Anda di halaman 1dari 22

Laporan Refarat

LARINGITIS TUBERKULOSIS

Penyusun:

Amin Pugasdya Banggas


Siagian (130100086)
M. Ary Guhtama (130100084)
Stephanie Sihombing (130100208)
Harvinda Arya Pratiwi (130100117)
Hanifah Dwi Pratiwi (130100204)

Pembimbing:
dr.Linda.I.Adenin, Sp. THT-KL ( K )

DEPARTMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER ( THT-KL )
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
Lembar Pengesahan

Telah dibacakanTanggal :

Judul : Laringitis Tuberkulosis


Nilai :

Pembimbing

dr.Linda.I.Adenin, Sp. THT-KL ( K )


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
ini dengan judul “Laringitis Tuberkulosis”.

Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen


pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak
masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga dapat selesai tepat
pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam
penulisan laporan kasus selanjutnya.Semoga makalah laporan kasus ini
bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 16 September 2018

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. i


KATA PENGANTAR ..........................................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................ v
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 LatarBelakang ..................................................................................... 1
1.2 Tujuan................................................................................................... 1
1.3 Manfaat ................................................................................................ 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 2
2.1 Anatomi Laring ................................................................................... 2
2.2. Definisi ................................................................................................ 3
2.3. Etiologi ................................................................................................ 3
2.4. Epidemiologi ...................................................................................... 4
2.5. FaktorResiko ...................................................................................... 4
2.6. Patogenesis ......................................................................................... 4
2.7. Manifestasi Klinis .............................................................................. 6
2.8. Gejala Klinis ....................................................................................... 6
2.9. Diagnosis ............................................................................................ 7
2.10. Diagnosis Banding ........................................................................ 10
2.11. Penatalaksanaan ............................................................................. 10
2.12. Komplikasi ..................................................................................... 11
2.13. Prognosis ........................................................................................ 11
BAB 3 ................................................................................................................... 14
KESIMPULAN .................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 16
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Anatomi Laring ................................................................................... 2
Gambar 2. Anatomi Laring ................................................................................... 2
Gambar 3. Kuman Mycobacterium tuberculosis ............................................... 3
Gambar 4. Temuan laringitis tuberkulosis pada laringoskopi .......................... 7
Gambar 5. Gambaran histopatologi kuman Mikobakterium Tuberkulosa ..... 9
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Dosis dan efek samping dari obat anti tuberculosis lini pertama ... 10
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat


terjadi, baik akut, sub akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi
mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila
gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis sub akut. Bila gejala
lebih dari kurang lebih 3 bulan dinamakan laringitis kronis. Laringitis kronis
dibagi menjadi dua bagian menurut sebabnya yaitu laringitis akut non spesifik
dan laringitis kronik spesifik.1
Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis
tuberkulosis. Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa
pita suara dan laring yang terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosa.1,2
Laringitis tuberkulosis merupakan peradangan yang hampir selalu
akibat tuberkulosis paru aktif. Dulu, dinyatakan bahwa penyakit ini sering
terjadi pada kelompok umur usia muda, yaitu 20-40 tahun. Namun dalam 20
tahun belakangan ini, insidensinya meningkat pada penduduk yang berumur
lebih dari 60 tahun dan lebih sering terjadi pada laki-laki, terutama pasien-
pasien dengan keadaan ekonomi dan kesehatan buruk, banyak di antaranya
adalah peminum alkohol.1
Di Indonesia, belum terdapat publikasi data epidemiologi laringitis
tuberkulosis yang mencakup skala nasional. Penelitian di RSUP Dr. Sarjito
Yogyakarta menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun (Januari 2000-
Desember 2004) didapatkan 15 pasien dengan diagnosis laringitis
tuberkulosis. Insidensi terbanyak adalah pada kelompok umur 60-69 tahun
(30%).2
Deteksi dini laringitis tuberkulosis sangat mempengaruhi prognosis
pasien, oleh sebab itu tenaga kesehatan diharapkan dapat memiliki
pengetahuan mengenai penyakit ini.

1.2. Rumusan Masalah


Tujuan penulisan refarat ini adalah untuk menguraikan teori-teori
tentang “Laringitis Tuberkulosis” mengenai definisi, etiologi, diagnosis serta
pemeriksaannya terutama yang berkaitan dengan defek pada laring.
Penyusunan paper ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan
Program Profesi Pendidikan Dokter di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.

1.3. Manfaat Penulisan


Manfaat yang didapakan dari penulisan refarat ini diharapkan bisa
mengembangkan kemampuan penulis maupun pembaca khususnya peserta
P3D untuk lebih memahami tentang “Laringitis Tuberkulosis” untuk
menunjang penegakan diagnosanya sesuai dengan standard kompetensi
dokter Indonesia.
BAB II
DAFTAR PUSTAKA

2.1. Anatomi Laring

Laring merupakan organ yang berfungsi sebagai alat pernafasan,


terdiri dari satu tulang dan beberapa kartilago. Pada bagian superior laring
terdapat os hyoid yang berbentuk U. Pada permukaan superior os hyoid
melekat tendon dan otot-otot lidah, mandibula, dan kranium. Pada bagian
bawah os hyoid terdapat dua buah alae atau sayap kartilago tiroid yang
menggantung pada ligamentum tiroid dan akan menyatu di bagian tengah
yang disebut dengan adam’s apple (jakun). Kartilago krikoid dapat diraba di
bawah kulit, melekat pada kartilago tiroid melalui ligamentum
krikotiroideum.3,4,5,6

Gambar 1. Anatomi Laring6

Bagian superior terdapat pasangan kartilago aritenoid, yang berbentuk


piramida bersisi tiga. Bagian dasar piramida berlekatan dengan krikoid pada
artikulasio krikoaritenoid sehingga dapat terjadi gerakan meluncur dan juga
gerakan rotasi. Ligamentum vokalis meluas dari prosesus vokalis melalui
tendon komisura anterior. Dibagian posteriornya, ligamentum krikoaritenoid
posterior meluas dari batas superior lamina krikoid menuju permukaan
medialkartilago aritenoid.3,4,6

Gambar 2. Anatomi Laring6

Sendi laring terdiri dari dua, yaitu: artikulasio krikotiroid dan


krikoaritenoid. Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot intrinsik dan
ekstrinsik. Otot intrinsik menyebabkan gerakan-gerakan di bagian laring
sendiri, dan otot ekstrinsik bekerja pada laring secara keseluruhan.3,4,6
Plika vokalis dan plika ventrikularis terbentuk dari lipatan mukosa
pada ligamentum vokale dan ligamentum ventrikulare. Bidang yang
terbentuk antara plika vokalis kanan dan kiri disebut rima glotis. Plika vokalis
dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian yaitu
vestibulum laring (supraglotik), daerah glotik, dan daerah infraglotik
(subglotik).3,4,6
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu nervus
laringeus superior dan inferior. Kedua saraf merupakan campuran motorik
dan sensorik. Nervus laringeus inferior merupakan lanjutan dari nervus
rekurens yang merupakan cabang dari nervus vagus. Nervus rekurens kanan
akan menyilang arteri subklavia kanan dibawahnya sedangkan nervus rekuren
kiri akan menyilang arkus aorta.3,4,6
Laring terdiri dari dua pasang pembuluh darah diantaranya arteri
laringeus superior dan arteri laringeus inferior. Arteri laringeus inferior
cabang arteri tiroid inferior, bersama-sama nervus laringeus inferior ke
belakang sendi krikotiroid dan memasuki laring ke pinggir bawah otot
konstriktor inferior.3,5

2.2. Defenisi
Tuberkulosis laring adalah radang spesifik pada laring yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosa. Tuberkulosis laring jarang
bersifat primer dan hampir selalu disertai dengan tuberculosis paru aktif. 7,8

2.3. Etiologi
Tuberkulosis laring disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis,
yang merupakan bakteri tahan asam yang secarasekunder berasal dari
tuberculosis paru. Tuberkulosis laring primer jarang ditemukan. Basil
tuberculosis berukuran sangat kecil, berbentuk batang tipis agak bengkok dan
bergranular, yang hanya bisa dilihat di bawah mikroskop. Panjangnya 1-4
mikron dan lebarnya antara 0,3 - 0,6 mikron. Basil tuberkulosis akan tumbuh
secara optimal pada suhu sekitar 370C dengan tingkat pH optimal (pH 6,4 –
7,0).9

Gambar 3. Kuman Mycobacterium tuberculosis9


2.4. Epidemiologi
Prevalensi TB laring di RS. Yangdong Korea yang ditegakkan dengan
gejala klinis dan pemeriksaan videostroboskopi dari tahun 1996 sampai 2006
sebanyak 60 orang dengan kisaran usia antara 25 sampai 78 tahun dan
perbandingan antara wanita dan laki-laki adalah 1 : 1,9. Insiden TB laring
disertai TB paru aktif sebanyak 46,7%, disertai TB paru inaktif 33,3%, tanpa
kelainan paru 20%.7 Di RSUP Dr. M. Djamil 3 tahun terakhir ditemukan 35
kasus TB laring, sementara TB paru tercatat sebanyak 473 kasus diantaranya
303 kasus BTA (+), dan 170 kasus BTA (-) dengan perbandingan laki-laki :
perempuan 2:1.10

2.5. Faktor Resiko


Tuberkulosis laring sebelumnya dilaporkan sering terjadipada
kelompok usia dewasa muda yaitu antara 20 – 40 tahun, tetapi dalam 20 tahun
belakangan ini, insiden penyakit ini pada penduduk yang berumur lebih dari
60 tahun jelas meningkat. Saat ini tuberkulosis dalam semua bentuk dua kali
lebih sering pada laki laki dibanding perempuan. Untuk pasien berumur diatas
50 tahun, perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 4:1. Tuberkulosis
laring lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut, terutama pasien- pasien
dengan keadaan sosio-ekonomi yang rendah
dan keadaan kesehatan yang buruk.11

2.6. Patogenesis
Laringitis tuberkulosis umumnya merupakan sekunder dari lesi
tuberkulosis paru aktif, jarang merupakan infeksi primer dari inhalasi basil
tuberkel secara langsung. Secara umum, infeksi kuman ke laring dapat terjadi
melalui udara pernapasan, sputum yang mengandung kuman, atau
penyebaran melalui darah atau limfe.12
Berdasarkan mekanisme terjadinya laringitis tuberkulosis
dikategorikan menjadi 2 mekanisme, yaitu:
- Laringitis Tuberkulosis Primer
Laringitis tuberkulosis primer jarang dilaporkan dalam literatur medis.
Laringitis tuberkulosis primer terjadi jika ditemukan infeksi Mycobacterium
tuberculosa pada laring, tanpa disertai adanya keterlibatan paru. Rute
penyebaran infeksi pada laringitis tuberkulosis primer yang saat ini diterima
adalah invasi langsung dari basil tuberkel melalui inhalasi. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, menyatakan bahwa sebanyak 40,6% pasien
dengan laringitis tuberkulosis memiliki paru yang normal.13

- Laringitis Tuberkulosis Sekunder


Laringitis tuberkulosis sekunder terjadi jika ditemukan infeksi laring
akibat Mycobacterium tuberculosa yang disertai adanya keterlibatan paru.
Laringitis tuberkulosis sekunder merupakan komplikasi dari lesi tuberkulosis
paru aktif. Mekanisme penyebaran infeksi ke laring dapat berupa penyebaran
langsung di sepanjang saluran pernapasan dari infeksi paru primer berupa
sputum yang mengandung kuman maupun penyebaran melalui sistem darah
ataupun limfatik.13
- Penyebaran Lewat Sputum (Bronkogen)
Penyebaran infeksi basil tuberkel ke laring melalui mekanisme
bronkogenik merupakan teori yang lazim dipahami. Adanya bronkogen
dalam hal ini, sputum yang mengandung bakteri M. tuberculosis mendasari
patogenesis terjadinya laringitis tuberkulosis. Terjadinya laringitis
tuberkulosis dapat disebabkan oleh tersangkutnya sputum yang mengandung
basil tuberkulosis di laring, terutama pada struktur posterior laring termasuk
aritenoid, ruang interaritenoid, pita suara bagian posterior dan permukaan
epiglotis yang menghadap ke laring.2
Antigen dari basil TB yang berada di laring dicerna sel dendritik lalu
dibawa ke kelenjar limfe regional dan mempresentasikan antigen M.
Tuberculosis ke sel Th1. Th1 kemudian berproliferasi dan dapat kembali ke
tempat awal infeksi. Restimulasi oleh sel penyaji setempat menghasilkan
produksi IFN-Ɣ dan mengaktifasi makrofag. Bila eliminasi mikroorganisme
ini gagal akan berlanjut pada inflamasi kronik terjadi dimana patogen
persisten di dalam tubuh, maka terjadi pengalihan respon imun berupa reaksi
hipersensitifitas tipe lambat membentuk granuloma. Setelah kontak awal
dengan antigen, sel Th disensitisasi, berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel DTH (delayed type hypersensitivity) dimana pengerahan
makrofag yang berkelanjutan akan membentuk sel-sel epitloid berupa sel
datia dalam granuloma. Tuberkel yang avaskular berisikan daerah perkijuan
di tengah dikelilingi oleh sel epiteloid dan di bagian perifer oleh sel-sel
mononukleus. Kemudian tuberkel-tuberkel ini bersatu membentuk nodul.
Karena letaknya di subepitel, epitel yang melampisinya mungkin hilang dan
sering terjadi ulserasi dengan infeksi sekunder.14,15
Proses ini pertama kali cenderung akan mengenai prosesus vokalis
dan epiglotis. Adanya tuberkel mungkin akan merangsang terjadinya
hiperplasia epitel dan jaringan fibrosis subepitel. Hal ini mungkin
bermanifestasi pada daerah interaritenoid berupa penebalan yang menyerupai
pakiderma. Prosesus vokalis mungkin di tutupi oleh nodul yang menyerupai
morbili. Hal ini merupakan manifestasi dari proses perbaikan karena hanya
ditemukan sedikit perkijuan pada lesi. Edema jelas pada keadaan lebih lanjut
dan mungkin terjadi sebagai akibat obstruksi jaringan limfe oleh granuloma.
Edema dapat timbul di fossa interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika
vokalis, plika ventrikularis, epiglottis serta terakhir ialah subglotik. Epiglotis
dan jaringan ikat di atas aritenoid merupakan tempat yang paling tampak
edema. Penyembuhan tuberkulosis laring disertai oleh pembentukan kapsul
jaringan fibrosa dan jaringan menggantikan tuberkel. 14,15

- Penyebaran Melalui Limfohematogen


Selain mekanisme bronkogenik, penyebaran M. tuberculosis pada laring
dapat juga melalui sistem limfohematogen. Penyebaran melalui sistem
limfohematogen biasanya mengenai laring anterior dan epiglotis.12
2.7. Manifestasi Klinis
Secara klinis manifestasi laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium yaitu:13
1. Stadium infiltrasi
2. Stadium ulserasi
3. Stadium perikondritis
4. Stadium pembentukan tumor

Stadium Infiltrasi
Mukosa laring bagian posterior mengalami pembengkakan dan
hiperemis pada bagian posterior, kadang-kadang dapat mengenai pita suara.
Pada stadium ini mukosa laring berwarna pucat. Kemudian di daerah
submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak rata, tampak bintik
berwarna kebiruan. Tuberkel makin membesar dan beberapa tuberkel yang
berdekatan bersatu, sehingga mukosa diatasnya meregang. Pada suatu saat,
karena sangat meregang, maka akan pecah dan terbentuk ulkus.13

Stadium Ulserasi
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini
dangkal, dasarnya ditutupi perkijuan dan dirasakan sangat nyeri oleh pasien.13

Stadium Perikondritis
Ulkus makin dalam sehingga mengenai kartilago laring terutama
kartilago aritenoid dan epiglottis. Dengan demikian terjadi kerusakan tulang
rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan melanjut dan
terbentuk sekuester. Pada stadium ini pasien sangat buruk dan dapat
meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses penyakit berlanjut
dan masuk dalam stadium terakhir yaitu fibrotuberkulosis.13

Stadium Pembentukan Tumor


Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior,
pita suara dan subglotik.13

2.8. Gejala Klinis


Tergantung pada stadiumnya, disamping itu terdapat gejala sebagai berikut:16
- Rasa kering, panas, dan tertekan di daerah laring.
- Suara parau yang berlangsung berminggu-miggu, sedangkan pada
stadium lanjut dapat timbul afoni.
- Hemoptisis.
- Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri
karena radang lainnya
- Keadaan umum buruk.
- Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologis) terdapat proses aktif
(biasanya pada stadium eksudatif atau pada pembentukan kaverne).
2.9. Diagnosis

a. Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan gejala dari tuberkulosis paru seperti
demam, penurunan berat badan, berkeringat malam hari tanpa ada
kegiatan fisik, badan lemas, dan batuk darah. Disertai adanya
manifestasi dari laringitis seperti suara parau, nyeri menelan
maupun susah menelan.17,18

b. Pemeriksaan Klinis
Pada pemeriksaan laring dapat terlihat edema mukosa, hiperemis dan
difus pada sepertiga posterior laring atau terlihat lesi eksofitik granular
yang menyerupai gambaran suatu karsinoma. Kelainan laring pada
penderita TB laring menunjukkan gambaran lesi putih pada mukosa
(38,5%), terdapat ulkus (13,50%), massa granulomatosa (13,50%),
peradangan nonspesifik (26,9%), terdapatnya semua gambaran klinis
(53,8%), dan tidak ada pergerakan pita suara (11,5%). 19,20
Pada laringoskopi ditemukan gambaran sesuai stadiumnya. Pada
stadium infiltrasi tampak mukosa laring membengkak, hiperemis (bagian
posterior), dan pucat dapat terlihat tuberkel berupa bintik-bintik kebiruan.
Stadium ulserasi dapat terlihat ulkus dangkal, dasarnya ditutupi
perkejuan. Pada stadium perikondritis ulkus makin dalam mengenai
kartilago laring, kartilago aritenoid, dan epiglotis. Terbentuk nanah yang
berbau sampai terbentuk sekuester. Pada stadium akhir dapat terlihat
fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara, dan subglotik.21,22
TB laring secara makroskopis dibagi menjadi 4 tipe:
1. Tipe granulomatous
2. Tipe polipoid
3. Tipe ulseratif
4. Tipe nonspesifik.22

Gambar 4. Temuan laringitis tuberkulosis pada laringoskopi.


A.Ulseratif (pada keseluruhan laring). B.Granulomatosa (pada posterior
dari glottis). C.Polipoid (pada pita suara palsu kanan). D.Nonspesifik
(pada pita suara sejati kanan).21
c. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis merupakan pemeriksaan untuk diagnosis
pasti TB, namun tidak semua penderita TB mempunyai pemeriksaan
bakteriologis positif. Bilasan bronkus, jaringan paru, cairan pleura, cairan
serebrospinal, urin, feses, dan jaringan biopsi dapat digunakan untuk
pemeriksaan bakteriologis dengan menggunakan pewarnaan Ziehl Neelson,
selain pemeriksaan pada sputum.23
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek
TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS) yaitu dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. Pada hari kedua
dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari, segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas dan yang terakhir dahak
dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Pemeriksaan
dahak dikatakan positif bila 2 dari 3 sampel dahak yang diperiksa positif.23

d. Pemeriksaan Foto Rontgen Toraks & CT-Scan


Pada sebagian besar kasus tuberkulosis terutama TB paru, diagnosis
terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak
memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto
toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:23
1. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
2. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak
SPS
3. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumothoraks, pleuritis
eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang
mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau
aspergiloma).
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif:23
1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah paru.
2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular
3. Bayangan bercak milier
4. Efusi pleura.
Gambaran radiologis yang dicurigai TB inaktif:23
1. Fibrotik, terutama pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas dan
atau segmen superior lobus bawah.
2. Kalsifikasi
3. Penebalan pleura.
e. Pemeriksaan Histopatologis
Laringoskopi langsung dan biopsi merupakan suatu keharusan guna
mendapatkan diagnosis yang definitif. Harus diingat bahwa kemungkinan
tuberkulosis dan keganasan bisa saja muncul bersama pada satu pasien. Maka
tantangan untuk menegakkan diagnosis adalah untuk mengeksklusi kanker
laring. Pada pemeriksaan histopatologi dari spesimen biopsi atau swab
mukosa laring serta dilakukan pewarnaan basil tahan asam ditemukan
inflamasi granulomatosa dengan sel-sel epiteloid dan Langhans’ Giant Cells
dikelilingi oleh limfosit dan fibroblas dengan adanya daerah pengkijuan atau
kaseosa. Biopsi laring menjadi standar baku emas pada TB laring ataupun
keganasan laring, walaupun pemeriksaan sputum dan rontgen toraks sudah
cukup membantu.24

Gambar 5. Gambaran histopatologi kuman Mikobakterium Tuberkulosa (A)


Sel epitel numerous dan sel Giant Langhans multipel dengan pewarnaan HE
(B) Basil tahan asam pada pewarnaan Ziehl Nielsen.25

f. Pemeriksaan Uji Tuberkulin


Pemeriksaan uji tuberkulin kurang berarti sebagai alat bantu
diagnostik. Dasar dari pemeriksaan ini adalah timbulnya reaksi
hipersensitifitas terhadap tuberkuloprotein akibat terjadinya suatu proses
infeksi di dalam tubuh.24
Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan
sering digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan
infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Ada beberapa cara
melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering
digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas
lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit).
Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur
diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif. Arti
klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan. Hal
ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan
Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti
klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis.24

g. Pemeriksaan Lain-Lain
Pada TB laring yang disertai pembesaran kelenjar getah bening, dapat
dilakukan pemeriksaan histopatologi biopsi aspirasi jarum halus.
Pemeriksaan serologis juga dapat dilakukan seperti pemeriksaan PCR
(Polymerase Chain Reaction) dan PAP (Peroksidase Anti Peroksidase).26

2.10. Diagnosis Banding


TB laring sulit dibedakan dengan gambaran karsinoma laring, untuk
itu perlu ketepatan diagnosis dan pemeriksaan penunjang dalam menegakkan
diagnosis secara pasti. Beberapa diagnosis banding lainnya yaitu sifilis,
sarkoidosis, granulomatosis Wagener’s, dan infeksi jamur.27

2.11. Penatalaksanaan
Pemberian OAT pada TB bertujuan untuk menurunkan mata rantai
penularan, mengobati infeksi yang terjadi, mencegah kematian, dan
mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT. American Thoracic
Society (ATS) menyatakan prinsip pengobatan TB ekstrapulmonal tidaklah
berbeda dengan TB pulmonal, termasuk pengobatan untuk TB laring. Pada
kasus-kasus TB dengan penyulit terdapat perbedaan dari dosis, waktu
pengobatan, dan kombinasi obat, seperti meningitis TB, TB tulang, yang
memiliki penanganan berbeda. Pemberian terapi selama 6 bulan merupakan
standar yang dipakai untuk pengobatan TB pulmonal dan TB ekstrapulmonal
secara umum dengan dosis sesuai dengan tabel berikut.28,29

Nama Obat Dosis Harian Efek Samping

Isoniazid 4-6 mg/kgBB (max. Hepatitis, neuropati


300 mg) perifer, kulit
memerah, demam,
agranulositosis,
ginekomastia.

Rifampisin 8-12 mg/kgBB (max. Hepatitis, gangguan


600 mg) pencernaan, demam,
kulit memerah,
trombositopenia,
nefritis interstisial,
sindrom flu
Pirazinamid 20-30 mg/kgBB Hepatitis,
hiperurisemia,
muntah, nyeri sendi,
kulit memerah

Streptomisin 15-18 mg/kgBB Ototoksik,


nefrotoksik

Etambutol 15-20 mg/kgBB Neuritis retrobulbar,


nyeri sendi,
hiperurisemia,
neuropati perifer

Tabel 2.1. Dosis dan efek samping dari obat anti tuberculosis lini
pertama28,29

Evaluasi keteraturan berobat merupakan salah satu faktor yang harus


diperhatikan dalam pengobatan TB. Ketidakteraturan konsumsi obat akan
menyebabkan timbulnya masalah resisten multi obat (Multi Drug Resistance/
MDR). Selain tidak teraturnya konsumsi obat, faktor HIV dan faktor kuman
juga dapat menyebabkan MDR.28,19
Respon pengobatan pada TB laring dapat terjadi dalam 2 minggu.
Suara serak yang terjadi karena hipertrofi dapat mengalami perbaikan, namun
pergerakan pita suara yang terbatas akibat fibrosis dapat bersifat menetap.
Respon obat OAT terhadap laring cukup baik rata-rata 2 bulan dimana
sebagian kasus lesi yang terjadi sebelumnya tidak terlihat lagi.28,29
Pemberian kortikosteroid pada kasus-kasus dengan fiksasi pita suara
dapat diberikan untuk mencegah fibrosis yang dapat menyebabkan sumbatan
jalan nafas atas. Berdasarkan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan TB di
Indonesia, menyatakan kortikosteroid tidak memberikan peranan penting
pada TB laring. Kortikosteroid berperan pada kasus-kasus TB yang disertai
faktor-faktor penyulit, seperti pada TB milier, TB meningitis, TB dengan
efusi pleura, dan Tb yang disertai dengan sepsis dan keadaan umum yang
buruk.28,29

2.12. Komplikasi
Penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis secara limfogen atau
hematogen dapat terjadi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya komplikasi
akibat meluasnya penyebaran focus primer ke bagian tubuh lain. Komplikasi
di paru dapat berupa kelainan paru yang luas, kavitas, efusi pleura, empiema,
endobronkitis, ateletaksis, penyebaran milier, dan bronkiektasis.30
Selain komplikasi yang terjadi di paru, komplikasi di laring dapat
terjadi, diantaranya stenosis laring, fiksasi dari krikoaritenoid akibat fibrosis,
subglotis stenosis, gangguan otot laring, dan paralisis pita suara ketika
krikoaritenoid atau nervus laryngeal rekuren mengalami trauma dan
memerlukan tindakan bedah untuk menanggulanginya.30
2.13. Prognosis

Keberhasilan penanganan pasien dengan tuberkulosis laring


berdasarkan pada kecurigaan klinis, diagnosis yang tepat dan pengobatan
regimen kemoterapi antituberkulosa yang lebih dini,serta tingkat kepatuhan
penderita dalam pengobatan.
Tuberkulosis laring dapat menyebabkan perubahan yang permanen pada
lamina propria dari pita suara akibat proses fibrosis kronis, yang dapat
mengakinatkan perubahan kualitas suara, dimana suara menjadi serak
permanen dan suara kasar pernapasan terutama saat inspirasi.31
Suatu penelitian yang dilakukan di Departemen Otorinolaringologi
pada Rumah Sakit K.S Hedge Medical Academy Mangalore, pada tahun
2012-2015, dimana didapatkan 15 pasien laryngitis tuberculosis. Pada akhir
dari penelitian tersebut meskipun mereka menyelesaikan terapi OAT selama
6 bulan, kualitas suara mereka tidak pernah kembali ke suara mereka yang
semula, walaupun melalui laringoskopi lesi granulomatosa pada laring telah
menghilang. Pada penderita yang bekerja pada bidang yang memerlukan
suara dan bicara yang baik, dapat direkomendasikan terapi berbahasa dan
berbicara.32
KESIMPULAN

Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat


terjadi, baik akut, sub akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi
mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila
gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis sub akut. Bila gejala
lebih dari kurang lebih 3 bulan dinamakan laringitis kronis. Laringitis kronis
dibagi menjadi dua bagian menurut sebabnya yaitu laringitis akut non spesifik
dan laringitis kronik spesifik.
Laringitis tuberkulosis merupakan peradangan yang hampir selalu
akibat tuberkulosis paru aktif. Dulu, dinyatakan bahwa penyakit ini sering
terjadi pada kelompok umur usia muda, yaitu 20-40 tahun. Namun dalam 20
tahun belakangan ini, insidensinya meningkat pada penduduk yang berumur
lebih dari 60 tahun dan lebih sering terjadi pada laki-laki, terutama pasien-
pasien dengan keadaan ekonomi dan kesehatan buruk, banyak di antaranya
adalah peminum alkohol.
Pemberian OAT pada TB bertujuan untuk menurunkan mata rantai
penularan, mengobati infeksi yang terjadi, mencegah kematian, dan
mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT. American Thoracic
Society (ATS) menyatakan prinsip pengobatan TB ekstrapulmonal tidaklah
berbeda dengan TB pulmonal, termasuk pengobatan untuk TB laring. Pada
kasus-kasus TB dengan penyulit terdapat perbedaan dari dosis, waktu
pengobatan, dan kombinasi obat, seperti meningitis TB, TB tulang, yang
memiliki penanganan berbeda. Pemberian terapi selama 6 bulan merupakan
standar yang dipakai untuk pengobatan TB pulmonal dan TB ekstrapulmonal
secara umum dengan dosis sesuai.
Keberhasilan penanganan pasien dengan tuberkulosis laring
berdasarkan pada kecurigaan klinis, diagnosis yang tepat dan pengobatan
regimen kemoterapi antituberkulosa yang lebih dini,serta tingkat kepatuhan
penderita dalam pengobatan.
Tuberkulosis laring dapat menyebabkan perubahan yang permanen
pada lamina propria dari pita suara akibat proses fibrosis kronis, yang dapat
mengakinatkan perubahan kualitas suara, dimana suara menjadi serak
permanen dan suara kasar pernapasan terutama saat inspirasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger John. Penyakit Granulomatosa Kronik Laring. Dalam:


Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher Jilid
1.Jakarta: Binarupa Aksara.2013
2. Soepardi AE, Iskandar N, dkk. Kelainan Laring. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed 6. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Bailey BJ, Johnson JT. Basic Science General Medicine. In: Head and
Neck Surgery Otolaryngology. 4th edition. 2006; vol. 1: p. 38.
4. Koufma JA. Infection and Inflammatory Disease of the Larynx. In:
Ballenger’s. Snow JJ. Otolaryngology Head and Neck Surgery. 15th ed.
1996; p.541-3.
5. Broek P. Acute and Chronic Laryngitis. In: Scott Browns
Otolaryngology. Laryngology Head and Neck Surgery. 6th ed.1997. p.
14-5.
6. Faiz Omar, Moffat David. The pharynx and larynx. Anatomy at a Glance.
2002. P. 138-9.
7. Feehs RS, Koufman JA. Laryngitis. In: Bailey BJ, Johnson JT, eds. Head
and neck surgery–otolaryngology. Vol 1. Philadelphia: JB Lippincott Co,
1993;612-9.
8. Banovetz JD. Gangguan laring jinak. Dalam: Adams GL, Boies LR,
Highler PA, ed.BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:
EGC,1997 (Alih bahasa: Wijaya);386–7.
9. Mark B, Berkow R. Tuberculosis, 2008. Available from:
http://medical_dictionary.thefreedictionary.com/Tuberculosis.
Accessed: September 17, 2018.
10. Lim JY,Kim KM, Choi EC, Kim YH, Kim HS, Choi HS. Current
Clinical Propensity of Laryngeal Tuberculosis: Review of 60 Cases.
Eur Arch Otorhinolaryngol. 2006; 263: 838-42.
11. Spector GT. Penyakit – penyakit granulomatosis kronis laring. Dalam:
Ballenger JJ, ed. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.
Edisi 13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994 (Alih bahasa: Staf ahli
bagian THT RSCM – FKUI Jakarta);547– 50.
12. Probst, Rudolf, Gerhard Grevers, Heinrich Iro. Basic
Otorhinolaryngology : Infectious Disease of Larynx and Trachea. New
York: Thieme; 2006. Hal 354-361.
13. Keyvan Kiakojuri, Mohammad Reza Hasanjani Roushan. Laryngeal
tuberculosis without pulmonary involvement. Caspian J Intern Med 3(1):
Winter 2013: 3(1): 397-399.
14. Shin JE, Nam SY, Yoo SJ, Kim SY. Changing trends in clinical
manifestations of laryngeal tuberculosis. Laryngoscope 2000; 110:
1950-1953.
15. Baratawijdaja KG. Imunologi Dasar Edisi 7. Balai penerbit FK UI.
Jakarta. 2006; h. 145, 170-173.
16. Soepardi AE, Iskandar N, dkk. Kelainan Laring. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed 6. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
17. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey.
Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1.
Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins. 2001. Page : 479-486.
18. Moon et al. Laryngeal Tuberculosis : CT Findings. South Korea. AJR.
1996. Page : 445-449.
19. Bailey BJ, Johnson JT. Basic Science General Medicine. In: Head and
Neck Surgery Otolaryngology. 4th edition. 2006; vol. 1: p. 38.
20. Qazi II, Masoodi AI, I Derwesh. Tuberculosis of Larynx. SAARC
Journal of Tuberculosis, Lung Disease And HIV/AIDS. 2011; 8 (1):41-
3.
21. Lim, JY., Kim KM., Choi EC., Kim Yo, Kim HS., Choi HS. Current
Clinical Propensity Of Laryngeal Tuberculosis : Review of 60 case. Eur
Arch Otorhinolaryngology.2006.
22. Hermani, Bambang, Hartono Abdurrachman, Arie Cahyono. Laringitis
Tuberkulosis dari: Soepardi et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tengggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. FKUI. Jakarta.
2007. Hal : 239-241.
23. Werdhani, Reno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi
Tuberkulosis.FKUI.2005. Available from : www.staff.ui.ac.id. Accessed
on : September 10, 2018.
24. Verma et Maharjan. Laryngeal tuberculosis co-existent with Pulmonary
tuberculosis (The Internet Journal of Pulmonary Medicine. 2008 Volume
10 Number 1 ). 2008. Available from :
www.ntuh.gov.tw/ENT/Laryngeal%20tuberculosis%2020061025.
Accessed : March 13, 2012.
25. Wang CC, Lin CC, Wang CP, Liu SA, Jiang RS. Laryngeal Tuberculosis:
A Review of 26 Cases. Otolaryngology Head And Neck Surgery. 2007;
137: 352-8.
26. World Earth Organization. Improving the diagnosis and treatment of
smear-negative pulmonary and extrapulmonary tuberculosis among
adults andadolescents. 2012; 26-33.
27. Ling L, Zhou AH, Wang. Changing Trends In The Clinical Features of
Laryngeal Disease. International Journal of Infectious Disease.
International Journal of Infectious Diseases. 2010; 14: 230-5
28. Fernandez GP. Tuberculosis Infections of the Head and Neck. Acta
Otolaringol Esp. 2009; 60(1): 59-66.
29. Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Reviono, Soedarsono,
Sugiri YJ, Iswanto, et al. Pengobatan Tuberkulosis Pada Keadaan
Khusus. In: Perhimpunan dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. 2011; 39.
30. Lim JY, Kim KM, Choi EC, Kim YH, Kim HS, Choi HS. Current
Clinical Propensity of Laryngeal Tuberculosis: Review of 60 cases. Eur
Arch Otorhinolaryngol. 2006;263: 838-42.
31. Ozudogru E, Cakli H, Aluntas EE, Gurbuz MK, Effects of laryngeal
tuberculosis on vocal fold functions : case report. Acta
Otorhinolarygologica Italica. 2005;25(6)374-7.
32. Saldanha M, Sima NH, Bhat VS, Kamath SD, Aroor R. Present scenario
of laryngeal tuberculosis. Int J Otorhinolaryngeal Head Neck Surg. 2018
Jan;4(1)242-246.

Anda mungkin juga menyukai