Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang


Pertusis disebut juga whooping cough adalah penyakit infeksi akut yang
menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis, bakteri
Gram-negatif berbentuk kokobasilus. Organisme ini menghasilkan toksin yang
merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom
yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan paroksismal karena pasien berupaya
keras untuk menarik napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang khas.
Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak
kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih
mungkin terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau
anak yang belum diimunisasi.
Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang
bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara
maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian
dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
pertusis diharapkan dapat dicegah maupun ditangani dengan baik.
Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, manifestasi klinis, foto rontgen, dan pemeriksaan penunjang
lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan
cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang
lebih lanjut.

I.2 Tujuan Penulisan


Untuk mengetahui definisi, prevalensi, etiologi, patogenesis, manifestasi
klinis, diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi dan prognosis
pertussis.

1
I.3 Manfaat Penulisan

Penulisan lapsus ini diharapkan dapat menambah pengetahuan


mengenai penyakit pertussis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Pertusis disebut juga whooping cough adalah penyakit infeksi akut yang
menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis,
bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasilus.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Pada masa pravaksin, pertusis menyerang anak prasekolah. Kurang dari
10% kasus terjadi pada bayi usia <1 tahun. Setelah mulai dilakukan imunisasi
(tahun 1940), kejadian pertusis menurun drastis, dari 200.000 kasus/tahun
menjadi 1.010 kasus pada tahun 1976. Sejak itu, imunisasi pertusis dianggap
memiliki kemampuan perlindungan seumur hidup, sehingga tidak perlu
diproduksi vaksin pertusis untuk usia >7 tahun.
Mulai tahun 1980 ditemukan peningkatan kejadian pertusis pada bayi, usia
11-18 tahun, dan dewasa, dengan cakupan imunisasi pertusis rutin yang luas.
Centers of Disease Control and Prevention (CDC) (tahun 2004) melaporkan
25.827 kasus pertusis di AS, suatu angka yang tinggi sejak tahun 1950-an
dengan proporsi 35% kejadian pada usia 11-18 tahun (30 per 100.000). Angka
yang jauh lebih tinggi diperlihatkan oleh sebuah penelitian prospektif terhadap
individu dengan gejala batuk paroksismal atau batuk yang menetap >7 hari,
ternyata didapatkan perkiraan insidens pertusis pada remaja sekitar 997 per
100.000.1
Kejadian luar biasa pertusis dialami Massachusett (1996) dengan 67%
kasus berusia 10-19 tahun, kemudian Wisconsin (2002-2003) sebesar 313
kasus dengan 70% berusia 10-19 tahun. Remaja merupakan reservoir B.
Pertussis dan menjadi sumber penularan pertusis bagi bayi kecil, golongan
risiko tinggi untuk mengalami komplikasi pertusis, menjalani perawatan di
Rumah Sakit, dan mengalami kematian.1,2

3
2.3 ETIOLOGI

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Hemophillus pertussis,


adenovirus tipe 1, 2, 3 dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius,
traktus gastrointestinal dan traktus genitourinarius penderita pertusis bersama
sama Bordetella pertusis atau tanpa adanya Bordetella pertusis.2
Bordetella pertussis adalah suatu kuman yang kecil tidak bergerak, gram
negatif dan didapatkan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring
penderita pertussis dan kemudian ditanam pada agar media Bordet-Gengou.
B. pertusis yang didapatkan secara langsung adalah tipe antigenetik fase 1,
sedangkan yang diperoleh melalui pembiakan terdapat dalam bentuk lain,
yaitu fase II, III, dan IV. Strain fase I diperlukan untuk menularkan
penyakit atau mendapatkan vaksin yang efektif.1 Bordetella Pertussis dan B.
bronchiseptica secara morfologis menyerupai B. pertussis dan dibedakan
dengan reaksi aglutinasi yang khas.2
2.4 PATOGENESIS
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme
patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan
yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu,
kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik.

4
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor
(LPF) / Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan
Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis
kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran
napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi
bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan
menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan
whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin
sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian
menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel.
Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur
sintesis protein dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan
fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),
meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta

5
adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan
limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia,
maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi
infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan
Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang
dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.

Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi


pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat
perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat
pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila
sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya
efek antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella
pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan
toksin pertusis.

2.5 MANIFESTASI KLINIS1,2


Masa inkubasi pertusis 6-10 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis
penyakit ini dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis
(prodromal, pra paroksismal), stadium akut paroksismal (spasmodik), dan
stadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik,
usia, dan status imunisasi.
1. Stadium kataralis (1-2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu
timbulnya rinorea dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada
konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada
stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena
sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar organisme tersebar

6
dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah
diisolasi.
2. Stadium paroksismal/stadium spasmodik
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali
batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang
mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang
dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyi whoop sering
tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata
menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher
bahkan sampai terjadi petekia di wajah (terutama di konjungtiva bulbi).
Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada
saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup
khas, sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita
pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop.

3. Stadium konvalesens
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah
dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun.
Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang
sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk
paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa
bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang
berulang.

7
Tabel 2.1 Tipe pertusis evolusi dari gejala, sensitivitas metode diagnostik dan
efek terapi antibiotik, fase dari pertusis.

2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat
kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan
bunyi whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi.
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium
saat pasien diperiksa.

Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-
50.000/L dengan limfosistosis absolut khas pada akhir stadium kataral
dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah lekositosis tidak
menolong untuk diagnosis, oleh karena respons limfositosis juga terjadi
pada infeksi lain.
Isolasi B. pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat
diagnosis pertusis pada media khusus Bordet-gengou. Biakan positif pada
stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3,
dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.2,4

8
Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan
kultur untuk mendeteksi B. pertussis, terutama setelah 3-4 minggu setelah
batuk dan sudah diberikan pengobatan antibiotik. PCR saat ini merupakan
pilihan yang paling tepat karena nilai sensitivitas yang tinggi. Tes serologi
berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya
infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk
menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap FHA dan PT. Nilai IgM
serum FHA dan PT menggambarkan respons imun primer baik disebabkan
oleh penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang
paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak
tampak setelah imunisasi pertusis.

Pemeriksaan foto toraks


Pemeriksaan lainnya yaitu foto toraks dapat memperlihatkan
infiltrat perihiler, atelektasis, atau empisema.
2.7 DIAGNOSIS BANDING
Batuk spasmodik hendaknya dibedakan dengan batuk-batuk yang
diakibatkan trakeobronkitis, bronkiolitis, dan pnemonia intertitialis. Infeksi
dengan B. parapertussis, B. bronchiseptica dan adenovirus memperlihatkan
gejala klinis seperti pertussis. Perbedaannya hanya dapat diketahui dengan
biakan dan kenaikan titer antibodi pada adenovirus.2
2.8 PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati
keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi,
istirahat, dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik,
terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian
yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau mengobati
komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada
perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa
komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam.1
Denyut jantung, frekuensi pernafasan, dan pulse oxymetri dimonitor
terus, pada keadaan yang membahayakan. Pengawasan batuk yang rinci dan

9
pencatatan pemberian makan, muntah, dan perubahan berat badan
memberikan data untuk penilaian keparahan. Paroksismal khas yang tidak
membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45
detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi
oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak atau
kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan
sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespons.1
Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-
faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi,
oksigen dapat diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan
penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres
pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau medikamentonsa yang digunakan
pada pasien pertussis adalah sebagai berikut :
1. Antibiotik
Antibiotik selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat
karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi.
Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat
selama 14 hari merupakan pengobatan baku. Beberapa pakar lebih menyukai
preparat estolat tetapi etilsuksinat dan stearat juga manjur. Penelitian kecil
eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi
menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis,
dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi
menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak.
Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-
Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2
tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin
untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan agen dengan kemanjuran yang
terbukti.1
2. Salbutamol
Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan
gejala-gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada

10
trial tepat yang menunjukkan manfaat. pengobatan dengan aerosol memicu
paroksismal.1
3. Kortikosteroid
Belum ada penelitian cukup besar yang dilakukan untuk meneliti
penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertusis.1
4. Globulin Imun Pertusis
Belum ada persesuaian faham mengenai pemberian imunoglobulin pada
stadium kataralis. ada penelitia yang mengatakan pemberian imunoglobulin
menghasilkan pengurangan frekuensi episode batuk paroksismal, tetapi ada
pula yang berpendapat bahwa imunoglobulin tidak bermanfaat. pemberian
imunoglobulin pada stadium paroksismal sama sekali tidak bermanfaat.2
2.9 PENCEGAHAN
1. Imunisasi :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang
dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid
pertussis, difteri dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam
masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak
4 minggu. Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin diimunisasi. Imunitas tidak
permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens infeksi pada
penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi B.
pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah
dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum
seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi
panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif,
ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan
pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-
6 jam untuk selama 48-72 jam.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas,
kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang.
Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau
reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi

11
pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis berikutnya termasuk
ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa
demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, high picth cry dalam
2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat
diterangkan 40,50 C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis.1,2
2. Profilaksis
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir
dan ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis,
peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan
imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan
mengurangi penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan
mengurangi gejala-gejala penyakit.2
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat
imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak
diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai
batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin
pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi.2
2.10 KOMPLIKASI2
1. Alat Pernafasan
Dapat terjadi Otitis media (sering pada bayi), bronkitis, bronkopnemonia,
atelektasis yang disebabkan sumbatan mukus, emfisema, (dapat terjadi
emfisema mediastinum, leher, kulit pada kasus berat), bronkiektasis,
sedangkan tuberkulosis yang sebelumnya telah ada dapat bertambah berat.
2. Alat Pencernaan
Muntah-muntah yang berat dapat menimbulakn emasiasi, prolapsus rektum,
atau hernia yang mungkin timbul karena tinggiya tekanan intra abdominal,
ulkus pada ujung lidah karena lidah tergosok pada gigi atau tergigit pada
waktu serangan batuk, stomatitis.
3. Susunan Saraf
Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah-
muntah. Kadang-kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin pula
terjadi perdarahan otak.

12
4. Lain- lain
dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan
perdarahan subkonjungtiva.2

2.11 PROGNOSIS
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus.
Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di
USA. Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3% (12% dewasa tua). Tingkat
berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5% dan mengalami patah tulang
rusuk sampai 4%. Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan
pneumonia atau komplikasi paru-paru lain.1
bergantung pada ada tidaknya komplikasi, terutama komplikasi paru dana
sususnan saraf yang sangat berbahaya khususnya pada bayi dan anak kecil.2

13
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pertusis disebut juga whooping cough adalah batuk yang berat atau batuk
yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat
menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau
orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.1,2
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis
yang ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia
epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis
terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit sistemik.1,2
Masa inkubasi pertusis 6-10 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6 8 minggu atau lebih. Perkembangan penyakit
melalui 3 tahapan yaitu kataral, paroksismal, dan konvalesen.
Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik maupun
penunjang. Isolasi dan pembiakan B. pertussis dari sekret nasofaring dapat dipakai
untuk membuat diagnosis. PCR merupakan pemeriksaan penunjang yang memilki
sensitifitas dan spesifitas yang akurat. Selain itu, dapat juga dilakukan
pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi dari pasien yang terinfeksi.
Penatalaksaan medikamentosa pasien pertusis yaitu dapat diberikan
antibiotik seperti Eritromicin atau yang lain seperti Azitromisin, Claritomisin,
Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol. Untuk pencegahan yaitu
melalui imunisasi dengan vaksin pertusis , serta penggunaan obat profilaksis
untuk kontak dengan penderita pertusis.1,2
3.2 SARAN
Berdasarkan laporan kasus yang berjudul pertusis ini, diperlukan
tambahan studi literatur yang lebih lengkap. Diharapkan dapat menambah
wawasan mengenai kasus pertusis.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegman. 2002. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Ed. 15.


EGC : Jakarta.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan
Anak jilid 2. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI : Jakarta.
3. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II.
Jakarta : EGC. 181: 960-965.

4. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak
Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.

5. Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendigs : Disorders of Respiratory


Tract in Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA.
Chapter 62. h :1018-1023.

6. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of


anti-infective therapy 8 (2): 16373.

7. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory


Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.

8. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf


pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta,
Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.

15

Anda mungkin juga menyukai