada sinovium mengekspresikan fenotipe permukaan sel yang
mengindikasikan paparan antigen sebelumnya dan menunjukkan bukti ekspansi
klonal. Sebagai tambahan sel T dari darah tepi pasien AR menunjukkan tanda
penuaan prematur dan mengenai sel T naif. Pada penelitian ini, temuan paling
penting adalah hilangnya urutan telomer dan penurunan output thymic sel T
baru.5,8
13
Gambar 2.4 Patofisiologi mekanisme inflamasi dan destruksi sendi
14
Terdapat bukti yang mendukung peran CD4+ sel T pada patogenesis AR.
Pertama, ko-reseptor CD4 pada permukaan sel T mengikat situs dari molekul
MCH kelas II, menstabilkan kompleks reseptor sel MHC peptida T ketika aktivasi
sel T. Dikarenakan SE di molekul MCH kelas II adalah faktor resiko untuk AR,
aktivasi CD4+ sel T memiliki peran pada patogenesis penyakit ini. Kedua,
aktivasi CD4+ sel T lebih banyak pada jaringan sinovial pada pasien dengan AR.
Ketiga CD4+ sel T telah ditunjukkan memiliki peran penting dalam menginisiasi
artritis pada binatang penelitian. Keempat, mungkin beberapa, tetapi tidak semua
terapi target sel T menunjukkan efikasi klinis untuk penyakit ini. Bila
digabungkan, bukti-bukti ini menunjukkan CD4+ sel T memiliki peran penting
dalam respon inflamasi kronis AR. Tetapi, sel tipe lain seperti CD8+ sel T,
natural killer (NK), dan sel B ditemukan pada jaringan sinovial dan
mempengaruhi respon patogenik.5
Pada sendi rheumatoid, mekanisme kontak sel antar sel dan pelepasan
mediator, stimulasi makrofag oleh sel T yang aktif dan sinovisit menyerupai
fibroblas menghasilkan mediator proinflamasi dan protease yang menimbulkan
respon inflamasi sinovial dan merusak tulang rawan dan tulang. Aktivasi CD4+
sel T dependen terhadap 2 sinyal: (1) reseptor sel T yang mengikat peptida MHC
pada sel antigen; dan (2) pengikatan CD28 terhadap CD80/86 pada sel antigen.
CD4+ sel T juga menolong sel B yang mengjasilkan antibodi yang
mempromosikan inflamasi lebih lanjut pada sendi. Model sel T sebelumnya untuk
patogenesis RA didasari pada paradigma TH1, yang berasal dari penelitian yang
mengindikasikan CD4+ T helper (TH) berdiferensiasi menjadi TH1 dan TH2,
dengan profil sitokin yang berbeda. Sel TH1 ditemukan menghasilkan interferon γ
(IFN-γ), limfotoksin β, dan TNF-α, sedangkan sel TH2 mengsekresikan interleukin
(IL)-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Penemuan terbaru menunjukkan adanya sel
TH lain, yang dinamakan keturunan TH17, yang merevolusi konsep mengenai
patogenesis RA. Pada manusia, sel T naif diinduksi untuk berdiferensiasi oleh sel
TH17 dengan paparan terhadap transforming growth factor β (TGF-β), IL-1, IL-6
dan IL-23. Ketika diaktivasi, sel TH17 mengsekresikan bercama mediator
15
proinflamasi seperti IL-17, IL-21, IL-22, TNF-α, IL-26, IL-6 dan granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Bukti terbaru menunjukkan
bahwa dari binatang dan manusia IL-17 berperan penting tidak hanya dalam
mempromosikan inflamasi sendi, namun juga destruksi dari tulang rawandan
tulang subkondral.5
16
AR dianggap sebagai penyakit yang didorong oleh makrofag dikarenakan sel
tipe ini adalah sel utama yang menghasilkan sitokin proinflamasi di dalam sendi.
Sitokin proinflamasi penting yang dilepaskan oleh makrofag sinovial meliputi
TNF-α, IL-1, IL-6, IL-12, IL-15, IL-18, dan IL-23. Fibroblas sinovial, tipe sel lain
pada sendi menghasilkan sitokin IL-1 dan IL-6 serta TNF-α. TNF-α adalah sitokin
penting yang berperan dalam patobiologi dari inflamasi sinovial. Sitokin ini
meningkatkan regulasi adhesi dari molekul pada sel endotel, mempromosikan
influks leukosit ke lingkungan sendi, mengaktifkan fibroblas sinovial,
menstimulasi angiogenesis, mempromosikan jalur reseptor nyeri, dan
menjalankan osteoclastogenesis.5
2.7 DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita
artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang
bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang bervariasi.1,5,6
a. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya
b. Poliartritis simetris, terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-sendi
di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal.
Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
c. Kekakuan pagi hari, selama lebih dari satu jam: dapat bersifat
generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda
dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya
berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam
d. Artritis erosif: merupakan ciri khas dari penyakit ini pada gambaran
radiologik.
Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang.
e. Deformitas: kerusakan struktur penunjang sendi meningkat dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi
17
metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah
beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai. Pada kaki terdapat
protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dan subluksasi
metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan mengalami
pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak
ekstensi.
f. Nodul-nodul rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yang
paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau
sepanjang permukaan ekstensor dari lengan. Walaupun demikan, nodul-
nodul ini dapat juga timbul pada tempat lainnya. Adanya nodul-nodul ini
biasanya merupakan petunjuk dari suatu penyakit yang aktif dan lebih
berat.
g. Manifestasi ekstra-artikular; artritis reumatoid juga dapat menyerang
organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis),
mata, dan pembuluh darah dapat rusak.
2. Klasifikasi Diagnosis
Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari artritis
reumatoid dari American Rheumatism Association tahun 1987
Tabel 2.2: 1987 Revised American Rheumatism Association Criteria for the
Classification of Rheumatoid Arthritis.1
Kriteria Definisi
1. Keka Kekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar sendi,
kuan pagi hari lamanya setidaknya 1 jam
Setidaknya tiga area sendi secara bersama-sama dengan
peradangan pada jaringan lunak atau cairan sendi. 14
2. Artrit kemungkinan area yang terkena, kanan maupun kiri
is pada tiga atau
lebih area sendi proksimal interfalangs (PIP), metakarpofalangs (MCP),
pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, dan
sendi metatarsofalangs (MTP)
3. Artrit Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan,
18
is pada sendi
sendi MCP atau sendi PIP
tangan
4. ArtritSecara bersama-sama terjadi pada area sendi yang sama
is simetris pada kedua bagian tubuh
5. Nodu Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau
l-nodul reumatoid permukaan regio ekstensor atau regio juksta-artikular
6. Seru Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada serum faktor
m faktor reumatoid dengan berbagai metode yang mana hasilnya
reumatoid positif jika < 5% pada subyek kontrol yang normal
Perubahan radiografik tipikal pada artritis reumatoid pada
7. Perub radiografik tangan dan pergelangan tangan
ahan radiografik posteroanterior, dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi
terlokalisasi yang tegas pada tulang.
Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika pasien
memenuhi setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah
berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis,
tidak dikeluarkan pada kriteria ini.
Sumber : Daud. R, 2010, Artritis Reumatoid Dalam: Sudoyo. A, Setiyohadi. B, Alwi. I.,
Dkk (Editor) Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II, ed. IV. Hal. 1174-1181. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
19
Serologi (0-3)
RF negative DAN ACPA negative 0
Positif rendaf RF ATAU positif rendah ACPA 2
Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA 3
Durasi Gejala (0-1)
<6 minggu 0
≥6 minggu 1
Acute Phase Reactant (0-1)
CRP normal DAN LED normal 0
CRP abnormal ATAU LED abnormal 1
3. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi artikular:
Bengkak/efusi sendi, nyeri tekan sendi, sendi teraba hangat, deformotas (swan
neck, boutonniere, deviasi ulnar).6
Manifestasi ekstraartikular:
20
1. Kulit: terdapat nodul rheumatoid pada daerah yg banyak menerima penekanan,
vaskulitis.
2. Soft tissue rheumatism, seperti carpal tunnel syndrome atau frozen shoulder.
3. Mata dapat ditemukan kerato-konjungtivitis sicca yang merupakan manifestasi
sindrom Sjorgen, episkleritis/ skleritis. Konjungtiva tampak anemia akibat
penyakit kronik.
4. Sistem respiratorik dapat ditemukan adanya radang sendi krikoaritenoid,
pneumonitis interstitial, efusi pleura, atau fibrosis paru luas.
5. Sistem kardiovaskuler dapat ditemukan perikarditis konstriktif, disfungsi katup,
fenomena embolisasi, gangguan konduksi, aortritis, kardiomiopati.6
Dalam keadaan dini AR dapat bermanifestasi sebagai poiindromic
rheumatism yaitu timbulnya gejala monoartritis yang timbul antar 3-5 hari dan
diselingi masa remisi sempurna sebelum bermanifestasi sebagai Ar yang khas. AR
awal juga dapat bermanifestasi sebagai pauciartrikular rheumatism yaitu gejala
oligoartrikuler yang melibatkan 4 persendian atau kurang. Kedua gambaran ini
seringkali menyulitkan dalam meneggakan diagnosis AR dalam masa ini.8
21
Sumber : Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk diagnosis dan
pengelolaan Artritis Reumatoid.2014.8
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah parifer lengkap : anemia, trombositosis
b. Rheumatoid factor (RF) serum, ACPA (anti-cyclic citrullinated peptide
antibody) / anti-CCP
c. Laju endap darah atau C-reactive protein (CRP) meningkat
d. Fungsi hati, fungsi ginjal
e. Analisis cairan sendi (peningkatan leukosit >2.000/mm3)
f. Biopsi sinovium/nodul rhematoid
g. Pemeriksaan radiologi (foto polos UsSG Doppler) : gambaran dini berupa
pembengkakan jaringan lunak, diikuti oleh osteoporosis juxta-artikular dan
erosi pada bare area tulang.8,9
22
sendi jangka panjang. Foto Rontgen, biasanya ditemukan deformitas tulang. Pada
tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada radiologi, kecuali
pembengkakan jaringan lunak. Tetapi setelah sendi mengalami kerusakan yang
lebih berat, maka dapat terlihat penyempitan ruang sendi, erosi tulang pada tepi
sendi dan pengurangandensitas tulang, tapi yang tersering adalah sendi
metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering terkena.
Perubahan ini bersifat irreversible.1
23
Sumber : Taher. A, 2014, Artritis Reumatoid. Panduan Praktik Klinis di Fasilitas
Pelayan Kesehatan Primer.Hal 248-253.Jakarta: Penerbit IDI.7
Pada artritis gout akut, terjadi pembengkakan yang mendadak dan nyeri yang luar
biasa, biasanya pada sendi ibu jari kaki, sendi metatarsofalangeal.
Artritis bersifat monoartrikular dan menunjukkan tanda-tanda peradangan lokal.
Mungkin terdapat demam dan peningkatan sejumlah leukosit. Serangan dapat
dipicu oleh pembedahan, trauma, obat-obatan, alkohol, atau stres emosional.
Sendi-sendi lain dapat terserang, termasuk sendi jari tangan, lutut, mata kaki,
pergelangan tangan, dan siku.5
24
Sumber :Mayo Foundation for Medicine Education Research (MFMER) all Right
Reserved. 2018.
Osteoartritis
Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini
bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh
adanya deteorisasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru
pada permukaan persendian. Gambaran klinis osteoartritis umumnya berupa nyeri
sendi, terutama apabila sendi bergerak atau menanggung beban. Nyeri tumpul ini
berkurang bila sendi digerakkan atau bila memikul beban tubuh. Dapat pula
terjadi kekakuan sendi setelah sendi tersebut tidak digerakkan beberapa lama,
tetapi kekakuan ini akan menghilang setelah digerakkan. Kekakuan pada pagi
hari, jika terjadi, biasanya hanya bertahan selama beberapa menit, bila
dibandingkan dengan kekakuan sendi di pagi hari yang disebabkan oleh artritis
reumatoid yang terjadi lebih lama.5
Sumber :Mayo Foundation for Medicine Education Research (MFMER) all Right
Reserved. 2018.
25
2.9 PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari program pengobatan pada reumatoid artritis adalah
untuk menghilangkan nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan
kemampuan maksimal dari penderita, serta mencegah dan atau memperbaiki
deformitas yang terjadi pada sendi.
Non farmakologis :
Eduksi, rehabilitasi, fisioterapi, proteksi sendi pada stadium akut, foot
orthotik/splint(jika perlu), terapi spa, latihan fisik, (dynamic strenght training) 30
menit setiap latihan 2-3 kali seminggu dengan intensitas sedang, suplemen
minyak ikan suplemen asam lemak esensial.8,9
a. Edukasi
26
penyebab dan prognosis penyakit, semua komponen program penatalaksanaan
termasuk obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit,
dan metode- metode yang efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim
kesehatan.8,9
b. Rehabilitasi
c. Fisioterapi / latihan
27
- Pemakaian alat bidai, tongkat, tongkat penyangga, walking machine, kursi
roda, sepatu dan alat ortotik lainnya
- Mekanoterapi yaitu alat mekanik untuk latihan
- Pemanasan baik hidroterapi maupun elektroterapi
- Occupational therapy
Untuk menilai kemajuan hasil pengobatan dapat dipakai parameter: 6,9
- Tentang lamanya morning stiffness
- Berapa banyaknya sendi yang nyeri bila berjalan atau digerakkan
- Kekuatan menggenggam yang dinilai dengan sphygnomanometer/tensi meter
- Waktu yang diperlukan untuk berjalan 10-15 meter
Farmakologi :
a. DMARD (disease modifying anti rheumatc drugs) konvensional :Mtx,
hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomid,
azatiofirin, siklosporin.8,9
28
o Menetrahsasi radikal oksigen
o Menekan rasa nyeri
Selama ini telah terbukti bahwa OAINS dapat sangat berguna dalam
pengobatan AR, walaupun OAINS bukanlah merupakan satu satunya obat yang
dibutuhkan dalam pengobatan AR. Hal ini di sebabkan karena golongan OAINS
tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang dari proses
destruksi akibat AR.1,7,8
Glukokortikoid
Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan
komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki
efek samping yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-7,5 mg
satu kali sehari) sangat bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi
sinovitis sebelum DMARD mulai bekerja, yang kemudian dihentikan secara
bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosteroid intraartikular jika terdapat
peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi harus disingkirkan terlebih dahulu.1
DMARD
Untuk mengatasi proses destruksi tersebut masih diperlukan obat obatan lain yang
termasuk dalam golongan DMARD.
29
tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau
dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.
d. Garam emas. Khasiatnya tidak diragukan lagi meski sering timbul efek
samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular, dimulai dengan
dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua
sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama
20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2
minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3
minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis,
proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah
auranofin yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang
dijumpai, pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan
dosis.
Terapi Kombinasi
30
Regimen terapi kombinasi yang efektif dan aman digunakan untuk
penderita AR aktif yang tidak terkontrol adalah salat satu dari kombinasi berikut:
MTX + hidroksiklorokuin, MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine (bisa juga
ditambah prednisolone), MTX + leflunomid. 1
31
- Sebelum memulai pengobatan dengan DMARD harus dilakukan
pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya TB. (tes tuberculin dan foto
toraks; jika ada keraguan dapat dikonsulkan dengan bagian paru).
Pemeriksaan ini sebaiknya juga dilakukan pada orang-orang yang sering
berhubungan dengan pasien.
- Pertimbangkan pengobatan jangka pendek dengan glukokortikoid (oral,
intramuscular atau intra-artikular) untuk memperbaiki gejala secara cepat
pada pasien AR yang baru terdiagnosis jika mereka belum menerima
glukokortikoid sebagai bagian dari terapi kombinasi DMARD.
- Pada orang dengan recent onset RA yang menerima terapi kombinasi
DMARD dan yang bertahan dengan hasil yang memuaskan, kurangi dosis
obat dengan hati-hati ketingkat yang masih dapat mempertahankan kontrol
penyakit.
- Pada pasien AR yang baru terdiagnosis dimana terapi kombinasi DMARD
tidak dapat diberikan (misalnya karena penyakit penyerta atau kehamilan),
mulai monoterapi DMARD dengan penekanan pada peningkatan yang
cepat hingga dosis klinis efektif.
- Pada pasien AR yang kondisi penyakitnya stabil, kurangi dosis obat
DMARD atau agen biologik dengan hati-hati. Segera kembali ke dosis
penuh pada tanda pertama timbulnya kekambuhan.
- Ketika memulai obat baru untuk memperbaiki pengendalian penyakit pada
rejimen pengobatan pasien AR, pertimbangkan mengurangi atau
menghentikan obat DMARD yang sudah ada saat penyakit telah dapat
dikendalikan.
- Pada setiap pasien AR dimana dosis obat DMARD non-biologik atau
biologic sedang diturunkan atau dihentikan, harus disiapkan review dini.
Tabel 2.7: Jenis-jenis DMARD yang Digunakan Dalam terapi AR :1
32
33
Tabel 2.8: Kategori obat serta definisisnya untuk pengobatan RA menurut ACR
2015.10
34
Sumber : American College of Rheumatology. Guideline for the Treatment of
Rheumatoid Arthritis. 2015.10
35
Tabel 2.9. Kriteria remisi dari ACR 1987 4,10
36
Tabel 2.10. Kriteria remisi DAS 28 4,10
37
38
39
40
41
42
43
2.10 KOMPLIKASI
1. Osteoporosis
Rheumatoid arthritis itu sendiri, bersama dengan beberapa obat yang
digunakan untuk mengobati rheumatoid arthritis, dapat meningkatkan
risiko osteoporosis – sebuah kondisi yang melemahkan tulang dan
membuat mereka lebih rentan terhadap patah tulang.4
2. Rheumatoid Nodul
44
ini benjolan perusahaan jaringan yang paling sering terbentuk di sekitar
titik-titik tekanan, seperti siku. Namun, nodul ini dapat membentuk di
mana saja di tubuh, termasuk paru-paru.
3. Mata dan mulut kering
Orang yang memiliki rheumatoid arthritis jauh lebih mungkin untuk
mengalami sindrom Sjogren, gangguan yang menurunkan jumlah uap air
di mata dan mulut.
4. Infeksi
Penyakit itu sendiri dan banyak dari obat yang digunakan untuk
memerangi rheumatoid arthritis dapat merusak sistem kekebalan tubuh,
yang menyebabkan peningkatan infeksi.
5. Komposisi tubuh yang tidak normal
Proporsi lemak dibandingkan dengan bersandar massa seringkali lebih
tinggi pada orang yang memiliki rheumatoid arthritis, bahkan pada orang
yang memiliki indeks massa tubuh normal (BMI).
6. Carpal tunel syndrome
Jika rheumatoid arthritis mempengaruhi pergelangan tangan, peradangan
dapat menekan saraf yang berfungsi sebagian tangan dan jari.
7. Masalah jantung
Rheumatoid arthritis dapat meningkatkan risiko pengerasan arteri dan
diblokir, serta radang kantung yang membungkus jantung.
8. Penyakit paru
Orang dengan rheumatoid arthritis memiliki peningkatan risiko
peradangan dan jaringan parut dari jaringan paru-paru, yang dapat
menyebabkan sesak progresif napas.
9. Lymphoma
Rheumatoid arthritis meningkatkan risiko limfoma, sekelompok kanker
darah yang berkembang dalam sistem getah bening.4
45
Tabel 2.11: Komplikasi yang Bisa Terjadi pada Penderita AR.1
2.11 PROGNOSIS
kriteria remisi pada artritis reumatoid dapat menggunakan ACR/Elular yaitu
apabila pasien memenuhi kriteria berikut:8
1. Jumlah sendi yang nyeri ≤1
2. Jumlah sendi yang bengkak ≤1
3. Nilsi CRp ≤1 mg/dl
4. Penilaian global pasien ≤1(dalam skala 0-10)
Sejumlah 10% pasien yang memenuhi kriteria AR akan mengalami remisi spontan
dalam 6 bulan. Akan tetapi kebanyakan pasien akan mengalami penyakit yang
parsisten dan progresif. Tingkat kematian pada AR dua kali lebih besar dari
populasi umum dengan panyakit jantung iskemik yang menjadi penyebab utama
kematian terbanyak diikuti dengan infeksi.
46
Median harapan hidu pendek dengan rata-rata 7 tahun untuk laki-laki dan 3 tahun
untuk perempuan dibandingkan dengan populasi kontrol.8
47
BAB III
KESIMPULAN
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Suarjana Nyoman. Artritis Reumatoid dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi V. Jilid III. Editor: Setiawati Siti, dkk. Jakarta: InternaPublishing,
2014.hlm.3151-3159.
3. Waugh A and Grand A, editors. Rose and Wilson Anatomy and Physiology in
Health and Illness 9th ed. Edinburg: Churchill Livingstone; 2010.p.414-5.
49
50