Anda di halaman 1dari 94

BAB 1

PENDAHULUAN

Sistem imun dalam keadaan normal dapat untuk membedakan diri dari yang bukan
dirinya dalam mempertahankan integritas host. Suatu intervensi atau gangguan yang terjadi
dapat mengakibatkan reaksi yang berlebihan untuk self-antigen yang menyebabkan
autoimunitas. Peningkatan yang signifikan telah diamati pada penyakit autoimun di seluruh
dunia. Namun etiologi dan patogenesis dari penyakit autoimun ini tetap tidak diketahui.
Penyakit autoimun menyerang sekitar 8% dari polulasi di seluruh dunia, 78% diantaranya
adalah perempuan.1
Perbedaan gender dalam penyakit autoimun bisa disebabkan karena perbedaan antara
sistem kekebalan tubuh laki-laki dan perempuan. Laki-laki memiliki penekanan kekebalan
yang lebih besar bila dibandingkan dengan perempuan. Pada perempuan menunjukkan
peningkatan reaktivitas imun yang besar, yang dapat diterjemahkan ke ketahanan yang lebih
besar untuk infeksi dan beberapa penyakit non-infeksi. Namun, ada kemungkinan bahwa
reaktivitas imun yang lebih besar ini membuat wanita lebih rentan untuk mengalami penyakit
autoimun. Selain itu, faktor hormon esterogen dan usia juga dapat mempengaruhi tingginya
angka kejadian autoimun pada wanita. Hormon estrogen ini mulai aktif pada usia pubertas.1
Jumlah penderita penyakit autoimun di Bali secara tepat belum diketahui. Jumlah
kasus SLE berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Bali adalah sebanyak 25 kasus pada
tahun 2012. Data terakhir pada tahun 2013 menunjukkan peningkatan jumlah kasus SLE
mencapai 75 kasus. Adapun prevalensi kejadian penyakit SLE adalah diperkirakan 1 kasus
per 2000 populasi dengan insiden 1 kasus per 10.000 populasi.1
Penelitian di Jakarta menunjukkan kejadian SLE pada wanita tahun 2004 adalah
sebesar 94,6% dan terbanyak pada kelompok usia subur 15 44 tahun. Hal ini dimungkinkan
karena pada pasien SLE terjadi peningkatan hormon estrogen 20x lipat dibandingkan dengan
pasien yang sehat. Diketahui juga bahwa wanita memiliki predisposisi SLE lebih banyak
daripada pria dikarenakan adanya 2 kromosom X. Beberapa kelainan dalam kromoson X
telah dilaporkan pada pasien SLE. Adanya 2 kromosom X pada wanita menyebabkan wanita
lebih beresiko mengalami penyakit SLE, sedangkan pada laki-laki yang hanya memiliki 1
kromosom X cenderung memiliki resiko yang lebih rendah mengidap penyakit SLE. Laki-
laki yang memiliki kromosom X berlebihan, misalnya pada penderita sindrom klinefelter
lebih cenderung menderita penyakit SLE, dan mayoritas janin laki-laki dengan kondisi
tersebut memiliki resiko keguguran yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan janin laki-laki

1
yang memiliki gen SLE mempunyai kemungkinan untuk tidak dilahirkan, yang akhirnya
menjelaskan mengapa hanya sedikit pria yang mengidap SLE. Penyakit autoimun lainnya
seperti DM tipe 1, demam rematik akut, JIA, dan hepatitis autoimun juga paling banyak
ditemukan pada jenis kelamin perempuan dibandingkan laki-laki.1
Penyakit autoimun biasanya dimulai sejak anak menginjak usia 10-14 tahun. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena pengaruh pemendekan telomer yang lebih banyak dialami
oleh anak >10 tahun dibandingkan dengan anak usia <10 tahun. Pemendekan telomer pada
setiap kali siklus replikasi sel berhubungan dengan proses penuaan sel. Proses penuaan sel ini
diduga akan meningkatkan resiko penyakit autoimun, seperti JIA, SLE, dan DM tipe 1.
Berdasarkan penelitian lainnya di USA dinyatakan bahwa penyakit SLE dan JIA paling
banyak dimulai pada usia 15-40 tahun. Adapun usia 15 - 50 tahun merupakan usia dominan
terkena penyakit DM tipe 1. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh hormon, berhubungan
dengan resistensi perifer insulin yang lebih tinggi pada usia tersebut. Prevalensi yang sama
juga ditunjukkan pada penyakit hepatitis autoimun yang dominan terjadi pada usia 15-40
tahun. Sedangkan pada penyakit demam rematik akut mayoritas terjadi pada anak yang
berumur 5-15 tahun.1
Selain jenis kelamin dan umur, latar belakang ras yang bervariasi antar individu dapat
mempengaruhi tingkat kejadian penyakit autoimun. Kelompok-kelompok ras tertentu
mungkin berada pada resiko yang lebih tinggi untuk beberapa penyakit dan resiko yang lebih
rendah untuk penyakit lain. Pada penelitian di Amerika, ras Afrika-Amerika berada pada
resiko yang lebih tinggi daripada Kaukasia untuk kejadian SLE, tetapi beresiko lebih rendah
untuk kejadian penyakit DM tipe 1. Sedangkan untuk penyakit autoimun lainnya, seperti JIA
dilaporkan memiliki tingkat kejadian yang tinggi pada kelompok penduduk asli Amerika
yaitu di Pima Indian. Pada penelitian lainnya, menunjukkan prevalensi penyakit SLE di
Amerika adalah 38,5% sedangkan untuk di Asia 4,2%.1
Penyakit autoimun pada anak yang paling banyak dijumpai kasusnya antara lain SLE,
DM tipe 1, demam rematik akut, Juvenile Idiopatik Artritis (JIA), Celiac disease, dan Henoch
Schonlein Purpura,1,2 yang akan dibahas pada makalah ini.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)

1.
Definisi
Sistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun yang menyerang
berbagai jaringan dan organ tubuh. Istilah lupus eritematosus sistemik dapat diartikan secara
bahasa sebagai gigitan serigala, mungkin istilah ini muncul dari adanya gejala klinis yaitu
ruam pada wajah penderita SLE yang perjalanan penyakitnya sudah lama dan belum
mendapat terapi. Secara istilah, SLE dapat didefinisikan sebagai suatu penyakit yang bersifat
episodik, multisistem dan autoimun ditandai dengan adanya proses inflamasi yang meluas
pada pembuluh darah dan jaringan ikat, serta munculnya antinuklear-antibodi (ANA) pada
pemeriksaan penunjang, terutama antibodi untuk double-stranded DNA (dsDNA). Karena
beragamnya organ yang dapat terkena, dan karena sulitnya dalam menegakkan diagnosis,
SLE seringkali disebut sebagai penyakit seribu wajah (masquerader, The Great Imitators). 3-5

2.
Etiologi
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti, namun ada faktor predisposisi secara
genetik yang dapat menyebabkan penyakit ini. Diperkirakan SLE, layaknya penyakit
autoimun lain, muncul pada seseorang yang secara genetis rentan terpapar satu atau beberapa
faktor pencetus yang ada di lingkungan. SLE berhubungan dengan munculnya HLA-
haplotype spesifik yang diwariskan: a) allel A1, B8, DR3, dan C4a muncul umumnya pada
kulit putih. b) DR2 ditemukan pada penderita SLE yang afro-amerika. Antigen HLA A11, B8
dan B35 masing-masing memliki hubungan dengan SLE. Keluarga maupun sanak saudara
memiliki peningkatan insidens terhadap penyakit yang berhubungan dengan disfungsi atau
disregulasi sistem imun (misal: imunodefisiensi primer, dan keganasan limforetikuler),
hipergammaglobulinemia, RF, ANA dan penyakit autoimun lainnya. 4
Sebenarnya, apa yang menyebabkan berbagai kelainan imunologi yang ditemukan
pada SLE yaitu disfungsi sel T, produksi autoantibodi, pembentukan kompleks imun,
hipokomplementemia yang akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan sampai saat ini belum
dapat dipastikan. Beberapa fakta telah ditemukan tetapi belum merupakan suatu hipotesis
yang mencakup semuanya. Agaknya etiologi SLE merupakan multifaktor.6

3
Beberapa hal yang disepakati berperan pada SLE adalah: 6-8
a. Faktor genetik sebagai predisposisi, didukung oleh adanya beberapa fakta:
1) SLE ditemukan pada 70% kembar identik
2) Frekuensi penemuan genotipe HLA-DR3 dan DR2 meningkat
3) Frekuensi pasien SLE pada anggota keluarga yang lain juga meningkat
b. Faktor hormonal, didukung oleh fakta bahwa:
1) Pasien perempuan jauh lebih banyak, terutama pada masa pubertas dan pasca
pubertas
2) Pada binatang percobaan, yaitu tikus NZB/W yang dibuat menderita SLE. Bila
pada yang betina diberi hormon androgen, gejala lupus akan membaik. Sebaliknya
pada tikus jantan akan menyebabkan gejala SLE bertambah jelek.
c. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE adalah,
stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Banyak obat-
obat telah dilaporkan dapat memicu SLE. Namun, lebih dari 90% nya terjadi sebagai
efek samping dari salah satu dari obat2 berikut: hydralazine (digunakan untuk
hipertensi), quinidine dan procainamide (digunakan untuk irama jantung abnormal),
fenitoin (digunakan untuk epilepsi), isoniazid (Nydrazid, Laniazid, digunakan untuk
tuberculosis), d-penicillamine (digunakan untuk rheumatoid arthtritis). Obat-obatan
ini diketahui menstimulasi sistem imun dan menyebabkan SLE. Untungnya, SLE
yang dipicu obat-obatan jarang (kurang dari 5% dari seluruh pasien SLE) dan
biasanya membaik jika obat-obat tersebut dihentikan
d. Virus sebagai penyebab SLE pernah mendapat perhatian besar oleh karena ditemukan
struktur retikular intrasitoplasma yang menyerupai agregat intrasel miksovirus. Tetapi
ternyata kemudian dibantah dan sampai sekarang masih tetap dianggap tidak ada
bukti nyata virus sebagai etiologi.

3.
Epidemiologi
Lupus adalah penyakit yang langka, namun tidak jarang. Kejadian lupus jarang pada
anak usia sekolah, namun frekuensinya meningkat pada remaja.
SLE terjadi pada 6 dari 1.000.000 orang dibawah umur 15 tahun, dengan 17% orang
dengan SLE muncul gejala pada usia kurang dari 16 tahun dan 3,5% diantaranya mulai pada
usia kurang dari 10 tahun. Pada individu dibawah 20 tahun, sekitar 73% didiagnosis SLE
pada umur lebih dari 10 tahun. Ini membuat SLE dikelompokkan sebagai penyakit pada usia
remaja. SLE dapat muncul pada pria maupun wanita, dari etnis manapun, berapapun usianya.
Namun diagnosis SLE 4,3 kali lebih sering muncul pada anak perempuan dibandingkan laki-
laki. Perbedaan ini tidak nyata sampai usia 9 tahun keatas, ketika beberapa penelitian
menunjukkan perbandingan perempuan : laki-laki sebanyak 10:1 pada akhir usia remaja.

4
Dalam hal etnis, lupus lebih sering muncul pada penduduk Afrika, penduduk asli Amerika,
Hispanik dan Asia, dibandingkan dengan ras Kaukasia. 2,4,9

4.
Patogenesis 6,10
SLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ. Kadang-kadang, yang
menonjol hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal pada nefritis lupus, tetapi
lambat laun organ-organ lain akan menyusul. Gambaran klinis yang ditemukan terjadi akibat
terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai macam antigen jaringan. Autoantibodi yang
paling banyak ditemukan adalah terhadap inti sel, yaitu terhadap DNA tubuh sendiri berupa
anti DNA double stranded (ds-DNA), juga anti DNA single stranded (ss-DNA).
Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang bersifat
autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen membentuk
kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya akan terjadi
aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat
tersebut.
Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25-50%
pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga menunjukkan kaitannya dengan
faktor genetik. Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit genetik seperti defisiensi
herediter komplemen (seperti C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau
kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan
dalam SLE bersifat multipel, kompleks dan interaktif.
Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan
peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang memproduksi
IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B poliklonal
disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang merangsang proliferasi sel B atau
abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga
merupakan karakteristik, yang disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktivasi sel B
poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.
Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi antigen dan
respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi disebabkan gangguan
fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin
mempunyai struktur tertentu pada bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang
mampu merangsang respons pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh
terhadap peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik
terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai dengan jenis idiotip yang ada. Secara

5
teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat spesifik antigen diri hingga
dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas autoimun. Persistensi antigen
dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga disebabkan oleh pembersihan yang kurang
optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem
retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi dan antigen
yang terlalu banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan produksi
yang terganggu dan mekanisme pembersihan kompleks imun yang terganggu akan
menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi
terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering
dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA,
RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer anti-DNA mempunyai
korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat
sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah
destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc
imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada
pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan
substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase (antibodi terhadap glikoprotein
trombosit), sehingga dapat terjadi trombositopenia, dan trombosis disertai perdarahan.
Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat
berperan sebagai penyebab vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai
sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada
bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus.
Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif
dengan serum penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan pada adanya
kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermis-
epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen.
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa
terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi,
seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan
aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.

6
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade komplemen.
Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan makrofag sehingga
terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam deposit kompleks imun
pada SLE, antara lain banyaknya antigen, respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan
pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial.
Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1 pada
permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan
di daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan membran
basal glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun.
Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+ yang
mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat perubahan (shift)
fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin cenderung untuk membantu aktivasi
sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.
Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi
pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan apoptosis
mempunyai peranan penting dalam patogenesis SLE. Pada SLE terjadi peningkatan apoptosis
dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi sel apoptosis akibat defek pembersihan
(clearance). Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan sel apoptosis oleh makrofag.
Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+ mengakibatkan
peningkatan apoptosis dan limfositopenia.
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai
peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama
terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah
menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk menyatakan bahwa menars yang terlambat dan
menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang
lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen
merupakan karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai kadar hormon
FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin yang
meningkat. Pada perempuan dengan SLE, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa
hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE juga meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan
postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan
penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka
kematian penderita jantan.

7
Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi
genetiknya belum dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan faktor lingkungan juga
berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry
yang mengacau regulasi sistem imun.

5.
Manifestasi Klinis
Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti demam,
fatigue, dan kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada anak tidaklah sama
dengan pada dewasa. Lupus yang dimulai pada masa anak-anak biasanya secara klinis lebih
berat. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan bulan sampai tahunan barulah
menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan lengkap serta cenderung melibatkan
multiorgan. 3,7
Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis. Ruam malar
yang khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat adanya sensitifitas
yang berlebihan terhadap cahaya matahari (photosensitive) dan dapat memburuk dengan
adanya infeksi virus atau stress emosional. Ruam ini tidak sakit dan tidak gatal. Jumlah ruam
menjadi sedikit pada lipatan nasolabial dan kelopak mata. Ruam lain biasanya muncul pada
telapak tangan, serta telapak kaki. Ruam malar dapat sembuh sempurna tanpa parut dengan
terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa. Rambut dapat berubah menjadi lebih
kering dan rapuh, bahkan sampai alopesia. Arthritis seringkali muncul, dan dapat berlanjut
menjadi pembengkakan sendi jari-jari tangan atau kaki. 3,4,8

Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan lupus

Manifestasi kulit didapatkan pada lupus diskoid dan biasanya dapat menyebabkan
parut. Pada lupus diskoid, hanya kulit yang terlibat. Ruam kulit pada lupus diskoid sering
ditemukan pada wajah dan kulit kepala. Biasanya berwarna merah dan mempunyai tepi lebih
tinggi. Ruam ini biasanya tidak sakit dan tidak gatal, tetapi parutnya dapat menyebabkan
kerontokan rambut permanen. 5%-10% pasien dengan lupus diskoid bisa menjadi SLE. 8

8
Gambar 2: Ruam pada lupus diskoid

Manifestasi klinis lain adalah petekie dan perdarahan karena trombositopenia. Pada
anak mungkin tidak ada gejala sistemik lain selain itu, dan biasanya didiagnosis sebagai
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP). Kelainan neurologis dapat pula ditemukan pada
sebagian anak. Umumnya gejala berupa nyeri kepala yang tidak spesifik. Akhir-akhir ini,
khorea lebih umum ditemukan sebagai manifestasi klinis dari SLE daripada demam reumatik.
Ensefalopati, myelitis atau polineuropati jarang ditemukan. Fenomena Raynaud sering
ditemukan pada anak dengan lupus, biasanya dihubungkan dengan krioglobulin. 3,4
Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak dengan sakit lebih
dari satu minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya anak didiagnosis dengan suspect
infeksi virus sebelum akhirnya diagnosis lupus ditegakkan, walaupun sangat sedikit infeksi
virus yang gejalanya lebih dari seminggu, dan kebanyakan infeksi lain biasanya sudah dapat
ditentukan sebabnya dalam minggu pertama. Anak dengan demam dan kehilangan berat
badan seringkali dipikirkan adanya keganasan atau penyakit inflamasi kronis lain (misal:
Crohn disease, atau vaskulitis sistemik). 3

Tabel 1: Manifestasi klinis SLE (yang dicetak tebal: paling sering ditemukan) 5
Keadaan umum Mudah lelah
Demam dan malaise
Penurunan berat badan
Limfadenopati
Kulit Ruam kupu-kupu dengan fotosensitifitas
Alopesia
Lesi diskoid
Lesi pada kuku
Lupus tumidus
Lupus kutaneus subakut
Purpura vaskulitis
Muskuloskeletal Arthritis / arthralgia non-erosif
Tenosinovitis
Miopati

9
Nekrosis avaskular
Sistem Ulserasi oral dan nasal
Pencernaan Anoreksia, penurunan berat badan, nyeri
perut difus
Dismotilitas esofagus
Kolitis
Hepato-splenomegali
Pankreatitis
Protein losing enteropathy / sindrom
malabsorbsi
Kardiovaskuler Fenomena Raynaud
Perikarditis
Lesi valvular
Lesi vaskulitik
Trombophlebitis
Kelainan konduksi jantung
Miokarditis
Endokarditis Libman-Sacks
Accelerated coronary artery disease
Gangren perifer
Sistem Pleuritis, efusi pleura
Pernapasan Subklinis (hanya kelainan pada tes
fungsi paru)
Pneumonitis, infiltrat pulmoner,
atelektasis
Perdarahan
Paru menyusut (disfungsi diafragma)
Pneumotoraks
Sistem Migrain
Persarafan Depresi / cemas
Psikosis organik
Kejang
Neuropati saraf pusat dan saraf tepi
Khorea
Kelainan serebrovaskular
Sistem Retinopati, cotton wool spots
Penglihatan Papiloedema
Ginjal Glomerulonefritis
Hipertensi
Gagal ginjal
Hematologi Anemia hemolitik dengan Coombs
positif
Trombositopenia
Sindrom antifosfolipid
Endokrin Hipo / hipertiroidism

Diagnosis lupus sering hampir dapat dipastikan pada keadaan lupus yang berat. Pada
kasus yang lebih ringan, seringkali dokter kesulitan untuk menegakkan diagnosis. American
College of Rheumatology (ACR) membuat kriteria untuk klasifikasi SLE.

10
Tabel 2: Kriteria ACR (American College of Rheumatology) Revisi 1997, untuk Klasifikasi Lupus
Eritematosus Sistemik 3
- Ruam malar (butterfly rash)
- Ruam diskoid-lupus
- Fotosensitif
- Ulkus pada oral atau nasal
- Arthritis non-erosif
- Nefritis
Proteinuria >0,5 g/hari
Silinder selular
- Ensefalopati
Kejang
Psikosis
- Pleuritis atau perikarditis
- Kelainan hematologi
Anemia hemolitik
Leukopenia
Limfopenia
Trombositopenia
- Pemeriksaan imunoserologis positif
Antibodi terhadap dsDNA
Antibodi terhadap Smith nuclear antigen
Antibodi antifosfolipid (+), berdasarkan:
Antibodi IgG atau IgM antikardiolipin
Lupus antikoagulan
Positif palsu pada tes serologis untuk sifilis dalam waktu 6 bulan
- Tes antinuklear antibodi (ANA) positif

Jika didapatkan 4 dari 11 kriteria diatas kapanpun dalam masa observasi penyakit,
diagnosis SLE dapat dibuat dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 96%.

6.
Penatalaksanaan
Telah disebutkan bahwa angka mortalitas pada pasien lupus pada dekade terakhir ini
telah mengalami banyak perbaikan. Hal ini terutama disebabkan karena penggunaan obat
kortikosteroid dan sitostatik. Gejala ekstra renal akan cepat menghilang pada pemberian
kortikosteroid. Pada pasien dengan gejala ekstra-renal ringan, tidak diperluka terapi
kortikosteroid, cukup diberi obat salisilat, anti malaria (hidroksi klorokuin), atau obat anti
inflamasi non steroid. 6
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan
organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah

11
terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis.
Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang dihubungkan
dengan aktivitas penyakit.
Penyakit SLE adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi
suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting dalam
merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan tim
ahli yang berpengalaman dalam menangani penyakit multisistem pada anak dan remaja, dan
harus meliputi ahli reumatologi anak, perawat, petugas sosial dan psikologis. Nefrologis perlu
dilibatkan pada awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal.
Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis juga diperlukan. Perpindahan terapi
ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.3,9
a. Kortikosteroid
Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE. Meskipun efek
samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap yang terbaik untuk nefritis
lupus dan SLE pada umumnya. Harus dipertimbangkan pada anak, bahwa efek samping
kortikosteroid jangan sampai lebih buruk daripada penyakitnya itu sendiri. Hal ini dapat
menyebabkan anak menjadi tidak mau melanjutkan terapi yang dijalaninya. 3,6
Karena efek sampingnya yang banyak, dosisnya harus dikurangi segera setelah
muncul perbaikan secara klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pada permulaan penyakit anak
biasanya diberikan jadwal minum obat prednison tiga kali sehari. Pada pertengahan, dosis
diturunkan namun tetap dilanjutkan. 3
Pemberian awal kortikosteroid dimulai dari dosis tinggi, yaitu 2 mg/kgBB/hari atau
60 mg/m2/hari (maksimum 80 mg.hari) dan diturunkan secara bertahap; bila terdapat
perbaikan gejala penyakit, proteinuria, fungsi ginjal, normalisasi komplemen darah, dan
penurunan titer anti ds-DNA. Penurunan dosis berlangsung selama 4-6 minggu. Dosis
prednison diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgBB dan
dipertahankan selama 4-6 minggu. Bila tidak terjadi relaps, pemberian steroid diuah manjadi
selang sehari dan diberikan pada pagi hari. Bila timbul relaps, dosis dinaikkan lagi menjadi 2
mg/kgBB/hari.6
Efek samping yang paling mengganggu pada usia remaja terutama adalah peningkatan
berat badan. Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan dosis tinggi intermitten
intravena disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa mempertahankan densitas mineral
tulang. Fraktur patologis jarang terjadi pada anak SLE. Resiko fraktur bisa dicegah dengan
intake kalsium dan program exercise yang lebih baik. Melalui program alternate, efek
samping steroid pada pertumbuhan bisa dikurangi. Sebelum menetapkan efek obat, penyebab

12
endokrin seperti tiroiditis dan defisiensi hormon pertumbuhan harus dieksklusi. Nekrosis
avaskuler bisa terjadi pada 10-15% pasien LES anak yang mendapat steroid dosis tinggi dan
jangka panjang.8 Pada beberapa anak, pota tidur dapat terganggu karena pengaruh
kortikosteroid. Sebagian anak menjadi lebih hiperaktif, moody, dan sulit memulai tidur. Hal
ini dapat diatasi dengan memberikan kortikosteroid malam hari lebih awal. Beberapa anak
dengan terapi kostikosteroid dosis tinggi mengalami peningkatan dalam frekuensi BAK
malam hari sehingga sulit untuk memulai tidur kembali. Jika ada efek negatif seperti ini,
dosis kortikosteroid dapat disesuaikan. Beberapa efek samping kortikosteroid dapat dilihat
pada tabel 4.
Tabel 4. Efek Samping Kortikosteroid 3
Efek samping Rekomendasi
Peningkatan nafsu makan dan berat Diet rendah garam dan lemak. Konsultasi gizi
badan, moon face bila perlu

Acne Krim anti-acne topikal


Gangguan mood Diskusikan dengan anak dan angota keluarga
yang lain bahwa terkadang perubahan mood
ini sulit untuk dikontrol.
Pertumbuhan lebih lambat Beri pengertian tentang kearusan anak
mengejar ketinggalan dalam pertumbuhannya
Osteopenia Suplemen kalsium dan vitamin D
Avaskular nekrosis (AVN) Lakukan roentgen atau MRI, konsultasikan
kepada dokter ahli ortopedi
Mudah terkena infeksi Vaksinasi pneumonia dan varisella jika anak
tidak sedang menderita cacar
Tekanan darah meningkat Monitor berkala, obat antihipertensi bila perlu
Katarak Biasanya tidak mempengaruhi penglihatan.
Konsultasikan kepada dokter spesialis mata
Peningkatan resiko atherosklerosis Cek profil lipid sebelum terapi kortikosteroid
maupun hidroklorokuin.

b. Hidroklorokuin
Hidroklorokuin mulai diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada lupus derajat
sedang atau sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang berat. Ada beberapa studi
menunjukkan pemakaian obat ini secara berkala dapat menurunkan resiko kekambuhan
penyakit. Hidroklorokuin juga memiliki efek pada lipid plasma dan dapat menurunkan resiko
komplikasi kadriovaksular. Pemakaian jangka panjang

13
Hidroklorokuin dapat menyebabkan retinopati, namun resiko ini dapar diminimalisasi
dengan mengatur pemberian tidak lebih dari 6 mg/kgBB/hari. 3
c. Asam asetilsalisilat dan obat-obat AINS
Asetil salisilat dosis rendah (3-5 mg/kgBB/hari) dapat digunakan sebagai profilaksis
episode trombositopeni. Biasanya digunakan pada anak dengan antibodi antifosfolipid yang
tinggi dan/atau anak dengan lupus antikoagulan.
Anti inflamasi non steroid (AINS) digunakan untuk gejala dan tanda pada
muskuloskeletal, yang dapat menjadi parah secara tiba-tiba pada anak dengan terapi
kortikosteroid dosis sedang atau tinggi. AINS juga dapat mengobati serositis. 3
d. Obat-obatan Imunosupresif
Pengobatan dengan agen imunosupresan (sitostatik) dipakai dalam kombinasi dengan
kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah siklofosfamid dan azatioprin.
Indikasi pemakaian obat sitostatik adalah:
1) Bila dengan kortikosteroid hasil yang didapat tidak memuaskan
untuk mengontrol penyakit
2) Bila timbul efek samping pada penggunaan kortikosteroid,
misalnya hipertensi
3) Bila NL berat yaitu NL proliferatif difus, sejak awal diberikan
kombinasi kortikosteroid dan sitostatik.
Biasanya obat sitistatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan
penggunaan sitistatik secara parenteral yaitu siklofosfamid dengan cara pulse terapi yaitu
dengan memberi bolus intravena 0,5-1 gram/m 2 secara infus selama 1 jam. Pada hari
pemberian infus anak dianjurkan sering kencing untuk mencegah timbulnya komplikasi
sistitis hemoragik.
Lehman dkk (1989) melaporkan hasil baik dengan pemberian pulse siklofosfamid
sekali sebulan selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan fungsi ginjal pada NL proliferasi
difus. Dosis yang dipakai adalah 500 mg/m2 pada bulan pertama, 750 mg/m2 pada bulan
kedua dan selanjutnya 1 gram/m2 (dosis maksimal 40 mg/kgBB). Pada pasien dengan
kelainan fungsi ginjal atau hepar hanya dipakai dosis 500 mg/m 2. Bila jumlah leukosit
<2000/m2 dosis tidak boleh dinaikkan, dan bila <1000/m2 dosis diturunkan 125 mg/m2.6
e. Plasmapharesis
Telah digunakan bertahun-tahun pada lupus yang refrakter. Terkadang ada manfaatnya
terutama bila dikombinasi dengan kortikosteroid dosis tingi dan siklofosfamid. Namun ini
bukanlah terapi yang efektif.3
f. Splenektomi

14
Untuk anak dengan sitopenia refrakter yang tidak responsif dengan terapi standar
untuk idiopatik trombositopenia, splenektomi biasanya menjadi efektif. Namun hal ini
meningkatkan resiko terjadinya sepsis, terutama dari kuman-kuman salmonella dan
pneumokokus.3
g. Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca
Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca secara autologous atau alogenik lebih
efektif pada pasien dewasa. Terdapat angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi dengan
pendekatan terapi semacam ini, sehingga ini merupakan pilihan terakhir. 3

7.
Memonitor Perjalanan Penyakit
Memonitor SLE tidaklah mudah. Ada beberapa faktor yang harus diperatikan dan
kesemuanya harus diperhitungkan sebelum keputusan terapi dilakukan. Pemeriksaan
laboratorium sangat penting dan sebaiknya dikerjakan secara rutin. Pemeriksaan laboratorium
termasuk: hematologi, ESR (erytrocyte sedimentation rate), C3, C4, anti ds-DNA
(kuantitatif), SGOT, SGPT, LDH, albumin, kreatinin, dan urinalisis. Pemeriksaan ini
sebaiknya dilakukan setiap 2-4 minggu sekali saat mulai terdiagnosis, sampai 2 bulan sekali
ketika penyakit sudah dapat dikontrol.
Ada beberapa skor yang bertujuan mengontrol penyakit. Beberapa diantaranya adalah
SLE Disease Activity Index (SLEDAI), Lupus Activity Index (LAI), the European Consensus
Lupus Activity Measurement (ECLAM), Systemic Lupus Activity Measure (SLAM) dan
British Isles Lupus Assessment Group (BILAG). Skor-skor ini sensitif pada perubahan
perjalanan penyakit.3
a. Proteksi Terhadap Matahari
Pajanan pada sinar matahari atau sumber lain yang ada sinar ultraviolet (terutama UV-
A atau UV-B) dapat menyebabkan kekambuhan ruam pada lupus dan juga gejala sistemik
seperti nyeri sendi dan fatigue. bisa juga menyebabkan serangan pertama. Jadi, untuk
menghindari pajanan yang terus menerus dengan sinar UV, setiap pasien atau siapapun juga
harus menggunakan topi atau krim tabir surya. Pasien yang menggunakan krim tabir surya
secara rutin (SPF 15 atau yang lebih besar) memiliki resiko lebih rendah untuk terkena lupus
nefritis, trombositopenia, dan membutuhkan lebih sedikit dosis siklofosfamid. Setiap anak
dengan SLE sebaiknya selalu menggunakan krim tabir surya setiap hari pada seluruh kulitnya
yang terpajan sinar matahari (kecuali telinga) tidak hanya pada siang hari, karena awan tidak
dapat menghilangkan sinar UV. 3,4
b. Imunisasi 3

15
Anak dengan SLE memiliki resiko tinggi terkena infeksi bakteri dan virus. Pada anak-
anak ini seharusnya dilakukan semua jenis imunisasi yang diwajibkan namun tidak boleh
yang mengandung vaksin hidup.
1) Vaksin cacar (varicella) dianjurkan untuk semua anak yang belum pernah terinfeksi
virus varicella-zoster. Termasuk kedalam vaksin hidup (live vaccine) sehingga
harus diberikan sebelum terapi dengan kortikosteroid dimulai.
2) Vaksin pneumokokus dianjurkan untuk semua anak pada saat diagnosis SLE
ditegakkan, dan setiap 5 tahun. Infeksi pneumokokus yang invasif sering terjadi
pada anak dengan SLE.
3) Vaksin influenza. Anak SLE yang di imunisasi dengan vaksin influenza memiliki
respon antibodi yang protektif, walaupun jumlahnya lebih sedikit dari anak yang
normal.
4) Vaksin Haemophilus influenza (Hib) dan meningokokus dianjurkan pada setiap
anak dengan SLE.
c. Diet dan Olahraga 3,11
Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Sebenarnya tidak ada diet khusus
untuk pasien SLE, namun karena adanya kenaikan berat badan akibat penggunaan obat
glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan junk food atau makanan mengandung tinggi
sodium dan tinggi garam untuk menghindari kenaikan berat badan berlebih. Pasien lupus
sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk mempertahankan densitas
tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering
dihubungkan dengan kekambuhan.

8.
Prognosis 10
Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan diselingi oleh
fase remisi, dengan masa dan kualitas yang bervariasi. Menurut Sibley, bangkitan diartikan
sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau keluhan baru yang memerlukan perubahan
terapi. Fase remisi sebetulnya merupakan bentuk klinis yang kurang ganas dengan gangguan
predominan pada sendi dan kulit. Beberapa faktor telah dikenal dapat menimbulkan
bangkitan aktivitas lupus di luar masa evolusi spontan, yaitu pajanan sinar ultraviolet, infeksi,
beberapa jenis obat tertentu seperti misalnya antibiotik yang membentuk siklus aromatik
(penisilin, sulfa, tetrasiklin), garam emas, fenotiazin, dan antikonvulsan, serta kehamilan.
Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah bervariasi dari
bentuk yang semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi viseral. Sebaliknya, bentuk
yang ganas dapat dikontrol atau seperti sembuh di bawah pengobatan.

16
SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian
dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna,
kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Tetapi belakangan ini kematian tersebut
semakin menurun karena perbaikan cara pengobatan, diagnosis lebih dini, dan kemungkinan
pengobatan paliatif seperti hemodialisis lebih luas.
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan, misalnya
pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksiden vaskular serebral
iskemik) akibat kortikoterapi; atau neoplasma (kanker, hemopati) akibat pemakaian obat
imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi imun akibat penyakit lupus. Frekuensi kejadian
ini makin meningkat karena harapan hidup (survival) penderita lupus lebih panjang.
Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan hanya
akibat kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit lupusnya itu sendiri.
Pengurangan risiko infeksi hanya dapat dilakukan dengan pencegahan terhadap semua
sumber infeksi serta deteksi dini terhadap infeksi.
Secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncak kejadian kematian,
yaitu satu puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak terkontrol, dan satu puncak
lain yang lebih jauh akibat komplikasi kortikoterapi.

B. Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA)

1. Definisi
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) adalah peradangan kronis autoimun pada sendi
yang onsetnya terjadi sebelum usia 16 tahun dan menetap lebih dari 6 minggu, setelah
menyingkirkan penyebab lain.12

2. Epidemiologi
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) pada anak bukan penyakit yang jarang, namun
frekuensi sebenarnya tidak diketahui. Penyakit ini terdapat pada semua ras dan geografik,
namun insidennya di seluruh dunia berbeda-beda. Insiden JRA bervariasi antara 2 sampai 20
per 100.000 anak. JRA biasanya bermula sebelum usia 16 tahun. Namun onset penyakit juga
dapat terjadi lebih awal, dengan frekuensi tertinggi antara usia 1-3 tahun. Perempuan lebih
sering terkena dari pada laki-laki.13,14
Sekitar 300.000 anak di Amerika Serikat diperkirakan menderita artritis dengan
berbagai tipe. Insiden JRA diperkirakan 4-14 kasus per 100.000 anak per tahun. Di seluruh
dunia, JRA terjadi lebih sering pada populasi tertentu seperti Inggris, Columbia dan

17
Norwegia. Sebuah studi dari Jerman menemukan tingkat prevalensi 20 kasus per 100.000
penduduk, dengan insiden 3,5 kasus per 100.000 penduduk. Di Norwegia tingkat prevalensi
sekitar 148 kasus per 100.000 penduduk dengan insiden 22 kasus per 100.000 penduduk.
Insiden JRA di Jepang dilaporkan sangat rendah.12
Angka kematian JRA sulit untuk dihitung tetapi diperkirakan kurang dari 1% di Eropa
dan kurang dari 0,5% di Amerika Utara. Sebagian besar kematian JRA di Eropa terkait
dengan amiloidosis, dan di Amerika Serikat berhubungan dengan infeksi.12
Persentase berbagai tipe JRA adalah sebagai berikut :12
a. Pausiartikular : 30%
b. Poliartikular (faktor reumatoid negatif) : 20%
c. Poliartikular (faktor reumatoid positif) : 5%
d. Onset sistemik : 5%
e. Psoriatik : 5%
f. Terkait enthesitis : 25%
g. undifferentiated : 10%
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) tipe pausiartikular dan poliartikular lebih sering
terjadi pada anak perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio masing-masing 3 : 1 dan
2,8 : 1. Sedangkan tipe sistemik terjadi dengan frekuensi yang sama antara anak laki-laki dan
perempuan.12
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) dengan tipe poliartikular faktor rematoid negatif
memiliki puncak onset bifasik. Puncak pertama terjadi pada usia muda (1-4 tahun), mirip
dengan JRA pausiartikular, dan puncak kedua terjadi pada usia 6-12 tahun. Poliartikular
faktor rematoid positif lebih sering terjadi pada remaja. Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA)
tipe sistemik tidak memiliki puncak onset usia.12
Penelitian deskriptif cross sectional dilakukan untuk memperoleh profil pasien JRA
berdasarkan kriteria dan klasifikasi ILAR di RSCM. Selama kurun waktu 6 tahun sejak 1
Januari 2001 hingga 31 Desember 2006 di RSCM didapatkan 203 pasien dengan keluhan
utama artritis. Peneliti menemukan 68 pasien merupakan penderita JRA (34,3%). Tipe
oligoartikular merupakan jenis terbanyak yang ditemukan (40,8%).15
3. Etiologi
Etiologi JRA belum banyak diketahui, diduga terjadi karena respon yang abnormal
terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan. Peran imunogenetik diduga
memiliki pengaruh yang sangat kuat.16
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) merupakan penyakit autoimun dimana sistem
kekebalan tubuh secara keliru menyerang jaringan yang seharusnya dilindungi. Namun,
belum pernah ditemukan autoantibodi spesifik untuk JRA. Penyebab yang mungkin adalah
respon imun pejamu yang secara genetik rentan terhadap suatu antigen (yang belum

18
diketahui). Secara luas dipercaya bahwa pemicu respon imun awal adalah suatu agen
infeksius. Antigen Presenting Cell (APC) menelan protein asing, mengolahnya, dan
kemudian menyajikan peptida antigenik melalui reseptor MHC klas II ke sel T-helper CD4+
yang mengenali peptida antigenik melalui reseptor antigen sel T-klonotipik (TCR). Sel T-
helper yang sudah diaktifkan mengeluarkan berbagai sitokin dan merekrut sel T lain dan sel
B yang dipacu untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma penghasil antibodi. Pada dewasa,
antigen MHC klas II HLA-DR4 dan HLA-DR1 dikaitkan dengan peningkatan kerentanan
terhadap JRA. Sedangkan pada anak, peningkatan kerentanan terhadap JRA dikaitkan dengan
HLA-DR5 dan HLA-DR8. Protein MHC klas II ini mungkin sama-sama memiliki sekuen
spesifik asam amino yang berkaitan dengan cara menyajikan antigen tertentu yang kemudian
menyebabkan peningkatan kerentanan terjadinya radang sendi.17
Belum pernah berhasil diisolasi suatu agen infeksius tertentu yang secara spesifik
menyebabkan artritis walaupun sudah dilakukan riset intensif bertahun-tahun.
Mikroorganisme yang mungkin berperan sebagai agen infeksius antara lain virus limfotropik
sel T tipe 1, virus rubella, sitomegalovirus, herpesviridiae, mikoplasma, dan virus Epstein-
Barr (EBV). Epstein-Barr (EBV) adalah suatu aktivator poliklonal sel B yang menghasilkan
banyak immunoglobulin, termasuk faktor reumatoid. Sebagian orang dewasa penderita
artritis reumatoid terbukti memperlihatkan peningkatan jumlah sel B yang terinfeksi oleh
EBV dalam sirkulasi serta penurunan respon sel T sitotoksik terhadap virus tersebut.17
Terdapat data yang menunjang suatu respon autoimun sebagai kausa primer artritis
reumatoid tetapi data tersebut belum kuat. Kolagen dan IgG adalah protein utama yang paling
sering dianggap sebagai auto-antigen. Reaksi terhadap kolagen dapat menyebabkan artritis
pada hewan pengerat dan mamalia yang lebih tinggi tetapi antibodi terhadap kolagen yang
terdapat di tulang rawan sendi tampaknya tidak menyebabkan artritis reumatoid pada
manusia. Ketika terjadi kerusakan tulang rawan pada artritis, terbentuk autoantibodi terhadap
bagian kolagen yang mengalami degradasi. Autoantibodi ini bersama dengan faktor
reumatoid mengendap di tulang rawan dan berfungsi sebagai kemoatraktan dan menyebabkan
proses kerusakan secara terus-menerus. Sel T CD4+ aktif berkumpul di dalam ruang sendi.
Membran sinovial juga terkena. Makrofag dan fibroblas menghasilkan interleukin-1 (IL-1)
dan tumor necrosis factor (TNF-) yang menumpuk di membran sinovial. Sitokin-sitokin
ini memiliki efek luas terhadap banyak sel serta menyebabkan pengaktifan dan proliferasi sel
T lebih lanjut, peningkatan aktivitas prostaglandin dan protease penghancur matriks, serta
resorpsi tulang.17
Netrofil adalah sel utama dalam cairan sendi walaupun limfosit dan makrofag
merupakan sel predominan di membran sinovial. Kemoatraktan untuk netrofil adalah C5a

19
yang dihasilkan dari pengaktifan komplemen, leukotrien B4, dan platelet activating factor.
Netrofil dalam cairan sendi dengan cepat memakan debris sel dan komplek imun.
Pengaktifan netrofil menyebabkan terjadinya degranulasi, pengeluaran protease, dan
pembentukan rangsangan kemotaktik lebih lanjut. Di cairan sendi, pengaktifan sistem
komplemen, pengeluaran enzim lisosom oleh netrofil, pembentukan oksidan reaktif,
pembentukan kinin vasoaktif oleh kalikrein, serta pengaktifan fibrinolisis dan jenjang
pembekuan menyebabkan terjadinya peradangan yang intensif. Rasa nyeri, peningkatan suhu,
kemerahan, dan efusi mencerminkan peradangan sendi akut.17

4. Klasifikasi
Karakteristik klinis JRA yang sering digunakan adalah oligoartritis, poliartritis dan
onset sistemik.13

Tabel 5. Karakteristik JRA tipe onset penyakit 13


Karakteristik Poliartritis Oligoartritis Sistemik
Presentase kasus 30 % 60% 10%
Sendi terlibat 5 4 Bervariasi
Usia onset Seluruh masa anak, Awal masa anak, Seluruh masa anak,
puncak usia 1-3 puncak usia 1-2 tidak ada puncak
tahun tahun
Rasio jenis kelamin 1:3 1:5 1:1
(laki-laki : perempuan)
Keterlibatan sistemik Penyakit sistemik Tidak ada penyakit Penyakit sistemik
sedang sistemik, penyebab sering sembuh
utama morbiditas sendiri, sebagian
adalah uveitis mengalami destruksi
artritis kronik
Adanya uveitis 5% 5-15% Jarang
kronik
Frekuensi seropositif 10% ( meningkat Jarang Jarang
faktor rheumatoid dengan usia )
Antibodi antinuclear 40-50% 75-85% 10%
Prognosis Sedang Baik, kecuali untuk Buruk
penglihatan

5. Patofisiologi
Artritis reumatoid ditandai dengan peradangan sinovial kronis yang nonsupuratif.
Jaringan sinovial yang terkena menjadi edema, hiperemis, serta diinfiltrasi oleh limfosit dan
sel plasma. Bertambahnya cairan sendi menimbulkan efusi. Penonjolan dari membran

20
sinovial yang menebal membentuk vili yang menonjol ke dalam ruang sendi; reumatoid
sinovial yang hiperplastik dapat menyebar dan melekat pada kartilago artikuler sehingga
terbentuk pannus. Pada sinovitis kronis dan proliferasi sinovial yang berkelanjutan, kartilago
artikuler dan struktur sendi lainnya dapat mengalami erosi dan rusak secara progresif.
Terdapat variasi waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya proses kerusakan sendi yang
permanen pada sinovitis. Pada anak, proses kerusakan kartilago artikuler terjadi lebih lambat
dibandingkan pada dewasa, sehingga anak yang menderita JRA tidak pernah mendapat cedera
sendi permanen walaupun sinovitisnya lama. Penghancuran sendi terjadi lebih sering pada
anak dengan faktor reumatoid positif atau penyakit tipe sistemik. Bila penghancuran sendi
telah dimulai, dapat terjadi erosi tulang subkhondral, penyempitan ruang sendi, penghancuran
tulang, deformitas dan subluksasi atau ankilosis persendian. Mungkin dijumpai tenosinovitis
dan miositis. Osteoporosis, periostitis, pertumbuhan epifisis yang dipercepat, dan penutupan
epifisis yang prematur dapat terjadi di dekat sendi yang terkena.17
Nodul reumatoid lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan orang dewasa, terutama
pada faktor reumatoid positif, dan memperlihatkan bahan fibrinoid yang dikelilingi oleh sel
radang kronis. Pada pleura, perikardium dan peritoneum dapat terjadi serositis fibrinosis non
spesifik. Nodul reumatoid secara histologis tampak seperti vaskulitis ringan dengan sedikit
sel radang yang mengelilingi pembuluh darah kecil.17
Terdapat 4 jenis patogenesis terjadinya JRA, yaitu :18
a. Berhubungan dengan molekul HLA dan non HLA
Gen HLA merupakan faktor genetik penting pada JRA karena fungsi utama dari gen
ini sebagai APC ke sel T. Hubungan antara HLA dengan JRA berbeda-beda tergantung
subtipe JRA. Secara spesifik oligoartritis dihubungkan dengan genHLA-A2, HLA-DRB1*11,
dan HLA-DRB1*08. Faktor reumatoid positif pada poliartritis berhubungan dengan gen
HLADR4 pada anak, dan begitu juga pada dewasa. Selain itu, adanya gen HLA-B27
meningkatkan risiko entesitis terkait artritis. 18
Protein Tyrosine Phosphatase Nonreceptor 22 (PTPN22) mengkode suatu fosfatase
limfoid spesifik (lyp), suatu varian dalam pengkodean region di gen ini. Gen ini dihubungkan
dengan sejumlah penyakit autoimun yang juga telah teridentifikasi sebagai suatu lokus untuk
JRA. Efek dari PTPN22 ini bervariasi antara masing-masing subtipe JRA tetapi secara umum
lebih terkait daripada gen HLA. Beberapa gen lainnya yaitu faktor makrofag inhibitor, IL-6,
IL-10 dan TNF juga berhubungan dengan JRA. 18
b. Mediator inflamasi pada kerusakan sendi
Membran sinoval pada pasien JRA mengandung sel T, sel T yang teraktivasi sel
plasma, dan makrofag yang teraktivasi, yang didatangkan melalui suatu proses

21
neovaskularisasi. Antigen spesifik sel T berperan dalam patogenesis subtipe artritis pada JRA.
Sel T predominan adalah sel Th1. Sel ini akan mengaktivasi sel B, monosit, makrofag dan
fibroblas sinovial untuk memproduksi immunoglobulin (Ig) dan mediator inflamasi. Sel B
yang teraktivasi akan memproduksi immunoglobulin termasuk faktor reumatoid dan
antinuclear antibody (ANA). 18
Patogenesis yang tepat tentang faktor reumatoid belum diketahui sepenuhnya, diduga
melibatkan aktivasi komplemen melalui pembentukan komplek imun. Antinuclear antibody
(ANA) dihubungkan dengan onset dini terjadinya oligoartritis tetapi antibodi ini tidak
spesifik untuk JRA. Makrofag yang teraktivasi, limfosit, dan fibroblas memproduksi
vascular endothelial growth factor (VEGF) dan osteopontin yang menstimulasi terjadinya
angiogenesis. Pada pasien JRA, VEGF banyak ditemukan di jaringan sinovial. Osteopontin
meningkat di cairan sinovial dan berhubungan dengan neovaskularisasi. 18
Tumor necrosis factor (TNF) dan IL-1 diproduksi oleh monosit teraktivasi, makrofag
dan fibroblas sinovial. Mediator inflamasi ini sepertinya memiliki peran penting dalam
terjadinya JRA. Sitokin ini ditemukan meningkat pada cairan sendi penderita JRA dan telah
diketahui menstimulasi sel mesenkim seperti fibroblas sinovial, osteoklast dan khondrosit
untuk melepas matrix metaloproteinase (MTP) yang mengakibatkan kerusakan jaringan.
Pada kelinci percobaan, injeksi IL-1 pada sendi lutut mengakibatkan terjadinya degradasi
pada kartilago. 18
Interleukin-6 (IL-6) adalah sitokin multifungsi yang memiliki aktivitas biologik yang
luas dalam regulasi respon imun, reaksi fase akut, hematopoesis dan metabolisme tulang.
Jumlah IL-6 yang beredar di sirkulasi meningkat pada pasien JRA. Hal ini dihubungkan
dengan hasil laboratorium dan manifestasi klinis dari derajat aktivitas penyakit. Interleukin-6
(IL-6) menstimulasi hepatosit dan menginduksi produksi protein fase akut seperti C-reactive
Protein (CRP). Jadi, peningkatan kadar IL-6 dalam serum berkorelasi dengan peningkatan
CRP dalam fase aktif penyakit. 18
Interleukin-17 (IL-17) diproduksi oleh sel Th17 dan menginduksi reaksi jaringan yang
berlebihan karena memiliki reseptor yang tersebar luas di seluruh tubuh. Bukti terbaru
menunjukkan IL-17 mempunyai peran penting dalam reaksi inflamasi autoimun. Interleukin-
17 (IL-17) akan meningkatkan sitokin proinflamasi di jaringan sendi, menstimulasi produksi
TNF dan IL-1, serta akan saling bersinergi untuk meningkatkan produksi IL-6, IL-8 dan IL-
17 sehingga menyebabkan kerusakan sendi akibat proses inflamasi. Interleukin-17 (IL-17)
meningkat pada pasien JRA dengan penyakit yang aktif dibandingkan dengan pasien yang
mengalami remisi. 18
c. Profil inflamasi khas pada penyakit tipe sistemik

22
Patogenesis dari JRA tipe sistemik berbeda-beda pada jenis JRA dalam berbagai
bagian seperti kurangnya keterkaitan antara tipe HLA serta tidak adanya autoantibodi dan sel
T reaktif. Penderita dengan penyakit tidak menunjukkan tanda-tanda dari limfosit mediated
antigen yang merupakan respon imun spesifik. Tanda-tanda klinis dari JRA tipe sistemik juga
dihubungkan dengan granulositosis, trombositosis, dan peningkatan regulasi reaktan fase akut
yang menandakan aktivasi tidak terkontrol dari sistem imun didapat. Selama manifestasi awal
dari perjalanan penyakit ini, muncul infiltrasi perivaskular dari netrofil dan monosit yang
memproduksi sitokin proinflamasi yang berperan dalam proses patogenesis penyakit.18
Data terbaru menunjukkan IL-1 memiliki peran utama dalam gejala klinis JRA tipe
sistemik. Pengobatan dengan reseptor antagonis IL-1 telah menunjukkan perbaikan gejala
klinis dan laboratorium pada pasien yang resisten terhadap pengobatan anti-TNF. Monosit
yang teraktivasi pada pasien dengan gejala sistemik memiliki jumlah IL-1 yang lebih tinggi,
dimana sekresi dari TNF dan IL-6 tidak terlalu meningkat. Anggota lain dari IL-1 yaitu IL-
18 ditemukan meningkat tajam pada pasien dengan onset usia yang lebih besar dibandingkan
dengan pasien JRA lainnya. Interleukin-18 (IL-18) ditemukan lebih meningkat pada serum
anak dengan tipe sistemik dibandingkan dengan tipe poliartikular dan pausiartikular.
Konsentrasi IL-18 juga meningkat pada pasien serositis dan hepatosplenomegali. 18
Konsentrasi IL-6 ditemukan meningkat pada pasien dengan tipe sistemik dan
berhubungan dengan keterlibatan sendi. IL-6 juga meningkat pada cairan sinovial pasien
dengan tipe sistemik dibandingkan dengan pasien JRA tipe lainnya. Produksi berlebihan IL-6
berhubungan dengan manifestasi ekstra artikular seperti anemia mikrositik dan gangguan
pertumbuhan. Pengobatan dengan monoklonal antibodi yang langsung menyerang reseptor
IL-6 menunjukan perbaikan klinis pada reaktan fase akut pasien dengan tipe sistemik.
Aktivasi dan proliferasi yang tidak terkontrol pada limfosit T dan makrofag yang
menyebabkan terjadinya pelepasan dari sitokin inflamasi seperti TNF , IL-1, dan IL-6
mengakibatkan munculnya manifestasi klinis dan patologi pada macrofage activation
syndome (MAS). 18
d. Mediator anti inflamasi pada JRA
Dua sitokin anti-inflamasi yang paling dikenal pada JRA adalah IL-10 dan IL-4.
Interleukin-10 (IL-10) menunjukkan degradasi kartilago oleh antigen stimulated
mononuclear cell pada pasien dewasa dengan artritis. Polimorfonuklear (PMN) dengan
produksi IL-10 yang rendah berhubungan dengan artritis tipe berat. IL-4 menghambat
aktivasi sel Th1 dan penurunan produksi dari TNF , IL 1 dan menghambat kehancuran
kartilago. Interleukin-4 (IL-4) dan IL-10 menghambat produksi dari sitokin inflamasi seperti
IL-6 dan IL-8. Interleukin-4 (IL-4) dan IL-10 yang tinggi pada sendi bermanifestasi sebagai

23
pausiartikular yang ringan dan non-erosif. Foxp3, CD4, CD25, dan sel T regulasi penting
untuk pengontrolan inflamasi. Defek pada X-linked pada foxp3 merupakan penyebab dari
kondisi multipel autoimun disebut juga imunodisregulasi, poliendokrinopati, dan enteropati
(IPEX syndrome). Kerusakan pada sel T regulasi juga merupakan penyebab adanya kegagalan
toleransi pada penyakit autoimun, meskipun belum ada bukti yang menunjukkan adanya
defek pada sel T regulasi pada JRA. Penurunan jumlah sel T regulasi menyebabkan
oligoartritis yang lebih berat. Pada pasien dengan JRA ditemukan peningkatan jumlah T
regulasi yang lebih tinggi di sendi dibandingkan darah tepi, yang mengindikasikan terjadinya
suatu proses inflamasi.18

6. Manifestasi Klinis
a. Poliartikular
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) tipe ini ditandai dengan keterlibatan banyak
sendi secara khas, yaitu 5 sendi, termasuk sendi kecil tangan. Biasanya tipe ini terjadi pada
35% anak yang menderita JRA. Ada 2 subtipe JRA poliartikular, yaitu poliartritis faktor
reumatoid positif (20-30%) dan poliartritis dengan faktor reumatoid negatif (5-10%).
Penyakit dengan faktor reumatoid positif biasanya dimulai pada akhir masa kanak-kanak.
Pada artritis yang lebih berat sering timbul nodul reumatoid dan vaskulitis reumatoid. Selama
masa kanak-kanak, penyakit tanpa faktor reumatoid bisa terjadi kapanpun, biasanya ringan
dan jarang disertai dengan nodul reumatoid. Anak perempuan lebih banyak terkena dari pada
anak laki-laki.16,19
Perjalanan penyakit ini bisa terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung hebat, atau secara
progresif lambat yang akhirnya dapat menimbulkan kekakuan sendi, pembengkakan dan
kehilangan gerakan. Pada sendi yang terkena ditemukan tanda-tanda terjadinya proses
inflamasi, seperti nyeri, bengkak, panas, penurunan fungsi tetapi jarang terlihat memerah.
Bengkak terjadi akibat edema periartikular, efusi sendi, dan penebalan sinovial. Nyeri jarang
dikeluhkan pada anak yang lebih kecil. Gejala klinis terlihat dari berkurangnya pergerakan
pada sendi yang terkena. Hal ini dapat merupakan akibat dari spasme otot sendi yang
mengalami efusi dan proliferasi sinovial.19
Proliferasi sinovial dapat mengakibatkan timbulnya kista disekitar sendi yang terkena,
herniasi sinovial, dan ekstravasasi cairan sinovial sehingga mengenai struktur disekitarnya
terutama pada daerah poplitea. Kekakuan sendi pada pagi hari dan perlunakan pasca
inaktivasi merupakan ciri khas JRA. 19
Artritis yang mengenai setiap sinovial persendian sering bermula dari sendi besar
seperti lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, dan siku. Serangan awal ini sering

24
simetris. Peradangan sendi interfalang proksimal mengakibatkan pengurusan atau perubahan
fusiformis pada jari-jari. Serangan pada sendi metakarpofalangeal seringkali bersamaan dan
sendi interfalangeal dapat juga terkena. Artritis dari spina servikalis ditandai oleh kekakuan
dan nyeri leher yang terjadi pada sekitar 50% penderita. Keterlibatan sendi
temporomandibular ditandai dengan terbatasnya gerakan membuka rahang dan nyerinya bisa
timbul sebagai nyeri telinga. Keterlibatan panggul sekurang-kurangnya terjadi pada 50%
anak yang menderita poliartritis, biasanya mulai pada proses penyakit yang lanjut.
Penghancuran kaput femoris dapat terjadi. Penyakit pinggul yang berat merupakan penyebab
utama kecacatan pada stadium akhir JRA. Penyempitan sendi sakroiliaka bisa diketahui dari
foto rontgen. Artritis krikoaritenoid bisa mengakibatkan suara serak dan stridor laring serta
mengakibatkan terjadinya obstruksi akut saluran napas, namun hal ini jarang terjadi.
Keterlibatan sendi sternoklavikular dan sambungan kostokondral dapat menyebabkan nyeri
dada. 16
Gangguan pertumbuhan yang terjadi pada sendi yang meradang bisa mengakibatkan
pertumbuhan yang berlebih atau berkurang. Penambahan panjang kaki dapat menyertai
artritis lutut yang kronis dan mikrognatia pasca artritis temporomandibular. Hal ini dapat
menjadi suatu tanda stadium akhir JRA. Kaki yang kecil dan berubah bentuk dapat
disebabkan karena keterlibatan kaki pada masa awal kanak-kanak dan jari-jari yang pendek
adalah karena keterlibatan tangan pada masa dini. 16
Manifestasi ekstra-artikular JRA poliartikular tidak sehebat manifestasi yang tampak
pada JRA tipe sistemik. Kebanyakan penderita dengan penyakit poliartikular yang aktif
menderita malaise, anoreksia, iritabilitas, dan anemia ringan. Demam ringan,
hepatosplenomegali ringan, dan limfadenopati dapat dijumpai. Bisa terjadi perikarditis dan
iridosiklitis tetapi jarang. Nodulus reumatoid dapat terjadi pada titik tekanan. Hal ini biasanya
dijumpai pada penderita dengan hasil uji aglutinasi positif terhadap faktor reumatoid.
Vaskulitis reumatoid kadang-kadang terjadi pada penderita dengan faktor reumatoid positif
sebagaimana pada penyakit sjogren. 20
b. Pausiartikular
Pada pausiartikular, sendi yang terkena terbatas pada 4 sendi selama 6 bulan
pertama sesudah timbulnya penyakit. Sendi yang terkena terutama sendi besar, dan
penyebarannya sering tidak simetris. Ada 2 subtipe dari pausiartikular ini, yaitu tipe 1
terutama menyerang anak perempuan yang masih kecil pada saat mulainya penyakit dan
berisiko menderita iridosiklitis kronis. Tipe 2 terutama menyerang anak laki-laki dengan usia
yang lebih besar pada saat mulainya penyakit dan lebih berisiko mengalami spondiloartropati.
16,19

25
Gambar 3. Artritis unilateral lutut kiri pada JRA pausiartikular.

Pausiartikular tipe 1 adalah tipe yang paling umum terjadi (30-40%). Sebanyak 90%
penderita memiliki tes ANA positif dan tidak disertai dengan faktor reumatoid ataupun HLA
27. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi lutut, pergelangan kaki, dan siku. Kadang-
kadang ada keterlibatan tersendiri pada sendi lainnya, seperti sendi temporomandibular, satu
jari kaki atau tangan, pergelangan tangan, atau leher. Pinggul dan tulang lingkar panggul
biasanya tidak terkena dan tidak disertai sakroilitis. Gambaran klinis dan histologi sinovial
sendi yang terkena tidak dapat dibedakan dari gambaran klinis dan histologi JRA. 16
Penderita dengan penyakit pausiartikuler tipe 1 berisiko tinggi untuk menderita
komplikasi mata. Iridosiklitis kronis terjadi pada 15-30% pada suatu waktu selama 10 tahun
pertama penyakit. Ciri khas iridosiklitis kronis JRA adalah tidak disertai gejala atau tanda-
tanda awal. Kadang kala anak menampakkan gejala awal kemerahan, nyeri, fotofobia, dan
penurunan tajam peglihatan. Satu atau dua mata dapat terkena. Jika dimulai dari unilateral,
mata yang lain biasanya tetap tidak terlibat. Iridosiklitis kadang-kadang merupakan
manifestasi JRA yang ada tetapi biasanya iridosiklitis menyertai awal timbulnya keluhan
sendi selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Penderita dengan iridosiklitis biasanya
memiliki tes ANA yang positif. Tanda-tanda peradangan iris dan korpus siliaris yang paling
awal adalah bertambahnya jumlah sel serta jumlah protein dalam kamera okuli anterior.
Perubahan yang timbul hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan slit lamp. Seringkali
radang okuler tetap aktif selama bertahun-tahun. Sekuelenya meliputi sinekia posterior,
katarak dengan komplikasinya, glaukoma sekunder, dan ptosis bulbi yang dapat berakibat
kehilangan visus dan kebutaan permanen. Oleh karena itu, pada anak dengan pausiartikular
harus dilakukan pemeriksaan slit lamp 3-4 kali setahun sekurang-kurangnya selama 5 tahun
pertama penyakit tanpa memandang aktivitas penyakit sendi. Manifestasi ekstra-artikular
lainnya pada JRA pausiartikular biasanya ringan, seperti demam ringan, malaise,
hepatomegali, limfedenopati sedang, dan anemia ringan. Hal ini bisa dikaitkan dengan
aktivitas penyakit yang aktif. 20

26
Penyakit pausiartikular tipe 2 mengenai 10-15% penderita JRA terutama anak laki-
laki yang berusia lebih dari 8 tahun. Riwayat keluarga sering menunjukan adanya anggota
keluarga yang juga menderita artritis pausiartikular, spondilitis ankilosa, dan penyakit reiter
(iridosiklitis akut). Uji ANA biasanya negatif. Pada tipe ini sendi yang sering terkena adalah
sendi besar, terutama sendi ekstremitas bawah. Nyeri tumit, fasiitis plantaris atau tendinitis
achilles sering ditemui. Kemungkinan juga dapat ditemukan radang pada tempat insersi
tendon pada tulang. Seiring berjalannya waktu, artritis pausiartikular tipe 2 ini berkembang
menjadi spondilitis ankilosa yang khas dengan keterlibatan spina lumbodorsal, manifestasi
sindroma reiter (hematuria atau piuria, uetritis, iridosiklitis akut atau manifestasi mukokutan),
atau adanya tanda-tanda penyakit radang usus. 16
c. Sistemik
Penyakit tipe sistemik adalah jenis JRA yang paling berat tetapi sangat jarang ditemui.
Penyakit ini hanya terjadi pada 10% dari semua anak dengan JRA dengan perbandingan yang
sama antara kedua jenis kelamin. Penderita umumnya datang dengan demam tinggi yang
melonjak-lonjak selama beberapa minggu disertai ruam-ruam yang cepat menghilang.
Demam timbul setiap hari atau dua kali sehari, sering melonjak hingga suhu 40oC- 41oC pada
sore hari, dan sering menurun dengan cepat sampai subnormal pada jam lain. Demam tinggi
mungkin berlangsung berbulan-bulan sebelum muncul temuan sendi yang objektif. Lonjakan
demam sering disertai oleh ruam makular berwarna salem yang cepat menghilang, terutama
timbul di badan dan paha sebelah dalam. Tiap-tiap makular tidak kembali muncul di tempat
yang sama pada lonjakan demam berikutnya. Ruam sering memperlihatkan fenomena
Koebner, yaitu kemampuan untuk memicu timbulnya lesi dengan menggosok kulit secara
lembut.17
Selain itu, penderita yang usianya lebih besar sering mengeluh artralgia dan/atau
mialgia yang parah. Penurunan nafsu makan dan iritabilitas juga sering dikeluhkan. Adanya
limfadenopati generalisata mungkin cukup menonjol sehingga memberi kesan kuat akan
adanya keganasan. Hepatosplenomegali juga dapat sebagai tanda keganasan.17
Anak dengan JRA tipe sistemik tidak jarang mengalami perikarditis, kadang disertai
miokarditis yang mungkin mengancam jiwa. Beberapa dari anak ini juga menderita efusi
pleura dan pneumonitis. Kadang-kadang anak mengalami serositis abdomen yang
menimbulkan gambaran mirip akut abdomen.17
Pada sebagian anak gejala sistemik akan berkurang secara perlahan sementara mereka
terus mengalami penyakit sendi poliartikular. Sedangkan yang lain mengalami serangan
demam, ruam, dan keluhan sendi secara intermitten sepanjang masa kanak-kanak dan bahkan
sampai masa dewasa tetapi di antara serangan mungkin terdapat masa normal.17

27
7. Diagnosis
Kriteria diagnosis Juvenile Rheumatoid Arthritis menurut American College of
Rheumatology (ACR) :13
a. Usia penderita < 16 tahun
b. Artritis (bengkak atau efusi, adanya dua atau lebih tanda : keterbatasan gerak, nyeri
saat gerak dan panas pada sendi) pada satu sendi atau lebih
c. Lama sakit > 6 minggu
d. Tipe onset penyakit (dalam 6 bulan pertama) :
1) Poliartritis : 5 sendi
2) Pausiartikular : < 5 sendi
3) Sistemik : artritis dengan demam minimal 2 minggu, mungkin terdapat ruam atau
keterlibatan ekstraartikular, seperti limfadenopati, hepatosplenomegali atau
perikarditis
e. Kemungkinan penyakit artritis lain dapat disingkirkan

8. Diagnosis Banding
Beberapa hal harus dipertimbangkan dan disingkirkan sebelum menegakkan diagnosis
JRA dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, yakni:
a. Artritis pada Penyakit Infeksi
Beberapa proses infeksi seperti artritis septik, artritis reaktif dan osteomielitis dapat
menunjukkan manifestasi artritis. Pada artritis septik, jaringan sinovial terinfeksi secara
langsung oleh bakteri, virus ataupun agen infeksi lain. Diagnosis didapatkan dari anamnesis
yang cermat, pemeriksaan kultur dari cairan sinovial, kultur darah dan pemeriksaan serologis.
Pasien yang menderita artritis septik dapat melibatkan lebih dari satu sendi namun tidak harus
menunjukkan adanya tanda sepsis ataupun tanda penyakit sistemik. Beberapa anak yang
menderita onset akut harus dicurigai menderita artritis septik.21
Infeksi oleh Borrelia burgdorferi pada penyakit Lyme dapat menyebabkan artritis
yakni pausiartikular baik pada anak maupun pada dewasa. Artritis Lyme biasanya selalu
respon terhadap terapi antibiotik. Beberapa agen non-bakterial seperti rubella, mumps,
varisella, adenovirus, hepatitis B, and Mycoplasma dapat diduga sebagai penyebab artritis.
Artritis seperti ini biasanya terjadi pada akhir dari perjalanan infeksi, meskipun kadang-
kadang mendahului manifestasi klinis. Parvovirus telah diketahui dapat menyebabkan artritis
transien pada anak dengan atau tanpa manifestasi klinis yang menyertainya. 21
Artritis reaktif adalah artritis steril yang menyertai infeksi gastrointestinal dengan
patogen seperti Shigella, Salmonella, Yersinia, atau Campylobacter sp pada pejamu yang

28
dicurigai. Beberapa anak dengan artritis akut dengan manifestasi gastroenteritis harus
dievaluasi lebih lanjut. Anak umumnya memiliki histokompatibilitas antigen HLA B27.21
Manifestasi anak dengan osteomielitis kadang mirip dengan penyakit reumatik. Sendi
yang berdekatan dengan area metafisis yang terinfeksi dari tulang panjang dapat
membengkak, namun dengan cairan sendi yang jernih. Pada osteomielitis nyeri dan
pembengkakan pada daerah metafisis lebih menyolok daripada nyeri sendi. Perubahan
gambaran radiografi pada osteomielitis terjadi setelah sakit minimal hari ke-7. Ultrasonografi
atau scanning tulang dapat menjadi alat untuk diagnosis pada saat awal penyakit.21
b. Artritis pada Keganasan
Beberapa keganasan anak seperti pada leukemia, neuroblastoma, limfoma, penyakit
hodgkin dan rabdomiosarkoma, seperti halnya pada tumor tulang primer seperti osteogenik
sarkoma dan ewing sarkoma, dapat menyebabkan keluhan muskuloskeletal yang sangat mirip
dengan penyakit reumatik. Artritis pada leukemia dan keganasan lainnya secara umum lebih
disebabkan oleh infiltrasi sel ganas pada struktur di sekitar sendi, dibandingkan dengan
keterlibatan langsung dari sinovial. Anak biasanya terlihat lebih menderita dibandingkan pada
JRA, dan nyeri sendi yang terjadi biasanya lebih parah, sehingga anak tidak mau
mengerakkan lengan dan tungkainya.21
Diagnosis terhadap kemungkinan keganasan, dengan didapatkannya gambaran
hematologi abnormal (leukopenia, anemia berat, trombositopenia), abnormalitas jaringan
lunak atau jaringan tulang serta pemeriksaan yang tepat seperti pemeriksaan sumsum tulang
atau biopsi. Pemeriksaan radiologi sendi yang terlibat dapat menggambarkan infiltrasi
langsung ke tulang atau temuan nonspesifik seperti penipisan metafisis atau periostitis.
Namun, pemeriksaan radiologi dapat juga menunjukkan tampilan normal yang kadang tidak
membantu dalam menegakkan diagnosis.21
c. Artritis pada Kondisi non-inflamasi
Beberapa kondisi non-inflamasi dapat menyebabkan nyeri sendi yang kadang diduga
sebagai JRA. Diantaranya yaitu nyeri tungkai idiopatik pada anak dan sindrom nyeri lainnya
seperti pada fibromialgia serta trauma muskuloskeletal. Nyeri pada tumit setelah aktivitas
berat merupakan penyebab tersering dari nyeri tumit pada anak yang lebih besar dan remaja.
Kondisi ini dapat menunjukkan efusi pada lutut yang kadang-kadang mirip dengan artritis.
Beberapa sindrom genetik dan kongenital yang mempengaruhi sistem muskuloskeletal mirip
dengan artritis, seperti pada dislokasi panggul kongenital, dan displasia epifisis serta
metafisis. Diagnosis dari berbagai kondisi non-inflamasi tersebut dapat dibedakan dari artritis
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, riwayat keluarga lengkap dan
pemeriksaan radiologi sendi dan tulang.21

29
d. Artritis pada penyakit reumatik lain
Penyakit reumatik anak lainnya dapat mirip dengan artritis. Diagnosis pada kondisi ini
biasanya didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Semuanya biasanya menunjukkan
gejala dan tanda yang berbeda.21
Demam rematik adalah penyakit post infeksi streptokokus yang dikaitkan dengan
artritis berpindah. Karditis adalah temuan utamanya. Temuan lain termasuk rash, nodul
subkutan dan korea. Demam rematik jarang menyebabkan artritis kronik, jadi untuk
membedakanya dengan JRA tidaklah sulit.21
Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit multisistem yang dimulai
dengan artritis. Artritis pada penyakit ini jarang menjadi kronik seperti halnya JRA dan
manifestasi klinisnya sangat berbeda. Anti Nuclear Antibody (ANA) dapat ada pada hampir
semua kasus lupus, umumnya dengan titer yang tinggi. Nefritis adalah temuan yang sering
pada lupus anak, dimana kadar komplemen hemolitik serum menurun dan terjadi peningkatan
dari kadar autoantibodi DNA, temuan yang biasanya tidak ditemukan pada JRA.
Dermatomiositis biasanya dihubungkan dengan artritis namun dengan manifestasi miositis
dan rash.21
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, pemeriksaan penunjang yang tepat
serta pemeriksaan laboratorium yang sesuai dapat secara efektif membantu menyingkirkan
diagnosis banding dari JRA. Penting untuk menyingkirkan penyakit yang dapat diterapi
secara pasti, seperti penyakit infeksi dan keganasan, beberapa kondisi non-inflamasi dari
tulang dan sendi, serta penyakit reumatoid yang fatal seperti lupus dermatomiositis maupun
demam reumatik sebelum menetapkan diagnosis dari JRA.21
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Tidak ada uji diagnostik yang spesifik. Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai
penunjang diagnosis. Bila ditemukan Anti Nuclear Antibody (ANA), Faktor Reumatoid (FR)
dan peningkatan C3 serta C4 maka diagnosis JRA menjadi lebih sempurna.12
Selama penyakit aktif, LED dan CRP biasanya meningkat. Anemia pada umumnya
dijumpai, biasanya dengan angka retikulosit rendah dan uji Coomb negatif. Selain itu
ditemukan peningkatan sel darah putih. Trombositosis dapat terjadi terutama pada penyakit.
Analisis urin normal, selama terapi non-steroid mungkin ditemukan sedikit eritrosit dan sel
tubuler ginjal. Terdapat kenaikan fraksi 2-dan gamma globulin dalam serum dan penurunan
albumin. Salah satu atau semua kadar imunoglobulin serum dapat naik.19
ANA ditemukan pada beberapa anak dengan penyakit faktor reumatoid-negatif (25%),
faktor reumatoid positif (75%), atau pausiartikular tipe I (90%) tetapi jarang, pada mereka

30
yang dengan penyakit sistemik atau pausiartikuler tipe II. Penemuan ANA tidak berkolerasi
dengan keparahan penyakit.19
Faktor reumatoid ditemukan pada sekitar 5% anak JRA dan berkolerasi dengan JRA
yang mulai pada umur yang lebih tua. Hasil uji positif paling sering dihubungkan dengan
penyakit poliartikular, yang mulai pada akhir masa kanak-kanak, artritis destruksi berat, dan
nodulus reumatoid.19
Cairan sinovial pada JRA tampak seperti berawan dan biasanya berisi jumlah protein
yang naik. Jumlah sel dapat bervariasi dari 5000-80.000 sel/mm 3; sel-sel tersebut terutama
netrofil. Kadar glukosa pada cairan sendi mungkin rendah; kadar komplemen mungkin
normal atau menurun.19
Faktor reumatoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi,
sedangkan pada JRA lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi laboratorium. Anti-
Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada JRA. Kekerapannya lebih tinggi pada
penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan komplikasi uveitis. Pemeriksaan
imunogenetik menunjukkan bahwa HLA B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang
kemudian menjadi spondilitis ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di
Australia.12
b. Radiologi
Pemeriksaan radiologi JRA dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan yang terjadi
pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang terlihat pada sendi biasanya adalah
pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan
kelainan yang agak jarang seperti formasi tulang baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut
(biasanya lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah
tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal.
Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai pada JRA walaupun dengan pengobatan steroid
dosis tinggi jangka panjang.12
Tidak semua sendi kelompok JRA menunjukkan gambaran erosi, biasanya hanya
didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak, sedangkan erosi sendi hanya didapatkan pada
kelompok poliartikular.12
Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat berupa erosi tulang pada fase
lanjut, pengecilan diameter tulang panjang, serta atrofi jaringan lunak regional sekunder.
Kauffman dan Lovell mengajukan beberapa gambaran radiologik yang menurut mereka khas
untuk JRA sistemik, yaitu a)tulang panjang yang memendek, melengkung, dan melebar,
b)metafisis mengembang, dan c)fragmentasi iregular epifisis pada masa awal sakit yang
kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis. 12

31
Gambar 4. Rontgen sendi pergelangan tangan.

Pemeriksaan foto rontgen tidak sensitif untuk mendeteksi penyakit tulang atau
manifestasi jaringan lunak pada fase awal. Selain dengan foto rontgen biasa kelainan tulang
dan sendi JRA dapat pula dideteksi lebih dini melalui skintigrafi dengan technetium 99m.
Pemeriksaan radionuklida ini sensitif namun kurang spesifik. Skintigrafi menunjukkan
keadaan hemodinamik dan aktivitas metabolik di tulang dan sendi saat pemeriksaan
dilakukan, sehingga dapat menunjukkan inflamasi sendi secara dini. Ultrasonografi
merupakan sarana paling baik untuk mengetahui keadaan cairan intra-artrikular, terutama
pada sendi-sendi yang susah dilakukan pemeriksaan cairan secara klinis, seperti pinggul dan
bahu.22
Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan menilai penebalan
membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan pembungkus tendon. Pemeriksaan
MRI yang dipadu dengan gadolinium juga dapat membedakan inflamasi sinovial dengan
cairan sinovial. Sarana MRI dapat digunakan untuk menilai aspek inflamasi dan destruktif
dari penyakit artritis. Berlawanan dengan foto rontgen, pemeriksaan MRI dapat digunakan
untuk mendeteksi inflamasi jaringan lunak dan perubahan tulang pada fase awal, selain itu
dapat menilai progresifitas penyakit.22

10. Penatalaksanaan
Dasar pengobatan JRA adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan adalah
mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan (range of motion),
mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan yang normal.
Karena itu pengobatan dilakukan secara terpadu untuk mengontrol manifestasi klinis dan

32
mencegah deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, pekerja
sosial, bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan psikiatri.13
Tujuan penatalaksanaan JRA ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri. Banyak hal
yang harus diperhatikan selain mengatasi nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut,
mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan sendi permanen.
Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun non farmakologi. Selain obat-
obatan, nutrisi juga tak kalah penting. Pada pasien JRA pertumbuhannya sangat terganggu
baik karena konsumsi zat gizi yang kurang atau menurunnya nafsu makan akibat sakit atau
efek samping obat.16
a. Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)
Pengelolaan nyeri kronik pada anak tidak mudah. Masalahnya sangat kompleks,
karena pada umumnya anak-anak belum dapat mengungkapkan nyeri. Obat anti inflamasi
non-steroid (OAINS) merupakan anti nyeri pada umumnya yang dapat ditoleransi dengan
baik oleh anak-anak. Selain untuk mengurangi nyeri, OAINS juga dapat digunakan
mengontrol kaku sendi. Efek analgesiknya juga sangat cepat.13
Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) digunakan pada sebagian besar anak dalam
terapi inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik, analgetik, dan antiinflamasi
serta aman untuk penggunaan jangka panjang pada anak. Selain itu obat ini juga menghambat
sintesis prostaglandin. Sebagian besar anak dengan tipe oligoartritis dan sedikit poliartritis
mempunyai respon baik terhadap pengobatan OAINS tanpa memerlukan tambahan obat lini
kedua.13
Penggunaan aspirin sebagai pilihan obat telah digantikan dengan OAINS karena
adanya peningkatan toksisitas gaster dan hepatotoksisitas yang ditandai dengan
transaminasemia. Dengan adanya OAINS yang menghambat siklus siklooksigenase (COX),
khususnya COX-2 maka penggunaan OAINS lebih dipilih daripada aspirin karena tidak
menyebabkan agregasi trombosit, sehingga dapat digunakan pada pasien yang mempunyai
masalah perdarahan. Namun demikian, aspirin masih mampu menekan demam dan aspek
inflamasi lainnya dan terbukti aman dalam penggunaan jangka panjang. Dosis yang biasa
dipakai adalah 75-90 mg/kgBB/hari dalam 3 atau 4 kali pemberian, diberikan bersama
dengan makanan untuk mencegah iritasi lambung. Dosis tinggi biasanya untuk anak yang
beratnya kurang dari 25 kg, sedangkan untuk anak yang lebih besar diberikan dosis yang
lebih rendah. Aspirin diberikan terus sampai 1 atau 2 tahun setelah gejala klinis menghilang.13
Macam OAINS yang sering digunakan pada anak-anak:
1) Tolmetin

33
Tolmetin diberikan bersama makanan, dalam dosis 25-30 mg/kgBB/hari, dibagi
dalam 3 dosis.13,16
2) Naproksen
Naproksen efektif dalam tatalaksana inflamasi sendi dengan dosis 15-20
mg/kgBB/hari diberikan dua kali perhari bersama makanan. Dapat timbul efek
samping berupa ketidaknyamanan epigastrik dan pseudoporfiria kutaneus yang
ditandai dengan erupsi bulosa pada wajah, tangan, dan meninggalkan jaringan
parut.13,16
3) Ibuprofen
Ibuprofen merupakan antiinflamasi derajat sedang dan mempunyai toleransi yang
baik pada dosis 35 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3-4 dosis dan diberikan bersama
makanan. 13,16
4) Diklofenak
Diklofenak dapat diberikan pada anak yang tidak dapat OAINS lain karena
adanya efek samping pada lambung. Dosis yang diberikan adalah 2-3 mg/kgBB/hari,
dibagi dalam 3 dosis. 13,16
b. Analgetik
Walaupun bukan obat antiinflamasi, asetaminofen dalam 2-3 kali pemberian dapat
bermanfaat untuk mengontrol nyeri atau demam terutama pada penyakit sistemik. Obat ini
tidak boleh diberikan untuk waktu lama karena dapat menimbulkan kelainan ginjal.13

c. Imunosupresan
Imunosupresan hanya diberikan dalam protokol eksperimental untuk keadaan berat
yang mengancam kehidupan, walaupun beberapa pusat reumatologi sudah mulai memakainya
dalam protokol baku. Obat yang biasa dipergunakan adalah azatioprin, siklofosfamid,
klorambusil, dan metotreksat. 13
Metotreksat mempunyai onset kerja cepat, efektif, toksisitas yang masih dapat
diterima, sehingga merupakan obat lini kedua dalam JRA. Keunggulan penggunaan obat ini
adalah efektif dan dosis relatif rendah, pemberian oral dan dosis 1 kali per minggu.
Indikasinya adalah untuk poliartritis berat, oligoartritis yang agresif atau gejala sistemik yang
tidak membaik dengan OAINS, hidroksiklorokuin, atau garam emas. Dosis inisial 5 mg/m 2
luas permukaan tubuh/minggu dapat dinaikkan menjadi 10 mg/m 2 luas permukaan
tubuh/minggu bila respon tidak adekuat setelah 8 minggu pemberian (dosis maksimal 30 mg/
m2). Lama pengobatan yang dianggap adekuat adalah 6 bulan. Asam folat 1 mg/hari sering
diberikan bersama metotreksat untuk mengurangi toksisitas mukosa gastrointestinal. Anak-

34
anak dengan poliartritis berat yang tidak berespon dengan metotreksat oral dapat digantikan
dengan intramuskular atau subkutan.13
d. Obat Antireumatik Kerja Lambat
Golongan ini terdiri dari obat antimalaria (hidroksiklorokuin), preparat emas oral dan
suntikan, penisilamin, dan sulfasalazin. Obat golongan ini hanya diberikan untuk poliartritis
progresif yang tidak menunjukan perbaikan dengan OAINS. Hidroksiklorokuin dapat
bermanfaat sebagai obat tambahan OAINS untuk anak besar dengan dosis awal 6-7
mg/kgBB/hari, dan setelah 8 minggu diturunkan menjadi 5 mg/kgBB/hari. Pemberian
hidroksiklorokuin harus didahului dengan pemeriksaan mata, khususnya keadaan retina,
lapangan pandang, dan warna. Oleh karena itu, penggunaan obat ini jarang diberikan pada
anak di bawah usia 4-7 tahun karena adanya kesulitan tindak lanjut pada pemeriksaan mata.
Bila setelah 6 bulan pengobatan tidak diperoleh perbaikan maka hidroksiklorokuin harus
dihentikan.13
Sulfasalazin tidak diberikan pada anak dengan hipersensitivitas terhadap sulfa atau
salisilat dan penurunan fungsi ginjal dan hati. Dosis dimulai dengan 500 mg/hari diberikan
bersama makanan (untuk anak yang lebih kecil 12,5 mg/kgBB). Dosis dinaikkan sampai 50
mg/kgB/hari (maksimal 2 gram). Monitor dilakukan melalui pemeriksaan hematologi dan
fungsi hati. Sulfasalazin dapat diberikan sebagai langkah sementara sebelum menambah obat
kedua selain OAINS, seperti metotreksat. Sulfasalazin kadang-kadang diberikan sebagai
antiinflamasi lini kedua pada anak dengan tipe poliartritis atau oligoartritis persisten.13

e. Kortikosteroid
Diberikan bila terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik, atau untuk suntikan
intraartikular. Penggunaan kortikosteroid tunggal tidak dianjurkan untuk menekan inflamasi
sendi, namun dosis rendah dapat digunakan pada anak dengan poliartritis berat yang tidak
berespon dengan terapi lain. Dosis rendah prednison (0,1-0,2 mg/kgBB) dapat digunakan
sebagai agen jembatan dalam terapi inisial anak yang sakit sedang atau berat yang
sebelumnya menggunakan obat antiinflamasi kerja lambat. Untuk gejala penyakit sistemik
berat yang tak terkontrol diberikan prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal (maksimal
40 mg) atau dosis terbagi pada keadaan yang lebih berat. Bila terjadi perbaikan klinis maka
dosis diturunkan perlahan dan prednison dihentikan. Efek samping yang dapat terjadi pada
pemakaian jangka panjang antara lain sindrom cushing, penekanan pertumbuhan, fraktur,
katarak, gejala gastrointestinal dan defisiensi glukokortikoid. 13
Kortikosteroid intra-artikular dapat diberikan pada oligoartritis yang tidak berespon
dengan OAINS atau sebagai bantuan dalam terapi fisik pada sendi yang sudah mengalami

35
inflamasi dan kontraktur. Kortikosteroid intra-artikular juga dapat diberikan pada poliartritis
dimana satu atau beberapa sendi tidak berespon dengan OAINS. Namun, pemberian injeksi
intra-artikular ini harus dibatasi, misalnya 3 kali pada 1 sendi selama 1 tahun. Triamsinolon
heksasetonid merupakan obat pilihan dengan dosis 20-40 mg untuk sendi besar. 13
f. Fisioterapi dan Latihan Fisik
Banyak manfaat terapi dengan fisioterapi. Kegunaannya antara lain untuk mengontrol
nyeri, dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin, dan hidroterapi. Hidroterapi
pemanasan dengan air pada suhu 96 oF sangat membantu mengurangi nyeri. Selain itu,
fisioterapi berguna bagi anak-anak untuk melakukan peregangan otot yang dapat berguna
memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan
dengan pengawasan. Latihan aktif dengan atau tanpa beban sangat membantu menambah
massa otot. Fisioterapi juga berguna untuk mempertahankan fungsi gerak sendi serta
mempertahankan pertumbuhan normal.13,16
Latihan fisik bertujuan untuk meminimalisir nyeri, menjaga dan mengembalikan
fungsi dan mencegah deformitas dan disabilitas. Pada anak dengan artritis aktif dianjurkan
untuk beristirahat dan meningkatkan waktu tidur saat malam hari. Pasien dengan JRA harus
sedapat mungkin aktif, namun kegiatan yang menyebabkan kelelahan berlebih dan nyeri pada
sendi perlu dihindari. 13,16
g. Psikoterapi
Dukungan psikologis bagi anak dan keluarganya sangat penting untuk memperbaiki
prognosis jangka panjang. Anak dengan RJA berat sering mengalami retardasi pertumbuhan
dan sering terlalu dilindungi oleh keluarga, guru dan teman sekelasnya. Anak tersebut sering
memanfaatkan hal ini untuk tidak pergi ke sekolah, tidak melakukan pekerjaan di rumah
ataupun tidak melakukan tugas yang tidak menyenangkan. Terapis harus dapat meyakinkan
semua orang yang berinteraksi dengan anak pengidap RJA untuk menghadapi anak tersebut
secara normal sesuai anak seusianya dan menekankan indepedensi serta pendewasaan
sebanyak mungkin. Bila hal itu tidak dilakukan, anak mungkin akan makin mengalami
regresi atau imatur seiring dengan waktu.17
Selain itu, memiliki anak berpenyakit kronik akan menimbulkan stress besar pada
interaksi anak tersebut dengan saudara-saudaranya dan pada perkawina orang tua. Perlunya
terapi fisik akan menjadi beban bagi oang tua, sehingga membutuhkan banyak dukungan dan
dorongan. Beban biaya untuk semua penyakit kronik mungkin sangat besar. Terapis harus
bekerja sama dengan guru dan departemen pendidikan, untuk memastikan bahwa anak
diijinkan dan didorong untuk menjadi senormal mungkinselagi di sekolah.17
h. Nutrisi

36
Nutrisi dan vitamin suplemen (vitamin B dan asam folat) menjadi aspek penting
dalam penatalaksanaan jangka panjang, karena adanya proses retardasi pertumbuhan dan
kerusakan mineralisasi tulang akibat penyakit dan pemberian kortikosteroid.13
Seringkali didapatkan gangguan pertumbuhan, baik lokal karena kerusakan pusat
pertumbuhan tulang maupun umum karena asupan nutrisi yang kurang dan menurunnya
produksi insulin like growth factor. Anak-anak dengan inflamasi kronis mempunyai risiko
untuk terjadi malnutrisi oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan
menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat berkurang. Selain faktor tersebut,
efek samping obat-obatan juga mempengaruhi penurunan nafsu makan. Obat-obatan yang
dapat menurunkan nafsu makan antara lain OAINS dan klorokuin.16
Obesitas mungkin dijumpai pada beberapa kasus, hal ini disebabkan karena
kurangnya aktivitas, intake makanan yang berlebihan atau akibat efek samping
kortikosteroid. Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin, zat besi, dan
kalsium sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada diet.
Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan vitamin D. Dosis untuk
anak umur 1-10 tahun adalah vitamin D 400 IU dan kalsium 400 mg, sedangkan kalsium 800
mg digunakan pada anak lebih dari 10 tahun.16
i. Bedah
Terapi bedah dilakukan hanya pada sebagian kecil JRA yakni pada kasus dimana
terdapat deformitas sendi, ketidakmampuan bergerak atau nyeri yang parah. Pembedahan
adalah pilihan pengobatan yang harus dipertimbangkan bila tidak ada perbaikan dengan obat
maupun terapi fisik serta tidak dapat berjalan dan mengerjakan pekerjaan sehari-hari. 12
Beberapa prosedur pembedahan yang sering digunakan untuk memperbaiki
deformitas sendi, diantaranya dengan:
1)
Membebaskan jaringan lunak pada kontraktur, dengan memotong otot yang
berdempet pada sendi yang bengkok. Setelah otot dan jaringan yang memendek
lainnya dibebaskan, sendi yang terlibat akan kembali ke posisi yang lebih normal.
2)
Penggantian sendi total dilakukan bila terpaksa, dimana sendi yang terlibat telah
sangat rusak yakni sangat sulit atau bahkan sudah tidak bisa untuk berjalan. Hal
penting yang harus dipertimbangkan adalah umur anak, jumlah sendi yang
terlibat, dan dampaknya terhadap mobilitas anak. 12
Prosedur bedah lainnya yang telah digunakan untuk penanganan JRA, namun hanya
direkomendasikan pada beberapa kasus, yakni:

37
1)
Osteotomi, membuang jaringan pada tulang untuk memberikan struktur yang
normal pada sendi. Osteotomi dapat direkomendasikan pada anak dengan
kontraktur sendi yang parah.
2)
Epifisiodesis, dimana bagian dari tulang panjang tumbuh terjadi dibuang untuk
mencegah pertumbuhan lebih lanjut dari tulang.
3)
Sinovektomi atau tenosinovektomi, prosedur ini jarang dilakukan pada JRA.
Sinovektomi adalah operasi penggantian dari sinovium tendosinovektomi
sedangkan adalah operasi pada jaringan yang menyelimuti tendon untuk
mengurangi inflamasi sendi.
4)
Artrodesis, jarang dilakukan pada anak. Prosedur ini dilakukan pada anak yang
terjadi fusi pada dua tulangnya, sehingga sendi tidak mampu bergerak lebih luas.12
Hal yang harus diperhatikan sebelum pembedahan dilakukan adalah usia anak, dan
apakah tulang mereka masih tumbuh. Saat mempertimbangkan penggantian sendi total,
sangat penting untuk memikirkan kebutuhan penggantian total pada sendi lainnya dalam 10-
20 tahun berikutnya. Waktunya tergantung pada umur anak, kemungkinan hidup dengan
sendi pengganti, dan kemungkinan kehilangan kekuatan otot dan tulang bila pembedahan
ditunda terlalu lama.12

11. Prognosis
Pada kebanyakan kasus, JRA berespon secara lambat dan berangsur-angsur terhadap
terapi yang cocok. JRA biasanya sembuh sebelum dewasa. Pasien yang menderita artritis
hanya pada beberapa sendi memiliki prognosis lebih baik dari pada mereka yang telah
menderita penyakit artritis sistemik, yang sulit untuk disembuhkan. Walaupun hal ini dapat
menjadi masalah yang serius, namun hanya sedikit orang yang meninggal karenanya.23
Prognosis bervariasi berdasarkan kepada bentuk JRA. Lebih dari 50% pasien
berkembang menjadi lesi sendi yang berat dengan poliartikuler seropositif, 25% berkembang
menjadi bentuk sistemik, dan 10-20% berupa poliartikuler seronegatif. Penyebab utama
morbiditas pada JRA poliartikuler dan sistemik adalah penyakit sendi kronis.20% anak yang
menderita penyakit pausiartikuler tipe I nantinya berkembang menjadi poliartritis berat. Pada
penyakit pausiartikuler, morbiditas utama adalah iridosiklitis kronis pada penderita tipe I dan
selanjutnya spondiloartropati pada penderita tipe II. 19,24
Dalam perjalanan penyakit mungkin terdapat eksaserbasi, remisi, atau gejala-gejala
dapat berlangsung selama bertahun-tahun dengan artritis ringan atau berat yang menyebabkan
penghancuran sendi dan deformitas permanen sehingga menyebabkan timbulnya cacat.
Penyakit tidak selalu mereda pada masa pubertas. Beberapa penderita terus menderita artritis

38
aktif sampai dewasa, dan beberapa penderita mengalami eksaserbasi sesudah penyakit yang
dalam waktu bertahun-tahun tampak mereda secara sempurna.19
Penderita dengan poliartritis faktor reumatoid-positif dan JRA sistemik mempunyai
prognosis yang paling jelek terhadap fungsi sendi. Namun, prognosis terhadap keseluruhan
baik. Sekurang-kurangnya 75% penderita JRA akhirnya mengalami penyembuhan lama tanpa
deformitas sisa atau kehilangan fungsi. Hanya sedikit yang tetap dengan cacat deformitas
sendi. Kelemehan pada penderita terutama diakibatkan oleh penyakit sendi pinggul berat,
sebagaimana hilangnya visus karena iridosiklitis. Di Eropa, amiloidosis mengenai sekitar 5%
penderita JRA tetapi di Amerika Serikat komplikasi ini jarang ditemui.19,23
Dengan terapi yang tepat, anak dengan segala bentuk dari artritis akan selalu
membaik seiring waktu. Sebagian besar anak dengan artritis tumbuh normal tanpa kesulitan
berarti. Biasanya untuk kasus berat dengan pengobatan yang tepat, terapi fisik dan okupasi
yang tepat dan operasi yang tepat bila diperlukan, sebenarnya tidak satu pun pasien yang
membutuhkan kursi roda. Anak dengan penyakit onset sistemik cenderung berespon baik
dengan pengobatan medis atau berkembang menjadi poliartikular berat yang cenderung
resisten dengan pengobatan medis, dengan penyakit persisten hingga dewasa.23
Saat ini telah banyak kemajuan signifikan dalam pengobatan anak dengan artritis.
Kemajuan pengobatan selama 20 tahun terakhir ini terutama dengan ditemukannya steroid
intraartikular, metotreksat, dan pengobatan biologik telah didapatkan kemajuan dramatis dari
prognosis anak dengan artritis. Hampir semua anak dengan JRA dapat hidup produktif.
Namun, banyak pasien, khususnya yang memiliki penyakit poliartikular, mungkin memiliki
masalah penyakit aktif saat dewasa, dengan mencapai remisi terus-menerus pada sebagian
kecil pasien.23

12. Komplikasi
Beberapa komplikasi penting dapat terjadi akibat JRA. Namun dengan tetap
memantau keadaan anak dan pemberian pengobatan dapat menurunkan resiko dari
komplikasi-komplikasi berikut:23
a. Komplikasi pada mata
Uveitis (inflamasi pada mata) merupakan komplikasi yang sering tanpa gejala.
Biasanya terjadi pada anak perempuan yang memiliki hasil ANA positif. Bila kondisi ini
tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan terjadinya katarak, glaukoma bahkan
kebutaan. Uveitis terkait JRA biasanya asimptomatik. Skrining terhadap uveitis telah
dilakukan selama beberapa tahun dan telah membantu menurunkan prevalensi pasien yang
kehilangan penglihatan.23

39
b. Deformitas tulang
Inflamasi sinovitis dan efek destruksinya pada sendi dapat menyebabkan berbagai
komplikasi neurologis pada pasien rheumatoid arthritis. Kompresi yang berlokasi pada saraf
median di pergelangan tangan merupakan neuropati yang paling banyak dilaporkan pada
pasien rheumatoid arthritis dewasa. Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa saraf median
tidak terpengaruh pada pasien dengan JRA. Namun, perlu penelitian lebih lanjut dengan
sampel lebih besar sehingga dapat mengevaluasi struktur pada carpal tunner. 23
c. Gangguan pertumbuhan
JRA dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tulang anak. Beberapa obat
yang digunakan untuk mengobati JRA, terutama kortikosteroid, juga dapat menghambat
pertumbuhan, menyebabkan diskrepensi panjang tungkai, kaki tidak sama panjang, dan
deformitas tulang. 23
d. Kontraktur sendi
Pada lutut, dapat terjadi kekakuan lutut, deformitas sendi dan kerusakan sendi.
Komplikasi pada tulang leher mengakibatkan anak mengalami kesulitan menekukkan kepala
ke depan. Komplikasi pada tulang punggung berupa keterbatasan gerakan punggung. 23
e. Lainnya
Perkarditis dapat terjadi dengan gejala terseringnya berupa nafas pendek yang tidak
dapat dijelaskan. Dapat juga terjadi anemia atau kelainan darah sejenisnya. Inflamasi dari
arteri pada tangan dan kaki yang dapat mengganggu sirkulasi dan menyebabkan kerusakan
serius pada jari tangan dan jari kaki. Selain itu pernah juga dilaporkan terjadinya inflamasi
hepar. 23

C. Penyakit Celiac
1.
Definisi
Penyakit Celiac adalah penyakit keturunan dimana terjadi intoleransi terhadap gluten
(sejenis protein), yang menyebabkan perubahan dalam usus halus sehingga terjadi gangguan
penyerapan nutrisi yang masuk ke tubuh sehingga menyebabkan berbagai gangguan pada
fungsi tubuh manusia.25

2.
Epidemiologi
Terjadi 1% diantara populasi anak dan dewasa . pada usia dewasa 2-3 kali lebih
banyak perempuan dibanding laki laki. Masih banyak yang underdiagnosis. Di Eropa

40
dilaporkan terdapat 1 penderita pada 77 orang. Di Indonesia di duga angka kejadiannya 1:
100 orang. Salah satu peniliti pernah meniliti pada anak yang berobat di Picky Eaters Clinic
Jakarta (Klinik Khusus Kesulitan Makan Pada Anak) diduga sekitar 34% dari populasi anak
sulit makan adalah penderita penyakit seliak, karena saat dilakukan penghindaran terhadap
diet gluten terdapat perbaikan klinis yang bermakna

3.
Etiologi
a.
Faktor genetik. Factor genetic yang telah di identifikasi adalah HLA-DQ2 atau HLA-
DQ8 protein yang merupakan produk dari gen HLA
b.
Faktor Lingkungan yang berpengaruh adalah pemberian ASI eksklusif, pemberian diet
gluten terlalu dini atau terlalu banyak dan infeksi rotavirus saluran cerna pada bayi
usia muda.
c.
Kepekaan terhadap gluten yaitu protein yang terdapat dalam terigu dan gandum
hitam, barley dan gandum seperti roti, biscuit, pasta.26

4.
Faktor Resiko25
Populasi yang beresiko tinggi terkena penyakit celiac
Anemia defisiensi besi
Penyakit tulang osteopenik
Dm tipe 1
Penyakit liver, khususnya AIH dan PBC
Down and turners syndrome
Autoimmune endocrinopathy, khususnya penyakit tiroid
Dermatitis
Penyakit neorologismtermasuk ataxia, seizures, MG
IgA nephrophaty

5.
Alur
Diagnosa

Bagan 1. Alur
diagnosis
Celiac Disease27

41
Bagan 2. Alur Diagnosis Celiac Disease28

42
6.
Diagnosis
Endoskopi pada pasien dengan suspek celiac disease. Meskipun endoskopi bisa
digunakan sebagai indikasi biopsi intestinal, biasanya tidak begitu sensitif untuk mendeteksi
semua manifestasi celiac disease pada suatu populasi, beberapa karakteristik yang mungkin
ditemukan pada endoskopi meliputi :27
a. Scalloped Folds, fissures and a mozaic pattern
b. Flatened Folds
c. Smaller size and or dissapearings of folds with maximum insufflation

Biopsi Intestinal
Biopsi intestinal bersama serologi positif merupakan gold standard untuk diagnosis
celiac disease. Biopsi multipel biasanya diambil dari bagian kedua atau ketiga daripada
duodenum. Endoskopi menjadi metode paling baik untuk mendapatkan biopsi mukosa
intestinum (suction biopsy)27

Karakteristik histologi dari Celiac Enteropathy


Celiac Disease mempengaruhi mukosa dari intestinum proksimal, denga kerusakan
yang secara bertahap berkurang ke arah distal dari intetinum, meski dalam kasus yang parah,
lesi dapat memanjang hingga ileum. Derajat keparahan lesi di proksimal sangat bervariasi
tergantung dari keparahan penyakit. Kerusakan dapat sangat minimal pada silent case,
dengan abnormalitas sedikit atau hampir tidak ada pada pendeteksian secara histologis pada
pertengahan jejunum. Abnormalitas dari gaster dan rectum bisa jadi ada pada kasus tertentu.27
Kadang kadang, luka pada duodenum atau jejunum bagian atas dapat berupa bercak
(patchy) yang mengharuskan biopsi kedua pada pasien terpilih dengan EMA(Endomysial
Antibody) positif. Meski begitu, ini hanya dapat dilakukan apabila 3 sampel dari biopsi
pertama menunjukkan histologi yang normal.27
Penggunaan Serum Antibodi untuk mendiagnosis celiac disease:27
a. IgA Endomysial Antibody (IgA EMA; keakuratan paling tinggi)
b. IgA tissue Transglutaminase antibody (IgA tTG)
c. IgA antigliadin antibody (IgA AGA)
d. IgG antigliadin antibody (IgG AGA)
Pemeriksaan serologis untuk Celiac Disease bisa dibagi menjadi 2 kelompok
berdasarkan target antigen:27
a. Anti-tTG antibody tests
b. Antigliadin antibody tests

43
IgA EMA. IgA Endomyseal Antibodies terikat oada endomysium, jaringan
penghubung di sekitar otot polos, memproduksi pola khusus yang divisualisasikan oleh
indirect immunofluorecency. Hasil tes dilaporkan sebagai positif atau negatif, karena meski
titer serum IgA EMA ini rendah sudah merupakan tanda spesifik bagi Celiac Disease. Target
antigen telah diidentifikasikan sebagai Tissue Transglutaminase (tTG atau transglutaminase
2). Tes IgA EMA ini mempunyai sensitifitas menengah dan spesifitas tinggi bagi Celiac
Disease (aktif) yang tidak diterapi.27
Anti-Tissue transglutaminase antibodies (IgA tTG). Antigen yang mana
mencerminkan antiendomyseal antibodies ada tTG. Anti-tTG antibodi sangat sensitif dan
spesifik untuk diagnosis Celiac Disease. Tes ELISA untuk igA dan antibodi tTG sekarang
tersedia secara luas dan mudah dilakukan, lebih sedikit tergantung observer, dan biaya lebih
sedikit daripada pemeriksaan imunofluoresensi yang mengecek antibodi IgA Endomyseal.
Keakuratan diagnostik daripada IgA anti-tTG immunoassay telah berkembang lebih jauh
karena menggunakan persiapan tTg manusia sebagai ganti tTg non manusia yang digunakan
sebagai pemeriksaan immunoassay metode sebelumnya.27
Antigladin antibody assays (IgA AGA dan IgG AGA). Gliadin adalah protein utama
dari protein gandum yang kaya akan gluten. Gliadins yang dimurnikan tersedia siap pakai dan
digunakan sebagai antigen pada tes ELISA untuk mendeteksi antibodi serum antigliadin.
Level serum antibodi antigliadin seringkali naik pada Celiac Disease yang tidak diterapi, dan
pemeriksaan antigliadin sudah digunakan selama beberapa tahun sebagai pendekatan
diagnostik. Meski pemeriksaan ini menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas menengah,
dengan pemeriksaan IgA yang sifatnya lebih tinggi, nilai prediktif positifnya dalam suatu
populasi relatif buruk. Pemeriksaan AGA sudah tidak dianjurkan karena sensitifitas dan
spesifisitas yang lebih rendah.27

7.
Sign and Symptom
Gejala dan tanda dibagi menjadi 2: simptomatis dan asimptomatis 27
Simptomatis :
a. Diare Persisten
b. Pertumbuhan terhambat, idiopathic short stature
c. Nyeri perut, muntah, distensi abdomen
d. Konstipasi
e. Dermatitis herpetiformis
f. Defek enamel gigi
g. Osteoporosis / fraktur patologis

44
h. Menarche terlambat
i. Anemia yang tidak bisa dijelaskan atau anemia defisiensi besi(Anemia gagal terapi)
j. Recurrent aphthous stomatitis
k. Penyakit hati yang tidak bisa dijelaskan
l. Kelemahan badan.
Asimtomatis
a. Type I diabetes ( 8%)
b. Defisiensi IgA Selektif (1.7 - 7.7%)
c. Down (5-12%), Williams (8.2%) and Turner (4.1 - 8.1%) Syndromes
d. Tiroiditis autoimun (~15%)
e. Penyakit Hati Autoimun
f. Peningkatan serum Transaminase tanpa penyakit hati yang diketahui
g. Dermatitis herpetiformis
h. Hubungan dengan penderita celiac:
- 1st degree relative (~10%)
- HLA matched sibling (~30 - 40%)
- Monozygotic twin(~70%)

8.
Patofisiologi
Celiac disease adalah kelainan multifaktoral dan multisistem yang meliputi genetik,
paparan dari lingkungan dan respon imun terhadap gluten.
a. Genetik
Penderita dengan celiac disease mayoritas 90% memiliki haplotype HLA DQ2 dan 5-
10% yang memiliki haplotype DQ 8.
b. Enviromental
Kejadian pada anak-anak dengan celiac disease meningkat selama perang dunia ke II
ketika sereal yang dipakai untuk membuat roti sangat langka. Dan kejadian membaik
setelah perang itu sudah berakhir dan ketika suplai sereal kembali normal. Resiko
meningkatnya perkembangan celiac disease dengan adanya pengenalan gluten dalam
makanan bayi dibawah usia 4 bulan. Grain (biji-bijian) yang mengaktifkan penyakit
ini terdiri dari protein-protein yang dapat membentuk gluten (prolamin: glutenins dan
gliadins) dan meliputi gandum, terigu dan selai.
Grain (biji-bijian) yang tidak mengaktifkan celiac disesase: beras, jagung, sorghum
dan millet. Oats yang terdiri dari bagian yang sangat kecil dari prolamin harus
dihindari sejak dini.
c. Immunologik
Paparan pada mukosa saluran cerna bagian atas terhadap gluten akan memicu reaksi
imun alami dengan immune buatan (innate dan adaptive). Enzim transglutaminase
yang berada lamina propia usus halus mendeamidase glutaminase residual di gluten

45
untuk membentuk asam glutamat. Asam glutamat adalah molekul negatif yang
dikenali oleh APC (antigen presentasing cell) dari HLA DQ2/DQ8 untuk limfosit T.
Limfosit T menjadi teraktivasi dan mulain membelah secara cepat dan mensekresikan
beberapa immunodulator seperti immunoglobin, cytokine, interferon,TNF, IL-15 & 17
yang dapat menyebabkan kerusakan enterocyte dan berakibat atrofi vilus.

9.
Terapi
a.
Diet : restriksi gluten seumur hidup. Menghindari gandum, terigu, gandum hitam,
jelai. Laktosa sangat tidak ditoleransi pada stadium akut karena atrofi mukosa
menyebabkan defisiensi enzim disakaridase. Sejumlah normal lemak dapat
disarankan. Supplemen kalori, vitamin, dan mineral diindikasikan pada fase akut.26
Supplemen Fe dapat diperlukan jika diarenya berkepanjangan.29
b.
Kortikosteroid : kortikosteroid dapat mempercepat perbaikan klinis tapi hanya
diindikasikan pada pasien yang sangat sakit dengan anorexia yang parah, malnutrisi,
diare, edema, distensi abdomen, dan hipokalemia.26

10.
Prognosa :
a.
Perbaikan klinis dimulai setelah 1 minggu, perbaikan klinis dan histologist yang
lengkap butuh 3 12 bulan. Titer tissue transglutaminase dapat menurun pada diet
bebas gluten, namun biasanya tidak hilang.
b.
Pemulihan klinis dan histologi berjalan lambat.
c.
Sensitivitas terhadap gluten terjadi seumur hidup.
d.
10% dari saudara tingkat I menderita kelainan genetik yang sama.29
e.
Limfoma ganas pada usus kecil terjadi pada dewasa dengan penyakit yang
berkepanjangan. Terapi diet menurunkan resiko komplikasi ini.26

D. Demam Rematik

1. Definisi
Demam reumatik merupakan penyakit peradangan akut yang dapat menyertai
faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A.30

2. Etiologi
Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat interaksi
individu, penyebab penyakit dan faktor lingkungan. Infeksi Streptococcus beta hemolyticus
grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik, baik pada serangan

46
pertama maupun serangan ulangan. Untuk menyebabkan serangan demam reumatik,
Streptokokus grup A harus menyebabkan infeksi pada faring, bukan hanya kolonisasi
superficial. Berbeda dengan glumeronefritis yang berhubungan dengan infeksi Streptococcus
di kulit maupun di saluran napas, demam reumatik agaknya tidak berhubungan dengan
infeksi Streptococcus di kulit31.
Hubungan etiologis antara kuman Streptococcus dengan demam reumatik diketahui
dari data sebagai berikut:31
a. Pada sebagian besar kasus demam reumatik akut terdapat peninggian kadar antibodi
terhadap Streptococcus atau dapat diisolasi kuman beta-Streptococcus hemolyticus
grup A, atau keduanya.
b. Insidens demam reumatik yang tinggi biasanya bersamaan dengan insidens oleh beta-
Streptococcus hemolyticus grup A yang tinggi pula. Diperkirakan hanya sekitar 3%
dari individu yang belum pernah menderita demam reumatik akan menderita
komplikasi ini setelah menderita faringitis Streptococcus yang tidak diobati.
c. Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila penderita mendapat
pencegahan yang teratur dengan antibiotika.

3. Faktor Predisposisi

Faktor Individu
a. Faktor Genetik
Banyak demam reumatik/penyakit jantung reumatik yang terjadi pada satu keluarga
maupun pada anak-anak kembar. Karenanya diduga variasi genetik merupakan alasan penting
mengapa hanya sebagian pasien yang terkena infeksi Streptococcus menderita demam
reumatik, sedangkan cara penurunannya belum dapat dipastikan.31
b. Jenis Kelamin
Tidak didapatkan perbedaan insidens demam reumatik pada lelaki dan wanita.
Meskipun begitu, manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada salah satu jenis
kelamin, misalnya gejala korea jauh lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki.
Kelainan katub sebagai gejala sisa penyakit jantung reumatik juga menunjukkan perbedaan
jenis kelamin. Pada orang dewasa gejala sisa berupa stenosis mitral lebih sering ditemukan
pada wanita, sedangkan insufisiensi aorta lebih sering ditemukan pada laki-laki.31
c. Golongan Etnik dan Ras
Belum bisa dipastikan dengan jelas karena mungkin berbagai faktor lingkungan yang
berbeda pada golongan etnik dan ras tertentu ikut berperan atau bahkan merupakan sebab

47
yang sebenarnya. Yang telah dicatat dengan jelas ialah terjadinya stenosis mitral. Di negara-
negara barat umumnya stenosis mitral terjadi bertahun-tahun setelah serangan penyakit
jantung reumatik akut. Tetapi data di India menunjukkan bahwa stenosis mitral organik yang
berat seringkali sudah terjadi dalam waktu yang relatif singkat, hanya 6 bulan-3 tahun setelah
serangan pertama.31
d. Umur
Paling sering pada umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak
biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum umur 3 tahun
atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi
Streptococcus pada anak usia sekolah.31
e. Keadaan Gizi dan adanya penyakit lain
Belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi. Hanya sudah
diketahui bahwa penderita sickle cell anemia jarang yang menderita demam
reumatik/penyakit jantung reumatik.31

Faktor-faktor Lingkungan
a. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk
terjadinya demam reumatik. Termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk ialah
sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan
sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang sakit sangat kurang, pendapatan yang
rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain.31
b. Iklim dan Geografi
Penyakit ini terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir
ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi
daripada yang diduga semula. Di daerah yang letaknya tinggi agaknya insidens lebih tinggi
daripada di dataran rendah.31
c. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas
meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.31

4. Patogenesis
Meskipun pengetahuan serta penelitian sudah berkembang pesat, namun mekanisme
terjadinya demam reumatik yang pasti belum diketahui. Pada umumnya para ahli sependapat
bahwa demam reumatik termasuk dalam penyakit autoimun.31

48
Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel;
yang terpenting diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase, streptokinase,
disfosforidin nukleotidase, deoksiribonuklease serta streptococcal erythrogenic toxin.
Produk-produk tersebut merangsang timbulnya antibodi.30,31
Demam reumatik diduga merupakan akibat kepekaan tubuh yang berlebihan terhadap
beberapa produk ini. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang adanya reaksi silang antibodi
terhadap Streptococcus dengan otot jantung yang mempunyai susunan antigen mirip antigen
streptococcus, hal inilah yang menyebabkan reaksi autoimun.30,31
ASTO (anti streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal dan paling sering
digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Lebih kurang 80% penderita
demam reumatik/penyakit jantung reumatik akut menunjukkan kenaikan titer ASTO ini; bila
dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap Streptococcus, maka pada 95% kasus demam
reumatik/penyakit jantung reumatik didapatkan peninggian atau lebih antibodi terhadap
Streptococcus.31
Penelitian menunjukkan bahwa komponen streptokokus yang lain memiliki reaktivitas
bersama dengan jaringan lain. Ini meliputi reaksi silang imunologik di antara karbohidrat
streptokokus dan glikoprotein katup, di antara membran protoplasma streptokokus dan
jaringan saraf subtalamus serta nuklei kaudatus dan antara hialuronat kapsul dan kartilago
artikular. Reaktivitas silang imunologik multiple tersebut dapat menjelaskan keterlibatan
organ multiple pada demam reumatik.31
Peran antibodi sebagai mediator cedera jaringan belum sepenuhnya diterima. Adanya
antibodi bereaksi silang yang serupa pada serum pasien tanpa demam reumatik mendorong
penelitian mediator imun lain. Data muthakir menunjukkan pada sitotoksitas yang ditengahi
oleh sel sebagai mekanisme alternatife untuk cedera jaringan. Penelitian menunjukkan bahwa
limfosit darah perifer pasien dengan karditis reumatik akut adalah sitotoksik terhadap sel
miokardium yang dibiak in vitro, dan bahwa serum penderita demam reumatik
menghapuskan pengaruh sitotoksik tersebut. Ini memberi kesan bahwa antibodi yang
bereaksi silang dapat mempunyai pengaruh protektif dalam pejamu tersebut. Sekarang
hipotesis yang paling banyak dipercaya adalah bahwa mekanisme imunologik, humoral atau
selular, menyebabkan cedera jaringan pada demam reumatik.30

5. Patologi
Dasar kelainan patologi demam reumatik ialah reaksi inflamasi eksudatif dan
proliferatif jaringan mesenkim. Kelainan yang menetap hanya terjadi pada jantung; organ lain
seperti sendi, kulit, pembuluh darah, jaringan otak dan lain-lain dapat terkena tetapi selalu

49
reversibel3. Proses patologis pada demam reumatik melibatkan jaringan ikat atau jaringan
kolagen. Meskipun proses penyakit adalah difus dan dapat mempengaruhi kebanyakan
jaringan tubuh, manifestasi klinis penyakit terutama terkait dengan keterlibatan jantung,
sendi, dan otak.30
a. Jantung
Keterlibatan jantung pada demam reumatik dapat mengenai setiap komponen
jaringannya. Proses radang selama karditis akut paling sering terbatas pada endokardium dan
miokardium, namun pada pasien dengan miokarditis berat, perikardium dapat juga terlibat.
Beberapa dengan pada penyakit kolagen lain seperti lupus eritematosus sistematik atau
artristis reumatoid juvenil (pada kedua penyakit ini serositas biasanya ditunjukkan oleh
perikarditis), pada demam reumatik jarang ditemukan perikaditis tanpa endokarditis atau
miokarditis. Perikaditis pada pasien reumatik bisanya menyatakan adanya pankarditis atau
perluasan proses radang.30
Penemuan histologis pada karditis reumatik akut tidak selalu spesifik. Tingkat
perubahan histologis tidak perlu berkolerasi dengan derajat klinis. Pada stadium awal, bila
ada dilatasi jantung, perubahan histologis dapat minimal, walaupun gangguan fungsi jantung
mungkin mencolok.30
Dengan berlanjutnya radang, perubahan eksudatif dan proliferatif menjadi lebih jelas.
Stadium ini ditandai dengan perubahan edematosa jaringan, disertai oleh infiltrasi selular
yang terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan beberapa granulosit. Fibrinoid, bahan
granular eusinofil ditemukan tersebar di seluruh jaringan dasar. Bahan ini meliputi serabut
kolagen ditambah bahan granular yang berasal dari kolagen yang sedang berdegenerasi dalam
campuran fibrin, globulin, dan bahan-bahan lain. Jaringan lain yang terkena oleh proses
penyakit, seperti jaringan sendi, dapat menunjukkan fibrinoid; hal ini dapat juga terjadi dalam
jaringan yang sembuh pada pasien penyakit kolagen lain.30
Pembentukan sel Aschoff atau benda Aschoff diuraikan oleh Aschoff pada tahun
1940, menyertai stadium di atas. Lesi patognomonis ini terdiri dari infiltrat perivaskular sel
besar dengan inti polimorf dan sitoplasma basofil tersusun dalam roset sekeliling pusat
fibrinoid yang avaskular. Beberapa sel mempunyai inti banyak, atau mempunyai inti mata
burung hantu dengan titik-titik dan fibril eksentrik yang menyebar ke membran inti, atau
mempunyai susunan kromatin batang dengan tepi gigi gergaji dan nukleus kisi-kisi atau
lingkaran yang melilit. Sel-sel yang khas ini disebut monosit Anitschkow.30
Benda Aschoff dapat ditemukan pada setiap daerah miokardium tetapi paling sering
ditemukan dalam jaringan aurikular kiri. Benda Aschoff ditemukan paling sering dalam
jaringan miokardium pasien yang sembuh dari miokarditis reumatik subakut atau kronik. Sel

50
Aschoff dapat tampak dalam fase akut; mungkin pasien ini menderita karditis kronik dengan
kumat demam reumatik. Jarang sel Aschoff ditemukan dalam jaringan jantung pasien tanpa
riwayat demam reumatik.30
Reaksi radang juga mengenai lapisan endokardium yang mengakibatkan endokarditis.
Proses endokarditis tersebut mengenai jaringan katup serta dinding endokardium. Radang
jaringan katup menyebabkan manifestasi klinis yang mirip karditis reumatik. Yang paling
sering terlibat adalah katup mitral, disusul katup aorta. Katup trikuspid jarang terlibat, dan
katup pulmonal jarang sekali terlibat.30
Tinjauan etiologi penyakit katup oleh Roberts menunjukkan bahwa etiologi reumatik
70% dari kasus dapat berasal dari penyakit katup mitral murni (isolated) dan hanya 13% dari
kasus yang berasal dari penyakit katup aorta murni. Pada pasien yang kedua katupnya (mitral
dan aorta) terlibat, kemungkinan etiologi reumatik adalah 97%.30
Radang awal pada endokarditis dapat menyebabkan terjadinya insufisiensi katup.
Penemuan histologis dalam endokarditis terdiri dari edema dan linfiltrasi selular jaringan
katup dan korda tendine. Lesi yang khas endokarditis reumatik adalah tambalan (patch)
MacCallum, daerah jaringan menebal yang ditemukan dalam atrium kiri, yakni di atas dasar
daun katup mitral posterior. Degenerasi hialin pada katup yang terkena akan menyebabkan
pembentukan veruka pada tepinya, yang akan menghalangi pendekatan daun-daun katup
secara total dan menghalangi penutupan ostium katup. Dengan radang yang menetap,
terjadilah fibrosis dan klasifikasi katup. Klasifikasi mikroskopik dapat terjadi pada pasien
muda dengan penyakit katup reumatik. Jikalau tidak ada pembalikan proses dan
penyembuhan, proses ini akhirnya akan menyebabkan stenosis dan perubahan pengapuran
yang kasar, yang terjadi beberapa tahun pascaserangan.30
Pasien dengan pankarditis, di samping menderita miokarditis juga menderita
perikarditis. Eksudat fibrin menutupi permukaan viseral maupun sisi permukaan serosa
(serositis), dan cairan serohemoragis yang bervariasi volumenya berada dalam rongga
perikardium.30
b. Organ-organ lain
Ruam kulit mencerminkan terdapatnya vaskulitis yang mendasari, yang mungkin ada
pada setiap bagian tubuh dan yang paling sering mengenai pembuluh darah yang lebih kecil.
Pembuluh darah ini menunjukkan proliferasi sel endotel. Nodul subkutan jarang ditemukan
pada pasien demam reumatik akut; kalaupun ada, nodul ini cenderung ditemukan pada pasien
dengan penyakit katup kronik, terutama stenosis mitral. Histologi nodul subkutan terdiri dari
nekrosis fibrinoid sentral yang dikelilingi oleh sel-sel epitel dan mononuklear. Lesi histologis
tersebut serupa dengan lesi pada benda Ascoff, suatu tanda patologis karditis reumatik.30

51
Seperti pada perikarditis, patologi artritis pada dasarnya sama, yaitu serositis. Pada
artritis reumatik jaringan tulang rawan (kartilago) tidak terlibat, akan tetapi lapisan sinovia
menunjukkan terjadinya degenerasi fibrinoid. Patologi nodulus subkutan, yang membentuk
penonjolan di atas tonjolan tulang dan permukaan tendo ekstensor, telah diuraikan di atas.30
Vaskulitis, yang merupakan dasar proses patologis eritema marginatum, juga
menyebabkan lesi ekstrakardial lain seperti keterlibatan paru dan ginjal yang kadang
ditemukan pada demam reumatik akut. Demikian pula, vaskulitis dapat merupakan proses
patologis yang berhubungan dengan korea Sydenham (St. Vitus dance). Ganglia basalis dan
serebellum adalah tempat perubahan patologis yang sering ditemukan pada pasien dengan
gejala korea Sydenham. Perubahan ini terdiri dari perubahan selular dengan infiltrasi
perivaskular oleh sel limfosit1. Pada literatur lain menyebutkan kelainan-kelainan pada
susunan saraf pusat ini (korteks, ganglia basalis, serebellum) tidak dapat menerangkan
terjadinya korea, kelainan tersebut dapat ditemukan pada penderita demam reumatik yang
meninggal dan diautopsi tetapi sebelumnya tidak pernah menunjukkan gejala korea.31

6. Manifestasi Klinis
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantung reumatik dapat dibagi
dalam 4 stadium:
Stadium I
Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-Streptococcus
hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak
jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik
sering didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-tanda peradangan lainnya. Kelenjar
getah bening submandibular seringkali membesar. Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari
dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.31
Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas pada
penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi 10-14 hari
sebelum manifestasi pertama demam reumatik/penyakit jantung reumatik. 31
Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus dengan
permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali
korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.31
Stadium III
Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinik
demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinik tersebut dapat digolongkan

52
dalam gejala peradangan umum (gejala minor) dan manifestasi spesifik (gejala mayor)
demam reumatik/penyakit jantung reumatik.31

Manifestasi Klinis Mayor


a. Karditis
Karditis pada demam reumatik akut ditemukan pada sekitar 50% pasien, yang
cenderung meningkat dengan tajam pada pengamatan mutakhir30. Dua laporan yang paling
baru, dari Florida dan Utah, melaporkan karditis pada 75% pasien demam reumatik akut.
Angka ini didasarkan kepada diagnosis yang ditegakkan hanya dengan auskultasi, dan bahkan
lebih tinggi bila alat ekokardiografi Doppler 91% pasien menunjukkan keterlibatan jantung 1.
Pada literatur lain menyebutkan yaitu sekitar 40-80% dari demam reumatik akan berkembang
menjadi pankarditis.32
Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada demam reumatik akut, dan
menyebabkan mortalitas paling sering selama stadium akut penyakit. Bahkan sesudah fase
akut, cedera sisa pada katup dapat menyebabkan gagal jantung yang tidak mudah ditangani,
dan seringkali memerlukan intervensi bedah. Selanjutnya mortalitas dapat terjadi akibat
komplikasi bedah atau dari infeksi berikut yang menyebabkan endokarditis bakteri.30
Banyak dokter memandang karditis sebagai manifestasi demam reumatik yang paling
khas. Karditis dengan insufisiensi mitral diketahui dapat berkaitan dengan infeksi virus,
riketsia, dan mikoplasma. Namun demam reumatik tetap merupakan penyebab utama
insufisiensi mitral didapat pada anak dan dewasa muda. Meskipun laporan dari negara
berkembang mengambarkan insidens penyakit jantung reumatik yang tinggi pada anak muda,
demam reumatik dan karditis reumatik jarang ditemukan pada anak umur di bawah 5 tahun.
Penyakit ini terkait dengan gejala nonspesifik meliputi mudah lelah, anoreksia, dan kulit
pucat kekuningan. Mungkin terdapat demam ringan dan mengeluh bernapas pendek, nyeri
dada, dan artralgia. Pemeriksaan jantung mungkin menunjukkan keterlibatan jantung, dan
pada sebagian pasien dapat terjadi gagal jantung.
Karditis dapat merupakan manifestasi tunggal atau terjadi bersamaan dengan satu atau
lebih manifestasi lain. Kadang artritis dapat mendahului karditis; pada kasus demikian tanda
karditis biasanya akan muncul dalam 1 atau 2 minggu; jarang terjadi keterlibatan jantung
yang jelas di luar interval ini.
Seperti manifestasi yang lain, derajat keterlibatan jantung sangat bervariasi. Karditis
dapat sangat tidak kentara, seperti pada pasien dengan korea, tanda insufisiensi mitral dapat
sangat ringan dan bersifat sementara, sehingga mudah terlewatkan pada auskultasi. Karditis
yang secara klinis mulainya lambat mungkin sebenarnya mengambarkan progresivitas

53
karditis ringan yang semula tidak dideteksi. Pasien yang datang dengan manifestasi lain harus
diperiksa dengan teliti untuk menyingkirkan adanya karditis. Pemeriksaan dasar, termasuk
elektrokardiografi dan ekokardiografi, harus selalu dilakukan. Pasien yang ada pada
pemeriksaan awal tidak menunjukkan keterlibatan jantung harus terus dipantau dengan ketat
untuk mendeteksi adanya karditis sampai tiga minggu berikutnya. Jikalau karditis tidak
muncul dalam 2 sampai 3 minggu pascaserangan, maka selanjutnya ia jarang muncul.
Takikardia merupakan salah satu tanda klinis awal miokarditis. Pengukuran frekuensi
jantung paling dapat dipercaya apabila pasien tidur. Demam dan gagal jantung menaikkan
frekuensi jantung; sehingga mengurangi nilai diagnostik takikardia. Apabila tidak terdapat
demam atau gagal jantung, frekuensi jantung saat pasien tidur merupakan tanda yang
terpercaya untuk memantau perjalanan karditis.
Miokarditis dapat menimbulkan disritmia sementara; blok atrioventrikular total
biasanya tidak ditemukan pada karditis reumatik. Miokarditis kadang sukar untuk dicatat
secara klinis, terutama pada anak muda yang tidak terdengar bising yang berarti. Pada
umumnya, tanda klinis karditis reumatik meliputi bising patologis, terutama insufisiensi
mitral, adanya kardiomegali secara radiologis yang makin lama makin membesar, adanya
gagal jantung dan tanda perikarditis.
Terdapatnya gagal jantung kongestif, yaitu tekanan vena leher yang meninggi, muka
sembab, hepatomegali, ronki paru, urin sedikit dan bahkan edema pitting, semuanya dapat
dipandang sebagai bukti karditis. Hampir merupakan aksioma, setiap anak dengan penyakit
jantung reumatik yang datang dengan gagal jantung pasti menderita karditis aktif. Hal ini
berbeda dengan orang tua, padanya gagal jantung kongestif dapat terjadi sebagai akibat stres
mekanik pada jantung karena keterlibatan katup reumatik. Pada anak dengan demam
reumatik, gagal jantung kanan, terutama yang disertai dengan edema muka, mungkin terjadi
sekunder akibat gagal jantung kiri. Gagal jantung kiri pada anak reumatik relatif jarang
ditemukan.
Endokarditis, radang daun katup mitral dan aorta serta kordae katup mitral,
merupakan komponen yang paling spesifik pada karditis reumatik. Katup-katup pulmonal
dan trikuspid jarang terlibat. Insufisiensi mitral paling sering terjadi pada karditis reumatik,
yang ditandai oleh adanya bising holosistolik (pansistolik) halus, dengan nada tinggi. Bising
ini paling baik terdengar apabila pasien tidur miring ke kiri. Pungtum maksimum bising
adalah di apeks, dengan penjalaran ke daerah aksila kiri. Apabila terdapat insufisiensi mitral
yang bermakna, dapat pula terdengar bising stenosis mitral relatif yaitu bising mid-diastolik
sampai akhir diastolik yang bernada rendah. Bising ini disebut bising Carey-Coombs, terjadi
karena sejumlah besar darah didorong melalui lubang katup ke dalam ventrikel kiri selama

54
fase pengisian, menghasilkan turbulensi yang bermanifestasi sebagai bising aliran (flow
murmur).
Insufisiensi aorta terjadi pada sekitar 20% pasien dengan karditis reumatik.
Insufisiensi ini dapat merupakan kelainan katup tunggal tetapi biasanya bersama dengan
infusiensi mitral. Infisiensi aorta ini ditandai oleh bising diastolik dini dekresendo yang mulai
dari komponen aorta bunyi jantung kedua. Bising ini bernada sangat tinggi, sehinggga paling
baik didengar dengan stetoskop membran (diafragma) pada sela iga ketiga kiri dengan pasien
pada posisi tegak, terutama jika pasien membungkuk ke depan dan menahan napasnya selama
ekspirasi. Bising ini mungkin lemah, dan karenanya sering gagal dikenali oleh pemeriksa
yang tidak terlatih. Pada infusiensi aorta yang berat, bising terdengar keras dan mungkin
disertai getaran bising diastolik. Pada kasus ini tekanan nadi yang naik karena lesi aorta yang
besar digambarkan sebagai nadi perifer yang melompat-lompat (water-hammer pulse).
Keterlibatan katup pulmonal dan trikuspid jarang terjadi; ia ditemukan pada pasien dengan
penyakit jantung reumatik yang kronik dan berat. Pemeriksaan ekokardiografi-Doppler
menunjukkan bahwa kelainan pada katup trikuspid dan pasien demam reumatik pulmonoal
ini lebih banyak daripada yang dipekirakan sebelumnya.
Miokarditis atau insufisiensi katup yang berat dapat menyebabkan terjadinya gagal
jantung. Gagal jantung yang jelas terjadi pada sekitar 5% pasien demam reumatik akut,
terutama pada anak yang lebih muda. Di Yogyakarta pasien yang datang dengan gagal
jantung jelas dapat mencapai 65% karena kasus yang dapat berobat ke rumah sakit terdiri atas
pasien demam reumatik akut serangan pertama dan demam reumatik akut serangan ulang.
Lagipula pasien di Yogyakarta baru berobat apabila telah timbul gejala dan tanda gagal
jantung.
Manifestasi gagal jantung meliputi batuk, nyeri dada, dispne, ortopne, dan anoreksia.
Pada pemeriksaan terdapat takikardia, kardiomegali, dan hepatomegali dengan hepar yang
lunak. Edema paru terjadi pada gagal jantung sangat bervariasi.
Pembesaran jantung terjadi bila perubahan hemodinamik yang berat terjadi akibat
penyakit katup. Pembesaran jantung yang progresif dapat terjadi akibat pankarditis, yaitu
karena dilatasi jantung akibat miokarditis ditambah dengan akumulsi cairan perikardium
parietale dan viserale. Penggesekan permukaan yang meradang menimbulkan suara gesekan
yang dapat didengar. Bising gesek ini terdengar paling baik di midprekordium pada pasien
dalam posisi tegak, sebagai suara gesekan permukaan. Bising gesek dapat didengar pada
sistole atau diastole tergantung pada apakah pergeseran timbul oleh kontraksi maupun
relaksasi ventrikel. Pengumpulan cairan yang banyak menyebabkan terjadinya pergeseran
perikardium, sehingga dapat mengakibatkan menghilangnya bising gesek. Bising gesek pada

55
pasien parditis reumatik hampir selalu merupakan petunjuk adanya pankarditis. Perikarditis
yang tidak disertai dengan endokarditis dan miokarditis biasanya bukan disebabkan demam
reumatik.
Irama derap yang mungkin terdengar biasanya berupa derap protodiastolik, akibat
aksentuasi suara jantung ketiga. Derap presistolik agak jarang terjadi, akibat pengerasan suara
jantung keempat yang biasanya tidak terdengar, atau derap kombinasi, yaitu kombinasi dari
dua derap (summation gallop).
b. Artritis
Artritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik. Walaupun
merupakan manifestasi mayor yang paling sering, artritis ini paling tidak spesifik dan sering
menyesatkan diagnosis. Insidens artritis yang rendah dilaporkan pada penjangkitan demam
reumatik akhir-akhir ini di Amerika Serikat, mungkin akibat pedekatan diagnosis yang
berbeda. Kebanyakan laporan menunjukkan artritis sebagai manifestasi reumatik yang paling
sering, tetapi bukan yang paling serius, seperti kata Lasegue, demam reumatik menjilat sendi
namun menggigi jantung.30
Artritis menyatakan secara tidak langsung adanya radang aktif sendi, ditandai oleh
nyeri yang hebat, bengkak, eritema, dan demam. Meskipun tidak semua manifestasi ada,
tetapi nyeri pada saat istirahat yang menghebat pada gerakan aktif atau pasif biasanya
merupakan tanda yang mencolok. Intensitas nyeri dapat menghambat pergerakan sendi
hingga mungkin seperti pseudoparalisis.30
Artritis harus dibedakan dari artralgi, karena pada artralgia hanya terjadi nyeri ringan
tanpa tanda objektif pada sendi. Sendi besar paling sering terkena, yang terutama adalah
sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi perifer yang kecil jarang
terlibat. Artritis reumatik bersifat asimetris dan berpindah-pindah (poliartritis migrans).
Proses radang pada satu sendi dapat sembuh secara spontan sesudah beberapa jam serangan,
kemudian muncul artritis pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien, artritis sembuh
dalam 1 minggu, dan biasanya tidak menetap lebih dari 2 atau 3 minggu. Artritis demam
reumatik berespons dengan cepat terhadap salisilat bahkan pada dosis rendah, sehingga
perjalanan artritis dapat diperpendek dengan nyata dengan pemberian aspirin.30
Pemeriksaan radiologis sendi tidak menunjukkan kelainan kecuali efusi. Meskipun
tidak berbahaya, artritis tidak boleh diabaikan; ia harus benar-benar diperhatikan, baik yang
berat maupun yang ringan. Sebelum terburu-buru ke laboratorium untuk memikirkan
skrining kolagen yang lain, ia harus diperiksa dengan anamnesis yang rinci serta
pemeriksaan fisis yang cermat.30
c. Korea Sydenham

56
Korea Sydenham, korea minor, atau St. Vitus dance, mengenai sekitar 15% pasien
demam reumatik. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan sistem saraf pusat, terutama
ganglia basal dan nuklei kaudati, oleh proses radang. Hubungan korea Sydenham dengan
demam reumatik tetap tidak jelas untuk waktu yang lama. Hubungan tersebut tampak pada
pasien dengan manifestasi reumatik, terutama insufisiensi mitral, yang semula datang hanya
dengan korea Sydenham. Sekarang jelas bahwa periode laten antara infeksi streptokokus dan
awal korea lebih lama daripada periode laten untuk artritis atau karditis. Periode laten
manifestasi klinis artritis atu karditis adalah sekitar 3 minggu, sedangkan manifestasi klinis
korea dapat mencapai 3 bulan atau lebih.30
Pasien dengan korea datang dengan gerakan yang tidak disengaja dan tidak bertujuan,
inkoordinasi muskular, serta emosi yang labil. Manifestasi ini lebih nyata apabila pasien
dalam keadaan stres. Gerakan abnormal ini dapat ditekan sementara atau sebagian oleh
pasien dan menghilang pada saat tidur. Semua otot terkena, tetapi yang mencolok adalah otot
wajah dan ekstremitas. Pasien tampak gugup dan menyeringai. Lidah dapat terjulur keluar
dan masuk mulut dengan cepat dan menyerupai kantong cacing. Pasien korea biasanya
tidak dapat mempertahankan kestabilan tonus dalam waktu yang pendek.30
Biasanya pasien berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak. Ekstensi lengan di atas
kepala menyebabkan pronasi satu atau kedua tangan (tanda pronator). Kontraksi otot tangan
yang tidak teratur tampak jelas bila pasien menggenggam jari pemeriksa (pegangan pemerah
susu). Apabila tangan diekstensikan ke depan, maka jari-jari berada dalam keadaan
hiperekstensi (tanda sendok atau pinggan). Koordinasi otot halus sukar. Tulisan tangannya
buruk, yang ditandai oleh coretan ke atas yang tidak mantap.30 Bila disuruh membuka dan
menutup kancing baju, pasien menunjukkan inkoordinasi yang jelas, dan ia menjadi mudah
kecewa. Kelabilan emosinya khas, pasien sangat mudah menangis, dan menunjukkan reaksi
yang tidak sesuai.30,32 Orangtua sering cemas oleh kecanggungan pasien yang reaksi yang
mendadak. Guru memperhatikan bahwa pasien kehilangan perhatian, gelisah, dan tidak
koperatif. Sebagai pasien mungkin disalahtafsirkan sebagai menderita kelainan tingkah laku.
Meskipun tanpa pengobatan sebagian besar korea minor akan menghilang dalam waktu 1-2
minggu. Pada kasus yang berat, meskipun dengan pengobatan, korea minor dapat menetap
selama 3-4 bulan, bahkan dapat sampai 2 tahun.30
Insidens korea pada pasien demam reumatik sangat bervariasi dan cenderung
menurun, tetapi pada epidemi mutakhir di Utah korea terjadi pada 31% kasus. Korea tidak
biasa terjadi sesudah pubertas dan tidak terjadi pada dewasa, kecuali jarang pada wanita
hamil (korea gravidarum). Korea ini merupakan satu-satunya manifestasi yang memilih

57
jenis kelamin, yakni dua kali lebih sering pada anak wanita dibanding pada lelaki. Sesudah
pubertas perbedaan jenis kelamin ini bertambah.30
d. Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan khas untuk demam reumatik dan jarang ditemukan pada
penyakit lain. Karena khasnya, ia termasuk dalam manifestasi mayor. Data kepustakaan
menunjukkan bahwa eritema marginatum ini hanya terjadi pada lebih-kurang 5% pasien.
Pada literatur lain menyebutkan eritema ini ditemukan pada kurang dari 10% kasus. Ruam ini
tidak gatal, maskular, dengan tepi eritema yang menjalar dari bagian satu ke bagian lain
mengelilingi kulit yang tampak normal. Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm, tersering pada
batang tubuh dan tungkai proksimal, dan tidak melibatkan wajah. Pemasangan handuk hangat
atau mandi air hangat dapat memperjelas ruam. Eritema sukar ditemukan pada pasien berkulit
gelap. Ia biasanya timbul pada stadium awal penyakit, kadang menetap atau kembali lagi,
bahkan setelah semua manifestasi klinis lain hilang. Eritema biasanya hanya ditemukan pada
pasien dengan karditis, seperti halnya nodul subkutan. Menurut literatur lain, eritema ini
sering ditemukan pada wanita dengan karditis kronis.30,32
e. Nodulus Subkutan
Frekuensi manifestasi ini telah menurun sejak beberapa dekade terakhir, saat ini jarang
ditemukan, kecuali pada penyakit jantung reumatik kronik. Penelitian mutakhir melaporkan
frekuensi nodul subkutan kurang dari 5%. Namun pada laporan mutakhir dari Utah nodul
subkutan ditemukan pada sekitar 10% pasien. Nodulus terletak pada permukaan ekstensor
sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut dan persendian kaki. Kadang nodulus ditemukan
pada kulit kepala dan di atas kolumna vetrebralis. Ukurannya bervariasi dari 0,5-2 cm, tidak
nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Nodul subkutan pada pasien demam reumatik akut
biasanya lebih kecil dan lebih cepat menghilang daripada nodul pada reumatoid artritis. Kulit
yang menutupinya tidak menunjukkan tanda radang atau pucat. Nodul ini biasanya muncul
sesudah beberapa minggu sakit dan pada umumnya hanya ditemukan pada pasien dengan
karditis.30

Manifestasi Minor
Demam hampir selalu ada pada poliartritis reumatik; ia sering ada pada karditis yang
tersendiri (murni) tetapi pada korea murni. Jenis demamnya adalah remiten, tanpa variasi
diurnal yang lebar, gejala khas biasanya kembali normal atau hampir normal dalam waktu 2/3
minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda objektif pada
sendi. Artralgia biasanya melibatkan sendi besar. Kadang nyerinya terasa sangat berat
sehingga pasien tidak mampu lagi menggerakkan tungkainya. 30

58
Termasuk kriteria minor adalah beberpa uji laboratorium. Reaktan fase akut seperti
LED atau C-reactive protein mungkin naik. Uji ini dapat tetap naik untuk masa waktu yang
lama (berbulan-bulan). Pemanjangan interval PR pada elektrokardiogram juga termasuk
kriteria minor.32
Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam reumatik akut dengan gagal jantung oleh
karena distensi hati. Nyeri abdomen jarang ada pada demam reumatik tanpa gagal jantung
dan ada sebelum manifestasi spesifik yang lain muncul. Pada kasus ini nyeri mungkin terasa
berat sekali pada daerah sekitar umbilikus, dan kadang dapat disalahtafsirkan sebagai
apendistis sehingga dilakukan operasi.30
Anoreksia, nausea, dan muntah seringkali ada, tetapi kebanyakan akibat gagal jantung
kongestif atau akibat keracunan salisilat. Epitaksis berat mungkin dapat terjadi. Kelelahan
merupakan gejala yang tidak jelas dan jarang, kecuali pada gagal jantung. Nyeri abdomen
dan epitaksis, meskipun sering ditemukan pada demam reumatik, tidak dianggap sebagai
kriteria diagnosis.30

Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa
kelainan jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak
menunjukkan gejala apa-apa.31
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung,
gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik penderita
demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami
reaktivasi penyakitnya.31

Lama Serangan Demam Reumatik


Lama serangan pertama demam reumatik adalah mulai kurang dari 3 minggu (pada
sepertiga kasus) sampai 3 bulan. Namun pada pasien karditis berat, proses reumatik aktif ini
dapat berlanjut sampai 6 bulan atau lebih. Pasien ini menderita demam reumatik kronik. Di
negara Barat keadaan ini terjadi pada sebagian kecil kasus (3% atau kurang). Sebagian besar
pasien dengan demam reumatik yang berkepanjangan menderita beberapa kali serangan. Di
negara tempat karditis berat dan kumat sering terjadi, frekuensi demam reumatik kronik
mungkin sekali lebih tinggi.30
Proses demam reumatik dianggap aktif terdapat salah satu dari tanda berikut: artritis,
bising organik baru, kardiomegali, nadi selama tidur melebihi 100/menit, korea, eritema
marginatum, atau nodulus subkutan. Gagal jantung tanpa penyakit katup yang berat juga

59
merupakan tanda karditis aktif. Karditis reumatik kronik dapat berlangsung berlarut-larut dan
menyebabkan kematian sesudah beberapa bulan atau tahun. Laju endap darah (LED) yang
terus tinggi lebih dari 6 bulan bukan aktivitas reumatik jika tidak disertai tanda lain.30

7. Diagnosis
Demam reumatik tidak mempunyai organ sasaran tertentu. Demam reumatik dapat
mengenai sejumlah organ dan jaringan, secara tersendiri atau bersama. Tidak adanya
manifestasi (kecuali korea Sydenham murni) maupun uji laboratorium yang cukup khas
untuk diagnosis, karenanya diagnosis didasarkan pada kombinasi beberapa penemuan. Makin
banyak manifestasi, makin kuat pula diagnosis. Karena prognosis bergantung pada
manifestasi klinis, maka pada diagnosis harus disebut manifestasi klinisnya, misalnya
demam reumatik dengan poliartritis saja.
Pada tahun 1994 Dr. T. Duckett Jones mengusulkan kriteria diagnosis yang didasarkan
kepada kombinasi manifestasi klinis dan penemuan laboratorium. Tanda klinis yang paling
berguna disebut sebagai manifestasi mayor, yakni karditis, poliartritis, korea, nodulus
subkutan, dan eritema marginatum. Istilah mayor berkaitan dengan diagnosis dan bukan
dengan frekuensi atau derajat kelainan. Tanda dan gejala lain, meski kurang khas, masih
dapat bermanfaat, disebut kriteria minor yang meliputi demam, artralgia, riwayat demam
reumatik atau penyakit jantung reumatik sebelumnya, pemanjangan interval P-R dan reaktan
fase akut (LED, PCR). Dua manifestasi mayor, atau satu manifestasi mayor dan dua minor,
menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik.30,32
Pada kriteria Jones yang direvisi tahun 1965 diperlukan bukti adanya infeksi
sterptokokus yang baru untuk mandukung diagnosis. Terdapat dua pengecualian pada
perlunya dukungan ini; pertama pada beberapa pasien dengan korea Sydenham, dan kedua
pada pasien dengan karditis yang diam-diam (silent carditis). Antibodi streptokokus mungkin
telah kembali normal pada saat kedua golongan pasien tersebut pertama diperiksa. Kriteria
Jones ditinjau kembali pada tahun 1984 tanpa perubahan yang berarti (Tabel 1). Tujuan
semula Jones ini untuk mencegah kesalahan diagnosis demam reumatik akut, yang sampai
sekarang belum tercapai. Overdiagnosis masih sering terjadi, paling sering pada pasien
dengan poliartritis sebagai manifestasi tunggal. Manifestasi minor sangat tidak spesifik dan
infeksi sterptokokus terdapat dimana-mana, sehingga kebutuhan pelengkap untuk diagnosis
dengan mudah dapat dipenuhi sehingga menyebabkan overdiagnosis.30
Yang sering dirancukan dengan demam reumatik adalah golongan penyakit kolagen vaskular,
khususnya artritis reumatoid juvenil. Umumnya bukti adanya infeksi streptokokus
sebelumnya dapat membedakan penyakit ini. Penemuan klinis tertentu pada artritis reumatoid

60
juvenil yang khas meliputi keterlibatan sendi kecil perifer, keterlibatan sendi besar yang
simetris tanpa artritis migrans, sendi yang terkena pucat, perjalanan penyakitnya lebih lamban
dan responsif terhadap salisilat. Meski sebagian artritis reumatoid berespons cepat terhadap
salisilat, sebagian besar pasien sembuh lebih lambat, walaupun dengan dosis salisilat yang
besar. Jika pasien gagal berespons sesudah 24-48 jam setelah dimulainya terapi salisilat, ia
lebih mungkin menderita artritis reumatoid daripada demam reumatik akut.30
Beberapa penyakit harus dimasukkan dalam diagnosis banding, termasuk lupus
eritematosus sistematik, penyakit jaringan ikat campuran, artritis reaktif yang mencakup
artritis pascasterptokokus, penyakit serum, dan artritis infeksi, terutama artritis akibat
gonokokus yang melibatkan beberapa sendi. Pemeriksaan serologis, termasuk panel antibodi
anti-nuklear (ANA), dan biakan biasanya dapat membantu membedakan keadaan-keadaan
tersebut. Pasien penyakit sel sikel atau hemoglobinopati lain, dan kadang pasien leukemia,
mungkin datang dengan keluhan poliartritis. Pemeriksaan darah dan biopsi sumsum tulang
biasanya memastikan diagnosis.30
Karditis atau perikarditis reumatik harus dibedakan dengan karditis akibat penyebab
lain, termasuk infeksi bakteri, virus, atau mikoplasma, serta penyakit kolagen vaskular.
Endokarditis harus dibedakan dari endokarditis pada kelainan katup bawaan atau prolaps
katup mitral. Ekokardiografi berperan penting untuk identifikasi kelainan bawaan dan prolaps
katup mitral. Penyakit Libman Sacks, endokarditis yang bersamaan dengan lupus
eritematosus sistematik, jarang sekali terlihat pada anak. Pasien dengan hipertiroidisme,
terutama yang disertai dengan blok A-V derajat I dapat dirancukan dengan insufisiensi mitral
reumatik.30
Berbagai penyakit neurologis degeneratif, koreoatetosis kongenital, spasme habitualis,
beberapa tumor otak, dan kelainan tingkah laku dapat dirancukan dengan korea Sydenham.
Penyembuhan spontan membantu diagnosis korea Sydenham, karena biasanya pada kelainan
lain apabila tidak diobati korea akan cendrung menetap atau progresif. Teknik diagnosis yang
lebih baru, antara lain computerized axial tomography (CAT) scan dan magnetic resonance
imaging (MRI) berguna dalam memastikan kelainan-kelainan tersebut.30
Seperti dinyatakan di atas, masalah utama dalam diagnosis adalah bila pasien yang
hanya menunjukan satu kriteria mayor, khususnya pasien poliartritis. Masalah jarang timbul
apabila ditemukan dua kriteria mayor. Pengamatan cermat terhadap pasien sementara
pemberian profilaksis antibiotik dapat menyelesaikan dilema, terutama bila terdapat artritis
kumat tanpa bukti faringitis streptokokus sebelumnya.30

Peninjauan Kembali Kriteria Diagnosis

61
Kesulitan untuk menegakkan diagnosis dengan tepat menyebabkan Kelompok Studi
WHO secara berhati-hati meninjau kembali kriteria Jones dan memandang perlu untuk
mengadakan beberapa perubahan. Kelompok ini menyimpulkan bahwa bukti adanya infeksi
sterptokokus grup A sebelumnya adalah menyimpulkan penting, mengingat fasilitas
laboratorium telah banyak tersedia di banyak negara selama dua puluh tahun terakhir ini. Uji
laboratorium untuk biakan dan antibodi sterptokokus saat ini sudah dapat diperoleh di banyak
negara. Juga disimpulkan bahwa artralgia harus dipertahankan sebagai manifestasi minor,
bila tidak maka akan terjadi overdiagnosis.30
Di negara sedang berkembang tidak jarang pasien didiagosis untuk pertama kalinya
sebagai karditis reumatik aktif tanpa dukungan anamnesis, pemeriksaan fisis, ataupun
pemeriksaan laboratorium untuk memenuhi kriteria Jones yang direvisis. Untuk membuat
kriteria benar-benar lebih sesuai dengan pengalaman klinikus, disetujui bahwa pada pasien
dengan karditis yang datang diam-diam atau datang terlambat, diagnosis demam reumatik
dimungkinkan pada pasien yang manifestasi satu-satunya adalah karditis aktif, sebagaimana
halnya pada diagnosis korea Sydenham. Namun harus ditekankan bahwa dasar diagnosis
tersebut haruslah secara hati-hati ditentukan untuk membedakan dari penyakit jantung
valvular kronik yang diduga reumatik, dari mioperikarditis, dan dari kerdiomiopati. 30
Akhirnya kelompok studi menyimpulkan bahwa diagnosis demam reumatik akut
kumat pada pasien yang telah diketahui pernah menderita demam reumatik harus ditentukan
secara tersendiri. Pada pasien dengan riwayat demam reumatik atau penyakit jantung
reumatik yang dapat dipercaya, diagnosis haruslah didasarkan atas manifestasi minor
ditambah bukti adanya infeksi sterptokokus yang baru. Diagnosis demam reumatik kumat
mungkin baru dapat ditegakkan sesudah waktu yang cukup lama untuk menyingkirkan
diagnosis lain. Dalam mengevaluasi pasien seperti ini harus diingat kemungkinkan
endokarditis infektif yang mungkin secara klinis menyerupai demam reumatik kumat.
Kelambatan diagnosis endokarditis infektif dapat berakibat amat serius.30

Kriteria yang Dianjurkan


Kelompok studi WHO menganjurkan bahwa kriteria Jones yang direvisi tahun 1982
dengan tambahan catatan di bawah, diambil sebagai pegangan umum. Pada tiga golongan
pasien yang diuraikan di bawah, diagnosis demam reumatik diterima tanpa adanya dua
manifestasi mayor atau satu manifestasi mayor dan dua manifestasi minor. Hanya pada dua
yang pertama persyaratan untuk infeksi streptokokus sebelumnya dapat dikesampingkan.30,32
a. Korea dalam praktek diagnosis korea reumatik ditegakan apabila korea merupakan
manifestasi klinis tunggal, sesudah sindrom grenyet (tic) dan penyebab gerakan

62
koreiform lain (misalnya lupus) disingkirkan. Kelompok WHO secara tegas
menyatakan bahwa korea murni dapat dikecualikan dari pemakaian kriteria Jones.
b. Karditis datang diam-diam atau datangnya terlambat. Pasien kelompok ini biasanya
mempunyai riwayat demam reumatik yang samar-samar atau tidak ada sama sekali,
tetapi selama periode beberapa bulan timbul gejala dan tanda umum seperti rasa tidak
enak badan, lesu, anoreksia, dengan penampakan sakit kronik. Mereka sering datang
dengan gagal jantung, dan pemeriksaan fisis dan laboratorium menunjukkan adanya
penyakit jantung valvular. Jenis miokarditis akibat kelainan lain harus disingkirkan.
Tanda radang aktif (biasanya reaksi fase akut seperti LED dan PCR) diperlukan untuk
membedakannya dari penyakit katup reumatik inaktif. Pemeriksaan ekokardiografi
bermanfaat untuk memperkuat atau menyingkirkan adanya penyakit katup kronik.
Endokarditis infektif mudah dirancukan dengan keadaan ini.
c. Demam reumatik kumat. Pada pasien penyakit reumatik yang telah menetap
(establihed) yang telah tidak minum obat antiradang (salisilat atau kortikosteroid)
selama paling sedikit dua bulan, terdapatnya satu kriteria mayor atau demam,
artralgia, atau naiknya reaktan fase akut memberikan kesan dugaan diagnosis demam
reumatik kumat, asalkan terdapat bukti adanya infeksi sterptokokus sebelumnya
(misalnya peninggian titer ASTO). Namun untuk diagnosis yang tepat diperlukan
pengamatan yang cukup lama untuk menyingkirkan penyakit lain dan komplikasi
penyakit jantung reumatik seperti endokarditis infektif.
Seringkali sukar membuktikan adanya karditis akut selama serang kumat. Munculnya
bising baru, bertambahnya kardiomegali, atau adanya bising gesek perikadial biasanya
membuktikan diagnosis karditis. Adanya nodul subkutan atau eritema marginatum juga
merupakan bukti terpercaya untuk terdapatnya karditis aktif.

Tabel 6. Kriteria Jones untuk Pedoman Dalam Diagnosis Demam Reumatik

Manifestasi Mayor Manifestasi Minor

Karditis Klinik

Poliartritis - Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung


reumatik
Korea
- Artralgia

63
Eritema marginatum - Demam

Nodulus subkutan Laboratorium

- Reaktans fase akut

- Laju endap darah (LED)

- Protein C reaktif

- Leukositosis

- Pemanjangan interval P-R

ditambah

Bukti adanya infeksi streptokokus

- Kenaikan titer antibodi antisterptokokus: ASTO/lain

- Biakan farings positif untuk streptokokus grup A

- Demam skarlatina yang baru

Adanya dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor, menunjukkan
kemungkinan besar demam reumatik akut, jika didukung oleh adanya infeksi streptokokus
grup A sebelumnya.

* Committee on Rheumatic Fever and Bacterial Endocarditis, 1982

8. Diagnosa Banding
Tidak ada satupun gejala klinis maupun kelainan laboratorium yang khas untuk
demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Banyak penyakit lain yang mungkin memberi
gejala yang sama atau hampir sama dengan demam reumatik/penyakit jantung reumatik.
Yang perlu diperhatikan ialah infeksi piogen pada sendi yang sering disertai demam serta
reaksi fase akut. Bila terdapat kenaikan yang bermakna titer ASTO akibat infeksi
Streptococcus sebelumnya (yang sebenarnya tidak menyebabkan demam reumatik), maka
seolah-olah kriteria Jones sudah terpenuhi. Evaluasi terhadap riwayat infeksi Streptococcus
serta pemeriksaan yang teliti terhadap kelainan sendinya harus dilakukan dengan cermat agar
tidak terjadi diagnosis berlebihan.31

64
Reumatoid artritis serta lupus eritrmatosus sistemik juga dapat memberi gejala yang
mirip dengan demam reumatik. Diagnosis banding lainnya ialah purpura Henoch-Schoenlein,
reaksi serum, hemoglobinopati, anemia sel sabit, artritis pasca infeksi, artritis septik, leukimia
dan endokarditis bakterialis sub akut.31

Tabel 7. Diagnosis Banding Demam Reumatik31

Demam reumatik Artritis reumatoid Lupus eritomatosus


sistemik
Umur 5-15 tahun 5 tahun 10 tahun
Rasio kelamin Sama Wanita 1,5:1 Wanita 5:1
Kelainan sendi

Sakit Hebat sedang Biasanya ringan

Bengkak Non spesifik Non spesifik Non spesifik

Kelainan Ro Tidak ada Sering (lanjut) Kadang-kadang


Kelainan kulit Eritema marginatum Makular Lesi kupu-kupu
Karditis Ya Jarang Lanjut
Laboratorium Kadang-kadang

Lateks 10%

Aglutinasi sel domba - 10%

Sediaa sel LE - 5%
Respon terhadap Cepat Biasanya lambat Lambat / -
salisilat

9. Pengobatan
a. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A
Pengobatan yang adekuat terhadap infeksi Streptococcus harus segera dilaksanakan
setelah diagnosis ditegakkan. Cara pemusnahan streptococcus dari tonsil dan faring sama
dengan cara untuk pengobatan faringitis streptococcus yakni pemberian penisilin benzatin
intramuskular dengan dosis 1,2 juta unit untuk pasien dengan berat badan > 30 kg atau 600
000-900 000 unit untuk pasien dengan berat badan < 30 kg. Penisilin oral, 400 000 unit (250
mg) diberikan empat kali sehari selama 10 hari dapat digunakan sebagai alternatif.
Eritromisin, 50 mg/kg BB sehari dibagi dalam 4 dosis yang sama dengan maximum 250 mg 4
kali sehari selama 10 hari dianjurkan untuk pasien yang alergi penisilin. Obat lain seperti
sefalosporin yang diberikan dua kali sehari selama 10 hari juga efektif untuk pengobatan

65
faringitis streptokokus. Penisilin benzatin yang berdaya lama lebih disukai dokter karena
reliabilitasnya serta efektifitasnya untuk profilaksis infeksi streptokokus.30,31
b. Obat analgesik dan anti-inflamasi
Pengobatan anti-radang amat efektif dalam menekan manifestasi radang akut demam
reumatik, sedemikian baiknya sehingga respons yang cepat dari artritis terhadap salisitas
dapat membantu diagnosis.30
Pasien dengan artritis yang pasti harus diobati dengan aspirin dalam dosis total 100
mg/kgBB/ hari, maximum 6 g per hari dosis terbagi selama 2 minggu, dan 75 mg/kgBB/ hari
selama 2-6 minggu berikutnya. Kadang diperlukan dosis yang lebih besar. Harus diingatkan
kemungkinan keracunan salisilat, yang ditandai dengan tinitus dan hiperpne.30,31
Pada pasien karditis, terutama jika ada kardiomegali atau gagal jantung aspirin
seringkali tidak cukup untuk mengendalikan demam, rasa tidak enak serta takikardia, kecuali
dengan dosis toksik atau mendekati toksik. Pasien ini harus ditangani dengan steroid;
prednison adalah steroid terpilih, mulai dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi,
maximum 80 mg per hari. Pada kasus yang sangat akut dan parah, terapi harus dimulai
dengan metilprednisolon intravena (10-40 mg), diikuti dengan prednison oral. Sesudah 2-3
minggu prednison dapat dikurangi terhadap dengan pengurangan dosis harian sebanyak 5 mg
setiap 2-3 hari. Bila penurunan ini dimulai, aspirin dengan dosis 75 mg/kgBB/hari harus
ditambahkan dan dilanjutkan selama 6 minggu setelah prednison dihentikan. Terapi tumpang
tindih ini dapat mengurangi insidens rebound klinis pascaterapi, yaitu munculnya kembali
manifestasi klinis segera sesudah terapi dihentikan, atau sementara prednison diturunkan,
tanpa infeksi streptokokus baru. Steroid dianjurkan untuk pasien dengan karditis karena
kesan klinis bahwa pasien berespons lebih baik, demikian pula gagal jantung pun berespons
lebih cepat daripada dengan salisilat.30
Pada sekitar 5-10% pasien demam reumatik, kenaikan LED bertahan selama
berbulan-bulan sesudah penghentian terapi. Keadaan ini tidak berat, tidak dapat dijelaskan
sebabnya, dan tidak perlu mengubah tata laksana medik. Sebaliknya kadar PCR yang tetap
tinggi menandakan perjalanan penyakit yang berlarut-larut; pasien tersebut harus diamati
dengan seksama. Apabila demam reumatik inaktif dan tetap tenang lebih dari dua bulan
setelah penghentian antiradang, maka demam reumatik tidak akan timbul lagi kecuali apabila
terjadi infeksi streptokokus baru.

Tabel 8. Obat Antiradang yang Dianjurkan Pada Demam Reumatik31

MANIFESTASI KLINIS PENGOBATAN

66
Artralgia Hanya analgesik (misal asetaminofen).

Artritis Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, dan 75


mg/kgBB/hari selama 4 minggu berikutnya

Artritis + karditis tanpa kardiomegali Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, dan 75
mg/kgBB/hari selama 4 minggu berikutnya

Artritis + karditis + kardiomegali Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu dan diturunkan


sedikit demi sedikit (tapering off) 2 minggu; salisilat 75
mg/kgBB/hari mulai awal minggu ke 3 selama 6 minggu

c. Diet
Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada sebagian
besar kasus cukup diberikan makanan biasa, cukup kalori dan protein. Tambahan vitamin
dapat dibenarkan. Bila terdapat gagal jantung, diet disesuaikan dengan diet untuk gagal
jantung yaitu cairan dan garam sebaiknya dibatasi.31
d. Tirah Baring dan mobilisasi
Semua pasien demam reumatik akut harus tirah baring, jika mungkin di rumah sakit.
Pasien harus diperiksa tiap hari untuk menemukan valvulitis dan untuk mulai pengobatan dini
bila terdapat gagal jantung. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak dari awal
serangan, hingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut. Sesudah itu
lama dan tingkat tirah baring bervariasi. Tabel 9 merupakan pedoman umum; tidak ada
penelitian acak terkendali untuk mendukung rekomendasi ini. Hal penting adalah bahwa tata
laksana harus disesuaikan dengan manifestasi penyakit, sedang pembatasan aktivitas fisis
yang lama harus dihindari.30
Selama terdapat tanda-tanda radang akut, penderita harus istirahat di tempat tidur.
Untuk artritis cukup dalam waktu lebih kurang 2 minggu, sedangkan untuk karditis berat
dengan gagal jantung dapat sampai 6 bulan. Mobilisasi dilakukan secara bertahap.31
Istirahat mutlak yang berkepanjangan tidak diperlukan mengingat efek psikologis
serta keperluan sekolah. Penderita demam reumatik tanpa karditis atau penderita karditis
tanpa gejala sisa atau penderita karditis dengan gejala sisa kelainan katup tanpa kardiomegali,
setelah sembuh tidak perlu pembatasan aktivitas. Penderita dengan demam kardiomegali

67
menetap perlu dibatasi aktivitasnya dan tidak diperkenankan melakukan olahraga yang
bersifat kompetisi fisis.31

Tabel 9. Pedoman Istirahat dan Mobilisasi Penderita Demam Reumatik/Penyakit Jantung Reumatik Akut
(Markowitz dan Gordis, 1972)31

Artritis Karditis Karditis tanpa Karditis +


minimal kardiomegali kardiomegali
Tirah baring 2 minggu 3 minggu 6 minggu 3-6 bulan
Mobilisasi bertahap 2 minggu 3 minggu 6 minggu 3 bulan
di ruangan
Mobilisasi bertahap 3 minggu 4 minggu 3 bulan 3 bulan atau lebih
di luar ruangan
Semua kegiatan Sesudah 6-8 Sesudah 10 Sesudah 6 bulan bervariasi
minggu minggu

e. Pengobatan lain
1) Pengobatan Karditis
Pengobatan karditis reumatik ini tetap paling kontroversial, terutama dalam hal
pemilihan pasien untuk diobati dengan aspirin atau harus dengan steroid. Meski banyak
dokter secara rutin menggunakan steroid untuk semua pasien dengan kelainan jantung,
penelitian tidak menunjukkan bahwa steroid lebih bermanfaat daripada salisilat pada pasien
karditis ringan atau sedang. Rekomendasi untuk menggunakan steroid pada pasien
pankarditis berasal dari kesan klinis bahwa terapi ini dapat menyelamatkan pasien.31
Digitalis diberikan pada pasien dengan karditis yang berat dan dengan gagal jantung;
digoksin lebih disukai dipakai pada anak. Dosis digitalisasi total adalah 0,04 sampai 0,06
mg/kg, dengan dosis maximum 1,5 mg. Dosis rumatnya adalah antara sepertiga samapai
seperlima dosis digitalisasi total, diberikan dua kali sehari. Karena beberapa pasien
miokarditis sensitif terhadap digitalis, maka dianjurkan pemberian diitalisasi lambat.
Penggunaan obat jantung alternatif atau tambahan dipertimbangkan bila pasien tidak
berespons terhadap digitalis.31
Tirah baring dianjurkan selama masa kariditis akut, seperti tertera pada tabel 11-9.
pasien kemudian harus diizinkan untuk melanjutkan kembali aktivitasnya yang normal secara
bertahap. Hindarkan pemulihan aktivitas yang cepat pada pasien yang sedang menyembuh
dari karditis berat. Sebaliknya, kita harus mencegah praktek kuno yang mengharuskan tirah
baring untuk waktu yang lama sesudah karditis stabil dan gagal jantung mereda, karena takut

68
memburuk atau kumatnya karditis. Meskipun telah ada pedoman tirah baring, namun dalam
pelaksanaannya harus disesuaikan kasus demi kasus.31
2) Pengobatan Korea Sydenham
Pasien korea yang ringan pada umumnya hanya memerlukan tirah baring. Pada kasus
yang lebih berat, obat antikonvulsan mungkin dapat mengendalikan korea. Obat ini sangat
bervariasi. Fenobarbital diberikan dalam dosis 15-30 mg tiap 6 sampai 8 jam. Haloperidol
dimulai dengan dosis rendah (0,5 mg), kemudian dinaikkan sampai 2 mg tiap 8 jam. Obat
antiradang tidak diperlukan pada korea, kecuali pada kasus yang sangat berat, dapat diberi
steroid.31

10. Pencegahan Sekunder


Pemberian suntikan penisilin berdaya lama setiap bulan adalah cara yang paling dapat
dipercaya. Pada keadaan-keadaan khusus, atau pada pasien dengan resiko tinggi, suntikan
diberikan setiap 3 minggu. Meskipun nyeri suntikan dapat berlangsung lama, pasien yang
lebih tua lebih suka cara ini karena dapat dengan mudah teratur melakukanya satu kali setiap
3 atau 4 minggu, dibanding dengan tablet penisilin oral yang harus setiap hari. Preparat sulfa
yang tidak efektif untuk pencegahan primer (terapi faringitis), terbukti lebih efektif daripada
penisilin oral untuk pencegahan sekunder. Sulfadiazin juga jauh lebih murah daripada
eritromisin.
Lama pemberian pencegahan sekunder sangat bervariasi, bergantung pada pelbagai
faktor, termasuk waktu serangan atau serangan ulang, umur pasien, dan keadaan lingkungan.
Makin muda saat serangan makin besar kemungkinan kumat; setelah pubertas kemungkinan
kumat cenderung menurun. Sebagian besar kumat terjadi dalam 5 tahun pertama sesudah
serangan terakhir. Pasien dengan karditis lebih mungkin kumat daripada pasien tanpa karditis.
Dengan mengingat faktor-faktor tersebut, maka lama pencegahan sekunder
disesuaikan secara individual; beberapa prinsip umum dapat dikemukakan. Pasien tanpa
karditis pada serangan sebelumnya diberikan profilaksis minimum 5 tahun sesudah serangan
terakhir, sekurangnya sampai umur 18 tahun. Pasien dengan keterlibatan jantung dilakukan
pencegahan setidaknya sampai umur 25 tahun, dan dapat lebih lama jika lingkungan atau
faktor risiko lain mendukungnya. Evaluasi pengobatan setiap 5 tahun. Risiko terjadi
kekambuhan paling tinggi dalam 5 tahun pertama.30,31
Pencegahan sekunder harus dilanjutkan selama pasien hamil; akan tetapi sebaiknya
tidak dipakai sulfadiazin karena mendatangkan risiko terhadap janin. Remaja biasanya
mempunyai masalah khusus terutama dalam ketaatannya minum obat, sehingga perlu upaya
khusus mengingat resiko terjadinya kumat cukup besar. Untuk pasien penyakit jantung

69
reumatik kronik, pencegahan sekunder untuk masa yang lama, bahkan seumur hidup kadang
diperlukan, terutama pada kasus yang berat.

11. Prognosis
Morbiditas demam reumatik akut berhubungan erat dengan derajat keterlibatan
jantung. Mortalitas sebagian besar juga akibat karditis berat, komplikasi yang sekarang sudah
jarang terlihat di negara maju (hampir 0%) namun masih sering ditemukan di negara
berkembang (1-10%). Selain menurunkan mortalitas, perkembangan penisilin juga
mempengaruhi kemungkinan berkembangnya menjadi penyakit valvular kronik setelah
serangan demam reumatik aku. Sebelum penisilin, persentase pasien berkembang menjadi
penyakit valvular yaitu sebesar 60-70% dibandingkan dengan setelah penisilin yaitu hanya
sebesar 9-39%1,9.
Profilaksis sekunder yang efektif mencegah kumatnya demam reumatik akut hingga
mencegah perburukan status jantung. Pengamatan menunjukkan angka penyembuhan yang
tinggi penyakit katup bila profilaksis dilakukan secara teratur. Informasi ini harus
disampaikan kepada pasien, bahwa profilaksis dapat memberikan prognosis yang baik,
bahkan pada pasien dengan penyakit jantung yang berat.30

E. Diabetes Melitus Tipe 1

1. Definisi
Diabetes mellitus secara definisi adalah keadaan hiperglikemia kronik. Hiperglikemia ini
dapat disebabkan oleh beberapa keadaaan, di antaranya adalah gangguan sekresi hormon
insulin, gangguan aksi/kerja dari hormon insulin atau gangguan kedua-duanya.33
Diabetes mellitus tipe 1 terjadi disebabkan oleh karen kerusakan sel -pankreas.
Kerusakan yang terjadi dapat disebabkan oleh proses autoimun maupun idiopatik. Pada DM
tipe 1 sekresi insulin berkurang atau terhenti. Sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi
insulin. Pada DM tipe 2 biasanya dikaitkan dengan sindrom resistensi insulin lainnya seperti
obesitas, hiperlipidemia, akantosis nigrikans, hipertensi atau hiperandrogenisme ovarium.34

2. Epidemiologi
Angka kejadian diabetes mellitus di USA adalah sekitar 1 dari setiap 1500 anak (pada
anak usia 5 tahun) dan sekitar 1 dari 350 anak (pada anak usia 18 tahun). Puncak kejadian

70
diabetes adalah pada usia 5-7 tahun serta pada masa awal pubertas seorang anak. Kejadian
pada laki-laki dan perempuan sama.33
Insiden tertinggi diabetes mellitus tipe 1 terjadi di Finlandia, Denmark serta Swedia
yaitu sekitar 30 kasus baru setiap tahun dari setiap 100.000 penduduk. Insiden di Amerika
Serikat adalah 12-15/100 ribu penduduk/tahun, di Afrika 5/100.000 penduduk/tahun, di Asia
Timur kurang dari 2/100.000 penduduk/tahun.33
Insiden di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Namun dari data registry nasional
untuk penyakit DM pada anak dari UKK Endokrinologi PP IDAI, terjadi peningkatan jumlah
dari 200-anak dengan DM pada tahun 2008 menjadi 580-an pasien pada tahun 2011. Sangat
dimungkinkan angkanya lebih tinggi apabila kita merujuk pada kemungkinan anak dengan
DM yang meninggal tanpa terdiagnosis sebagai ketoasidosis diabetikum ataupun belum
semua pasien DM tipe 1 yang dilaporkan.

3. Klasifikasi
International Society of Pediatric and Adolecene Diabetes dan WHO
merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan etiologi (Tabel 10).

Tabel 10. Klasifikasi DM berdasarkan etiologi (ISPAD 2009)

I. DM Tipe-1 (destruksi sel- )


a. Immune mediated
b. Idiopatik
II. DM Tipe-2
III. DM Tipe lain
a. Defek genetik fungsi pankreas sel
b. Defek genetic pada kerja insulin
c. Kelainan eksokrin pancreas
Pankratitis; Trauma/pankreatomi; Neoplasma; Kistik fibrosis; Haemokhromatosus;
Fibrokalkulus pankreatopati; dan lain-lain.
d. Gangguan endokrin
Akromegali; Sindrom Cushing; Glukanoma; Feokromositoma; Hipertiroidisme;
Somatostatinoma; Aldosteronoma; dan lain-lain.
e. Terinduksi obat dan kimia
Vakor; Pentamidin; Asam nikotinik; Glukokortikoid; Hormon tiroid; Diazoxid;
Agonis -adrenergik; Tiazid; Dilantin; -interferon; dan lain-lain.

IV. Diabetes Mellitus Kehamilan


Sumber : ISPAD Clinical Practice Consensus Guidlines 2009

71
4. Patofisiologi
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan kehancuran
selektif sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Timbulnya penyakit klinis merupakan
tahap akhir dari kerusakan sel beta yang mengarah ke tipe 1 DM. Berbagai lokus gen telah
dipelajari untuk menentukan hubungan mereka dengan DM tipe 1. Antigen yang terlibat
dalam tipe 1 DM meliputi antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase (GAD) dan antigen
sitoplasma sel islet. Antibodi sel islet (ICA) mengikat komponen sitoplasma sel islet pada
bagian pankreas manusia dan endapan antibodi 64kDa merupakan protein 64kDa dari ekstrak
sel islet. Sedangkan antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk menjadi sel beta tertentu di
dalam islet, beberapa sera ICA positif telah dijelaskan untuk bereaksi dengan semua sel islet.
Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi sebagai GAD enzim. Sel Islet tertentu pada
baris sel beta memproduksi antibodi IgG yang terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang
ditemukan. Anehnya semua monoklonal antibodi yang diproduksi oleh baris, dikenali GAD
target autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin target antigen utama pada DM tipe 1,
makanya antibodi untuk GAD dijadikan penanda sensitif untuk perkembangan diabetes,
walaupun antibodi GAD ada dalam individu yang rentan secara genetik tetapi yang tidak
mungkin untuk mengembangkan disease.
Destruksi progresif sel-sel beta mengarah pada defisiensi insulin progresif. Insulin
merupakan hormon anabolik utama. Sekresi normal sebagai respons terhadap makanan secara
istimewa dimodulasi oleh mekanisme neural, hormonal dan berkaitan substrat yang
memungkinkan pengendalian penyusunan bahan makanan yang dikonsumsi sebagai energi
unutuk penggunaan segera atau di masa mendatang; mobilisasi energi selama keadaaan puasa
tergantung pada kadar insulin plasma yang rendah.
Kendatipun defisiensi insulin merupakan cacat primer, beberapa perubahan sekunder
yang melibatkan hormon stress (epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan dan glukagon)
memperbesar kecepatan dan beratnya dekompensasi metabolik. Peningkatan konsentrasi
plasma dari hormon kontra-regulasi ini memperberat kekacauan metabolik dengan
mengganggu sekresi insulin selanjutnya (epinefrin), mengantagonisme kerja insulin
(epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan), serta mempermudah glikogenolisis,
glukoneogenesis, lipolisis dan ketogenesis sambil menurunkan penggunaan glukosa serta
clearance ginjal. Semua perubahan normal ini kembali normal dengan terapi insulin yang
adekuat. Namun dapat dilakukan supresi selektif beberapa hormon kontra-regulasi. Misalnya
supresi glukagon, hormon pertumbuhan dan aliran darah organ dalam oleh diabetes,
memperlambat kecepatan perkembangan ke arah ketoasidosis, serta mempermudah
pengendalian metabolik.

72
Defisiensi insulin bersama dengan kadar epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan dan
glukagon plasma yang berlebihan, berakibat produksi glukosa yang tak terkendali serta
gangguan penggunaanya; akibatnya timbul hiperglikemi dan peningkatan osmolalitas.
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar plasma hormon kontraregulasi juga
bertanggung jawab atas percepatan lipolisis dan ganguan sintesis lipid, yang berakibat
peningkatan kadar plasma lipid total, kolesterol, trigliserid dan asam lemak bebas. Keadaan
hormonal yang saling mempengaruhi antara defisiensi insulin dan kelebihan glukaakan
menmbulkan jalan pintas bagi asam lemak bebas untuk membentuk keton; kecepatan
pembentukan keton ini, terutama betahidroksibutirat dan asetoasetat, melampui kapasitas
pengunaan perifer serta ekskresi ginjal. Akumulasi asam keton ini menimbulkan asidosis
metabolik serta pernafasan kompensasi yang cepat sebagai usaha mengekskresi kelebihan
CO2 (pernafasan kussmaul). Aseton yang dibentuk melalui konversi non-enzimatik
asetoasetat, bertanggung jawab atas timbulnya bau buah yang karakteristik pada pernafasan
ini. Keton diekskresi ke dalam kemih bersama-sama dengan kation, yang selanjutnya
meningkatkan kehilangan air dan elektrolit. Dengan dehidrasi progresif, asidosis,
hiperosmolaritas dan berkurangnya penggunaan oksigen otak, maka terjadi gangguan
kesadaran dan pasien akhirnya jatuh ke dalam koma. Dengan demikian, defisiensi insulin
menimbulkan suatu stasus katabolik yang dalam-suatu kelaparan berat- dimana semua
gambaran klinis awal dapat dijelaskan atas dasar perubahan metabolisme perantara yang talah
diketahui. Keparahan dan lamanya gejala mencerminkan derajat insulinopenia.33
Adanya gangguan dalam regulasi insulin, khususnya pada DM tipe 1 dapat cepat
menjadi diabetik ketoasidosis manakala terjadi : 1). Diabetes tipe 1 yang tidak terdiagnosa 2).
Ketidakseimbangan jumlah intake makanan dengan insulin 3). Adolescen dan pubertas 4).
Aktivitas yang tidak terkontrol pada diabetes 5). Stres yang berhubungan dengan penyakit,
trauma, atau tekanan emosional.

5. Kriteria Diagnosis
Diabetes mellitus ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala. Bila dengan gejala
(polidipsi, poliuria, polifagia), maka pemeriksaan gula darah abnormal satu kali sudah dapat
menegakkan diagnosis DM. sedangkan bila tanpa gejala, maka diperlukan paling tidak 2 kali
pemeriksaan gula darah abnormal pada waktu yang berbeda.34,35
Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal adalah :
a. Kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dL atau
b. Kadar gula darah puasa > 126 mg/dL atau
c. Kadar gula darah postpandrial > 200 mg/dL

73
Untuk menegakkan diagnosis DM Tipe 1, maka perlu dilakukan pemeriksaan
penujang, yaitu C-peptide 0.85 ng/ml. C-peptide ini merupakan salah satu penanda
banyaknya sel -pankreas yang masih berfungsi. Pemeriksaan lain adalah adanya
autoantibody, yaitu Islet cell autoantibodies (ICA), Glutamic acid decarboxylase
autoantibodies (65K GAD), IA2 (dikenal sebagai ICA 512 atau tyrosine posphatase)
autoantibodies dan Insuline autoantibodies (IAA). Adanya autoantibody mengkonfirmasi
DM tipe 1 karena proses autoimun. Sayangnya autoantibody ini relatif mahal.34,35

6. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit ini melalui beberapa periode menurut ISPAD Clinical Practice
Consencus Guidelines tahun 2009.
a. Periode pra-diabetes
b. Periode manifestasi klinis
c. Periode honey moon
d. Periode ketergantungan insulin yang menetap

Periode Pra-Diabetes
Pada periode ini, gejala-gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini sudah terjadi
sekitar 90% kerusakan sel -pankreas. Predisposisi genetik tertentu memungkinkan terjadinya
proses destruksi ini. Sekresi insulin mulai berkurang ditandai dengan mulai berkurangnya sel
-pankreas yang berfungsi. Kadar C-petide mulai menurun. Pada periode ini autoantibody
mulai ditemukan apabila dilakukan pemeriksaan laboratorium.

Periode Manifestasi Klinis


Pada periode ini, gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini sudah terjadi
sekitar 90% kerusakan sel -pankreas. Karena sekresi insulin sangat kurang, maka kadar gu;a
darah akan tinggi/meningkat. Kadar gula darah yang melebihi 180mg/dL akan menyebabkan
dieresis osmotik. Keadaan ini menyebabkan terjadinya pengeluaran cairan dan elektrolit
melalui urin (poliuri, dehidrasi, polidipsi). Karena gula darah tidak dapat di-uptake ke dalam
sel, penderita akan merasa lapar (polifagi), tetapi berat badan akan semakin kurus. Pada
periode ini penderita memerlukan insulin dari luar agar gula darah di-uptake ke dalam sel.

Periode Honey Moon


Periode ini disebut juga fase remisi parsial atau sementara. Pada periode ini sisa-sisa
sel -pankreas akan bekerja optimal sehingga akan diproduksi insulin dari dalam tubuh
sendiri. Pada saat ini kebutuhan insulin dari luar tubuh akan berkurang hingga kurang dari 0,5
U/kgBB/hari. Namun periode ini hanya berlangsung sementara, bisa dalam hitungan hari
ataupun bulan, sehingga perlu adanya edukasi pada orang tua bahwa periode ini bukanlah
fase remisi yang menetap.

74
Periode Ketergantungan Insulin yang Menetap
Periode ini merupakan periode terakhir dari penderita DM. pada periode ini penderita
akan membutuhkan insulin kembali dari luar tubuh seumur hidupnya.

7. Pitfall dalam diagnosis


Diagnosis diabetes seringkali salah, disebabkan gejala-gejala awalnya tidak terlalu
khas dan mirip dengan penyakit lain, terkadang tenaga medis juga tidak menyadari
kemungkinan penyakit ini karena jarangnya kejadian DM tipe 1 yang ditemui ataupun belum
pernah menemui kasus DM tipe 1 pada anak. Beberapa gejala yang sering menjadi pitfall
dalam diagnosis DM tipe 1 pada anak di antaranya adalah :
a. Sering Kencing : Kemungkinan diagnosisnya adalah infeksi saluran kencing atau
terlalu banyak minum (selain DM). Variasi dari keluhan ini adalah adanya enuresis
(mengompol) setelah sebelumnya anak tidak pernah enuresis lagi.
b. Berat badan turun atau tidak mau naik lagi : Kemungkinan diagnosis adalah asupan
nutrisi yang kurang atau adanya penyebab organik lain. Hal ini disebbkan karena
masih tingginya kejadian malnutrisi di negara kita. Sering pula dianggap sebagai salah
satu gejala tuberculosis pada anak.
c. Sesak nafas : Kemungkinan diagnosanya dalah bronkopneumonia. Apabila disertai
gejala lemas, kadang juga didiagnosis sebagai malaria. Padahal gejala sesak nafasnya
apabila diamati pola nafasnya adalah tipe Kusmaull (nafas cepat dan dalam) yang
sangat berbeda dengan tipe nafas pada bronkopneumonia. Nafas Kusmaull adalah
tanda dari ketoasidosis.
d. Nyeri perut : Seringkali dikira sebagai peritonitis atau appendicitis. Pada penderita
DM tipe 1, nyeri perut ditemui pada keadaan ketoasidosis.
e. Tidak sadar : Keadaan ketoasidosis dapat dipikirkan pada kemungkinan diagnosis
seperti malaria serebral, meningitis, ensefalitis, ataupun cedera kepala 36

8. Penatalaksanaan DM Tipe 1
Tatalaksana pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya meliputi pengobatan berupa
pemberian insulin. Ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam tatalaksana agar penderita
mendapatkan kualitas hidup yang optimal dalam jangka pendek maupun jangka panjang.34,35
Terdapat 5 pilar manajemen DM tipe 1, yaitu :
a. Insulin
Insulin merupakan terapi yang mutlak harus diberikan pada penderita DM tipe 1.
Dalam pemberian insulin harus diperhatikan jenis insulin, dosis insulin, regimen yang
digunakan, cara menyuntik serta penyesuaian dosis yang diperlukan.
75
1) Jenis insulin : Kita mengenal beberapa jenis insulin, yaitu insulin kerja cepat,
kerja pendek, kerja menengah, kerja panjang, maupun insulin campuran
(campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah). Penggunaan jenis insulin
ini tergantung regimen yang digunakan.
2) Dosis Insulin : Dosis total harian pada anak berkisar antara 0,5-1 Unit/KgBB
pada awal diagnosis ditegakkan. Dosis ini selanjutnya akan diatur disesuaikan
dengan faktor-faktor yang ada, baik pada penyakitnya maupun pada penderitanya.
3) Regimen : Kita mengenal dua macam regimen, yaitu regimen konvensional, serta
regimen intensif. Regimen konvensional/mix split regimen dapat berupa
pemberian dua kali suntik/hari atau tiga kali suntik/hari. Sedangkan regimen
intensif berupa pemberian regimen basal bolus. Pada regimen basal bolus
dibedakan antara insulin yang diberikan untuk memberikan dosis basal maupun
dosis bolus.
4) Cara menyuntik : Terdapat beberapa tempat penyuntikan yang baik dalam hal
absorpsinya yaitu di daerah abdomen, lengan atas, lateral paha. Daerah bokong
tidak dianjurkan karena paling buruk absorpsinya.
5) Penyesuain Dosis : Kebutuhan insulin akan berubah tergantung dari beberapa hal,
seperti hasil monitor gula darah, diet, olahraga, maupun usia pubertas (terkadang
kebutuhan meningkat hingga 2 unit/KgBB/hari), kondisi stress maupun saat sakit.
b. Diet
Secara umum diet pada anak DM tipe 1 tetap mengacu pada upaya untuk
mengoptimalkan proses pertumbuhan. Untuk itu pemberian diet terdiri dari 5055%
karbohidrat, 15-20% protein dan 30% lemak. Pada anak DM tipe 1 asupan kalori perhari
harus dipantau ketat karena terkait dengan dosis insulin yang diberikan selain monitoring
pertumbuhannya. Kebutuhan kalori perhari sebagaimana kebutuhan pada anak
sehat/normal. Pemberian diet ini juga memperhatikan regimen yang digunakan. Pada
regimen basal bolus, pasien harus mengetahui rasio insulin:karbohidrat untuk
menentukan dosis pemberian insulin.
Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas
dapat juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
1000 + (usia dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari
Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-
15% protein (semakin menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak.
Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali
makanan kecil sebagai berikut :
1) 20% berupa makan pagi.
2) 10% berupa makanan kecil.
3) 25% berupa makan siang.
4) 10% berupa makanan kecil.

76
5) 25% berupa makan malam.
6) 10% berupa makanan kecil.
c. Aktivitas / exercise
Anak DM bukannya tidak boleh berolahraga. Justru dengan berolahraga akan
membantu mempertahankan berat badan ideal, menurunkan berat badan apabila menjadi
obes serta meningkatkan percaya diri. Olahraga akan membantu menurunkan kadar gula
darah serta meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap insulin. Namun perlu diketahui
pula bahwa olahraga dapat meningkatkan risiko hipoglikemia maupun hiperglikemia
(bahkan ketoasidosis). Sehingga pada anak DM memiliki beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi untuk menjalankan olahraga, di antaranya adalah target gula darah yang
diperbolehkan untuk olahraga, penyesuaian diet, insulin serta monitoring gula darah yang
aman. Apabila gula darah sebelum olahraga di atas 250 mg/dl serta didapatkan adanya
ketonemia maka dilarang berolahraga. Apabila kadar gula darah di bawah 90 mg/dl,
maka sebelum berolahraga perlu menambahkan diet karbohidrat untuk mencegah
hipoglikemia.
d. Edukasi
Langkah yang tidak kalah penting adalah edukasi baik untuk penderita maupun
orang tuanya. Keluarga perlu diedukasi tentang penyakitnya, patofisiologi, apa yang
boleh dan tidak boleh pada penderita DM, insulin (regimen, dosis, cara menyuntik, lokasi
menyuntik serta efek samping penyuntikan), monitor gula darah dan juga target gula
darah ataupun HbA1c yang diinginkan.
e. Monitoring kontrol glikemik
Monitoring ini menjadi evaluasi apakah tatalaksana yang diberikan sudah baik
atau belum. Kontrol glikemik yang baik akan memperbaiki kualitas hidup pasien,
termasuk mencegah komplikasi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pasien
harus melakukan pemeriksaan gula darah berkala dalam sehari. Setiap 3 bulan
memeriksa HbA1c. Di samping itu, efek samping pemberian insulin, komplikasi yang
terjadi, serta pertumbuhan dan perkembangan perlu dipantau.
3

9. Komplikasi

77
Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi : hipoglikemia dan ketoasidosis.
Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah tahun ke-5, berupa : nefropati, neuropati,
dan retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada 1 diantara 3 penderita DM tipe 1.
Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk :
a. mengurangi terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan dialisis.
b. menunda end stage renal disease dan dengan ini memperpanjang umur penderita.
Adanya mikroalbuminuria merupakan parameter yang paling sensitif untuk
identifikasi penderita resiko tinggi untuk nefropati diabetik. Mikroalbuminuria mendahului
makroalbuminuria. Pada anak dengan DM tipe-1 selama > 5 tahun, dianjurkan skrining
mikroalbuminuria 1x/tahun. Bila tes positif, maka dianjurkan lebih sering dilakukan
pemeriksaan. Bila didapatkan hipertensi pada penderita DM tipe-1, biasanya disertai
terjadinya nefropati diabetik.

F. Henoch-Schonlein Purpura

1. Definisi
Henoch-Schnlein Purpura adalah sindrom klinis yang disebabkan oleh vaskulitis
pembuluh darah kecil sistemik yang ditandai dengan lesi spesifik berupa purpura
nontrombositopenik, artritis atau atralgia, nyeri abdomen atau perdarahan gastrointestinalis,
dan kadang kadang nefritis atau hematuria. Purpura Henoch-Schnlein merupakan penyakit
autoimun (IgA mediated) berupa hipersensitivitas vaskulitis, paling sering ditemukan pada
anak-anak.(CDK) Nama lain penyakit ini adalah purpura anafilaktoid, purpura alergik dan
vaskulitis alergik.37
2. Epidemiologi
Penyakit ini terutama terdapat pada anak umur 2 15 tahun (usia anak sekolah)
dengan puncaknya pada umur 4 7 tahun. Terdapat lebih banyak pada anak laki laki
dibanding anak perempuan (1,5 : 1).37 Rata-rata 14 kasus per 100.000 anak usia sekolah. HSP
umumnya merupakan benign self-limited disorder; < 5% kasus menjadi kronis; hanya < 1 %
kasus berkembang menjadi gagal ginjal.

3. Etiologi
Sampai sekarang penyebab penyakit ini belum diketahui. Diduga beberapa faktor
memegang peranan, antara lain faktor genetik, infeksi traktus respiratorius bagian atas,
makanan, gigitan serangga, paparan terhadap dingin, imunisasi ( vaksin varisela, rubella,

78
rubeolla, hepatitis A dan B, paratifoid A dan B, tifoid, kolera) dan obat obatan (ampisillin,
eritromisin, kina, penisilin, quinidin, quinin). Infeksi bisa berasal dari bakteri (spesies
Haemophilus, Mycoplasma, Parainfluenzae, Legionella, Yersinia, Shigella dan Salmonella)
ataupun virus (adenovirus, varisela, parvovirus, virus Epstein-Barr). Vaskulitis juga dapat
berkembang setelah terapi antireumatik, termasuk penggunan metotreksat dan agen anti TNF
(Tumor Necrosis Factor). Namun, IgA jelas mempunyai peranan penting, ditandai dengan
peningkatan konsentrasi IgA serum, kompleks imun dan deposit IgA di dinding pembuluh
darah dan mesangium renal. HSP adalah suatu kelainan yang hampir selalu terkait dengan
kelainan pada IgA1 daripada IgA2.37,38
Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan HSP antara lain:38
a. Infeksi : - Mononukleosis - Infeksi parvovirus B19
- Infeksi Streptokokus grup A - Infeksi Yersinia
- Sirosis karena Hepatitis-C - Hepatitis
- Infeksi Mikoplasma - Infeksi Shigella
- Virus Epstein-Barr - Infeksi Salmonella
- Infeksi viral Varizella-zoster- Enteritis Campylobacter
b. Vaksin : - Tifoid - Kolera
- Campak - Demam kuning
c.Alergen - Obat (ampisillin, eritromisin, penisilin, kuinidin, kuinin)
- Makanan
- Gigitan serangga
- Paparan terhadap dingin
d. Penyakit idiopatik : Glomerulocystic kidney disease

4. Patofisiologi
Dari biopsi lesi pada kulit atau ginjal, diketahui adanya deposit kompleks imun yang
mengandung IgA. Diketahui pula adanya aktivasi komplemen jalur alternatif. Deposit
kompleks imun dan aktivasi komplemen mengakibatkan aktivasi mediator inflamasi
termasuk prostaglandin vaskular seperti prostasiklin, sehingga terjadi inflamasi pada
pembuluh darah kecil di kulit, ginjal, sendi dan abdomen dan terjadi purpura di kulit, nefritis,
artritis dan perdarahan gastrointestinalis.37,38

79
Beberapa faktor imunologis juga diduga berperan dalam patogenesis PHS, seperti
perubahan produksi interleukin dan faktor pertumbuhan yang berperan dalam mediator
inflamasi. TNF, IL-1 dan IL-6 bisa memediasi proses inflamasi pada HSP. Meningkatnya
kadar faktor pertumbuhan hepatosit selama fase akut HSP dapat menunjukkan adanya
kemungkinan kerusakan atau disfungsi sel endotel. Meningkatnya faktor pertumbuhan
endotel vaskuler dapat setidaknya menginduksi sebagian perubahan ini. Sitokin dianggap
terlibat dalam patogenesis HSP, dan endotelin (ET), yang merupakan hormon vasokonstriktor
yang diproduksi oleh sel endotelial, juga dianggap turut berperan. Kadar ET-1 jauh lebih
besar pada fase akut penyakit ini dibanding pada fase remisi. Namun tingginya kadar ET-1
tidak memiliki hubungan dengan tingkat morbiditas, keparahan penyakit, atau respon reaktan
fase akut.37,38

5. Manifestasi Klinis
HSP biasanya muncul dengan trias berupa ruam purpura pada ekstremitas bawah,
nyeri abdomen atau kelainan ginjal dan artritis. Namun trias tidak selalu ada, sehingga
seringkali mengarahkan kepada diagnosis yang tidak tepat.39

Pada 1/2 - 2/3 kasus pada anak ditandai dengan infeksi saluran napas atas yang
muncul 1-3 minggu sebelumnya berupa demam ringan dan nyeri kepala. Gejala klinis mula
mula berupa ruam makula eritomatosa pada kulit ekstremitas bawah yang simetris yang
berlanjut menjadi palpable purpura tanpa adanya trombositopenia. Ruam awalnya terbatas
pada kulit maleolus tapi biasanya kemudian akan meluas ke permukaan dorsal kaki, bokong
dan lengan bagian luar. Dalam 12 24 jam makula akan berubah menjadi lesi purpura yang
berwarna merah gelap dan memiliki diameter 0,5 2 cm. Lesi dapat menyatu menjadi plak
yang lebih besar yang menyerupai echimosis yang kemudian dapat mengalami ulserasi.37,38

80
Purpura terutama terdapat pada kulit yang sering terkena tekanan (pressure-bearing
surfaces). Kelainan kulit ini ditemukan pada 100% kasus dan merupakan 50% keluhan
penderita pada waktu berobat. Kelainan kulit dapat pula ditemukan pada wajah dan tubuh.
Kelainan pada kulit dapat disertai rasa gatal. Pada bentuk yang tidak klasik, kelainan kulit
yang ada dapat berupa vesikel hingga menyerupai eritema multiform. Kelainan akut pada
kulit ini dapat berlangsung beberapa minggu dan menghilang, tetapi dapat pula rekuren.
Edema skrotum juga dapat terjadi dan gejalanya mirip dengan torsio testis. Gejala prodromal
dapat terdiri dari demam dengan suhu tidak lebih dari 38C, nyeri kepala dan anoreksia.37,38
Pada anak berumur kurang dari 2 tahun, gambaran klinis bisa didominasi oleh edema
kulit kepala, periorbital, tangan dan kaki. Gambaran ini disebut AHEI (Acute Hemorrhagic
Edema of Infancy).38
Selain purpura, ditemukan pula gejala artralgia dan artritis yang cenderung bersifat
migran dan mengenai sendi besar ekstremitas bawah seperti lutut dan pergelangan kaki,
namun dapat pula mengenai pergelangan tangan, siku dan persendian di jari tangan. 37-39
Kelainan ini timbul lebih dulu (1 2 hari) dari kelainan kulit. Sendi yang terkena dapat
menjadi bengkak, nyeri dan sakit bila digerakkan, biasanya tanpa efusi, kemerahan ataupun
panas. Kelainan teutama periartrikular dan bersifat sementara, dapat pula rekuren pada masa
penyakit aktif tetapi tidak menimbulkan deformitas menetap.37,38
Pada penyakit ini dapat ditemukan adanya gangguan abdominal berupa nyeri
abdomen atau perdarahan gastrointestinalis. Keluhan abdomen biasanya timbul setelah timbul
kelainan pada kulit (1 4 minggu setelah onset). Organ yang paling sering terlibat adalah
duodenum dan usus halus. Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat, lokasi di
periumbilikal dan disertai mual, muntah, bahkan muntah darah dan kadang kadang terdapat
perforasi usus dan intususepsi ileoileal lebih sering terjadi dibanding ileokolonal. Intususepsi
atau perforasi disebabkan oleh vaskulitis dinding usus yang menyebabkan edema dan
perdarahan submukosa dan intramural. Kadang dapat juga terjadi infark usus yang disertai
perforasi maupun tidak.37,38
Selain itu dapat juga ditemukan kelainan ginjal, meliputi hematuria, proteinuria
(<2g/d), sindrom nefrotik (proteinuria >40mg/m2/jam) atau nefritis. Penyakit pada ginjal juga
biasanya muncul 1 bulan setelah onset ruam kulit. Adanya kelainan kulit yang persisten
sampai 2 3 bulan, biasanya berhubungan dengan nefropati atau penyakit ginjal yang berat.
Resiko nefritis meningkat pada usia di atas 7 tahun, lesi purpura persisten, keluhan abdomen
yang berat dana penurunan aktivitas faktor XIII. Gangguan ginjal biasanya ringan, meskipun
beberapa ada yang menjadi kronik. Seringkali derajat keparahan nefritis tidak berhubungan
dengan parahnya gejala HSP yang lain. Pada pasien HSP dapat timbul adanya oedem. Oedem

81
ini tidak bergantung pada derajat proteinuria namun lebih pada derajat vaskulitis yang terjadi.
Namun oedem tersebut memang dihubungkan dengan kejadian proteinuria pada pasien.37,38
Kadang kadang HSP dapat disertai dengan gejala gejala gangguan sistem saraf
pusat, terutama sakit kepala. Pada HSP dapat ditemukan adanya vaskulitis serebral. Pada
beberapa kasus langka, HSP diduga dapat menyebabkan gangguan serius seperti kejang,
paresis atau koma. Gejala gejala gangguan neurologis lain yang dapat muncul antara lain
perubahan tingkat kesadaran, apatis, somnolen, hiperaktivitas, iritabilitas, ketidakstabilan
emosi, kejang (parsial, parsial kompleks, umum, status epileptikus), dan defisit neurologis
fokal (afasia, ataxia, korea, hemiparesis, paraparesis, kuadraparesis. Dapat juga terjadi
poliradikuloneuropati (sindroma Guillain-Barr) dan mononeuropati (nervus fasialis,
femoralis, ulnaris).38
Hati dan kandung empedu juga bisa terlibat dengan gejala hepatomegali, hidrops
kandung empedu, kolesistitis. Semua ini bisa menyebabkan keluhan nyeri abdomen pada
pasien. Apendisitis akut juga pernah dilaporkan terjadi pada pasien HSP. 38
Gejala - gejala lain yang pernah dilaporkan tetapi jarang terjadi antara lain vaskulitis
miokardia, vaskulitis paru yang menyebabkan perdarahan paru bilateral, ureteritis stenosis,
oedem penis, orkitis, priapisme, perdarahan intrakranial, hematoma subperiosteal orbital
bilateral, hematoma adrenal dan pankreatitis akut.38

6. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium tidak terlihat adanya kelainan spesifik. Jumlah
trombosit normal atau meningkat, membedakan purpura yang disebabkan oleh
trombositopenia. Dapat terjadi leukositosis moderat dan anemia normokromik, biasanya
berhubungan dengan perdarahan gastrointestinal. Biasanya juga terdapat eosinofilia. Laju
endap darah dapat meningkat maupun normal. Kadar komplemen seperti C1q, C3 dan C4
dapat normal maupun menurun. Pemeriksaan kadar IgA dalam darah mungkin meningkat,
demikian pula limfosit yang mengandung IgA. Analisis urin dapat menunjukkan hematuria,
proteinuria maupun penurunan kreatinin klirens menandakan mulai adanya kerusakan ginjal
atau karena dehidrasi, demikian pula pada feses dapat ditemukan darah. Pemeriksaan ANA
dan RF biasanya negatif, faktor VII dan XIII dapat menurun.37-39
Biopsi lesi kulit menunjukkan adanya vaskulitis leukositoklastik. Imunofluorosensi
menunjukkan adanya deposit IgA dan komplemen pada dinding pembuluh darah. Pada
pemeriksaan radiologi dapat ditemukan penurunan motilitas usus yang ditandai dengan
pelebaran lumen usus ataupun intususepsi melalui pemeriksaan barium. Terkadang
pemeriksaan barium juga dapat mengkoreksi intususepsi tersebut.37,38

82
7. Diagnosis
Diagnosis lebih banyak ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang spesifik daripada
dengan bantuan pemeriksaan penunjang. Gejala yang dapat mengarahkan kepada diagnosis
HSP yaitu ruam purpurik pada kulit terutama di bokong dan ekstremitas bagian bawah dengan
satu atau lebih gejala berikut: nyeri abdomen atau perdarahan gastrointestinalis, artralgia atau
artritis, dan hematuria atau nefritis.37-39

Tabel 11. Kriteria Diagnosis HSP

Kriteria Definisi

Purpura non trombositopenia (palpable Lesi kulit hemoragik yang dapat diraba,
purpura) terdapat elevasi kulit, tidak berhubungan
dengan trombositopenia

Usia onset 20 tahun Onset gejala pertama 20 tahun

Gejala abdominal / gangguan saluran cerna Nyeri abdominal difus, memberat setelah
(Bowel angina) makan atau diagnosis iskemia usus,
biasanya termasuk BAB berdarah

Granulosit dinding pada biopsy Perubahan histologi menunjukkan


granulosit pada dinding arteriol atau venula

Untuk kepentingan klasifikasi, pasien dikatakan mempunyai HSP bila memenuhi


setidaknya 2 dari kriteria yang ada. Tabel diambil dari Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak
2007.
Selain itu, terdapat beberapa kriteria diagnosis menurut American College of
Rheumatology 1990: Bila memenuhi minimal 2 dari 4 gejala, yaitu: (1) Palpable purpura non
trombositopenia; (2) Onset gejala pertama < 20 tahun; (3) Bowel angina; (4) Pada biopsi
ditemukan granulosit pada dinding arteriol atau venula.
Menurut European League Against Rheumatism (EULAR) 2006 dan Pediatric
Rheumatology Society (PreS) 2006 apabila terdapat palpable purpura dan diikuti minimal
satu gejala berikut: nyeri perut difus, deposisi IgA yang predominan (pada biopsi kulit),
artritis akut dan kelainan ginjal (hematuria dan atau proteinuria)
Diferensial diagnosis dari HSP berdasarkan gejala yang dapat timbul antara lain akut
abdomen, meningitis akibat meningokokus, SLE, endokarditis bakterial, ITP, demam
reumatik, Rocky mountain spotted fever, reaksi alergi obat obatan, nefropati IgA, artritis
reumatoid.38-39
83
8. Pengobatan
Tidak ada pengobatan definitif pada penderita HSP. Pengobatan adalah suportif dan
simtomatis, meliputi pemeliharaan hidrasi, nutrisi, keseimbangan elektrolit dan mengatasi nyeri
dengan analgesik. Untuk keluhan artritis ringan dan demam dapat digunakan OAINS seperti
ibuprofen. Dosis ibuprofen yang dapat diberikan adalah 10mg/kgBB/6 jam. Edema dapat
diatasi dengan elevasi tungkai. Selama ada keluhan muntah dan nyeri perut, diet diberikan
dalam bentuk makanan lunak. Penggunaan asam asetil salisilat harus dihindarkan, karena dapat
menyebabkan gangguan fungsi trombosit yaitu petekie dan perdarahan saluran cerna. Bila ada
gejala abdomen akut, dilakukan operasi. Bila terdapat kelainan ginjal progresif dapat diberi
kortikosteroid yang dikombinasi dengan imunosupresan. Metilprednisolon IV dapat mencegah
perburukan penyakit ginjal bila diberikan secara dini. Dosis yang dapat digunakan adalah
metilprednisolon 250 750 mg/hr IV selama 3 7 hari dikombinasi dengan siklofosfamid 100
200 mg/hr untuk fase akut HSP yang berat. Dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid
(prednison 100 200 mg oral) selang sehari dan siklofosfamid 100 200 mg/hr selama 30 75
hari sebelum akhirnya siklofosfamid dihentikan langsung dan tappering-off steroid hingga 6
bulan.37-39
Terapi prednison dapat diberikan dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hr secara oral, terbagi
dalam 3 4 dosis selama 5 7 hari. Kortikosteroid diberikan dalam keadaan penyakit dengan
gejala sangat berat, artritis, manifestasi vaskulitis pada SSP, paru dan testis, nyeri abdomen
berat, perdarahan saluran cerna, edema dan sindrom nefrotik persisten. Pemberian dini pada
fase akut dapat mencegah perdarahan, obstruksi, intususepsi dan perforasi saluran cerna.37

9. Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, dapat sembuh secara spontan dalam beberapa
hari atau minggu (biasanya dalam 4 minggu setelah onset). Rekurensi dapat terjadi pada 50%
kasus. Pada beberapa kasus terjadi nefritis kronik, bahkan sampai menderita gagal ginjal. Bila
manifestasi awalnya berupa kelainan ginjal yang berat, maka perlu dilakukan pemantauan
fungsi ginjal setiap 6 bulan hingga 2 tahun pasca sakit.37-39
Penyulit yang dapat terjadi antara lain perdarahan saluran cerna, obstruksi,
intususepsi, perforasi, gagal ginjal akut dan gangguan neurologi. Penyulit pada saluran cerna,
ginjal dan neurologi pada fase akut dapat menimbulkan kematian, walaupun hal ini jarang
terjadi.37
Prognosis buruk ditandai dengan penyakit ginjal dalam 3 minggu setelah onset,
eksaserbasi yang dikaitkan dengan nefropati, penurunan aktivitas faktor XIII, hipertensi,

84
adanya gagal ginjal dan pada biopsi ginjal ditemukan badan kresens pada glomeruli, infiltrasi
makrofag dan penyakit tubulointerstisial.37

G. Penyakit Gaves

1. Patofisiologi
Penyakit Graves merupakan penyakit autoimun dengan adanya defek pada
toleransi imun dengan penyebab yang belum jelas. Adanya autoantibodi yang bekerja
pada reseptor TSH pada kelenjar tiroid (TSH receptorstimulating antibodies atau di
sini disebut TRAb-stimulasi) menyebabkan peningkatan sintesis dan sekresi hormon tiroid
secara otonom di luar jaras hipotalamus-hipofisis- tiroid. Antibodi tersebut merupakan
IgG subklas IgG1, dengan target utama auto-antigen dari reseptor TSH, selain dari auto-
antigen yang mirip di jaringan subkutan dan otot-otot ekstraokuler.40,41

Gambar 5 TSH dan auto-antibodi keduanya dapat merangsang reseptor TSH pada kelenjar tiroid yang
akan meningkatkan sintesis dan sekresi hormon tiroid.

Disamping itu penderita penyakit Graves juga memproduksi imunoglobulin yang


mempunyai aktifitas menghambat reseptor TSH secara langsung (TSH receptor
blocking antibodies atau di sini disebut TRAb-inhibisi). Antibodi ini juga mempunyai
target antigen yang lain di kelenjar tiroid yakni tiroid peroksidase sebagi anti-TPO,
dan juga tiroglobulin sebagai anti-Tg.42,43
Perbedaan aktifitas biologis kedua jenis auto-antibodi stimulasi dan inhibisi,
hanya dapat dilihat pada pemeriksaan in vitro dengan kultur menggunakan antibodi
penderita pada sel-sel yang mengekspresikan reseptor TSH. Antibodi stimulasi akan
meningkatkan produksi cAMP pada kultur, sedangkan antibodi inhibisi akan menghambat
peningkatan cAMP.41-43

2. Gejala Klinis

85
Onset gejala klinis sering kali tidak disadari oleh penderita, keluarga penderita,
dan bahkan tidak dikenali oleh tenaga kesehatan pada masa pertamakali dikunjungi.
Sehingga diagnosis hipertiroid atau penyakit Graves sering ditegakkan beberapa bulan
setelah onset.5 Penelitian Shulman dkk, mendapatkan bahwa pada anak-anak prepubertas
sering didiagnosis 8 bulan setelah onset, sedangkan pada anak pubertas didiagnosis
terlambat sekitar 5 bulan setelah onset. Demikian juga Bhadada dkk pada penelitiannya
terhadap anak-anak penderita penyakit Graves yang berumur 3-18 tahun, mendapatkan
bahwa rata-rata diagnosis Gravesbaru ditegakkan 7 bulan setelah onset. Pada penelitian di
Inggris, seringkali anak-anak dengan penyakit Graves dirujuk karena bising jantungnya,
gagal tumbuh, diare yang bekepanjangan, atau gangguan pelajaran sekolahnya, sebelum
mereka mendapatkan diagnosis dan terapi yang sesuai untuk hipertiroidnya.42,44
Yang paling sering dikeluhkan terutama pada anak-anak prepubertas adalah
penurunan berat badan yang nyata dan diare. Sedangkan tanda klinis klasik hipertiroid
seperti pada dewasa yang meliputi palpitasi, iritabilitas, tremor halus, dan intoleransi terhadap
panas lebih menonjol terjadi pada anak-anak remaja.45
Pembesaran kelenjar tiroid (goiter), walau hampir selalu ada, tetapi bukanlah hal yang
utama menjadi keluhan, bahkan sering menjadi hal yang diluar perhatian keluarga
penderita, bahkan oleh tenaga kesehatan sekalipun; dikarenakan pembesarannya sering
kali ringan.
Kelenjar tiroid yang membesar teraba lembut dan berbatas tidak tegas (diffuse), tidak
berdungkul, dan fleshy; sering juga terdengar bruit pada auskultasi.42,45
Gangguan pemusatan perhatian dan emosi yang labil sering menyebabkan anak-
anak mengalami gangguan dalam pelajaran sekolahnya. Beberapa penderita juga sering
mengeluhkan adanya poliuria dan mengompol di malam hari, sebagai akibat peningkatan laju
filtrasi glomerulus. Peningkatan laju pertumbuhan linier disertai meningkatnya umur
tulang, sehingga anak terlihat lebih tinggi dan kurus dari teman sebaya terutama terjadi pada
anak-anak prepubertas, sedangkan pada anak-anak remaja, hal ini tidak terjadi.42,45
Pada anak-anak remaja sering terjadi gangguan pubertas (pubertas terlambat). Pada
remaja wanita yang telah menarche, seringkali terjadi amenorrhea sekunder. Gangguan tidur
yang menyertai seringkali menyebabkan anak cepat lelah.42,47
Di samping sering terjadi pada orang dewasa, opthalmopathy merupakan salah
satu tanda klinis yang khas yang bisa terjadi pada anak-anak, namun terjadi lebih ringan dan
lebih mudah terjadi remisi spontan.44

Tabel 12: Gejala klinis penyakit Graves pada anak.

86
Tanda Klinis Jumlah (%)
Goiter 98-99
Takikardia 82-95
Bruit pada tiroid 20-84
Bising jantung 10-84
Iritable 80-82
Peningkatan pulse pressure 77-80
Berkeringat banyak 41-78,6
Tremor 51-78,2
Palpitasi 34-76,8
Intoleransi terhadap panas 27-76,8
Peningkatan nafsu makan 47-73,2
Hipertensi 71
Opthalmopathy 58,9-71
Peningkatan tinggi badan 7,1-71
Penurunan berat badan 50-54
Diare 13-48,2
Hiperaktif 44
Gangguan menstruasi 33,3
Gangguan tidur 22-30,4
Lekas capek 5,4-16
Sakit kepala 15

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah kadar T4, FT4, T3, FT3, dan TSH.
Pemeriksaan T3 merupakan hal yang penting, sekitar 5% anak-anak dengan penyakit
Graves mempunyai kadar T3 yang meningkat nyata, namun dengan kadar T4 yang normal
atau sedikit di atas normal. Keadaan ini dikenal sebagai T3 toxicosis. TSH biasanya
sangat rendah atau tidak terdeteksi. Peningkatan T4 atau T3 tanpa disertai kadar TSH
yang rendah tidak menyokong keadaan hipertiroid. Hal ini kemungkinan dapat
diakibatkan karena kelebihan thyroxine-binding globulin (bisa familial atau dapatan,
misal: obat-obat kontrasepsi) atau karena gangguan binding protein (misal: pada familial
dysalbuminemic hyperthyroxinemia). Pada keadaan terakhir, kadar TBG di dalam serum
harus diperiksa juga. Kadar TSH yang rendah juga dapat menyingkirkan kemungkinan
hipertiroid karena induksi TSH dan hipofisis yang resisten terhadap hormon tiroid.42,43
Antibodi terhadap tiroid (anti-TG dan anti-TPO) kadang juga positif pada anak
dengan penyakit Graves, yang sulit dibedakan dengan fase tirotoksik pada tiroiditis
Hashimoto. Pada keadaan demikian, untuk membedakannya perlu pemeriksaan TRAb-
stimulasi. Namun demikian, pada keadaan yang sudah jelas terdapat tanda klinis
penyakit Graves, semisal hipertiroid, goiter, proptosis, maka pemeriksaan TRAb-
stimulasi tidak diperlukan lagi mengingat mahalnya pemeriksaan ini.42,43

87
Berbeda pada orang dewasa, pemeriksaan uptake radioaktif jarang sekali
diperlukan pada kasus-kasus penyakit Graves yang sudah jelas. Pemeriksaan ini hanya
diperlukan pada kasus-kasus yang meragukan, misalnya pada kasus dengan TRAb yang
negative, tiroiditis Hashimoto fase tirotoksik, dan atau tiroid nodul fungsional.42

4. Terapi
Terdapat 3 pilihan metode terapi pada anak dengan penyakit Graves, yakni obat-obat
antitiroid, abalasi dengan radioaktif iodium, dan pembedahan. Tidak ada satupun yang
memuaskan secara keseluruhan. Pemilihan metode terapi harus disesuaikan dengan
keadaan individu dan pertimbangan keluarga tentang keuntungan dan kerugiannya.
Dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya remisi yang signifikan pada anak, maka
penggunaan obat-obat anti tiroid merupakan pilihan pertama.42,44
Obat anti-tiroid: Prophylthyouracil (PTU) dan methimazole (MMI) atau carbimazole
(diubah menjadi MMI) merupakan obat-obatan yang paling banyak dipakai. Obat-obat
ini menghambat sintesis hormone tiroid dengan cara menghalangi coupling iodotirosin
melalui penghambatan kerja enzim tiroperoksidase. Khusus PTU, obat ini juga
menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer, hal ini merupakan keuntungan tersendiri
pada keadaan yang memerlukan penurunan segera kadar hormon tiroid aktif seperti
yang terjadi pada keadaan krisis tiroid.42,43
PTU dan MMI diabsorpsi secara cepat di saluran cerna, kadar puncak di dalam serum
terjadi 1-2 jam setelah obat diminum. Kadar obat di dalam serum akan menurun habis
dalam 12-24 jam untuk PTU, dan lebih lama lagi untuk MMI. Hal ini mempengaruhi lama
kerja masing-masing obat. Dengan demikian MMI dapat diberikan 1 kali sehari,
sedangkan PTU diberikan 2-3 kali sehari. MMI di dalam serum dalam bentuk bebas,
sedangkan PTU 80-90% terikat pada albumin.40,42,46
Pada awal terapi PTU dapat diberikan dengan dosis 5-7 mg/kgBB/hari dalam
dosis terbagi 3, and MMI dapat diberikan 5-10% dari dosis PTU dalam dalam dosis terbagi 2
atau sekali sehari. Pada kasus-kasus yang berat, beta blocker (Propanolol 0,5-2,0
mg/kgBB/hari dalam dosisi terbagi 3) dapat diberikan untuk mengendalikan aktifitas
kardiovaskuler yang berlebihan sampai dicapai keadaan eutiroid. Follow-up uji fungsi
tiroid harus dilakukan setiap 4-6 minggu sampai kadar T4 (dan T3 total) dalam batas normal.
Kadar TSH serum biasanya akan kembali normal dalam waktu beberapa bulan agak
lama, sehingga pengukuran TSH akan lebih berarti sebagai indikator terapi bila
dilakukan setelah dalam keadaan eutiroid, bukan pada awal terapi.42,43

88
Setelah kadar T4 dan T3 kembali normal, dosis obat anti tiroid dapat diturunkan
secara bertahap 30-50% dari total harian. Alternatif yang lain adalah dengan tidak
merubah dosis anti tiroid, melainkan menunggu kadar TSH meningkat sambil
menambahkankan dosis kecil l-thyroxine (1 g/ kgBB/hari) atau yang disebut regimen
block-replacement; namun demikian menurut penelitian yang telah dilakukan, kombinasi
terapi ini (anti tiroid dan l-T4) tidak memperbaiki angka remisinya. Keadaan eutiroid
biasanya tercapai dalam waktu 6-12 minggu. Selama masa rumatan PTU dapat diberikan 2
kali sehari, dan MMI cukup 1 kali sehari. Biasanya penderita dapat difollow-up setiap 4-6
bulan.42,45
Lama terapi sangat individual, sampai saat ini tidak ada pedoman mengenai
lama terapi yang optimal. Rata-rata dapat mencapai 2-3 tahun. Sekitar 50% dari anak-
anak yang diterapi akan terjadi remisi dalam 4 tahun pertama terapi, dengan
peningkatan angka remisi sebesar 25% setiap 2 tahunnya sampai tahun ke-6 terapi.
Dikatakan remisi, bila 1 tahun setelah pengobatan dihentikan penderita masih dalam
keadaan eutiroid.45
Kecilnya dosis anti-tiroid yang diperlukan, goiter yang ringan merupakan
indikator yang baik bahwa penggunaan anti-tiroid dapat dikurangi secara bertahap dan
dihentikan. Rendahnya derajat hipertroksinemia [T4<20 g/dL (257.4 nmol/L); rasio T3:T4
<20], indeks masa tubuh yang rendah, dan anak yang lebih tua mempunyai
kecenderungan terjadi remisi yang permanent. Sedangkan kadar TRAb yang tinggi
mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya relaps.42,43
Efek samping anti-tiroid dilaporkan sebesar 5-20%, berupa rash eritema,
atralgia, urtikaria, granulositopenia bersifat transient (<1500 /mm 3). Jarang terjadi dan
lebih berat: hepatitis, lupus like syndrome, trombositopenia, dan agranulositosis,
(<250 /mm3). Kebanyakan reaksi yang terjadi ringan, dan bukan merupakan indikasi
kontra untuk diteruskan. Pada kasus yang berat, perlu dipertimbangkan terapi dengan
cara yang lain (terapi ablasi menggunakan radioaktif atau pembedahan).42
Ablasi dengan radioaktif: Merupakan terapi pilihan pada kasus-kasus dewasa.
Walaupun belum cukup bukti adanya peningkatan risiko keganasan atau mutasi
genetik, namun dengan pertimbangan teori, penggunaan metode ini jarang digunakan untuk
penderita anak. Digunakan I131 dengan perhitungan dosis:42

Perkiraan berat kelenjar tiroid (g) x 5-200 Ci I131

89
Diberikan per-oral dalam 1-2 dosis. Ablasi akan memakan waktu beberapa
minggu sampai beberapa bulan, dan gejala hipertiroid masih akan tetap terjadi pada
waktu tersebut. Propanolol dapat digunakan untuk mengurangi gejala tersebut.47
Efek yang diharapkan dari metode ini adalah hipotiroid. Apabila keadaan hipotiroid
tercapai maka perlu substitusi hormon tiroid seumur hidup.47
Pembedahan tiroidektomi: Tiroidektomi Near-total merupakan pilihan dalam metode
ini. Penderita yang mengalami kegagalan dengan anti-tiroid, goiter yang sangat besar,
dan menolak dilakukan terapi radioaktif, atau terdapat indikasi kontra terapi radioaktif,
merupakan indikasi untuk dilakukan pembedahan.47
Komplikasi pembedahan yang mungkin terjadi adalah: keloid, hipokalsemia transient,
paralysis nervus laryngius rekurens, hipoparatiroid, dan kematian. Oleh karena itu sangat
dianjurkan untuk dilakukan oleh ahli bedah anak yang berpengalaman.42,47
Sebelum pembedahan anak harus dalam keadaan eutiroid untuk mencegah
keadaan krisis tiroid. Dapat diberikan larutan Lugol 5-10 tetes 3 kali sehari selama 7-14 hari
sebelum pembedahan untuk menurunkan vaskularisasi kelenjar tiroid. Seperti halnya setelah
terapi ablasi dengan radioaktif, penderita akan menjadi hipotiroid permanent sehingga
memerlukan terapi pengganti tiroksin seumur hidupnya. Namun bila terapi tidak
adekuat, hipertiroid akan dapat kembali. Oleh karena itu perlu follow-up jangka
panjang.42,47

Kesimpulan

Pada penyakit autoimun terjadi kesalahan yang menyebabkan sistem kekebalan


melawan suatu individu yang seharusnya dilindunginya. Sampai sekarang penyebabnya tidak
diketahui dengan pasti dan belum ada pengobatan yang lengkap untuk sebagian besar kondisi
ini. Meskipun jarang terjadi, penyakit autoimun tidak hanya menyerang kelompok usia
tertentu, tetapi semua kelompok usia termasuk anak-anak dan lebih banyak menyerang anak
perempuan.

90
BAB III

DAFTAR PUSTAKA

1. Diantini, Ulandari, Wirandani, Niruri, Kumara. Angka kejadian penyakit autoimun pada
pasien anak di RSUP Sanglah Denpasar. Denpasar; 2006. Jurnal Farmasi Udayana Vol 5,
No 2, 30-34.
2. Hazen M. Autoimmune diseases in children. 2011. Available on:
http://www.childrenshospital.org/conditions-and-treatments/conditions/autoimmune-
diseases. Accessed at: February, 6th 2017.
3. Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007. Diagnosis and Management of Systemic Lupus
Erythematosus in Children. From: Journal of Pediatric and Child Health 18:2. Published
by Elsevier Ltd.
4. Rudolph, Abraham M, etc. 1996. Rudolph Pediatrics. USA: Appleton & Lange.
5. Webb, Nicholas and Robert Postlethwaite. 2003. Clinical Paediatric Nephrology 3rd
Edition. USA: Oxford University.
6. Alatas, Husein, dkk. 2004. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
7. Kusuma, Anak Agung Ngurah Jaya. 2007. Lupus Eritematosus Sistemik pada Kehamilan.
Dari: Jurnal Penyakit Dalam vol 8 no. 2. Diterbitkan oleh: Divisi Feto Maternal SMF
Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar.
8. Panca, Widianto. 2009. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Available on:
http://widiantopanca.blogdetik.com/systemic-lupuserythematosus. Accessed at: January,
17th 2010.
9. Gitelman, Marisa Klein, etc. 2002. Systemic Lupus Erythematosus in Childhood. From
Journal: Rheumatic Disease Clinics of North America. Published by WBS.

91
10. Judarwanto, Widodo. 2009. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Available on:
http://childrenclinic.wordpress.com/sle-anak. Accessed at: January, 17th 2010.
11. Anonim. 2008. Lupus Eritematosus Sistemik. Available on:
http://www.klikdokter.com/sle. Accessed at: January, 17th 2010.
12. David DS. Juvenile Idiopathic Arthritis. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1007276-overview#a0156, 2011.
13. Akib AAP. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N,
penyunting. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Jakarta: IDAI. 2008; hal 322-44.
14. Khan P. Juvenile Idiopathic Arthritis, An Update on Pharmacotherapy. Bulletin of the
NYU Hospital for Joint Diseases 2011; 69(3): 264-76.
15. Pribadi A, Akib AAP, Taralan T. Profil Kasus Artritis Idiopatik Juvenil (AIJ) Berdasarkan
Klasifikasi International League Against Rheumatism (ILAR). Jakarta : Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto
Mangunkusumo. Sari Pediatri.2008; 9 (6) : 40-8.
16. Yuliasih. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing. 2010; 2520-5.
17. Rudolph MA. Artritis Reumatoid Juvenilis. Dalam: Buku Ajar Pediatrik Rudolph. Vol. 1.
Ed : 20. Deborah Welt Kredich. Jakarta: EGC. 2006; 537-8.
18. Hahn YS, Kim JG. Pathogenesis and clinical manifestation of juvenile reumathoid
arthritis. Korean Journal of Pediatrics. 2010; 921-30.
19. Kliegman R, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, Behrman RE, Arvin A. Artritis Reumatoid
Juvenil. Juvenile Idiopathic Arthritis. Dalam: Kliegman Robert M ... [et al.]. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19th edition. Philadelphia: Elsevier. 2011; 2671-2689.
20. Saxena N. Is the enthesitis-related arthritis subtype of juvenile idiopathic arthritis a form
of chronic reactive arthritis?. Oxford University Press on behalf of the British Society for
Rheumatology. 2006; 1129-32.
21. Schaller JG. Juvenil Reumatoid Artritis. American Academy of Pediatrics. 1997; 9-11.
22. Cantani A. Autoimmnune Diseases. Dalam: Dr. Ute Heilmann, Heidelberg, Germany.
Pediatric Allergy, Asthma and Immunology. Roma: Springer. 2007; 1075-84.
23. Shiel, William C. Juvenile Rheumatoid Arthritis. Diunduh dari:
http://www.emedicinehealth.com/juvenile_rheumatoid_arthritis/article_em.htm tanggal
19 September 2012
24. Cantani A. Juvenile Rheumatoid Arthritis. Dalam: Pediatric Allergy, Asthma, and
Immunology. Springer Berlin Heidelberg New York.2008:1085-100.

92
25. Bai, Shi Deng. 2010. World Journal of Gastroenterology. 1828-1831.
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2856821/pdf/WJG-15-1828.pdf//. 21 april 2010.
26. Deterding, Robin R., William W. Hay Jr., Myron J. Levin, Judith M. Sondheimer. 2007.
Current Diagnosis and Treatment in Pediatrics 18th ed. McGraw Hill.
27. Bai, J.2007. World Gastroenterology Organization Practice Guidelines : Celiac Disease.
Hal. 8
28. Rodrigo, L.(2006).World Journal of Gastroenterology. Vol 12. hal. 6588
29. Rosenberg, Adam A., Gerald B. Merenstein, David W. Kaplan. 1997. Handbook of
Pediatrics 18th ed. Connecticut : Appleton & Lange.
30. Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta: Binarupa Aksara,
1994. Hal 279-314
31. Pusponegoro HD. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi 1. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI, 2004. hal 149-153
32. Behrman, R.E. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak vol. 2 Ed. 15. Jakarta: EGC; 1999. hal 929-
935
33. Weinzimer SA, Magge S (2005). Type 1 diabetes mellitus in children. Dalam: Moshang T
Jr. Pediatric endocrinology. Philadelphia: Mosby Inc, h 3-18.
34. Rustama DS, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N (2010). Diabetes
Melitus. Dalam: Jose RL Batubara Bambang Tridjaja AAP Aman B. Pulungan, editor.
Buku Ajar Endokrinologi Anak, Jakarta: Sagung Seto 2010, h 124-161.
35. ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009. Pediatric Diabetes 2009: 10.
36. Brink SJ, Lee WRW, Pillay K, Kleinebreil (2010). Diabetes in children and adolescents,
basic training manual for healthcare professionals in developing countries, 1st ed.
Argentina: ISPAD, h 20-21.
37. Yuly, A. Purpura Henoch-Schnlein. Dalam Cermin Dunia Kedokteran Edisi 194 Volume
139 Nomor 6. 2012. Available at http://www.kalbe.co.id diakses tanggal 19 Agustus 2013
38. Bossart P. Henoch-Schnlein Purpura. eMedicine, 2005. Diakses dari
www.emdecine.com/emerg/topic845.htm Diakses tanggal 19 Agustus 2013.
39. DAlessandro DM. Is It Really Henoch-Schnlein Purpura. Pediatric Education, 2009.
Diakses dari http://www.pediatriceducation.org/2009/02/ Diakses tanggal 19 Agustus
2013
40. Jonathan G Gold, Sadeghi-Nejad Ab. Hyperthyroidism. Available at
http://www.emedicine.com/PED/topic1099.htm. Accessed June 5, 2006.
41. Prabhakar BS, Bahn RS, Smith TJ. Current Perspective on Pathogenesis of Graves
Disease and Opthalmopathy. Endocrine Review 2003; 24(6): 802-35.

93
42. Brown RS, Huang S. The Thyroid and Its Disorders. In: Brook CGD, Clayton PE, Brown
RS, eds. Brooks Clinical Pediatric Endocrinology. Massachusetts: Blackwell
Publishing Ltd, 2005: 218-51.
43. Fisher DA. Thyroid Disorders in Childhood and Adolescence. In: Sperling MA, ed.
Pediatric Endocrinology. Philadelphia: Saunders, 2002: 187-207.
44. Birrel G, Cheetam T. Juvenile Thyrotoxicosis; Can We Do Better?. Arch Dis Child 2004;
89: 745-50.
45. Lazar I, et al. Thyrotoxicosis in Prepubertal Children Compared with Pubertal and
Postpubertal Patients. J Clin Endocrinol Metab 2000; 85: 3678-82.
46. Cooper DS. Drug Therapy: Anti Thyroid Drugs. N Engl J Med 2005; 352: 905-17.
47. Styne DM. Disorders of the Thyroid Gland. In: Core Handbooks in Pediatrics
Pediatric Endocrinology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2004: 83-108.

94

Anda mungkin juga menyukai