Anda di halaman 1dari 25

Referat

GAMBARAN RADIOLOGI SPONDILITIS TUBERKULOSA

Oleh:

Ayu Aprilisa Dahni Putri, S.Ked 04084821820010

Pembimbing:
dr. Hanna Marsinta Uli, Sp.Rad

DEPARTEMEN RADIOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT
Gambaran Radiologi Spondilitis Tuberkulosa

oleh:

Ayu Aprilisa Dahni Putri, S.Ked 04084821820010

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, Rumah Sakir Umum Pusat Mohammad Hoesin Palembang periode 4
Oktober - 22 Oktober 2018.10.17

Palembang, Oktober 2018

dr. Hanna Marsinta Uli, Sp.Rad


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Spondilitis
Tuberkulosa” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Tugas referat ini dibuat untuk
memenuhi salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen
Radiologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya.
Dalam penulisan referat ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak,
dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Hanna
Marsinta Uli, Sp.Rad, selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan
arahan selama penulisan referat ini sehingga menjadi lebih baik. Penulis menyadari
masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan laporan kasus ini. Oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun sangat mengharapkan untuk penulisan
yang lebih baik di masa datang.

Palembang, Oktober 2018

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 5
BAB II. ANALISIS KASUS................................................................................... 6
2.1 Anatomi Vertebra ........................................................................................... 6
2.2 Definisi .......................................................................................................... 8
2.3 Epidemiologi ................................................................................................. 8
2.4 Etiologi .......................................................................................................... 9
2.5 Patofisiologi................................................................................................... 9
2.6 Diagnosis...................................................................................................... 12
2.6.1 Gambaran Klinis.................................................................................. 12
2.6.2 Laboratorium........................................................................................ 12
2.7 Gambaran Radiologi Spondilitis Tuberkulosa ............................................ 13
2.8 Diagnosa ....................................................................................................... 19
2.9 Pengobatan.................................................................................................... 21
2.9.1 Terapi Konservatif................................................................................ 21
2.9.2 Terapi Operatif..................................................................................... 22
2.10 Prognosis..................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi spinal oleh tuberkulosis, atau yang biasa disebut sebagai spondilitis
tuberkulosis (TB), sangat berpotensi menyebabkan morbiditas serius, termasuk defisit
neurologis dan deformitas tulang belakang yang permanen, oleh karena itu diagnosis
dini sangatlah penting. Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering
disalahartikan sebagai neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya (Camillo,
2008). Diagnosis biasanya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah
terjadi deformitas tulang belakang yang berat dan defisit neurologis yang bermakna
seperti paraplegia (Cormican et al., 2006).
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa terdapat 10,4 juta kasus
TB baru sepanjang tahun 2015. Enam puluh persen diantaranya tercatat berasal dari
enam negara dimana Indonesia tercatat sebagai negara kedua terbanyak setelah India,
diikuti oleh China, Nigeria, Pakistan dan Korea Selatan (WHO, 2016).
Setidaknya hingga 20 persen penderita TB paru akan mengalami penyebaran TB
ekstraparu. Tuberkulosis ekstraparu dapat berupa TB otak, gastrointestinal, ginjal,
genital, kulit, getah bening, osteoartikular, dan endometrial. Sebelas persen dari TB
ekstraparu adalah TB osteoartikular dimana sebagian besar mengenai tulang belakang
(WHO, 2016).
Radiologi merupakan salah satu modalitas penunjang yang paling berperan dalam
membantu penegakan diagnosis Spondilitis TB. Klinisi dapat menemukan
penyempitan jarak antara diskus intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan
vertebra, sekuentrasi serta massa para vertebra (Teo dan Peh, 2004). Sesuai dengan
pendahuluan ini penulis tertarik untuk membahas mengenai gambaran radiologi yang
dapat digunakan dalam membantu penegakan diagnosis kasus spondilitis Tuberkulosa
sehingga pasien mampu di tatalaksana dengan tepat dan lebih cepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI VERTEBRA


Kolumna vertebtra terdiri atas 33 ruas tulang yang terdiri dari:
7 ruas tulang cervical
12 ruas tulang thorakal
5 ruas tulang lumbal
5 ruas tulang sakral (sacrum)
4 ruas tulang ekor (coccygis)
Tulang belakang yang merupakan penopang aksial tubuh memanjang dari dasar
tengkorak sampai ulang panggul (pelvis), tempat berat tubuh disalurkan ke kedua
tungkai. Tulang belakang juga melingkupi dan melindungi sumsum tulang belakang
dan merupakan tempat perlekatan otot punggung dan leher. Di antara masing-masing
ruas-ruas tulang belakang terdapat bantalan berupa bangunan pipih yang elastis dan
kompresif disebut cakram antar ruas tulang belakang (discus intervertebralis) yang
memberikan fleksibilitas dan kompresibilitas tulang belakang. Susunan tulang
belakang yang memanjang ini pasti tidak dapat berdiri tegak sendiri . Ia didukung dan
diperkuat oleh ligamentum ( bangunan terdiri atas jaringan ikat fibreus) baik yang
berbentuk pendek-pendek maupun memanjang seperti pita : ligamentum longitudinale
anterior dan posterior yang menutupi masing-masing dataran depan dan belakang
tulang belakang.8,9
Bangunan lain yang mendukung tulang belakang adalah susunan otot-otot yang
perlekatannya adalah pada ruas-ruas tulang belakang itu sendiri. Pada keadaan normal
tulang belakang mempunyai kelengkungan ke depan di daerah leher dan pinggang,
kelengkungan ke belakang di daerah ruas tulang belakang dada dan tulang sakrum.8
Gambar 1.
A. Anatomy of spine
B. Vertebral Body 21, 10
2.2 DEFINISI
Penyakit Pott, juga dikenal sebagai spondilitis tuberkulosis, adalah salah satu
penyakit tertua yang pernah diderita umat manusia, yang telah ditemukan pada sisa-
sisa tulang belakang dari Zaman Besi dan pada mumi kuno dari Mesir dan Peru.
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan
granulomatous yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium Tuberculosis. Pada
1779, Percivall Pott, yang memberi nama penyakit ini, menyajikan deskripsi klasik
dari tuberkulosis tulang belakang bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini
dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga
sebagai penyakit Pott.1,2,3
Tuberkulosis tulang belakang mungkin menjadi bentuk TB ekstraparu yang
sangat penting secara klinis, karena dapat menimbulkan gejala sisa neurologis yang
serius akibat kompresi saraf tulang belakang sebagai akibat dari penyakit itu sendiri,
serta cacat yang dihasilkan. Pengenalan dan pengobatan awal yang tepat karena itu
diperlukan untuk meminimalkan sisa deformitas tulang belakang dan / atau defisit
neurologis permanen.4

2.3 EPIDEMIOLOGI
Sekitar 1-2% dari semua kasus tuberkulosis menyebabkan penyakit Pott. Di
Belanda antara tahun 1993 dan 2001, TBC tulang dan sendi menyumbang 3,5% dari
semua kasus tuberkulosis (0.2-1.1% pada pasien asal Eropa dan 2,3-6,3% pada pasien
asal non-Eropa). Menurut WHO, Indonesia adalah Negara yang menduduki peringkat
ketiga dalam jumlah penderita TB setelah India dan Cina. Tuberkulosis (TB) adalah
penyebab utama kematian di seluruh dunia yang dapat dikaitkan dengan agen infeksi
tunggal. Lebih dari 40% kasus TB di seluruh dunia terjadi di bagian Selatan Asia
Timur. Di wilayah ini, diperkirakan 3 juta kasus baru TB setiap tahun. Diperkirakan
140.000 orang meninggal akibat TB setiap tahun atau setiap 4 menit ada satu
penderita yang meninggal di negara – negara tersebut , dan setiap 2 detik terjadi
penularan. TB ekstraparu hanya terdapat 10% sampai 15% dari semua kasus TB. TB
skeletal terjadi 1% hingga 3% dari kasus TB ekstraparu dan biasanya melibatkan
tulang belakang. Dalam TB muskuloskeletal, infeksi paru aktif terlibat sekitar kurang
dari 50% kasus. Tulang belakang terlibat pada hingga 50% kasus TB
muskuloskeletal.1,2,5,6
Di Ujung Pandang insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70% dan
Sanmugasundarm juga menemukan presentase yang sama dari seluruh tuberkulosis
tulang dan sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok 2-10
tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara wanita dan pria. TB tulang
belakang, yang berperan dalam lebih dari setengah dari semua tuberculosis tulang dan
sendi, biasanya terjadi selama awal masa kanak-kanak.3,7

2.4 ETIOLOGI
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberculosis di
tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yg bersifat acid-
fastnon-motile (tahan terhadap asam pada pewarnaan, sehingga sering disebut juga
sebagai Basil/bakteri Tahan Asam (BTA)) dan tidak dapat diwarnai dengan baik
melalui cara yg konvensional. Lokalisasi tuberkulosa terutama pada daerah vertebra
torakal bawah dan lumbal atas setinggi T8-L3 dan paling jarang pada vertebra C1-
C2 , sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberculosis traktus
urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.
Spondilitis TB biasanya mengenai korpus vertebra, tapi jarang menyerang arkus
vertebra.2,3
Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat
lain di tubuh,
 95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe human dan
1/3 dari tipe bovin ) dan
 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik.2

2.5 PATOFISIOLOGI
Spondilitis tuberculosis kebanyakan melibatkan vertebra thoracal. Ruang diskus
biasanya dapat bertahan lebih lama di bandingkan dengan infeksi pyogenik lainnya.
Abses Paraspinal merupakn hal yang sering muncul pada penyakit ini. 11 Karakter
infeksi tuberkulosis ialah adanya destruksi tulang (osteolysis) vertebra yang
progresifitasnya berjalan lambat. Destruksi timbul dibagian anterior korpus vertebra
disertai osteoporosis regional. Proses perkijuan yang menyebar akan menghambat
timbulnya pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan akan
menimbulkan segmen-segmen yang avaskular membentuk sekuester , terutama pada
vertebra daerah torakal. Secara bertahap jaringan granulasi akan menembus korteks
korpus vertebra yang sudah tipis sehingga menimbulkan abses paravertebra yang
meliputi beberapa korpus vertebra. Selain itu proses infeksi dapat menyebar keatas
dan kebawah melalui ligamentum longitudinale anterior dan ligamentum
longitudinale posterior. Diskus intervertebralis yang avaskular, awalnya relatif
resisten terhadap infeksi tuberkulosis. Tetapi kemudian karena dehidrasi, diskus akan
menyempit dan akhirnya akan timbul kerusakan akibat penjalaran jaringan granulasi.
Destruksi progresif pada bagian anterior menyebabkan korpus bagian anterior kolaps ,
mengakibatkan kifosis yang progresif. Melalui mekanisme reaksi hipersensitif lambat,
vertebra mengalami destruksi dengan membentuk nekrosis perkijuan. Nekrosis
perkijuan ini mencegah pembentukan tulang baru dan menyebabkan tulang menjadi
avaskular sehingga terbentuk sekuester tuberkulosa yaitu serpihan tulang yang lepas
dan nekrosis. Secara bertahap jaringan granulasi menembus korteks vertebra
membentuk abses paravertebra yang dapat melewati beberapa segman vertebra,
menyebar dibawah ligamentum longitudinale anterior dan posterior mencari tempat
paling rendah dengan tahanan yang paling lemah.
Lesi biasanya pada korpus vertebra dan proses dapat bermula di 3 tempat, yaitu :
a) Dekat diskus intervertebra atas atau bawah, disebut tipe marginal, yang sesuai
dengan tipe metafiseal pada tulang panjang
b) Ditengah korpus, disebut tipe sentral
c) Di bagian anterior korpus, disebut tipe anterior atau subperiosteal
Kumar membagi perjalanan penyakit ini ke dalam 5 stadium :
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang,maka bila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu.
Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak anak umumnya
pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa
kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi 23 bulan
setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat berbentuk sekuestrum serta
kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di
sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra yang
menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi
terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan
10 % dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai
kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada
daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis maka perlu di catat derajat kerusakan
paraplegia yaitu :
Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas
atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya
Derajat III : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak /
aktivitas penderita serta hipestesia / anestesia
Derajat IV : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi
dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau
lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural
dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh
adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh
terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh
pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa.
Tuberkulosa paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang
disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. Derajat I-III disebut sebagai
paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadium implantasi.
Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di
sebelah depan(2,6,12,23)

2.6 DIAGNOSIS
2.6.1 Gambaran klinis
Pasien dengan penyakit Pott atau spondilitis tuberkulosis biasanya datang dengan
keluhan nyeri dan kaku punggung serta biasanya disertai dengan adanya demam.
Nyeri dapat dirasakan terlokalisir disekitar lesi atau berupa nyeri menjalar sesuai saraf
yang terangsang.
Spasme otot-otot punggung terjadi sebagai suatu mekanisme pertahanan
menghindari pergerakan pada vertebra. Saat penderita tidur, spasme otot hilang dan
memungkinkan terjadinya pergerakan tetapi kemudian timbul nyeri lagi. Gejala ini
dikenal sebagai night cry, umumnya terdapat pada anak. Abnormalitas neurologis
dapat muncul pada 50 % kasus. Selain paraplegia dan parese, gangguan sensasi, dan
cauda equina syndrome dapat muncul. Pada anak, paralisis umumnya timbul kira kira
dalam waktu 3 tahun. Paraplegia banyak terjadi kalau mengenai daerah servikal atau
torakal bagian atas. Pada spondilitis servikalis, nyeri dirasakan pada daerah belakang
kepala dan sekitar leher. Pergerakan leher terbatas, kadang-kadang tortikolis.
Diagnosis spondilitis tbc dan abses retrofaringeal ditegakkan berdasarkan riwayat
penyakit berupa sering demam, berkeringat malam, nafsu makan kurang yang sudah
berlangsung 2 bulan, pergerakan leher terbatas, tortikolis, penonjolan dinding
posterior faring, stridor inspirasi, sesak, uji tuberkulin positif dan diperkuat oleh
pemeriksaan radiologik yang menunjukkan adanya destruksi korpus vertebra servikal
II—IV dengan penebalan jaringan lunak vertebral 5 , 6. Pada daerah torakal dan
lumbal dapat ditemukan kifosis angular sampai gibbus, nyeri pada daerah tersebut
dapat menyebar ke ekstremitas bawah, khususnya daerah lateral paha. Juga dapat
ditemukan abses iliaka atau abses psoas. Pada daerah lumbosakral dapat dijumpai
gejala lokal misalnya deformitas, nyeri yang menyebar ke ekstremitas bawah, abses
psoas, dan gangguan gerak pada sendi panggul. (5, 6, 12, 22)

2.6.2 Laboratorium :
a. Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai leukositosis
b. Uji Mantoux positif
c. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium
d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
e. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel . 3

2.7 Gambaran Radiologi Spondilitis Tuberkulosa


Foto polos vertebra
Diagnosis biasanya dapat ditegakkan pada plain radiography dan gambaran yang
ditemukan meliputi penyempitan disk space, pelibatan diskus sentralis dan kolaps
corpus anterior. Diperlukan pengambilan gambar dua arah , antero-posterior (AP) dan
lateral (Lat). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior korpus
vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis,
menujukkan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak disekitar
vertebra menimbulkan bayangan fusiform. (6,24)

Gambar 2. Gambaran radiologis pada foto polos vertebra posisi lateral menunjukkan
adanya destruksi pada diskus intervertebralis(arah panah biru)pada spondilitis TB 13
Gambar 3. Foto polos tulang vertebra orang dewasa dengan spondilitis tuberkulosis yang
18
menunjukkan erosi end-plate vertebra setinggi L3 dan L4

Gambar 4. Foto Thoracolumbar AP : Paravertebral mass (tanda panah) yang merupakan


5
gambaran klasik dari spondilitis TB

Pada spondilitis TB terjadi destruksi tulang secara prominen yakni terjadi lebih
lamban dibandingkan destruksi tulang pada pyogenic spondilitis. Terjadi pengurangan
tinggi diskus sebesar 80%, didapatkan adanya deformitas gibbus yang melibatkan
corpus anterior dengan corpus posterior yang normal. Didapatkan pula adanya abses
paraspinal yang banyak dan melebar ke dalam muskulus psoas.17
Khas dari spondilitis TB adalah adanya destruksi 2 atau lebih vertebra, erosi,
kalsifikasi jaringan lunak dan adanya paravertebral mass. Infeksi biasanya terdapat
pada sudut superior atau inferior anterior pada korpus vertebra berdekatan dengan
discovertebral junction. Terjadinya abses merupakan hal yang sering terjadi dan
semakin berkembangnya penyakit ini mengarah pada kolapsnya satu atau lebih
vertebra.. Di bawah diafragma, abses yang terbentuk biasanya bermigrasi ke
sepanjang muskulus psoas dan keluar melalui sinus pada region groin dan buttock.
Klasifikasi pada abses memperkuat kecurigaan infeksi tuberkulosa. Pada fase lanjut
didapatkan penyempitan diskus intervertebralis akibat herniasi ke dalam corpus
vertebra yang telah rusak atau destruksi diskus intervertebralis akibat gangguan
nutrisi. Namun plain radiography kurang sensitif dalam mendiagnosa cepat penyakit
ini. Bahkan paravertebral abses sangat sulit dilihat pada jenis radiograph yang satu ini
(5,15,16)
.

Computed Tomography – Scan (CT)


Dilaporkan 25 % dari pasien memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT
Scan yang lebih luas dibandingkan dengan yang terlihat pada foto polos. Ct Scan
efektif mendeteksi kalsifikasi pada abses jaringan lunak. Dilain hal CT Scan juga
dapat digunakan untuk follow up pada pasien yang sedang menjalani kemoterapi anti
tuberkulosis. Fragmentasi dan paravertebral kalsifikasi dapat terlihat dengan alat yang
satu ini. CT Scan juga dapat menentukan derajat tulang yang terkena dan dapat
menjadi panduan dalam proses biopsi. Serta dapat memperlihatkan bagian-bagian
vertebra secara rinci dan melihat kalsifikasi jaringan lunak, membantu mencari fokus
yang lebih kecil, menentukan lokasi biopsi dan menentukan luas kerusakan. (5,6)
Gambar 5. CT Scan non kontras vertebra posisi axial : tampak abses pada m. Psoas kiri
(lingkaran kuning ) dengan ditengahnya terdapat kalsifikasi (arah panah) sebagai gambaran
dari Spondilitis TB . Dikutip dari kepustakaan 13

Gambar 6. CT Scan vertebra posisi transaxial : tampak paravertebral abses(lingkaran


13
kuning) yang merupakan tanda dari spondilitis TB

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Memiliki kelebihan dalam menggambarkan jaringan lunak dan aman digunakan.
MRI juga sangat efektif dalam mendeteksi dini spondilitis TB untuk lesi multipel
dibandingkan CT dan pemeriksaan radiologik konvensional. Gambaran lesi pada T1
weighted image adalah hypointense sedangkan pada T2 weighted image adalah
hiperintens. Lesi juga dapat menjadi lebih jelas dengan injeksi Gadolinium DTPA
intravena. Pada spondilitis tuberkulosa akan didapat gambaran dengan lingkaran
inflamasi dibagian luar dan sekuester ditengah yang hipointens ; tetapi gambaran ini
mirip dengan infeksi piogenik dan neoplasma sehingga tidak spesifik untuk spondilitis
tuberkulosa.5

Gambar 7. gambar sagital T1 postcontrast menunjukkan destruksi dari dua corpus vertebra
yang berdekatan dengan perluasan ke sumsum tulang, endplate, dan menghancurkan diskus
intervertebralis .Perhatikan adanya kyphosis dan kompresi tulang belakang pada level ini 14
Gambar 8. Modalitas MRI sagittal yang menunjukkan spondilitis extensive pada T8-T10
yang ditandai dengan adanya destruksi korpus vertebra dan diskus intervertebralis. Dan
terdapat paravertebral dan epidural abses yang terdapat pada T2 (tapi tidak terlihat) 15

Gambar 9. T1W potongan sagittal menunjukkan penyempitan diskus intervertebralis pada


L1/2. L1/2 mengalami hypointense yang menunjukkan adanya inflamasi dan edema (arah
panah orange). Penyebaran secara subligamentous sangat klasik untuk spondilitis
tuberkulosa (arah panah merah) 5

Myelography
Melalui punksi lumbal dimasukkan zat kontras kedalam ruang subdural . Secara
konvensional dibuat foto AP/L atau dilakukan pemeriksaan dengan CT-Scan , disebut
CTmielografi. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran adanya penyempitan
pada kanal spinalis dan atau tekanan terhadap medula spinalis. 6
Sidik Tulang
Dengan menggunakan Tc 99M methylene diphosphonate dan isotop gallium-67 ,
sidik tulang memberikan sensitifitas 92% dan spesifisitas 88%. Pemeriksaan ini tidak
digunakan secara rutin. 6

Patologi anatomi
Secara histopatologik, hasil biopsi memberi gambaran granuloma epiteloid yang
khas dan sel datia Langhans, suatu giant cell multinukleotid yang khas. Pada
inflamasi kronis berupa :
- infiltrasi sel sel mononuklear, makrofag,limfosit, sel plasma
- destruksi jaringan
- Penggantian jaringan rusak oleh jaringan ikat melalui angiogenesis dan fibrosis 6

2.8 DIAGNOSA BANDING


Infeksi pyogenik grade rendah (Brucellosis)
Namun yang membedakan dengan penyakit pott adalah pada penyakit ini tidak
terdapat kalsifikasi paravertebral mass dan gibbus . Karakter yang ada pada
brucellosis adalah tidak terdapat kifosis dan prediksi lokasi brucellosis terdapat pada
lumbar bawah . Selain itu progresifitas penyakit spondilitis tuberkulosa cenderung
lambat dan kronis. Pada penyakit infeksi pyogenik terjadi sklerosis aktif dan
osteoporosis yang tampak tidak senyata pada spondilitis tuberkulosis. Dilain hal dari
segi pemeriksaan laboratorium, peningkatan laju endap darah lebih tinggi pada
spondilitis tuberkulosa dibanding spondilitis brucellosis(6,13).

Gambar 10. Orang dewasa dengan spondilitis piogenik akibat infeksi Stap. Aureus
pada diskus intervertebralis L5/S1 yang memperlihatkan penyempitan ruang diskus,
18
erosi endplate dan sklerosis disekitarnya
Trauma (Fraktur Kompresi)

Gambar 11. Modalitas MRI : Tampak fraktur kompresi L5 yang tidak melibatkan
diskus intervertebralis tidak seperti pada spondilitis TB 19

Scheuermann’s disease

Gambar 12. Tampak osteolitik pada L1 bagian inferior, tidak adanya penipisan korpus
vertebrae dan tidak terbentuk abses paraspinal seperti pada spondilitis TB 20

2.9 PENGOBATAN
Prinsip pengobatan adalah mencegah terjadinya deformitas dan mengurangi
gejala nyeri kronis yang ditimbulkan. Dasar penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa
adalah mengistirahatkan vertebra yang sakit, obat-obat anti tuberkulosa dan
pengeluaran abses.6
2.9.1 Terapi Konservatif
Pengobatan konservatif yang ketat dapat memberikan hasil yang cukup baik.6
a. Istirahat di Tempat Tidur
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips terutama pada keadaan akut atau fase
aktif. Istirahat ditempat tidur dapat berlangsung 3 – 4 minggu, sampai dicapai keadaan
yang tenang secara klinis, radiologis dan laboratoris.6
b. Kemoterapi Anti Tuberkulosa
WHO memberikan panduan penggunaan OAT berdasarkan berat ringannya penyakit6
1. Kategori I adalah tuberkulosis yang berat, termasuk tuberkulosis paru yang luas,
tuberkulosis milier, tuberkulosis disseminata, tuberkulosis disertai diabetes
mellitus dan tuberkulosis ekstrapulmonal termasuk spondilitis tuberkulosa.
2. Kategori II adalah tuberkulosis paru yang kambuh atau gagal dalam pengobatan.
3. Kategori III adalah tuberkulosis paru tersangka aktif. Streptomycin hanya
sebagai kombinasi terakhir atau tambahan pada regimen yang ada. Disamping itu
ada OAT tambahan tetapi kemampuannya lemah misalnya Kanamycin, PAS,
Thiazetazone, ethionamide, dan quinolone.
c. Immobilisasi
Pemasangan gips bergantung pada level lesi, pada daerah servikal dapat dilakukan
immobilisasi dengan jaket minerva , pada daerah torakal, torakolumbal dan lumbal
atas immobilisasi dengan body jacket atau gips korset disertai fiksasi pada salah satu
panggul. Immobilisasi pada umumnya berlangsung 6 bulan, dimulai sejak penderita
diizinkan berobat jalan. Selama pengobatan penderita menjalani kontrol berkala dan
dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila dalam pengamatan
tidak tampak kemajuan, maka perlu difikirkan kemungkinan resistensi obat, adanya
jaringan kaseonekrotik dan sekuester, nutrisi yang kurang baik, dan makan obat yang
tidak berdisiplin.6

2.9.2 Terapi Operatif


Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi
deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan lebih lanjut. Salah
satu satu tindakan bedah yang penting adalah debridement yang bertujuan
menghilangkan sumber infeksi dengan cara membuang semua debri dan jaringan
nekrotik, benda asing dan mikro-organisme.
Indikasi operasi:
1. Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, secara klinis dan
radiologis memburuk.
2. Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multipel.
3. Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan defisit
neurologik, terdapat abses paravertebral
4. Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada penderita anak. Lesi
pada daerah ini akan menimbulkan deformitas berat pada anak dan tidak dapat
ditanggulangi hanya dengan OAT.
5. Radiologis menunjukkan adanya sekuester, kavitasi dan kaseonekrotik dalam
jumlah banyak. (6,21)
2.10 PROGNOSIS
Prognosis biasanya bergantung pada cepat atau tidaknya dilakukan terapi oleh
karena disertai defisit neurologik 10% - 45% dari penderita dengan komplikasi nyeri
yang hebat 97 % yang dapat menganggu kualitas hidup penderita.(6, 12)
DAFTAR PUSTAKA
1. Sutton, David. Textbook of Radiology and Imaging. 7th Edition. Elsevier;2003
2. Garg, Ravinda kumar and Diliph Singh Somvanshi. Spinal Tuberculosis:A Review.
The Journal of Spinal Cord Medicine.2011. Vol 34.
3. Rivas-Garcia, Antonio, et al. Imaging Finding of Pott's Disease. European Spine
Journal. 2012 June:S567-S578.
4. Benzagmout, Mohammed. Said Boujraf. Khalid Chakour. Mohammed El Faiz
Chaoui. Pott's Disease in Children. Surg Neurology International. 2011
5. Camillo, FX. Infections of the Spine. In: Canale ST, Beaty JH, ed. 2008.
Campbell’s Operative Orthopaedics. 11st ed. p 2237
6. Cormican, L., Hammal, R., Messenger, J., Milburn, HJ,. 2006. Current difficulties
in the diagnosis and management of spinal tuberculosis. Postgrad Med J, 82. pp 46-51
7. WHO, 2016. Global Tuberculosis Report. WHO/HTM/TB/2016.13
8. Teo, EL., Peh, WC. 2004. Imaging of tuberculosis of the spine. Singapore Med J
Vol 45(9). p 439. 5. Solomon, L (ed). 2010. Apley’s System of Orthophaedic 9 th
Edition. USA: Hodder Arnold. p 806
9. Tank, PW (ed). 2007. Grant’s Dissector 13rdEdition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. p 6
10. Hidalgo, JA. 2016. Pott Disease: Background, Patophysiology, Epidemiology.
Medscape. (http://emedicine.medscape.com/article/226141-overview) diakses 23
Agustus 2017
11. Rasad, S., Ekayuda, I,, dkk. 2009. Radiologi Diagnostik . Edisi II. Jakarta: FKUI
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Grafika. p. 5
13. Agrawal, V,. Patgaonkar, P.R., Nagariya, S.P. 2010. Tuberculosis of Spine. Journal
of Craniovertebral Junction and Spine. 1(10). p 14
14. Jain, A.K., Dhammi, I.K., Jain, S., Mishra, P. 2010. Kyphosis in spinal
tuberculosisPrevention and correction. Indian J Orthop. 44(2). pp 127 – 136
15. Aydinli, U,. Ozerdemoglu, R,. Ozturk, C. 2007. Tuberculosis of the Lumbar
Spine: Outcomes after Combined Treatment of Two-drug Therapy and Surgery.
Orthopedics. 30(1). p 13
16. Ahn, J.S., Lee, J.K. 2007. Diagnosis and Treatment of Tuberculous Spondilitis
and Pyogenic Spondilitis in Atypical Cases. Asian Spine Journal. 1(2). pp 75-79
17. Papavramidis, T.S., Papadopoulos, V.N., Michalopoulos, A., Paramythiotis, D.,
Potsi, S., Raptou, G. 2007. Anterior chest wall tuberculous abscess: a case report. J
Med Case Reports. 1. p 152
18. Albar, Z. 2002. Medical treatment of Spinal Tuberculosis. Cermin Dunia
Kedokteran. 137 (29)
19. Sinan, T., Al-Khawari, H., Ismail, M., Bennakhi, A., Sheikh, M. 2004. Spinal
tuberculosis: CT and MRI feature. Ann Saudi Med. 24. pp 437-41.
20. Moesbar, N. 2006. Infeksi tuberkulosis pada tulang belakang. Majalah
Kedokteran Nusantara. 39 (3)
21. Harada, Y. Matsunaga, N. 2008. Magnetic Resonance Imaging Charasteristics of
Tuberculous Spondylitis vs. Pyogenic Spondylitis. Clinical Imaging 32. pp 303 – 309.
22. Jung, N.Y., Jee, W.H., Ha, K.Y., Park, C.K., Byun, J.Y. 2004. Discrimination of
Tuberculous Spondilitis from Pyogenic Spondilitis on MRI. AJR. 182. pp
1405 – 1410.
23. Zuwanda. Janitra, R. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis
Tuberkulosis. CDK. 40 (9). pp 661-673
24. Kurtaran, B., Sarpel, T., Tasova, Y., Candevir, A. 2008. Brucellar and tuberculous
spondylitis in 87 Adult patients: a Descriptive and Comparative case series. Infectous
Diseases in Clinical Practice. 16 (3).
25. Hazra, A., Laha, B. 2005. Chemotherapy of Osteoarticular Tuberculosis. Indian J
Pharmacol. 37(1). pp 5-12

Anda mungkin juga menyukai