Anda di halaman 1dari 51

CASE-BASED DISCUSSION

LARINGITIS AKUT

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher

(THT –KL)

Disusun oleh :

Aziz Rakha Dinarjo

30101507401

Pembimbing:

dr. RENNY SWASTI WIJAYANTI, Sp. THT – KL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Case-Based Discussion (Masalah Laring)

LARINGITIS AKUT

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas


Kepaniteraan Klinik Departemen THT RSI-SA Semarang

Oleh :

Aziz Rakha Dinarjo

30101507401

Semarang, Febuari 2020

Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing,

dr. RENNY SWASTI WIJAYANTI, Sp. THT – KL


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT dengan segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan case-based discussion
(CbD) dan refleksi kasus pada pasien dengan Laringitis Akut. Tugas ini disusun sebagai
salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan klinik bagian SMF THT RSI-SA
Semarang
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. dr. RENNY SWASTI
WIJAYANTI, Sp. THT – KL, selaku pembimbing yang sabar dalam membimbing dan
memberikan pengarahan serta mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
memberikan bimbingan, masukan, serta koreksi demi tersusunnya CbD dan refleksi
kasus ini, serta teman-teman departemen kepanitraan klinik Ilmu Kesehatan THT-KL
Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
penulis mohon maaf jika terdapat kekurangan. Penulis berharap refleksi kasus ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta bagi semua pihak
yang membutuhkan.

Semarang, Febuari 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Laringitis merupakan peradangan yang terjadi pada pita suara (laring) yang

dapat menyebabkan suara parau. Pada peradangan ini seluruh mukosa laring hiperemis

dan menebal, kadang-kadang pada pemeriksaan patologik terdapat metaplasi skuamosa.

Laringitis ialah pembengkakan dari membran mukosa laring. Pembengkakan ini

melibatkan pita suara yang memicu terjadinya suara parau hingga hilangnya suara.

Laringitis kronik adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang terjadi

dalam jangka waktu lama. Infeksi pada laring dapat dibagi menjadi laringitis akut dan

laringitis kronis, infeksi maupun non infeksi, inflamasi lokal maupun sistemik yang

melibatkan laring. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam

kurun waktu kurang dari 7 hari dan biasanya muncul dengan gejala yang lebih dominan

seperti gangguan pernafasan dan demam. Laringitis kronis biasanya terjadi bertahap dan

telah bermanifestasi dalam beberapa minggu. Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas

lebih lanjut mengenai laringitis akut dan upaya penanganannya.


BAB II

PEMBAHASAN

I. ANATOMI LARING

EMBRIOLOGI 2

Faring, laring, trakea dan paru merupakan derivat foregut embrional yang

terbentuk sekitar 18 hari setelah terjadi konsepsi. Tidak lama sesudahnya terbentuk alur

faring median yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernafasan dan benih

laring. Sulkus atau alur laringotrakeal mulai nyata sekitar hari ke 21 kehidupan embrio.

Perluasan alur ke kaudal merupakan primaordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan

berbentuk kantung dan kemudian menjadi dua lobus pada hari ke 27 atau 28. Bangian

yang paling proksimal dari tuba akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina

epitelial dapat dikenali pada hari ke 33. Sedangkan kartilago, otot, dan sebagian besar

pita suara terbentuk dalam 3-4 minggu berikutnya.

Hanya kartilago epiglotis yang tidak terbentuk hingga masa midfetal. Banyak

struktur merupakan derivat aparatus brankialis.

ANATOMI 2

Laring berada di depan dan sejajar dengan vetebre cervical 4 sampai 6, bagian

atasnya yang aka melanjutkan ke faring berbentuk seperti bentuk limas segitiga dan

bagian bawahnya yg akan melanjutkan ke trakea berbentuk seperti sirkular.


Laring dibentuk oleh sebuah tulang yaitu tulang hioid di bagian atas dan

beberapa tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf ‘U’, yang permukaan

atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot.

Saat menelan, konstraksi otot-otot (M.sternohioid dan M.Tirohioid) ini akan

menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini

bekerja untuk membantu menggerakan lidah.

Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago tiroid, krikoid, aritenoid,

kornikulata, kuneiform, dan epiglotis. Kartilago tiroid, merupakan tulang rawan laring

yang terbesar, terdiri dari dua lamina yang bersatu di bagian depan dan mengembang ke

arah belakang. Tulang rawan ini berbentuk seperti kapal, bagian depannya mengalami

penonjolan membentuk “adam’s apple”  dan di dalam tulang rawan ini terdapat pita

suara, dihubungkan dengan kartilago krikoid oleh ligamentum krikotiroid.

Kartilago krikoid terbentuk dari kartilago hialin yang berada tepat dibawah

kartilago tiroid berbentuk seperti cincin signet, pada orang dewasa kartilago krikoid

terletak setinggi dengan vetebra C6 sampai C7 dan pada anak-anak setinggi vetebra C3

sampai C4. Kartilago aritenoid mempunyai ukuran yang lebih kecil, bertanggung jawab

untuk membuka dan menutup laring, berbentuk seperti piramid, terdapat 2 buah

(sepasang) yang terletak dekat permukaan belakang laring dan membentuk sendi dengan

kartilago krikoid, sendi ini disebut artikulasi krikoaritenoid

Sepasang kartilago kornikulata atau bisa disebut kartilago santorini melekat pada

kartilago aritenoid di daerah apeks dan berada di dalam lipatan ariepiglotik. Sepasang

kartilago kuneiformis atau bisa disebut kartilago wrisberg terdapat di dalam lipatan
ariepiglotik , kartilago kornikulata dan kuneiformis berperan dalam rigiditas dari lipatan

ariepiglotik. Sedangkan kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral.

Gambar anatomi laring 3

Epiglotis merupakan Cartilago yang berbentuk daun dan menonjol keatas

dibelakang dasar lidah. Epiglottis ini melekat pada bagian belakang kartilago thyroidea.

Plica aryepiglottica, berjalan kebelakang dari bagian samping epiglottis menuju cartilago

arytenoidea, membentuk batas jalan masuk laring.

Membrana mukosa di Laring sebagian besar dilapisi oleh epitel respiratorius,

terdiridari sel-sel silinder yang bersilia. Plica vocalis dilapisi oleh epitel skuamosa.

Plica vocalis adalah dua lembar membrana mukosa tipis yang terletak di atas

ligamenturn vocale, dua pita fibrosa yang teregang di antara bagian dalam kartilago

thyroidea di bagian depan dan cartilago arytenoidea di bagian belakang. Plica vocalis
palsu adalah dua lipatan membrana mukosa tepat di atas plica vocalis sejati. Bagian ini

tidak terlibat dalarn produksi suara.

Gambar pita suara

Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi

krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum

seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior ), ligamentum krikotiroid medial,

ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringeal, ligamentum

hiotoroid lateral, ligamentum hiotiroid media, ligamentum hioepiglotica, ligamentum

ventricularis , ligamentum vocale yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan

kartilago tiroid dan ligamentum tiroepiglotica.


Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot

instrinsik, otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan ,

sedangkan otot-otot instrinsik menyebabkan gerakan bagian-bagian laring sendiri. Otot-

otot ekstrinsik laring ada yang terletak diatas tulang hyoid (suprahioid), dan ada yang

terletak dibawah tulang hyoid (infrahioid). Otot ekstrinsik yang supra hyoid ialah M.

Digastricus, M.Geniohioid, M.Stylohioid, dan M.Milohioid. Otot yang infrahioid ialah

M.sternohioid dan M.Tirohioid. Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi

menarik laring ke bawah, sedangkan yang infrahioid menarik laring keatas. Otot-otot

intrinsik laring ialah M. Krikoaritenoid lateral. M.Tiroepiglotica, M.vocalis, M.

Tiroaritenoid, M.Ariepiglotica, dan M.Krikotiroid. Otot-otot ini terletak di bagian

lateral laring.Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior, ialah

M.aritenoid transversum, M.Ariteniod obliq dan M.Krioaritenoid posterior.


Gambar otot pada laring 3

Rongga Laring 4

Batas atas rongga laring (cavum laryngis) ialah aditus laring, batas bawahnya

ialah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah

permukaan belakang epiglottis, tuberkulum epiglotic, ligamentum tiroepiglotic, sudut

antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya
ialah membran kuadranagularis, kartilago aritenoid, konus elasticus, dan arkus kartilago

krikoid, sedangkan batas belakangnya ialah M.aritenoid transverses dan lamina

kartilago krikoid.

Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vocale dan ligamentum

ventrikulare, maka terbentuklah plika vocalis (pita suara asli) dan plica ventrikularis

(pita suara palsu).

Bidang antara plica vocalis kiri dan kanan, disebut rima glottis, sedangkan antara kedua

plica ventrikularis disebut rima vestibuli.

Plica vocalis dan plica ventrikularis membagi rongga laring dalam tiga bagian,

yaitu vestibulum laring , glotic dan subglotic.

Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat diatas plica ventrikularis.

Daerah ini disebut supraglotic. Antara plica vocalis dan pita ventrikularis, pada tiap

sisinya disebut ventriculus laring morgagni.

Rima glottis terdiri dari dua bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian

interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plica vocalis, dan terletak

dibagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua puncak

kartilago aritenoid, dan terletak di bagian posterioir. Daerah subglotic adalah rongga

laring yang terletak di bawah pita suara (plicavocalis).


Persyarafan4

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.laringeus superior

dan laringeus inferior (recurrent). Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik

dan sensorik. Nervus laryngeus superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga

memberikan sensasi pada mukosa laring dibawah pita suara. Saraf ini mula-mula

terletak diatas m.konstriktor faring medial, disebelah medial a.karotis interna, kemudian

menuju ke kornu mayor tulang hyoid dan setelah menerima hubungan dengan ganglion

servikal superior, membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus

internus.

Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m.konstriktor faring inferior dan

menuju ke m.krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh m.tirohioid terletak

disebelah medial a.tiroid superior, menembus membran hiotiroid, dan bersama-sama

dengan a.laringeus superior menuju ke mukosa laring.


Nervus laringeus inferior merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah saraf itu

memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan

lanjutan dari n.vagus.

Nervus rekuren kanan akan menyilang a.subklavia kanan dibawahnya,

sedangkan n.rekuren kiri akan menyilang aorta. Nervus laringis inferior berjalan

diantara cabang-cabang arteri tiroid inferior, dan melalui permukaan mediodorsal

kelenjar tiroid akan sampai pada permukaan medial m.krikofaring. Disebelah posterior

dari sendi krikoaritenoid, saraf ini bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus

posterior, Ramus anterior akan mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral,

sedangkan ramus posterior mempersyarafi otot-otot intrinsik laring superior dan

mengadakan anstomosis dengan n.laringitis superior ramus internus.

Gambar persarafan laring(14)


Pendarahan4

Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang yaitu a.laringitis superior dan

a.laringitis inferior.

Arteri laryngeus superior merupakan cabang dari a.tiroid superior. Arteri

laryngitis superior berjalan agak mendatar melewati bagian belakang membran tirohioid

bersama-sama dengan cabang internus dari n.laringis superior kemudian menembus

membran ini untuk berjalan kebawah di submokosa dari dinding lateral dan lantai dari

sinus piriformis, untuk memperdarahi mukosa dan otot-otot laring.

Arteri laringeus interior merupakan cabang dari a.tiriod inferior dan bersama-

sama dengan n.laringis inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid, masuk laring

melalui daerah pinggir bawah dari m.konstriktor faring inferior. Di dalam arteri itu

bercabang-cabang memperdarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan

a.laringis superior.
Pada daerah setinggi membran krikotiroid a.tiroid superior juga memberikan

cabang yang berjalan mendatar sepanjang membrane itu sampai mendekati tiroid.

Kadang-kadang arteri ini mengirimkan cabang yang kecil melalui membran krikotiroid

untuk mengadakan anastomosis dengan a.laringeus superior.

Vena laringeus superior dan vena laringeus inferior letaknya sejajar dengan

a.laringis superior dan inferior dan kemudian bergabung dengan vena tiroid superior dan

inferior.

Pembuluh Limfe 4

Pembuluh limfa untuk laring banyak, kecuali di daerah lipatan vocal. Disini

mukosanya tipis dan melekat erat dengan ligamentum vokale. Di daerah lipatan vocal

pembuluh limfa dibagi dalam golongan superior dan inferior.

Pembuluh eferen dari golongan superior berjalan lewat lantai sinus piriformis

dan a.laringeus superior, kemudian ke atas, dan bergabung dengan kelenjar dari bagian

superior rantai servikal dalam. Pembuluh eferen dari golongan inferior berjalan

kebawah dengan a.laringeus inferior dan bergabung dengan kelenjar servikal dalam, dan

beberapa dintaranya menjalar sampai sejauh kelenjar supraklavikular.


II. Histologi Laring

• Bentuk : Irregular

• Dinding : Tulang rawan hialin + elastic

Jaringan ikat

Otot skelet

Mukosa + kelenjar-kelenjar

 Fungsi : Menghubungkan faring dengan trakea, membentuk suara.

• Tunggal : tiroid, krikoid, epiglottis.

• Berpasangan : aritenoid, kornikulata, kuneiformis.


• Tulang rawan hialin : tiroid, krikoid, aritenoid.

• Tulang rawan elastic : epiglottis, kuneiformis, kornikulata, ujung aritenoid.

• Otot intrinsic  berfungsi sebagai fonasi.

• Oto ekstrinsik  berfungsi untuk menelan.

I. Pita suara palsu

II. Pita suara sejati

Epiglotis
III. FISIOLOGI LARING

Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi

disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut:1,2,5,6

1. Fungsi Fonasi

Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks.

Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan

adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat

oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta

adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru,

trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi

dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam

penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung

bebas dan tegangan pita suara sejati.

2. Fungsi Proteksi

Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek

otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu

menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap

reseptor yang ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan

daerah interaritenoid melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai

jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke

depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah.

Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke

sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.

3. Fungsi Respirasi
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar

rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga

kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh

tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan

menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan

merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring

mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan

pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan

parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita

suara.

4. Fungsi Sirkulasi

Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan

peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return.

Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan

bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek

kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang

terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan Ramus

Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama

bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.

5. Fungsi Fiksasi

Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap

tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.

6. Fungsi Menelan
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat

berlangsungnya proses menelan, yaitu: Pada waktu menelan faring bagian

bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M.

Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan

kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian

makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal.

Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran

pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring

oleh epiglotis.

Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus

laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi

aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.

7. Fungsi Batuk

Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai

katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara

mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring

dari ekspansi benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang

reseptor atau iritasi pada mukosa laring.

8. Fungsi Ekspektorasi

Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha

mengeluarkan benda asing tersebut.

9. Fungsi Emosi

Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring, misalnya

pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.


IV. LARINGITIS AKUT

Definisi 1

Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi, baik

secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung

dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu

dinamakan laringitis kronis.

Radang akut laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis akut

(common cold). Sedangkan laringitis kronik merupakan radang kronis laring yang dapat

disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung atau bronkitis

kronis. Mungkin juga disebabkan oelh penyalahgunaan suara (vocal abuse) seperti

berteriak-teriak atau biasa berbicara keras.

Epidemiologi

Dari penelitian di Seattle – Amerika (Foy dkk, 1973), didapatkan angka

serangan croup pada bayi usia 0-5 bulan didapatkan 5.2 dari 1000 anak per tahun, pada

bayi usia 6-12 bulan didapatkan 11 dari 1000 anak per tahun, pada anak usia 1 tahun

didapatkan 14.9 dari 1000 anak per tahun, pada anak usia 2-3 tahun didapatkan 7.5 dari

1000 anak per tahun, dan pada anak usia 4-5 tahun didapatkan 3.1 dari 1000 anak per

tahun. Dari penelitian di Chapel Hill – NC (Danny dkk, 1983) didapatkan data-data

perbandingannya yaitu 24.3, 39.7, 47, 31.2, dan 14.5, dan dari data-data tersebut

didapatkan 1.26% membutuhkan perawatan di rumah sakit. Di Tuscon – AZ didapatkan


angka serangan croup selama tahun pertama kehidupan 107 kasus dari 961 anak.

Laringitis atau croup mempunyai puncak insidensi pada usia 1-2 tahun. Sebelum usia 6

tahun laki-laki lebih mudah terserang dibandingkan perempuan, dengan perbandingan

laki-laki/perempuan 1.43:1 (Denny dkk, 1993). Banyak dari kasus-kasus croup timbul

pada musim gugur dimana kasus akibat virus parainfluenza lebih banyak timbul. Pada

literatur lain disebutkan croup banyak timbul pada musim dingin, tetapi dapat timbul

sepanjang tahun. Kurang lebih 15% dari para penderita mempunyai riwayat croup pada

keluarganya.

Etiologi 1

Sebagai penyebab radang ini ialah bakteri, yang menyebabkan radang local atau

virus yang menyebabkan peradangan sistemik.

1. Laringitis virus

a. Laringotrakeitis virus (Croup)

b. Laringitis virus

c. Herpes simplex virus

2. Laringitis Bakterialis

a. Supraglottitis bakterialis (Epiglottitis)

b. Laringitis Difteri
1. Laryngitis akut ini dapat terjadi dari kelanjutan infeksi saluran nafas seperti

influenza atau common cold. Infeksi virus influenza (tipe A dan B),

parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah

Haemofilus influenza, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes,

Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumonia.

2. Gastro esofageal reflux disease (GERD).

3. Penyakit ini dapat terjadi karena perubahan musim / cuaca.

4. Pemakaian suara yang berlebihan (vocal trauma).

5. Environmental insults (polusi).

6. Trauma.

7. Bahan kimia.

8. Merokok dan minum-minum alcohol.

9. Alergi.

Patofisiologi 2

Laryngitis akut merupakan inflamasi dari mukosa laring dan pita suara yang

berlangsung kurang dari 3 minggu. Parainfluenza virus, yang merupakan penyebab

terbanyak dari laryngitis, masuk melalui inflamasi dan menginfeksi sel dari epithelium

saluran nafas local yang bersilia, ditandai dengan edema dari lamina propria,

submukosa, dan adventitia, diikuti dengan infiltrasi selular dengan histosit, limfosit, sel

plasma dan lekosit polimorfonuklear (PMN). Terjadi pembengkakan dan kemerahan

dari saluran nafas yang terlibat, kebanyakan ditemukan pada dinding lateral dari trakea
di bawah pita suara. Karena trakea subglotis dikelilingi oleh kartilago krikoid, maka

pembengkakan terjadi pada lumen saluran nafas dalam, menjadikannya sempit, bahkan

sampai hanya sebuah celah.

Daerah glottis dan subglotis pada bayi normalnya sempit, dan pengecilan sedikit

saja dari diameternya akan berakibat peningkatan hambatan saluran nafas yang besar

dan penurunan aliran udara. Seiring dengan membesarnya diameter saluran nafas sesuai

dengan pertumbuhan maka akibat dari penyempitan saluran nafas atas akan berakibat

terjadinya stridor dan kesulitan bernafas yang menuju pada hipoksia ketika sumbatan

yang terjadi berat. Hipoksia dengan sumbatan yang ringan menandakan keterlibatan

saluran nafas bawah dan ketidak seimbangan ventilasi dan perfusi akibat sumbatan dari

saluran nafas bawah atau infeksi parenkim paru atau bahkan adanya cairan.

Gejala Klinis dan Diagnosis 1

1. Gejala local seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara yang

kasar atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari

suara yang biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan

dalam pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara

menjadi parau bahkan sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).

2. Sesak nafas dan stridor.

3. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menelan atau berbicara.

4. Gejala radang umum seperti demam, malaise.

5. Batuk kering yang lama-kelamaan disertai dahak kental.


6. Gejala common cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,

sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan

temperature yang tidak mengalami peningkatan dari 38˚C.

7. Gejala influenza seperti bersin-bersin , nyeri tenggorok hingga sulit menelan,

sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan

peningkatan suhu yang sangat berarti yakni lebih dari 38˚C, dan adanya rasa

lemah, lemas yang disertai dengan nyeri di seluruh tubuh.

8. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukosa laring yang hiperemis,

membengkak terutama di bagian atas dan bawah pita suara dan juga didapatkan

tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal atau paru.

9. Obstruksi jalan nafas apabila ada oedem laring diikuti oedem subglotis yang

terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak

menjadi gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat, pemeriksaan fisik

akan ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan

keadaan darurat medic yang dapat mengancam jiwa anak.


Pemeriksaan Fisik 7

Pemeriksaan fisik untuk mendukung diagnosa :

a. Laringoskopi indirek  ditemukan mukosa laring yang sangat sembab,

hiperemis dan tanpa membran serta tampak pembengkakan subglotis yaitu

pembengkakan jaringan ikat pada konus elastikus yang akan tampak di bawah

pita suara.

b. Ditemukan tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal atau paru.

Pemeriksaan Penunjang 7

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa


a. Foto Rontgen leher AP : bisa tampak pembengkakan jaringan subglotis

(Steeple sign).

b. Pemeriksaan laboratorium : gambaran darah dapat normal. Jika disertai infeksi

sekunder, lekositosis ringan dan limfositosis.

c. Pemeriksaan kultur : bila didapatkan eksudat di orofaring atau plika suara,

dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab infeksi. Dari darah dapat

didapatkan dan limfositosis.

Diagnosa Banding7

Diagnosa banding yang dapat diperkirakan dalam penentuan diagnosa laringitis

akut, antara lain:

a. Benda asing pada laring 

b. Faringitis

c. Bronkiolitis 

d. Bronkitis 

e. Pnemonia

f. Laringitis kronik atau Alergi

g. Reflux Laryngitis

h. Spasmodic Dysphonia

Penatalaksanaan7

1. Indikasi Rawat Rumah Sakit :

Pasien dinyatakan perlu untuk rawat rumah sakit jika dalam kondisi

a. Usia penderita dibawah 3 tahun

b. Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau axhausted


c. Diagnosis penderita masih belum jelas

d. Perawatan dirumah kurang memadai

2. Terapi Umum :

Pengobatan edukatif (non-medikamentosa) yang dapat diberikan kepada pasien

a. Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari.

b. Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 L/ menit.

c. Menghirup uap hangat dan dapat ditetesi minyak atsiri / minyak mint bila

ada muncul sumbatan di hidung atau penggunaan larutan garam fisiologis

(saline 0,9 %) yang dikemas dalam bentuk semprotan hidung atau nasal

spray.

d. Mengindari iritasi pada faring dan laring, misalnya merokok, makanan

pedas atau minum es.

3. Terapi Tambahan

Tindak lanjut penatalaksanaan dalam kondisi yang sudah cukup berat :

a. Pengisapan lendir dari tenggorok atau laring.

b. Bila penatalaksanaan ini tidak berhasil maka dapat dilakukan endotrakeal

atau trakeostomi bila sudah terjadi obstruksi jalan nafas.

4. Terapi Medikamentosa

Terapi obat-obatan untuk menunjang proses perlawanan terhadap infeksi :

a. Demam : Parasetamol atau ibuprofen / antipiretik.

b. Hidung tersumbat : dekongestan nasal seperti fenilpropanolamin (PPA),

efedrin, pseudoefedrin, napasolin dapat diberikan dalam bentuk oral

ataupun spray.
c. Antibiotika yang adekuat apabila peradangan berasal dari paru

 Ampisilin 100 mg/kgBB/hari, IV, terbagi 4 dosis

 Kloramfenikol :50 mg/kgBB/hari, IV, terbagi dalam 4 dosis

 Sefalosporin generasi 3 (cefotaksim atau ceftriakson)

d. Kortikosteroid IV : deksametason 0,5mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis,

diberikan selama 1-2 hari.

Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya laringitis akut dapat dengan :

1. Jangan merokok dan menghindari asap rokok karena rokok akan membuat

tenggorokan kering dan mengakibatkan iritasi pada pita suara.

2. Minum banyak air karena cairan akan membantu menjaga agar lendir yang

terdapat pada tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan.

3. Membatasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah tenggorokan

kering.

4. Jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan karena berdehem akan

menyebabkan terjadinya vibrasi abnormal pada pita suara, meningkatkan

pembengkakan dan berdehem juga akan menyebabkan tenggorokan

memproduksi lebih banyak lendir.

Komplikasi 1

Pada beberapa kasus pada laringitis yang disebabkan oleh infeksi dapat menyebar

ke bagian lain pada saluran pernafasan.

Prognosis 1
Prognosis untuk penderita laryngitis akut ini umumnya baik dan pemulihannya

selama satu minggu. Namun pada anak khususnya pada usia 1-3 tahun penyakit ini

dapat menyebabkan oedem laring dan oedem subglotis sehingga dapat menimbulkan

obstruksi jalan nafas dan bila hal ini terjadi dapat dilakukan pemasangan pipa

endotrakeal atau trakeostomik.

V. LARINGOFARIGEAL REFLUKS (LPR)

DEFINISI

LPR adalah suatu kondisi dimana terjadi gerakan retrograde dari isi lambung ke
dalam saluran aerodigestif atas (kerongkongan, faring, laring, rongga mulut dan
nasofaring). Penyakit ini sering salah didiagnosis atau kurang terdiagnosis.10

LPR dikenal juga dengan berbagai istilah seperti supraesofageal GERD, atipikal
GERD, dan komplikasi ekstraesofageal GERD.

ETIOLOGI
Etiologi terjadinya refluks pada LPR sebagian besar masih belum diketahui,
meskipun disfungsi Upper Esophageal Sphincter (UES) telah dihipotesiskan
sebagai faktor yang memungkinkan. Walaupun dismotilitas dan disfungsi LES
mempunyai peranan penting pada GERD, namun hal itu berkebalikan pada LPR.
Bahkan pada pemeriksaan manometri, pada LPR sering ditemukan tidak aadanya
gangguan dismotilitas.11

GEJALA KLINIS

Pada orang dewasa gejala klinis dapat berupa heartburn atau terasa pahit di
belakang tenggorokan, namun gejala klinis GERD lainnya jarang ditemukan.
Beberapa gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien antara lain:

 Sering berdeham untuk membersihkan tenggorokan


 Batuk-batuk lama
 Suara serak
 Perasaan seperti ‘gumpalan’ di leher yang tidak hilang saat menelan
 Post nasal drip atau produksi mucus yang berlebihan
 Sulit menelan
 Sulit bernapas
 Nyeri tenggorok12

PATOFISIOLOGI

Terdapat 2 hipotesis tentang bagaimana asam


lambung menimbulkan respon patologis pada
ekstraesofageal. Teori yang pertama,
kerusakan struktur laring dan jaringan
sekitarnya akibat kontak langsung dengan
asam. Teori yang kedua, asam lambung pada
esophagus distal menstimulasi refleks vagal
yang menyebabkan bronkokonstriksi dan
batuk-batuk kronis sehingga menyebabkan lesi pada mukosa. Kedua mekanisme ini
bisa juga terjadi secara bersamaan.13

Terdapat 4 barier untuk melindungi daerah aerodigestif bagian atas dari bahan
refluks, yaitu:

 Lower Esophageal Sphincter (LES)


 Fungsi motorik esophagus dalam proses pembersihan asam
 Resistensi mukosa esophagus
 Upper Esophageal Sphincter (UES)

Epitel bersilia pada saluran napas sangat sensitif, sehingga kegagalan dari keempat
mekanisme diatas dapat dengan mudah merusak silia epitel. Disfungsi dari silia ini
akan menyebabkan penumpukan mukus menimbulkan gejala sering berdeham.
Iritasi langsung oleh asam lambung pada saluran napas atas akan menyebabkan
spasme laring dan menimbulkan batuk kronis.13

DIAGNOSIS

Diagnosis LPR dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Untuk membantu dari anamnesis telah dibuat scoring
Reflux Symptoms Index (RIS). RIS ini berguna untuk mendokumentasikan gejala
LPR dan menilai derajat keparahan LPR. Skor total maksimal 45, dan skor diatas 13
menegakkan diagnosis LPR secara pasti.14
Dalam pemeriksaan fisik, untuk membantu diagnosis LPR dibuat Reflux Finding
Score (RFS). RFS adalah indeks yang dirancang untuk menilai keparahan klinis
berdasarkan temuan laryngoskopi. Skor berkisar dari 0 (normal) sampai 26 (paling
parah), dengan skor 11 atau di atas dianggap menjadi indikasi LPR.15
(A) posterior pharyngeal wall
cobblestoning,

(B) interarytenoid bar with erythema,

(C) posterior commissure with


erythema and surface irregularity,

(D) posterior cricoid wall edema,

(E) arytenoid complex with apex


edema, erythema, and medial wall
erythema,

(F) true vocal folds with edema,

(G) false vocal folds erythema,

(H) anterior commissure erythema,

(I) epiglottis erythema, and

(J) aryepiglottic fold edema.

Walau pun terkadang sudah tampak jelas diagnosis LPR dari kedua skor tersebut
terkadang masih terjadi misdiagnose. Hal ini disebabkan karena gejala LPR yang
tidak spesifik dan hampir mirip dengan penyakit lainnya, terutama keluha suara
serak. Table berikut adalah contoh menyingkirkan diagnosis banding dari LPR:

Dalam mendiagnosis LPR penting untuk menyingkirkan kemungkinan kanker laring


atau keganasan lainnya yang mungkin menyebabkan gejala klinis yang serupa. Oleh
karena itu penting sekali untuk mencegah terjadinya underdiagnose dan
overdiagnose pada LPR.

Beberapa pemeriksaan penunjang berikut dapat digunakan untuk membantu


diagnosis dari LPR:

 Barium esophagografi
Pemeriksaan ini berguna untuk melihat kelainan struktural yang mungkin
mendukung diagnosis kea rah GERD, misal hiatal hernia, striktur esophagus,
atau penyempitan distal esophagus. Secara keseluruhan, barium
esophagografi hanya memiliki sensitivitas 33% dalam mendiagnosis
refluks.13
 Laringoskopi
Laringoskopi adalah prosedur yang biasa dilakukan untuk mendiagnosis
LPR. Pemeriksaan dengan menggunakan flexible laryngoscopy lebih
sensitive namun tidak lebih spesifik dari menggunakan rigid laryngoscopy
dalam mendeteksi kerusakan jaringan laring.13
 Endoskopi
Ditemukannya tanda-tanda peradangan esophagus pada pemeriksaan
endoskopi tidak memberatkan GERD sebagai etiologi dalam gangguan
supraesofageal. Namun pemeriksaan ini dapat membantu klinisi untuk
menerangkan penyakitnya pada pasien. Gambaran esofagitis tidak selalu
ditemukan pada pasien LPR.
 Monitoring pH faringoesofageal
Monitoring ini pernah dianggap sebagai standar untuk mendiagnosis refluks.
Namun, modalitas diagnostic ini kurang sensitif pada mereka dengan
manifestasi gejala ekstraesofageal dari GERD. Selain itu, data terakhir
menunjukkan bahwa temuan abnormal pemantauan pH tidak dapat
memprediksi respon dari terapi. Pada pemeriksaan ini pH probe distal
diletakkan 5 cm di atas LES dan pH probe proksimal diletakkan 20 cm di
atas LES. Lalu pada daerah faring diletakkan pH probe ke 3 untuk merekam
perubahan asam yang terjadi.16

PENATALAKSANAAN
 Edukasi dan perubahan perilaku
Perubahan perilaku yang sangat penting temasuk menurunkan berat badan,
berhenti merokok, dan hindari minuman beralkohol. Diet yang ideal meliputi
pantangan terhadap coklat, lemak, buah yang asam, minuman bersoda,
makanan pedas, red wine, kafein, dan makan tengah malam. Perubahan
perilaku menunjukkan perubahan yang signifikan pada penderita LPR yang
disertai dengan terapi medikamentosa. Edukasi mengenai aturan meminum
obat 30 sampai 60 menit sebelum makan juga penting untuk optimalisasi
kerja obat.17
 Medikamentosa
Terdapat empat kategori obat yang dapat dipakai untuk terapi LPR, yaitu
golongan penghambat pompa poton, agonis reseptor H2, agen prokinetik,
dan krioprotektan mukosa. Penghambat pompa proton merupakan pilihan
utama dalam pengobatan medikamentosa LPR. Obat ini paling efektif dalam
mengataasi GERD yang meilabtkan esophagus. Walaupun efektif namun
dosisi yang lebih tinggi dan durasi waktu yang lebih lama dibutuhkan
dibandingkan dengan penyakit esophagus akibat GERD.18
 Operasi
Jika penatalaksanaan dengan medikamentosa gagal sedangkan pasien
terbukti memilki volume refluks yang tinggi dan memiliki LES yang
inkompeten maka ini merukan indikasi untuk dilakukannya prosedur operasi.
Fundoplikasi baik yang komplit (Nissen atau Rossetti) maupun parsial
(Taupet atau Bore) adalah prosedur yang paling sering dilakukan. Tujuan
dari operasi ini adalah untuk mengembalikan fungsi LES yang nantinya akan
menurunkan episode terjadinya refluks.19
KOMPLIKASI

LPR yang tidak diobati akan menyebabkan komplikasi seperti: odinofagia,

batuk-batuk kronis, sinusitis, infeksi telinga, pembengkakan pita suara, ulkus pada plika

vokalis, pembentukan granuloma (massa) di tenggorokan, dan perburukan asma,

emfisema, serta bronchitis. LPR yang dibiarkan saja juga kemungkinan berperan dalam

perkembangan kanker pada daerah laring


BAB III
REFLEKSI KASUS

IDENTITAS PASIEN
NAMA : Tn. T.E
JENIS KELAMIN : Laki-Laki
USIA : 53 tahun
AGAMA : Islam
PEKERJAAN : Karyawan Swasta
STATUS : Menikah
PENDIDIKAN : Sarjana
ALAMAT : JL. Lempongsari I 401D Gajah Mungkur Semarang
NO CM : 0102xxxx
TGL PEMERIKSAAN : 8 Febuari 2020

ANAMNESIS
Autoanamnesa tanggal 8 Febuari 2020 di Poli THT RSI-SA Semarang
1. Keluhan utama
Suara Hilang
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT RSI-SA Semarang pada tanggal 8 Febuari
2020 dengan keluhan suara hilang sejak 3 hari sebelum masuk RS. Keluhan
disertai dengan adanya batuk dan pilek sejak 1 bulan yang lalu. Serta pasien
mengeluhkan suara serak sbelumnya. Ditambah ditanyakan sudah berapa lama
merasakan suara seraknya ?. Pasien juga mengeluhkan tenggorokan gatal dan
terasa kering. Pasien mengaku sering berdehem dan jika batuk tidak disertai
dengan sekret atau dahak. Nyeri di tenggorokan dan kesulitan saat menelan
serta demam disangkal pasien. Pasien menyangkal adanya riwayat pengobatan
intensive selama 6 bulan. Pasien juga menderita maag, sering kambuh ± 1 kali
seminggu dan merasakan cairan naik dari perut ke tenggorokan dan terasa
asam. Ditambah ditanyakan apakah pasien merasakan sesak nafas atau tidak?.
+ Ditanyakan juga apakah merasa ada benjolan di leher ?

Pasien mengaku tidak pernah berobat sebelumnya, selama ini


hanya mengkonsumsi obat komix herbal yang diberi di warung dan baru
memeriksakan keluhan ini ke dokter pertama kali.

SKOR RSI (Refluk Finding Score)


1=5
2=2
3=2
4=0
5=3
6=3
7=5
8=3
9=4
Skor = 27

3. Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pengobatan


 Sebelumnya Pasien mengaku beberapa kali merasakan batuk pilek dan
nyeri tenggorkan, tetapi hilang dengan sendirinya tidak pernah
diperiksakan ke dokter (keluhan serupa-suara hilang disangkal).
 Riwayat Maag diakui oleh pasien
 Riwayat Alergi disangkal oleh pasien
 Riwayat asma, diabetes melitus, hipertensi dan asma disangkal pasien
4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama.
 Tidak ada keluarga yang menderita alergi
5. Riwayat Sosial Ekonomi
 Kesan gizi dan ekonomi Menengah Keatas
 Pasien memiliki kebiasaan merokok 1-2 bungkus/hari
 Pasien memiliki pekerjaan sebagai bagian Marketing.
 Status pasien saat ini sudah menikah, dan memiliki 2 orang anak.

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pemeriksaan pada tanggal 8 Febuari 2020 di Poli THT RSI-SA
Semarang
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital

TD : 110/70
Nadi : 83 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Suhu : 36.5°C

Kepala dan Leher

Kepala : Normocephal
Wajah : Simetris
Leher : Simetris,  tidak ada deviasi trakea,
tidak ada pembesaran KGB
Gigi dan Mulut :
Gigi geligi : tumbuh beraturan
Lidah : bentuk normal, kotor (-) seperti peta (-), tremor (-)
Pipi : bengkak (-)
Status Lokalis
1. Pemeriksaan telinga
Telinga luar
Dextra Sinistra
Aurikula Bentuk normal Bentuk normal
Nyeri tarik (-) Nyeri tarik (-)
Oedem (-) Oedem (-)
Preaurikula Tragus pain (-) Tragus pain (-)
Oedem (-) Oedem (-)
Retroaurikula Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Oedem (-) Oedem (-)
Mastoid Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Oedem (-) Oedem (-)
CAE Discharge (-) Discharge (-)

Serumen (+) Serumen (+)


Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Corpus alienum (-) Corpus alienum (-)

Membran Timpani
Dextra Sinistra
Perforasi (-) (-)
Cone of light (+) anteroinferior (+) anteroinferior
Warna Putih Perak mengkilat seperti Putih Perak mengkilat
mutiara seperti mutiara
Bentuk Cekung Cekung

2. Pemeriksaan hidung
Hidung luar
Luar: Dextra Sinistra
Inspeksi
Bentuk Tidak ada deformitas Tidak ada deformitas
Inflamasi/tumor Eritem (-) bengkak (-) Eritem (-) bengkak (-)
Palpasi
Krepitasi (-) (-)
Nyeri tekan/ ketok (-) (-)
sinus

Pemeriksaan hidung Dextra Sinistra


dalam
Hidung Bentuk normal Bentuk normal
Sekret (+) bening , kental (+) bening , kental
Mukosa konka Hiperemis(+), hipertrofi Hiperemis(+), hipertrofi(+)
inferior (-)
Meatus media Hiperemis(+), Hiperemis(+),

Meatus inferior Hiperemis(+), Hiperemis(+),

Septum Deviasi (+) Minimal


Massa (-) (-)
3. Pemeriksaan Tenggorokan

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)


Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Warna kuning gading, caries (-), gangren(-)
Ginggiva Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-), dalam batas
normal
Uvula Tenang, Ditengah, Memanjang
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemis (+), mukosa dinding posterior rata
dan granular (-) dan Post Nasal Drip (-)
Tonsila palatine Kanan Kiri
Ukuran T1 T1
Warna Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Kripte Melebar (-) Melebar (-)
Detritus (-) (+)
Perlengketan (-) (-)

LARING
Epiglotis Bentuk normal, Hiperemis (+)

Kartilago arytenoid Hiperemis (+), edema (+)

Plika Ventricular Hiperemis (+) , Oedem (+) Massa (-)

Plika vokalis Hiperemis (+) , Oedem (+) Massa (-)

Plika aryepiglotika Hiperemis (+) , Oedem (+) Massa (-)

Glotis Hiperemis (+) , Oedem (+)

Trakea Normal
1=2

2=2

3=4

4=2

5=2

6=2

7=0

8=0

TOTAL SKOR = 14

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak Dilakukan

RESUME
1. Pemeriksaan Subjektif
• Suara hilang sejak 3 hari SMRS

• Keluhan lain batuk dan pilek serta (suara serak sebelum suara hilang) sejak 1
bulan yang lalu.
• Pasien juga mengeluhkan tenggorokan gatal dan terasa kering

• Pasien Sering berdehem dan jika batuk tidak disertai dengan sekret.

• Pasien juga menderita maag, sering kambuh ± 1 kali seminggu dan merasakan
cairan naik dari perut ke tenggorokan dan terasa asam.

• Pasien memiliki kebiasaan merokok 1-2 bungkus/ hari.

• Pasien memiliki pekerjaan sebagai bagian Marketing

2. Pemeriksaan Objektif
a. Kepala dan leher dalam batas normal
b. Telinga : dalam batas normal
c. Hidung :
o Hidung-Mukosa : Hiperemis (+/+ )
o Hidung-Sekret : Sekret (+/+) , bening kental
o Hidung-KI : Hipertrofi (-/+)
o Septum Deviasi : Minimal
d. Tenggorok
o Uvula : Tenang, Ditengah, Memanjang
o Tonsil-Mukosa : T1-T1 / Hiperemis (+/+)
o Faring : Mukoasa Hiperemis (+)
o Epiglotis : Bentuk normal, Hiperemis (+)
o Cartilago Aritenoid : Hiperemis (+), edema (+)
o Plika vestibularis :Hiperemis (+) , Oedem (+) Massa (-)
o Plica vocalis :Hiperemis (+) , Oedem (+) Massa (-)
o Plika aryepiglotika :Hiperemis (+) , Oedem (+) Massa (-)
o Glotis : Hiperemis (+) , Oedem (+)

DIAGNOSIS BANDING
Laringitis Akut,

Nodul Pita Suara (Vocal Nodule),

Karsinoma Laring,

LPR (Refluks laringofaring)

DIAGNOSIS : Laringitis Akut, Rhinofaringitis Akut.

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

▫ Metilprednisolon 2x 16 mg tablet
( Hari 1-3, 2x16mg. Hari 4-5, 2x8mg. Hari 6-7, 2x4mg. )

▫ Pseudoefedrin 2 x 120 mg tablet


▫ Loratadine 2x 5 mg tablet
▫ Erdostein 2x 300 mg kapsul

Non-Medikamentosa:

▫ Vocal Rest
▫ Menghentikan Kebiasaan merokok.

Edukasi

• Menganjurkan pasien untuk tidak banyak bicara


• Menganjurkan pasien untuk menjauhi faktor pemicu seperti kebiasaan merokok
• Makan makanan bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan
mempercepat proses penyembuhan.
• Kontrol ke poliklinik THT jika obat sudah habis

KOMPLIKASI

1. Sinusitis Kronik
2. Bronkitis Kronik

PROGNOSIS

 Ad vitam : ad bonam
 Ad fungsionam : ad bonam
 Ad sanam : ad bonam
BAB IV

KESIMPULAN

Laringitis akut merupakan proses peradangan atau inflamasi yang terjadi pada

laring dan dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab. Penyebab tersering dari

laringitis akut ini adalah virus parainfluenza.

Gejala yang terjadi pada laringitis akut ini adalah batuk yang menggonggong,

suara serak, stridor inspirasi dan sesak nafas, dapat juga disertai dengan demam. Gejala

biasanya lebih berat pada malam hari. Bisa didahului oleh pilek, hidung tersumbat,

batuk dan sakit menelan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara serak, faring yang

meradang dan frekuensi pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai

pernafasan cuping hidung, retraksi suprasternal, infrasternal dan intercostal serta stridor

terus menerus, megap-megap (air hunger), hipoksia, saturarsi oksigen yang rendah, dan

sianosis. Dari pemeriksaan penunjang bisa didapatkan pada laringoskopi ditemukan


kemerahan pada laring yang difus bersama dengan pelebaran pembuluh darah dari pita

suara, kadang bercak-bercak dari sekresi, pergerakan pita suara dapat ditemukan

asimetris dan tidak periodik. Dari pemeriksaan rontagen leher dapat ditemukan

gambaran “staplle sign” pada foto AP dan penyempitan subglotis pada foto lateral.

Dapat dilakukan pemeriksaan Gram dan kultur dengan tes sensitivitas. Dari darah

didapatkan lekositosis ringan dan limfositosis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Boies, Adams, Higler. 1994. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:
EGC
2. Restuti, Bashirudin, Iskandar, Soepardi. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi 6. FKUI: Jakarta
3. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala Leher: Disfonia. 6th Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2008.p. 231-34.
4. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Pentakit THT. 6th Ed.
Jakarta: EGC; 1999. p. 369-77.
5. Probst, Rudolf, Gerhard Grevers, Heinrich Iro. Basic Otorhinolaryngology :
Infectious Disease of Larynx and Trachea. New York: Thieme; 2006. p.
354-61.
6. Gupta, Summer K, Gregory N. Postma, Jamie A. Koufman. Head & Neck
Surgery – Otolaryngology. Laryngitis. 4th Ed. Newlands: Lippincott
William & Wilkins; 2006. p. 831-32.
7. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and
Neck Surgery . 8th Ed. Connecticut: McGraw-Hill; 2003. p. 724-36, 747,
755-60.
8. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey.
Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 3rd Ed. Vol: 1. Philadelphia:
Lippincot Williams and Wilkins; 2001. p. 479-86.
9. Harms, Roger W, et all. 2012. Laringitis. Available at:
http://www.mayoclinic.com/health/laryngitis/DS00366/DSECTION.
Access at : December 15th, 2013.

Anda mungkin juga menyukai