NAMA KELOMPOK :
ZULKARNAIM
F 221 14 002
F 221 14 007
ELVIRA MAHARANI
F 221 14 049
FINDA KUSUMANINGRUM
F 221 14 045
F 221 14 031
F 221 14 032
MOH. SYAFAAT
F 221 14 011
F 221 14 026
LINGKUNGAN FISIK
1. Luas dan topografi
Luas wilayah daerah tingkat 1 Sulawesi Tengah adalah 68.033
6.803.300 ha. Luas daratan terdiri dari : kabupaten Donggala (23.497
Kabupaten Poso (24.112
km 2 atau
km 2 ),
km 2 ) dan kabupaten
2
Buol-Toli-toli (7.261 km .
Menurut ketinggiannya, daratan Sulawesi tengah terdiri dari: 20,2% (0-100 m),
27,2% (100-500 m), 26,7% (500-1000m), 25,9% (1000m keatas) (memori GKDH
Sulawesi Tengah, periode 1973-1978).
Daerah Sulawesi Tengah terdiri dari tiga semenanjung yang membentuk teluk
Tolo dan teluk Tomini.
Pada umumnya wilayah Sulawesi Tengah terdiri dari pegunungan dataran rendah
sempit terbentuk disepanjang pantai. Dengan kondisi yang demikian, jelas bahwa wilayah
Sulawesi Tengah memiliki medan yang sulit dan berat. Perhubungan darat belum
menghubungkan seluruh wilayah kabupaten. Yang ada hanya jalan setapak atau rintisan
jalan baru. Hubungan laut dan penerbangan perintis masih memegang peranan penting.
2. Iklim
Daerah tingkat 1 Sulawesi tengah pada umunya dipengaruhi oleh dua musim
secara tetap, yaitu musim barat yang kering dan musim timur yang membawa banyak uap
air. Sedangkan curah hujan bervariasi antara 800-3000 mm setahun, kecuali di lembah
Palu yang hanya antara 400-800 mm setahun. Suhu di daerah pegunungan berkisar antara
o
20-30 2030 C (memori GKDH Sulawesi Tengah, periode 1973-1978).
3. Perairan
Di daerah Sulawesi tengah terdapat sungai-sungai: Palu, Poso, Bongka, Balingara,
Laa dan Batui, yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber air minum, tenaga listrik dan
irigasi. Selanjutnya danau Lindu, dan danau Poso, memiliki potensi perikanan, dan
sumber air.
4. Lahan dan Hutan
Dari luar Sulawesi Tengah yang 6.803.300 Ha itu, 52% merupakan tutupan hutan
yang penggunaannya telah ditentukan sebagai hutan lindu (1.589.603 Ha), hutan produksi
(1.822.564 Ha), dan hutan suaka (140.109 Ha). Disamping itu masih ada 32% dari luar
Sulawsi Tengah yang belum jelas penggunaannya.
Dari sisa wilayah Sulawesi Tengah itu antara lain merupakan daerah persawahan
(0,84%), perkebunan (1,48%), padang peternakan (1,89%), dan permukiman (10,8%).
SEJARAH
Sejarah Kota Palu Sulwesi Tengah ~ Palu adalah Kota Baru yang letaknya di muara
sungai. Dr. Kruyt menguraikan bahwa Palu sebenarnya tempat baru dihuni orang (De Aste
Toradjas van Midden Celebes). Awal mula pembentukan kota Palu berasal dari penduduk Desa
Bontolevo di Pegunungan Ulayo. Setelah pergeseran penduduk ke dataran rendah, akhirnya
mereka sampai di Boya Pogego sekarang ini
Kota Palu sekarang ini adalah bermula dari kesatuan empat kampung, yaitu : Besusu,
Tanggabanggo (Siranindi) sekarang bernama Kamonji, Panggovia sekarang bernama Lere,
Boyantongo sekarang bernama Kelurahan Baru. Mereka membentuk satu Dewan Adat disebut
Patanggota. Salah satu tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat
hubungannya dengan kegiatan kerajaan. Kerajaan Palu lama-kelamaan menjadi salah satu
kerajaan yang dikenal dan sangat berpengaruh. Itulah sebabnya Belanda mengadakan pendekatan
terhadap Kerajaan Palu. Belanda pertama kali berkunjung ke Palu pada masa kepemimpinan
Raja Maili (Mangge Risa) untuk mendapatkan perlindungan dari Manado di tahun 1868. Pada
tahun 1888, Gubernur Belanda untuk Sulawesi bersama dengan bala tentara dan beberapa kapal
tiba di Kerajaan Palu, mereka pun menyerang Kayumalue. Setelah peristiwa perang Kayumalue,
Raja Maili terbunuh oleh pihak Belanda dan jenazahnya dibawa ke Palu. Setelah itu ia
digantikan oleh Raja Jodjokodi, pada tanggal 1 Mei 1888 Raja Jodjokodi menandatangani
perjanjian pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Berikut daftar susunan raja-raja Palu :
1. Pue Nggari (Siralangi) 1796 1805
2. I Dato Labungulili 1805 1815
3. Malasigi Bulupalo 1815 1826
4. Daelangi 1826 1835
5. Yololembah 1835 1850
6. Lamakaraka 1850 1868
7. Maili (Mangge Risa) 1868 1888
Duyu
Ujuna
Nunu
Boyaoge
Balaroa
Donggala Kodi
Kamonji
Baru
Lere
Kabonena
Tipo
Buluri
Silae
Watusampu
Siranindi
Tawanjuka
Palupi
Pengawu
Lolu Selatan
Sambale Juraga
Tamalanja
Tondo
Besusu Tengah
Besusu Timur
Layana Indah
Panau
Lambara
Baiya
Pantoloan
KERAJAAN PALU
Pada zaman awal islam masuknya ke kota Palu (abad ke 17) terdapat sebuah nama yang
tidak asing bagi masyarakat kota Palu yaitu I Pue Njidi atau Parasila, yang kemudian disebut
Paramulla. Tokoh ini dikaitkan dengan pemerintahan kerajaan Palu di zaman berikutnya.
Hubungan antara keduanya merupakan sebuah proses sakralisasi Trah dinasti di kerajaan Palu
bahkan masih ada hingga sekarang. Pada zaman Hindia Belanda hingga awal kemerdekaan, kita
mengenal nama Yojokodi, Parampasi, Djanggola, Tjatjo Ijazah (raja-raja terakhir) di kota Palu.
Kemudian ada nama Ponulele, Djafar lapasere, R.m. pusadan, dan masih banyak lagi mereka
adalah tokoh di dunia pemerintahan, baik di zaman kolonial maupun kemerdekaan. Palu sebagai
mana yang kita kenal sekarang ini memiliki komunitas-komunitas tradisional. Komunitas
tradisional tersebut seperti K. Bayoge, K. Masesa, K. Pogego, K. Lere, K. Besusu, K. Lolu,
K.Tatanga dsb. Nama-nama inilah yang mengindikasikan adanya kerjaan-kerajaan kecil di
lembah Palu. Kerajaan-kerajaan di Palu meninggalkan tradisi kekuasaan yang disebut Pitunggota
termasuk di Taveli. Yang dimaksudkan adalah:
1.
2.
3.
4.
kampung baru, siranindi, lere, besusu. Namun, Palu sebagai kota baru terbentuk pada tahun
1950-an dimana Palu baru disentuh oleh perlakuan sistem kekuasaan NKRI, sebelumnya dikuasi
belanda namun kekuasaan belanda berada di kota Donggala. Membaca statistik tahun 1961
biasanya dianggap sebagai desa urban baru mencapai delapan desa yakni Talise, besusu,
Lolu/Maesa, Tatura, Ujuna garingbanja, Kamonji, Baru dan Lere dengan jumlah penduduk
16.977 laki-laki sejumlah 8.925 sedang perempuan 8.052 jiwa. Jadi penduduk kota Palu lebih
banyak laki-laki daripada perempuan.
Pada tesis Charles kapile yang berjudul Sejarah Kota Palu 1932-1964 sudah ada
indikasi bahwa Palu sudah menjadi kota namun pada waktu itu palu baru menjadi pheri-pheri
Donggala yang dilajutkan hingga tahun 1950-an. Namun, perkembangan palu sebagai kota pada
tahun 1950-an sudah mulai kelihatan karna adanya perjuangan melepaskan diri dari provinsi
Sulawesi Utara sebagai provinsi ottonom yang baru terwujud pada 1964.
Palu sebagai uatu unit kajian sejarah politik berhubungan erat dengan perkembangan
Sulawesi tengah itu sendiri sejak tanggal 1 januari 1905 ditetapkan bahwa wilayah Afdelin teluk
Palu dipisahkan dari Celebes Onder Hoorigheden ( Sulawesi dan daerah-daerah taklukannya)
dan digabung kedalam keresidenan Manado. Keadaan ini mengindikasikan kedalam dua hal
pokok : Pertama, sebelum tahun 1905 teluk palu dan sekitarnya masuk dalam wilayah Celebes en
onder Hoorigheden. Kedua, setelah tahun 1905 wilayah teluk Palu dan sekitarnya masuk dalam
wilayah keresidenan Manado dengan nama Afdelin Sulawesi tengah dibawah kekuasaan
seseorang asisten residen atau kontrolir. Kontrolir dan atau asisten residen berkedudukan di
Donggala. Wilayah yang dibawahi antaralain:
1. Wilayah teluk Palu yang terdiri atas daerah Palu, Sigi, Biromaru, Dolo-Rindau, DoloKaleke, Banawa atau Donggala, Taweili dan daerah sekitarnya serta daerah langsung di
Donggal dibawah seorang civiel gezaghebber dengan berkedudukan di Donggala.
2. Wilayah Toli-toli yang terdiri atas daerah ini dan daerah Toli-toli yang dipengaruhi
langsung serta tanah jajahannya yang termasuk daerah ini dibawah seorang Civiel
gezaghebber dengan berkedudukan di Kampung Baru.
3. Teluk Tomini yang tediri atas daerah Moutong, Sigenti, Kasimbar, toribulu, Ampibabo,
Parigi, Sausu, Poso, Toko dan kepualauan Togean seta Una-una dan Mapane dibawah
seorang kontrolir pemerintahan dengan kedudukan di Poso, yang membawahi juga
daerah Parigi, Ampibabo, Toribulu, Kasimbar dan Sigenti dibawah pejabat pribumi
setempat dengan kedudukan di Parigi; atas daerah Ntojo diangkat seorang pribumi
dengan kedudukan di Tojo atas kepulauan Togean sert Una-una ditempatkan seorang
pejabat pribumi yang berkedudukan di Una-una.
Pada tahun 1952, kota Palu memiliki status wilayah sebagai kota dalam sewatantra
donggala berdasarkan Undang-undang no.29 thn 1952. Selanjutnya, pada tahun 1964, kota palu
sebagai ibukota provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan UU no.13 tanggal 13 April 1964. Kotif
Palu dibentuk pada tanggal 27 september 1974 dengan berdasarkan UU no.5 thn 1974. Ada
empat fungsi Kotif Palu pada saat itu yakni:
raja juga berada di Besusu. Sumber lain menyebutkan bahwa Besusu menjadi pusat
pemerintahan pada saat Pue Nggari (Lawegasi Budawa) bersam rakyatnya turun dari Marima
(daerah pegunungan diatas Poboya), kemudian tinggal beberapa lama di Pantosu, dan setelah itu
pindah lagi di valangguni kemudian pindah lagi di lokasi penggaraman saat ini, kemudain pindah
lagi ke Pandapa yang saat ini dikenal dengan Besusu.
Menurut Masyhuddin masyhuda bahwa Pue Nggari berasal dari Vonggi, kampung
Topotara pada perbukitan bagian timur tanah kaili. Disana terdapat kuburan Pue Mpolupu yang
dikeramatkan dari kampung inilah lahir seorang putri yang kawin dengan magawu dari Vau,
tinggal di sebrang sungai kaili kampung topoledo (Masyhuda, 1997: 84). Setelah tinggal di
Besusu, dibuatlah istana untuk Pue Nggari dan tempatnya dibuat dari bahan tanah disusun secara
tinggi dan bertingkat. Setelah dibuatkan istana di Besusu, Pue Nggari kemudian menikah dengan
Pue Puti dari Dolo, Pue Puti adalah saudara dari penguasa Dolo yang disebut pada waktu itu
Bulanggo.
Pue Nggari mempunyai tiga orang putra dan dua orang putri yang berada di Palu yaitu:
Putra masing-masing: Lasamaingu, Pue Songu, Andi Lanu, sedangakan dari putri masing-masing
adalah Ienda Bulava dan Pue Rupiah. Tidak lama Pue Nggari mendiami lembah Palu kemudian
diikutu keluarganya dari Malino: rombongan yang takalena turun dan mendiami Kayumalue,
rombongan Pue Voka turun dan mendiami Vatutela, rombongan Pue Nggari turun di lokasi
penggaraman nama saat ini, dan kemudian mendiami Besusu. Di lokasi penggaraman ini
digalilah sumur oleh seorang keluarga Pue Nggari yang bernama Rasede, sumur inilah yang
diberi nama Buvu Rasede sampai sekarang. Rombongan dari Bulili, gunung Gawalise dan
sekitarnya turun langsung ke tatanga di bawah kepala suku bernama Raliangi, kemudian
langsung mendiamu Bulava dan Penggeve tidak lama kemudian terus ke Siranindi.