Anda di halaman 1dari 22

POLITIK ANGGARAN DI INDONESIA

Pendahuluan
Anggaran merupakan salah satu tahap yang harus dilalui dalam dalam perencanaan
keuangan terutama sebagai pedoman dalam mengelola keuangannya. Anggaran adalah
pedoman kerja dan sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi di masa yang akan datang,
serta merupakan komponen sentral akuntansi manajemen dalam sektor publik untuk
kegiatan planning, coordinating, organizing dan controlling. Anggaran mencerminkan
kegiatan organisasi yang penekanannya pada jangka pendek (Henley et al., 1992: 56).
Dalam proses penyusunan dan pertanggungjawaban anggaran, tidak mungkin dipisahkan
dari keterlibatan lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian sesungguhnya anggaran
dapat pula berfungsi sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap pemerintah,
sekaligus celah bagi terjadinya tarik ulur kepentingan di antara stake holder tersebut.

All budgeting is about politics; most politics is about budgeting;


and budgeting must therefore be understood as part of political game
(Aaron Wildavsky)
Pernyataan Wildavsky di atas menunjukkan bahwa anggaran memiliki keterkaitan
erat dengan politik. Sebagaimana diketahui, anggaran memiliki beberapa fungsi, salah
satunya fungsi politik. Dalam organisasi sektor publik, anggaran merupakan dokumen politik
sebagai bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana publik
untuk kepentingan tertentu, dimana dalam penyusunannya membutuhkan political skill untuk
bernegosiasi dan berkompromi terhadap banyaknya kepentingan di dalamnya. Dalam hal
ini, penyusunan anggaran dipandang sebagai suatu proses perebutan sumber daya yang
jumlahnya terbatas dengan melibatkan berbagai pihak dengan latar belakang kepentingan
yang beragam.

Pengertian Politik
Proses politik didasarkan pada aturan yang terkandung dalam konstitusi negara.
Di negara-negara demokratis, warga memiliki kesempatan untuk memilih pada isu-isu atau
kandidat yang mengambil posisi pada isu-isu tersebut. Hasil dari proses tersebut tergantung
pada suara dan termasuk politisi, pejabat terpilih, dan birokrat. Adapun proses politik
melibatkan lebih dari sekedar penghitungan suara dan memutuskan aturan untuk mencapai
kesepakatan, melainkan merupakan agenda aksi politik yang disusun oleh partai politik, dan

proposal alternatif ditempatkan sebelum kongres dan legislatif. Berbagai partai kemudian
berusaha untuk memberikan pemilih dengan informasi tentang alternatif biaya dan manfaat
sehingga mereka dapat memutuskan bagaimana untuk memilih.
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat
yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstitusional. Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Politik adalah hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan
untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat. Politik adalah segala
sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Pengertian Politik Anggaran


Politik anggaran adalah penetapan berbagai kebijakan tentang proses anggaran
yang mencakupi berbagai pertanyaan bagaimana pemerintah membiayai kegiatannya;
bagaimana uang publik didapatkan, dikelola dan disdistribusikan; siapa yang diuntungkan
dan dirugikan; peluang-peluang apa saja yang tersedia baik untuk penyimpangan negati
maupun untuk meningkatkan pelayanan publik. Menurut Fauzi
anggaran

adalah

proses

saling

mempengaruhi

di

antara

dan Zakaria, politik

berbagai

pihak

yang

berkepentingan dalam menentukan skala prioritas pembangunan akibat terbatasnya sumber


dana publik yang tersedia. Politik anggaran adalah proses mempengaruhi kebijakan alokasi
anggaran yang dilakukan oleh berbagai pihak yang berkepentingan dengan anggaran.
Politik anggaran adalah proses penegasan kekuasan atau kekuatan politik di antara
berbagai pihak yang terlibat dalam penentuan kebijakan maupun alokasi anggaran.
Wildavsky (1975) mendefinisikan penganggaran pemerintah sebagai proses politik.
Politik bisa terlibat dalam keseluruhan urusan kenegaraan, termasuk di dalamnya
urusan finansial publik, baik itu dalam perencanan, pelaksanaan hingga tahap evaluasi.
Teori politik Keuangan Negara yang baik adalah relatif dimana teori politik keuangan negara
yang baik bagi suatu negara belum tentu baik bagi negara lain. Aktivitas politik dalam
keuangan

negara

tergantung

pada

derajat

demokrasi,

yang

memberi

keleluasaan/kebebasan aktivitas politik dalam suatu negara (Hyman, 2010).

Penawaran Barang Publik melalui Lembaga Politik : Sebuah Konsep Keseimbangan


Politik

Teori

public choice mempelajari bagaimana keputusan untuk mengalokasikan

sumber daya dan mendistribusikan pendapatan dilakukan melalui sistem politik suatu
negara. Proses politik, tentu saja, dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selain ekonomi, seperti
ideologi. Namun, dari sudut pandang ekonomi, tujuan politik adalah untuk menyediakan
warga negaranya fasilitas umum yang berguna dan pelayanan publik. Teori public choice
meneliti bahwa proses politik digunakan untuk menentukan kuantitas barang publik dan jasa
pelayanan yang disediakan oleh pemerintah.
Public choice merupakan salah satu produk interaksi politik dari beberapa orang
sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Pasokan barang publik melalui lembaga-lembaga
politik memerlukan perjanjian pada jumlah barang publik dan sarana keuangan. Lembaga
politik jarang memerlukan kesepakatan bulat pada kedua kuantitas barang publik untuk
memproduksi dan skema pembagian biaya. Bahkan, berbagai aturan pilihan publik yang
digunakan untuk membuat keputusan dalam masyarakat, yang paling akrab yang mayoritas.
Model kerja sama sukarela untuk memasok barang-barang publik berguna dalam
menambah pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan politik yang
sebenarnya. Di bawah pasokan pemerintah atas barang dan jasa, pajak yang bukan
sumbangan sukarela biasanya digunakan untuk membiayai barang dan layanan yang
diberikan. Warga harus mematuhi terkait kebijakan tersebut. Berbeda apabila terdapat
model pembagian biaya sukarela untuk memasok barang-barang publik, maka warga
negara dapat memveto hasil keputusan jika mereka tidak puas dengan pembagian biaya
tersebut.
Sebuah keseimbangan politik merupakan kesepakatan pada tingkat produksi satu
atau lebih barang publik, mengingat aturan tertentu untuk membuat pilihan kolektif dan
pembagian saham pajak antar individu. Tax sharing, yang atau tarif pajak, adalah retribusi
yang dikenakan kepada warga dan sama dengan sebagian dari biaya unit barang yang
diusulkan yang akan disediakan oleh pemerintah. Untuk pemilih, tarif pajak tersebut
merupakan harga per unit yang dipasok pemerintah. Jumlah pajak harus sama dengan
biaya rata-rata barang publik untuk menghindari surplus anggaran atau defisit.
Biaya produksi barang publik mempengaruhi jumlah pajak yang harus dibayarkan
warga untuk membiayai produksi dari setiap unit. Mengingat pembagian pajak per unit
barang publik antar individu, peningkatan rata-rata biaya produksi barang publik akan
meningkatkan tagihan pajak individu per unit barang publik. Kecuali kenaikan tersebut
disertai dengan peningkatan manfaat, pajak meningkat kemungkinan akan berfungsi untuk
mengurangi dukungan bagi peningkatan output dari barang publik.
Pada kenyataannya, informasi mengenai biaya produksi yang baik sulit diperoleh.
Kampanye politik memberikan informasi pada kedua biaya dan manfaat dari programprogram alternatif yang ditawarkan kepada pemilih untuk menjadi pertimbangan. Kontrol

atas informasi mengenai biaya dan manfaat barang publik merupakan faktor penting yang
mempengaruhi pilihan kolektif dan efisiensi mereka.

Konsep Agensi dalam Penganggaran Sektor Publik


Moe (1984) dan Strom (2000) menyatakan bahwa hubungan keagenan dalam
penganggaran publik adalah antara (1) pemilih dan legislator, (2) legislator dan pemerintah,
(3) menteri keuangan dan pengguna anggaran, (4) Birokrat dan pejabat pemberi pelayanan.
Menurut Zimmerman (1977) dalam Moore (2000), terdapat sejumlah problem dalam
hubungan principal-agent. Pertama adanya perbedaan kepentingan, prinsipal mempunyai
tujuan tertentu yang ingin dicapai dan agen juga memiliki keinginan sendiri yang berbeda
dengan tujuan prinsipal. Problem ini akan menimbulkan konflik. Dalam upaya menjaga
supaya agen berperilaku sesuai dengan keinginan prinsipalnya diciptakan sejumlah
mekanisme kontrol ini menimbulkan biaya yang disebut sebagai agency cost. Problem
selanjutnya muncul jika mekanisme pengendalian dalam pemantauan agen tidak dilakukan
maka agen akan berperilaku disfungsional. Mereka akan menggunakan sumber dari
kantornya untuk kepentingan pribadi.
Sedangkan

Garamfalvi

(1997)

dalam

Pratiwi

menyatakan

bahwa

politisi

menggunakan pengaruh dan kekuasaan untuk menentukan alokasi sumber daya yang
kemudian akan memberikan keuntungan kepada mereka secara pribadi atau secara
kelompok. Lebih lanjut, politisi dalam hal ini adalah para anggota dewan dapat
memanfaatkan posisinya untuk memperoleh keuntungan khususnya keuntungan ekonomi,
melakukan manipulasi politik atas kebijakan publik menyebabkan pengalokasian sumber
daya dalam anggaran tidak efektif dan efisien.
Camarer (1997) dalam Pratiwi menyatakan bahwa representasi politik yang tidak
layak dan institusi yang lemah mengakibatkan banyak peluang untuk melakukan political
corruption, karena beberapa faktor: (1) adanya discretionary system dalam pembuatan
keputusan dan kurangnya mekanisme perencanaan partisipasi, (2) ketidaklengkapan dalam
formulasi anggaran, (3) ketiadaan regulasi mengenai rent seeking.
Kecenderungan misalokasi dalam pengeluaran pemerintah merupakan bagian dari
pertarungan politik di antara politisi yang tidak pernah menguntungkan kaum miskin.
Preferensi legislatif adalah pada proyek infrastruktur karena lebih mudah digunakan sebagai
bentuk pemenuhan atas janji kepada pendukung-nya (Keefer dan Khemani, 2003).

Perubahan posisi legislatif menyebabkan legislatif memiliki kekuasaan untuk


mengubah usulan anggaran yang diajukan eksekutif. Ini penyalahgunaan discretionary
power dengan melanggar kesepakatan (agreement) yang telah dibuat. Colombatto (2001)
adanya discretionary power akan menimbulkan pelanggaran atas kontrak keagenan dan
karenanya dapat diprediksi bahwa semakin besar discretionary power yang dimiliki legislatif
semakin besar pula kecenderungan mereka mengutamakan kepentingan pribadi.
Proses Penyusunan Anggaran Sektor Publik
Freeman & Shoulders (2003) menyatakan bahwa anggaran yang ditetapkan dapat
dipandang sebagai suatu kontrak kinerja antara legislatif dan eksekutif. Menurut Rubin
(1992) penganggaran publik adalah pencerminan dari kekuatan relatif dari berbagai budget
actors yang memiliki kepentingan atau preferensi berbeda terhadap outcomes anggaran.
Adanya keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah menjadi alasan mengapa
penganggaran menjadi mekanisme terpenting untuk pengalokasian sumber daya. Bagi
Hagen et.al (1996) penganggaran di sektor publik merupakan bargaining process antara
eksekutif dan legislatif.
Samuels (2000) menyatakan bahwa penganggaran setidaknya mempunyai 3
tahapan, yakni (1) perumusan proposal anggaran, (2) pengesahan proposal anggaran, (3)
pengimplementasi-an anggaran yang telah ditetapkan sebagai produk hukum. Sedangkan
menurut Von Hagen (2002) penganggaran terbagi ke dalam empat tahapan yaitu executive
planning, legislative approval, executive implementation, dan ex-post accountability.
Teknis Penyusunan APBD 2015
Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2014 (Permendagri 37/2014) tentang
Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2015. Dalam
peraturan Dalam menyusun APBD Tahun Anggaran 2015, pemerintah daerah dan DPRD
harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Penetapan APBD harus tepat waktu, yaitu paling lambat tanggal 31 Desember 2014
sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah daerah harus
memenuhi jadwal proses penyusunan APBD, mulai dari penyusunan dan penyampaian
rancangan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan rancangan Plafon dan Prioritas Anggaran
Sementara (PPAS) kepada DPRD untuk dibahas dan disepakati bersama paling lambat
akhir bulan Juli 2014. Selanjutnya KUA dan PPAS yang telah disepakati bersama akan

menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk menyusun, menyampaikan dan membahas
rancangan APBD Tahun Anggaran 2015 antara pemerintah daerah dengan DPRD sampai
dengan tercapainya persetujuan bersama antara kepala daerah dengan DPRD terhadap
rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, paling lambat tanggal 30 November 2014,
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 105 ayat (3c) Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011, dengan tahapan penyusunan dan jadwal
sebagai berikut:
No

Uraian

Waktu

Lama

.
1

Penyusunan

Rencana

Kerja Akhir bulan Mei

Pembangunan Daerah (RKPD)


2

Penyampaian Rancangan KUA dan Minggu 1 bulan Juni

Rancangan PPAS oleh Ketua Tim

minggu

Anggaran

Pemerintah

Daerah

(TAPD) kepada Kepala Daerah


3

Penyampaian Rancangan KUA dan Pertengahan bulan Juni

Rancangan

minggu

PPAS

oleh

kepala

daerah kepada DPRD


4

Kesepakatan antara kepala daerah Akhir bulan Juli


dan DPRD atas Rancangan KUA
dan Rancangan PPAS

Penerbitan Surat Edaran kepala Awal bulan Agustus

daerah

minggu

perihal

Pedoman

penyusunan RKA-SKPD dan RKAPPKD


6

Penyusunan

dan

pembahasan Awal bulan Agustus sampai

RKA-SKPD dan RKA-PPKD serta dengan


penyusunan

Rancangan

akhir

bulan

Perda September

tentang APBD
7

Penyampaian Rancangan Perda Minggu 1 bulan Oktober

2 bulan

tentang APBD kepada DPRD

No

Uraian

Waktu

Lama

.
8

Pengambilan persetujuan bersama Paling lambat 1 (satu) bulan


DPRD dan kepala daerah

sebelum

tahun

anggaran

yang bersangkutan
9

Menyampaikan Rancangan Perda 3 hari setelah persetujuan


tentang

APBD

dan

Rancangan bersama

Perkada tentang Penjabaran APBD


kepada Gubernur untuk dievaluasi
10

Hasil evaluasi Rancangan Perda Paling lama 15 hari kerja


tentang

APBD

dan

Rancangan setelah

Perkada tentang Penjabaran APBD

Rancangan

tentang

APBD

Perda
dan

Rancangan Perkada tentang


Penjabaran APBD diterima
oleh MDN/Gub.
11

Penyempurnaan Rancangan Perda Paling lambat 7 hari kerja


tentang APBD sesuai hasil evaluasi (sejak

diterima

keputusan

yang ditetapkan dengan keputusan hasil evaluasi)


pimpinan DPRD tentang DPRD
tentang

penyempurnaan

Rancangan Perda tentang APBD


12

Penyampaian

keputusan

tentang

DPRD 3

hari

kerja

setelah

penyempurnaan keputusan pimpinan DPRD

Rancangan Perda tentang APBD ditetapkan


kepada MDN/Gub
13

Penetapan Perda tentang APBD Paling


dan Perkada tentang Penjabaran Desember
APBD sesuai dengan hasil evaluasi

lambat

akhir
(31

Desember)

Politik dan Penganggaran di Indonesia


Proses politik di sebuah negara didasari oleh perundang-undangan yang disusun
oleh konstitusi negara tersebut. Indonesia sebagai negara demokratis, memberikan hak
kepada masyarakatnya untuk mengusulkan atau memilih Kepala Pemerintahan maupun

wakilnya di lembaga legislatif secara langsung melalui Pemilihan Umum dengan cara voting.
Hasil dari proses tersebut tergantung pada hasil voting serta perilaku para politisi, para
kandidat Pemilihan Umum, kelompok dengan kepentingan tertentu, dan birokrat. Proses
politik lebih dari sekedar penghitungan suara dan memutuskan aturan untuk mencapai
kesepakatan, akan tetapi agenda aksi politik sudah disiapkan oleh partai politik, yang mana
mereka akan memberikan informasi-informasi (janji kampanye) agar para pemilih
memberikan suaranya untuk mereka.
Teori public choice mempelajari bagaimana keputusan untuk mengalokasikan dan
sumber daya dan mendistribusikan pendapatan dilakukan melalui sistem politik suatu
negara. Proses politik, tentu saja, dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selain ekonomi, seperti
ideologi. Namun, dari sudut pandang ekonomi, tujuan politik adalah untuk menyediakan
barang dan jasa yang bermanfaat bagi warga negara. Teori public choice meneliti
bagaimana proses politik digunakan untuk menentukan jumlah barang dan jasa yang
disediakan oleh pemerintah (Hyman, 2010).
Pemilihan umum melibatkan interaksi politik dari banyak orang sesuai dengan aturan
yang telah ditetapkan. Proses pemilihan umum menghasilkan Kepala Pemerintahan
(Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota) dan wakil rakyat di lembaga legislatif (DPR, DPRD,
DPD). Penyediaan barang publik dilakukan oleh institusi politik (anggaran diusulkan
eksekutif dan harus disetujui oleh legislatif) melalui proses penganggaran yang pada
akhirnya menghasilkan dokumen anggaran yang berisi antara lain kuantitas barang publik
yang akan disediakan serta biayanya. Pemerintah menyediakan barang dan jasa bagi
masyarakat sebagian besar dibiayai oleh pajak. Warga negara yang mendukung pihak yang
kalah pada saat pemilihan umum, harus mematuhi hasil pemilu serta semua konsekuensi
yang ditimbulkan dari proses politik tersebut termasuk kebijakan anggaran.
Penganggaran telah menjadi fokus utama bagi para pengambil kebijakan baik oleh
eksekutif maupun legislatif di tingkat pemerintah pusat maupun daerah. Pada tingkat
pemerintah daerah, terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah
daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat
dan daerah, membawa perubahan fundamental dalam tata pemerintahan dan hubungan
keuangan, sekaligus membawa perubahan penting dalam pengelolaan keuangan daerah.
Dengan terbitnya UU tersebut, pemerintah daerah memiliki wewenang antara lain
untuk mengelola keuangan daerah dimana dalam proses pengelolaan tersebut pemerintah
daerah memiliki kesempatan untuk menerapkan proses perencanaan dan penganggaran
partisipatif, penyusunan anggaran berbasis kinerja, dan alokasi anggaran sebagian besar
untuk kepentingan masyarakat. Akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah khususnya
penganggaran merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah. Hal ini

disebabkan karena pengelolaan keuangan daerah melibatkan sumber pendapatan yang


sebagian besar dari rakyat, dan terkait juga dengan pemenuhan kebutuhan rakyat atas
barang publik.
Anggaran merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk memahami
kebijakan pengelolaan keuangan daerah. Namun proses penganggaran tidak dapat
dilepaskan dari aspek politik dan konflik kepentingan, sehingga sering kali terlihat bahwa
anggaran pemerintah hanya memihak pada pihak-pihak tertentu saja. Politik anggaran
merupakan bagian yang integral dari upaya untuk menemukan suatu cara yang baik bagi
pengelolaan anggaran agar bermanfaat secara sosial bagi rakyat (Pratiwi).
Proses penyusunan anggaran diterbitkan oleh pemerintah setiap tahun, yang mana
di dalamnya memuat tentang mekanisme atau prosedur-prosedur yang harus dilakukan
pada saat proses penyusunan anggaran. Namun proses tersebut hanya sebagai formalitas
dan jauh dari nilai-nilai keadilan serta good governance (Pratiwi). Penganggaran pada
dasarnya adalah pembuatan berbagai pilihan atau prioritas untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu (Dye, 1972). Penyusunan anggaran seharusnya mencerminkan
pilihan-pilihan yang rasional, ekonomis dan tidak dipengaruhi oleh politik. Namun
kenyataannya tidak demikian, anggaran justru dapat dikategorikan sebagai aktivitas politik,
sehingga proses serta hasil dari penganggaran merupakan produk dari politik.
Menurut Wildavsky dan Caiden (2004), penganggaran merupakan proses dimana
berbagai kelompok kepentingan mengekspresikan keinginan-keinginan berbeda sehingga
dapat menghasilkan keputusan yang berbeda. Keputusan dari hasil menyatukan beberapa
kepentingan didasari oleh argumen mengenai apa yang mereka anggap benar dan adil. Di
samping itu, pada tingkat pemerintah juga terjadi konflik terkait pemilihan kebijakan dalam
penganggaran. Karena sumber daya yang tersedia terbatas, maka alokasinya harus
proporsional dan dalam proses ini sering terjadi benturan kepentingan antar kelompok
dalam rangka menguasai anggaran tersebut. Jika ada kelompok kepentingan mencoba
untuk mendapatkan lebih banyak program atau proyek yang disukai, maka strategi mereka
jelas yaitu mengatur proses penganggaran. Hal tersebut berakibat kelompok kepentingan
yang satu lebih banyak mendapatkan sesuatu namun kelompok yang lain tidak. Lebih lanjut
Wildavsky dan Caiden (2004) menyatakan bahwa tujuan penganggaran itu sama
beragamnya dengan tujuan orang-orang yang terlibat didalam pembuatannya, anggaran
bertujuan untuk mengoordinasikan berbagai aktivitas yang berbeda, saling melengkapi satu
sama lain, namun anggaran juga bertujuan untuk kesenangan mereka, misalnya anggaran
untuk sarana yang dipergunakan mereka, dengan cara memobilisasi dukungan kelompok
lainnya. Seperti dibuat berbagai keputusan penting siapa yang menang, siapa yang kalah,
siapa yang bakal kecipratan rezeki pembangunan (berapa banyak) dan siapa tidak dapat,
karena proses kebijakan implisit atau eksplisit, sesungguhnya merupakan political choice.

DPRD harus menyetujui rancangan APBD, pada saat itu proses penyusunan dan
penetapan APBD telah melewati prosedur atau mekanisme yang telah ditetapkan oleh
pemerintah sehingga dapat mencapai titik tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh Dryzek
(1996) sebagai demokrasi yang eksklusif, bukan inklusif artinya mekanisme proses
perumusannya melalui perjalanan panjang hampir-hampir steril dari pengaruh politik.
Namun dalam prosesnya ternyata kepentingan publik menjadi the most powerless yakni
mereka yang secara sosial, ekonomi, politik lemah, seperti orang lanjut usia, kaum
perempuan anak-anak dan orang miskin pada umumnya (Wahab, 2002). Lebih lanjut
Johnson(1994) menemukan bahwa birokrasi merespons tekanan yang diberikan oleh
legislatif dalam proses pembuatan kebijakan dan anggaran. Hyde dan Shafritz (1978)
menyatakan bahwa penganggaran adalah sebuah proses legislatif apapun yang dibuat
eksekutif dalam proses anggaran pada akhirnya tergantung legislatif karena legislatif
mempunyai kekuasaan untuk mengesahkan atau menolak usulan anggaran yang diajukan
eksekutif. Dobell dan Ulrich (2002)menyatakan bahwa peran penting legislatif adalah
mewakili kepentingan masyarakat, pemberdayaan pemerintah, dan mengawasi kinerja
pemerintah Ketiga peran ini menempatkan legislator memiliki kemampuan memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan pemerintah.

Sementara menurut Havens

(1996) tidak ada keharusan bagi legislatif untuk mempunyai preferensi yang sama dengan
pemerintah atas kebijakan termasuk anggaran. .
Selama ini proses politik penyusunan dan penetapan, hingga disahkannya APBD
melibatkan elit politik (bupati/walikota dan DPRD). Kontrol masyarakat terhadap proses itu
bisa dikatakan tidak ada, tentu hal ini dapat merugikan masyarakat. Kondisi ini makin
diperburuk oleh fakta bahwa struktur politik dan kepedulian terhadap kesejahteraan publik
yang sangat rendah. Lewat pemelintiran politik dan korupsi politik (Porta, 1996) bisa saja
agenda publik yang sudah dengan susah payah digelar rapi sejak di tingkat desa akan
mudah dikebiri dan dikalahkan oleh agenda institusional yang penuh muatan politik. Agenda
institusional tak lain dan tak bukan adalah kristalisasi kepentingan politik kolektif dari partai
politik maupun birokrasi daerah.
Dalam konteks modern, menurut Mark Hagopian dalam Amal (1987) demokrasi
secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat mewakili
kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing serta
menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah dan damai.
Demokrasi sebagai upaya untuk mengontrol mempengaruhi dan membangun
tindakan pemerintah yang peduli terhadap negara dan rakyatnya. Anderson (1975)
demokrasi adalah suatu bagian output yang dihasilkan oleh proses pembuatan keputusan di
dalam sistem politik. Dimensi demokrasi dalam anggaran menjadi penting sebagai agenda

perubahan paradigma maupun proses penyusunan dan perumusan kebijakan anggaran


yang berpihak kepada publik. Menurut Wildavsky dan Caiden (2004):
1. Anggaran adalah persoalan rumit dan rewel. Untuk memahaminya seseorang harus
memiliki kecakapan dan tingkat pendidikan tertentu, karena anggaran memiliki
struktur, sistem dan mekanisme.
2. Anggaran hanyalah urusan-urusan proyek pembangunan dan sumber finansial
lainnya.
3. Anggaran adalah semata-mata urusan yang boleh dimonopoli pemerintah hingga
saat ini pemerintah mendudukkan anggaran sebagai persoalan yang sangat
eksklusif, tanpa ada ruang keterlibatan bagi masyarakat.
Lebih lanjut Irianto (2005) salah satu unsur yang penting dan harus dipenuhi dalam
demokrasi anggaran adalah tersedianya ruang yang luas bagi rakyat atas seluruh
profesional, politik dan ekonomi. Terpenuhinya unsur keterbukaan dalam pengelolaan
anggaran

merupakan

syarat

terpenting

bagi

terwujudnya

demokrasi

anggaran.

Penyimpangan yang terjadi akibat dari ekonomi politik anggaran, maka diperlukan cara baru
dalam merumuskan dan mengelola anggaran agar dapat memberikan pelayanan kepada
rakyat, cara sepihak memperjuangkan golongan, institusi sendiri adalah pengkhianatan
terhadap rakyat.
Menurut Wildarsky dan Caiden (2004) lembaga politik yang menjadi anggota
legislatif dapat menggunakan pengaruh politiknya dengan mendistribusikan anggaran
secara lebih mudah, mereka dapat memotong atau menambah suatu rancangan anggaran
kegiatan atau perjuangan politik menjadi lebih baik dan menguntungkan untuk satu pihak,
namun dapat pula merugikan kepada pihak lain, bahkan negosiasi sering dilakukan oleh
aktor-aktor politik dalam meloloskan anggaran tertentu.
Anggaran menampilkan konflik terhadap preferensi siapa yang harus dipenuhi, maka
orang tidak dapat berbicara tentang anggaran dengan lebih baik tanpa mempertimbangkan
siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan atau dengan menunjukkan bahwa tidak
ada yang kalah, maka latar belakang yang tersembunyi dalam kebijakan anggaran, rentang
waktu dan metode perhitungan semuanya mempunyai implikasi politik.
Menurut Bowman C. Kearney (2003) terdapat empat pelaku dalam proses
penganggaran yaitu kelompok kepentingan, agenda dinas, kepala eksekutif dan badan
legislatif. Kelompok kepentingan melaksanakan testimoni atau kesaksian pada budget
hearing dan memberikan tekanan kepada tiga pelaku lainnya untuk mendukung kebijakan
dan program yang diinginkan. Peran dinas atau departemen adalah mempertahankan base
jumlah

perkiraan tahun

fiskal yang

lalu

dan

menyarankan program

baru

atau

penyempurnaan program kepala dinas atau departemen adalah para profesional yang
mempercayai nilai organisasi mereka dan program-programnya. Namun mereka sering kali

mendapati diri mereka ternyata bermain untuk mendapatkan jumlah yang mereka inginkan.
Apa yang biasanya dilakukan oleh kepala dinas adalah mengevaluasi lingkungan fiskalpolitik. Mereka mempertimbangkan peristiwa-peristiwa tahun lalu, komposisi legislatif, iklim
ekonomi, pernyataan kebijakan oleh kepala eksekutif, kekuatan kelompok dan faktor-faktor
lainnya.
Mereka cenderung mengajukan suatu angka yang lebih besar daripada yang
sebenarnya. Kepala eksekutif memiliki peran yang sangat berbeda dalam proses
penganggaran. Selain menyesuaikan anggaran dengan prioritas program, dia bertindak
sebagai economizer. Permintaan departemen harus disesuaikan, yang berarti bahwa
permintaan tersebut harus dipangkas, karena jumlah total permintaan biasanya melebihi
pendapatan yang diperkirakan. Tentu saja, gubernur/walikota/bupati yang berpengalaman
akan mengenali permainan yang dimainkan oleh para administrator, dia mengetahui bahwa
permintaan anggaran akan cenderung dilebihkan untuk mengantisipasi pemotongan. Pada
kenyataannya berbagai studi mengenai penganggaran negara bagian dan daerah
menunjukkan bahwa partisipasi yang paling berpengaruh adalah eksekutif. Tidak
mengejutkan, administrator yang teliti akan mencurahkan waktu dan sumber lainnya untuk
mengolah dukungan kepala eksekutif untuk aktivitas dinas atau departemen mereka. Peran
dari badan legislatif pada tahap awal siklus anggaran adalah merespons dan memperbaiki
usulan anggaran dari gubernur, walikota/bupati dengan melakukan fungsi reviu terhadap
pembelanjaan dinas dan departemen serta responsnya terhadap keluhan konstituen
(Bowman, 2003).
Selanjutnya Wildavsky dan Caiden (2004) menyatakan sebagian besar dari masingmasing anggaran adalah produk dari keputusan tahun sebelumnya, anggaran dapat
dipahami sebagai gunung es terapung, dengan bagian terbesar berada di bawah
permukaan, di luar kontrol siapapun. Banyak item-item anggaran yang standar, sekedar
digunakan kembali setiap tahun kecuali ada alasan khusus untuk menentangnya.
Lembaga politik yang menjadi anggota legislatif dapat menggunakan pengaruh
politiknya dengan mendistribusikan anggaran secara lebih mudah, mereka dapat memotong
atau menambah suatu rancangan anggaran, kegiatan atau perjuangan politik semacam ini
menjadi lebih baik dan menguntungkan untuk satu pihak namun dapat pula merugikan
kepada pihak lain, bahkan negosiasi-negosiasi yang dilakukan oleh aktor-aktor politik dalam
meloloskan suatu anggaran tertentu. Bahkan menurut Samuels (2000) ada dua
kemungkinan perubahan yang dapat dilakukan legislatif yaitu mengubah jumlah anggaran
dan mengubah distribusi belanja atau pengeluaran dalam anggaran
Bowman dan Kearney (2003) menyatakan bahwa pejabat negara bagian dan daerah
harus mengalokasikan jumlah uang yang besar setiap tahun, dimana memang tujuannya
tidak begitu jelas atau kontroversial dan sering kali saling bertentangan satu dengan lainnya.

Hal yang tidak mungkin untuk memprioritaskan ratusan bahkan ribuan item dalam agenda
publik mengingat terbatasnya sumber daya, waktu dan oleh kemampuan aktor-aktor yang
terlibat dalam menetapkan kebijakan anggaran. Magner dan Johnson (1995) menyatakan
pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran memiliki kecenderungan
untuk memaksimalkan utilitisnya melalui pengalokasian sumber daya dalam anggaran yang
ditetapkan.
Eksekutif atau badan yang menjadi pengusul anggaran dan juga pelaksana atau
pengguna dari anggaran tersebut berupaya untuk memaksimalkan jumlah anggaran (Smith
dan Bertozzi,1998). Di sini setiap aktor memainkan peranya sendiri, menurut strategi atau
caranya sendiri dalam upaya menentukan hasil akhir kebijakan.

Anggaran Sebagai Alat Politik (Political Tool)


Penganggaran sektor publik termasuk dalam ruang lingkup administrasi publik,
dimana memiliki sejumlah karakteristik sesuai pendekatan, fungsi, formasi, dan tipe. Rober
W Smith dan Thomas D. Lynch menjelaskan bahwa penganggaran dapat dilihat
berdasarkan empat perspektif, yaitu: (1) menurut perspektif politik, penganggaran
merupakan peristiwa politik yang dihasilkan dalam ranah politik untuk keuntungan politik;
(2) menurut perspektif ekonomi, anggaran dapat menghasilkan informasi yang berguna
dalam pengambilan keputusan; (3) menurut perspektif akuntan, nilai akuntabilitas
penganggaran mencerminkan suatu kebijakan; (4) perspektif manajer publik, anggaran
merupakan alat kebijakan yang menjelaskan implementasi kebijakan publik. Sehingga,
Rober W Smith dan Thomas D. Lynch mendefinisikan bahwa
A "budget" is a plan for the accomplishment of programs related to objectives and goals
within a definite time period, including an estimate of resources required, together with an
estimate of resources available, usually compared with one or more past periods and
showing future requirements.
Anggaran memiliki banyak fungsi, salah satunya sebagai instrumen politik yang
terhubung dengan sektor publik. Fungsi ini menjadikan anggaran digunakan untuk
memutuskan prioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas tersebut. Pemenuhan
prioritas-prioritas dalam konteks sektor publik ini, membutuhkan political skill, coalition
building, keahlian bernegosiasi dan pemahaman tentang prinsip manajemen keuangan
publik oleh penyusun anggaran.
Aspek-aspek anggaran terdiri dari aspek ekonomi yakni besaran anggaran
pemerintah yang mencerminkan skala kegiatan ekonomi sektor pemerintahan dan

pengaruhnya terhadap ekonomi secara umum. Kemudian aspek politik, yakni anggaran
merupakan perwujudan dari kehendak politik pemerintah yang sedang berkuasa ke dalam
kebijakan keuangan. Selanjutnya, aspek hukum, sebagai bentuk legitimasi legal-formalnya,
maka anggaran akan dapat dilaksanakan, jika anggaran ditetapkan dengan suatu regulasi
yakni perda. Sedangkan dari aspek manajemennya, anggaran mencerminkan pelaksanaan
fungsi-fungsi manajemen pemerintahan.
Kemudian dari fungsinya, jika dilihat sebagai alat politik pemerintah, maka anggaran
dapat digunakan sebagai sarana atau alat bagi kekuatan politik untuk mencapai tujuan dan
aspirasi politik. Hal tersebut dimungkinkan karena anggaran merupakan produk/hasil
pembahasan antara pemerintah dan parlemen. Selanjutnya, proses penyusunan anggaran,
dilakukan secara sistematis, dengan menggunakan metode dan pendekatan tertentu dan
melalui penyusunan rencana dan program yang dituangkan ke dalam nilai mata uang.
Penganggaran juga harus memuat prinsip keadilan anggaran, efisiensi dan efektifitas
anggaran, anggaran yang berimbang dan dinamis, disiplin anggaran, serta tranparansi dan
akuntabilitas.
APBD adalah kebijakan publik yang disusun oleh legislatif dan eksekutif, di dalamnya
termuat rencana-rencana program pembangunan yang akan dilakukan oleh aparatur
pemerintahan berdasarkan prioritas-prioritas pembangunan. Didalamnya ada proyeksi
pendapatan, pembangunan dan belanja yang pembiayaan-pembiayaan rencana-rencana
kerja tersebut,dirumuskan pula dalam kebijakan itu berupa anggaran-anggaran pada unitunit satuan kerja.Bahwa penyusunan APBD merupakan suatu proses kebijakan publik yang
harus melibatkan masyarakat, karenanya sedari awal penyusunan APBD mesti dilandasi
dari penjaringan aspirasi melalui Musyawarah RencanaPembangunan (Musrenbang), juga
program kerja dari satuan kerja dari dinas-dinas yang kemudian dirangkum dalam Rencana
Kerja Anggaran (RKA) dan Rencana Kerja Pemerintahan Daerah (RKPD).
Selanjutnya, bahwa penyusunan APBD juga merupakan proses menyelaraskan
kondisi makro dengan sumber daya yang tersedia, terus mengalokasikan sumber daya yang
tersedia tersebut sesuai dengan keperluan yang ada. Sehingga APBD harusnya benarbenar hadir sebagai bentuk kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan
hak-hak dasar dan pemberdayaan masyarakat menuju kesejahteraan. Sesuatu yang kerap
dipertanyakan oleh masyarakat adalah: Apakah mereka sudah dilibatkan secara aktif dalam
proses perumusan anggaran? Sedangkan sudah jelas bahwa harus ada peran partisipasi
masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses penyusunan APBD, karena APBD adalah
kebijakan yang terkait dan menyangkut hajat hidup masyarakat. Sedangkan dalam
penjaringan aspirasi melalui Musrenbang saja, masyarakat jarang dilibatkan, kalaupun
dilibatkan, tapi sekedar lip service, dan tetap saja anggaran yang dibuat tidak memuat
aspirasi-aspirasi mereka.

Masalah lainnya adalah terkadang anggaran yang disusun tidak mencerminkan skala
prioritas bidang pembangunan mana yang harus diutamakan, kemudian juga cenderung
mubazir lebih besar pada belanja pada item-item program kegiatan yang tidak bersentuhan
dengan hak-hak dasar rakyat. Sehingga kebijakan anggaran tidak dapat mengintervensi
pada penuntasan masalah-masalah masyarakat.
Sudah menjadi rahasia umum jika penganggaran biasanya lebih besar pada pos belanja tak
langsung yakni belanja aparatur/pegawai. Anehnya, biasanya juga, pada belanja langsung
yang kecil terkadang muncul pula belanja pegawainya, sehingga yang diperuntukkan bagi
belanja modal untuk publik menjadi minim.
Dalam proses penyusunan APBD baik di provinsi maupun kab/kota, kita dapat
melihat bahwa prioritas keberpihakan terhadap pemenuhan hak-hak dasar rakyat itu masih
belum dikembangkan atau dijadikan perspektif perencanaan dan penganggaran.Ke depan,
adalah tanggung jawab kita semua untuk terus mendorong agar proses itu menjadi pro
rakyat. Sehingga mudah-mudahan APBD tersebut akan lebih banyak memuat programprogram prioritas anggaran yang berpihak terhadap pemenuhan hak-hak dasar dan
pemberdayaan masyarakat. Dan elemen masyarakat sipil harus melakukan pengawasan
terhadap kebijakan pembangunan ini, karena ini berkenaan dengan hak-hak kita selaku
warga negara.
Kemudian pemerintah dan parlemen/legislatif juga harus belajar untuk partisipatif,
transparan serta membahas dengan berhati-hati dan teliti, agar APBD tepat sasaran dan
jangan sampai mubazir pada program-program yang tidak jelas juntrungan dan
keberpihakannya.
Anggaran sebagai instrumen politik bisa memenuhi prioritas-prioritas kebijakan yang
berujung pada efisiensi anggaran, jika steril dari kepentingan sempit para penyusun
anggaran. Namun yang sering terjadi saat ini tidaklah demikian. Dugaan praktik mafia
anggaran, suap di Kemenakertrans, proyek wisma atlet di Palembang adalah beberapa
contoh tidak sterilnya sistem penganggaran dari kepentingan politik sempit.
Lantas apa yang harus dilakukan untuk mengawasi agar anggaran bisa diketahui
sarat dengan kepentingan ekonomi atau politik sesaat? Hal pertama yang bisa dilakukan
oleh kita adalah melihatnya secara kasat mata terhadap output, outcome, dan impact dari
anggaran. Output adalah besaran nilai anggaran seperti besaran anggaran untuk
pembangunan sebuah jalan. Dari sini bisa terlihat secara kasat mata apakah sebuah
anggaran memiliki nilai yang biasa atau luar biasa karena misalnya ada dugaan mark up.
Outcome adalah hasil final dari anggaran tersebut, berupa wujud barang atau jasa, misal
sebuah jalan. Secara kasat mata, bisa terlihat kualitas jalan tersebut. Apakah sebanding
dengan nilai proyeknya atau tidak. Impact adalah pengaruh yang ditimbulkan dari outcome
anggaran. Misalnya, bagaimana pengaruh jalan itu terhadap perkembangan perkonomian

sebuah wilayah? Atau bagaimana pengaruh pembangunan pasar terhadap geliat


perdagangan di sekitarnya? Jika dampak yang dihasilkan kecil, tidak ada, atau bahkan
proyeknya mangkrak, bisa jadi dalam penyusunan anggarannya ada sesuatu yang tidak
beres.
Anggaran tidak hanya penting bagi perusahaan swasta tetapi juga penting
dalam pelaksanaan program-program pemerintah. Anggaran merupakan pernyataan
mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang
dinyatakan dalam ukuran finansial. Dalam organisasi sektor publik, penganggaran
merupakan suatu proses politis. Jika pada sektor swasta anggaran merupakan bagian
dari rahasia perusahaan yang tertutup untuk publik, tetapi sebaliknya pada sektor publik
anggaran justru harus diinformasikan kepada masyarakat untuk dikritik, didiskusikan
dan diberi masukan.Anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas
pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang
publik (Mardiasmo, 2004.a).
Anggaran

dalam

pemerintahan

merupakan

dokumen/kontrak

politik antara

pemerintah dan DPRD untuk masa yang akan datang (Mardiasmo, 2004.a). Dalam teori
agensi dapat dirumuskan pemerintah sebagai agen dan masyarakat dalam hal ini diwakili
oleh DPRD diartikan sebagai principal. Adanya hubungan agen dan principal tersebut
diharapkan

dapat memudahkan

proses

pengawasan

anggaran

agar

tidak

terjadi

perilaku perilaku yang disfungsional, karena anggaran dalam pemerintahan merupakan


wujud pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Anggaran sebagai alat politik juga berperan dalam tahap-tahap proses penyusunan
anggaran sektor publik.Penyusunan anggaran sektor publik pada dasarnya tidak berbeda
jauh dengan sektor swasta. Penyusunan anggaran sektor publik terdiri atas empat tahapan
yaitu :
1. Tahap persiapan anggaran
Pada tahap persiapan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas dasar taksiran
pendapatan

yang

tersedia.

Terkait

dengan masalah tersebut,

yang

perlu

diperhatikan adalah sebelum menyetujui taksiran pengeluaran hendaknya terlebih


dahulu dilakukan penaksiran pendapatan secara lebih akurat.

Di Indonesia, proses

perencanaan APBD dengan paradigma baru menekankan pada pendekatan bottom


up

planning

dengan

tetap mengacu

pada

arah

kebijakan

pembangunan

pemerintah pusat. Arah kebijakan pembangunan pemerintah pusat tertuang dalam


dokumen perencanaan berupa program Pembangunan Nasional (PROPENAS),
Rencana Strategis

(RENSTRA) dan Rencana Pembangunan Tahunan (REPETA).

Sementara

itu,

ditingkat

ketentuan

Peraturan

daerah

Pemerintah

(Propinsi

dan

No.108

tahun

kabupaten/kota) berdasarkan
2000 pemerintah

daerah

disyaratkan

untuk

membuat

dokumen perencanaan

daerah

yang

terdiri

atas

RENSTRADA, yang isinya diupayakan tidak menyimpang dari PROPENAS dan


RENSTRA pemerintah pusat. Rincian RENSTRADA untuk setiap tahunnya akan
digunakan sebagai masukan dalam penyusunan REPETADA dan APBD.
2. Tahap ratifikasi
Tahap ini merupakan tahap yang melibatkan proses politik yang cukup rumit dan
berat. Pimpinan eksekutif dituntut tidak hanya memiliki managerial skill namun juga
harus mempunyai political skill, salesmanship dan coalition building yang memadai.
Hal tersebut penting karena dalam tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai
kemampuan untuk menjawab dan memberikan argumentasi yang rasional atas
segala pertanyaan-pertanyaan dan bantahan-bantahan dari pihak legislatif.
3. Tahap implementasi (Budget Implementation)
Setelah anggaran disetujui oleh
anggaran.

Dalam

tahap

legislatif,

pelaksanaan

tahap berikutnya adalah pelaksanaan


anggaran,

diperhatikan oleh manajer keuangan publik adalah

hal terpenting

dimilikinya

sistem

yang harus
(informasi)

akuntansi dan sistem pengendalian manajemen. Manajer keuangan publik dalam hal
ini bertanggung jawab untuk menciptakan sistem akuntansi yang memadai dan
handal untuk perencanaan dan pengendalian anggaran yang telah disepakati dan
bahkan daapt diandalkan untuk tahap penyusunan anggaran periode berikutnya.
Sistem akuntansi yang baik meliputi pula dibuatnya sistem pengendalian intern yang
memadai.
4. Tahap pelaporan dan evaluasi
Tahap persiapan,

ratifikasi

dan implementasi

anggaran

terkait dengan

aspek

operasional anggaran, sedangkan tahap pelaporan dan evaluasi terkait dengan


aspek

akuntabilitas.

Jika

tahap implementasi

akuntansi dan sistem pengendalian

telah

didukung

dengan

sistem

manajemen yang baik, maka diharapkan

tahap budget reporting and evaluation tidak akan menemui banyak masalah.
Politik Anggaran untuk Peningkatan Kemandirian Daerah
Anggaran publik menggambarkan apa yang dilakukan pemerintah dnegan melihat
pada bagaimana pemerintah membelanjakan uangnya. Rubbin (2006) mendefinisikan politik
anggaran sebagai tindakan bagaimana membuat pilihan antara kemungkinan-kemungkinan
pengeluaran, keseimbangan dan proses memutuskannya. Anggaran publik memiliki tipikal
khas, seperti bersifat terbuka, melibatkan berbagai aktor dalam penyusunannya yang
memiliki tujuan berbedabeda, mempergunakan dokumen anggaran sebagai bentuk
akuntabilitas publik, dan keterbatasan yang harus diperhatikan (budget constraint).

Secara prosedural, kerangka hukum dalam Sistem Perencanaan Pembangunan


Nasional (SPPN) di Indonesia mengakui politik anggaran sebagai salah satu pendekatan
dalam penyusunan anggaran. Pendekatan Politik Anggaran pertama adalah keberadaan
fungsi anggaran DPRD dalam proses pembahasan anggaran dan kedua, penjabaran visi
misi kepala daerah terpilih terpilih sebagai dasar penyusunan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah

Daerah (RPJMD). Anggaran publik bukan sekedar dokumen, tetapi

secara intrinsik bersifat politis, karena: (1) anggaran merefleksikan pilihan tentang apa yang
ingin dilakukan oleh pemerintah dan mana yang tidak; (2) anggaran merefleksikan prioritas;
(3) anggaran relatif merefleksikan proporsi keputusan yang dibuat tujuan-tujuan daerah dan
pemilihan, untuk efisiensi, efektivitas dan tujuan-tujuan publik yang lebih luas; (4) anggaran
menyediakan alat akuntabilitas yang kuat untuk masyarakat yang ingin mengetahui
bagaimana pemerintah membelanjakan uangnya dan apakah pemerintah secara umum
telah mengikuti preferensi mereka, sebagai sarana penghubung preferensi masyarakat dan
outcome pemerintah, ini sebagai alat yang kuat untuk implementasi demokrasi; (5)
anggaran merefleksikan preferensi warganegara tentang bentuk dan level yang berbeda
atas pajak, anggaran merefleksikan bagaimana pemerintah meredistribusikan kesejahteraan
ke atas dan ke bawah melalui sistem perpajakan; (6) anggaran secara nasional dapat
mempengaruhi ekonomi, kebijakan fiskal mempengaruhi tingkat pengangguran; (7)
anggaran merefleksikan hubungan kekuasaan atas individu dan organisasi yang berbeda
(antara aktor anggaran, cabang pemerintahan, warganegara pada umumnya, dan kelompok
interes khusus) untuk mempengaruhi outcome. Politik anggaran publik dalam literatur
setidaknya ada lima cara utama untuk memandang, yaitu:
1. Reformism: reformasi orientasi, yang berpendapat seharusnya anggaran didasarkan
pada tahnik efisiensi, mengatasi benturan pendapat antara pejabat politis dan staf
profesional mengatasi keterbatasan anggaran antara keputusan anggaran yang
bersifat tehnik, dan keputusan anggaran yang bersifat politik secara tepat
2. Incremantalis bargaining: melihat penganggaran sebagai arena negosiasi diantara
kelompok aktor birokrat, staf anggaran, kepala eksekutif, dan legislator, yang
bertemu tiap tahun untuk tawar menawar, termasuk kelompok kepentingan. Proses
terbuka, siapa saja bisa terlibat dan berpotensi menang, sehingga potensi konflik
dapat dikendalikan arena setiap orang dapat menang dan tidak ada yang menang
terlalu banyak
3. Interest group determinism: menempatkan yang kaya dan memiliki power lebih
berpotensi menang, lebih berpotensi onflik, karena ada kelompok yang lebih lemah
4. Process: proses penganngaran itu sendiri adalah pusat dan fokus politik anggaran,
dimana dengan anggaran khusus berusaha mencapai tujuan yang hendak mereka
capai. Proses politik dalam penganggaran meliputi kemampan kelok kepentingan

mem[engaruhi anggaran, peran publik dalam keputusan anggaran, keterbukaan


proses pembuatan keputusan anggaran
5. Policy making: politik anggaran fokus pada debat kebijakan, termasuk debat tentang
peran anggaran.

Isu utama adalah level belanja, kebijakan pajak, kemuan

meneruskan pinjaman untuk membiayai ekonomi dalam saat resesi. Penganggaran


merefleksikan kebijakan untuk memoderasi siklus ekonomi.

Pandangan politik

dalam proses ini biasanya menghasilkan trade off, antar pilihan kebijakan.
Dari kelima pandangan politik anggaran ini menunjukkan adanya pertarungan power dan
kepentingan dalam proses penganggaran.

Dalam proses pertarungan, peran kontrol

diperlukan untuk menjaga agar keputusan penganggaran cukup mewakili preferensi warga
masyarakat pada umumnya.

V.O Key menyebutnya sebagai

masalah dasar

penganggaran

keterbatasan

dasar

yakni

dengan

sumber

daya,

atas

apa

kita

mengalokasikan X dollar untuk aktivitas A daripada untuk Aktivitas B? (Key 1940, h1138).
Menurut Rong Wang, setidaknya terdapat tiga pendekatan besar politik anggaran dalam
literatur internasional, yakni pendekatan pilihan publik, kelompok kepentingan, dan teori
hierarki. Dari berbagai pendekatan yang ada, Fozzard menyatakan bahwa secara rasional,
nyaris tidak ada satu pendekatan pengalokasian anggaran yang sempurna. Karena tidak
ada proses kelembagaan yang kokoh secara rasional, maka alokasi
anggaran ditempatkan sebagai pilihan publik (public choice). Pilihan publik kerap
ditempatkan sebagai politik anggaran, atas nama berbagai kepentingan publik yang
beragam sebagai media yang sarat dengan pertarungan politik perebutan sumber daya
antar kelompok kepentingan. Kesimpulan, politik anggaran di daerah seharusnya:
1. Direformasi orientasinya pengelolaan anggaran menurut prinsip 3E: efisiensi,
efektivitas dan ekonomis
2. Perlu ada kontrol publik dalam proses pembuatan kebijakan anggaran supaya
negosiasi dan tawar menawar antar kelompok kepentingan, birokrat, pejabat
keuangan dan legislator relatif memenangkan kelompok publik yang secara umum
membutuhkan prioritas
3. Reorientasi anggaran dan advokasi anggaran untuk pengarusutamaan anggaran pro
poor. Anggaran pro poor mengurangi dominasi elit capture, dan meningkatkan
efektivitas penggunaan anggaran untuk pemenuhan kebutuhan dasar kelompok
publik yang paling rentan sehingga membantu meningkatkan Indeks Pembangunan
Manusia.

Kesimpulan
Anggaran merupakan instrumen pemerintah untuk melaksanakan berbagai kebijakan
yang telah direncanakan. Anggaran merupakan wadah mobilisasi sumber daya negara
untuk mewujudkan tujuan bernegara. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, keterbatasan
sumber daya yang ada telah memaksa pemerintah untuk membuat pilihan-pilihan demi
memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas. Maka tak heran, jika kondisi ini melahirkan
persaingan dan perebutan kepentingan di antara aktor-aktor yang terlibat dalam
penyusunan anggaran. Dalam hal ini, anggaran tidak hanya dilihat sebagi proses mekanis
teknokratis dalam proses mombilisasi sumber daya yang ada, tetapi sebagai medan politis
untuk memperebutkan sumber daya tersebut.
Semangat good governance turut berpengaruh terhadap perubahan paradigma
dalam penyusunan anggaran. Adapun nilai akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi turut
andil dalam melahirkan konsep yang menjadi pedoman dalam melaksanakan reformasi
anggaran, yaitu performance based budgeting. Sayangnya, upaya pemerintah dalam
mereformasi anggaran masih didominasi dengan pendekatan teknis, padahal situasi
perpolitikan di Indonesia masih sarat dengan pragmatisme sehingga pendekatan yang
bersifat teknis tidak akan cukup berhasil dalam memunculkan perubahan.
Potret penganggaran di Indonesia menunjukkan bahwa problematika penganggaran
masih terjadi, seperti perencanaan anggaran yang menunjukkan bahwa partisipasi dalam
penganggaran masih didominasi top-down walaupun secara legal formal, mekanisme
perencanaan telah mengakomodasi semangat bottom-up. Selaun itu, jumlah alokasi
anggaran juga belum mencerminkan keberpihakan pada kepentingan masyarakat miskin
(pro-poor), malah semakin terkonsentrasi untuk pembiayaan birokrasi.
Kondisi di atas menunjukkan suatu gejala terbentuknya model negara penjarah yang
ditandai dengan terkurasnya anggaran negara untuk kepentingan biokrasi pemerintah.
Dalam hal ini, politik anggaran pemerintah belum menunjukkan keberpihakannya. Oleh
karena itu keberpihakan pemerintah dalam politik anggaran harus ditempuh demi
terlaksananya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.

Referensi

Anderson, James, 1975. Public Policy Malang Renchart and Winston. New York Batton,
Micahel
Bowman dan Richard C. Kearney, 2003. State and Local Government, The Essentials,
Hought Miffin Company. Boston New York
Dryzek, Jhons S. 1596. Political Inclusion and Dynamic of Democaticzation, American
Political Science Review, Vol. 90, No.1 September.
Hyman, David N., (2010), Public Finance: a Contemporary Application of Theory to Policy,
South-Western Cengage Learning, 10th Edition, USA.
Key, V.O (1940) Te Lack of a Budget Theory American Political Science Review 34 (6),
11371144
Pratiwi, Ratih Nur. Politisasi Anggaran Sektor Publik
Pratikno, (2010). Politik Anggaran dalam Desentralisasi dan Otonomi Daerah
R. Dye, Thomas 1060, Understanding Public Policy. Third Edition Prentice Hall Inc.
Englewood Cliffs N.J. 0732.
Robert W. and Thomas D. Lynch. (2004) Public Budgeting in America. 5th Edition.
Pearson;Upper Saddle River, New Jersey. 37
Rong Wang (2002), Political Dimensions of County Government Budgeting in China: a case
study. IDS Working Paper. Brighton Sussex.
Rubin, Irene.s (2006).The Politics of Public Budgetting. Washington: CQ Press, p.1
Rubin, Irene S. (1990) "Budget Theory and Budget Practice: How Good the Fit?" Public
Administration Review March/April 1990. 179-89.
Rubin, Irene S. (2006) The Politics of Public Budgeting: Getting and Spending, Borrowing
and Balancing. Third Edition, Chatham House Publishers: Chatham, New Jersey.

Wildavsky, A., 1961. "Political Implications of Budgetary Reform," Public Administration


Review, 21/3: 183-90.
Wildavsky, A. 1974. The Politics of the Budgetary Process, 2nd edition, Boston: Little, Brown
& Co.Smith,
Wildavsky. Aarone Naomi Caider, 2004. The New Politic

Anda mungkin juga menyukai