Oleh:
Preseptor :
dr. Rusdi, Sp.A(K)
1
untuk menjaga tubuh dari bakteri, virus dan benda asing lain, namun pada ODAPUS,
sistem imun berbalik menyerang jaringan tubuh yang sehat sehingga terjadi inflamasi
pada jaringan dan mengakibatkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Kondisi
yang demikian dapat menimbulkan berbagai macam gejala yang sangat mirip dengan
gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penyakit lain, sehingga diagnosa SLE sangat
sulit untuk ditegakkan.10,11
Dalam terapi SLE, ada beberapa pertimbangan yang harus diperhitungkan
saat menangani anak dengan SLE. Diantaranya keparahan penyakit, presentase
penyakit, pemeriksaan lab yang menunjang, imunisasi, faktor psikososial dari pasien
tersebut. Hal terpenting dalam menangani anak dengan SLE adalah bagaimana terapi
terbaik untuk pasien dengan mempertimbangkan keadaan fisik, intelektual dan
emosinya yang sedang berkembang. Pasien harus diinformasikan mengenai
perjalanan penyakitnya, pengobatan dan efek-efek sampingnya, serta hasil
pengobatan yang mungkin terjadi. Semua informasi ini sebaiknya disampaikan
kepada pasien dan keluarganya, tentunya disesuaikan dengan usia pasien dan
kemampuannya dalam mengerti tentang pertumbuhannya, keadaan penyakitnya,
serta kemampuan dalam mengambil keputusan.12
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2
1.4 Definisi
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE)
merupakan penyakit multisistem autoimun kronis dengan etiologi yang belum
diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat
beragam.13,14 Sangat beragamnya gejala dari penyakit ini menyebabkan peneliti
menyatakan SLE lebih kepada sindrom atau kumpulana gejala daripada satu penyakit
saja.
1.5 Epidemiologi
Studi menunjukkan bahwa tingkat kejadian SLE di seluruh dunia adalah
sekitar 1 hingga 10 per 100.000 orang-tahun, sementara tingkat prevalensi berkisar
dari 20–70 per 100.000 orang-tahun. Di Amerika Serikat (AS), semua insiden ras
ditemukan menjadi 5,1 per 100.000 orang-tahun dan prevalensi diperkirakan akan
melebihi 300.000 orang.1 Prevalensi keseluruhan SLE dalam populasi pediatrik
adalah 10 hingga 25 kasus per 100.000 anak.15
Meskipun SLE mempengaruhi terutama wanita usia subur, sekitar 5% kasus
hadir di masa kanak-kanak, terutama sekitar pubertas. SLE jarang terjadi pada anak-
anak yang lebih muda dari 9 tahun umur. Meskipun ada dominasi perempuan dari
penyakit ini pada masa remaja dan dewasa, ada gender yang setara distribusi pada
anak-anak.1 SLE terutama mempengaruhi wanita, dengan rasio perempuan terhadap
laki-laki yang dilaporkan sebesar 12: 1 selama tahun melahirkan.16
Studi telah menunjukkan variasi ras / etnis, dengan keberadaan SLE lebih
umum pada orang non-Kaukasia, terjadi tiga hingga empat kali lebih sering di
Afrika-Amerika.14 Selain itu ke Afrika-Amerika, Hispanik dan Asia mengembangkan
SLE lebih sering daripada Kaukasia. Dalam populasi ini, SLE cenderung lebih aktif
dan berat, dengan risiko lebih tinggi relaps dan keterlibatan atau kerusakan sistem
organ. Bahkan dengan kemajuan dalam diagnosis dan pengobatan penyakit,risiko
kematian pada pasien dengan SLE lebih tinggi daripada pasien populasi umum.
Untuk pasien yang baru didiagnosis, 5 tahun tingkat kelangsungan hidup lebih dari
90% dan tingkat kelangsungan hidup 15 sampai 20 tahun sekitar 80% . Hasil buruk
dan risiko kematian yang lebih tinggi berkorelasi dengan perbedaan etnis ini, yang
mungkin dipengaruhi oleh status sosial ekonomi yang lebih rendah juga.15
Tingkat kelangsungan hidup telah meningkat secara signifikan dalam
beberapa dekade terakhir (1955 vs 2003: tingkat kelangsungan hidup 5 tahun 5% vs.
95%; Tingkat kelangsungan hidup 10 tahun 0% vs 92%), terutama karena diagnosis
3
dini dan manajemen yang lebih baik. Selama tahun-tahun pertama setelah terjadinya
SLE, risiko kematian meningkat terutama karena aktivitas penyakit dan infeksi
bakteri sebagai akibat dari dosis glukokortikoid tinggi, sementara komplikasi
kardiovaskular mendominasi periode mulai dari 5 tahun setelah diagnosis awal.16
1.6 Etiologi
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah gangguan multisistem yang
etiologinya belum diketahui. Ada hipotesis yang menyatakan bahwa SLE merupakan
penyakit dari pengaturan imun yang berubah yang mungkin ditentukan secara
genetik. Lupus kadang-kadang bersifat familial dan mengenai kembar identik. Virus
dan agen lingkungan lainnya juga berperan dalam proses patogenesis. Virus dapat
menstimulasi sel-sel tertentu di sistem imun. Infeksi kronis dapat menstimulasi
antibodi anti-DNA atau bahkan gejala mirip lupus, dan lupus flare akut sering
mengikuti infeksi bakteri. Penyakit seperti lupus juga dapat terjadi sesudah
pemajanan pada sejumlah obat terutama hidralazin, sulfonamid, prokainamid dan
antikonvulsan.
SLE dicirikan dengan produksi sejumlah besar autoantibodi yang
bersirkulasi. Produksi antibodi ini mungkin dikarenakan hilangnya kontrol Dari T-
limfosit terhadap aktivitas B-limfosit, yang menyebabkan hiperaktivitas dari limfosit
B, yang mengarah ke antibodi spesifik dan nonspesifik dan produksi autoantibodi.
Antibodi ini membentuk kompleks imun yang kemudian terperangkap di pembuluh
darah kecil, menyebabkan inflamasi dan iskemia.13
Penyebab SLE yang berhubungan dengan lingkungan dan paparan kurang
jelas. Faktor risiko awal kehidupan yang mungkin termasuk adalah sebagai berikut:
• Berat lahir rendah (<2.500 g)
• Kelahiran prematur (≥1 bulan lebih awal)
• Paparan pada masa kecil dengan pestisida pertanian
1.7 Patogenesis17,18
Para dokter dan peneliti belum dapat mengetahui secara pasti apa yang
menyebabkan penyakit ini. Hereditas memegang peranan yang cukup besar, karena
jika kita memiliki kerabat yang menderita SLE ada potensi pada tubuh kita untuk
menderita SLE. Namun faktor gen ini bukan satu-satunya penyebab, karena
sepertinya timbulnya penyakit ini dipicu dengan cara yang belum diketahui.
Beberapa pemicu yang banyak diajukan oleh peneliti sebagai pemicu SLE
4
diantaranya adalah infeksi virus, stress, diet, toksin, termasuk beberapa jenis obat-
obatan yang diresepkan dokter. Pemicu-pemicu ini, sedikit dapat menjelaskan
mengapa penyakit ini timbul dan hilang silih berganti.
Pada penderita lupus, sistem imun tubuh memproduksi antibodi yang
melawan tubuhnya sendiri, terutama protein yang terdapat di nukleus. SLE juga
dipicu oleh faktor lingkungan yang tidak diketahui (mungkin termasuk virus) pada
orang-orang yang memiliki kombinasi gen-gen tertentu dalam sistem imunnya.
Gambar 2.1 Terbentuknya kompleks imun pada peredaran darah penderita SLE
Semua komponen kunci dalam sistem imun terlibat dalam mekanisme yang
melandasi terjadinya SLE. SLE adalah prototipe penyakit autoimun. Sistem imun
seharusnya memiliki keseimbangan (homeostasis) agar dapat cukup sensitif terhadap
infeksi dan dapat mengenali tubuh sendiri sehingga tidak terlalu sensitif dan
menyerang tubuh sendiri. Beberapa faktor lingkungan yang menjadi pemicu
munculnya SLE diantaranya adalah sinar ultraviolet, obat-obatan dan virus, yaitu
Epstein-Barr Virus (EBV). Stimuli ini menyebabkan kerusakan sel dan menyebabkan
DNA, histon dan protein lain terutama bagian-bagian yang ada di dalam inti sel
terekspos. Karena variasi genetik dalam komponen imun sistem yang berbeda, pada
beberapa orang sistem imun menyerang protein yang berhubungan dengan inti sel
dan membentuk antibodi untuk menyerang mereka. Akhirnya, kompleks antibodi ini
merusak pembuluh darah di area kritis tubuh, seperti glomerulus pada ginjal, dan
menyebabkan SLE.
5
Mekanisme pertama yang dicurigai sebagai penyebab SLE adalah faktor
genetis. Beberapa gen yang paling penting dalam kejadian SLE adalah yang terdapat
pada Major Histocompatibility Complex (MHC). Gen-gen ini berhubungan dengan
respons imun pada sel limfosit T, sel B, makrofag dan sel dendritik, karena
mengkode peptida pada molekul reseptor di permukaan sel. Beberapa gen yang
diduga memiliki peran dalam insiden lupus diantaranya terdapat pada tabel 1 berikut
ini.
6
Gambar 2.2 Struktur glikoprotein pada permukaan membran sel (limfosit)
Akar penyebab lupus adalah disfungsional sistem imun. Pada orang sehat,
sel-sel limfositnya memiliki permukaan yang tertutup molekul glikoform dan protein
komplemen yang akan membentuk struktur glikoprotein (gambar 3). Pada penderita
SLE, sel-sel ini kehilangan struktur glikoprotein tertentu, sehingga bentuk
permukaan sel menjadi berbeda dibandingkan dengan sel-sel sehat yang
mengakibatkan sel-sel imun melakukan kesalahan dengan menganggap sel-sel
tubuhnya sendiri sebagai musuh dan melakukan penyerangan terhadapnya (gambar
4). Hal inilah yang menyebabkan gejala-gejala seperti peradangan kulit dan sendi,
kelelahan yang ekstrim, kerusakan ginjal dan seterusnya.
Gambar 2.3 Sel yang sehat (kiri) dan sel yang kehilangan glikoprotein
tertentu pada permukaan selnya (kanan).
Organ yang paling banyak terpengaruh pada penderita SLE adalah ginjal dan
kulit. Pada ginjal penderita lupus terdapat antibodi yang mengikat DNA utas ganda
yang berasal dari tubuh sendiri. Reaksi ini adalah reaksi autoimun, dan pentingnya
antibodi anti Double-Stranded DNA (anti DS-DNA) ini telah diteliti dan terdapat
7
pada 70% pasien lupus. Antibodi ini juga yang menyebakan kerusakan jaringan-
jaringan tubug lain, terutama karena sifatnya yang menyerang inti sel. Selain itu
ditemukan pula antibodi lain yang mengikat protein-protein yang berhubungan
dengan inti sel seperti yang terlihat pada tabel 2 berikut ini. Kehadiran antibodi anti-
Ro dan anti-La menyebabkan komplikasi jantung fetus pada ibu hamil. Ini yang
menyebabkan SLE berbahaya bagi bayi yang dikandung ibu yang menderita SLE.
Selain itu juga, kedua antigen ini bertanggunng jawab pada gejala SLE yang berupa
lesi kulit.
Tabel 2. Antigen yang membentuk autoantibodi pada penderita SLE
8
Gambar 2.4 Interaksi antara sel T dan sel yang memiliki antigen
Pada penderta lupus, sel B berperan sebagai sel yang memiliki antigen,
berikatan dengan sel T pada situs CD 40. Sel T dan sel B saling mempengaruhi, sel T
menghasilkan TNF-α, interferon-γ dan interleukin-10 yang menstimulasi sel B untuk
menghasilkan antibodi terhadap antigen yang terikat tersebut (Gambar 6).
Mekanisme ini diketahui dan membuka peluang untuk pengembangan pengobatan
lupus dengan mencari molekul yang menghambat interaksi kedua sel tersebut.
Pada proses apoptosis yang normal, sel yang rusak
mengeluarkan/mengekspos antigen untuk dikenali oleh antibodi, yang selama ini
terkubur/tertutup oleh kepingan-kepingan sel penutup antigen. Pada penderita lupus
hal ini terjadi secara tidak normal pada sel sehat yang yang distimulasi oleh faktor
pemicu dari lingkungan, sehingga mengakibatkan pemusnahan sel sejenis oleh
produksi antibodi.
9
Jalur-jalur ini membuka peluang untuk pengobatan pada penderita lupus.
Selama ini, tritmen dokter pada penderita SLE biasanya dengan pemberian obat-
obatan yang hanya mengurangi gejalanya saja, tidak pada peyebabnya. Misalnya
pemberian obat-obatan antiinflamasi, antimalaria dan immunosupressant. Kini, sudah
ada obat yang dapat digunakan untuk membantu meringankan serangan SLE yang
disebut Lymphostat-B, yang berfungsi menghambat protein yang menstimulasi
limfosit B (BLyS= B lymphocyte stimulator). Limfosit B adalah sel yang
berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Jadi dapat memulihkan
aktivitas autoimun menjadi normal, kemudian menghambat aktivitas protein tersebut
sehingga limfosit B tidak bisa berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi
antibodi. Berkurangnya produksi antibodi menyebabkan aktivitas penyakit lupus
mudah dikontrol.
10
gatal, tetapi parutnya dapat menyebabkan kerontokan rambut permanen. 5%-10%
pasien dengan lupus diskoid bisa menjadi SLE.20
Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan lupus
11
Tabel 1: Manifestasi klinis SLE (yang dicetak tebal: paling sering ditemukan) 22
Mudah lelah
Limfadenopat
Alopesia
Lesi diskoid
Lupus tumidus
Purpura vaskulits
Tenosinovits
Muskuloskeletal
Miopat
Nekrosis avaskular
Sistem Pencernaan
Ulserasi oral dan nasal
Dismotlitas esofagus
Kolits
Hepato-splenomegali
12
Pankreatts
Fenomena Raynaud
Perikarditis
Lesi valvular
Lesi vaskulitk
Trombophlebits
Kardiovaskuler
Kelainan konduksi jantung
Miokardits
Endokardits Libman-Sacks
Gangren perifer
Pneumotoraks
Sistem Persarafan
Migrain
Depresi / cemas
Psikosis organik
Kejang
13
Khorea
Kelainan serebrovaskular
Glomerulonefritis
Ginjal Hipertensi
Gagal ginjal
Hematologi Trombositopenia
Sindrom antfosfolipid
1.9 Diagnosis
Diagnosis SLE dibangun berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang. Hal yang harus diperhatikan klinisi adalah bahwa onset gejala klinis
SLE tidak selalu terjadi secara simultan, sehingga eksplorasi anamnestik terhadap
riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat
penting. Begitu pula perhatian akan gejala dan tanda lain yang mungkin terjadi di
masa datang yang dapat menjadi petunjuk penting penegakan diagnosis SLE.
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini
tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi
sebagai penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia,
dermatitis dan sebagainya. KetepatanKetepatan diagnosis dan pengenalan dini
14
penyakit SLE menjadi penting.Kedua hukum gas tadi penting untuk diingat saat
mempersiapkan pasien untuk transport udara dan selama berada di dalam
pesawat di udara. Harus dipertimbangkan bahwa udara/gas yang terperangkap di
dalam ruang yang mungkin akan mengganggu pasien bilamana volume
membesar saat ketinggian bertambah
1.9.1 Anamnesis
Riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada
gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien.
• Alasan dirawat / Keluhan utama
• Riwayat kesehatan dan penyakit yang lalu
• Masalah kesehatan yang sedang dialami
• Masalah pola fungsi sehari-hari
• Masalah yang dirasakan beresiko atau diketahui beresiko tinggi pada
klien
• Emosi, konsep diri, gambaran diri, pola pemecahan masalah
• Masalah kebudayaan / kepercayaan, nilai, keyakinan
• Hubungan social/keluarga.dll
• Pemeriksaan 4 Gejala cardinal: Suhu umumnya terjadi peningkatan
suhu tubuh, Tekanan Darah akan meningkat terutama bila terdapat
masalah pada ginjal.
1.9.2 Pemeriksaan Fisik
2.6.2.1 Inspeksi
Pengamatan secara seksama setatus kesehatan Klien dari kepala sampai kaki.
Pada Klien dengan SLE mungkin akan ditemukan antara lain
Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) pada daerah pipi dan
hidung.
Lesi dan kebiruan di ujung jari akibat buruknya sirkulasi dan hipoksia kronik
Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung, pada beberapa penderita
ditemukan eritema atau sikatrik.
Luka-luka di selaput lender mulut atau pharing.
15
Dapat terlihat tanda peradangan satu atau lebih persendian yaitu
pembengkakan, warna kemerahan dan rentang gerak yang terbatas.
Perdarahan sering terjadi terutama dari mulut atau bercampur urina (urine
kemerahan).
Gerakan dinding thorak mungkin tidak simetris atau tampak tanda – tanda
sesak (Napas cuping hidung,Retraksi supra sterna, bahkan intercostals,apabila
terdapat ganguan organ paru)
2.6.2.2 Palpasi
Pemeriksaan dengan meraba klien
Sklerosis, yaitu terjadi pengencangan dan pengerasan kulit jari-jari tangan
Nyeri tekan pada daerah sendi yang meradang
Oedem mata dan kaki, mungkin menandakan keterlibatan ginjal dan
hipertensi
2.6.2.3 Perkusi
Pemeriksaan fisik dengan mengetuk bagian tubuh tertentu; untuk mengetahui
Reflek, atau untuk mengetahui kesehatan suatu organ tubuh misalnya : Perkusi organ
dada untuk mengetahui keadaan Paru dan jantung.
2.6.2.4 Auskultasi
Pemeriksaan fisik dengan cara mendengar, biasanya menggunakan alat
Stetoskup, antara lain untuk mendengar denyut jantung dan paru-paru.
Dari hasil pemeriksaan fisik bisa didapatkan hasil seperti:
1) Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
2) Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
3) Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku
pada pagi hari.
16
4) Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau
palatum durum.
5) Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
6) Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
7) Sistem Renal
Edema dan hematuria.
8) Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea
ataupun manifestasi SSP lainnya.
2) Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin
Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala
mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar
17
95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang
reumatoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal. Jika hasil tes
ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan
penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan berubah, mungkin
diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan
sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti- dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-ds DNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer
yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang
bukan SLE.
kriteria ARA yg telah direvisi terakhir tahun 1997. Lalu pada tahun 2012 penegakan
diagnosis diperbaharui dengan SLICC dengan memenuhi lebih atau sama 4 kriteria
18
Kriteria Diagnosis SLE menurut American College of Rheumatology, revisi tahun
1997 (yang masih dipakai dahulu)
Kriteria Sistemik
Serosits
Pleurits Riwayat nyeri pleuritk atau pleuritic friction rub yang
6. didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukt efusi
Perikardits pleura.Terbukt dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukt efusiperikardium.
a.. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
tdak dilakukan pemeriksaan kuanttatfataub. Silinder
7. Gangguan renal
seluler : – dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular, tubular atau campuran.
Kriteria Laboratorium
19
Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebihatau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh
obat-obatan
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitfitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positf, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis.
Bila hasil tes ANA negatf, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA
positf dan manifestasi klinis lain tdak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi
jangka panjang diperlukan.
CLINICAL CRITERIA
(1) Acute Cutaneous Lupus OR Subacute Cutaneous Lupus
Acute cutaneous lupus: lupus malar rash (do not count if malar discoid),
bullous lupus, toxic epidermal necrolysis variant of SLE, maculopapular lupus
rash, photosensitve lupus rash (in the absence of dermatomyosits)
Subacute cutaneous lupus: nonindurated psoriaform and/or annular
polycyclic lesions that resolve without scarring, although occasionally with
postnflammatory dyspigmentaton or telangiectasias)
(2) Chronic Cutaneous Lupus
Classic discoid rash localized (above the neck) or generalized (above and
below the neck), hypertrophic (verrucous) lupus, lupus panniculits
20
(profundus), mucosal lupus, lupus erythematosus tumidus, chillblains lupus,
discoid lupus/lichen planus overlap
(3) Oral Ulcers OR Nasal Ulcers
Oral: palate, buccal, tongue
Nasal ulcers
In the absence of other causes, such as vasculits, Behcet’s disease, infecton
(herpesvirus), inflammatory bowel disease, reactve arthrits, and acidic
foods
(4) Nonscarring alopecia
Diffuse thinning or hair fragility with visible broken hairs, in the absence of
other causes such as alopecia areata, drugs, iron deficiency, and androgenic
alopecia
(5) Synovitis involving 2 or more joints
Characterized by swelling or effusion
OR tenderness in 2 or more joints and at least 30 minutes of morning
stffness
(6) Serositis
Typical pleurisy for more than 1 day OR pleural effusions OR pleural rub
Typical pericardial pain (pain with recumbency improved by sitting forward)
for more than 1 day OR pericardial effusion OR pericardial rub OR pericardits
by electrocardiography
In the absence of other causes, such as infecton, uremia, and Dressler’s
pericardits
(7) Renal
Urine protein–to-creatnine rato (or 24-hour urine protein) representng 500
mg protein/24 hours OR red blood cell casts
(8) Neurologic
Seizures, psychosis, mononeurits multplex(in the absence of other known
causes such as primary vasculits), myelits, peripheral or cranial neuropathy
(in the absence of other known causes such as primary vasculits, infecton,
and diabetes mellitus), acute confusional state (in the absence of other
causes, including toxic/metabolic, uremia, drugs)
(9) Hemolytic anemia
(10) Leukopenia (<4000/mm3) OR Lymphopenia (<1000/mm3)
Leucopenia at least once: In the absence of other known causes such as
Felty’s syndrome, drugs, and portal hypertension.
Lymphopenia at least once: in the absence of other known causes such as
cortcosteroids, drugs, and infecton
21
(11) Thrombocytopenia (<100,000/mm3)
At least once in the absence of other known causes such as drugs, portal
hypertension, and thrombotc thrombocytopenic purpura
IMMUNOLOGIC CRITERIA
2.7 Tatalaksana23
Tatalaksana pada SLE bersifat individual dan berdasarkan gejala penyakit
yang spesifik dan toleransi pengobatan, untuk semua pasien, tabir surya dan
menghindari pemaparan matahari secara langsung dan sinar ultraviolet mungkin
dapat membantu mengontrol penyakit ini.
Hydroxychloroquine (5 – 7 mg/kg/hari sampai dengan 400 mg/hari) di
rekomendasikan untuk semua pasien SLE yang tolerans terhadap obat tersebut.
Sebagai tambahan untuk tatalaksana SLE dengan manifestasi klinis yang ringan
seperti ruam dan arthritis ringan, hydroxychloroquine dapat mencegah SLE flares,
meningkatkan profil lipid dan mungkin dapat memberi dampak yang baik terhadap
mortalitas dan fungsi ginjal. Toksisitas hydroxychloroquine antara lain pigmentasi
retina dan gangguan penglihatan warna. Ophtalmologist mengevaluasi setiap 6 – 12
bulan di rekomendasikan untuk pasien yang mendapat hydroxychloroquine.
Obat anti inflamasi non steroid dapat membantu dalam menangani nyeri
sendi dan arthtiris. Sangat penting untuk mempertimbangkan toksisitas, hepar, renal
dan kardiovaskular.
22
Kortikosteroid merupakan andalan untuk tatalaksana dari manifestasi yang
signifikans dari SLE dan berkerja cepat untuk memperbaiki perburukan akut, efek
samping sering membatasi kepatuhan pasien, terutama pada pasien remaja dan
toksisitas yang membahayakan. Sangat penting untuk membatasi dosis dan
memperpanjang lamanya pemaparan dari kortikosteroid jika memungkinkan. Efek
potensial dari terapi kortikosteroid termasuk gangguan pertumbuhan, penambahan
berat badan, striae, acne, hiperglikemia, hipertensi, katarak , avaskular nekrosis dan
osteoporosis. Dosis optimal kortikosteroid pada anak dan remaja dengan SLE belum
diketahui secara pasti. Gejala yang berat sering diobati dengan menthylprednisolone
intravena dosis tinggi ( 30 mg/kg/hari selama 3 hari) atau prednison oral dosis tinggi
( 1- 2 mg/kg/hari). jika manifestasi klinis membaik, dosis kortikosteroid diturunkan
secara gradual selama sebulan. Sangat sering dibutuhkan untuk diberikan medikasi
steroid-sparing immunosuppresive untuk membatasi pemberian steroid yang banyak.
Steroid-Sparring immunosuppressive agent, sering digunakan dalam
tatalaksana SLE pada anak, seperti methotrexate, leflunomide, azathioprine,
mycophenolate mofetil, cyclophosphamide dan belimumab. Methrotrexate,
leflunomide dan azathioprine sering digunakan untuk tatalaksana pada keadaaan
moderate yang persisten, termasuk arthritis, keterlibatan kulit atau hematologik dan
penyakit pleura. Cyclophospamide secara intra vena atau oral dibutuhkan untuk
penyakit yang lebih berat, manifestasi Sle yang mengancam nyawa seperti gangguan
pada ginjal, neurologik dan kardiopulmonal. Walaupun cyclophosphamide sangay
efektif dalam mengontrol penyakit ini, tetapi memiliki toksisitas yang potensial
termasuk sitopenia, infeksi, sistitis hemoragik, kegagalan prematur gonad dan
meningkatkan risiko malignancy untuk kedepannya. Hidrasi yang adekuat harus
diperhatikan untuk mengurangi risiko sistitis hemoragik. Untungnya, gadis muda
memiliki risiko lebih rendah kegagalan gonad daripada wanita yang lebih tua dan
penggunaan gonadotropin-releasing hormone agonist, seperti leuprolide acetate,
dapat mencegah kegagalan gonad.
Uji klinis penggunaan rituximab pada SLE dengan glomerulonefritis resisten
sangat mengecewakan, tetapi hasil dari studi LUNAR menyarankan mungkin
terdapat keutnungan pada subpopulasi psien SLE. FDA telah menyertujui belimumab
(antibodi monoklonal againts BlyS, juga disebut dengan B cell activating factor) jika
ditambahkan pada terapi standar Sle,belimumab dapat memperbaiki penanda
multipel dari beratnya penyakit. Kadar BlyS meningkat pada SLE dan berhubungan
23
dengan aktifitas penyakit, terapi dapat mengurangu dari jumlah SLE flares dan
menurunkan dosis prednison, efek samping antara lain adalah demam, muntah dan
diare.
The Childhood Arthritis Rheumatology Research Alliance telah
mengembangkan konsensus rencana teratpi induksi pada proliferative lupus nephritis
yang baru di diagnosa. Guideline ini dianjurkan terapi selama enam bulan dengan
cyclophosphamide atau mycophenolate mofetil, digunakan kombinasi dengan
regimen glukokortikoid standar. Pada pasien yang gagal mencapai respon parsial
selama 6 bulan, ini memungkinkan untuk mengganti regimen. Pernyataan konsensus
untuk terapi maintanance nefritis lupus direkomendasikan penggunaan
mycophenolate mofetil, setiap 3 bulan cyclophosphamide atau azathioprine sekama
12 bulan setelah menyelesaikan terapi induksi.
Akibat perjalanan alamiah yang panjang dari SLE perawatan yang optimal
pada anak dan ewmaja dengan penyakit ini juga harus melibatkan praktik preventif.
Meningkatnya risiko aterosklerosis pada SLE, perhatian pada kadar kolesterol, status
merokok, indeks massa tubuh tekanan darah dan faktor kardiovaskular lainya harus
sangat diperhatikan. Walaupun studi Atherosclerosis Prevention in Pediatric Lupus
Erytromathousus (APPLE) gagal dalam menangani semua anak SLE dengan statin,
ad hic analisis menunjukan bahwa statin mungkin dapat dipertimbangkan dalam
pencegahan primer pada penyakit aterosklerosis, terutama pada pasien dengan
peningkatan CRP. Untuk semua pasien SLE, masukan kalsium dan vitamin D yang
adekuat dapat mencegah osteoporosis kedepannya. Infeksi juga merupakan
komplikasi yang sering pada SLE, sehingga immunisasi yang rutin di
rekomendasikan seperti vaksinasi influenza thunan dan diberikan vaksin 23-valent
pneumococcal. Perhatian yang tepat pada episode demam harus termasuk
didalamnya evaluasi terhadap infeksi yang serius. Harus diingat bahwa kehamilan
dapat memperburuk SLE. Sebagai tambahan, banyak medikasi pada SLE merupakan
teratogenik. Akibatnya, sangay penting untuk gadis myda mengetahui risiko dan
pemilihan kontrasepsi yangs sesuai. Pasien SLE dengan sindrom antibodi
antiphospholypid ditatalaksana dengan antikoagulan jangka panjang untuk mencegah
kejadian trombosis.
2.8 Komplikasi23
24
Pada tahun pertama kehidupan penyebab utama kematian pada penderita SLE
termasuk infeksi dan komplikasi SLE yaitu glomerulo nefrtis dan neuropsikiatrik.
Selama periode waktu yang lama komplikasi lain yan bisa terjadi adalah
aterosklerosis dan keanasan. Peningkatan kejadian keganasan disebabakan karena
disregulitas imun karena paparan terhadap obat yang potensial karsinogenik.
2.9 Prognosis
Prognosis dari SLE sudah mulai membaik dalam beberapa dekade terakhir
dan sangat tergantung pada sistem organ yang terlibat. Prognosis yang buruk
ditemukan pada pasien dengan lupus nefritis atau cerebritis yang berat dengan risiko
cacat kronik atau perburukan menjadi gagal ginjal. Dengan perkembangan terapi saat
ini dan kesuksesan transplantasi ginjal, sebagian besar pasien bisa bertahan hingga
dewasa.23
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Wallace DJ. The lupus book, panduan lengkap bagi penderita lupus dan
keluarganya. Alih bahasa. Wiratama C. Yogyakarta: B – First, 2007: 1-170
2. Lupus Foundation of America. How lupus affects the body.
http://www.lupus.org/webmodules/webarticlesnet/templates/new_learnaffects.
aspx?articleid=2268
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peringatan hari lupus
sedunia. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1500-
peringatan-harilupus-sedunia.html.
4. Yayasan Lupus Indonesia. 2013. Lupus di Indonesia.
http://yayasanlupusindonesia.org/
5. Laxer MR, Benseler MS. 2010. Pediatric Systemic Lupus Erythematosus,
Dermatomyositis, Scleroderma, and Vasculitis. Rheumatic Diseases Of
Childhood.
6. Gomez LAR, Uribe OU, Romero HG, et al. 2008. Childhood systemic lupus
erythematosus in Latin America. The GLADEL experience in 230 children.
Lupus.
7. Kamphuis S, Silverman ED. 2010. Prevalence and Burden of Pediatric onset
Systemic Lupus Erythematosus. Nature Reviews Rheumatology.
8. Lupus Foundation of America. 2015
9. Wallace DJ, Hahn BH. Dubois’ lupus erythematosus. 7th Edition.
Philadhelphia: Lippincott, Williams & Willikins, 2002: 22-8
10. Lenher T. Imunologi pada penyakit mulut ed.3. Alih Bahasa: Farida R,
Suryadana N.G. Jakarta: EGC, 1995: 148-9
11. Bartels MC. Systemic lupus erythematosus (sle) practice essentials. Medscape
reference: drugs, diseases, & procedurs. 19 Juli 2013: 1-19
12. Gitelman, Marisa Klein, etc. 2002. Systemic Lupus Erythematosus in
Childhood. From Journal: Rheumatic Disease Clinics of North America.
Published by WBS
13. Marcdante KJ, Kliegman RM. Nelson Essential for pediatric 7th edition.
Systemic lupus erythematosus. 2015; 90: 309-311.
14. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnsosis dan pengelolaan lupus
eritematosus sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011: 11
15. Cunha JS, Katararyzna GS. Systemic Lupus Erythematosus: A Review of the
Clinical Approach to Diagnosis and Update on Current Targeted Therapies.
Rhode Island Medical Journal. 2016; 23-27
16. Kuhn A, Bonssman G, Ander HJ, Herzer P, Tenbrock K, Schneider M. The
Diagnosis and Treatment of Systemic Lupus Erythematosus. Deutsches
Arzteblatt International. 2015; 112: 423–32
17. Rahman, Anisur and David A. Isenberg. 2008, Systemic Lupus
Erythematosus. Mechanism of Disease. The New England Journal of
Medicine. Volume 358:929-939. February 28, 2008. Downloaded from
www.nejm.org by EVI ROVIATI on December 17, 2008
18. Christopher-Stine, L. 2006. Systemic Lupus Erythematosus. A.D.A.M.
Medical Encyclopedia. Departement of Medicine, John Hopkins University,
Baltimore
19. Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007. Diagnosis and Management of
Systemic Lupus Erythematosus in Children. From: Journal of Pediatric and
Child Health 18:2. Published by Elsevier Ltd.
20. Kusuma, Anak Agung Ngurah Jaya. 2007. Lupus Eritematosus Sistemik pada
26
Kehamilan. Dari: Jurnal Penyakit Dalam vol 8 no. 2. Diterbitkan oleh: Divisi
Feto Maternal SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP Sanglah,
Denpasar.
21. Rudolph, Abraham M, etc. 1996. Rudolph Pediatrics. USA: Appleton &
Lange.
22. Webb, Nicholas and Robert Postlethwaite. 2003. Clinical Paediatric
Nephrology 3rd Edition. USA: Oxford University.
23. Kliegman RM et al., . Nelson Textbook of Pediatrics. 20th Ed. Elsevier.
Philadelphia. 2016. Pp : 1179-1180.
27
28