Anda di halaman 1dari 12

A.

DEFINISI

Definisi dari tidur adalah bentuk fisiologis dan berulang dari penurunan kesadaran

secara reversibel dimana terjadi penurunan fungsi kognitif secara global sehingga otak tidak

merespon secara penuh terhadap stimulus sekitar.

B. ARSITEKTUR SIKLUS BANGUN TIDUR

Siklus bangun tidur meliputi siklus neural internal yang kompleks. Pada orang dewasa

normal siklus ini dibagi menjadi 5 fase, yakni fase 1 sampai dengan 4 yang disebut Non Rapid Eye

Movement Sleep (NREM) dan fase ke 5 yang disebut dengan Rapid Eye Movement Sleep (REM).

Ke lima siklus ini dapat berulang beberapa kali dalam suatu periode tidur. Fase 1 dan 2 disebut

light NREM sedang fase 3 dan 4 disebut deep NREM yang terlihat sebagai gelombang delta atau

slow-wave sleep (SWS)

a. Fase Bangun/ Wakefulness

Pada fase wakefulness ditandai dengan adanya EEG berupa gelombang alfa dengan

amplitudo 14 – 45 mikrovolt dengan frekuensi 8 – 13 Hz pada dewasa. Amplitudo gelombang

alfa lebih tinggi pada usia lebih muda. Gelombang alfa paling jelas di oksipital pada saat

relaxed wakefulness dengan mata terpejan dan akan mengalami penurunan saat membuka

mata atau konsentrasi. Pada fase wakefulness, gambaran rekaman elektrookulografi

didapatkan kedipan mata dengan kontrol volunter. Ketika mulai mengantuk tampak

gambaran slow roling eye movement (SREM). Pada rekaman EMG didapatkan aktivitas yang

tinggi dari otot yang berlangsung secara volunter.

b. Fase Non Rapid Eye Movement

Fase 1 NREM

Fase 1 atau juga disebut drowsiness merupakan fase transisi yang ditandai dengan

munculnya gerakan pendular pelan pada bola mata atau slow eye pendular movement.
Irama bangun menghilang secara bertahap ditandai gelombang alfa yang muncul secara on –

off lalu digantikan dengan gelombang theta dan gelombang verteks. Gelombang theta

adalah gelombang dengan frekuensi 4 – 7 Hz dan berasal dari hipokampus. Gelombang ini

tampak di daerah sentral dan temporal. Gelombang verteks merupakan gelombang tajam

yang memiliki amplitudo defleksi <250 mikrovolt dimana lokasi paling baik didaerah verteks.

Pada EOG tampak gambaran berupa gerakan bola mata pendular yang lambat dan EMG

didapatkan kontraksi otot tonik dengan aktivitas tinggi sedang.

Fase 2 NREM

Fase ini ditandai dengan adanya gelombang delta kurang dari 20%, kompleks K dan

spindel tidur. Fase ini meliputi 45% sampai 55% total waktu tidur. Gelombang spindel tidur

atau juga disebut juga aktivitas sigma adalah gelombang ritme sinusoidal yang berkisar

antara 12 – 14 Hz dengan lokasi frontosentral. Gelombang spindel berlangsung 0,5 – 1,5

detik dengan amplitudo rata – rata berkisar < 50 mikrovolt. Sleep spindle berasal dari

nukleus talamikus yang terletak didekat garis tengah. Kompleks K adalah gelombang difasik

yang memiliki komponen initial negatif atau defleksi yang tajam atau defleksi yang tajam

diikuti fase positif. Gelombang K berdurasi 0,5 detik dan simetris tampak jelas di regio

verteks. Kompleks K dapat terjadi tunggal atau beurutan secara spontan jika mendapat

stimulus auditorik. Pada fase ini pada elektrookulography didapatkan (SREM)yang kadang –

kadang dapat muncul dan EMG yang berupa aktivitas tonus otot yang menurun.

Fase 3 dan 4 NREM

Fase 3 dan 4 secara bersamaan disebut tidur dengan irama delta atau Slow Wave

Sleep (SWS). Fase 3 NREM terjadi jika 20% sampai 50% dari gelombang dasar EEG yang

terekam berupa gelombang delta. Gelombang delta merupakan gelombang dengan

amplitudo yang tinggi berkisar > 75 mikrovolt dengan kecepatan rendahyakni antara 2 – 4

Hz. Gelombang ini berasal dari korteks. Gelombang spindel dapat muncul tetapi lebih jarang.
Gelombang ini dapat muncul selama fase 2,3, dan 4 NREM, namun tidak pernah terlihat

pada fase 1 NREM dan fase REM. Fase 4 NREM terjadi jika paling tidak terdapat 50% dari

gelombang dasar EEG yang terkam berupa gelombang delta. Fase 3 dan 4 NREM dikatakan

sebagai fase tidur yang paling dalam dimana berfungsi mengembalikan kesegaran tubuh dan

merestorasi kondisi tubuh setelah beraktivitas.

c. Fase Rapid Eye Movement

Fase REM ditandai dengan adanya gelombang bervoltase rendah yang bercampur

dengan aktivitas gelombang alfa yang biasanya berkekuatan lebih rendah 1 – 2 Hz dari

gelombang alfa saat bangun atau wakefullness. Juga didapatkan gelombang seperti gergaji

atau saw tooth yang berkekuatan 20 – 100 mikrovolt dengan frekuensi 2 – 5 Hz dan durasi

>0,25 detik yang terlihat di regio frontocentral.

REM memiliki komponen fasik dan tonik. Selama fase tonik, terjadi supresi dari

aktivitas EMG dan gambaran EEG menunjukkan gelombang voltase rendah yang bercampur

alfa.pada fase ini amplitudo respirasi cenderung teratur,paralisis otot dan peningkatan

perfusi darah otak. Pada REM fase fasik dapat terjadi pola twitching dari EMG, tonus otot

yang sangat lemah dan pola detak jantung dan pernafasan yang irreguler. Hasil rekaman

EOG menunjukkan aktivitas pergerakan mata yang meningkat. Selama fase REM, mata akan

bergerak secara cepat dibawah kelopak mata yang tertutup ketika bermimpi.

REM secara normal terjadi 60 – 90 menit setelah dimulainya tidur. Onset dari fase

REM tidak ditentukan dengan adanya gerakan mata yang cepat yang terekam oleh EOG,

namun dapat ditentukan dengan munculnya gelombang gergaji pada EEG.

NEUROANATOMI TIDUR
Tidur berasal dari beberapa proses dalam otak yang meliputi beberapa sirkuit neural yang

saling berhubungan satu sama lain, serta meliputi beberapa neurotrasnmitter yang saling

mempengaruhi satu sama lain.

Perkembangan Tidur

A. Bayi

Bayi yang lahir secara aterm pada umumnya memiliki lama total waktu tidur ± 16 jam

per hari, dengan lama setiap tidur 2 – 4 jam terbagi di siang hari maupun malam hari.

Pola tidur pada bayi lebih dipengaruhi siang hari maupun malam hari. Pola tidur pada

bayi lebih dipengaruhi oleh kebutuhan biologis akan makanan maupun minuman

ketimbang irama sirkadian. Lebih kurang 90% bayi akan mengalami perubahan pola tidur

yang disebut settling pada usia 3 bulan. Settling adalah perubahan pola tidur bayi

dimana waktu tidur dimalam hari akan memanjang dan waktu tidur pada siang hari akan

berkurang. Lama waktu tidur pada bayi usia 6 bulan lebih krang 14,2 jam perhari. Usia 6

– 12 bulan merupakan mulai tumbuh gigi dan mulai disapih sehingga anak dapat

mengalami kecemasan yang dapat mengganggu pola tidur. Pada usia 1 tahun, pola tidur

akan tidak terfregmentasi. Lama waktu tidur pada anak usia 1 tahun lebih kurang 13,9

jam per hari. Pada usia 1 tahun, irama sikardian mulai mengambil alih pengaturan pola

tidur. Hal ini dikarenakan pada usia ini kebutuhan biologis anak akan makanan/minuman

sudah lebih berkurang.

Pemeriksaan EEG pada PSG bayi aterm menunjukkan pola yang berbeda dengan usia

anak – anak maupun orang dewasa. Pada bulan pertama dijumpai gelombang delta

beramplitudo tinggi. Sleep spindle mulai tampak pada usia 4 minggu dan mulai menetap

pada usia 6 – 8 minggu. K kompleks mulai tampak pada usia 6 bulan dan terbentuk

sempurna pada usia 2 tahun. REM mulai tampak pada usia 1 tahun. bayi baru lahir

memiliki gambaran REM pada 50% total sleep time, yang akan berkurang menjadi 40%
pada usia 3 – 5 bulan, dan 30% pada 2 – 23 bulan. Bayi pada usia 0- 3 bulan mengawali

tidur dengan fase REM, setelah berusia > 3bulan tidur baru diawali fase NREM.

Pada bayi prematur sulit untuk menetukan fase tidur-bangun mengingat fungsi kognitif

dan alertness baru terbentuk setelah usia kandungan 28 minggu. Sampai dengan usia

kehamilan 36 minggu, gambaran EEG bayi tidak menunjukan perbedaan antara bangun

dan tidur. Bayi yang dilahirkan pada usia kehamilan 36 – 38 minggu dapat dijumpai

adanya trace alternant yaitu munculnya perubahan antara gambaran EEG saat tidur dan

bangun. Pada fase ini gambaran EEG ditandai dengan adanya burst dari gelombang

lambat beramplitudo tinggi dengan gelombang berfrekuensi cepat diantaranya.

Gambaran ini merupakan penanda quiet sleep atau NREM pada bayi. Sedangkan active

sleep atau fase REM ditandai dengan aktivitas dasar EEG beramplitudo rendah sampai

dengan median yang kontinu.

B. Anak – anak pra-sekolah

Total waktu tidur pada usia ini berkisar 2 – 11,8 jam perhari. Pada usia 2 – 3 tahun. anak

akan mulai tidak tidur siang hari dan pola tidur berubah menjadi satu waktu saja di

malam hari. Selain dipengaruhi oleh irama sikardian, pada usia ini proses tidur sangat

dipengaruhi oleh faktor perkembangan emosi dan lingkungan. Faktor – faktor yang

mempengaruhi proses tidur pada anak antara lain emosi anak yang cenderung mulai

merasa dapat mengatur kapan harus tidur dan bangun, serta teman tidur atau sosok

lekat anak.

C. Pra-remaja dan usia sekolah

Total lama waktu tidur akan berkurangseiring bertambahnya usia. Anak usia 5 tahun

memiliki waktu tidur 11,4 jam per hari, sedangkan anak usia 12 tahun hanya memiliki

total waktu tidur 9,3 jam per hari. Pada usia ini, tidur siang merupakan salah satu faktor
resiko untuk terjadinya gangguan tidur. Aktivitas mengerjakan PR, menonton televisi,

dan olah raga dapat menyebabkan munculnya gangguan tidur yang berupa delayed

sleep onset. Sedangkan minuman berkafein dan obat – obatan neurostimulan dapat

menyebabkan gangguan pada sleep onset. Multiple Sleep Latency Test (MSLT) pada anak

usia sekolah menunjukan sleep latencies yang lebih panjang ketimbang remaja dan

dewasa. Hal ini diduga menyebabkan manifestasi gangguan tidur pada anak tidak selalu

menunjukan gejala mengantuk di siang hari, justru gejala yang muncul pada umumnya

yaitu hiperaktivitas dan gangguan pemusatan perhatian.

D. Remaja

Total waktu tidur pada anak usia 13 – 16 tahun bervariasi antara 9 – 8,1 jam perhari.

Penurunan sleep latency pada MSLT berhubungan dengan perkembangan seksual

menurut Tanner.

Pola tidur pada remaja dipengaruhi oleh lingkungan dan kegiatan sehari – hari. Remaja

umumnya akan memiliki wawktu tidur yang lebih panjang saat akhir pekan. Namun

apabila terjadi perubahan jadwal kegiatan sehari – hari maka dapat terjadi gangguan

tidur. Selain itu, remaja pada umumnya memiliki waktu tidur yang lebih irregular

ketimbang anak – anak karena mereka sudah dapat mengatur kegiatannya sendiri. Hal

ini menyebabkan timbulnya insufisiensi waktu tidur yang akan menimbulkan gejala

kelelahan yang berlebih di siang hari. Hal ini yang mempengaruhi antara lain minuman

berkafein, alkohol, aktivitas menonton televisi, dan mimpi buruk.

Gangguan Tidur Pada Anak

Gangguan tidur terjadi pada sekitar 25% dari anak – anak. Prevalensi gangguan tidur lebih

banyak terjadi pada anak dengan gangguan perkembangan, gangguan medis (dengan

beberapa pengobatan, prosedur medis atau perawatan di rumah sakit), attention deficit
hyperactivity disorder (ADHD), dan gangguan tidur (Obstructive Sleep Apnea [OSA], Periodic

Limb Movement Disorder [PLMD], atau Restless Legs Syndrome [RLS] ). Gangguan tidur

dapat bermanifestasi sebagai bedtime resistanace, Insomnia, problem terbangun malam

hari, ketakutan malam hari, mendengkur, sleep apnea, parasomnia (anuresis, mimpi buruk,

sleep terror), mengantuk berlebihan, gangguan perilaku dan kesulitan akademis.

Tabel 1. Gangguan Tidur pada anak sesuai usia

Kelompok Usia Gangguan tidur yang umum pada anak


Bayi prematur Irregular Sleep Patterns
Neonatus (bayi baru lahi r – 2bln) Irregular Sleep Patterns, termasuk kebalikan
malam dan siang
Bayi (2 – 12 bulan) Difficulties with sleep onset
Bed time resistance
Sleep – onset association disorder
Rhythmic movement disorder
Problematic night wakings
Balita (1 - 3 tahun) Difficulties with sleep onset
Bed time resistance
Limit – setting sleep disorder
Sleep – onset association disorder
Rhythmic movement disorder
Problematic night wakings
Pra sekolah (3-5 tahun) Obstructive sleep apnea
Bed time resistance
Limit – setting sleep disorder
Sleep – onset association disorder
Disordersofarousal (sleep terrors, confusional
arousals, sleep walking)
Problematic night wakings
Night time fears/nightmares
Praremaja (5-14tahun) Snoring
Obstructive sleep apnea
Disordersofarousal (sleep terrors, confusional
arousals, sleep walking)
Insufficient sleep syndrom, inadeqquate
sleep hygiene
Bruxism
Remaja ( 14 – 18 tahun) Snoring
Obstructive sleep apnea
Delayed circadian phase sleep syndrome
Excessive Sleepines
Narcolepsy
Inadequate Sleep hyegiene
Insomnia
A. SLEEP RELATED BREATHING DISORDER

a. Mendengkur

Prevalensi mendengkur pada anak diperkirakan sekitar 3 – 20%. Mendengkur yang

terisolasi pada anak, dijumpai bersama OSA, terkait dengan masalah perilaku dan

akademis, dan kantuk berlebihan. Mendengkur diyakini terkait dengan hipertrofi

adenotonsillar yang signifikan pada sekitar 60% kasus, dan puncak insiden pada usia 2 –

8 tahun, bertepatan dengan puncak pembesaran amandel dan adenoid.

b. Apnea Prematuritas

Bayi kurang dari 37 minggu usia kehamilan dapat terjadi henti nafas sentral yang

berlangsung setidaknya 20 detik serta kejadian singkat yang terkait dengan bradikardia,

hipoksemia, atau kebutuhan untuk intervensi oleh perawat. Jenis yang paling umum dari

kejadian pernapasan adalah apnea campuran. Apnea obstruktif fan sentral jarang

terjadi. Kejadian – kejadian pernafasan ini disebabkan disebabkan oleh imaturitas sistem

kontrol pernapasan.

c. Sleep apnea pada bayi

Sleep apnea pada bayi mirip dengan apnea prematuritas namun dijumpai pada bayi

lebih dari 37 minggu kehamilan. Kedua sleep apnea obstruktif dan sentral atau hipopnea

dapat terjadi pada masa bayi, namun kejadian sentral lebih sering daripada obstruktif.

Kejadian pernafasan dapat dikaitkan dengan hipoksemia, braditakikardia, dan

terbangun. Hal ini lebih sering terjadiselama tidur REM. Faktor yang meningkatkan

resiko dan keparahan sleep apnea bayi termasuk berat badan lahir rendah, penyakit

medis komorbid (anemia, penyakit pulmoner, refluks gastroesofageal, gangguan

metabolik, atau infeksi), penyakit neurologis dan penggunaan obat – obatan, termasuk

anestesi.
d. Sleep apnea pada anak

Diperkirakan hanya sekitar 30% anak dengan OSA mengeluh mengantuk berlebihan. OSA

pada anak dapat bermanifestasi sebagai masalah perilaku dan kesulitan akademis. OSA

terjadi pada sekitar 1 – 5% anak – anak. Faktor resikonya adalah sebagai berikut :

1. Pembesaran adenotonsillar : faktor resiko paling peting OSA pada anak – anak

2. Fitur kraniofasial lain : stenosiskoana, polip nasal, hipoplasiamidfasial, makroglossia,

perbaikan celah palatum, mikrognathia,hipoplasiamandibular, laringomalasia,

stenosis subglottis.

3. Jenis kelamin : terdapat perbedaan jenis kelamin sebelum pubertas; peningkatan

prevalensi anak laki – laki setelah pubertas

4. Obesitas : meskipun kelebihan berat badan merupakan faktor resiko, sebagian besar

anak dengan OSA tidak kelebihan berat badan.

5. Etnis : prevalensi OSA lebih tinggi pada anak ras Afrika – Amerika dibandingkan

dengan Kaukasia

6. Usia : masa puncak OSA pada anak antara 2 – 5 tahun, bertepatan dengan usai

puncak pembesaran adenotonsillar; puncak kedua prevalensi dapat dilihat selama

masa remaja.

7. Sindroma down : peningkatan resiko OSA pada pasien dengan sindroma Down

karena hipotonia, hipoplasia midfasial dan madibula, glossoptosis, dan terkait

obesitas atau hipotiroidisme.

8. Sindroma Prader – Willi : kemungkinan peningkatan OSA karena obesitas dan

hipotonia; gambaran klinis termasuk obesitas, hiperfagi, perawakan pendek, kaki

pendek, fisurra palpebra condong keatas, palatum letak tinggi, hipotonia, retardasi
mental, hipogonadisme, mengantuk berlebihan, hiperkaonia siang hari, dan renspon

ventilasi abnormal terhadap hiperkapnia dam hipoksemia, akibat mutasi pada

kromosom 5.

B. INSOMNIA

Tahap perkembangan mempengaruhi terjadinya gangguan tidur pada anak.berbagai

jenis insomnia dapat berkembang selama berbagai tahap masa kanak – kanak. Kedua

laporan mengenai kualitas tidur baik dari anak maupun orang tua mungkin tidak dapat

diandalkan, dan pengukuran objektif menggunakan polisomnografi atau aktigrafi dapat

menjadi petunjuk yang berguna pada beberapa pasien.

a. Higiene Tidur Inadekuat

Higiene tidue inadekuat merupakan salah satu penyebab paling umum insomnia

inisiasi tidur dan pemeliharaan tidur. Hal ini melibatkan kegiatan anak yang

meningkatkan terbangun (menstimulasi kegiatan yang terlalu dekat dengan waktu

tidur, kontrol lingkungan tidur yang buruk,atau asupan kafein) atau kegiatan yang

menurunkan kecenderungan tidur (jadwal tidur – bangun irregular, waktu yang

berlebihan ditempat tidur, sering menggunakan tempat tidur dan kamar tidur untuk

kegiatan tidak terkait tidur [penggunaan televisi atau komputer], atau tidur di akhir

siang/ tidur awal malam). Higiene tidur inadekuat juga dapat menimbulkan

terbangun malam hari dan kantuk berlebihan.

b. Insomnia Psikofisiologis

Insomnia psikofisiologis, dengan belajar asosiasi mencegah – tidur, ketengan yang

lebih besar, dan kondisi terbangun di lingkungan kamar tidur, bisa terjadi pada anak.

Gambaran klinis, patofisiologi yang mendasari, dan pilihan pengobatan serua

dengan orang dewasa.


c. Bedtime resistance

Resistensi waktu tidur biasanya dimulai saat balita, terkait dengan perkembangan

kemandirian dan otonomi. Pengobatan perilaku resistensi tidur dengan edukasi

orang tua, menjaga konsistensi waktu tidur dan aktivitas malam hari yang tepat,

menjaga lingkungan tempat tidur yang optimal, prosedur extinction, pemadaran

waktu tidur.

d. Limit – Setting Sleep Disorder

Limit – setting sleep disorder biasanya timbul pada usia 3-6 tahun. masalah biasanya

muncul saat anak mulai belajar merangkak dan saat itu anak sudah dipindahkan dari

tisur ditempat tidur bayi yang berpengaman ke tempat tidur biasa tanpa pengaman.

Pada kondisi ini, anak akan merasa “terbebas” sehingga dapat merangkak atau

berjalan kelaur tempat tidur tanpa kesulitan. Anak akan cenderung menjadi rewel

karena mulai dapat menentukan waktu tidurnya sendiri. Apabila orang tua tidak

dapat mengatasi kerewelan anak, maka anak menjadi cemas dan akan semakin sulit

untuk tidur.

e. Sleep – Onset Associaation Disorder

Sleep onset association disorder adalah gangguan dimana anak sulit untuk memulai

tidur.

f. Terbangun Malam Hari

g. Ketakutan Malam Hari

h. Kecemasan pemisahan

Higiene tidur inadekuat merupakan salah satu pnyebab paling umum


C. MENGANTUK

D. CARDIAN RHYTHM SLEEP DISORDER

E. PSRSDOMNIS

F. RHTMIC MOVEMENT DISORDER

G.

1. Nucleus Raphe

2.

Anda mungkin juga menyukai