Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

PERTUSIS

Penyusun

Lund Mila E.B.Teme

11.2016.273

Pembimbing

dr. Sonny K Yuliaso,spA

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit Bhakti Yudha

Fakultas Kedokteran UKRIDA

Periode 19 Juni 2017-26 Agustus 2017

1
BAB 1

PENDAHULUAN

Pertusis adalah salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang penyebab
terseringnya adalah bakteri gram negatif Bordetella pertussis berbentuk kokobasilus. Pertusis
dikenal sebagai batuk rejan atau batuk 100 hari. Pertusis (whooping cough) biasanya banyak
menyerang anak balita dengan kematian yang tertinggi pada anak usia dibawah 1 tahun yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Bordotella. Penyakit ini biasanya 90% terjadi di negara
berkembang. Penularan terjadi melalui droplet yang mengandung Bordetella pertusis dari pasien
yang batuk dan mencapai traktus respiratorius bagian atas dari orang yang suseptibel. Pertusis
yang berat biasanya terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi imunisasi. Organisme ini
menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan efek sistemik
berupa sindrom yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan paroksismal disertai nada mengi
karena pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi
yang khas.1

Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan
attack rate sebesar 80-100% pada penduduk yang rentan, dengan pertama kali dikenali pada
abad pertengahan tahun 1640 oleh Guillaume de Baillou. Di negara yang sedang berkembang
termasuk Indonesia, sebelum ditemukannya vaksin, angka kejadian dan kematian akibat
menderita pertusis cukup tinggi. Ternyata 80% anak-anak dibawah umur 5 tahun pernah
terserang penyakit pertusis, sedangkan untuk orang dewasa sekitar 20% dari jumlah penduduk
total.2

Tindakan penanggulangan penyakit ini antara lain dilakukan dengan pemberian imunisasi
WHO menyarankan sebaiknya anak pada usia satu tahun telah mendapatkan imunisasi dasar
DPT sebanyak 3 dosis dengan interval sekurang-kurangnya 4 minggu dan booster diberikan pada
usia 15 - 18 bulan dan 4 - 6 tahun untuk mempertahankan nilai proteksinya.1,2

2
BAB II

Pembahasan

2.1 Defenisi Pertusis

Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular dengan
ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal
disertai nada yang meninggi. Pertusis merupakan suatu penyakit infeksi traktus respiratorius
yang secara klasik disebabkan oleh Bordetella pertussis, namun walaupun jarang dapat pula
disebabkan oleh Bordetella parapertussis. Bordetella bronchiseptica juga dapat menyebabkan
pertussis-like cough illness.2
Paling banyak penyakit saluran nafas ini disebabkan oleh Bordetella pertusis, nama lain
penyakit ini adalah tussis quirita, whooping coagh, batuk rejan. Istilah pertussis pertama kali
diperkenalkan oleh Sydenham pada tahun 1670. dimana istilah ini lebih disukai dari batuk rejan
(whooping cough). Selain itu sebutan untuk pertusis di Cina adalah batuk 100 hari. Penyakit
ini menimbulkan Serangan batuk panjang yang bertubi-tubi, berakhir dengan inspirasi berbising
dan juga dengan suara pernapasan dalam bernada tinggi atau melengking.3

2.2. Etiologi
Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis, B.parapertusis,
B.bronkiseptika, dan B. avium. Penyebab pertusis paling banyak adalah adalah Bordetella
pertussis. Bordetella pertusis ini mengakibatkan suatu bronkitis akut, khususnya pada bayi dan
anak kecil yang ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang.
Bordetella pertussis merupakan suatu cocobasilus gram negatif dan tidak membentuk spora
dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada
daerah nasofaring penderita pertusis dan kemudian ditanam pada agar media Bordet Gengou.3
Ciri-ciri organisme ini secara umum, yaitu berbentuk batang (coccobacilus), berukuran
kecil dengan ukuran panjang 0,5 1 um dan diameter 0,2 0,3 um, tidak dapat bergerak, bersifat
gram negatif, tidak berspora dan mempunyai kapsul, mati pada suhu 55C selama jam dan
tahan pada suhu rendah (0- 10C). B.pertusis menghasilkan toksin dan substansi yang
mengiritasi permukaan sel yang akan menyebabkan batuk dan limfositosis yang nyata.4

3
2.3 Epidemiologi

Pada masa pravaksin, pertusis menyerang anak prasekolah. Kurang dari 10% kasus
terjadi pada bayi usia <1 tahun. Setelah mulai dilakukan imunisasi tahun 1940, kejadian pertusis
menurun drastis, dari 200.000 kasus/tahun menjadi 1.010 kasus pada tahun 1976. Sejak itu,
imunisasi pertusis dianggap memiliki kemampuan perlindungan seumur hidup. Pertusis
merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan attack rate 80-
100% pada penduduk yang rentan. Sampai saat ini manusia adalah tuan rumah penyebaran
penyakit ini. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara kontak langsung yang berasal dari
droplet selama batuk.5

Pertusis adalah penyakit endemik. Di Amerika Serikat antara tahun 1932-1989 telah
terjadi 1.188 kali puncak epidemi pertusis. Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh udara,
dapat menyerang semua golongan umur dan yang terbanyak adalah anak umur di bawah 1 tahun.
Di Amerika Serikat kurang lebih lebih 35% kasus terjadi pada usia < 6 bulan, termasuk bayi
yang berumur 3 bulan. Kurang lebih 45% penyakit terjadi pada usia < 1 tahun dan 66 % < 5
tahun. Kematian dan jumlah kasus yang dirawat tertinggi terjadi pada usia 6 bulan pertama
kehidupan. Pada tahun 1983 di Indonesia di perkirakan 819.500 penderita dengan kematian
23.100 orang. WHO memperkirakan sekitar 600.000 kematian setiap tahun disebabkan oleh
pertusis, terutama pada bayi yang tidak diimunisasi.6

2.4 Patofisiologi

Penularan Bordetella pertusis terutama ditularkan melalui sekresi udara pernafasan yang
kemudian akan melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme pathogenesis infeksi
oleh B.pertussis terjadi melalui 4 tingkatan, yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistemik.4

Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF) atau pertusis


toksin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan B. pertussis pada silia. Setelah terjadi
perlekatan B. pertussis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel

4
saluran pernafasan. Selama pertumbuhan B.pertussis, maka akan menghasilkan toksin yang akan
menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.4

Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek pengatur sintesis protein
di dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target
termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin,
efek memblokir beta adrenergik dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsentrasi gula darah4,6.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan limfoid peribronkial


dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih
akan terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus
Pneumonia, H. influenza dan Staphylococcus aureus). Penumpukan mukos akan menimbulkan
plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan
oleh gangguan pertukaran oksigenisasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnue saat terserang
batuk.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat
pengaruh toksin langsung atakah sekunder akibat anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang
reversible, pemulihan tampak bila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa
kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit. Dermonecrotic toxin adalah heat labile
cystoplasmic toxin menyebabkan kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga
menyebabkan iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA yang
diakhiri dengan kematian sel.4,6

Pada umumnya, penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella


Pertusis akan terikat pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini akan mengalami
multiplikasi disertai pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan inflamasi dan nekrose trakea
dan bronkus. Mukosa akan mengalami kongesti dan infiltrasi limfosit dan polimorfonukleus
lekosit. Di samping itu terjadi hiperplasi dari jaringan limfoid peribronkial diikuti oleh proses
nekrose yang terjadi pada lapisan basal dan pertengahan epitel bronkus. Lesi ini merupakan
tanda khas pada pertusis. Pada pemeriksaan postmortem dapat dijumpai infiltrasi peribronkial
dan pneumonia interstitial.4

5
2.5 Gejala Klinis

Masa inkubasi pertussis 6-20 hari, namun rata-rata 7-10 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6 -8 minggu atau lebih. perjalanan klinis penyakit ini dapat
berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal, preparoksismal), stadium akut
paroksismal (paroksismal, spasmodic), dan stadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung
dari etiologi spesifik, umur, dan status imunisasi.4

Penularan penyakit ini melalui droplet pasien pertussis atau individu yang belum
diimunisasi/imunisasi tidak adekuat, dengan attack rate mencapai 100 %. B.pertussis merupakan
pathogen ekslusif pada manusia, sedangkan B. bronchiseptica, B,parapertussis, dan B.holmesii
mampu mengakibatkan infeksi saluran napas baik pada manusia maupun mamalia.
B.bronchiseptica umumnya menyerang yang imukompromais seperti pada penderita HIV/AIDS.6

Gejala pada anak yang berumur <2 tahun yaitu batuk paroksismal (100%), whoops (60
70%), emesis (66 80%), dispnue (70 80%) dan kejang (20 25%). Pada anak yang lebih
besar manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada
anak >2tahun. Suhu jarang >38,40C pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabakan
Bordetella parapertusis atau Bordetella bronkiseptika pada semua golongan umur lebih ringan
daipada Bordetella pertusis dan juga lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan
dibawah ini.4,6

Stadium Kataralis (1-2 minggu)

Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran nafas atas yaitu timbulnya rinore (pilek) dengan
lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak
begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakan karena sukar
dibedakan dengan common cold. Selama stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar dalam
inti droplet dan penderita sangat infeksius, namun tidak tampak sakit. Pada tahap ini kuman
paling mudah di isolasi.4

Stadium Paroksismal/ stadium spasmodic (2-4 minggu)

Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk kuat selama
ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi

6
melengking (whoop), udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyi
whoop sering tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata menonjol, lidah
menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di wajah
(terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous
plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga
seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi
whoop. Selain itu, Batuk mudah dibangkitkan oleh stres emosional (menangis,sedih,gembira)
dan aktifitas fisik.4

Stadium konvalesens ( 1-2 minggu)


Gejala akan berkurang dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. Stadium
penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan puncak serangan
paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa
waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan
batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering
dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang. Anak infeksius selama 2
minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit.4,7

2.6 Diagnosis

Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit
diketahui terjadi lokal. Tanda diagnostik yang paling berguna, yaitu batuk paroksismal diikuti
suara whoop saat inspirasi, sering disertai muntah, perdarahan subkonjungtiva, anak tidak atau
belum lengkap diimunisasi terhadap pertussis, bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan
tetapi batuk yang diikuti oleh berhentinya napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk.
Untuk memastikan diagnosis pertusis, bisa dilakukan pemeriksaan penunjang.6

7
Tabel 1. Bentuk Tipikal Pertusis: Perubahan Gejala, Sensitivitas Terhadap Metode
Diagnostik, dan Pengaruh Terapi Antibiotik.6

VARIASI FASE FASE FASE


KATARAL PAROKSISMAL KONVALESENS
Gejala
Batuk ++ +++ ++
Batuk paroksismal -/+ +++ /+
Batuk rejan - +++ /+
Muntah - +++ /+
Sianosis - +++ -
Apnea - +++ -
Tes sensitivitas
Kultur ++ /+ -
PCR ++ ++ -
Serologi /+ ++ ++
Pengaruh terapi antibiotic
Gejala berkurang ++ /+ -

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari pertussis adalah
1. Batuk spasmodik pada bayi perlu dipikirkan tuberkulosis, asma, bronkiektaksis dan
benda asing.4
2. Infeksi B.parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom
klinis B.pertussis. dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab.4

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah :4,6
1) Leukosit dan hitung jenis sel.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-50.000/IU dengan
limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal.

8
2) Diagnosis pasti apabila ditemukan organisme pada apus nasofaring (bahan media
Bordet-Gengou) dengan menggunakan media transport. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan melakukan isolasi B.pertussis dari sekret nasofaring.
3) Pemeriksaan IgG didapatkan antibodinya (IgG terhadap toksin pertusis).
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui
infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis.
4) Pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrate perihiler, atelektasis, atau
emfisema.

2.9 Penatalaksanaan
Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah :

-terapi suportif terutama untuk menghindari faktor yang menimbulkan serangan batuk,
mengatur hidrasi, dan nutrisi. Oksigen diberikan pada distress pernafasan yang akut dn
kronik. Berik oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti nafas atau batuk
paroksismal berat. Lakukan penghisapan lender dan upayakan agar lubang hidung bersih
dari mukusagar tidak menghambat aliran oksigen. Terapi oksigen dilanjutkan sampai
gejala yang disebutkan di atas tidak ada lagi.7

- tatalaksana jalan napas

Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah dalam posisi
telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu pengeluaran
sekret. Jika anak demam ( 390 C) yang dianggap dapat menyebabkan distres,berikan
parasetamol. Beri ASI atau cairan per oral, namun jika anak tidak bisa minum, pasang pipa
nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk memenuhi kebutuhan
harian anak. Jika terdapat distres pernapasan, berikan cairan rumatan IV untuk
menghindari risiko terjadinya aspirasi dan mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi
yang adekuat dengan pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat
badan terus terjadi, beri makanan melalui NGT.7

9
- Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7 hari selesai
pemberian antibiotik, dimana gejala batuk paroksismal setelah terapi antibiotik tidak
berkurang.7

Terapi antibiotik

Tujuan farmakoterapi adalah untuk menghilangkan infeksi, mengurangi morbiditas, dan


mencegah komplikasi. Pemberian antibiotik tidak memperpendek stadium paroksismal tetapi
akan menurunkan periode infeksius. Pemberian eritomisin, klaritromisin, atau azitromisin telah
menjadi pilihan pertama untuk pengobatan dan profilaksis. Eritromisin (40-50 mg/kgbb/hari
dibagi dalam 4 dosis peroral, 12,5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari maksimum 2 gram per hari)
diberikan selama 10 hari. Obat ini dapat mengeleminasi organisme dari nasofaring dalam
3-4 hari. Eritromisin dapat mengeleminasi pertusis bila diberikan pada pasien dalam stadium
kataral sehingga memperpendek periode penularan. Penelitian membuktikan bahwa golongan
makrolid terbaru yaitu azitromisin (10-12 mg/kgbb/hari, sekali sehari selama 5 hari, maksimal
500 mg/hari) atau klaritromisin (15-20 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis peroral, maksimum 1
gram perhari selama 7 hari) sama efektif dengan eritromisin, namun memiliki efek samping lebih
sedikit. Selain itu, bisa juga diberikan antibiotik ampicilin (100 mg/kgBB/hari).4,7

10
Tabel 2. Rekomendasi Pemberian Antimikroba dan Profilaksis Pascapajanan Pertusis6
USIA YANG DIREKOMENDASIKAN ALTERNATI
Eritromisin Klaritromisin Azitromisin F
TMP-SMX
< 1 bulan 40-50 Tidak 10 mg/kgbb/hari Kontraindikasi
mg/kgbb/hari direkomendasika dosis tunggal selama untuk usia <2
terbagi 4 dosis n 5 hari1 bulan
selama 14 hari
1 s.d. 5 bulan s.d.a 15 mg/kgbb/hari s.d.a Usia >2 bulan:
terbagi 2 dosis TMP 8
selama 7 hari mg/kgbb/hari;
SMX 40
mg/kgbb/hari
terbagi 2 dosis
selama 14 hari
>6 bulan s.d.a (maks 2 s.d.a 10 mg/kgbb dosis s.d.a
g/hari) tunggal pada hari ke-
1 (maks. 500 mg);
kemudian 5
mg/kgbb/hari dosis
tunggal pada hari ke-
2 s.d. 5 (maks. 250
mg/hari)
Remaja 2 g/hari terbagi 1 g/hari terbagi 2 500 mg dosis TMP 300
4 dosis selama dosis selama 7 tunggal pada hari ke- mg/hari; SMX
14 hari hari 1, kemudian 250 mg 1.600 mg/hari
dosis tunggal pada terbagi 2 dosis
hari ke-2 s.d 5 selama 14 hari

Catatan : - TMP: trimetoprim; SMX: sulfametoksazol

- Makrolid bila diberikan pada pasien usia < 1 bulan harus hati-hati terutama eritromisin
karena dapat meningkatkan risiko terjadinya pilorus hipertrofi idiopatik

11
2.10 Pencegahan

Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak laporan
mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis dengan adanya pelaksanaan
program imunisasi. Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif dan pasif.4

1. Imunisasi pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin, ternyata
berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-akhir ini tidak lagi
digunakan untuk pencegahan.4

2. Imunisasi aktif

Diberikan vaksin pertusis dari kuman B.pertussis yang telah dimatikan untuk
mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasai pertusis diberikan bersama-sama dengan vaksin
difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 IU dan diberikan tiga kali sejak umur 2
bulan, dengan jarak 8 minggu. Jika prevalensi pertusis di dalam masyarakat tinggi, imunisasi
dapat dimulai pada umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu.4

Anak berumur > 7 tahun tidak lagi memerlukan imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusis
tidak permanen oleh karena proteksi menurun selama adolesens, walaupun demikian infeksi pada
pasien yang lebih besar biasanya ringan. Vaksin pertusis monovalen adalah 0,25 ml i.m. Salah
satu efek samping setelah imunisasi pertusis adalah demam. Kontak erat pada usia kurang dari 7
tahun yang sebelumnya telah diberikan imunisasi hendaknya diberi booster. Booster tidak perlu
diberikan bila telah diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan terakhir.4

Selain itu, juga diberikan eritromisin 50mg/kgBB/24jam dalam 2 4 dosis selama 14


hari. Kontak erat pada usia lebih dari 7 tahun juga perlu diberikan erirtromisin sebagai
priofilaksis. Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran infeksi dan
mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien pertusis tetapi belum pernah
imunisasi petusis hendaknya diberikan imunisasi pertusis selama 14 hari setelah kontak
diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hemdaknya eritromisin diberikan sampai pasien
berhenti batuk atau setelah pasien mendapat eritromisin selama 7 hari. vaksin pertusis
monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemik.4

12
Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara:

Isolasi: mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan bagi bayi dan anak
usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari dari
14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana
pasien tidak mendapatkan antibiotik.7
Karantina: kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak diimunisasi, atau
imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat publik selama 14 hari atau setidaknya
mendapat antibiotik selama 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap. 7
Disinfeksi: direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan yang terkontaminasi
sekret pernapasan dari pasien pertusis.7

2.11 Komplikasi
Komplikasi dari pertusis adalah
1. Pneumonia. Merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh infeksi
sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan. Tanda yang menunjukkan pneumonia
bila didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam dan terjadinya distres
pernapasan secara cepat.7
2. Kejang. Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apneu atau
sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin. Jika kejang tidak berhenti dalam 2
menit, beri antikonvulsan.7
3. Gizi kurang. Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh
berkurangnya asupan makanan dan sering muntah. Cegah gizi kurang dengan asupan
makanan adekuat.7
4. Perdarahan. Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis.7

2.12 Prognosis
Prognosis tergantung usia, remaja memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
dengan bayi yang memiliki risiko kematian (0,5-1%) akibat ensefalopati.7

13
BAB III

Kesimpulan

Pertusis di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat spasmodik dan
paroksimal disertai nada yang meninggi. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua umur,mulai
dari bayi sampai dewasa. Penyebabnya adalah Bordetella pertusis. Penularan terutama melalui
saluran pernapasan dimana Bordetella Pertusis akan terikat pada silia epitel saluran pernapasan.
Pengobatannya menggunakan eritromisin serta untuk pencegahan dilakukan imunisasi. Beri
imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga yang imunisasinya belum
lengkap. Beri DPT ulang untuk anak yang sebelumnya telah diimunisasi. Beri eritromisin
suksinat (12.5 mg/kgBB/kali 4 kali sehari) selama 14 hari untuk setiap bayi yang berusia di
bawah 6 bulan yang disertai demam atau tanda lain dari infeksi saluran pernapasan dalam
keluarga.

14
Daftar Pustaka
1. Ranuh IGN., Suyitno H., Hadinegoro SRS., Kartasasmita CB., Ismoedijanto,
Soedjatmiko (Ed.). Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Ketiga. Satgas Imunisasi
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2008:144-151.
2. James D. Cherry. Pediatrics. May 2005. 115(5). Pp 1422-1427.
3. Rampengan T.H , Laurents I.R, Penyakit infeksi tropik pada anak. Edisi 1. Jakarta: EGC;
1997.h.20 -33.
4. Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. Buku ajar infeksi dan pediatrik tropis. Edisi
2. Jakarta:FKUI; 2008.h. 331 7.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Pediatry infection. Atlanta: 2000;
24(6).p.109S116
6. Pudjiadi AH, Hegar B, Gandaputra EP, dkk. Pedoman pelayanan medis IDAI. Edisi 2.
Jakarta; FKUI. 2011.h.224-8.
7. WHO. Buku saku: pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Jakarta: WHO; 2005.h.109-
12.

15

Anda mungkin juga menyukai