Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

LARINGITIS DIFTERI

Disusun Oleh :
Lika Hanifah, S. Ked
196100802021

Pembimbing:
dr. Nunun Chatra Kristinae, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN THT
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2022
REFERAT

LARINGITIS DIFTERI

Diajukan oleh :

Lika Hanifah, S.Ked 196100802021

Telah disetujui oleh :

Pembimbing

dr. Nunun Chatra Kristinae, Sp. THT-KL


dr. Etty Christina Baboe, Sp. KJ

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan berkah, rahmat dan
karunia-Nya yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga referat dengan
judul “Laringitis Difteri” dapat terselesaikan dengan baik. Dalam penyusunan
referat ini terdapat banyak hambatan dan rintangan yang penulis hadapi namun
pada akhirnya dapat dilalui berkat adanya bimbingan, arahan, dukungan, dan
bantuan berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Rasa hormat dan terima
kasih bagi semua pihak atas segala dukungan dan doa semoga Allah SWT
membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Amin ya Rabbal
Alamin. Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat kekurangan dan
masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun ke arah perbaikan dan penyempurnaan referat ini.
Akhir kata penulis berharap referat ini dapat memberikan manfaat bagi banyak
pihak dan masukan bagi pembaca.
Palangka Raya, Mei 2022

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………….....i

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………..ii

KATA PENGANTAR…………………………………………………..............iii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………iv

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….2

2.1 Anatomi.............................................................................................. 2
2.2 Definisi............................................................................................... 10
2.3 Epidemiologi ..................................................................................... 10
2.4 Etiologi .............................................................................................. 11
2.5 Patofisiologi........................................................................................ 14
2.6 Diagnosis ........................................................................................... 16
2.7 Penatalaksanaan………………………………………………….. 21
2.8 Komplikasi……………………………………………………… 25
2.9 Prognosis ………………………………………………………. 27
BAB III KESIMPULAN.................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 30
BAB I

PENDAHULUAN

Laringitis adalah peradangan pada laring. Laringitis merupakan salah satu


kondisi kelainan laring yang paling umum ditemukan. Laringitis dapat bersifat
akut atau kronik. Laringitis akut terjadi kurang dari tiga minggu dan umumnya
dapat sembuh dengan sendirinya namun bila seseorang memiliki gejala laringitis
lebih dari tiga minggu diklasifikasikan sebagai laringitis kronik.1 Laringitis difteri
adalah peradangan pada laring akibat infeksi Corynebacterium diphteriae, yang
merupakan bakteri gram positif yang mengeluarkan toksin sehingga menyebabkan
timbulnya gejala. Laringitis difteri bermanifestasi sebagai infeksi saluran
pernapasan atas.2

Menurut World Health Organization (WHO), epidemi difteri masih menjadi


ancaman kesehatan di negara berkembang.2 Faktor predisposisi penyakit ini
adalah kegagalan imunisasi pada masa kanak-kanak.3 Walaupun dengan adanya
program perluasan imunisasi hingga saat ini sekitar 5000 kasus difteri masih
dilaporkan di seluruh dunia setiap tahunnya. Wilayah Asia Tenggara merupakan
wilayah dengan kasus difteri terbanyak di seluruh dunia terutama sejak tahun
2005.4 Situasi penyakit difteri di Indonesia, pada tahun 2019 jumlah kasus suspek
difteri sebesar 944 kasus yang tersebar di 25 provinsi, sedangkan sampai dengan
Mei di tahun 2020 menunjukan kasus suspek difteri yang ditemukan sebesar 129
kasus yang tersebar di 16 provinsi. Pada kurun waktu 6 bulan terakhir yaitu
Desember 2019 sampai dengan Mei 2020, kasus difteri paling banyak dilaporkan
di Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Aceh sehingga
penyakit ini masih memberikan dampak ekonomi yang signifikan.5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.
2.
2.1. Anatomi
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas.
Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar
daripada bagian bawah dan terletak setinggi vertebra cervicalis IV-VI. Batas atas
laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal kartilago
krikoid. Batas depannya ialah permukaan belakang epiglotis, tuberkulum
epiglotik, ligamentum tiroepiglotik, sudut antara kedua belah lamina kartilago
tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya ialah membran kuadrangularis,
kartilago aritenoid, konus elastikus dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas
belakangnya ialah m.aritenoid transversus dan lamina kartilago krikoid. Bangunan
kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid, dan beberapa buah
tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf U, yang permukaan atasnya
dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot.
Sewaktu menelan, kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke
atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut
dan membantu menggerakkan lidah.6
Gambar 2.1 Anatomi Laring tampak anterior dan posterior.7
Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago
tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago
kuneiformis dan kartilago tritisea. Kartilago krikoid dihubungkan dengan
kartilago tiroid oleh ligamentum krikotiroid. Bentuk kartilago krikoid berupa
lingkaran. Terdapat sepasang kartilago aritenoid yang terletak dekat permukaan
belakang laring, dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, disebut artikulasi
krikoaritenoid. Sepasang kartilago kornikulata (kiri dan kanan) melekat pada
kartilago aritenoid di daerah apeks, sedangkan sepasang kartilago kuneiformis
terdapat di dalam lipatan ariepiglotik, dan kartilago tritisea terletak di dalam
ligamentum hiotiroid lateral.6
Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi
krikoaritenoid. Sendi sendi sejati Laring adalah artikulasio krikotiroidea, sendi
berpasangan antara kartilago krikoid dan kornu inferior kartilago tiroid serta
artikulasio krikoaritenoidea, sendi antara kartilago krikoid dan kartilago aritenoid.
Artikulasio krikoaritenoidea memungkinkan gerak engsel dan meluncur sejajar
dengan sumbu silindris. Sendi ini terutama membantu membuka dan menutup
ruang di antara ligamentum vokale dan juga mempertahankan tegangan pada
ligamentum vokale.8 Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah
ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral dan posterior), ligamentum krikotiroid
medial, ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringal,
ligamentum hiotiroid lateral, ligamentum hiotiroid medial, ligamentum
hioepiglotika, ligamentum ventrikularis, ligamentum vokale yang
menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid, dan ligamentum
tiroepiglotika.6
Gambar 2.2 Kartilago dan ligamentum laring tampak anterolateral dan

posterior7

Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot


intrinsik. Otototot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan,
sedangkan otot-otot intrinsik menyebabkan gelak bagian-bagian laring tertentu
yang berhubungan dengan gerakan pita suara. Otot-otot ekstrinsik laring ada yang
terletak di atas tulang hioid (suprahioid), dan ada yang terletak di bawah tulang
hioid (infrahioid). Otot-otot ekstrinsik suprahioid ialah m.digastrikus,
m.geniohioid, m.stilohioid dan m.milohioid. Otot yang infrahioid ialah
m.sternohioid, m.omohioid dan m.tirohioid. Otot-otot ekstrinsik laring yang
suprahioid berfungsi menarik laring ke bawah, sedangkan yang infrahioid menarik
laring ke atas. Otot-otot intrinsik laring ialah m.krikoaritenoid lateral,
m.tiroepiglotika, m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika dan m.krikotiroid.
Otot-otot ini terletak di bagian lateral laring. Otot-otot intrinsik laring yang
terletak di bagian posterior, ialah m.aritenoid transversum, m.aritenoid oblik dan
m.krikoaritenoid posterior. Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah otot aduktor
(kontraksinya akan mendekatkan kedua pita suara ke tengah) kecuali m.
krikoantenoid posterior yang merupakan otot abduktor (kontraksinya akan
menjauhkan kedua pita suara ke lateral).6
Gambar 2.3 Otot-otot laring7
Adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum
ventrikulare, membentuk plika vokalis (pita suara asli) dan plika ventrikularis
(pita suara palsu). Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan, disebut rima glotis,
sedangkan antara kedua plika ventrikularis, disebut rima vestibuli. Plika vokalis
dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu vestibulum
laring, glotik dan subglotik. Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat di
atas plika ventrikularis. Daerah ini disebut supraglotik. Antara plika vokalis dan
plika ventrikularis, pada tiap sisinya disebut ventrikulus laring Morgagni. Rima
glotis terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian interkartilago.
Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plika vokalis, dan terletak di
bagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua puncak
kartilago aritenoid, dan terletak di bagian posterior. Daerah subglotik adalah
rongga laring yang terletak di bawah plika vokalis.
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu nervus laringis
superior dan nervus laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf
motorik dan sensorik. Nervus laringis superior mempersarafi m.krikotiroid,
sehingga memberikan sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara. Saraf ini
mula-mula terletak di atas m.konstriktor faring medial, di sebelah medial arteri
karotis intema dan ekstema, kemudian menuju ke kornu mayor tulang hioid, dan
setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior, membagi diri
dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus. Ramus ekstemus
berjalan pada permukaan luar m.konstriktor faring inferior dan menuju ke
m.krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh m.tirohioid terletak di
sebelah medial arteri tiroid superior, menembus membran hiotiroid, dan bersama-
sama dengan arteri laringis superior menuju ke mukosa laring. Nervus laringis
inferior merupakan lanjutan dari nervus rekuren setelah saraf itu memberikan
cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan cabang dari
nervus vagus. Nervus rekuren kanan akan menyilang arteri subklavia kanan di
bawahnya, sedangkan nervus rekuren kiri akan menyilang arkus aorta. Nervus
laringis inferior berjalan di antara cabang- cabang arteri tiroid inferior, dan
melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai pada permukaan
medial m.krikofaring. Di sebelah posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf ini
bercabang 2 menjadi ramus anterior dan ramus posterior. Ramus anterior akan
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian superior dan mengadakan
anastomosis dengan nervus laringis superior ramus internus.
Gambar 2. 4 Inervasi Laring.7

Vaskularisasi untuk laring terdiri dari dua cabang yaitu arteri laringis superior
dan arteri laringis inferior. Arteri laringis superior merupakan cabang dari a.tiroid
superior. Arteri laringis superior berjalan agak mendatar melewati bagian
belakang membnn tirohioid bersama-sama dengan cabang internus dari nervus
laringis superior kemudian menembus membran ini untuk berjalan ke bawah di
submukosa dari dinding lateral dan lantai dari sinus piriformis, untuk
mempendarahi mukosa dan otot-otot laring. Arteri laringis inferior merupakan
cabang dari arteri tiroid inferior dan bersama-sama dengan nervus laringis inferior
berjalan ke belakang sendi krikotiroid, masuk laring melalui daerah pinggir bawah
dari m.konstriktor faring inferior. Di dalam laring arteri itu bercabang-cabang,
mempendarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan arteri laringis
superior. Pada daerah setinggi membran krikotiroid arteri tiroid superior juga
memberikan cabang yang berjalan mendatari sepanjang membran itu sampai
mendekati tiroid. Kadang-kadang arteri ini mengirimkan cabang yang kecil
melalui membran krikotiroid untuk mengadakan anastomosis dengan arteri
laringis superior. Vena laringis superior dan vena laringis inferior letaknya sejajar
dengan arteri laringis superior dan inferior dan kemudian bergabung dengan vena
tiioid supedor dah inferior.

Gambar 2.5 Sistem pembuluh darah pada laring7


Pembuluh limfa untuk laring banyak, kecuali di daerah lipatan vokal. Disini
mukosanya tipis dan melekat erat dengan ligamentum vokale. Di daerah lipatan
vokal pernbuluh limfa dibagi dalam golongan superior dan inferior. Pembuluh
eferen dari golongan superior berjalan lewat lantai sinus piriformis dan arteri
laringis superior, kemudian ke atas, dan bergabung dengan kelenjar dari bagian
superior rantai servikal dalam. Pembuluh eferen dari golongan inferior berjalan ke
bawah dengan arteri laringis inferior dan bergabung dengan kelenjar servikal
dalam, dan beberapa di antaranya menjalar sampai sejauh kelenjar
supraklavikular.6
Gambar 2.6. Sistem limfatik laring7
2.2. Fisiologi Laring
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi
serta fonasi. Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah makanan dan
benda asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima
glotis secara bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring ialah karena
pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal
ini kartilago aritenoid bergerak ke depan akibat kontraksi m.tiroaritenoid dan
m.aritenoid. Selanjutnya m.ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter. Penutupan
rima glotis terjadi karena aduksi plika vokalis. Kartilago aritenoid kiri dan kanan
mendekat karena aduksi otot-otot intrinsik. Selain itu dengan refleks batuk, benda
asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan ke luar. Demikian juga
dengan bantuan batuk, sekret yang berasal dari paru dapat dikeluarkan. Fungsi
respirasi dari laring ialah dengan mengatur besar kecilnya rima glotis. Bila
m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkdn prosesus vokalis
kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka (abduksi).
Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeo-bronkial akan
dapat mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus, sehingga mempengaruhi
sirkulasi darah tubuh. Dengan demikian laring berfungsi juga sebagai alat
pengatur sirkulasi darah.6
Fungsi laring dalam membantu proses menelan ialah dengan 3 mekanisme,
yaitu gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laringis dan
mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke
dalam laring. Laring juga mempunyai fungsiuntuk mengekpresikan emosi, seperti
berteriak, mengeluh, menangis dan lain-lain. Fungsi laring yang lain ialah
untukfonasi, dengan membuat suara serta menentukan tinggi rendahnya nada.
Tinggi rendahnya nada diatur oleh ketegangan plika vokalis. Bila plika vokalis
dalam aduksi, maka m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan
ke depan, menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan
m.krikoaritenoid posterior akan menahan atau menarik kartilago aritenoid ke
belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan yang efektif untuk berkontraksi.
Sebaliknya kontraksi m.krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke
depan, sehingga plika vokalis akan mengendor. Kontraksi serta mengendornya
plika vokalis akan menentukan tinggi rendahnya nada.6
2.3. Definisi
Laringitis difteri adalah peradangan pada laring akibat infeksi
Corynebacterium diphteriae, yang merupakan bakteri gram positif yang
mengeluarkan toksin sehingga menyebabkan timbulnya gejala. Laringitis difteri
bermanifestasi sebagai infeksi saluran pernapasan atas.2
2.4. Epidemiologi
Epidemi terbesar yang tercatat sejak penerapan program vaksin secara luas
adalah pada tahun 1990-1995, ketika epidemi difteri muncul di Rusia, dengan
cepat menyebar hingga melibatkan semua Negara Baru Merdeka (NIS) dan
Negara Baltik. Epidemi ini menyebabkan lebih dari 157.000 kasus dan 5.000
kematian menurut laporan WHO. Tingkat kematian yang tinggi diamati pada
individu yang lebih tua dari 40 tahun, dan 5.000 kematian dilaporkan. Epidemi ini
menyumbang 80% dari kasus yang dilaporkan di seluruh dunia selama periode ini.
Tingkat infeksi secara keseluruhan telah menurun di Eropa dari tahun 2000
hingga 2009 menurut Jaringan Pengawasan Difteri. Hal itu telah dikaitkan dengan
peningkatan tingkat vaksinasi yang menciptakan kekebalan komunitas. Namun,
masalah dengan vaksinasi masih terjadi, terutama di negara-negara Eropa timur
dan Rusia, dan dianggap berkontribusi pada wabah yang sedang berlangsung.2
Menurut World Health Organization (WHO), epidemi difteri masih menjadi
ancaman kesehatan di negara berkembang.2 Faktor predisposisi penyakit ini
adalah kegagalan imunisasi pada masa kanak-kanak.3 Walaupun dengan adanya
program perluasan imunisasi hingga saat ini sekitar 5000 kasus difteri masih
dilaporkan di seluruh dunia setiap tahunnya. Wilayah Asia Tenggara merupakan
wilayah dengan kasus difteri terbanyak di seluruh dunia terutama sejak tahun
2005.4
Situasi penyakit difteri di Indonesia, pada tahun 2019 jumlah kasus suspek
difteri sebesar 944 kasus yang tersebar di 25 provinsi, sedangkan sampai dengan
Mei di tahun 2020 menunjukan kasus suspek difteri yang ditemukan sebesar 129
kasus yang tersebar di 16 provinsi. Pada kurun waktu 6 bulan terakhir yaitu
Desember 2019 sampai dengan Mei 2020, kasus difteri paling banyak dilaporkan
di Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Aceh sehingga
penyakit ini masih memberikan dampak ekonomi yang signifikan. 5 Sebanyak 94%
kasus difteri mengenai tonsil dan faring. Apabila tidak diobati dan penderita tidak
mempunyai kekebalan, angka kematian adalah sekitar 50 %, sedangkan dengan
terapi angka kematiannya sekitar 10%. Angka kematian difteri rata- rata 5 – 10%
pada anak usia kurang 5 tahun dan 20% pada dewasa (diatas 40 tahun). Difteri
sudah muncul sejak tahun 1940an dan di Indonesia imunisasi telah dimulai sejak
tahun 1976 dan diberikan sebanyak tiga kali pada usia 2, 3, dan 4 bulan..9
2.5. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae bakteri gram positif
yang telah ditemukan sejak abad 5 sebelum masehi oleh Hippocrates,
menyebabkan endemik dan epidemik. C.diphtheriae adalah basil gram positif
yang tidak berkapsul, tidak bergerak; hal ini ditunjukkan pada gambar di bawah
ini.
Gambar 2. Corynebacterium diphteriae
Strain patogen dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas lokal yang
parah, infeksi kulit lokal, dan infeksi sistemik yang jarang. Eksotoksin dikaitkan
dengan bentuk lokal dan sistemik yang invasif dari penyakit ini namun, laporan
kasus penyakit invasif tanpa adanya pelepasan eksotoksin telah
didokumentasikan. Eksotoksin dikodekan dalam bakteriofag virus, yang
ditularkan dari bakteri ke bakteri.2 C.diphtheriae memiliki empat biotipe: gravis,
intermedius, mitis, dan belfanti. Semua biotipe ini dapat menjadi toksigenik dan
berlanjut menjadi penyakit yang berat. Semua isolate C.diphtheriae harus
dilakukan uji toksisitas.10
2.6. Faktor Risiko
Kepadatan penduduk, kesehatan yang buruk, kondisi hidup di bawah standar,
imunisasi yang tidak lengkap, dan keadaan immunocompromised memudahkan
kerentanan terhadap difteri dan merupakan faktor risiko yang terkait dengan
penularan penyakit ini. Manusia pembawa adalah reservoir utama infeksi namun,
laporan kasus mengaitkan penyakit ini dengan ternak Pasien yang terinfeksi dan
pembawa asimtomatik dapat menularkan C.diphtheria melalui droplet pernapasan,
sekret nasofaring. Dalam kasus penyakit kulit, kontak dengan eksudat luka dapat
menyebabkan penularan penyakit kulit serta saluran pernapasan. Kekebalan dari
paparan atau vaksinasi berkurang seiring waktu. Peningkatan yang tidak memadai
dari individu yang sebelumnya divaksinasi dapat mengakibatkan peningkatan
risiko tertular penyakit dari pembawa, bahkan jika sebelumnya diimunisasi secara
memadai.2 WHO dan UNICEF menyebutkan bahwa setidaknya 80 juta anak usia
kurang dari 1 tahun memiliki risiko untuk menderita penyakit difteri, campak dan
polio akibat terganggunya pelayanan imunisasi rutin di tengah pandemi COVID-
19. Terdapat 64% dari 107 negara mengalami gangguan atau penundaan
pelaksanaan layanan imunisasi rutin dan 60 negara menunda pelaksanaan
kampanye imunisasi. Hal ini tentu berisiko untuk terjadinya Kejadian Luar Biasa
(KLB) Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I).5
2.7. Patofisiologi
C.diphtheria melekat pada sel epitel mukosa dimana eksotoksin, yang
dilepaskan oleh endosom, menyebabkan reaksi inflamasi lokal diikuti dengan
kerusakan jaringan dan nekrosis. Toksin terbuat dari dua protein yang bergabung.
Fragmen B berikatan dengan reseptor pada permukaan sel inang yang rentan,
yang secara proteolitik memotong lapisan lipid membran yang memungkinkan
segmen A masuk. Secara molekuler, diduga bahwa kerentanan seluler juga
disebabkan oleh modifikasi diftamida, bergantung pada jenis antigen leukosit
manusia (HLA) yang menjadi predisposisi infeksi yang lebih parah. Molekul
diftamida terdapat pada semua organisme eukariotik dan terletak pada residu
histidin dari faktor pemanjangan translasi 2 (eEF2). eEF2 bertanggung jawab atas
modifikasi residu histidin ini dan merupakan target toksin difteri (DT). Fragmen A
menghambat transfer asam amino dari RNA translocase ke rantai asam amino
ribosom, sehingga menghambat sintesis protein diperlukan untuk fungsi sel inang
yang normal. DT menyebabkan transfer katalitik NAD ke diftamida, yang
menonaktifkan faktor pemanjangan, menghasilkan inaktivasi eEF2, yang
mengakibatkan penyumbatan sintesis protein dan kematian sel berikutnya.
Kerusakan jaringan lokal memungkinkan toksin dibawa secara limfatik dan
hematologis ke bagian lain dari tubuh. Elaborasi toksin difteri dapat
mempengaruhi organ jauh seperti miokardium, ginjal, dan sistem saraf.2
Masa inkubasi difteri adalah 2 sampai 5 hari, dengan kisaran 1 sampai 10
hari. Penyakit ini dapat melibatkan hampir semua selaput lendir. Pada orang yang
tidak mendapatkan pengobatan, bakteri dapat muncul dalam kotoran dan lesi 2
sampai 6 minggu setelah infeksi.10
2.8. Diagnosis
2.8.1. Anamnesis
Laringitis akut pada umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis
(common cold) tetapi dapat juga hanya melibatkan laring. Pada anak laringitis
akut ini dapat menimbulkan sumbatan jalan napas, sedangkan pada orang dewasa
tidak secepat pada anak.6,10 Tanda dan gejala berupa infeksi saluran pernafasan
akut (ISPA) bagian atas, adanya nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak
tinggi (kurang dari 38,5o C), suara serak, dan batuk menyalak. Pada keadaan lebih
berat dapat ditandai dengan kesulitan menelan, sesak nafas, stridor dan
pembengkakan leher yang tampak seperti leher sapi (bullneck).9,10
2.8.2. Pemeriksaan Fisik
Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada tempat infeksi,
terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada kulit.
Penularan terjadi secara droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah,
melalui alat makan, atau kontak langsung dari lesi di kulit. Pada pemeriksaan
faringoskopi dapat ditemui adanya pseudomembrane
putih/keabu-abuan/kehitaman di tonsil, faring, atau laring yang tak mudah lepas,
serta berdarah apabila diangkat.9
2.8.3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret hidung.
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan
ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti loksin
sebesar 0.03/cc darah dapat dianggap cukup rnemberikan dasar imunitas. Hal
inilah yang dipakai pada tes Schick.6
Diagnosis difteri pernapasan biasanya dibuat berdasarkan presentasi klinis
karena sangat penting untuk memulai terapi dugaan dengan cepat. Tes konfirmasi
untuk difteri termasuk kultur untuk mengidentifikasi spesies bakteri dan uji Elek
untuk memastikan produksi toksin difteri. Kapasitas untuk kultur difteri mungkin
tersedia di laboratorium kesehatan masyarakat atau komersial. Laboratorium
Pertusis dan Difteri CDC secara rutin melakukan kultur untuk mengkonfirmasi
C.diphtheriae dan saat ini satu-satunya laboratorium di Amerika Serikat yang
menguji produksi toksin. Sangat penting untuk mengambil swab dari daerah yang
terkena, terutama setiap ulserasi atau pseudomembran. Bakteri dapat dilakukan
kultur pada media laboratorium umum; kultur pada media selektif yang
mengandung tellurite memungkinkan untuk membedakan C.diphtheriae dan
C.ulcerans dari spesies Corynebacterium lain yang biasanya menghuni nasofaring
dan kulit (misalnya difteri). Namun, lebih lanjut tes biokimia diperlukan untuk
sepenuhnya mengidentifikasi isolat sebagai C.diphtheriae.10
2.9. Tatalaksana
2.9.1. Medikamentosa
Antitoksin difteri, diproduksi pada kuda, telah digunakan untuk pengobatan
difteri pernapasan di Amerika Serikat sejak tahun 1890-an. Ini biasanya tidak
diberikan dalam kasus difteri non-pernapasan dan tidak diindikasikan untuk
profilaksis kontak pasien difteri. Antitoksin difteri hanya tersedia dari CDC,
melalui Investigational New Drug (IND) protokol. Antitoksin difteri tidak
menetralkan toksin yang sudah menempel pada jaringan, tetapi akan menetralkan
toksin yang bersirkulasi dan mencegah perkembangan penyakit. Setelah diagnosis
klinis sementara difteri pernapasan dibuat, spesimen yang sesuai harus diperoleh
untuk kultur dan pasien ditempatkan dalam isolasi. Toksoid difteri
dikombinasikan dengan toksoid tetanus sebagai vaksin difteri dan tetanus toksoid
(DT) atau tetanus dan vaksin difteri toksoid (Td [Tenivac dan Tdvax]). Difteri
toksoid juga dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan aseluler vaksin pertusis
sebagai DTaP (Infanrix dan Daptacel) atau Tdap (Boostrix dan Adacel) vaksin. Td
mengandung jumlah toksoid difteri yang lebih rendah dibandingkan dengan DT.
DTaP dan Tdap mengandung komponen pertusis yang sama, tetapi Tdap
mengandung sejumlah kecil antigen pertusis dan toksoid difteri. Boostrix
mengandung jumlah yang lebih rendah dari toksoid tetanus dibandingkan dengan
Infantrix.10
Orang yang dicurigai difteri harus segera diberikan antitoksin difteri dan
antibiotik dalam dosis yang memadai, tanpa menunggu laboratorium konfirmasi.
Dukungan pernapasan dan pemeliharaan jalan napas juga harus disediakan sesuai
kebutuhan. Selain antitoksin difteri, pasien dengan gangguan pernapasan difteri
juga harus diobati dengan antibiotik. Penyakit ini biasanya tidak lagi menular 48
jam setelah pemberian antibiotik.10
2.10. Komplikasi
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring
dan menyebabkan gejala sumbatan. Komplikasi utama akibat toksin C.diphtheria
adalah miokarditis, polineuropati, nefritis, dan trombositopenia.6,10
Miokarditis dapat muncul sebagai irama jantung yang abnormal dan dapat
terjadi pada awal perjalanan penyakit atau beberapa minggu kemudian.
Miokarditis dapat menyebabkan gagal jantung dan, jika terjadi lebih awal,
seringkali berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik dan
biasanya sembuh total. Kelumpuhan langit-langit lunak paling sering terjadi
selama minggu ketiga sakit. Kelumpuhan otot mata, anggota badan, dan
diafragma dapat terjadi setelah minggu kelima. Pneumonia sekunder dan gagal
napas dapat terjadi akibat kelumpuhan diafragma. Komplikasi lain termasuk otitis
media dan pernapasan insufisiensi karena obstruksi jalan napas, terutama pada
bayi.10
Semakin muda usia pasien semakin cepat timbul komplikasi ini. Ada satu
keadaan yang disebut sebagai disfonia ventrikular, yaitu keadaan plika ventrikular
yang mengambil alih fungsi fonasi dari pita suara, misalnya sebagai akibat
pemakaian suara yang terus menerus pada pasien dengan laringitis akut. lnilah
pentingnya istirahat berbicara (vocalrest) pada pasien dengan laringitis akut,
disamping pemberian obat-obatan. Kematian biasanya terjadi karena
obstruksi/sumbatan jalan nafas, kerusakan otot jantung, serta kelainan susunan
saraf pusat dan ginjal.6
2.11. Pencegahan
Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular tetapi dapat dicegah
dengan imunisasi.9 Orang yang paling rentan terhadap infeksi adalah mereka yang
tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap atau memiliki tingkat antibodi
antitoksin yang rendah dan telah terpajan pada pembawa atau individu yang sakit.
Karier adalah seseorang yang kulturnya positif untuk spesies difteri tetapi tidak
menunjukkan tanda dan gejala. Studi menunjukkan bahwa ketika jumlah
pembawa asimtomatik menurun, jumlah kasus difteri akibatnya menurun.
Penggunaan difteri dan toksoid tetanus dan pertusis aselular (DTaP) di Amerika
Serikat telah sangat menurunkan kejadian difteri. Meskipun cakupan DTaP masa
kanak-kanak melebihi 80%, kekebalan yang didapat berkurang seiring waktu,
membutuhkan booster untuk mempertahankan kekebalan. Meskipun vaksinasi
tidak dijamin untuk mencegah difteri, orang yang divaksinasi yang terus
mengembangkan difteri telah dilaporkan memiliki infeksi yang lebih ringan dan
tidak terlalu berat.2 DTaP (vaksin difteri, toksoid tetanus, dan pertusis aselular)
direkomendasikan untuk anak usia 6 minggu sampai 6 tahun. Jadwal rutin adalah
seri utama 3 dosis pada usia 2, 4, dan 6 bulan, dosis booster antara usia 15 hingga
18 bulan, dan dosis booster lainnya antara usia 4 hingga 6 tahun (total 5 dosis).
Tiga dosis pertama harus diberikan dengan interval 4 sampai 8 minggu (minimal 4
minggu). Dosis 4 harus mengikuti dosis 3 tidak kurang dari 6 bulan dan tidak
boleh diberikan sebelum usia 12 bulan.10
DAFTAR PUSTAKA

1. Shah RK. Acute Laryngitis. George Washington University School of


Medicine and Health Sciences. Department of Otolaryngology, Children’s
National Medical Center. Medscape. USA. Sept 2020
2. Lo BM. Diphthteria. American Academy of Emergency Medicine. Eastern
Virginia. Medscape. Jan 2019
3. Lamichhane A, Radhakrishnan S. Diphtheria. [Updated 2021 Aug 14]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan

4. Clarke KEN. Review of the epidemiology of diphtheria-2000-2016. US


Centers for Disease Control and Prevention.
5. Kementerian Keseharan Republik Indonesia. Buletin Surveilans PD3I &
Imunisasi. Departemen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian
Keseharan Republik Indonesia. Edisi 2. Juli 2020
6. Hermani, Bambang, Hutauruk, Syahria M. Disfonia Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Editor Efiaty
Arsyad,dkk. Edisi Ketujuh. Jakarta: FKUI; 2014
7. Netter, Frank H. Atlas Of Human Anatomy. 25th Edition. Jakarta: EGC, 2014.
8. Paulsen F. & J. Waschke. Sobotta Atlas Anatomi Manusia: Kepala, Leher, dan
Neuroanatomi. Jilid 3 Edisi 23. Jakarta: EGC. 2012
9. KEMENKES RI. Pedoman pencegahan dan pengendalian Difteri.
Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. 2017
10. Acosta AM, Moro PL, Hariri S, et al. Diphtheria: Epidemiology and
Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Center for Disease Control and
Prevention. 2021

Anda mungkin juga menyukai