Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus

ABSES CEREBRI

Diajukan sebagai salah satu syarat kepaniteraan klinik


di Departemen Neurologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Disusun oleh:
Nabilla Faradilla Aryadinata, S. Ked

Pembimbing
dr. Andika Okparasta, Sp. S

DEPARTEMEN NEUROLOGI
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

ABSES CEREBRI

Oleh:
Nabilla Faradilla Aryadinata, S. Ked

Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Neurologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 17 September s.d.
22 Oktober 2018

Palembang, Oktober 2018

dr. Andika Okparasta, SpS

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Abses Cerebri”. Laporan kasus ini
disusun sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen
Neurologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Andika
Okparasta, SpS selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama
penulisan dan penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan di masa yang
akan datang. Mudah-mudahan laporan ini dapat memberi manfaat dan pelajaran
bagi kita semua.

Palembang, Oktober 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................2
KATA PENGANTAR ...........................................................................................3
DAFTAR ISI ..........................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................5
BAB II STATUS PENDERITA ............................................................................6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................20
BAB IV ANALISA KASUS .................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................35

4
BAB I
PENDAHULUAN

Abses otak adalah kumpulan pus pada intraparenkim. Insidensi abses otak
adalah sebanyak 8% dari seluruh massa intracranial pada negara berkembang dan
1-2% pada negara barat.1 Kasus infeksi dari luar seperti fraktur pada tengkorak,
operasi intracranial atau luka tembak hanya memiliki proporsi kecil (tepatnya 10
persen), abses cerebri selalu menjadi bakteremia sekunder dan focus bakterinya
dapat berasal dari manapun dalam tubuh.2 Abses serebri berasal dari area
terlokalisasi dari cerebritis pada parenkim dan berubah menjadi kumpulan pus
yang terselimuti oleh kapsul yang tervaskularisasi baik. Perubahan dari
epidemiologi dan spektrum klinis dari abses cerebri, factor predisposisi dan
prevalensi pathogen bakteri yang berkontribusi terhadap kematian sangat
bervariasi di setiap daerah.1,3
Abses serebri merupakan suatu penyakit multidisiplin yang melibatkan
suatu tim. Tim yang terlibat terdiri dari dokter spesialis neurologi, bedah
neurologi, penyakit infeksi, dan neuroradiologis. Pembentukan abses intracranial
berhubungan langsung terhadap virulensi mikroorganisme dan sistem imun
pasien. Penyakit ini adalah suatu penyakit serius, mengancam nyawa dan dapat
menyebabkan disabilitas apabila salah diagnosis atau tatalaksana yang tidak tepat.
Tatalaksana akan menghasilkan hasil terbaik ketika agen etiologic teridentifikasi
dan mendapat terapi antimikroba yang tepat. Penyebab pathogen dari abses
cerebri sangat bervariasi sesuai dengan lokasi geografi, usia, kondisi medis dan
atau riwayat pembedahan dan jalur penyebaran infeksi. Selama 10 hingga 15
tahun terakhir, insidensi abses otogenik berkurang sedangkan abses cerebri akibat
trauma dan operasi meningkat. Abses cerebri dapat terjadi tanpa gejala dan
memiliki mortalitas tinggi.
Meskipun telah berkembangnya ilmu neuroimaging, teknik bedah neurologi,
neuoranesthesia, isolasi mikrobiologis dan terapi antibiotic, abses serebri bacterial
tetaplah suatu penyakit yang membahayakan dengan tingkat kematian sekitar 10-
60%. Oleh karena itu, laporan kasus ini ditulis agar dapat menambah pengetahuan
dan pemahaman mengenai kasus abses serebri.

5
BAB II
STATUS PENDERITA

I. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. HB
Umur : 69 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sungai Lilin, Banyuasin
Agama : Islam
Tanggal MRS : 15 September 2018
No. RM : 524269

II. ANAMNESIS (Autoanamnesis, 18 September 2018 Pukul 14.30 WIB)


Penderita dirawat di bagian neurologi RSMH karena mengalami kelemahan
sesisi tubuh kiri secara perlahan-lahan.
± 4 bulan lalu pasien mengalami keluhan kelemahan sesisi tubuh kiri secara
perlahan-lahan. Kelemahan semakin lama semakin berat, mulut mengot ada,
bicara menjadi pelo, pasien merasakan nyeri kepala lama, nyeri seperti ditekan,
muncul tiba-tiba, terkadang hilang dengan minum obat. Penderita menyangkal
adanya mual muntah dan kejang. Demam terkadang muncul dengan suhu yang
tidak terlalu tinggi dan hilang timbul, sembuh setelah minum obat penurun panas.
Gangguan sensibilitas berupa rasa baal dan kesemutan disangkal. Penurunan
kesadaran tidak ada, Pasien mampu mengerti isi pikiran orang lain yang
diungkapkan baik secara lisan, tulisan dan isyarat. Pasien mampu mengungkapkan
isi pikirannya baik secara lisan, tulisan dan isyarat.
Penderita memiliki riwayat sakit gigi sejak muda dan gusi sering bengkak dan
nyeri, namun tidak pernah ke dokter gigi. Riwayat demam lama dan sakit kepala
lama ada. Riwayat keluar cairan dari telinga, seks bebas, memakai narkoba suntik
dan memakai tato tidak ada. Riwayat benjolan ditubuh tidak ada, riwayat trauma
kepala dan operasi kepala tidak ada. Riwayat penyakit jantung tidak ada. Riwayat
hipertensi, DM, dan stroke tidak ada. Pasien sudah dirawat di RSUD Sekayu
selama 13 hari, mendapat terapi ceftriaxone, metronidazole, dexamethasone,

6
omeprazole, merlopam. Pasien sudah melakukan pemeriksaan CT Scan di RSUD
Sekayu dan dikatakan terdapat massa berisi cairan dan kemudian dirujuk ke
RSMH Palembang.
Penyakit seperti ini diderita untuk yang pertama kalinya.

III. PEMERIKSAAN FISIK


KeadaanUmum
Kesadaran : GCS = 15(E4M6V5)
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Nadi : 96kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Suhu Badan : 36,8ºC
Pernapasan : 22 kali/menit
BB : 60 kg
TB : 162 cm
IMT : 22,86 kg/m2 (normal)

KeadaanSpesifik
Kepala : Konjungtiva palpebra anemis (-/-),bibir kering (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax
Cor : I:Ictus kordis tidak terlihat.
P: Ictus kordis tak teraba.
P: Batas jantung atas ICS II linea mid klavikula, batas jantung
kanan ICS IV linea para sternalis dextra, batas jantung kiri ICS VI
linea axilaris anterior sinistra.
A: Bunyi jantung I-II (+) normal, HR= 90x/menit, murmur (-),
gallop (-)
Pulmo : I :Statis dan dinamis simetris kiri = kanan
P: Stem fremitus kiri = kanan
P:Sonor
A: Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronki (-)
Abdomen : I : Datar

7
P: Lemas
P: Timpani, hepar dan lien takteraba
A: Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema pretibial (-)
Kulit : Turgor < 2”

Status Psikiatrikus
Sikap : Kooperatif Ekspresi Muka : wajar
Perhatian : adekuat Kontak Psikis : adekuat

Status Neurologikus
Kepala
Bentuk : normosefali Deformitas : tidak ada
Ukuran : normal Fraktur : tidak ada
Simetris : simetris Nyeri fraktur : tidak ada
Hematom : tidak ada Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
Tumor : tidak ada Pulsasi : tidak ada

Leher
Sikap : lurus Deformitas : tidak ada
Torticolis : tidak ada Tumor : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada Pembuluh darah : tidak ada pelebaran

Saraf – Saraf Otak


N. Olfaktorius Kanan Kiri
Penciuman Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Anosmia Tidak ada Tidak ada
Hiposmia Tidak ada Tidak ada
Parosmia Tidak ada Tidak ada

N. Optikus Kanan Kiri


Visus Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

8
Campus visi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Anopsia Tidak ada Tidak ada
Hemianopsia Tidak ada Tidak ada
Fundus Oculi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Papil edema Tidak ada Tidak ada
- Papil atrofi Tidak ada Tidak ada
- Perdarahan retina Tidak ada Tidak ada

N. Occulomotorius, Trochlearis, & Kanan Kiri


Abducens
Diplopia Tidak ada Tidak ada
Celah mata Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Sikap bola mata
- Strabismus Tidak ada (-)
Tidak ada
- Exophtalmus Tidak ada (-)
Tidak ada
- Enophtalmus Tidak ada (-)
Tidak ada
- Deviation conjugae Tidak ada Tidak ada
Gerakan bola mata Ke segala arah Ke segala arah

Pupil
- Bentuk Bulat Bulat
- Diameter 3 mm 3 mm
- Isokor/anisokor Isokor Isokor
- Midriasis/miosis Tidak ada Tidak ada
- Refleks cahaya
 Langsung Ada Ada
 Konsensuil Ada Ada
 Akomodasi Ada Ada
- Argyl Robertson Tidak ada Tidak ada

N. Trigeminus Kanan Kiri

9
Motorik
- Menggigit Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Trismus Tidak ada Tidak ada
- Refleks kornea Ada Ada
Sensorik
- Dahi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Pipi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Dagu Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

N. Fasialis Kanan Kiri


Motorik
- Mengerutkan dahi simetris simetris
- Menutup mata Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Menunjukkan gigi Sudut mulut tertinggal Tidak ada kelainan
- Lipatan nasolabialis Datar Tidak ada kelainan
- Bentuk muka Tidak Simetris Simetris
Sensorik
- 2/3 depan lidah Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Otonom
 Salivasi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
 Lakrimasi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
 Chvostek’s sign Tidak ada Tidak ada

N. Cochlearis Kanan Kiri


Suara bisikan Tidak ada kelainan
Detik arloji Tidak ada kelainan
Tes Weber Tidak ada kelainan
Tes Rinne Tidak ada kelainan

N. Vestibularis Kanan Kiri


Nistagmus Tidak ada Tidak ada

10
Vertigo Tidak ada Tidak ada

N. Glossopharingeus dan N. Vagus Kanan Kiri


Arcus pharingeus Simetris
Uvula di tengah
Gangguan menelan Tidak ada
Suara serak/sengau Tidak ada
Denyut jantung Normal
Refleks
- Muntah Ada
- Batuk Ada
- Okulokardiak Ada
- Sinus karotikus Ada
Sensorik
- 1/3 belakang lidah Tidak ada kelainan

N. Accessorius Kanan Kiri


Mengangkat bahu Tidak ada kelainan
Memutar kepala Tidak ada kelainan

N. Hypoglossus Kanan Kiri


Menjulurkan lidah Deviasi ke kanan
Fasikulasi Tidak ada Tidak ada
Atrofi papil Tidak ada Tidak ada
Disatria Ada Ada

Motorik
Lengan Kanan Kiri
Gerakan Kurang Kurang
Kekuatan 4 2
Tonus Meningkat Meningkat
Klonus

11
Refleks fisiologis
- Biceps +++ (Meningkat) +++ (Meningkat)
- Triceps +++ (Meningkat) +++ (Meningkat)
- Radius +++ (Meningkat) +++ (Meningkat)
- Ulnaris +++ (Meningkat) +++ (Meningkat)
Refleks patologis
- Hoffman Tromner Tidak ada Tidak ada
- Leri Tidak ada Tidak ada
- Meyer Tidak ada Tidak ada

TUNGKAI Kanan Kiri


Gerakan Kurang Kurang
Kekuatan 3 1
Tonus Meningkat Meningkat
Klonus
- Paha Tidak ada Tidak ada
- Kaki Tidak ada Tidak ada
Refleks fisiologis
- KPR +++ (Meningkat) +++ (Meningkat)
- APR +++ (Meningkat) +++ (Meningkat)
Refleks patologis
- Babinsky Tidak ada Tidak ada
- Chaddock Tidak ada Tidak ada
- Oppenheim Tidak ada Tidak ada
- Gordon Tidak ada Tidak ada
- Schaeffer Tidak ada Tidak ada
- Rossolimo Tidak ada Tidak ada

Refleks kulit perut


- Atas Tidak ada kelainan
- Tengah Tidak ada kelainan

12
- Bawah Tidak ada kelainan
Refleks cremaster Tidak ada kelainan
Trofik Tidak ada kelainan

Sensorik : Kanan dan kiri sama

Fungsi Vegetatif
Miksi : Terpasang kateter
Defekasi : Tidak ada kelainan

Kolumna Vertebralis
Kyphosis : Tidak ada
Lordosis : Tidak ada
Gibbus : Tidak ada
Deformitas : Tidak ada
Tumor : Tidak ada
Meningocele : Tidak ada
Hematoma : Tidak ada
Nyeri ketok : Tidak ada

13
Gejala Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : Tidak ada
Kerniq : Tidak ada
Lasseque : Tidak ada
Brudzinsky
- Neck : Tidak ada
- Cheek : Tidak ada
- Symphisis : Tidak ada
- Leg I : Tidak ada
- Leg II : Tidak ada

Gait dan Keseimbangan


Gait Keseimbangan dan Koordinasi
Ataxia : Belum dapat dinilai Romberg : Belum dapat dinilai
Hemiplegic : Belum dapat dinilai Dysmetri : Belum dapat dinilai
Scissor : Belum dapat dinilai Jari-jari : Belum dapat dinilai
Propulsion : Belum dapat dinilai Jari hidung : Belum dapat dinilai
Histeric : Belum dapat dinilai Tumit-tumit : Belum dapat dinilai
Limping : Belum dapat dinilai Reboundphenomen : Belum dapat dinilai
Steppage : Belum dapat dinilai Dysdiadochokinesis : Belum dapat dinilai
Astasia-Abasia: Belum dapat dinilai Trunk Ataxia : Belum dapat dinilai
Limb Ataxia : Belum dapat dinilai

Gerakan Abnormal
Tremor : Tidak ada
Rigiditas : Tidak ada
Bradikinesia : Tidak ada
Chorea : Tidak ada
Athetosis : Tidak ada
Ballismus : Tidak ada

14
Dystoni : Tidak ada
Myocloni : Tidak ada
Refleks Primitif
Glabella : Tidak ada
Palmomental : Tidak ada

Fungsi Luhur
Afasia motorik : Tidak ada
Afasia sensorik : Tidak ada
Apraksia : Tidak ada
Agrafia : Tidak ada
Alexia : Tidak ada
Afasia nominal : Tidak ada

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Darah (RSMH, 15 September 2018)
Jenis Hasil Rujukan Satuan
Pemeriksaan
Hematologi Rutin
Hemoglobin (Hb) 13,5 12,6-17,4 g/dL
Eritrosit (RBC) 4,21 4,40 – 6,30 106/mm3
Leukosit (WBC) 17,6 4,73 – 10,89 103/mm3
Hematokrit 38 41 – 51 %
Trombosit (PLT) 315 170 – 396 103/µL
Hitung Jenis
Basofil 0 0–1 %
Eosinofil 0 1–6 %
Neutrofil 89 50 – 70 %
Limfosit 7 20 – 40 %
Monosit 4 2–8 %
Faal Hemostasis
PT INR
Kontrol 13,40 Detik
Pasien 13,6 12 – 18 Detik
INR 1,01
APTT
Kontrol 31,4 Detik
Pasien 26,5 27 – 42 Detik
Fibrinogen

15
Kontrol 311,0 mg/dL
Pasien 372,0 200 – 400 mg/dL
D-dimer 6,81 < 0,5 µg/mL
Kimia Klinik
Hati
AST/SGOT 15 0 – 38 U/L
ALT/SGPT 8 0 – 41 U/L
Ginjal
Ureum 28 16,6 – 48,5 mg/dL
Kreatinin 0,54 0,50 – 0,90 mg/dL
Elektrolit
Calcium (Ca) 9.0 8.4 – 9.7 mg/dL
Natrium (Na) 145 135 – 155 mEq/L
Kalium (K) 3.3 3.5 – 5.5 mEq/L
Klorida (Cl) 108 96 – 106 mmol/L
Imunoserologi
Hepatitis
HBsAg Non Reaktif
Toxoplasma Ig G 0.10 Non Reaktif <1.6 IU / mL
Toxoplasma Ig M 0.03 Non Reaktif <0.5 Index
Rubella Ig G 21.00 Reaktif > 10 IU /mL
Rubella Ig M 0.22 Non Reactive < Index
1.2
CMV Ig G 93,20 Reaktif >6 AU/mL
CMV Ig M 0.25 Non Reaktif Index
<0.85
Anti HIV Non Reaktif Non Reaktif

Rontgen Thorax ( Sekayu, 10 September 2018) : Kardiomegali dengan


aorta kalsifikasi e.c ASHD

CT-Scan kepala tanpa kontras (Sekayu, 10 September 2018) : Masa kistik


berdinding tebal di lobus parietal kanan, lobus parietal kiri dan frontal kiri

16
dengan perifokal edema sekitarnya dan herniasi subfalcine ke kiri
DD/abses serebri multifocal

17
V. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinik : Hemiparese duplex tipe spastik
Parese N VII dextra tipe sentral
Parese N XII dextra tipe sentral
Diagnosis Topik : Parietooccipital dextra
Frontal sinistra
Temporal Sinistra
Diagnosis Etiologi : Abses serebri multiple

18
VI. PENATALAKSANAAN
A. Norfarmakologis
- Edukasi
- Konsultasi dokter spesialis bedah saraf
- Rencana pemeriksaan Darah Rutin, Darah Kimia ,CT-Scan dan MRI
kepala

B. Farmakologis
- IVFD NaCl 0,9% gtt XX/menit
- Inj. Ceftriaxone 2 x 2 gr IV
- Metronidazole fls 4 x 500 mg IV
- Inj. Dexametasone 1 x 5 mg IV
- Inj. Omperazole 1 x 40 mg IV
- Paracetamol 3 x 1000 mg po
- Amlodipin 1 x 10 mg

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam

19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Abses Cerebri


Abses cerebri adalah suatu proses infeksi dengan kumpulan pus terlokalisasi
pada intraparenkim yang disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus
dan protozoa1,4

3.2 Epidemiologi
Insidensi abses cerebri pada populasi barat adalah sebesar 1500 – 2500
kasus /tahun. Insindensi abses serebri sendiri lebih tinggi pada negara
berkembang. Rasio antara laki-laki dan perempuan bervariasi dari 1,3:1 hingga
3,0:1 pada beberapa sumber. Pasien bervariasi antara bayi hingga orang tua.
Mayoritas abses otak terjadi pada dua decade pertama kehidupan. Penelitian dari
beberapa literatur pada beberapa decade terakhir menunjukkan komplikasi
intracranial akibat sinus paranasal dan infeksi otogenik lebih banyak terjadi.
Insidensi abses cerebri pada anak cenderung lebih rendah. Insidensi pada pasien
berusia < 15 tahun antara 15 hingga 30 %.1 Kasus infeksi dari luar seperti fraktur
pada tengkorak, operasi intracranial atau luka tembak hanya memiliki proporsi
kecil (tepatnya 10 persen), abses cerebri selalu menjadi bakteremia sekunder dan
focus bakterinya dapat berasal dari manapun dalam tubuh.2
Hasil penelitian Hakim AA, terhadap 20 pasien abses otak terkumpul
selama 2 tahun (1984-1986) dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya, menunjukkan
hasil yang tidak jauh berbeda, dimana jumlah penderita abses otak pada laki-laki
> perempuan dengan perbandingan 11:9, berusia sekitar 5 bulan – 50 tahun,
dengan angka kematian 35% (dari 20 penderita, 7 meninggal).5

3.3 Etiologi
Pembentukan abses cerebri dapat terjadi secara kontaminasi, hematogen
atau metastasis. Sinus paranasal adalah sumber penyebaran pus yang paling
sering, terutama pada infeksi sinus frontal menuju ke lobus frontalis, sinus

20
sphenoid menuju ke sinus cavernosus dan telinga tengah / mastoid menyebar ke
lobus temporal dan cerebellum.1,2
Tabel 1. Sumber penyebaran Abses Cerebri6

Mayoritas organisme penyebab abses cerebri bacterial adalah


streptococcus, dimana mereka adalah anaerobic atau microaerophilic. Infeksi
bacteroides, peptostreptokokus dan streptokokus adalah penyebab abses otak
akibat penyebaran kontaminasi. Peptostreptokokus dan streptokokus (khususnya
viridans dan microaerophilik) paling banyak ditemui pada pasien dengan sumber
infeksi jantung (penyakit jantung sianotik) dan shunt dari kanan ke kiri. Infeksi
paru purulent (abses dan bronkiektasis) dan endocarditis bacterial adalah
penyebab tersering dari abses otak pada zaman modern. Pada pasien penyakit
jantung sianotik dapat mengurangi saturasi oksigen arteri dan meningkatkan
viskositas darah dan menyebabkan iskemia fokal cerebri. Penyakit jantung
sianotik adalah factor predisposisi pada anak-anak. Staphylococcus dan
streptokokus banyak ditemui pada pasien yang mengalami prosedur bedah
neurologis sedangkan pada pasien trauma terbuka pada regio kepala banyak
ditemukan bakteri staphylococcus, streptococcus, clostridium dan
entereobactericea. Akhir-akhir ini penyebaran secara hematogen atau metastasis
lebih sering ditemui akibat meningkatnya jumlah pasien dengan imunosupresan,
transplantasi organ, HIV dan penggunaan kemoterapi pada kanker. 1,2
Infeksi jamur, toxoplasma, staphylococcus, streptococcus dan pseudomonas
ditemukan pada pasien imunokompromais seperti pada infeksi HIV,
transplantasiorgan, kemoterapi atau penggunaan steroid. Hifa bercabang dari
infeksi jamur dapat menutup pembuluh darah dan menyebabkan thrombosis arteri
cerebri dan infark. Infark steril dapat menjadi infark septic yang berhubungan

21
dengan pembentukan abses cerebri. Tingkat mortalitas akibat abses jamur
bervariasi antara 75 hingga 100% meskipun telah terapi intensif dengan
amfoterisin B. 1
Tabel 2 . Sumber infeksi dan jenis bakteri6

3.4 Patofisiologi
Abses dapat terjadi dalam empat tahapan antara lain cerebritis awal (1-4
hari), cerebritis lanjut (4-10 hari), pembentukan kapsul awal (11-14 hari) dan
pembentukan kapsul lanjut (> 14 hari). Penentuan stadium abses pada manusia
didapatkan berdasar pemeriksaan CT scan atau MRI. 1,4

22
1. Early Cerebritis
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymorphonuclear leukosit,
limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai
pada hari pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat
pada tunika adventitia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah
nekrosis infeksi. Peradangan perivascular ini disebut cerebritis. Saat ini
terjadi edema disekitar otak dan peningkatan efek masa karena
pembesaran abses.
Gambaran CT Scan pada hari pertama terlihat daerah yang hipodens
dengan sebagian gambaran seperti cincin. Pada hari ketiga gambaran
cincin lebih jelas sesuai dengan diameter cerebritisnya. Dapat mengelilingi
pusat nekrosis.
2. Late Cerebritis
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat
nekrosis membesar oleh karena peningkatan “acellular debris” dan
pembentukan nanah karena pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Ditepi
pusat nekrosis didapati daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan
gambaran fibroblast yang terpencar. Fibroblast mulai menjadi reticulum
yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar
maksimal sehingga lesi menjadi sangat besar.
Gambaran CT Scan tampak gambaran cincin sempurna, 10 menit setelah
pemberian kontras perinfus. Kontras masuk ke daerah sentral dengan
gambaran lesi homogen menunjukkan adanya cerebritis.
3. Early capsule formation
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag-makrofag menelan “acellular
debris” dan fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan
fibroblast membentuk anyaman reticulum mengelilingi pusat nekrosis.
Didaerah ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh karena
kurangnya vaskularisasi didaerah substansi putih dibandingkan substansi
abu. Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan tengah
memungkinkan abses membesar kedalam substansi putih. Bila abses
cukup besar, dapat robek kedalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan

23
kapsul, terlihat daerah anyaman reticulum yang tersebar membentuk
kapsul kollagen, reaksi astrosit disekitar otak mulai meningkat.
Gambaran CT-Scan hampir sama dengan fase cerebritis, tetapi pusat
nekrosis lebih kecil dan kapsul terlihat lebih tebal.
4. Late capsule formation
Terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran histologis sebagai
berikut: bentuk pusat nekrosis diisi oleh “acellular debris” dan sel-sel
radang. Daerah tepi dari sel radang, makrofag dan fibroblast. Kapsul
kolagen yang tebal. Lapisan neovascular sehubungan dengan cerebritis
yang berlanjut. Reaksi astrosit, gliosis dan edema otak diluar kapsul.
Gambaran CT-Scan gambaran kapsul dari abses jelas terlihat, sedangkan
daerah nekrosis tidak diisi oleh kontras.
Aktivasi sel glial pada abses adalah melalui parenkima mikroglia dan
astrosit. Aktivasi mikroglia memiliki potensi untuk memengaruhi tipe dan
perluasan antibiotic terhadap system imun melalui upregulasi dari MHC kelas II
dan ekspresi molekul kostimulator. Pelepasan lebih lanjut dari mediator
proinflamasi dapat melukai jaringan otak sekitar.Sitokin IL-1 dan TNF-alfa
memiliki peran penting terhadap efektivitas respon antibakteri pada parenkim
SSP. Penelitian terbaru menunjukkan aktivasi system imun berhubungan dengan
abses otak dengan peningkatan kadar IL-1, TNF-alfa dan MIP-2 yang dideteksi
pada hari ke 14 – 21. Hal ini menunjukkan intervensi dengan komponen anti-
inflamasi berhubungan dengan netralisasi bakteri dan mungkin dapat menjadi
ssuatu strategi efektif untuk mengurangi kerusakan pada parenkima otak sekitar
dan meningkatkan perbaikan keluaran kognitif dan neurologis. 1
Abses otogenik dan rhinogenik mencapai system saraf melalui perluasan
langsung, dimana tulang dari telinga tengah atau sinus nasal menjadi
osteomyelitis, dengan penetrasi dari dura dan leptomeningens, infeksi dapat
menyebar melalui vena intracranial. Thromboflebitis dari vena piamater dan sinus
duramater akibat jaringan otak yang infark menyebabkan otak lebih mudah untuk
diinvasi bahan infeksius. Hubungan langsung dari sinus lateral (transversus)
terhadap cerebellum menjelaskan seringnya infeksi otak apabila terjadi sinusitis
melalui rute vena. 2

24
Mayoritas abses otak saat ini adalah metastasis yaitu dari jalur hematogen.
Hal ini ditemukan bahwa endocarditis bacterial atau focus primer pada paru atau
pleura adalah penyebabnya. Penyebab lain dapat berhubungan dari organ pelvis,
kulit, tonsil, gigi, dan osteomyelitis tulang bukan tengkorak. Abses metastasis dari
hematogen menyebar pada daerah arteri cerebri media. Harus diketahui bahwa
secara klinis dan radiologis abses soliter dapat menyerupai tumor otak. Lesi
cerebral dalam bentuk endocarditis disebabkan oleh oklusi emboli pada
pembuluhdarah oleh pecahnya vegetasi dan bakteri sehingga menyebabkan infark
jaringan otak dan respon inflamasi terbatas pada pembuluh darah otak sekitar dan
menyebabkan cerebritis. Gejala stroke dapat merupakan manifestasi pertama pada
penyakit ini. Umumnya jarang terjadi abses bersamaan meningitis bacterial dan
umumnya cairan serebrospinal bersifat steril.2

3.5 Patologi
Inflamasi eksudat terlokalisasi, thrombosis septic pembuluh darah, dan
pengumpulan degenerasi leukosit menunjukkan reaksi awal dari invasi bakteri ke
otak. Disekitar jaringan nekrotik adalah makrofag, astroglia, mikroglia, dan
banyak vena kecil, beberapa menunjukkan hyperplasia endotel, mengandung
fibrin dan leukosit polimorfonuklear. Terdapat edema interstitial mengelilingi
white matter.2
Dalam beberapa hari, intensitas dari reaksi mulai menurun dan infeksi
cenderung mulai menghilang. Bagian tengah dari abses memiliki karakteristik
pus, pada bagian pinggirannya terjadi proliferasi fibroblast dari pembuluh darah
baru terbentuk dan membentuk jaringan granulasi. Saat abses menjadi lebih
kronis, jaringan granulasi digantikan oleh jaringan ikat kolagen. Oleh karena itu
tebal kapsul dari abses tidak sama antar individu. 2

3.6 Manifestasi klinis


Abses dapat menimbulkan empat dasar sindroma antara lain perluasan
massa fokal, hipertensi intracranial, kerusakan diffuse, deficit neurologis fokal.
Terdapat beberapa variasi pada manifestasi klinis yang terjadi antara lain : 1
 Sakit kepala

25
 Penurunan kesadaran
 Mual dan/atau muntah
 Demam, akan tetapi demam hanya menunjukkan karakteristik awal dari fase
invasive abses, temperature dapat kembali normal ketika abses telah
membentuk kapsul, hal yang sama terjadi dengan leukosit
 Kejang fokal atau umum
 Gangguan fokal motoris, sensoris atau bicara
Abses juga memiliki gejala penyebab seperti infeksi perikranial seperti sinusitis,
mastoiditis, otitis media, endocarditis. Pasien tanpa focus infeksi jelas, sakit
kepala atau gejala cerebral lain dapat disebabkan oleh gangguan jantung bawaan.
Pada beberapa pasien, invasi bakteri ke otak dapat bersifat asimptomatik atau
dapat hanya terlihat sebagai gangguan fokal neurologis sementara. Sindroma
klinis ini diakibatkan suatu gaya yang terjadi akibat interaksi host dan bakteri,
jumlah, ukuran dan distribusi abses, struktur otak yang terlibat dan anatomi
sekitar yang terlibat seperti cisterna dan ventrikel. Mayoritas abses terbentuk pada
lobus frontal, temporal dan fossa posterior. 1

Tabel 3. Tanda dan Gejala Abses Cerebri6

26
3.7 Diagnosis Banding
Pemeriksaan radiologi sendiri tidaklah cukup untuk mendiagnosis banding
abses dari penyebab bakteri, jamur, tuberculosis, granulmoma inflamasi
(tuberculoma), neurosistiserkosis, toxoplasmosis, metastasis karsinoma, glioma,
subdural hematoma, infark, perbaikan perdarahan cerebral, kista hydatid limfoma
dan radionekrosis. Akan tetapi demam, rangsang meningeal, peningkatan LED,
multilokuleritas, penguatan leptomeningeal atau ependymal, pengurangan
penguatan pada CT Scan yang telat adalah lesi yang mengarah ke diagnosis abses.
1,2

3.8 Diagnosis
Diagnosis pada pasien suspek abses otak bersifat multidisiplin meliputi
dokter neurologi, neuroradiologist, bedah neurologi, dan spesialis penyakit
infeksi. Diagnosis abses otak saat ini cenderung kepada CT Scan yang sangat baik
untuk melihat parenkima dan sinus paranasal, mastoid, dan telinga tengah.7 CT
Scan dan MRI adalah dua alat diagnostic yang sangat penting. CT Scan digunakan
untuk deteksi awal, menentukan lokasi, dan karakteristik yang akurat, menentukan
jumlah, ukuran dan stadium dari abses. CT Scan juga dapat mendeteksi
hidrosefalus, peningkatan tekanan intracranial, edema dan infeksi yang
berhubungan seperti empyema subdural, ventriculitis dan menentukan rencana
tatalaksana. Apabila lesi multiple, dan terletak di tengah daerah arteri cerebri
biasanya disebabkan penyebaran hematogen seperti endocarditis, shunt jantung
atau malformasi vaskuler paru. Pada fase awal, CT scan tanpa kontras dapat
menunjukkan abnormalitas dengan efek masa. Pada fase akhir, cincin kapsul
perifer yang sempurna dapat terlihat. Penguatan kontras kapsul dapat terlihat pada
fase akhir abses. Pada fase awal kapsul sulit tervisualisasi dengan teknik
konvensional, dan kontras CT ganda dapat membantu menemukan abses yang
terenkapsulasi. 1
MRI dapat melihat abses piogenik secara akurat. Daerah tengah dengan
liquefaksi dapat memberikan signal tinggi sedangkan jaringan otak yang edema
sekitarnya memberikan sinyal rendah pada sekuens T1. Pada sekuens T2, pada
daerah nekrosis menunjukkan sinyal lebih tinggi mirip dengan gray matter.

27
Maturitas dari abses diindikasikan oleh kapsulnya, dimana kapsul terbentuk akibat
kolagen dan inflamasi akibat radikal bebas dan perdarahan mikro di dinding
abses. Zona inflamasi cenderung lebih tebal pada trabekula. Temuan MRI
tergantung dari stadium infeksi. Pada fase awal MRI akan ditemukan sinyal
rendah pada T1WI dan sinyal kuat pada T2WI disertai penguatan. Pada fase
lanjut, sinyal rendah pada T1W1 menjadi lebih jelas dengan sinyal tinggi T2 pada
kavitas dan parenkima sekitar. Kavitas abses menunjukkan hiperintens pada T1WI
dan hipointens pada T2WI. Sama seperti CT, MRI juga menunjukkan penguatan
berbentuk cincin pada jaringan sekitar abses. Akan tetapi penguatan berbentuk
cincin tidaklah sepsifik dan harus dipastikan dengan klinis. Pada gambaran
penguatan ring berebentuk irregular, tebal dan nodular dapat menunjukkan
kecenderungan pada tumor atau infeksi jamur. Diagnosis banding abses pada MRI
adalah hematoma, metastase dan granuloma. 1

Gambar 1 MRI menunjukkan abses cerebri pada lobus frontal kanan dengan
karakteristik penguatan berbentuk cincin.1

Tepatnya sebesar 20% kultur mikrobiologis dari jaringan abses masih steril.
Pemeriksaan PCR adalah suatu alternative baru, tetapi data melaporkan bahwa
penggunaan spesifik dengan PCR jarang dilakukan. PCR adalah alat untuk
mendeteksi organism yang sulit dideteksi seperti spesies fusobacterium dan
aspergillus. PCR adalah alat yang cepat dan sensitive terhadap pemeriksaan abses
cerebri. 1
Pemeriksaan kultur darah dan rontgen dada tidak dapat dibedakan pada
diagnosis abses, meskipun bahwa terkadang kultur darah dapat menemukan jenis
infeksi.

28
3.9 Penatalaksanaan
Tidak terdapat aturan tertulis khusus terhadap tatalaksana abses cerebri dan
setiap kasus harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Terapi utama adalah
pemberian antibiotik dan pembedahan1

Farmakologi
Pada beberapa kasus abses cerebri derajat awal dapat disembuhkan dengan
pemberian antibiotic dosis tinggi.2 Pemberian terapi awal sebaiknya adalah
pemberian antibiotic spektrum luas yang menembus blood brain barrier. Setelah
pus didrainase dan hasil sensitifitas antibiotic didapatkan, pemberian antibiotic
spesifik haruslah diberi sesuai dengan organisme yang ditemukan. Apabila kultur
menunjukkan tidak ada organisme, maka pemberian obat antibiotic spektrum luas
harus dilanjutkan sesuai dengan kemungkinan penyebab dan lokasi anatomis
abses. Kompleksitasi dari flora mikrobia pada abses otak dibutuhkan untuk terapi
empiris melawan organisme aerobic dan anaerobic. Lebih dari sepertiga abses
otogenik dan metastasis adalah polimikroba (aerobic dan atau anaerobic).
Bakteroides, peptostreptococcus dan fusobacterium adalah penyebab anaerobic
dan lebih sensitive terhadap metronidazole. Abses rhinogenik cenderung
streptococcus. Staphylococcus adalah penyebab utama pada kasus postrauma dan
postoperative. Pada bayi dan neonates, abses post meningitis disebabkan oleh
organisme gram negative. Obat sulfa adalah paling efektif pada nocardia dan
vankomisin melawan staphylococcus. Biasanya antibiotic tiga macam dalam dosis
tinggi intravena selama 2 minggu dilanjutkan 4 minggu oral antibiotic lebih
direkomendasikan. Biasanya antibiotic yg diberikan adalah ceftriakson,
vancomisin dan metronidazole. 1,2
Organisme oportunistik yang tidak patogenik pada manusia dapat
menimbulkan abses otak pada pasien imunokompromais. Antibiotik diberikan
selama 3-12 bulan. Metronidazol dapat secara langsung mempenetrasi abses otak.
Obat ini memiliki aktivitas bakterisidal yang efektif terhadap banyak organisme
anaerob tetapi tidak aktif melawan organisme aerobic. 1
Pemberian steroid sebaiknya dihindari kecuali pasien memiliki tanda
meningitis atau edema sitotoksik yang mengancam nyawa. Kortikosteroid

29
mengurangi penguatan dinding abses pada CT. Sehingga pengurangan penguatan
sebaiknya tidak diinterpretasikan sebagai resolusi dari abses dan indikasi
efektivitas terapi, akan tetapi perubahan volume abses lebih efektif mengevaluasi
efektifitas terapi. 1
Peningkatan tekanan intracranial dan herniasi dapat ditatalaksana
menggunakan mannitol intravena (atau cairan salin hipertonik) dan deksametason
6 – 12 mg per 6 jam. Apabila tidak terjadi perbaikan, maka aspirasi abses
stereotaktikal atau pembuangannya dengan prosedur terbuka dapat
menghilangkan etiologic diagnosis.2
Terapi antikejang dapat diberikan selama 5 tahun pada seluruh pasien
dengan abses serebral. Penghentian obat antiepilepsi dapat diberikan bila pasien
sudah bebas kejang selama paling tidak 2 tahun setelah bedah atau EEG tidak
menunjukkan aktivitas epileptic. 1
Tabel 4. Pilihan Tatalaksana Antibiotic Pada Abses Cerebri6

Pembedahan
Pada stase cerebritis dan pembentukan awal abses, operasi intracranial
membawa perbaikan yang tidak terlalu baik dan akan menyebabkan kerusakan
lebih parah dan pembengkakan jaringan otak dan kemungkinan infeksi lebih
2
lanjut. Mayoritas abses piogenik membutuhkan intervensi sedangkan abses
tuberkulosa diterapi secara konservatif. Terapi awal adalah dengan drainase abses
melalui drill craniotomy, apabila pus tebal dan tidak adekuat untuk didrainase
maka prosedur berikutnya adalah terapi drainase dengan burrhole. Drainase
adekuat dari pus memberikan perbaikan secara langsung dan memperbaiki
stabilitas hemodinamik. Indikasi dari kraniotomi adalah abses multiloculated dan
pus yang tebal. Pasien datang dengan deficit neurologis progresif akibat efek
masa adalah kandidat yang sulit untuk dekompresi urgent oleh bedah neurologis

30
dan internist. Craniotomi sering dilakukan sebelum era CT scan dan saat ini
bukanlah tatalaksana lini pertama. Aspirasi berulang dengan drainase telah
menggantikan eksisi total. Terapi bedah terbuka masih menjadi preferensi pada
tatalaksana abses otak dengan kombinasi tatalaksana medis, ada tanda-tanda
peningkatan intracranial, kesulitan diagnosis, abses traumatic, dan lesi terletak
pada fossa posterior dan curiga infeksi dari jamur. Eksisi direkomendasikan pada
abses multilokulated, posttrauma dan abses akibat komunikasi fistulosa. 1 Eksisi
total direkomendasikan hanya pada abses soliter, superficial dan terkapsulasi
dengan baik atau berhubungan dengan benda asing. Apabila abses terletak dalam
maka aspirasi berulang adalah pilihan terapi. 2

3.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat abses cerebri adalah :4
 Robeknya kapsul abses kedalam ventrikel atau ke ruangan subarakhnoidal
 Penyumbatan cairan serebrospinal sehingga terjadi hidrosefalus
 Edema otak
 Herniasi tentorial oleh masa abses otak

3.11 Prognosis
Pada zaman setelah ada CT scan, mortalitas abses berkurang dari 40-60
persen menjadi 17-32%. Prognosis jelek ditunjukkan pada pasien
imunokompromais, diabetes melitus, sirosis dan memiliki GCS rendah. Penelitian
oleh Radoi dkk mendapatkan bahwa tingkat keberhasilan terapi tidak ditentukan
oleh jenis tatalaksana dan pemilihan jenis operasi, akan tetapi tingkat kesadaran
rendah, dan penurunan fungsi neurologis cepat dapat memberi prognosis lebih
1,8
jelek. Penelitian oleh Bidzinski dan koszweski didapatkan sebanyak 63%
pasien memiliki penyembuhan baik, 23% disabilitas sedang, 9% disabilitas berat
dan 5% pasien meninggal.9 Chowdhury dkk juga menyebutkan bahwa pada
pengalaman pembedahan abses cerebri sebanyak 162 kasus, mortalitas tidak
berhubungan dengan jenis pembedahan tetapi pada GCS saat pasien datang
berobat.10 Lebih dari 50 persen pasien dengan penurunan kesadaran sebelum
tatalaksana cenderung meninggal. Pasien dengan infeksi pada bagian dalam

31
seperti (ganglia basal atau thalamus) memiliki keluaran jelek. Pada 30-50 %
pasien mengalami kejang jangka panjang. Efek jangka panjang setelah resolusi
abses meliputi kejang kehilangan kesehatan mental dan deficit neurologis akibat
kehilangan neuron saat infeksi. Sebanyak 30 persen pasien selamat memiliki
deficit neurologis. Cansever dkk melaporkan bahwa setelah operasi eksisi terdapat
sebanyak 5,2% pasien deficit neurologis dan sebanyak 31,2-47,7% kejang.
Kejadian epilepsy pasca abses cerebri adalah 5,2-25%. Rasio rekurensi diduga
sebesar 10-50%. 1,2

32
BAB IV
ANALISIS KASUS

Penderita datang dengan keluhan utama mengalami kelemahan sesisi tubuh


kiri secara perlahan-lahan. Keluhan ini dialami penderita sejak 4 bulan lalu.
Kelemahan dirasakan semakin berat. Hal ini menandakan bahwa pasien
mengalami hemiparesis sebelah kiri. Penyebab hemiparesis ini sangat banyak
seperti stroke, tumor otak, atau abses cerebri. Tetapi keluhan hemiparesis ini
dirasakan perlahan-lahan sehingga diagnosis banding stroke dapat disingkirkan.
Pasien mengeluhkan nyeri kepala yang sudah lama dirasakan. Nyeri kepala seperti
ditekan, muncul tiba-tiba, terkadang hilang dengan minum obat. Penderita
menyangkal adanya mual muntah dan kejang. Demam terkadang muncul dengan
suhu yang tidak terlalu tinggi dan hilang timbul, sembuh setelah minum obat
penurun panas. Hal ini menandakan adanya suatu sefalgia kronis, demam dan
disertai defisit neurologis. Kemungkinan pasien ini memiliki suatu massa pada
otak yang dapat menyebabkan keluhan tersebut, massa di otak antara lain dapat
berupa tumor atau abses. Demam sendiri dapat lebih mengarahkan kepada adanya
suatu abses cerebri. Penderita juga mengeluhkan bibir mengot ada dan bicara
menjadi pelo, hal ini mengindikasikan adanya parese pada nervus kranialis ke VII
dan XII.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan lipatan nasolabialis kanan datar tetapi
kedua dahi masih bisa mengkerut dan adanya deviasi lidah ke kanan. Hal ini
menunjukkan adanya parese N VII dan N XII kanan tipe sentral. Pada
pemeriksaan neurologis ditemukan gerakan motorik kedua lengan dan tungkai
berkurang, kekuatan keduanya juga menurun, tonus dan reflex fisiologis lengan
dan tungkai kiri meningkat.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik di dapatkan beberapa
diagnosis banding topik dan etiologi antara lain:
Gangguan Cerebelum UMN LMN NMJ Penderita
Peningkatan Ya/Tidak Ya Tidak Ya Ya
Tonus
Gangguan Gait Ya Ya/Tidak Ya Ya/Tidak Tidak

33
Hemiparese/plegi Tidak Ya Tidak Tidak Ya
Gang. Fungsi Tidak Ya/Tidak Tidak Tidak Tidak
Luhur
Spastisitas Ya/Tidak Ya Ya Ya Ya
Distress napas Tidak Tidak Potensial Potensial Tidak
Trismus Tidak Tidak Tidak Ya/Tidak Tidak

Berdasarkan paparan di atas maka diagnosis topik pada pasien ini yaitu pada
UMN. Salah satu etiologi yang dapat menyebabkan gangguan UMN adalah abses
cerebri, tumor otak dan stroke.
Penderita memiliki riwayat sakit gigi yang disertai gusi bengkak sejak muda
namun tidak pernah ke dokter gigi. Hal ini adalah suatu faktor predisposisi
terhadap kejadian abses cerebri dimana salah satu penyebaran dari abses cerebri
dapat disebabkan dari infeksi gigi. Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah dan
pemeriksaan CT-Scan kepala. Pada pemeriksaan darah didapatkan leukositosis
yang diinterpretasikan sebagai proses infeksi dan juga menyingkirkan
kemungkinan focus infeksi lain seperti TB dan HIV. Pada pemeriksaan CT-Scan
didapatkan masa kistik berdinding tebal di lobus parietal kanan, lobus parietal kiri
dan frontal kiri dengan perifokal edema sekitarnya dan herniasi subfalcine ke kiri
yang mengarah ke abses cerebri.
Tujuan terapi abses cerebri adalah pemberian antibiotik untuk menghilangkan
proses infeksi, tatalaksana edema otak, mengurangi gejala dan pembedahan. Pada
pasien ini diberikan obat ceftriakson 2 x 2 gr IV dan metronidazole 4 x 500 mg
IV. Pemberian ceftriakson adalah karena antibiotic ini bersifat broad spectrum
(gram positif dan negative) serta diberikan dalam dosis besar untuk menembus
sawar darah otak. Pemberian metronidazole sendiri untuk tatalaksana bakteri
anaerobik. Pemberian dexametason sendiri adalah untuk mengurangi edema otak.
Untuk mengurangi gejala demam diberikan obat paracetamol dan untuk
mengurangi mual muntah yang dapat disebabkan oleh peningkatan TIK diberikan
omeprazole. Terapi definitif dari abses cerebri sendiri akan dikonsulkan kepada
dokter bedah saraf untuk pemilihan jenis pembedahannya.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Muzumdar D, Jahwar S, Goel A. Bran Abscess: An Overview.


International Journal of Surgery 9. 2011; 136-144.
2. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor’s Principle of
Neurology 10th Ed. : Infection of Nervous System, Brain Abscess.
McGraw-Hill. 2014;714-7
3. Ingham HR, Selkon JB & Roxby CM. Bacteriological study of otogenic
cerebral abscess. British Med J. 1977
4. Hakim, AA. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No4 : Abses Otak.
Medan : Departemen Bedah Fakultas Kedokteran USU RSUP Adam
Malik. 2005;324-7.
5. Hakim AA. Pengamatan pengelolaan abses otak di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. Surabaya : RSUD Dr. Soetomo. 1984-1986.
6. Miranda HA, Leones SMC, Elzain MA, Salazar LRM. Brain Abscess:
Current Management. Mexico : Journal of Neuroscience. 2013;1-16.
7. Mustafa M, Iftikhar M, Latif MI, Munaidy RK. Brain Abscess:
Pathogenesis, Diagnosis and Management Strategies. IMPACT:
International Journa of Research in Applied. 2014;299-308.
8. Radoi M, Ciubotaru V, Tataranu L. Brain Abscess: Clinical Experience
and Outcome of 52 Consecutive Cases. Romania: Chirurgia.
2013;108:215-225.
9. Bidzinski J, Koszewski W. The value of different methods of treatment of
brain abscess in CT era. Acta Neurochir (wien). 1990;105 (3-4):117-20
10. Chowdhury Fh, Haque MR, Sarkar MH, Chowdhury SM, Hossain Z,
Ranjan S. Brain Abscess: Surgical Experiences of 162 Cases.
Neuroimmunol Neuroinflamation. 2015;2(3):153-61.

35

Anda mungkin juga menyukai