Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

Insufisiensi Vena Kronik

Disusun oleh :

Risqulah (NIM. 1907101030017)


Arina Ratu Paradis (NIM. 1907101030003)
Indah Fitria (NIM. 1907101030006)

Annisa Amalia (NIM. 1907101030029)

Ricky Aura (NIM.1807101030021)

Ahmad Gozali Siahaan (NIM. 1907101030030)

SUB BAGIAN BEDAH THORAKS, KARDIAK DAN VASKULAR


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH
KUALA BANDA ACEH
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Insufisiensi
Vena Kronik”, yang penulis ajukan untuk melengkapi tugas stase di bagian Bedah
Thoraks, Kardiak dan Vaskular.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada


Konsulen Sub Bagian Ilmu Bedah Thoraks, Kardiak dan Vaskular sebagai pembimbing
penulis yang telah memberikan waktu dan kesempatannya untuk membimbing dalam
proses penulisan makalah ini hingga penulis dapat menyelesaikan referat ini tepat pada
waktunya. Penulis akhirnya mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalahini.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari ada banyak kekurangan


dalam penyusunan makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna perbaikan makalah ini di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat
memberi manfaat, dan berguna bagi kami semua,Aamiin.

Banda Aceh, Februari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTARISI......................................................................................................... iii
BABI PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1 Anatomi Vena Ekstremitas Bawah .............................................. 1
1.2 Definisi ......................................................................................... 2
1.3 Epidemiologi .................................................................................... 3
1.4 Etiologi ............................................................................................. 3
1.5 Faktor Risiko .................................................................................... 4
1.6 Patofiiologi ....................................................................................... 4
1.7 Manifestasi Klinis ........................................................................ 7
1.8 Klasifikasi .................................................................................... 7
1.9 Diagnosis...................................................................................... 9
BABII TATALAKSANA .............................................................................. 12
2.1 Tatalaksana ................................................................................ 12
2.2 Pilihan Pengobatan Konservatif ................................................ 13
2.3 Skleroterapi .................................................................................... 14
2.4 Prosedur Operasi ............................................................................ 15
2.5 Prosedur Termal dan Kimia Endovenous ...................................... 16
2.6 Perbandingan Pilihan Pengobatan .................................................. 17
BABIII KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS ................................................ 19
3.1 Komplikasi................................................................................. 19
3.2 Tatalaksana Fraktur Hidung ...................................................... 19
BABIV PENCEGAHAN ................................................................................ 20
BABV KESIMPULAN ................................................................................. 21
DAFTARPUSTAKA ............................................................................................ 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Anatomi Vena Ekstremitas Bawah


1.1.1 Vena superfisialis ekstremitas bawah
Sistem superfisialis terdiri dari vena safena magna dan vena safena parva.
Keduanya memiliki arti klinis yang sangat penting karena memiliki predisposisi
terjadinya varises yang membutuhkan pembedahan.1 V. Safena magna keluar dari
ujung medial jaringan v.dorsalis pedis. Vena ini berjalan di sebelah anterior
maleolus medialis, sepanjang aspek anteromedial betis (bersama dengan nervus
safenus), pindah ke posterior selebar tangan di belakang patela pada lutut dan
kemudian berjalan ke depan dan menaiki bagian anteromedial paha. Pembuluh ini
menembus fasia kribriformis dan mengalir ke v.femoralis pada hiatus safenus.
Bagian terminal v.safena magna biasanya mendapat percabangan superfisialis dari
genitalia eksterna dan dinding bawah abdomen. Dalam pembedahan, hal ini bisa
membantu membedakan v.safena dari femoralis karena satu-satunya vena yang
mengalir ke v.femoralis adalah v.safena. Cabang-cabang femoralis anteromedial
dan posterolateral (lateral aksesorius), dari aspek medial dan lateral paha, kadang-
kadang juga mengalir ke v.safena magna di bawah hiatus safenus. 1
V. safena magna berhubungan dengan sistem vena profunda di beberapa
tempat melalui vena perforantes. Hubungan ini biasanya terjadi di atas dan di
bawah maleolus medialis, di area gaiter, di regio pertengahan betis, di bawah lutut,
dan satu hubungan panjang pada paha bawah. Katup-katup pada perforator
mengarah ke dalam sehingga darah mengalir dari sistem superfisialis ke sistem
profunda dari mana kemudian darah dipompa keatas dibantu oleh kontraksi otot
betis. Akibatnya sistem profunda memiliki tekanan yang lebih tinggi daripada
superfisialis, sehingga bila katup perforator mengalami kerusakan, tekanan yang
meningkat diteruskan ke sistem superfisialis sehingga terjadi varises pada sistem
ini.1
V. safena parva keluar dari ujung lateral jaringan v.dorsalis pedis. Vena ini
melewati bagian belakang maleolus lateralis dan di atas bagian belakang betis
kemudian menembus fasia profunda pada berbagai posisi untuk mengalir ke
v.poplitea. 1

1
2

1.1.2 Vena profunda ekstremitas bawah

Vena-vena profunda pada betis adalah v.komitans dari arteri tibialis anterior
dan posterior yang melanjutkan sebagai v.poplitea dan v.femoralis. Vena profunda
ini membentuk jaringan luas dalam kompartemen posterior betis pleksus soleal
dimana darah dibantu mengalir ke atas melawan gaya gravitasi oleh otot saat
olahraga.1

1.2 Definsi
Gangguan vena menahun atau Chronic Venous Insufficiency (CVI) Adalah
gangguan aliran balik darah dari tungkai ke jantung yang bersifat menahun.
CVI merupakan kondisi mengenai system vena ekstremitas bawah yang dapat
menyebabkan berbagai patologi, meliputi nyeri, bengkak, perubahan kulit, dan
ulserasi.2
3

1.3 Epidemiologi
Varises memiliki perkiraan prevalensi antara 5% dan 30% pada populasi
orang dewasa, dengan perempuan lebih dominan dari pada laki-laki 3: 1, meskipun
penelitian yang terbaru mendukung prevalensi laki-laki yang lebih tinggi.3
Studi Vena Edinburgh menyaring 1.566 subjek dengan USG dupleks
untuk refluks, menemukan CVI di 9,4% pria dan 6,6% wanita setelah penyesuaian
usia, yang meningkat secara signifikan seiring bertambahnya usia (21% pada pria>
50 tahun, dan 12% pada wanita> 50 tahun) . Skrining yang dilakukan oleh Vaskular
San Valentino menemukan di antara 30.000 subjek dievaluasi dengan penilaian
klinis dan USG dupleks, prevalensi 7% untuk varises tetapi <1% untuk gejala CVI.
CVI lebih umum dengan bertambahnya usia. Namun, tidak ada perbedaan jenis
kelamin yang signifikan. Tingkat perkembangan varises dapat diperkirakan dari
Studi Framingham, yang menemukan insiden tahunan sebesar 2,6% pada wanita
dan 1,9% pada pria. Program Konsultasi Vena mengevaluasi lebih dari 91.000
subjek di berbagai wilayah geografis dan menemukan prevalensi di seluruh dunia.3

1.4 Etiologi
Penyebab insufisiensi vena kronis juga dapat diklasifikasikan sebagai
primer atau sekunder akibat trombosis vena dalam (DVT).4
Insufisiensi vena kronis primer mengacu pada presentasi gejala tanpa
kejadian pencetus dan disebabkan oleh cacat bawaan atau perubahan biokimia
dinding vena. Studi terbaru menunjukkan bahwa sekitar 70% pasien mengalami
insufisiensi vena kronis primer dan 30% memiliki penyakit sekunder. Studi tentang
insufisiensi vena kronis primer telah mengidentifikasi penurunan kandungan
elastin, peningkatan pembentukan kembali matriks ekstraseluler dan infiltrat
inflamasi. Puncaknya mengubah integritas vena yang menyebabkan dilatasi dan
inkompetensi katup. 4
Insufisiensi vena kronis sekunder terjadi sebagai respons terhadap DVT
yang memicu respons inflamasi yang kemudian melukai dinding vena. Terlepas
dari etiologi spesifiknya, insufisiensi vena kronis menyebabkan hipertensi vena.
Faktor risiko non-modifikasi yang paling umum adalah jenis kelamin perempuan
dan obstruksi vena iliaka non-trombotik (sindrom May-Thurner). Beberapa
4

penelitian juga menunjukkan komponen genetik yang berkontribusi pada


kelemahan dinding vena. Faktor risiko yang dapat diubah termasuk merokok,
obesitas, kehamilan, berdiri lama, DVT, dan cedera vena. 4

1.5 Faktor Risiko


Faktor risiko dari Insufisiensi vena kronis: 4
1. Usia lanjut
2. Riwayat trombosis vena dalam
3. Gaya hidup menetap
4. Penggunaan kontrasepsi oral
5. Cedera kaki
6. Hipertensi

1.6 Patofisiologi
Patofisiologi insufisiensi vena kronis dapat disebabkan oleh refluks (aliran
balik) atau obstruksi aliran darah vena. Insufisiensi vena kronis dapat terjadi akibat
inkompetensi katup vena superfisial yang berlarut-larut, vena dalam, atau vena
perforasi yang menghubungkannya. Dalam semua kasus, akibatnya adalah
hipertensi vena pada ekstremitas bawah. 4

Inkompetensi superfisial biasanya karena katup yang melemah atau


berbentuk tidak normal atau diameter vena yang melebar yang mencegah
kongruensi katup normal. Katup bocor dalam banyak kasus terletak di dekat
penghentian vena saphena mayor ke vena femoralis umum. Sementara dalam
beberapa kasus, disfungsi katup mungkin bawaan, bisa juga akibat trauma, berdiri
lama, perubahan hormonal atau trombosis. 4
Disfungsi vena dalam biasanya disebabkan oleh DVT sebelumnya yang
menyebabkan peradangan, jaringan parut dan adhesi katup, dan penyempitan
luminal. Kegagalan katup vena perforasi memungkinkan tekanan yang lebih tinggi
untuk memasuki sistem vena superfisial. Pelebaran selanjutnya mencegah
penutupan katup katup yang tepat di vena superfisial. Kebanyakan pasien juga akan
menderita penyakit di vena superfisial. Tekanan vena istirahat merupakan
penjumlahan dari obstruksi aliran keluar, aliran masuk kapiler, fungsi katup, dan
5

fungsi pompa otot. 4


Terlepas dari penyebabnya, tekanan hidrostatik vena yang terus meningkat
dapat menyebabkan nyeri ekstremitas bawah, edema, dan mikroangiopati vena.
Beberapa pasien mengalami hiperpigmentasi kulit permanen akibat pengendapan
hemosiderin saat sel darah merah mengekstravasasi ke jaringan sekitarnya. Banyak
dari pasien ini juga akan menderita lipodermatosklerosis, yaitu penebalan kulit
akibat fibrosis lemak subkutan. Seiring perkembangan penyakit, mikrosirkulasi
yang terganggu dan melemahnya kulit dapat menyebabkan pembentukan ulkus. 4

Gambar. Patofisiologi Insufisiensi Vena Kronis5

Patofisiologi pada gambar diatas umumnya berupa peradangan. Dua ciri


histologis utama adalah infiltrasi leukosit dan vasodilatasi. Yang pertama memulai
dengan kejutan panas protein yang menginduksi adhesi leukosit dan diapedesis.
Infiltrasi leukosit ditingkatkan oleh kemokin yang diproduksi terutama oleh
makrofag, leukosit melepaskan MMP dan proteinase lainnya, serta spesies oksigen
6

reaktif, mengarah ke penghancuran agen berbahaya. Vasodilatasi diproduksi


melalui beberapa mediator kimia seperti histamin, eikosanoid, bradikinin, PGE2,
oksida nitrat yang dilepaskan oleh sel endotel, sel mast, makrofag dan ujung saraf.
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular menyebabkan busung. 5

Gambar. Patofisiologi Insufisiensi Vena Kronis6

Patogenesis penyakit vena kronis (CVD) dan mekanisme flavonoid dalam


pengobatannya. CVD adalah hasil dari vena kronis hipertensi pada tungkai bawah,
sebagian besar karena refluks melalui nilai yang tidak kompeten di vena aksial atau
superfisial atau katup perforator ketidakmampuan. Namun, hipertensi vena juga
7

bisa disebabkan oleh obstruksi aliran keluar vena atau kegagalan pompa otot betis.
Vena hipertensi dianggap menyebabkan berbagai tanda dan gejala CVD terutama
dengan menginduksi peradangan kronis dan mungkin oleh mengubah tegangan
geser atau menyebabkan hipoksia. Peradangan kronis menyebabkan kerusakan,
perubahan struktural dan hipertrofi pada katup, dinding vena dan jaringan karena
infiltrasi dan aktivasi leukosit, mediator inflamasi, aksi enzim pendegradasi matriks
ekstraseluler (ECM) seperti metaloprotease matriks (MMPs) dan produksi
transformasi faktor pertumbuhan-b (TGF-b), yang dapat menyebabkan fibrosis.
Struktural ini perubahan menyebabkan pelebaran vena, yang menyebabkan varises,
vena retikuler, dan telangiektasis. Kerusakan katup menciptakan lingkaran setan
memperburuk penyakit dan hipertensi vena. Produksi mediator inflamasi dapat
mendasari banyak gejala penyakit kronis, terutama nyeri dan gatal. Hipertensi vena
juga menyebabkan hipertensi kapiler, yang menyebabkan pigmentasi dan edema,
kemungkinan sebagai akibat peradangan lokal. Flavonoid tampaknya bekerja pada
penyakit vena kronis terutama dengan menghambat peradangan. Mereka juga
meningkatkan vena tonus, yang dapat membantu melawan pembentukan vena yang
membesar. 6

1.7 Manifestasi Klinis7,8,9


Gejala insufisiensi vena kronik dapat meliputi :
• Bengkak di kaki atau pergelangan kaki
• Kaki terasa berat atau pegal, panas dan gatal
• Nyeri saat berjalan yang berhenti saat istirahat
• Perubahan warna kulit
• Varises
• Ulkus kaki

1.8 Klasifikasi
CEAP berdasarkan tanda-tanda klinis (Clinical), penyebab (Etiologic),
Anatomic, dan Pathophysiology.(2)
8

CEAP – an international consensus conference initiated the Clinical-Etiology-


Anatomy-Pathophysiology classification.

Clinical Etiology Anatomy Pathophysiology


C0 Ec As Pr

no evidence of venous Congenital superficial venous reflux


disease veins
C1 Ep Ad Po

telangiectasia/reticular primary venous Deep veins Venous


veins disease obstruction
C2 Es Ap Pn

Varicose veins Secondary Perforating Not specified


venous disorder veins
C3 En An
Edema associated
9

with vein disease Not specified Not specified


C 4a

Pigmentation or
eczema
C 4b

Lipodermatosclerosis
C5

Healed venous ulcer


C6

Active venous ulcer

Venous Severity Scoring (VSS). Sistem penilaian ini diambil dari klasifikasi
CEAP, tetapi dimodifikasi agar dapat dipakai untuk menilai perkembangan
penyakitnya. Ada tiga komponen system penilaian ini, yaitu:(2)
1. Venous Disability Score (VDS) : menilai apakah pasien mampu untuk bekerja
selama 8 jam dengan atau tanpa alat penyokong eksternal, dengan diberi nilai
0-3. Nilai totalnya mewakili tingkat disability yang disebabkan oleh penyakit
vena.
2. Venous Segmental Disease Score (VSDS) : menggunakan klasifikasi anatomic
dan patofisiologik sistem CEAP untuk menilai berdasarkan refluks atau
obstruksi vena. Nilainya didapat dengan mengambil gambar vena
menggunakan phlebography atau duplex Doppler.
3. Venous Clinical Severity Score (VCSS) : memakai 9 tanda-tanda utama
penyakit venosa yang diberi nilai dari 0-3. Sistem ini dapat dipakai untuk
menilai repons terhadap terapi.

Variabel Score
0 1 (ringan) 2 (sedang) 3 (berat)
10

Nyeri Tidak Kadang-tidak Setiap hari – Penggunaan


perlu kadang konstan
analgesik menggunakan analgesik
analgesik non narkotika
narkotik
Vena varicosa Tidak Sedikit- Multiple Luas
tersebar
Edema Tidak Sore hari – Sore hari – Pagi hari
hanya diatas diatas
pergelangan pergelangan pergelangan
kaki kaki kaki
Hiperpigmentasi Tidak Terbatas Diffusa di 1/3 Tersebar luas
distal kaki
Inflamasi dan Tidak Ringan Sedang Berat
selulitis
Indurasi Tidak Fokal Kurang dari Seluruh 1/3
1/3 distal kaki distal kaki
atau lebih
Ulser aktif – 0 1 2 >2
jumlah
Durasi ulser Tidak <3 3-12 >12 Tidak
aktif – bulan sembuh
Diameter ulser Tidak <2 2-6 >6
aktif – cm
Menggunakan Tidak Kadang Sering (most Konstan
stocking days)

1.9 Diagnosis
1.9.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan insufisiensi vena kronis umumnya datang dengan kombinasi
edema pitting dependen, ketidaknyamanan tungkai, dan kelelahan, dan gatal-gatal.
Meskipun terdapat variasi presentasi di antara pasien, ciri-ciri tertentu lebih umum:
11

nyeri, kram, gatal, tusukan, dan sensasi berdenyut. Pasien mungkin


menggambarkan gejala yang membaik dengan istirahat dan peninggian kaki, dan
tanpa adanya asosiasi dengan olahraga. Gambaran terakhir ini dapat digunakan
untuk membedakan vena dari klaudikasio arteri. Saat penyakit mereka berkembang,
adanya varises dan nyeri tekan dapat dicatat bersamaan dengan edema refrakter dan
perubahan kulit. Pasien dengan penyakit lanjut akan datang dengan lesi kulit pucat
yang parah, atrofi dermal, hiperpigmentasi, kapiler vena melebar, dan pembentukan
ulkus yang paling sering terjadi di atas maleolus medial. 10
Riwayat menyeluruh harus mencatat kondisi hiperkoagulasi, penggunaan
kontrasepsi oral, DVT atau intervensi sebelumnya, tingkat aktivitas fisik, dan
pekerjaan. Presentasi pasien harus dibedakan dengan cermat dari patologi lain
dengan gejala serupa: ulkus diabetik, ulkus iskemik, dan kondisi dermatologis
termasuk kanker. 10
Pemeriksaan fisik harus melibatkan penilaian rinci terhadap setiap ulkus,
denyut nadi distal, dan neuropati. Tes Trendelenburg dapat membantu membedakan
antara CVI yang disebabkan oleh katup vena superfisial versus deep system. Untuk
melakukan tes, kaki pasien diangkat dan semua darah vena dikosongkan. Dokter
bedah kemudian menekan pangkal paha dengan kuat untuk menutup sambungan
vena safena besar dan meminta pasien untuk berdiri. Jika tungkai tidak terisi dengan
darah vena, ini menunjukkan bahwa katup yang tidak kompeten di vena superfisial
adalah penyebab CVI. jika tungkai terisi dengan darah vena, maka katup yang
menghubungkan vena superfisial ke vena dalam tidak kompeten. Jika katup sistem
dalam terlibat, perawatan terbatas pada stoking kompresi. 10

1.9.2 Pemeriksaan Penunjang


Selain riwayat lengkap dan pemeriksaan fisik, evaluasi awal harus
mencakup stratifikasi objektif. Tes refluks vena dapat mengidentifikasi daerah yang
terkena dan memberikan beberapa indikasi etiologi dan patofisiologi.
Ultrasonografi dupleks, khususnya pencitraan mode-B, dapat membantu untuk
mengidentifikasi daerah anatomi yang terkena. Insufisiensi dalam segmen vena
didefinisikan sebagai refluks lebih dari 0,5 detik dengan kompresi distal. Venografi
invasif dapat digunakan pada pasien yang mungkin memerlukan pembedahan atau
12

dicurigai mengalami stenosis vena. Modalitas lain yang dapat digunakan adalah:
indeks ankle-brachial untuk mengecualikan patologi arteri, udara atau
photoplethysmography, ultrasound intravaskular, dan ambulatory venous pressure,
yang memberikan penilaian global terhadap kompetensi vena. 10
Direct venography tidak lagi dilakukan karena kemajuan teknologi USG
dan ketersediaan MRI. Plethysmography vena dapat menilai refluks dan disfungsi
pompa otot tetapi tes ini melelahkan dan jarang dilakukan. 10
Waktu pengisian vena setelah pasien diminta untuk berdiri dari posisi duduk
juga digunakan untuk menilai CVI. Pengisian kaki yang cepat kurang dari 20 detik
adalah tidak normal.10
13

BAB II
TATALAKSANA
2.1 Tatalaksana
Ada banyak pilihan - baik konservatif maupun invasif - untuk pengobatan
penyakit vena kronis. Tujuan dari setiap bentuk pengobatan adalah perbaikan
gejala, pencegahan gejala sisa dan komplikasi CVI, dan penyembuhan ulkus.11

Pasien dengan insufisiensi vena kronis harus dirawat berdasarkan tingkat


keparahan dan sifat penyakitnya Pemberian terapi secara spesifik didasarkan pada
beratnya penyakit, di mana stadium klinis CEAP 4-6 sering memerlukan terapi
invasif, dan perlu dirujuk ke spesialis vaskuler. Stadium klinis CEAP 3 dengan
edema masif juga perlu dirujuk ke spesialis vaskuler. Pasien CVI lanjut yang tidak
ditangani berisiko terjadi ulkus, ulkus kambuhan, dan ulkus vena yang tidak
sembuh dengan infeksi progresif dan limfedema.11

Ulkus diobati paling baik dengan sistem perban kompresi. Ulserasi vena
kronis menimbulkan risiko infeksi dan transformasi kanker (ulkus Marjolin). Terapi
kompresi harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit arteri
perifer yang ada bersamaan. Insufisiensi arteri yang signifikan harus diobati
sebelum melakukan regimen kompresi. Pasien yang ulkusnya gagal merespons
kompresi mungkin pada akhirnya memerlukan intervensi bedah. Penting untuk
dipahami bahwa sklerosan digunakan untuk menangani spider vein dan bukan
varises. Jumlah larutan yang dibutuhkan untuk menghilangkan varises akan sangat
besar dan menyebabkan rasa sakit yang luar biasa, trombosis, dan perubahan warna
kulit permanen.12

Refluks vena superfisial dapat ditangani dengan skleroterapi busa, ablasi


termal endovena, atau stripping. Refluks vena dalam dapat diobati dengan
rekonstruksi katup atau transplantasi katup. Refluks perforator dapat dikelola
dengan skleroterapi, ablasi termal endovena, atau dengan Subfascial endoxcopic
perforator srugery (SEPS). Perlu dicatat, bagaimanapun, bahwa regimen terapi
kompresi yang ditaati sangat efektif dalam mengobati semua bentuk patofisiologi
vena.12
14

2.2 Pilihan Pengobatan Konservatif


Pengobatan konservatif penyakit vena kronis terutama terdiri dari terapi
kompresi dan tindakan suportif seperti terapi fisik, drainase limfatik manual, dan
penggunaan phlebotonics. Kebanyakan pasien pada awalnya harus dirawat secara
konservatif dengan peninggian kaki, olahraga (yang meningkatkan pompa otot
betis), manajemen berat badan, dan terapi kompresi. Mengangkat tungkai dapat
mengurangi edema dan tekanan intraabdominal, serta sering mengurangi gejala
sementara. Sedangkan olahraga teratur, seperti berjalan, dapat memperkuat otot
betis, sehingga memulihkan fungsi pompa otot betis.13

Terapi kompresi medis adalah dasar dari pengobatan penyakit vena kronis.
Ini relatif mudah digunakan, non-invasif, dan melawan mekanisme patofisiologis
utama dari penyakit vena kronis - refluks vena dan hipertensi - dengan kompresi
vena mekanis dan meningkatkan fungsi pompa otot. Terapi kompresi sangat
penting dalam pengobatan ulkus kaki pada tahap awal CVI, ini dapat memainkan
peran penting dalam meredakan gejala seperti kecenderungan edema dan perasaan
berat di kaki. 13
Ada berbagai pilihan untuk mencapai kompresi yang diinginkan, yang
paling umum adalah stoking kompresi dan perban kompresi. Perban kompresi
terutama digunakan untuk pengobatan ulkus tungkai dan pada fase dekongesti akut
dari edema tungkai kronis. Stoking kompresi medis tersedia dalam berbagai kelas
kompresi, panjang, metode merajut, dan desain (termasuk model yang dirancang
khusus untuk perawatan ulkus tungkai). Ada juga berbagai sistem perban kompresi.
Masih belum jelas apakah sistem kompresi multi-layer menghasilkan penyembuhan
ulkus yang lebih cepat daripada sistem satu-layer. Sementara beberapa penelitian
telah menunjukkan sistem single-layer dan multi-layer menjadi setara yang lain
telah menemukan ulkus sembuh lebih cepat menggunakan sistem multi-layer.
Penting agar pasien terbiasa dengan cara menggunakan sistem yang diresepkan
dengan benar. Terapi kompresi jangka panjang setelah penyembuhan ulkus secara
nyata berkontribusi pada tingkat kekambuhan yang lebih rendah, terutama dalam
kombinasi dengan perawatan bedah untuk kekurangan vena yang mendasari. 13
Meskipun terapi kompresi merupakan salah satu tindakan terapeutik yang
15

paling penting pada pasien dengan ulkus kaki vena, hingga sepertiga dari individu
yang terkena tidak diresepkan kompresi yang memadai. Tindakan tambahan seperti
terapi fisik, drainase limfatik manual, dan phlebotonics dapat memperbaiki gejala
CVI dan mempercepat penyembuhan ulkus. Namun, mereka bukanlah pengganti
terapi kompresi atau pembedahan. Terapi fisik dapat membantu meningkatkan
fungsi pompa otot dan mobilitas pergelangan kaki, sementara drainase limfatik
manual dengan balutan kompresi selanjutnya dapat digunakan untuk mengurangi
edema kaki kronis. 13
Terutama pada pasien ulkus tungkai vena yang tidak bergerak, dekongesti
juga dapat dicapai dengan kompresi pneumatik intermiten (intermittent pneumatic
compression - IPC). Yang terakhir, bagaimanapun, tidak dapat menggantikan
kompresi atau drainase limfatik manual. Selain itu, masih belum jelas apakah IPC
benar-benar menghasilkan penyembuhan ulkus yang lebih cepat. Pengobatan
simtomatik juga dapat mencakup flebotonik, yang mungkin memiliki efek positif
pada gejala seperti kram kaki, parestesia, atau kaki gelisah. Flavonoid khususnya
juga dapat membantu mengurangi kecenderungan edema. Dengan demikian,
phlebotonics dapat diresepkan untuk meredakan gejala tetapi tidak memiliki efek
pada penyakit yang mendasarinya. 13

2.3 Skleroterapi
Skleroterapi melibatkan penyuntikan cairan ke vena yang tidak kompeten,
yang menimbulkan respons inflamasi di endotel dinding pembuluh darah, yang
kemudian mengakibatkan trombosis lokal. Di Jerman, satu-satunya bahan yang
disetujui untuk indikasi ini adalah polidocanol (nama dagang: Aethoxysklerol,
pabrikan: Kreussler, Chemische Fabrik Kreussler & Co GmbH, Wiesbaden).
Tergantung pada ukuran vena, vena disuntikkan sebagai cairan atau busa;
polidocanol tersedia dalam berbagai konsentrasi. 13
Keuntungan dari skleroterapi adalah mudah dilakukan dan pengobatan
dapat diulang tanpa batasan; umumnya dikaitkan dengan efek samping ringan dan
waktu henti yang relatif singkat. Skleroterapi adalah alternatif yang baik pada
pasien multimorbid lanjut usia atau individu yang menolak operasi dan prosedur
endovenous. Meskipun kompresi pasca-skleroterapi biasanya dilakukan selama
16

beberapa hari hingga beberapa minggu, satu studi gagal menemukan perbedaan
hasil antara pasien yang diobati dengan dan mereka yang tidak dikompresi. 13
Efek samping yang paling umum termasuk hiperpigmentasi, anyaman
telangiektatis, dan nyeri sementara yang terkait dengan indurasi di area yang
dirawat. Dalam kasus yang sangat jarang, komplikasi seperti trombosis vena dalam
atau nekrosis kulit dapat terjadi. Komplikasi neurologis juga telah dijelaskan,
misalnya, stroke pada pasien dengan paten foramen ovale, yang merupakan
kontraindikasi absolut untuk skleroterapi. 13
Sementara skleroterapi dapat digunakan untuk inkompetensi tubuh, hal ini
menunjukkan tingkat kekambuhan yang tinggi setelah lima tahun. Oleh karena itu,
disarankan untuk merawat vena safena dengan prosedur bedah atau endovena.
Skleroterapi tunggal, di sisi lain, dapat menunjukkan hasil jangka panjang yang baik
dalam pengobatan inkompetensi anak sungai atau perforator yang terisolasi serta
pada varises berulang. Selain itu, skleroterapi juga dapat berhasil digunakan dalam
pengobatan malformasi vena. 13

2.4 Prosedur Operasi


Tujuan dari prosedur pembedahan dan endovena dalam pengobatan
penyakit vena kronis adalah untuk menghilangkan atau melenyapkan vena yang
tidak kompeten atau untuk mengisolasi sumber refluks dari sistem vaskular lainnya.
Dibandingkan dengan tindakan konservatif, prosedur ini menyebabkan penurunan
gejala yang signifikan dan peningkatan kualitas hidup pasien. Mirip dengan
kompresi dan skleroterapi, teknik bedah dan endovena dimaksudkan untuk
mencegah gejala sisa dan mengurangi risiko tromboflebitis superfisial. 13
Varian pertama dari ligasi dan stripping saphenofemoral klasik
diperkenalkan pada awal abad ke-20, dan selama bertahun-tahun terus menjadi
pengobatan standar bedah untuk penyakit vena kronis. Di sini, safena besar diikat
dan dibedah dari vena femoralis, diikuti dengan pengangkatan tributaries. Setelah
kabel dimasukkan, vena safena besar ditarik keluar. Vena safena yang lebih rendah
dibedah dari vena poplitea, dengan ligasi yang sering ditempatkan di dekat
persimpangan. Saat ini, stripping invaginasi dengan anestesi tumescent sering
digunakan, yang tidak terlalu traumatis dan menyebabkan lebih sedikit perdarahan
17

daripada metode "klasik”. 13


Ligasi tinggi tanpa stripping terkadang dilakukan untuk mempertahankan
vena safena tetapi prosedur ini menunjukkan tingkat kekambuhan yang jauh lebih
tinggi daripada ligasi saphenofemoral dengan stripping.
Metode CHIVA adalah prosedur pembedahan yang bertujuan untuk
mengubah kondisi hemodinamik sistem vena pada tungkai sehingga segmen vena
yang bervolume lega dengan membedah tributaries yang tidak kompeten secara
selektif. Dilatasi berkurang dan vena safena dapat dipertahankan. Ini sebagian
dicapai dengan meligasi pirau vena dan sirkuit resirkulasi patologis. Mengingat
kompleksitas metode ini, kami ingin merujuk pembaca kami ke artikel review
berikut. Beberapa penulis menganggap efikasi dan kepuasan pasien yang agak lebih
besar untuk metode ini daripada ligasi dan stripping saphenofemoral klasik.
Namun, studi yang lebih besar diperlukan untuk penilaian konklusif, terutama
berkenaan dengan efikasi dan tingkat kekambuhan dibandingkan dengan metode
klasik. 13
Pilihan bedah lain melibatkan ligasi epi atau subfasial langsung dari
perforator yang tidak kompeten. Ada bukti bahwa gangguan perforator
meningkatkan penyembuhan ulkus dan dapat mengurangi angka kekambuhan.
Namun, mengingat bahwa metode ini sering digunakan dalam kombinasi dengan
prosedur bedah lain seperti ligasi saphenofemoral, tidak ada kesimpulan pasti yang
dapat ditarik tentang efeknya jika digunakan sendiri. 13
Proses mengeluarkan darah menggambarkan stripping tributaries yang tidak
kompeten melalui sayatan kecil. Prosedur ini sering dilakukan pada pasien rawat
jalan dengan anestesi lokal tetapi juga dapat dikombinasikan dengan ligasi
saphenofemoral dan prosedur stripping atau endoluminal. 13

2.5 Prosedur Termal dan Kimia Endovenous


Prosedur intervensi endoluminal telah ada sejak 1999. Selama sepuluh
tahun terakhir, telah terjadi perkembangan dan perbaikan besar. Dua prosedur
termal endovenous yang paling umum digunakan adalah radiofrequency ablation
(RFA) dan endovenous laser therapy (EVLT). Metode ini terutama digunakan
untuk inkompetensi batang karena melibatkan kemajuan kateter endoluminal, yang
18

sulit atau tidak mungkin dilakukan pada vena yang tidak lurus atau bahkan berbelit-
belit. 13
Di bawah panduan USG, vena ditusuk (biasanya di distal) dan kateter RFA
atau serat laser EVLT secara proksimal dimajukan ke lokasi inkompetensi vena. Ini
biasanya berarti bahwa vena safena besar tertusuk tepat di distal lutut dan vena
safena kecil di daerah tungkai tengah bawah. Dengan menggunakan margin
keamanan khusus prosedur, serat kateter / laser kemudian ditingkatkan hingga
saphenofemoral masing-masing sambungan saphenopopliteal. Larutan anestesi
Tumescent kemudian disuntikkan di sepanjang vena, yang - terlepas dari efek
anestesi lokalnya - melindungi jaringan di sekitarnya dari kerusakan termal. Endotel
vaskular dihancurkan oleh panas yang dilepaskan dari ujung kateter / laser serat,
mengakibatkan oklusi vena. 13
Efektivitas ablasi frekuensi radio dan terapi laser hampir sama, namun, RFA
cenderung dikaitkan dengan efek samping yang lebih sedikit dan pemulihan yang
lebih cepat. Mengingat bahwa studi terkait membandingkan RFA dengan laser
dengan panjang gelombang yang lebih pendek, pernyataan ini mungkin tidak
berlaku untuk sistem laser saat ini. Berdasarkan penelitian lain, laser dengan
panjang gelombang yang lebih panjang dikaitkan dengan efek samping yang lebih
sedikit. Sehubungan dengan jenis serat laser, perbedaan dapat dibuat antara serat
ujung telanjang dan sistem radial. Mereka berbeda dalam cara memancarkan
cahaya, dan karena itu dapat dikaitkan dengan hasil yang berbeda. 13
Efek samping dari RFA dan EVLT termasuk tromboflebitis,
hiperpigmentasi, parestesia, dan memar. Komplikasi yang paling signifikan, yang
selalu dapat terjadi dalam konteks prosedur vaskular, adalah trombosis vena dalam,
dengan insiden yang dilaporkan sebesar 0,2-1,3%. Di sini, trombosis akibat panas
endovena (EHIT) secara khusus harus disebutkan karena komplikasi ini secara
eksklusif terkait dengan prosedur termal endovena. EHIT menunjukkan
perkembangan trombus yang meluas dari segmen vena yang sebelumnya tersumbat
ke dalam sistem vena. 13

2.6 Perbandingan Pilihan Pengobatan


Ada sejumlah pilihan yang tersedia untuk pengobatan penyakit vena kronis.
19

Saat memilih opsi terapeutik, keadaan anatomi individu, penyakit yang mendasari
serta keinginan pasien harus selalu diperhitungkan. 13
Hanya dalam kasus luar biasa pasien dengan CVI yang lebih lanjut harus
diobati dengan terapi kompresi saja. Namun, dalam kombinasi dengan prosedur
bedah atau endovena, terapi kompresi yang adekuat adalah salah satu terapi
andalan. 13
Skleroterapi dan proses mengeluarkan darah terutama digunakan untuk
inkompetensi perforator atau tributary yang terisolasi, varises berulang, serta dalam
kombinasi dengan prosedur lain. 13
Dalam kasus inkompetensi trunk, metode bedah klasik seperti ligasi dan
stripping saphenofemoral atau metode endovena yang lebih baru harus digunakan.
Tingkat efektivitas dan kekambuhan prosedur endoluminal - terutama metode yang
telah ditetapkan seperti RFA dan EVLT - sebanding dengan hasil pasca operasi
setelah ligasi saphenofemoral dan stripping. 13
Meskipun beberapa penelitian menemukan prosedur bedah klasik lebih
efektif, validitas penelitian ini terbatas karena penggunaan sistem kateter yang lebih
tua. Keuntungan dari prosedur endoluminal termasuk lebih sedikit efek samping,
kemungkinan anestesi lokal, dan waktu henti yang lebih singkat [98]. Mengingat
variabilitas internasional dan regional (di Jerman) yang besar dalam hal biaya dan
penggantian RFA dan EVLT oleh perusahaan asuransi kesehatan, penilaian biaya
akhir tidak dapat dilakukan, terutama jika dibandingkan dengan ligasi dan stripping
saphenofemoral. 13
Bagaimanapun, metode endoluminal cenderung dikaitkan dengan waktu
henti yang lebih pendek, dan sebagian besar prosedur dapat dilakukan secara rawat
jalan, menjadikannya alternatif yang baik pada pasien yang sesuai. 13
20

BAB III
KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

3.1 Komplikasi

Lima sampai tujuh persen kasus mengalami cedera pada nervus cutaneus,
keadaan ini sering bersifat sementara namun dapat bersifat permanen. Komplikasi
berupa terjepitnya vena dan arteri femoral juga tidak dapat untuk dihindari.
Hematome dan infeksi pada luka relatif sering terjadi ( sampai dengan 10
%), dan terjadi gangguan dalam aktivitas dan bekerja sehari-hari.
Thromboembolism berpotensi terjadi pada pembedahan varises vena, tetapi belum
ada bukti yang menujukkan risiko ini meningkat bila dilakukan pembedahan. 14

3.2 Prognosis
Prognosis kesembuhan ulkus dan inflamasi cukup bagus tanpa adanya
penyakit penyerta yang mengganggu kesembuhan. Mayoritas pasien tanpa
komplikasi memberikan respon yang baik terhadap pengobatan rawat jalan.
Perubahan permanen meliputi hemosiderosis dan fibrosis yang terjadi sebelum
inisiasi terapi. Kehilangan fungsi katup bersifat irreversibel. Tidak adanya support
kutaneus berkelanjutan dalam jangka panjang dalam bentuk inelastis atau stocking
elastis, dapat memperburuk cedera pada kulit dan jaringan lunak. 14
21

BAB IV
PENCEGAHAN

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya


CVI yaitu: 14
• Hindari jangka waktu yang lama berdiri atau duduk
• Elevasi kaki untuk mengurangi tekanan dalam pembuluh darah di kaki.
• Berolahraga secara teratur.
• Menurunkan berat badan
• Stoking kompresi untuk memusatkan tekanan pada kaki dan membantu aliran
darah.
• Antibiotik jika diperlukan untuk mengobati infeksi kulit
22

BAB V
KESIMPULAN

CVI adalah suatu kelainan pada pembuluh darah vena tahap lanjut yang dapat
mengakibatkan aliran darah dari seluruh tubuh tidak dapat kembali menuju ke
jantung oleh karena disfungsi katup Vena. Pembuluh darah vena dipengaruhi oleh:
tekanan hidrostatik, hemodinamik, katup vena dan pompa otot. Tanda-tanda CVI:
pigmentasi, lipodermatosklerotik, edema, dan dermatitis.Gejala CVI: nyeri,
bengkak, betis terasa tertekan, kaki terasa berat saat aktivitas dan membaik saat
diistirahatkan. Ultrasonografi vaskuler merupakan pemeriksaan yang tepat untuk
mendiagnosa CVI Dengan spektrum doppler dan color pada pemeriksaan duplex
sonografi femoralis dapat diketahui derajat severitas pada CVI. Hasil pemeriksaan
pada pasien CVI dengan menggunakan pemeriksaan dupleks sonografi femoralis
adalah:

• chronic venous insufisiensi (CVI) pada kedua tungkai

• tidak ditemukan thrombosis( DVT) pada vena dalam di kedua tungkai

• plaque stabil pada artery femoralis comunis kiri

• penebalan artery femoralis comunis kanan

• normal flow artery pada kedua tungkai


23

DAFTAR PUSTAKA

1. Faiz, Omar and David Moffat, Anatomy at a Glance, diterjemahkan oleh dr.
Annisa Rahmalia, (Jakarta: Erlangga, 2004)
2. Pustaka T. Gangguan Vena Menahun. 2015;42(1):36–41.
3. Eberhardt RT, Raffetto JD. Chronic venous insufficiency. Circulation.
2014;130(4):333–46.
4. Surowiec. SKPSM. Venous Insufficiency. In:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430975/. 2020.
5. Frati Munari AC. Inflammation, Metalloproteinases, Chronic Venous Disease
and Sulodexide. J Cardiovasc Dis Diagnosis. 2015;03(04).
6. Rabe E, Guex JJ, Morrison N, Ramelet AA, Schuller-Petrovic S, Scuderi A, et
al. Treatment of chronic venous disease with flavonoids: Recommendations for
treatment and further studies. Phlebology. 2013;28(6):308–19.
7. Chronic venous insufficiency [Internet]. 2012 [cited 2014 June 6]. Available
from:http://www.summitmedicalgroup.com/library/adult_health/aha_venous_i
nsufficiency/
8. Eberhardt RT, Raffetto JD. Chronic venous insufficiency. Circulation
2005;111:2398-409.
9. Varicose vein [Internet]. 2010 [cited 2014 June 6]. Available from:
http://www.webcitation.org/5r1PRrJul.
10. Knupfer J, Reich-Schupke S, Stücker M. [Conservative management of
varicosis and postthrombotic syndrome]. Hautarzt. 2018 May;69(5):413-
424. [PubMed]
11. Shivik K. Patel; Scott M. Surowiec. Venous Insufficiency. Sat Pearl. 2020.
12. Schwahn-Schreiber C, Breu FX, Rabe E, Buschmann I, Döller W, Lulay GR,
Miller A, Valesky E, Reich-Schupke S. [S1 guideline on intermittent pneumatic
compression (IPC)]. Hautarzt. 2018 Aug;69(8):662-673. [PubMed]
13. Santler, B , Tobias Goerge. Chronic venous insuffi ciency – a review of
pathophysiology, diagnosis, and treatment. JDDG: Journal Der Deustchen
Dermatologischen Gesellschaft 2017; 15(5) 538-556
14. Jusi dan Djang, 2010. Dasar-dasar ilmu bedah vaskuler. Edisi kelima. Jakarta:
FKUI. Hal : 85, 204-255
24

Anda mungkin juga menyukai