Anda di halaman 1dari 22

Refarat

Pertusis

Oleh:
Sindy Mutiara Irawati
2011901041

Pembimbing
dr. Faradilla Halusia, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia,
rahmat kesehatan, dan keselamatan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan
laporan kasus ini yang berjudul “Pertusis” yang diajukan sebagai persyaratan untuk
mengikuti kepaniteraan klinik senior Ilmu Kesehatan Anak program studi Kedokteran
Universitas Abdurrab. Terima kasih penulis ucapkan kepada dokter pembimbing dr.
Faradilla Halusia, Sp.A yang telah bersedia membimbing penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih memiliki kekurangan


dan jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini. Akhir kata, penulis berharap
agar makalah ini dapat memberi manfaat kepada semua orang. Atas perhatian dan
sarannya penulis ucapkan terima kasih.

Bangkinang, 13 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i

BAB I.............................................................................................................................1

BAB II...........................................................................................................................2

2.1 Definisi.................................................................................................................2

2.2 Epidemiologi4.......................................................................................................2

2.3 Etiologi.................................................................................................................2

2.4 Patogenesis3..........................................................................................................3

2.5 Manifestasi Klinis3...............................................................................................5

2.6 Diagnosis2.............................................................................................................6

2.7 Diagnosis Banding.............................................................................................11

2.8 Tatalaksana2........................................................................................................12

2.9 Pencegahan3........................................................................................................13

2.10 Komplikasi5......................................................................................................15

2.11 Prognosis..........................................................................................................15

BAB III........................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit pertusis merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Pada masa sebelum vaksinasi, pertusis menyerang anak prasekolah, dan
kurang dari 10% kasus terjadi pada bayi usia kurang 1 tahun. Setelah mulai dilakukan
imunisasi (tahun 1940), kejadian pertusis menurun drastis, dari 200.000 kasus/tahun
menjadi 1.010 kasus pada tahun 1976. Sejak itu, imunisasi pertusis dianggap
memiliki kemampuan perlindungan seumur hidup, sehingga tidak diperlukan vaksin
pertusis untuk usia >7 tahun1.

Bordetella pertussis adalah bakteri gram negatif berbentuk batang kokus dan
patogen yang menyerang saluran pernapasan dan sangat mudah menular. Organisme
ini menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan
efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk spasmodik dan paroksismal
disertai mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga pada
akhir batuk disertai bunyi yang khas. Serangan batuk seringkali diikuti oleh muntah
dan dapat berlangsug berbulan-bulan. Organisme ini dapat menyerang segala usia,
tetapi jika bayi yang terkena akan berakibat serius1.

Data Rikerdas tahun 2013 menunjukkan data cakupan imunisasi dasar lengkap
Indonesia adalah 59,2%, sementara cakupan imunisasi dasar lengkap di Provinsi
Kalimantan Tengah menunjukkan angka 42,0%. Rendahnya cakupan imunisasi ini
menimbulkan kekhawatiran akan dampak timbulnya penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi1.

iii
iv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Pertusis adalah infeksi akibat bakteri gram negatif Bordetella pertussis pada
saluran napas sehingga menimbulkan batuk hebat yang spesifik2. Pertusis yang berarti
batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran
napas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti aak yang belum
diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun3.

2.2 Epidemiologi4
Rata-rata periode inkubasi kuman ini adalah 6 hari. Pasien sangat infeksius
pada stadium awal. Kejadian pertusis per tahunnya mencapai 100-200 kasus per
100.000 populasi pada era sebelum vaksinasi dilakukan, dan saat ini ditemukan cukup
tinggi di negara berkembang. Di Amerika Serikat, insidens terjadinya pertusis
meningkat sejak tahun 1980, sebnayak 15.000 kasus dilaporkan pada tahun 2006. Di
Amerika Serikat, insidens tertinggi pertusis terjadi pada usia kurang dari 4 bulan –
bayi yang masih terlalu muda untuk diberikan imunisasi lengkap, dan kerap
mengalami komplikasi seperti pneumonia dan infeksi berat yang mortalitas tinggi.
Infeksi pada masa remaja juga mengalami peningkatan, hal ini terjadi kemungkinan
karena makin menurunnya imunitas dari vaksinasi sebelumnya.

Ketika cakupan vaksinasi rendah, kasus pertusis meningkat. Di Inggris, telah


terjadi penurunan kasus pertusis yang stabil sampai tahun 1970-an, namun kemudian
terjadi peningkatan secara dramatis Ketika cakupan vaksinasi menurun. Hal ini, yang
juga terjadi Jepang pada waktu yang sama. Hal ini, dan terjadinya penurunan insidens
Ketika dahulu vaksin pertama kali dilakukan merupakan peristiwa penting yang
membuktikan efikasi vaksinasi.

2.3 Etiologi
Sindrom pertussis disebabkan oleh Bordetella pertussis dan beberapa agen
infeksius lainnya. Gambaran klasik pertussis adalah whooping cough syndrome yang
disebabkan oleh Bordetella pertussis, bakteri gram negatif pleomorfik yang

2
membutuhkan lingkungan tertentu untuk tumbuh. Pada beberapa kasus sindrom
pertussis disebabkan oleh organisme lain seperti Bordetella parapertussis yang
menyebabkan manifestasi klinis yang serupa tetapi lebih ringan dan tidak dapat
terlindungi oleh vaksinasi B. pertussis. Kuman B. pertussis dan B. pertussis hanya
menginfeksi manusia, dengan cara transmisi dari satu individu ke individu lainya
melalui batuk4.

Gambar 1. Pewarnaan Gram B. pertussis. Bakteri tersebut merupakan Gram-negatif

Bordetella pertussis termasuk kokobasilus, Gram-negatif, kecil, ovoid, ukuran


Panjang 0,5 - 1 µm dan diameter 0,2 - 0,3 µm, tidak bergerak, tidak berspora. Dengan
pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula bipolar metakromatik dan mempunyai
kapsul. Untuk melakukan biakan B. pertussis, diperlukan suatu media pembenihan
yang disebut bordet gengou (potato-blood-glycerol agar) yang ditambah penisilin G
0,5 µg/ml untuk menghambat pertumbuhan organisme lain3.

Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase
dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase II, III, dan
IV). Strain fase I berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang
efektif B. pertussis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 500C selama setengah
jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (0-100C)3.

2.4 Patogenesis3
Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme pathogenesis
infeksi oleh B. pertussis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan

3
terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul
penyakit sistemik.

Filamentous hemagglutinin (FHA), Lymphositosis Promoting Factor (LPF)/


Pertussis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan B. pertussis pada
silia. Setelah terjadi perlekatan B. pertussis, kemudian ber-multiplikasi dan menyebar
ke seluruh permukaan epitel saluran pernapasan. Proses ini tidak invasif, oleh karena
itu pada pertussis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan B. pertusiss, maka
akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan
whooping cough. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan
oleh karena pertussis toxin. Toksin pertussis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B.
Toksin subunit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian
menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek
LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.

Toxin Mediated Adenosite Disphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur


sintesis protein di dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta adrenergik dan
meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan limfoid


peri bronkial dan meningkatkan jumlah mukus pada permukaan silia, maka fungsi
silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering
oleh Streptococcus pneumoniae, H. influenzae, dan Staphylococcus aureus).
Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan
kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran
oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat
perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh
langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia. Terjadi perubahan fungsi
sel yang reversibel, pemulihan tampak bila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat
menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit.

4
Dermonecrotic toxin adalah heat labile cytoplasmic toxin menyebabkan
kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan iskemia
dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA, menyebabkan
siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertussis lipopolysaccharide
(endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal patogenesis penyakit ini. Kadang-kadang
B. pertussis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan
toksin pertusis.

2.5 Manifestasi Klinis3


Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini
dapat berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal,
preparoksismal), stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan stadium
konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status
imunisasi. Gejala pada anakn yang berumur < 2 tahun yaitu, batuk paroksismal
(100%), whoops (60-70%), emesis (66-80%), dispnea (70-80%) dan kejang (20-
25%). Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan lama
sakit lebih pendek, kejang jarang terjadi pada anak > 2 tahun. Suhu jarang > 38,4 0C
pada semua golongan umur. Stadium pertussis dibagi menjadi:

1. Stadium Kataralis (1-2 minggu)


Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu
timbulnya rinorhea dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada
konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan,dan panas tidak terlalu tinggi. Pada
stadium ini biasanya diagnosis pertussis belum dapat ditegakkan karena sukar
dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar organisme tersebar dalam
droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah diisolasi.
Gejala ini berlangsung selama 1-2 minggu.
2. Stadium Paroksismal (2-4 minggu)
Merupakan stadium yang paling khas dari pertussis, berlangsung selama 2-4
minggu. Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10
kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi massif yang

5
mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang dihisap
melalui glottis yang menyempit. Selama serangan wajah menjadi merah dan
sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena
leher bahkan sampai terjadi ptekie di wajah (terutama di konjungtiva bulbi).
Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran
napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga
seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita pertussis walaupun
tidak disertai bunyi whoop.
3. Stadium Konvalesen (1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ini ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah
dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk
biasanya menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3
minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal
kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering
dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.

2.6 Diagnosis2
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
 Kontak erat dengan penderita pertusis dan belum
diimunisasi/imunisasi tidak adekuat.
 Tanda dan gejala klinis tergantung dari stadium:
a) Stadium kataralis
Gejala klinisnya minimal dengan/tanpa demam, rhinorhea,
anoreksia, frekuensi batuk bertambah
b) Stadium paroksismal
Batuk paroksismal dicetuskan oleh pemberian makan (bayi)
dan aktivitas, fase inspiratori batuk atau batuk rejan
(inspiratory whooping). Dapat pula dijumpai muka merah atau
sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi,
hipersalivasi, distensi vena leher selama serangan, apatis,
penurunan berat badan

6
c) Stadium konvalesens
Gejala akan berkuranf dalam beberapa minggu sampai dengan
beberapa bulan. Dapat terjadi ptekie pada kepala/leher,
perdarahan konjungtiva, dan terdengar crackles difus.
- Bayi <6 bulan gejalanya tidak khas, mungkin berupa tanda
dan gejala
- Hipoksia yang terlihat lebih hebat dibandingkan gambaran
klinis
- Muntah-muntah sampai menimbulkan dehidrasi
- Kadang hanya menunjukkan tanda dan gejala sianosis dan
apneic spell, tanpa disertai whoop
2. Pemeriksaan Penunjang
 Leukosit dan hitung jenis sel
Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut
 IgG terhadap toksin pertusis
Didapatkan antibodinya (IgG terhadap toksin pertusis)
 Foto thoraks
Ditemukan infiltrat atau edema, ateletaksis atau empyema
 Diagnosis pasti apabila ditemukan organisme pada apus nasofaring
(bahan media Bordet-Gengou) dengan menggunakan media transport
(Regan-Lowe)

Tabel 1. Bentuk Tipikal Pertusis: Perubahan Gejala, Sensitivitas Terhadap Metode


Diagnostik, dan Pengaruh Terapi Antibiotik

FASE FASE FASE


VARIASI KATARALIS PAROKSISMAL KONVALESENS
(1-2 MINGGU) (3-6 MINGGU) (>6 MINGGU)
Gejala
Batuk ++ +++ ++
Batuk paroksismal -/+ +++ -/+
Batuk rejan - +++ -/+

7
Muntah - +++ -/+
Sianosis - +++ -
Apnea - +++ -
Tes sensitivitas
Kultur ++ -/+ -
PCR ++ ++ -
Serologi -/+ ++ ++
Pengaruh terapi antibiotik
Gejala berkurang ++ -/+ -

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penegakkan diagnosis pertusis


antara lain6:

a. Anamnesis
1) Waktu muncul gejala
2) Karakteristik batuk: serangan batuk hebat, muntah setelah batuk, suara
tarikan napas berat, memburuk Ketika malam hari
3) Riwayat kontak dengan pasien pertusis pada masa inkubasi (7 - 21
hari)
4) Status vaksinasi: vaksinasi pertusis terlebih dahulu
b. Konfirmasi Biologis
1) Bayi baru lahir dan balita dirumah sakit: kultur dan real-time PCR
pada aspirasi nasofaring atau swab nasofaring, kultur harus dilakukan
untuk menganalisis evolusi populasi bakteri.
2) Anak-anak, remaja, dan dewasa:
i. Durasi batuk < 21 hari: real-time PCR, kultur
ii. Durasi batuk > 21 hari:
- PCR dan kultur tidak lagi bermakna
- Apabila terdapat pasien kedua yang terinfeksi setelah
pasien pertama, maka PCR harus dilakukan dengan pasien
kedua
- Jika tidak ada pasien kedua, analisis serologis harus
dilakukan untuk memberi antibodi toxin anti-pertusis jika

8
pasien belum pernah mendapatkan vaksinasi pertussis
sebelumnya, atau dalam 2 tahun terakhir.
3) Kultur
i. Aspirasi nasofaring dan transport ke laboratorium secepatnya
ii. Sensitifitas tinggi pada fase awal penyakit, penyakit yang
berat, pasien yang belum mendapatkan vaksinasi, dan pada
balita
iii. Hasil kultur bergantung pada antibiotik yang dikonsumsi
sebelumnya
4) PCR
i. Kemungkinan diagnosis meningkat apabila dikombinasi
dengan kultur
ii. PCR paling sensitif pada fase awal penyakit dan pada fase
paroksismal
iii. Akurasi diagnostic mungkin bervariasi pada berbagai
laboratorium

5) Serologi
i. Diagnosis serum tunggal dapat berguna untuk fase akhir
penyakit (3 – 4 minggu setelah onset), pemeriksaan serologi
berpasangan dengan pengambilan specimen klinis kedua pada
fase selanjutnya dapat mebantu penegakkan diagnosis
ii. Antibodi (IgG dan IgA) terhadap toksin pertusis atau
filamentous haemagglutinin dapat ditemukan di serum
iii. Satu hasil titer IgG terhadap toksin pertusis yang tinggi (>100
– 125 U/ml pada pemeriksaan ELISA) memiliki sensitifitas
dan spesifisitas yang tinggi untuk diagnosis
iv. Interpretasi pada hasil serologi dapat sulit pada pasien yang
saja mendapatkan imunisasi

9
Tabel 2. Metode Laboratorium untuk Mendiagnosis Pertusis

TOTAL SENSITIFIT SPESIFISIT WAKTU KEUNTUNG KERUGIA


AS (%) AS (%) OPTIMA AN N
L
Kultur 12 - 60 100 < 2 Sangat spesifik Kurang
minggu sensitive,
setelah terdapat
onset jangka
waktu
antara
pengambila
n specimen
dan
diagnosis
PCR 97 - 99 86 - 100 < 4 Rapid test lebih Tidak
minggu sensitive terstandaris
setelah dibani=ding asi FDA,
onset kultur, potensial
organisme positif
tidak harus palsu, dapat
viable, hasil terjadi
tetap positif kontaminasi
meskipun DNA silang
pasca terapi
antibiotik
Serologi 90 - 92 72 - 100 Awal Efektif untuk Diagnosis
berpasang gejala s/d menentukan terlambat,
an 4 – 6 antibiotik yang tidak ada
minggu efektif standarisasi
setelahny FDA
a
Serologi 36 - 76 99 Minimal Berguna untuk Tidak ada
tunggal 2 minggu diagnosis yang standarisasi
setelah terlambat atau FDA, bisa
onset, pasca terapi bias akibat
sebaiknya antibiotik vaksinasi
4 – 8
minggu
setelah
onset

10
2.7 Diagnosis Banding

DIAGNOSIS GEJALA
Tuberkulosis  Riwayat kontak positif dengan pasien
TB dewasa
 Uji tuberkulin positif (≥ 10 mm, pada
keadaan imunosupresi ≥ 5 mm)
 Berat badan menurun atau gagal
tumbuh
 Demam (≥ 2 minggu) tanpa sebab
yang jelas
 Pembengkakan kelenjar limfe leher,
aksila, inguinal yang spesifik
 Pembengkakan tulang/sendi
punggung, panggul, lutut, falang
 Tidak ada nafsu makan, berkeringat
malam
Asma  Riwayat wheezing berulang, kadang
tidak berhubungan dengan batuk dan
pilek
 Hiperinflasi dinding dada
 Ekspirasi memanjang
 Respons baik terhadap bronkodilator
Benda Asing  Riwayat tiba-tiba terdesak
 Stridor atau distress pernapasan tiba-
tiba
 Wheeze atau suara pernapasan
menurun yang bersifat fokal
Pertusis  Batuk paroksismal yang diikuti
dengan whoop, muntah, sianosis atau
apnu
 Bisa tanpa demam
 Belum imunisasi DPT atau imunisasi
DPT tidak lengkap
 Klinis baik diantara episode batuk
 Perdarahan subkonjungitiva
HIV  Diketahui atau diduga infeksi HIV

11
pada ibu
 Riwayat tranfusi darah
 Gagal tumbuh
 Oral thrush
 Parotitis kronis
 Infeksi kulit akibat herpes zoster
(riwayat atau sedang menderita)
 Limfadenopati generalisata
 Demam lama
 Diare persisten
Bronkiektasis  Riwayat tuberculosis atau aspirasi
benda asing
 Tidak ada kenaikan berat badan
 Sputum purulent, napas bau
 Jari tabuh
Abses paru  Suara pernapasan menurun di daerah
abses
 Tidak ada kenaikan berat badan/anak
tampak sakit kronis
 Pada foto dada tampak kista atau lesi
berongga

2.8 Tatalaksana2
1. Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika dibutuhkan)
2. Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi
terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia
3. Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7
hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi
antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah
pemberian terapi hari ke-5
4. Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol,
dan beta 2 adrenergik lainnya, serta belum terbukti efektif sebagai terapi
pertusis.
5. Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik,
hipoksia dan/atau dehidrasi.

Terapi Antibiotik2

12
Tujuan farmakoterapi adalah untuk menghilangkan infeksi,
mengurangi morbiditas, dan mencegah komplikasi.

Tabel 3. Regimen Antibiotik untuk Terapi dan Profilaksis Pertusis

YANG DIREKOMENDASIKAN
ALTERNATI
USIA ERITROMISI KLARITROMISI AZITROMISI
F TMP-SMX
N N N
<1 40-50 Tidak 10 Kontraindikasi
bulan mg/KgBB/hari direkomendasikan mg/KgBB/hari untuk usia <2
terbagi 4 dosis dosis tunggal bulan
selama 14 hari selama 5 hari
1-5 s.d.a 15 mg/KgBB/hari s.d.a Usia >2 bulan:
bulan terbagi 2 dosis TMP 8
selama 7 hari mg/KgBB/hari
; SMX 40
mg/KgBB/hari
terbagi 2 dosis
selama 14 hari
>6 s.d.a (maks 2 s.d.a 10 mg/ KgBB s.d.a
bulan g/hari) dosis tunggal
pada hari ke-1
(maks. 500
mg); kemudian
5
mg/KgBB/hari
dosis tunggal
pada hari ke-2
sampai dengan
hari ke-5
(maks. 250
mg/hari)
Remaj 2 g/hari terbagi 1 g/hari terbagi 2 500 mg dosis TMP 300
a 4 dosis selama dosis selama 7 hari tunggal pada mg/hari; SMX
14 hari hari ke-1, 1.600 mg/hari
kemudian 250 terbagi 2 dosis
mg dosis selama 14 hari
tunggal pada
hari ke-2 s.d 5

2.9 Pencegahan3
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak
laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis dengan
adanya pelaksanaan program imunisasi. Melalui Program Pengembangan Imunisasi

13
(PPI) Indonesia telah melaksanakan imunisasi pertusis dengan vaksin DPT.
Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi pasif dan aktif.

1. Imunisasi Pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin,
ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif
sehingga akhir-akhir ini human hyperimmune globulin tidak lagi diberikan
untuk pencegahan.
2. Imunisasi Aktif
Diberikan vaksin pertusis dari kuman B. pertussis yang telah dimatikan
untuk mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-
sama dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan
12 IU dan diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu.
Jika prevalensi pertusis di dalam masyarakat tinggi, imunisasi dapat
dimulai pada umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak berumur >7
tahun tidak lagi memerlukan imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusis
tidak permanen oleh karena proteksi menurun selama adolesens, walaupun
demikian infeksi pada pasien yang lebih besar biasanya ringan hanya
merupakan sumber infeksi B. pertussis pada bayi non imun. Vaksin
pertusis monovalen (0,25 ml i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi
diantara orang dewasa yang terpapar. Salah satu efek samping setelah
imunisasi pertusis adalah demam.
Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan
antikonvulsan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam. Anak dengan
kelainan neurologik yang mempunyai riwayat kejang, 7,2 x lebih mudah
terjadi kejang setelah imunisasi DPT dan mempunyai kesempatan 4,5 x
lebih tinggi bila hanya mempunyai riwayat kejang dalam keluarga. Maka
pada keadaan anak yang demikian hendaknya tidak diberikan imunisasi
pertusis, jadi hanya diberikan imunisasi DT.

14
Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami
ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang
tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis >3 jam, high
pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari,
suhu yang tidak dapat diterangkan >40,50C dalam 2 hari. Eritromisin
efektif untuk pencegahan pertusis pada bayi baru lahir dari ibu dengan
pertusis.
Kontak erat pada anak usia <7 tahun yang sebelumnya telah diberikan
imunisasi hendaknya diberi booster. Booster tidak perlu diberikan bila
telah diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan terakhir, juga diberikan
eritromisin 50 mg/KgBB/24jam dalam 4 dosis selama 14 hari. Kontak erat
pada usia >7 tahun juga perlu diberikan eritromisin sebagai profilaksis.
Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran
infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan
pasien pertusis tetapi belum pernah diimunisasi hendaknya diberikan
eritromisin selama 14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontakk tidak
dapat diputuskan hendaknya eritromisin diberikan sampai pasien berhenti
batuk atau setelah pasien mendapat eritromisin selama 7 hari.

2.10 Komplikasi5
Pertusis yang paling penting adalah infeksi sekunder (seperti pneumonia dan
otitis media), gagal napas (apnea dan hipertensi pulmonal), gangguan fisik karena
serangan batuk yang hebat, kejang, ensefalopati, dan kematian. Pneumonia akibat
pertusis adalah keaadan serius dan membutuhkan prosedur ventilasi mekanik invasif
untuk memasang alat bantu pernapasan.

2.11 Prognosis
Sebagian besar anak akan membaik, mengalami perbaikan epitel pada saluran
respiratori dan fungsi paru yang normal setelah sembuh. Pada anak dengan usia yang
lebih muda akan cenderung membutuhkan rawat inap, hal ini disebabkan memiliki

15
angka kematian yang lebih besar. Pada anak yang terkena pertusis dapat mengalami
gangguan disabilitas akibat ensefalopati4.
Prognosis penyakit dapat memburuk pada tahun pertama dan kedua kehidupan
dimana angka masuk rumah sakit dan angka kematiannya tinggi. Pada anak yang
sudah mendapatkan imunisasi, gejala biasanya ringan dan tidak spesifik, sehingga
jarang terdiagnosis6.

BAB III
PENUTUP

Pertusis atau disebut juga dengan batuk rejan, “whooping cough”, adalah
batuk yang ditandai dengan adanya suara tarikan napas yang keras yang diikuti
dengan serangan batuk yang hebat sebelumnya. Penyakit ini merupakan penyakit
yang sangat menular, disebabkan oleh Bordetella pertussis.

Diseluruh dunia, setiap tahun terdapat sekitar 16 juta kasus pertusis, 95%
diantaranya terjadi di negara berkembang, dan mengakibatkan 195.000 anak
meninggal setiap tahunnya. Kejadian pertusis selalu meningkat dari tahun ke tahun
dengan angka peningkatan yang bermakna, bahkan di negara-negara yang cakupan
vaksinasinya tinggi sekalipun.

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis, suati cocobasilus gram-negatif


aerobik minotil kecil dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat
rumit dan tidak bergerak. Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui sekresi udara
pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme
pathogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu
perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan
akhirnya timbul penyakit sistemik.

Masa inkubasi pertusis 6 – 20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan


penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu
7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan

16
saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak. Perkembangan penyakit
melalui 3 tahapan yaitu kataralis, paroksismal, dan konvalesens.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Sariadji, et al. 2016. Studi Kasus Bordetella Pertussis pada Kejadian Luar Biasa
di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah yang Dideteksi dengan PCR
2. Pudjiadi A,H, et al. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
3. Soedarmo, et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit
Tropis.
4. Marcdante, et al. 2014. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Ed.6.
5. Bayhan, et al. 2010. The Clinical Characteristics and Treatment of Pertussis
Patients in a Tertiary Center Over a Four-year Period.
6. Gabutti, et al. 2012. Pertussis: A Review of Disease Epidemiology Worldwide
and in Italy.

17

Anda mungkin juga menyukai