Anda di halaman 1dari 14

Sari Pustaka Kepada Yth :

Divisi Neurologi

PERAN VITAMIN D PADA EPILEPSI ANAK

Penyaji : Ratna Suwita Batubara


Hari/Tgl : / April 2018
Pembimbing : Prof. dr. Bistok Saing, Sp.A(K)
Dr. Johannes H. Saing, M.Ked(Ped), Sp.A(K)
Dr. Yazid Dimyati, M.Ked(Ped), Sp.A(K)
Dr. Fereza Amelia, M.Ked(Ped),Sp.A(K
Dr. Hariadi Edi, M.Ked(Ped),Sp.A
Dr. Cynthea Prima D, M.Ked(Ped),Sp.A)

Pendahuluan
Epilepsi adalah salah satu kelainan neurologis yang paling sering terjadi pada anak.
Sebanyak 6 dari 1000 anak di seluruh dunia menderita epilepsi, dan kira-kira dua kali
lebih sering pada anak daripada orang dewasa.1 Insiden epilepsi diperkirakan lebih
banyak di negara berkembang dari negara industri. Di negara berkembang, angka
kejadian epilepsi anak dari lahir sampai usia 16 tahun diperkirakan sekitar 40 dari
100.000 anak per tahun.2 Epilepsi menurut International League Against Epilepsy
(ILAE) didefinisikan sebagai kelainan pada otak yang ditandai oleh: 1) adanya
bangkitan yang spontan dan berulang minimal dua bangkitan dalam 24 jam, 2) satu
bangkitan spontan dan bangkitan fokal yang berisiko menjadi bangkitan umum
(setidaknya 60%) setelah dua bangkitan yang terjadi lebih dari 10 tahun, 3) di
diagnosis sebagai sindrom epilepsi.3
Vitamin D memainkan peran penting dalam banyak fungsi fisiologis yang
berbeda. Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemahaman peran vitamin D dalam
berbagai fungsi kesehatan telah meningkat pesat. Selain peran pentingnya untuk
kesehatan tulang, vitamin D juga berimplikasi pada berbagai fungsi seperti kesehatan
kardiovaskular, pencegahan tumor, fungsi imunitas, metabolisme glukosa,
perkembangan dan fungsi otak.4,5,6 Vitamin D memiliki peran penting selama
perkembangan otak, proliferasi, diferensiasi, neurotrofik dan neuroprotektif.7
Penelitian menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D merupakan faktor risiko
penyakit neurologis seperti Alzheimer, Parkinson, multiple sklerosis, depresi,

1
skizofrenia, autis dan epilepsi.8,9 Dalam beberapa tahun terakhir, masih sedikit
penelitian yang menjelaskan mengenai hubungan antara epilepsi dan vitamin D.10

Tujuan penulisan sari pustaka ini adalah untuk mengetahui peran vitamin D pada
epilepsi anak.

Vitamin D dan metabolisme dalam tubuh


Vitamin D adalah unik karena bisa disintesis di kulit dari paparan sinar matahari. 11
Vitamin D selain berasal dari produk konversi radiasi sinar ultraviolet terhadap 7-
dehydrocholesterol di kulit, kurang dari 10 % juga dapat diperoleh dari asupan
makanan. 7-dehydrocholesterol dengan sinar ultraviolet pada kulit berubah menjadi
cholecalciferol, yang disebut vitamin D. Cholecalciferol kemudian berikatan dengan
protein pengikat vitamin D, yang merupakan α-globulin yang disintesis di hati. 12
Vitamin D kemudian dikonversi ke bentuk sirkulasi utama, 25-hydroxyvitamin D
(25(OH)D) atau calcidiol oleh hati dengan enzim 25-hydroxylase dan kemudian
diubah menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D (1,25(OH)2D3) atau calcitriol, oleh ginjal
dengan enzim 1-α-hydroxylase. Enzim 25-hydroxylase dan 1-α-hydroxylase
termasuk dalam kelompok enzim sitokrom P450. Calcidiol (25(OH)D) adalah bentuk
utama vitamin D yang disimpan dan bersirkulasi dengan waktu paruh 2-3 minggu.
Calcitriol (1,25(OH)2D3) selanjutnya berdifusi ke cairan interstisial, melewati
membran sel dan menempel pada reseptor vitamin D.1,10,12
Reseptor vitamin D terdapat hampir di semua jaringan dan sel. 1,25(OH)2D3
akan menstimulasi penyerapan kalsium di usus. Tanpa vitamin D, hanya 10%-15%
kalsium dari makanan dan 60% fosfor yang diserap. Kecukupan vitamin D akan
meningkatkan penyerapan kalsium sebesar 30%-40% dan fosfor 80%.11

2
Gambar 1. Metabolisme vitamin D10
Reseptor vitamin D tersebar di berbagai sel dan jaringan dan dengan
mengatur gen protein eksekutif yang berbeda akan memodulasi fungsi organ yang
berbeda. Gen calbindin 9k adalah salah satu gen yang paling spesifik dan terkenal,
yang ekspresinya diinduksi oleh vitamin D. Calbindin 9 adalah protein pengikat
kalsium yang diekspresikan di usus dan berperan penting dalam transpor aktif
kalsium melintasi enterosit. 10,11
Tambahan hidroksilasi di lokasi C24 akan menonaktifkan vitamin D. 24-
hidroksilase vitamin D diekspresikan hampir di semua jaringan. Metabolit 1,25-
dihydroxyvitamin D selanjutnya disekresikan ke empedu dan diserap kembali
melalui sirkulasi enterohepatik.10

Vitamin D dan sistem saraf pusat


Metabolit utama vitamin D seperti 25(OH)D, 1,25-dihydroxyvitamin D dan 24,25--
dihydroxyvitamin D terdapat dalam cairan serebrospinal manusia dan dapat melintasi
sawar darah otak. Enzim-enzim P450 yang berperan dalam konversi vitamin D yaitu
enzim 1-α-hydroxilase (CYP27B1) dan 24-hydroxilase (CYP24AI) juga terdapat di
otak. Enzim CYP27B1 terdapat pada otak fetus, kultur glial dan juga pada otak
dewasa. Pada otak dewasa enzim ini diekspresikan paling banyak di subtansia nigra,
supraoptik dan nukleus paraventrikular hipotalamus. Hal ini menunjukkan bahwa
otak memiliki potensi untuk mensintesis metabolit aktif vitamin D yaitu 1,25-
dihydroxyvitamin D. Sebaliknya, enzim CYP24A1akan menonaktifkan 1,25-
dihydroxyvitamin D, dikonversi menjadi 24,25-dihydroxyvitamin D. Pada kultur sel

3
glial, peningkatan ekspresi dari enzim CYP24A1 pada penambahan 1,25-
dihydroxyvitamin D dosis tertentu menunjukkan bahwa kadar 1,25-dihydroxyvitamin
D dapat diregulasi di otak.5,6,7,9,10,13
Protein reseptor vitamin D pada otak manusia terdapat di pontin-otak tengah,
serebelum, thalamus, hipotalamus, ganglia basal, hipokampus, system olfaktorius dan
kortek temporal, orbital dan singulata. Reseptor vitamin D diekspresikan di otak
selama pertumbuhan pada beberapa spesies. Ekskresi reseptor vitamin D meningkat
seiring usia gestasi, meningkatkan apoptosis, dan menurunkan aktifitas mitosis di
otak. Dengan demikian, adanya metabolit vitamin D, aktifitas enzim, dan reseptor
vitamin D di otak menunjukkan bahwa vitamin D berperan penting dalam menjaga
fungsi otak yang normal.13
Vitamin D juga berperan penting pada perkembangan otak. 1,25-
dihydroxyvitamin D adalah pemicu kuat dari nerve growth factor (NGF). Vitamin D
mempunyai efek terhadap faktor-faktor neurotropik, yang memodulasi
perkembangan dan diferensiasi dari sel saraf dan glial. Neurotrofin 3 dan 4 (NT3 dan
NT4), serta glial cell line-derived neurotrophic factor (GDNF) diregulasi oleh 1,25-
dihydroxyvitamin D.4,7,8, Faktor-faktor neurotropik merangsang pertumbuhan sel-sel
saraf dan meningkatkan kelangsungan hidup dan diferensiasi populasi neuron sentral
dan perifer tertentu.14 Neurotrofin 3 secara khusus merupakan neurotrofin yang
paling banyak ditemukan selama perkembangan awal dan berperan penting dalam
neurogenesis embrionik. Peningkatan laju proliferasi dan mitosis, penurunan kadar
NGF dan GDNF, dan kelainan morfologi otak ditemukan pada subjek dengan
defisiensi vitamin D.8,10
Karakteristik neuroprotektif vitamin D melibatkan sintesis protein pengikat
kalsium, termasuk parvalbumin dan calbindin, dan mengatur homeostasis kalsium sel
yang penting untuk fungsi sel otak. Parvalbumin dikenal memiliki efek sebagai
antiepileptik.6,10 Pemberian 1,25-dihydroxyvitamin D3 juga berperan sebagai
neuroprotektif dengan mengurangi masuknya ion kalsium ke dalam neuron.15
Kelebihan kalsium bersifat neurotoksik yang menyebabkan peningkatan eksitabilitas
neuron karena menyebabkan pelepasan asam amino dan neurotransmiter stimulasi.
Selain itu, kelebihan kalsium dapat menyebabkan aktivasi sintesis nitric oxide (NO),
pembentukan reactive oxygen species (ROS), dan aktivasi protease yang
menyebabkan kerusakan membran plasma dan mitokondria.1,5,7,10 Kadar NO yang
tinggi dapat menimbulkan neurotoksisitas, yang kemudian dapat merusak neuron dan
oligodendrosit dan menyebabkan kematian saraf.16 Vitamin D juga meningkatkan
kadar glutation pada neuron. Bentuk glutation yang dihasilkan oleh astrosit adalah
antioksidan utama yang melawan ROS dan apoptosis. Peningkatan kadar glutation

4
menunjukkan efek neuroprotektif yang signifikan. dengan menetralisir kerusakan
oksidatif pada SSP.1,5,13
Efek neuroprotektif vitamin D juga dapat ditemukan dari perannya dalam
sistem imun dan secara langsung mempengaruhi sel imun. Di dalam sistem saraf
pusat, Vitamin D menggunakan efek imunomodulator secara langsung dengan
menginfiltrasi makrofag dan mikroglia parenkim. Penelitian menunjukkan bahwwa
bentuk aktif vitamin D menekan inflamasi dan merubah keseimbangan antara sitokin
inhibitor dan sitokin eksitasi. Pemberian vitamin D pada mikroglia secara invitro
akan menghambat produksi tumor necrosis factor -α (TNF-α), interleukin -6 (IL-6),
NO dan mengatur gamma glutamyl transpeptidase, yang merupakan enzim yang
penting dalam jalur glutation. Hal ini menunjukkan bahwa vitamin D berperan
penting dalam metabolisme antioksidan. Defisiensi vitamin D akan meningkatkan
protein inflamasi di otak, termasuk TNF- α dan IL-6, yang menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan inflamasi di otak. 7,9

Epilepsi
Kejang pada epilepsi adalah hasil dari ketidakseimbangan antara arus eksitasi dan
inhibisi.10 Kejang terjadi akibat lepasnya muatan paroksismal yang berlebihan di sel
neuron otak yang menyebabkan terjadinya perubahan klinis fungsi otak (motorik,
sensorik, otonomi atau psikologis). Aktifitas listrik yang mendasari kejadian kejang
merupakan hasil dari berbagai proses biokimiawi sel. 2,10
Sel saraf seperti juga sel hidup umumnya mempunyai potensial membran.
Potensial membrane adalah selisih potensial Antara intrasel dan ekstrasel. Potensial
intrasel lebih negarif dibandingkan ekstrasel. Selisih potensial membrane ini akan
tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membran ini terjadi
akibat perbedaan letak dan jumlah ion terutama ion Na+,K+ dan Ca+. Bila sel saraf
mengalami stimulasi, akan mengakibatkan menurunnya potensial membrane.
Penurunan potensial membrane ini akan menyebabkan permeabilitas membrane
terhadap ion Na+ akan meningkat sehingga Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam
sel. Selama stimulasi ini lemah, perubahan potensial membran masih dapat
dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+, sehinggi selisih potensial
kembali ke keadaan istirahat. Bila stimulasi cukup kuat, perubahan potensial dapat
mencapai ambang tetap (firing level), maka permeabilitas Na+ akan meningkat
sehingga timbul potensial aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan ke sel saraf
berikutnya melalui sinap dengan perantara zat kimia yang dikenal dengan
neurotransmitter. Bila stimulasi telah selesai, maka permeabilitas membran kembali
ke keadaan istrirahat, dengan cara Na+ akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke

5
dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa
glukosa dan oksigen.2
Beberapa faktor diantarnya keadaan patologik, dapat mengubah membrane
neuron sehingga membrane mudah dilalui ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra
seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membrane dan melepaskan
muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan tidak terkendali. Lepasnya muatan listrik
dengan neuron dalam jumlah besar secara sinkron merupakan dasar suatu serangan
kejang. Sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik menjamin agar neuron-neuron
tidak terus menerus melepaskan muatan.2
Pada tingkat neurokomia, kejang dipertahankan oleh eksitasi berlebihanj dan
rendahnya inhibisi. Ada 2 jenis neurotransmitter, yaitu neurotransmitter inhibisi
(inhibitif terhadap penyaluran aktifitas listrik saraf dalam sinap) yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik
dan neurotransmitter eksitasi. Neurotransmitter eksitasi Antara lain glutamat, aspartat
dan norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal
ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Pengaruh kedua jenis
neurotransmitter ini melepaskan muatan listrik dan terjadi transmisi impuls. Dalam
keadaan istirahat, membrane neuron memiliki potensial listrik tertentu dan berada
dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran
neuron dan seluruh sel akan melepaskan muatan listrik.2,17,18
Glutamat merupakan neurotransmitter yang secara luas terdapat di otak. Ada
2 reseptor glutamate yaitu subtype NMDA (N-methyl-D-aspartat) dan non-NMDA.
Adanya aktifasi reseptor NMDA akan menyebabkan terjadinya potensial post
sinaptik menjadi lebih lambat dan lebih lama. Reseptor non-NMDA terdiri atas α-
amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid (AMPA) dan reseptor kainat.
Reseptor AMPA bertanggungjawab pada sebagian besar eksitasi potensial post sinap
dengan peningkatan dan durasi yang cepat dengan pelepasan glutamat ke neuron post
sinap. Depolarisasi yang disebabkan oleh reseptor AMPA penting untuk
mengefektifkan aktifasi dari reseptor NMDA. Dengan demikian, antagonis reseptor
AMPA memblokir sebagian besar aktifitas eksitasi sinaptik.2,18
Ada dua jenis saluran ion utama yang bertanggung jawab terhadap aktivitas
eksitasi dan inhibisi: 17
1. Voltage-gated channels: Saluran ini dapat diaktifkan oleh perubahan potensial
membran dan memungkinkan pelepasan ion bermuatan. Voltage-gated channels
kalsium dan natrium adalah pemicu, yang memungkinkan masuknya ion positif
dan mendepolarisasi membran sel ke batas ambang potensial aksi. Voltage-gated
channels kalium adalah penghambat dan menghiperpolarisasi membran sel.

6
2. Ligand-gated channels: Saluran ini sebenarnya merupakan reseptor
neurotransmiter. Setelah pelepasan neurotransmiter dari neuron presinaptik,
neurotransmiter seperti glutamat dan γ-amino butyric acid (GABA) melekat pada
reseptor membran postsinaps dan mengaktivasi kaskade kejadian intrasel yang
secara bersamaan mengubah konfirmasi reseptor dan membuat pori membran
sehingga ion bermuatan dapat lewat.
Studi epidemiologi menunjukkan hubungan antara vitamin D dan epilepsi.
Berbagai hipotesis yang dapat menerangkan peran vitamin D dalam patogenesis
epilepsi :8
1. Vitamin D berperan dalam memodulasi neuromediator dan reseptor di otak
melalui reseptor GABA-A
2. Melalui efek metabolisme kalsium. Calcitrol menyebabkan peningkatan dan
penurunan konsentrasi kalsium plasma di otak, sehingga mengurangi
hipereksitabilitas neuron dan kejang
3. Sistem endokrin vitamin D/ reseptor vitamin D. Vitamin D mempengaruhi
kejadian kejang dengan aksi pada VDR untuk menginduksi gen tertentu di
otak yang akan mengkode sitokin dan enzim neurotransmitter metabolik.
Vitamin D memainkan peran penting dalam perkembangan, diferensiasi, dan
pemeliharaan SSP (baik neuron dan glia). Neuron imatur atau neuron dengan
gangguan perkembangan cenderung lebih rentan terhadap kejang. Kerentanan
jaringan saraf terhadap kejang dapat dijelaskan melalui prokonvulsan dan
antikonvulsan, yaitu mengkategorikan rangsangan internal sebagai 2 faktor utama :10
1. Faktor-faktor yang secara langsung atau tidak langsung mendepolarisasi
membran sel terhadap batas ambang potensial aksi dan atau penurunan ambang
batas dan atau yang memfasilitasi sinaps.
2. Faktor-faktor yang secara langsung atau tidak langsung menghiperpolarisasi
membran sel dan atau meningkatkan ambang batas.

Gambar 2. Mekanisme epilepsi 10

7
Inflamasi mempunyai peran penting untuk memprovokasi dan
mempertahankan kejang. Adanya interaksi yang sangat kompleks antara sejumlah
besar sitokin, kemokin, dan prostaglandin serta pengaruhnya terhadap reseptor yang
berbeda pada epilepsi. Pada saat jaringan saraf beristirahat, IL-1β, TNF-α, dan IL-6
sangat jarang diekspresikan. Sitokin memiliki efek antitesis pada sel glial. Satu
sitokin tertentu bergantung pada konsentrasi ekstraselnya dan lama waktu cedera
yang kemudian dapat memicu produksi agen sitotoksik atau neurotropik.10
Bentuk aktif vitamin D menunjukkan efek imunomodulator dan secara efektif
dapat menekan inflamasi sehingga mempunyai efek antikonvulsan. Dalam sebuah
penelitian, pasien anak dengan kejang refrakter diberi 50.000 unit vitamin D2 sekali
seminggu dan vitamin B12 200 mg/kg dua kali sehari. Kadar IL-β, IL-6, IL-8,
macrophage inflammatory protein (MIP)-1β, monocyte cemoattractant protein
(MCP)-1 secara signifikan mengalami penurunan. Lokasi aktivitas epilepsi di
temporal kiri dan kanan berkurang setelah pengobatan sehingga dapat menurunkan
intensitas kejang.20 Aspek lain dari peran inflamasi yang harus ditekankan adalah
bahwa sitokin yang dihasilkan setelah awitan kejang dapat memperberat cedera sel
dan memperburuk kejang lanjutan. Tingkat keparahan status epileptikus juga dapat
diturunkan dengan mengatasi inflamasi.10
Mekanisme sel yang tepat yang mendasari efek modulasi inflamasi terhadap
induksi, keparahan dan durasi kejang masih belum jelas. Namun ada beberapa
petunjuk yang mengbungkan inflamasi dengan neurotransmiter rangsang dan
penghambat. Fungsi GABA dan glutamat sebagai neurotransmiter penting dalam
inisiasi kejang sudah diketahui. Glutamat bekerja dengan melekatkan dua jenis
reseptor yaitu reseptor N-methyl-d-aspartate (NMDA) dan reseptor non-NMDA.
Selain lokasi perlekatan glutamat, ada juga lokasi reseptor NMDA untuk modulator
lain seperti seng, poliamin, dan MK-801. Aktivasi reseptor NMDA memfasilitasi
masuknya natrium dan kalsium dan pada kondisi patologis dapat menyebabkan
muatan epilepsi.17,18
Induksi cyclo-oxygenase-2 (COX-2) dapat mengaktifkan reseptor NMDA.
Fungsi serupa untuk IL-1β sebagai bagian dari efek prokonvulsan terhadap kejang.
Selain itu, IL-1β dan TNF-α meningkatkan pelepasan glutamat dari astrosit dan
menghambat ambilan sel glial. TNF-α dapat bereaksi dengan reseptor NMDA dan
meningkatkan fungsinya. IL-1β juga dapat memblokir konduksi penghambat GABA.
Hubungan inflamasi dengan fungsi neurotransmiter adalah interaksi reseptor TNF-α
dan α-amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid (AMPA). TNF-α
meningkatkan ekspresi membran dari reseptor AMPA dalam konfirmasi molekuler

8
tertentu yang memperkuat respons glutamat. Selain itu, TNF-α juga memfasilitasi
endositosis dari reseptor GABA dan dengan cara ini mengurangi efek penghambat
GABA.10
Efek antikonvulsan vitamin D ada yang melalui mekanisme genomik dan
nongenomik.7,9 Mekanisme genomik efek antikonvulsan vitamin D didasarkan pada
kemampuan vitamin D untuk meregulasi ekspresi gen, yaitu sebuah proses yang
dimediasi oleh inti reseptor vitamin D.12,21 Reseptor vitamin D adalah ligand-specific
transcription factor yang diaktifkan oleh vitamin D dan kemudian dapat mengubah
ekspresi gen. Melalui mekanisme ini, vitamin D menurunkan ekspresi sitokin
prokonvulsan tertentu, seperti IL-1β dan TNF-α. Sitokin ini dapat meningkatkan
kerentanan terhadap kejang dengan beberapa cara. IL-1β berperan pada fosforilasi
subunit NR2B dari reseptor NMDA, yang merupakan reseptor glutamat dan berperan
terhadap terjadinya kejang.22 Fosforilasi dari subunit reseptor NMDA akan
meningkatkan masuknya Ca2+ ke dalam neuron, menstabilkan reseptor dalam
membran dan kemudian menimbulkan hipereksitabilitas neuron sehingga terjadi
kejang.22,23,24 IL-1β juga dapat menyebabkan hipereksitabilitas neuron dengan
meningkatkan pelepasan glutamat (excitatory neurotransmitter), dan menghambat
ambilan kembali dari glutamat. Sebagai tambahan, IL-1β dapat mengurangi efek
penghambat dari GABA-ergic Cl-flux sehingga meneruskan efek prokonvulsan dari
sitokin ini.22 Sitokin TNF-α bertindak sebagai prokonvulsan karena memulai
rekrutmen reseptor AMPA ke membran neuron dan endositosis dari reseptor GABAA
menjauh dari membran. Ekspresi berlebihan yang diinduksi TNF-α pada reseptor
AMPA dan ekspresi yang rendah dari reseptor GABAA pada membran neuron
menghasilkan transmisi sinaptik yang lebih merangsang dengan sedikit sinyal
penghambat, sehingga meningkatkan aktivitas epilepsi.9
Melalui inti reseptor vitamin D, vitamin D juga dapat meningkatkan ekspresi
anticonvulsant growth factors GDNF dan NT3.8 NT3 menyebabkan efek
antikonvulsan dengan menurunkan reseptor TrkA dan TrkC, yang merupakan
reseptor untuk meregulasi kekuatan sinaptik. Mekanisme kerja antikonvulsan GDNF
serupa dengan NT3, dengan beberapa modulasi transmisi sinaptik.25 Vitamin D
teraktivasi dengan reseptor vitamin D juga mempromosikan ekspresi protein pengikat
kalsium (parvalbumin dan calbindin), sehingga menghambat episode epilepsi.
Dengan mengikat Ca2+ di terminal presinaptik, protein pengikat kalsium ini
mencegah pelepasan berlebihan neurotransmiter yang diinduksi Ca2+ sehingga
melindungi terhadap aktivitas epilepsi.7
Mekanisme nongenomik adalah mekanisme antikonvulsan vitamin D yang
lebih cepat. Kemampuan vitamin D untuk meningkatkan ambilan kalsium dari usus

9
dapat mengubah konsentrasi Ca2+ serum dan otak sehingga menurunkan rangsangan
neuron dan mencegah kejang.6,9,17 Selain itu, efek cepat antikonvulsan vitamin D juga
karena kemampuannya untuk menstabilkan arus Ca2+ dan Cl- yang melewati
membran neuron. Vitamin D mempengaruhi jalur transduksi sinyal nongenomik dan
selanjutnya mengubah konduktansi saluran kalsium tipe-L dan saluran klorida
sehingga mempengaruhi rangsangan neuron dan tingkat ambang batas kerentanan
terhadap kejang.14
Pada pasien epilepsi terjadi resisten obat karena inflamasi jaringan saraf. Hal
ini disebabkan oleh cedera epileptogenik yang mengaktifkan mikroglia dan astrosit
sehingga sintesis dan pelepasan molekul proinflamasi meningkat. Oleh karena itu,
pendekatan terapi terhadap pasien epilepsi resisten obat adalah dengan anti-inflamasi
yang mengubah epilepsi resisten obat menjadi epilepsi sensitif obat. 10,26,27 Adanya
potensi antiinflamasi vitamin D diharapkan dapat meningkatkan respons pasien
epilepsi resisten obat terhadap obat antiepilepsi.9

Obat anti epilepsi dan vitamin D


Epilepsi sebagai salah satu kelainan neurologis pada anak yang membutuhkan
pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE) jangka panjang dan seringkali
melibatkan beberapa obat, sehingga kita harus memperhatikan efek samping dari
28-30
masing-masing OAE. Salah satu efek samping OAE yang menjadi perhatian
klinisi adalah defisiensi vitamin D. Prevalensi defisiensi vitamin D pada anak
semakin meningkat setiap tahunnya dan jumlah ini juga semakin meningkat pada
penderita epilepsi.29
Offerman dkk pertama kali melaporkan tentang tingginya prevalensi kadar
vitamin D yang rendah pada pasien epilepsi. Sejak saat itu, banyak dilakukan
penelitian mengenai hubungan vitamin D dan obat anti konvulsi pada anak.1,32 Ada
berbagai faktor yang berperan menyebabkan defisiensi vitamin D pada anak
pengguna OAE:1,32
1. Terbatasnya mobilitas dan disabilitas berperan utama dalam menurunkan
sintesis vitamin D pada anak akibat anak jarang berada di luar
2. Asupan vitamin D dan kalsium yang tidak cukup
3. Pengobatan lain selain OAE seperti pemakaian glukokortikoid dosis tinggi.
Penelitian awal pada tahun 1960-an telah menunjukkan bahwa penggunaan
OAE berhubungan dengan gangguan kualitas tulang dan peningkatan risiko fraktur.
Banyak bukti menyebutkan bahwa beberapa OAE menurunkan kadar 25(OH)D dan
dihubungkan dengan dampak buruk terhadap tulang dan otot. 1,6,9
OAE menyebabkan penurunan kadar vitamin D, terutama akibat induksi dari
enzim sitokrom P-450 sehingga terjadi peningkatan kataabolisme vitamin D dengan

10
meningkatkan perubahan 25(OH)D menjadi metabolit inaktif. Obat-obat ini
termasuk phenitoin, karbamazepin, phenobarbital, oxcarbazepin dan primidon. OAE
yang paling banyak diteliti adalah phenitoin dan karbamazepin. 1,6,9,10Penelitian yang
dilakukan oleh Diane dkk menemukan bahwa defisiensi vitamin D lebih sering
terjadi pada kelompok pengguna OAE penginduksi enzim dibandingkan OAE yang
tidak penginduksi enzim.33
Bebagai studi menyebutkan bahwa OAE yang tidak menginduksi enzim
seperti asam valproat, lamotrigin, leviracetam dan topiramat tidak menurunkan kadar
vitamin D. Tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Teodoro dkk di Spanyol
menunjukkan bahwa penggunaan asam valproat dan leviracetam sebagai monoterapi
selama 12 bulan menurunkan kadar vitamin D serum secara signifikan. Mekanisme
pasti efek OAE yang tidak penginduksi enzim terhadap vitamin D pada anak epilepsi
masih belum jelas.6,30 Pemakaian OAE sebagai politerapi juga dihubungkan dengan
penurunan kadar vitamin D yang lebih besar dibandingkan OAE sebagai
monoterapi.34

Supplementasi vitamin D pada epilepsi


Sampai saat ini, belum ada konsensus yang tetap mengenai kadar serum vitamin D
yang digunakan untuk menetukan defisiensi atau insufisiensi.22 Endocrine Society
Clinical Practice Guideline menyatakan bahwa defisiensi vitamin D didefenisikan
sebagai kadar 25(OH)D < 20 ng/ml (50 nmol/L), dan insufisiensi jika kadar
25(OH)D 21-29 ng/ml (525-725 nmol/L).11,34
Screening vitamin D dilakukan pada kelompok individu dengan risiko
mengalami defisiensi. Pemberian vitamin D dianjurkan pada anak atau dewasa yang
memperoleh obat anti kejang, glukokortikoid, obat anti jamur seperti ketokonazole
dan pengobatan AIDS. American Endocrine Society juga menyebutkan bahwa
pemberian OAE dianggap sebagai indikasi untuk pengukuran kadar vitamin D.
Vitamin D yang diberikan 2 atau 3 kali lebih banyak dari kebutuhan berdasarkan usia
untuk mencukupi kebutuhan vitamin D. Secara umum, dapat dikatakan bahwa
pemberian vitamin D harus cukup untuk mempertahankan kadar normal 25(OH)D
(≥30 ng/mL). Selain itu, anak penderita epilepsi juga harus mendapat suplemen
vitamin D karena berisiko tinggi mengalami defisiensi vitamin D. 6,10,11,30
Kebutuhan vitamin D pada bayi dan anak usia 0-1 tahun sedikitnya 400 IU/
hari dan anak usia diatas 2 tahun membutuhkan sedikitnya 600 IU/ hari. Untuk
meningkatkan kadar 25(OH)D di atas 30 ng/ml secara menetap akan membutuhkan
vitamin D 1000 IU/ hari. Untuk anak defisiensi vitamin D usia 0-1 tahun, diberikan
vitamin D2 atau D3 2000 IU/ hari atau 50.000 sekali seminggu selama 8 minggu.11,30,33

11
Data klinis tentang efek supplementasi vitamin D pada manusia masih sedikit.
Pada tahun 1973, Christiansen dkk melakukan penelitian dengan memberikan
vitamin D pada 23 pasien epilepsi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa vitamin D
secara signifikan menurunkan kejadian kejang pada epilepsi sebesar 30%.36 Holló
dkk menunjukkan bahwa terapi vitamin D pada epilepsi dapat menurunkan kejadian
kejang sebesar 40%.38 Penelitian di tahun 2007 menunjukkan adanya efek
antikonvulsan vitamin D dan dengan pemberian vitamin D dapat meningkatkan batas
ambang kejang secara signifikan, mengurangi keparahan kejang yang diinduksi
secara kimiawi, dan meningkatkan efek antikonvulsan fenitoin dan valproat.
Pemberian vitamin D3 pada subjek dengan dosis 37,5 μg/kg dan 75 μg/kg
meningkatkan batas ambang elektrokonvulsif. Pemberian cholecalciferol dengan
dosis 18,75 μg juga meningkatkan aktivitas antiepilepsi fenitoin dan valproat.
Vitamin D3 bila diberikan dengan dosis 37,5 μg/kg dapat mempotensiasi kerja
karbamazepin dan fenobarbital.39

Ringkasan
Vitamin D memainkan peran penting dalam banyak fungsi fisiologis yang berbeda.
Vitamin D berperan penting dalam neuroproteksi, perkembangan otak, dan
imunomodulasi. Defisiensi vitamin D merupakan faktor risiko penyakit neurologis.
Epilepsi sebagai salah satu kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada
anak dipengaruhi oleh vitamin D secara patofisiologi dan terapi. Pemberian vitamin
D pada epilepsi dapat meningkatkan batas ambang kejang secara signifikan dan
mengurangi keparahan kejang. Vitamin D yang diberikan 2 atau 3 kali lebih banyak
dari kebutuhan berdasarkan usia untuk mencukupi kebutuhan vitamin D. Pemberian
vitamin D harus cukup untuk mempertahankan kadar normal 25(OH)D (≥30 ng/mL).
Selain itu, anak penderita epilepsi juga harus mendapat suplemen vitamin D karena
berisiko tinggi mengalami defisiensi vitamin D.

Daftar Pustaka
1. Cebeci AN, Ekici B. Epilepsy treatment by sacrificing vitamin D. Expert Rev
Neurother. 2014;14(5):481-91
2. Stafstrom CE, Rho JM. Neurophysiology of seizures and epilepsy. Dalam:
Swaiman KH, Ashwal S, Ferreiro DM, Schor NF. Pediatric Neurology “principle
and practice”. Edisi ke-5. Inggris; 2012.h.711-26
3. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogact A, Cross H, Elger CE, et al. A
practical clinical definition of epilepsy. Epilepsia, 2014, 55.4: 475-482
4. Balion C, Griffith LE, Strifler L, Henderson M, Patterson C, Heckman G, et al.
Vitamin D, cognition, and dementia: a systematic review and meta-analysis.
Neurology. 2012;79(13):1397-405

12
5. Eyles DW, Burne TH, McGrath JJ. Vitamin D, effects on brain development,
adult brain function and the links between low levels of vitamin D and
neuropsychiatric disease. Front Neuroendocrinol. 2013;34(1):47-64
6. Holló A, Clemens Z, Lakatos P. Epilepsy and vitamin D. Int J
Neurosci. 2013;00:1-7
7. Groves NJ, McGrath JJ, Burne THJ. Vitamin D as a neurosteroid affecting the
developing and adult brain. Annual review of nutrition, 2014; 34: 117-141
8. Sonmez, FM. The Role of the Vitamin D in Neurology: Interrelationships
Between Headache, Epilepsy and Vitamin D Deficiency. J Pediatr Neonatal Care.
2016; 4.2: 00132
9. Pendo K, DeGiorgio CM. Vitamin D3 for the Treatment of Epilepsy: Basic
Mechanisms, Animal Models, and Clinical Trials. Front Neurol. 2016;7:218
10. Miratashi Yazdi SA, Abbasi M, Miratashi Yazdi SM. Epilepsy and vitamin D: a
comprehensive review of current knowledge. Rev Neurosci. 2017;28(2):185-201
11. Holick MF, Binkley NC, Ferrari HAB, Gordon CM, Hanley DA, Heaney RP, et
al. Evaluation, Treatment, and Prevention of Vitamin D Deficiency: an Endocrine
Society Clinical Practice Guideline. The Journal of Clinical Endocrinology &
Metabolism.2011 96.7: 1911-30
12. Bikle D. Vitamin D Metabolism, Mechanism of Action, and Clinical
Applications. Chem Biol. 2014;21(3):319-29.
13. Harms LR, Burne TH, Eyles DW, McGrath JJ, Franzcp. Vitamin d and the brain.
Best Pract Res Clin Endocrinol Metab. 2011; 25(4):657-69.
14. Yeshokumar AK, Saylor D, Komberg MD, Mowry EM. Evidence for the
importance of vitamin D status in neurologic conditions. Curr Treatment Options
Neurol. 2015; 17.12: 51
15. Zanatta L, Goulart PB, Goncalves R, Pierozan P, Winkelmann-Duarte EC, Woehl
VM, et al. 1α,25-dihydroxyvitamin D(3) mechanism of action: modulation of L-
type calcium channels leading to calcium uptake and intermediate filament
phosphorylation in cerebral cortex of young rats. Biochim Biophys Acta. 2012;
1823(10):1708-19
16. Robin E, Derichard A, Vallet B, Hassoun SM, Neviere R. Nitric oxide scavenging
modulates mitochondrial dysfunction induced by hypoxia/reoxygenation.
Pharmacol Rep. 2011;63(5):1189-94.
17. Kalia LV, Kalia SK, Salter MW. NMDA receptors in clinical neurology:
excitatory times ahead. Lancet Neurol. 2008;7(8):742-55.
18. Vyklicky V, Korinek M, Smejkalova T, Balik A, Krausova B, Kaniakova M, et al.
Structure, function, and pharmacology of NMDA receptor channels. Physiol
Res. 2014;63 Suppl 1:S191-203
19. Davis RL, Crozier RA. Dynamic firing properties of type I spiral ganglion
neurons. Cell and tissue research. 2015; 361.1: 115-127
20. Li XH, Hou XY, Chen R. The roles of vitamin B12 and vitamin D in children
with intractable epilepsy. Int J Clin Exp Med. 2015;8(1):764-9
21. Mpandzou G, Haddou EAB, Regragui W, benomar A, Yahyaoui M. Vitamin D
deficiency and its role in neurological conditions: A review. Revue neurologique.
2016;172.2: 109-122
22. Vezzani A, Balosso S, Ravizza T. The role of cytokines in the pathophysiology of
epilepsy. Brain Behav Immun. 2008;22(6):797-803
23. Viviani B, Gardoni F, Marinovich M. Cytokines and neuronal ion channels in
health and disease. International review of neurobiology. 2007; 82: 247-263

13
24. Vezzani A, Baram TZ. New roles for interleukin-1 Beta in the mechanisms of
epilepsy. Epilepsy Curr. 2007;7(2):45-50
25. Kanter-Schlifke I, Georgievska B, Kirik D, Kokaia M. Seizure suppression by
GDNF gene therapy in animal models of epilepsy. Mol Ther. 2007;15(6):1106-13
26. Löscher W, Brandt C. Prevention or modification of epileptogenesis after brain
insults: experimental approaches and translational research. Pharmacol
Rev. 2010;62(4):668-700
27. Vezzani A. Anti-inflammatory drugs in epilepsy: does it impact epileptogenesis?
Expert Opin Drug Saf. 2015;14(4):583-92
28. He Xin, Jiang P, Zhu W, Xue Y, Li M, Dang R, et al. Effect of antiepileptic
therapy on serum 25 (OH) D3 and 24, 25 (OH)2D3 levels in epileptic
children. Ann Nutr Metab. 2016; 68.2: 119-127
29. Tantri N L, Nur FT, Salino H. Pengaruh Pemberian Obat Antiepilepsi terhadap
Kadar Vitamin D pada Anak Penderita Epilepsi. Sari Pediatri. 2017; 19.2: 97-102
30. Durá-travé T, Victoriano FG, Chacon MM, Gonzalez PM, Albesa SA, Petri MEY.
Vitamin d deficiency in children with epilepsy taking valproate and levetiracetam
as monotherapy. Epilepsy research. 2018; 139: 80-84
31. Swapna V, Parvathy KA, Harinarayan CV, Anandet D. Evaluation of Vitamin D
Status in Patients with Epilepsy. International Journal of Home Science.
2016;2(2):216-220
32. Lee YJ, Park KM, Kim YM, Yeon GM, Nam SO. Longitudinal change of vitamin
D status in children with epilepsy on antiepileptic drugs: prevalence and risk
factors. Pediatric neurology. 2015; 52.2: 153-159
33. Teagarden DL, Meador JK, Loring DW. Low vitamin D levels are common in
patients with epilepsy. Epilepsy research. 2014; 108.8: 1352-1356.
34. Nagarjunakond S, Amalakanti S, Uppala V, Rajanala L, Athina S. Vitamin d in
epilepsy: vitamin d levels in epilepsy patients, patients on antiepileptic drug
polytherapy and drug-resistant epilepsy sufferers. European journal of clinical
nutrition. 2016; 70.1: 140
35. Saggese G, Vierucci F, Boot MA, Kowalska JC, Weber G, Camargo CA, et al.
Vitamin D in childhood and adolescence: an expert position statement. European
Journal of Pediatrics. 2015;174.5: 565-576
36. Christiansen C, Rødbro, Paul, Sjö O. “Anticonvulsant action” of vitamin D in
epileptic patients? A controlled pilot study. Br Med J. 1974; 2.5913: 258-259
37. Sonmez FM, Donmez A, Namuslu M, Canbal M, Orun E. Vitamin D deficiency
in children with newly diagnosed idiopathic epilepsy. Journal of child neurology.
2015, 30.11: 1428-1432
38. Hollo A, Clemens Z, Kamondi et al. Correction of vitamin D deficiency improves
seizure control in epilepsy: a pilot study. Epilepsy & Behavior. 2012; 24.1: 131-
133.
39. Borowicz KK, Morawska M, Furmanek KK, Luszczki JJ, Czuczwar SJ.
Cholecalciferol enhances the anticonvulsant effect of conventional antiepileptic
drugs in the mouse model of maximal electroshock. Eur J
Pharmacol. 2007;573(1-3):111-5

14

Anda mungkin juga menyukai