Pertusis
Oleh:
Sindy Mutiara Irawati
2011901041
Pembimbing
dr. Faradilla Halusia, Sp.A
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia,
rahmat kesehatan, dan keselamatan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan
laporan kasus ini yang berjudul “Pertusis” yang diajukan sebagai persyaratan untuk
mengikuti kepaniteraan klinik senior Ilmu Kesehatan Anak program studi Kedokteran
Universitas Abdurrab. Terima kasih penulis ucapkan kepada dokter pembimbing dr.
Faradilla Halusia, Sp.A yang telah bersedia membimbing penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
BAB I.............................................................................................................................1
BAB II...........................................................................................................................2
2.1 Definisi.................................................................................................................2
2.2 Epidemiologi4.......................................................................................................2
2.3 Etiologi.................................................................................................................2
2.4 Patogenesis3..........................................................................................................3
2.6 Diagnosis2.............................................................................................................6
2.8 Tatalaksana2........................................................................................................12
2.9 Pencegahan3........................................................................................................13
2.10 Komplikasi5......................................................................................................15
2.11 Prognosis..........................................................................................................15
BAB III........................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit pertusis merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Pada masa sebelum vaksinasi, pertusis menyerang anak prasekolah, dan
kurang dari 10% kasus terjadi pada bayi usia kurang 1 tahun. Setelah mulai dilakukan
imunisasi (tahun 1940), kejadian pertusis menurun drastis, dari 200.000 kasus/tahun
menjadi 1.010 kasus pada tahun 1976. Sejak itu, imunisasi pertusis dianggap
memiliki kemampuan perlindungan seumur hidup, sehingga tidak diperlukan vaksin
pertusis untuk usia >7 tahun1.
Bordetella pertussis adalah bakteri gram negatif berbentuk batang kokus dan
patogen yang menyerang saluran pernapasan dan sangat mudah menular. Organisme
ini menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan
efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk spasmodik dan paroksismal
disertai mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga pada
akhir batuk disertai bunyi yang khas. Serangan batuk seringkali diikuti oleh muntah
dan dapat berlangsug berbulan-bulan. Organisme ini dapat menyerang segala usia,
tetapi jika bayi yang terkena akan berakibat serius1.
Data Rikerdas tahun 2013 menunjukkan data cakupan imunisasi dasar lengkap
Indonesia adalah 59,2%, sementara cakupan imunisasi dasar lengkap di Provinsi
Kalimantan Tengah menunjukkan angka 42,0%. Rendahnya cakupan imunisasi ini
menimbulkan kekhawatiran akan dampak timbulnya penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi1.
iii
iv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pertusis adalah infeksi akibat bakteri gram negatif Bordetella pertussis pada
saluran napas sehingga menimbulkan batuk hebat yang spesifik2. Pertusis yang berarti
batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran
napas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti aak yang belum
diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun3.
2.2 Epidemiologi4
Rata-rata periode inkubasi kuman ini adalah 6 hari. Pasien sangat infeksius
pada stadium awal. Kejadian pertusis per tahunnya mencapai 100-200 kasus per
100.000 populasi pada era sebelum vaksinasi dilakukan, dan saat ini ditemukan cukup
tinggi di negara berkembang. Di Amerika Serikat, insidens terjadinya pertusis
meningkat sejak tahun 1980, sebnayak 15.000 kasus dilaporkan pada tahun 2006. Di
Amerika Serikat, insidens tertinggi pertusis terjadi pada usia kurang dari 4 bulan –
bayi yang masih terlalu muda untuk diberikan imunisasi lengkap, dan kerap
mengalami komplikasi seperti pneumonia dan infeksi berat yang mortalitas tinggi.
Infeksi pada masa remaja juga mengalami peningkatan, hal ini terjadi kemungkinan
karena makin menurunnya imunitas dari vaksinasi sebelumnya.
2.3 Etiologi
Sindrom pertussis disebabkan oleh Bordetella pertussis dan beberapa agen
infeksius lainnya. Gambaran klasik pertussis adalah whooping cough syndrome yang
disebabkan oleh Bordetella pertussis, bakteri gram negatif pleomorfik yang
2
membutuhkan lingkungan tertentu untuk tumbuh. Pada beberapa kasus sindrom
pertussis disebabkan oleh organisme lain seperti Bordetella parapertussis yang
menyebabkan manifestasi klinis yang serupa tetapi lebih ringan dan tidak dapat
terlindungi oleh vaksinasi B. pertussis. Kuman B. pertussis dan B. pertussis hanya
menginfeksi manusia, dengan cara transmisi dari satu individu ke individu lainya
melalui batuk4.
Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase
dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase II, III, dan
IV). Strain fase I berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang
efektif B. pertussis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 500C selama setengah
jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (0-100C)3.
2.4 Patogenesis3
Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme pathogenesis
infeksi oleh B. pertussis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan
3
terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul
penyakit sistemik.
4
Dermonecrotic toxin adalah heat labile cytoplasmic toxin menyebabkan
kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan iskemia
dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA, menyebabkan
siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertussis lipopolysaccharide
(endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal patogenesis penyakit ini. Kadang-kadang
B. pertussis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan
toksin pertusis.
5
mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang dihisap
melalui glottis yang menyempit. Selama serangan wajah menjadi merah dan
sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena
leher bahkan sampai terjadi ptekie di wajah (terutama di konjungtiva bulbi).
Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran
napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga
seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita pertussis walaupun
tidak disertai bunyi whoop.
3. Stadium Konvalesen (1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ini ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah
dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk
biasanya menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3
minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal
kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering
dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.
2.6 Diagnosis2
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Kontak erat dengan penderita pertusis dan belum
diimunisasi/imunisasi tidak adekuat.
Tanda dan gejala klinis tergantung dari stadium:
a) Stadium kataralis
Gejala klinisnya minimal dengan/tanpa demam, rhinorhea,
anoreksia, frekuensi batuk bertambah
b) Stadium paroksismal
Batuk paroksismal dicetuskan oleh pemberian makan (bayi)
dan aktivitas, fase inspiratori batuk atau batuk rejan
(inspiratory whooping). Dapat pula dijumpai muka merah atau
sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi,
hipersalivasi, distensi vena leher selama serangan, apatis,
penurunan berat badan
6
c) Stadium konvalesens
Gejala akan berkuranf dalam beberapa minggu sampai dengan
beberapa bulan. Dapat terjadi ptekie pada kepala/leher,
perdarahan konjungtiva, dan terdengar crackles difus.
- Bayi <6 bulan gejalanya tidak khas, mungkin berupa tanda
dan gejala
- Hipoksia yang terlihat lebih hebat dibandingkan gambaran
klinis
- Muntah-muntah sampai menimbulkan dehidrasi
- Kadang hanya menunjukkan tanda dan gejala sianosis dan
apneic spell, tanpa disertai whoop
2. Pemeriksaan Penunjang
Leukosit dan hitung jenis sel
Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut
IgG terhadap toksin pertusis
Didapatkan antibodinya (IgG terhadap toksin pertusis)
Foto thoraks
Ditemukan infiltrat atau edema, ateletaksis atau empyema
Diagnosis pasti apabila ditemukan organisme pada apus nasofaring
(bahan media Bordet-Gengou) dengan menggunakan media transport
(Regan-Lowe)
7
Muntah - +++ -/+
Sianosis - +++ -
Apnea - +++ -
Tes sensitivitas
Kultur ++ -/+ -
PCR ++ ++ -
Serologi -/+ ++ ++
Pengaruh terapi antibiotik
Gejala berkurang ++ -/+ -
a. Anamnesis
1) Waktu muncul gejala
2) Karakteristik batuk: serangan batuk hebat, muntah setelah batuk, suara
tarikan napas berat, memburuk Ketika malam hari
3) Riwayat kontak dengan pasien pertusis pada masa inkubasi (7 - 21
hari)
4) Status vaksinasi: vaksinasi pertusis terlebih dahulu
b. Konfirmasi Biologis
1) Bayi baru lahir dan balita dirumah sakit: kultur dan real-time PCR
pada aspirasi nasofaring atau swab nasofaring, kultur harus dilakukan
untuk menganalisis evolusi populasi bakteri.
2) Anak-anak, remaja, dan dewasa:
i. Durasi batuk < 21 hari: real-time PCR, kultur
ii. Durasi batuk > 21 hari:
- PCR dan kultur tidak lagi bermakna
- Apabila terdapat pasien kedua yang terinfeksi setelah
pasien pertama, maka PCR harus dilakukan dengan pasien
kedua
- Jika tidak ada pasien kedua, analisis serologis harus
dilakukan untuk memberi antibodi toxin anti-pertusis jika
8
pasien belum pernah mendapatkan vaksinasi pertussis
sebelumnya, atau dalam 2 tahun terakhir.
3) Kultur
i. Aspirasi nasofaring dan transport ke laboratorium secepatnya
ii. Sensitifitas tinggi pada fase awal penyakit, penyakit yang
berat, pasien yang belum mendapatkan vaksinasi, dan pada
balita
iii. Hasil kultur bergantung pada antibiotik yang dikonsumsi
sebelumnya
4) PCR
i. Kemungkinan diagnosis meningkat apabila dikombinasi
dengan kultur
ii. PCR paling sensitif pada fase awal penyakit dan pada fase
paroksismal
iii. Akurasi diagnostic mungkin bervariasi pada berbagai
laboratorium
5) Serologi
i. Diagnosis serum tunggal dapat berguna untuk fase akhir
penyakit (3 – 4 minggu setelah onset), pemeriksaan serologi
berpasangan dengan pengambilan specimen klinis kedua pada
fase selanjutnya dapat mebantu penegakkan diagnosis
ii. Antibodi (IgG dan IgA) terhadap toksin pertusis atau
filamentous haemagglutinin dapat ditemukan di serum
iii. Satu hasil titer IgG terhadap toksin pertusis yang tinggi (>100
– 125 U/ml pada pemeriksaan ELISA) memiliki sensitifitas
dan spesifisitas yang tinggi untuk diagnosis
iv. Interpretasi pada hasil serologi dapat sulit pada pasien yang
saja mendapatkan imunisasi
9
Tabel 2. Metode Laboratorium untuk Mendiagnosis Pertusis
10
2.7 Diagnosis Banding
DIAGNOSIS GEJALA
Tuberkulosis Riwayat kontak positif dengan pasien
TB dewasa
Uji tuberkulin positif (≥ 10 mm, pada
keadaan imunosupresi ≥ 5 mm)
Berat badan menurun atau gagal
tumbuh
Demam (≥ 2 minggu) tanpa sebab
yang jelas
Pembengkakan kelenjar limfe leher,
aksila, inguinal yang spesifik
Pembengkakan tulang/sendi
punggung, panggul, lutut, falang
Tidak ada nafsu makan, berkeringat
malam
Asma Riwayat wheezing berulang, kadang
tidak berhubungan dengan batuk dan
pilek
Hiperinflasi dinding dada
Ekspirasi memanjang
Respons baik terhadap bronkodilator
Benda Asing Riwayat tiba-tiba terdesak
Stridor atau distress pernapasan tiba-
tiba
Wheeze atau suara pernapasan
menurun yang bersifat fokal
Pertusis Batuk paroksismal yang diikuti
dengan whoop, muntah, sianosis atau
apnu
Bisa tanpa demam
Belum imunisasi DPT atau imunisasi
DPT tidak lengkap
Klinis baik diantara episode batuk
Perdarahan subkonjungitiva
HIV Diketahui atau diduga infeksi HIV
11
pada ibu
Riwayat tranfusi darah
Gagal tumbuh
Oral thrush
Parotitis kronis
Infeksi kulit akibat herpes zoster
(riwayat atau sedang menderita)
Limfadenopati generalisata
Demam lama
Diare persisten
Bronkiektasis Riwayat tuberculosis atau aspirasi
benda asing
Tidak ada kenaikan berat badan
Sputum purulent, napas bau
Jari tabuh
Abses paru Suara pernapasan menurun di daerah
abses
Tidak ada kenaikan berat badan/anak
tampak sakit kronis
Pada foto dada tampak kista atau lesi
berongga
2.8 Tatalaksana2
1. Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika dibutuhkan)
2. Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi
terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia
3. Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7
hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi
antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah
pemberian terapi hari ke-5
4. Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol,
dan beta 2 adrenergik lainnya, serta belum terbukti efektif sebagai terapi
pertusis.
5. Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik,
hipoksia dan/atau dehidrasi.
Terapi Antibiotik2
12
Tujuan farmakoterapi adalah untuk menghilangkan infeksi,
mengurangi morbiditas, dan mencegah komplikasi.
YANG DIREKOMENDASIKAN
ALTERNATI
USIA ERITROMISI KLARITROMISI AZITROMISI
F TMP-SMX
N N N
<1 40-50 Tidak 10 Kontraindikasi
bulan mg/KgBB/hari direkomendasikan mg/KgBB/hari untuk usia <2
terbagi 4 dosis dosis tunggal bulan
selama 14 hari selama 5 hari
1-5 s.d.a 15 mg/KgBB/hari s.d.a Usia >2 bulan:
bulan terbagi 2 dosis TMP 8
selama 7 hari mg/KgBB/hari
; SMX 40
mg/KgBB/hari
terbagi 2 dosis
selama 14 hari
>6 s.d.a (maks 2 s.d.a 10 mg/ KgBB s.d.a
bulan g/hari) dosis tunggal
pada hari ke-1
(maks. 500
mg); kemudian
5
mg/KgBB/hari
dosis tunggal
pada hari ke-2
sampai dengan
hari ke-5
(maks. 250
mg/hari)
Remaj 2 g/hari terbagi 1 g/hari terbagi 2 500 mg dosis TMP 300
a 4 dosis selama dosis selama 7 hari tunggal pada mg/hari; SMX
14 hari hari ke-1, 1.600 mg/hari
kemudian 250 terbagi 2 dosis
mg dosis selama 14 hari
tunggal pada
hari ke-2 s.d 5
2.9 Pencegahan3
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak
laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis dengan
adanya pelaksanaan program imunisasi. Melalui Program Pengembangan Imunisasi
13
(PPI) Indonesia telah melaksanakan imunisasi pertusis dengan vaksin DPT.
Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi pasif dan aktif.
1. Imunisasi Pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin,
ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif
sehingga akhir-akhir ini human hyperimmune globulin tidak lagi diberikan
untuk pencegahan.
2. Imunisasi Aktif
Diberikan vaksin pertusis dari kuman B. pertussis yang telah dimatikan
untuk mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-
sama dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan
12 IU dan diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu.
Jika prevalensi pertusis di dalam masyarakat tinggi, imunisasi dapat
dimulai pada umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak berumur >7
tahun tidak lagi memerlukan imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusis
tidak permanen oleh karena proteksi menurun selama adolesens, walaupun
demikian infeksi pada pasien yang lebih besar biasanya ringan hanya
merupakan sumber infeksi B. pertussis pada bayi non imun. Vaksin
pertusis monovalen (0,25 ml i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi
diantara orang dewasa yang terpapar. Salah satu efek samping setelah
imunisasi pertusis adalah demam.
Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan
antikonvulsan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam. Anak dengan
kelainan neurologik yang mempunyai riwayat kejang, 7,2 x lebih mudah
terjadi kejang setelah imunisasi DPT dan mempunyai kesempatan 4,5 x
lebih tinggi bila hanya mempunyai riwayat kejang dalam keluarga. Maka
pada keadaan anak yang demikian hendaknya tidak diberikan imunisasi
pertusis, jadi hanya diberikan imunisasi DT.
14
Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami
ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang
tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis >3 jam, high
pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari,
suhu yang tidak dapat diterangkan >40,50C dalam 2 hari. Eritromisin
efektif untuk pencegahan pertusis pada bayi baru lahir dari ibu dengan
pertusis.
Kontak erat pada anak usia <7 tahun yang sebelumnya telah diberikan
imunisasi hendaknya diberi booster. Booster tidak perlu diberikan bila
telah diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan terakhir, juga diberikan
eritromisin 50 mg/KgBB/24jam dalam 4 dosis selama 14 hari. Kontak erat
pada usia >7 tahun juga perlu diberikan eritromisin sebagai profilaksis.
Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran
infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan
pasien pertusis tetapi belum pernah diimunisasi hendaknya diberikan
eritromisin selama 14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontakk tidak
dapat diputuskan hendaknya eritromisin diberikan sampai pasien berhenti
batuk atau setelah pasien mendapat eritromisin selama 7 hari.
2.10 Komplikasi5
Pertusis yang paling penting adalah infeksi sekunder (seperti pneumonia dan
otitis media), gagal napas (apnea dan hipertensi pulmonal), gangguan fisik karena
serangan batuk yang hebat, kejang, ensefalopati, dan kematian. Pneumonia akibat
pertusis adalah keaadan serius dan membutuhkan prosedur ventilasi mekanik invasif
untuk memasang alat bantu pernapasan.
2.11 Prognosis
Sebagian besar anak akan membaik, mengalami perbaikan epitel pada saluran
respiratori dan fungsi paru yang normal setelah sembuh. Pada anak dengan usia yang
lebih muda akan cenderung membutuhkan rawat inap, hal ini disebabkan memiliki
15
angka kematian yang lebih besar. Pada anak yang terkena pertusis dapat mengalami
gangguan disabilitas akibat ensefalopati4.
Prognosis penyakit dapat memburuk pada tahun pertama dan kedua kehidupan
dimana angka masuk rumah sakit dan angka kematiannya tinggi. Pada anak yang
sudah mendapatkan imunisasi, gejala biasanya ringan dan tidak spesifik, sehingga
jarang terdiagnosis6.
BAB III
PENUTUP
Pertusis atau disebut juga dengan batuk rejan, “whooping cough”, adalah
batuk yang ditandai dengan adanya suara tarikan napas yang keras yang diikuti
dengan serangan batuk yang hebat sebelumnya. Penyakit ini merupakan penyakit
yang sangat menular, disebabkan oleh Bordetella pertussis.
Diseluruh dunia, setiap tahun terdapat sekitar 16 juta kasus pertusis, 95%
diantaranya terjadi di negara berkembang, dan mengakibatkan 195.000 anak
meninggal setiap tahunnya. Kejadian pertusis selalu meningkat dari tahun ke tahun
dengan angka peningkatan yang bermakna, bahkan di negara-negara yang cakupan
vaksinasinya tinggi sekalipun.
16
saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak. Perkembangan penyakit
melalui 3 tahapan yaitu kataralis, paroksismal, dan konvalesens.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Sariadji, et al. 2016. Studi Kasus Bordetella Pertussis pada Kejadian Luar Biasa
di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah yang Dideteksi dengan PCR
2. Pudjiadi A,H, et al. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
3. Soedarmo, et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit
Tropis.
4. Marcdante, et al. 2014. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Ed.6.
5. Bayhan, et al. 2010. The Clinical Characteristics and Treatment of Pertussis
Patients in a Tertiary Center Over a Four-year Period.
6. Gabutti, et al. 2012. Pertussis: A Review of Disease Epidemiology Worldwide
and in Italy.
17