JURUSAN : S1 Hukum
NPM : 1680740104
Biodata Penulis
Titik Triwulan Tutik, S. H., M. H., lahir di Tuban, 29 Maret 1968. Pendidikan Dasar (SD dan
SMP) dan Pendidikan Menengah (SMA) diselesaikan di kota kelahirannya. Setelah
menyelesaikan sarjana hukum, melanjutkan ke Program Ilmu Hukum Universitas Airlangga
(2003-2005) dengan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS). Sekarang penulis sedang
melanjutkan studi di Program Doktor pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana
Universitas Airlangga. Pengalaman pekerjaan dimulai sebagai Dosen Tetap di STAIN
Palangkaraya dan sejak 2001 penulis sebagai Dosen Tetap di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan
Ampel Surabaya.
Tesis masternya tentang “Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 dalam
Sistem Pemilu Menurut UUD 1945” telah diterbitkan oleh Prestasi Pustaka (2005), sedangkan
Buku Pokok-Pokok Hukum Tata Negara (Prestasi Pustaka, 2005) menjadi salah satu bacaan
wajib bagi mahasiswa. Sementara Kata yang lain Pengantar Hukum (Prestasi Pustaka, 2006), dan
tinjauan Yuridis Hukum serta Kewajiban Pendidik Menurut Undang-Undang Guru dan Dosen
(Persati Pustaka, 2006). Tidak kurang dari 25 tulisan ilmiah tentang hukum, pendidikan, seni dan
budaya serta gender telah dimuat dalam beberapa Jurnal Ilmiah, Majalah Pendidikan, Majalah
Keagamaan dan Majalah Seni Budaya.
BAB II
SISTEMATIKA HUKUM PERDATA INDONESIA
Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum, Hukum Perdata dapat dibagi dalam 4 bagian, yaitu :
1). Hukum perorangan. 2). Hukum keluarga. 3). Hukum harta kekayaan. 4). Hukum
waris.
• Hukum perorangan (personenrecht), yang memuat antara lain: 1). Peraturan tentang
manusia sebagai subyek hukum, kewenangan hukum, domisili dan catatan sipil. 2).
Peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk memiliki hak-hak dan untuk bertindak
sendiri melaksanakan hak-haknya itu. 3). Hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-
kecakapan tersebut.
• Hukum keluarga (familirecht) yang memuat antara lain: 1). Perkawinan beserta
hubungan dalam hukum harta kekayaan antara suami dan isteri. 2). Hubungan antara
orang tua dan anak-anaknya. 3). Perwalian, hubungan antara wali dengan anak. 4).
Pengampuan, hubungan antara orang yang diletakan di bawah pengampuan karena gila
atau kurang sehat atau karena pemborosan.
• Hukum Harta Kekayaan (vermogenrecht) yang mengatur tentang hubungan hukum
yang dinilaikan dengan uang. Hukum ini meliputi: 1). Hak mutlak, yaitu hak-hak yang
berlaku terhadap tiap orang, meliputi : a). hak kebendaan, yaitu hak memberikan
kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat. b). hak mutlak, hak suatu benda yang
tidak dapat terlihat, misalnya, hak seorang pengarang atas karanganya, hak seorang
pedagang untuk memakai sebuah merk, dll. 2). Hak perorangan, yaitu hak-hak yang
hanya berlaku terhadap seorang atau suatu pihak tertentu saja.
• Hukum Waris (efrecht), adalah hukum yang mengatur tentang benda dan kekayaan
seseorang yang meninggal dunia. Dengan kata lain bahwa hukum tersebut mengatur
akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
Hukum Perdata tertulis Indonesia yang terkemas dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek) pertama kali diundangkan melalui Staatsblad 1847-23
dengan publikasi 30 April 1847, dan dinyatakan masih berlaku berdasarkan pasal 1
aturan peralihan UUD 1945.
Sesuai dengan ketentuan pasal 163 I.S diatur tentang penggolongan penduduk di
Indonesia. Pada mulanya, Burgerlijk Wetboek hanya berlaku bagi golongan eropa saja,
tetapi karena untuk memudahkan hubungan perdagangan dengan golongan Timur Asing
Tionghoa, maka Staatblad 1917-129 jo Staatblad 1919-81, Staatblad 1924-557 dan
Staatblad 1925-92, Burgerlijk Wetboek diterapkan bagi golongan Asing Timur Tionghoa.
Kemudian ketentuan pada pasal 131 ayat 6 I.S, Burgerlijk Wetboek tidak berlaku bagi
golongan Bumi Putera, kecuali jika pihak yang bersangkutan secara sukarela
menundukan diri (Stb. 1917-12). Kemudian berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung
nomor 3 tahun 1963 yang ditujukan kepada ketua seluruh pengadilan negeri di Indonesia,
untuk menyatakan bahwa BW, yaitu pasal 108,110,284, ayat 3, 1238, 1460, 1579, 1603
dan 1682 tidak berlaku lagi.
Berdasarkan sistematika yang ada di KUH Perdata (BW) diatas, hukum Perdata terdiri
atas 4 bagian buku, yaitu:
1. Buku I perihal orang (van personen), yang memuat hukum perorangan dan hukum
kekeluargaan.
2. Buku II perihal benda (van Zaken), yang memuat hukum Benda dan hukum Waris.
3. Buku III perihal perikatan (Van Verbintenniissen), yang memuat hukum harta
kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang
atau pihak tertentu.
4. Buku IV perihal pembuktian kadaluarsa (Van Bewijsen Verjaring ), yang memuat
perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan
hukum.
Berkaitan dengan hal tersebut dilihat dari segi isi masing-masing buku dalam KUH
Perdata, maka substansi KUH Perdata terbagi dalam 2 bagian yaitu:
1. Buku I, II dan III berisi ketentuan-ketentuan hukum perdata materiil.
2. Buku IV berisi ketentuan-ketentuan hukum perdata formil.
Ditinjau dari segi perkembangan hukum perdata di Indonesia sekarang menunjukan
tendensi perubahan. Sebagaimana sistematika hukum hukum perdata Belanda yang
diundangkan pada tanggal 3 Desember 1987 Stb. 590 dan mulai berlaku 1 April 1988
meliputi lima buku, yaitu:
1. Buku I tentang Hukum Orang dan Keluarga (Personen-en-Famili-erecht)
2. Buku II tentang Hukum Badan Hukum (Rechtpersoon)
3. Buku III tentang Hak Kebendaan (Van Zaken)
4. Buku IV tentang hukum perikatan (Van Verbintennissen)
5. Buku V tentang Daluarsa (Van Verjaring).
KONSEP DASAR
Istilah hukum (tentang) orang berasal dari terjemahan kata personennrecht (belanda) atau
personal law (inggris). Pengertian hukum menurut subekti adalah peraturan tentang manusia
sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak dan
kewajiban untuk bertindak sendiri, melaksanakan hak-hak nya itu serta hal-hal yang
mempengarui kecakapan itu. Pengertian ini merujuk hukum orang dari aspek ruang
lingkupnya,yang meliputi subyek hukum, kecakapan hukum dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.tetapi apabila dikaji secara mendalam definisi tersebut kurang lengkap karena
dalam hukum orang juga diatur tentang domisili dan catatan sipil.
Hukum (tentang) orang dalam BW diatur dalam buku I yang berjudul van personen.
Menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan menyatakan bahwa pemberian judul
tersebut pada dasarnya kurang tepat dan lebih tepat berjudul “personen en familie recht”. Dasar
pemikiran tersebut melihat bahwa keberadaan seseorang tidak lepas dari keluarga, selain itu
dalam buku I tersebut diatur juga tentang hukum keluarga.
SUBYEK HUKUM
Istilah subyek hukum yang berasal dari terjemahan bahasa belanda rechtsubject atau law
subject (inggris). Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban
yaitu manusia dan badan hukum.
Subyek hukum memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting didalam bidang
hukum, khususnya hukum keperdataan karena subyek hukum tersebut yang dapat mempunyai
wewenang hukum. Menurut ketentuan hukum, dikenal dua macam subyek hukum yaitu manusia
dan badan hukum.
Selain subyek hukum, dikenal obyek hukum sebagai lawan dari subyek hukum. Obyek
hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia atau badan hukum) dan
yang dapat menjadi pokok (obyek) suatu hubungan hukum (hak), karena sesuatu itu dapat
dikuasai oleh subyek hukum.
Orang-orang yang belum dewasa, yaitu orang yang belum mencapai umur 18 tahun atau
belum pernah melamgsungkan perkawinan.
Orang yang telah dewasa (berumur 21 tahun keatas) tetapi berada dibawah pengawasan
atau pengampuan.
Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum
tertentu.
Seorang perempuan yang bersuami dalam melakukan tindakan hukum harus disertai atau
diwakili suaminya.
Jadi orang-orang yang cakap melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) adalah
orang yang dewasa dan sehat akal pikirannya serta tidak dilarang oleh sesuatu Peraturan
perundang-undangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
Orang yang belum dewasa dan orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curtele) dalam
melakukian perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, walinya atau pengampuannya
(curator). Sedangkan penyelesaiannya hutang-piutang orang yang dinyatakan pailit
dilakukan oleh balai harta peninggalan (weeskamer).
Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa setiap orang adalah subyek
hukum(rechtspersonlijkheid) yakni pendukung hak dan kewajiban.Dengan demikian
rechtsbevoeghied adalah syarat khusus untuk melakukan perbuatan hukum.
Badan Hukum
Dengan demikian “badan hukum” ini adalah pendukung hak dan kewajiban yang tidak
berjiwa sebagai lawan pendukung hak dan kewajiban berjiwa yakni manusia. Dan sebagai
subyek hukum yang tidak berjiwa, maka badan hukum tidak dapat dan tidak mungkin
berkecimpung dilapangan keluarga seperti mengadakan perkawinan,melahirkan anak dan
sebagainya.
Untuk mengetahui hakikat daripada badan hukum, dapat ditelusuri melalui dua jenis
penafsiran yaitu:
Penafsiran dogmatis: yaitu dengan mengajukan asas kemudian dengan abstraksi memecahkan
asas umum tersebut (abstracheren)
Penafsiran teleologis: yaitu menyelidiki dengan mengingat tujuan peraturan-peraturan yang ada
sampai dimana peraturan itu dapat berlaku bagi badan hukum.
Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum. Namun kata
teori ini ada kekayaan yang bukan merupakan kekayaan seseorang tetapikekayaan itu terikat
pada tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada yang mempunyainya dan terikat pada tujuan
tertentu.
Teori Organ
Badan hukum menurut teori ini tidak abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak
bersubjek. Tetapi badan hukum adalah sesuatu organism yang rill, yang menjelma sungguh-
sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan
alat-alat yang ada padanya (pengurus anggota-anggotanya) seperti manusia biasa yang
mempunyai organ (panca indera) dan sebagainya.
Teori ini didukung juga oleh Rodolf Von Jhering (1818-1892)dengan nama teori kekyaan
bersama (Collectief Vermogens Theorie). Teori ini berpendapat bahwa yang dapat menjadi
subyek-subyek hak badan hukum:
-Manusia-manusia yang secara nyata ada dibelakangnya
– Anggota-anggota badan hokum
– Mereka yang mendapat keuntungan dari suatu yayasan(stiftung)
TEMPAT TINGGAL(DOMICILIE)
Pengertian
Menurut Vollmar tempat tinggal merupakan tempat seseorang melakukan perbuatan hukum.
Adapun yang dimaksud perbuatan hukum adalah suatu perbuatan yang menimbulkan akibat
hukum. Misalnya, jual beli, sewa menyewa, hibah, leasing dan sebagainya. Tujuan dari
penentuan domisili tersebut adalah untuk mempermudah para pihak dalam mengadakan
hubungan hukum dengan pihak lainnya.
Macam Domisili
Domisili dapat dibedakan menurut sistem hukum yang mengaturnya, yaitu menurut Common
Law (sisten anglo saxon inggris) dan hukum eropa continental. Dalam Common Law Domisili
dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
Domicilie of origin Yaitu tempat tinggal seseorang yang ditentukan oleh tempat asal seseorang
sebagai tempat kelahiran ayahnya yang sah.
Domicilie of origin domicilie of dependence Yaitu tempat tinggal yang ditentukan oleh domisili
dari ayahnya bagi anak yang belum dewasa.
CATATAN SIPIL
Lembaga catatan sipil tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mencatat selengkap dan sejelas-
jelasnya sehingga memberikan kepastian yang sebenar benarnya mengenai semua kejadian
antara lain (1) kelahiran (2) pengakuan (terhadap kelahiran) (3) perkawinan dan perceraian (4)
kematian, dan (5) ijin kawin.
A. KONSEP DASAR
C. PERWALIAN
1. Konsep Dasar Perwalian
Pada dasarnya setiap orang mempunyai ‘kekuasaan berhak’ karena ia merupakan subyek hukum.
Tetapi tidak setiap orang cakap melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Secara umum, orang-
orang yang disebut meerderjarigheid dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah,
kecuali jika Undang-Undang tidak menentukan demikian. Misalnya, seorang pria yang telah
genap mencapai umur 18 Tahun sudah dianggap cakap untuk melangsungkan perkawinan.
2. Asas Perwalian
Ketentuan tentang perwalian diatur dalam KUHPerdata Pasal 331-344 dan Pasal 50-54 UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perwalian adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak
yang belum dewasa jika anak itu tidak berada ditangan kekuasaan orang tua. Jadi bagi anak yang
orang tuanya telah bercerai atau jika salah satu dari mereka atau semua telah meninggal dunia,
berada dibawah perwalian.
a. Asas Tak Dapat Dibagi-bagi
Pada setiap perwalian hanya ada satu orang wali saja, hal ini yang dikenal dengan istilah asas tak
dapat dibagi-bagi. Asas ini memiliki perkecualian dalam dua hal, yaitu (1) jika perwalian
dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup terlama jika ia kawin lagi, suaminya menjadi
wali peserta; dan (2) jika dirasa perlu, dilakukan penunjukan seorang pelaksana pengurusan yang
mengurus harta kekayaan minderjarige diluar Indonesia berdasarkan pasal 361 BW.
b. Asas Kesepakatan dari Keluarganya
Menurut pasal 359 B.W menentukan bahwa pengadilan dapat menunjuk seorang wali bagi
semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua. Hakim akan mengangkat
seorang wali setelah mendengar pendapat atau memanggil keluarga sedarah atau semenda atau
periparan.
Ketentuan ini memiliki makna, bahwa keluarga harus diminta kesepakatannya mengenai
perwalian. Jika keluarga tidak ada, maka tidak diperlukan kesepakatan. Apabila sesudah ada
pemanggilan pihak keluarga tidak datang menghadap, maka dapat dituntut berdasarkan
ketentuan pasal 524 KUHPer.
c. Orang-orang yang Dipanggil menjadi Wali
d. Berakhirnya Perwalian
Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1) Dalam hubungan dengan keadaan anak
Dalam hubungan ini, perwalian akan berakhir karena: (1) si anak yang dibawah perwalian telah
dewasa; (2) si anak meninggal dunia; (3) timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya; dan (4)
pengesahan seorang anak luar kawin.
2) Dalam hubungan dengan tugas wali
Berkaitan dengan tugas wali, maka perwalian akan berakhir karena; (1) wali meninggal dunia;
(2) dibebaskan atau dipecat dari perwalian; dan (3) ada alasan pembebasan dan pemecatan dari
perwalian.
Pada setiap akhir perwaliannya,seorang wali wajib mengadakan perhitungan penutup.
Perhitungan ini dilakukan dalam hal; (1) perwalian yang sama sekali dihentikan, yaitu kepada
ahli warisnya; (2) perwalian dihentikan karena diri wali, yaitu kepada penggantinya; dan (3) ahli
waris yang sudah berada dibawah perwalian , kembali lagi berada dibawah kekuasaan orang tua
yaitu kepada bapak atau ibu itu.
D. PENGAMPUAN
Lebih lanjut Abdul Rahman I. Doi mengemukakan manfaat dari perkawinan dalam Islam secara
luas antara lain:
1. Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar.
2. Suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan.
3. Cara untuk memperoleh keturunan yang sah.
4. Menduduki fungsi sosial.
5. Mendekatkan hubungan antar keluarga dan solidaritas kelompok.
6. Merupakan perbuatan menuju ketaqwaan.
7. Merupakan suatu bentuk ibadah, yaitu pengabdian kepada Allah mengikuti sunnah Rasulullah
SAW.
1. Syarat Perkawinan
Menurut Undang-Undang bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan haruslah
dipenuhi syarat-syarat pokok demi sahnya suatu perkawinan antara lain, syarat materiil
dan syarat formil.
a) Syarat Materiil
Syarat materiil disebut juga dengan syarat inti atau internal, yaitu syarat yang
menyangkut pribadi pada pihak yang hendak melangsungkan perkawinan dan izin-izin
yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh Undang-
Undang. Syarat materiil meliputi syarat materiil absolut dan syarat materiil relatif.
Syarat materiil absolut adalah syarat mengenai pribadi seorang yang harus diindahkan
untuk perkawinan pada umumnya. Syarat materiil ini meliputi antara lain:
• Pihak-pihak calon mempelai dalam keadaan tidak kawin (Pasal 27 BW).
• Masing-masing pihak harus mencapai umur minimum yang ditentukan oleh Undang-
Undang, laki-laki berumur 18 tahun, perempuan 15 tahun (Pasal 29 BW).
• Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat 300 hari terhitung sejak
bubarnya perkawinan (Pasal 34 BW).
• Harus ada izin dari pihak ke tiga.
• Dengan kemauan yang bebas, tidak ada paksaan (Pasal 28 BW).
Syarat materiil relatif adalah syarat-syarat bagi pihak yang akan dikawini. Syarat materiil
ini meliputi antara lain:
• Tidak adanya hubungan darah (keturunan) atau hubungan keluarga (antar ipar/semenda
sangat dekat atau hubungan keduanya (Pasal 30 dan Pasal 31 BW).
• Antara keduanya tidak pernah melakukan overspel (Pasal 32 BW).
• Tidak melakukan perkawinan terhadap orang yang sama setelah dicerai (reparative
huwelijk) untuk yang ke tiga kalinya.
b) Syarat Formil
Syarat formil atau syarat lahir (eksternal) adalah syarat yang berhubungan dengan tata cara atau
formalitas yang harus dipenuhi sebelum perkawinan.
1. Asas Perkawinan
a. Asas-asas Perkawinan
Hukum perkawinan yang diatur dalam KUH Perdata (BW) berdasarkan Agama Kristen
memiliki beberapa asas antara lain:
2. Perkawinan berasaskan monogamy, dan melarang poligami (Pasal 27 BW).
3. Undang-Undang hanya mengenai perkawinan di dalam hubungan keperdataannya, yaitu
dilakukan di muka Kantor Pencatatan Sipil ( Burgerlike Stand ).
4. Perkawinan dilakukan dengan persetujuan antara seorang pria dan seorang wanita di
dalam bidang \hukum keluarga.
5. Perkawinan hanya syah, apabila memenuhi persyaratan yang dikehendaki UU.
6. Perceraian hanya dapat terjadi berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang.
7. Perkawinan berakibat terhadap hak dan kewajiban suami isteri.
8. Perkawinan merupakan dasar terwujudnya pertalian darah sehingga melahirkan hak dan
kewajiban terhadap keturunannya.
9. Perkawinan mempunyai akibat di dalam bidang kekayaan suami isteri.
D. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau pada saat
perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta benda
mereka.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Perkawinan tidak mengatur mengenai perjanjian kawin, untuk itu melalui Petunjuk Mahkamah
Agung Republik Indonesia No: MA/0807/75 memberikan pendapat untuk memperlakukan
ketentuan-ketentuan yang sudah ada sebelumnya sebagaimana diatur dalam KUHPer bagi yang
menundukkan peraturan tersebut, hukum adat bagi golongan Bumi Putera dan Huwelijke
Ordonnanite Chirsten Indonesiers (Stb).
Pada umumnya suatu perjanjian kawin dibuat dengan alasan:
1. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pada
pihak yang lain.
2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst) yang cukup besar.
3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata salah satu jatuh
(failliet), yang lain tidak tersangkut.
4. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin masing-masing akan bertanggunggugat
sendiri-sendiri.
1. Bentuk Perjanjian
Perjanjian kawin menurut KUHPer, harus dibuat dengan akat notaris (Pasal 147). Hal ini, kecuali
untuk keabsahan perjanjian kawin, juga bertujuan:
1) Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat daripada perjanjian ini akan
dipikul untuk seumur hidup.
2) Untuk adanya kepastian hukum.
3) Sebagai satu-satunya alat bukti yang syah.
4) Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelendupan atas ketentuan Pasal 149 KUHPer.
1. Isi Perjanjian
Mengenai isi perjanjian kawin Undang-Undang Perkawinan tidak membahas, yang ada
bahwa perjanjian kawin tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama, dan kesusilaan.
Asas kebebasan kedua belah pihak dalam menentukan isi perjanjian kawinya dibatasi
oleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak membuat janji-janji (bedingen) yang bertentangan dengan kesusilaan dan
ketertiban umum.
b. Perjanjian kawin tidak boleh mengurangi hak-hak karena kekuasaan suami, hak-hak
karena kekuasaan orang tua, hak-hak suami isteri yang hidup terlama.
c. Tidak dibuat janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas peninggalan.
d. Tidak dibuat janji-janji, bahwa salah satu pihak akan memikul hutang lebih besar
daripada baginya dalam aktiva.
e. Tidak dibuat janji-janji, bahwa harta perkawinan akan diatur oleh Undang-Undang
Negasa Asing.
E. Batalnya Perkawinan
1. Dapat Dibatalkannya Perkawinan
Pada dasarnya suatu perkawinan dikatakan batal (dibatalkan), bilamana perkawinan itu tidak
memenuhi syarat-syarat sesudah diajukan ke pengadilan. Menurut hukum Islam suatu
perkawinan dapat batal (nieting) atau fasid (verneitgbaar). Suatu akad nikah dikatakan syah, jika
dalam akad nikah tersebut telah dipenuhi segala rukun dan syaratnya. Pasal 22 Undang-Undang
Perkawinan menyebutkan, bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam hukum Islam dikenal sebagai
larangan perkawinan (nikah) yang tidak boleh dilanggar, antara lian:
a. Adanya hubungan keluarga yang dekat.
b. Derajat calon suami adalah lebih rendah dari calon isteri.
c. Seorang wanita nikah lagi dalam masa tunggu.
d. Seorang wanita yang masih dalam keadaan kawin, kawin lagi dengan pria lain.
e. Seorang suami yang beristrikan empat orang kawin lagi dengan isteri yang ke lima.
2. Alasan Untuk Menuntut Batalnya Perkawinan Dan Orang-Orang Yang Berhak Menuntut
Batalnya Perkawinan
Undang-Undang menentukan alasan-alasan untuk menuntut batalnya perkawinan, antara lain:
• Adanya perkawinan rangkap.
• Tiadanya kata sepakat pihak-pihak atau salah satu pihak.
• Tiadanya kecakapan untuk memberikan kesepakatan.
• Belum mencapai usia untuk kawin.
• Keluarga sedarah atau semenda.
• Perkawinan antara mereka yang melakukan overspel.
• Perkawinan ketiga kalinya antara orang yang sama.
• Tidak izin yang disyaratkan.
• Ketidakwenangan pejabat catatan sipil.
• Perkawinan dilangsungkan walaupun ada pencegahan.
1. Isteri berzinah.
2. Isteri tidak dapat mempunyai anak.
3. Suami tidak dapat memenuhi kehidupan sebagai suami.
4. Suami meninggalkan isteri waktu yang lama.
5. Adanya kemuan dan permufakatan antar suami dan isteri.
6. Alasan-Alasan Putunya Perkawinan
Berdasarkan ketentuan perdata dari berbagai sudut pandang hokum, alas an yang
dijadikan untuk putusnya suatu ikatan perkawinan memiliki tendensi yang sama,
walaupun ada perbedaan secara konseptual.
a) Kematian
Kematian salah satu dari suami atau isteru secara otomatis menjadikan ikatan perkawinan
terputus. Yang dimaksud dengan kematian bukanlah kematian perdata (le mort civile),
akan tetapi kematian dari pada pribadi orangnya, bahkan yang dimaksud oleh Undang-
Undang kematian salah satu pihak, apakah si suami ataukah si isteri.
b) Perceraian
Menurut KUHPer, perceraian (echscheilding) adalah salah satu cara pembubaran perkawinan
karena suatu sebab tertentu, melalui keputusan hakim yang didaftarkan pada catatan sipil. Dalam
hal ini, perceraian tidak sama dengan pembubaran.
c) Putusnya Hakim
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa putunya perkawinan pada dasarnya dapat terjadi karena
tiga, yaitu; kematina, perceraian dan putusnya pengadilan. Berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang Perkawinan, perceraian meliputu cerai talak, dan cerai gugat. Cerai talak
digunakan khusus bagi seorang suami yang akan menceraikan isterinya, sedangkan cerai gugat
dapat digunakan baik oleh suami maupun isteri, putunya perkawinan tersebut karena berdasarkan
keputusan pengadilan.
Dalam penjelasan di atas pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan dan juga dalam Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 disebutkan bahwa alasan-alasan yang dpat dijadikan
dasar untuk perceraian adalah:
1. Salah satupihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan isteri sebaginya
yang sukat disembuhkan.
2. Salah satu meninggalnya yang lain semala 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain
dan tanpa alasan yang sah atau katena hal lain di luat kemauan.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
terhadap pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapatkan cacat menjalankan kewajiabn sebagai suami atau isteri.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadai perselisihan dan pertengakaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan hak sepenuhnya
kedua belah pihak.
2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
BAB VI
HUKUM HARTA KEKAYAAN DAN HUKUM BENDA
(VERMOGENSRECHT en ZAKENRECHT)
1. Klafikasi benda
Menurut system hukum perdata barat sebagaimana diatur dalam BW benda dapat dibeda-
bedakan sebagai berikut :
2. Benda tak bergerak dan benda bergerak
3. Benda yang musnah dan benda yang tetap ada .
4. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti
5. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi.
6. Benda yang diperdagangkan dan benda yang tidak dipedagangkan.
E. Benda yang dapat diganti dan benda yang tak dapat diganti.
Perbedaan antara benda yangdapat diganti dan benda yang tak dapat diganti ini tidak disebut
secara tegas dalam BW akan tetapi perbedaan itu ada dalam pengaturan perjanjian, misalnya
dalam pasal yang mengatur perjanjian penitipan barang.
Menurut pasal 1694 BW pengambilan barang oleh penerima titipan harus in natura artinya tidak
boleh digantidengan orang lain.
1. Benda yang dapat dibagi; adalah benda yang apabila wujud nya dibagi tidak mengakibatkan
hilang nya hakikat dari pada benda itu sendiri misalnya; beras,gula pasir, tepung dan lain-lain.
2. Benda yang tak dapat dibagi ;adalah benda yang apabila wujud nya dibagi mengakibatkan
hilang nya atau lenyapnya dari hakikat itu sendiri. Miasalnya; kuda, sapi, uang , dan segala
macam binatang.
C. HAK KEBENDAAN
1. Pengertian hak kebendaan .
Setiap manusia dapat memiliki atau menguasai dari pada benda-benda untuk kepentingan nya.
Menuru buku 11 BW (Pasal 499-1232) Tentang benda (van zaken) meletakan dasar peraturan-
peraturan hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara seseorang atau badan hukum
dengan benda .hubungan hukum dengan orang menimbulkan hak kebendaan (zakelijkreht) yaitu
hak yang memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang yang berhak menguasai Sesutu
benda dalam tangan siapapun juga benda itu berada. Hubungan ini menimbilkan hak kebenaan
yang bersifat mutlak (abolut) . Sedangkan buku 111 KUH perada( pasal 1233-1864) tentang
perikatan (van vabertenissen) meletakan dasar peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum
antara seseorang dengan seseorang (badan hukum) hubungan ini menimbulakan hak
perseorangan yang bersifat relative (nisbi)
Hukum romawi membedakan gugatan menjadi dua yaitu ; actions in rem yang dapat diajukan
setiap orang dan actions in personan yang hanya dapat diajukan terhadap orang-orang tertentu
saja.
Dalam hukum perdata dan perundang undangan membagi hak keperdataan tersebut dalam dua
hal yaitu hak mutlak dan hak nisbi .
a. Hak mutlak (absolut)
Adalah sesuatu hak yang berlaku dan harus dihormati oleh setiap orang .yang termasuk hak
mutlak antara lain;
Hak keperibadian
Hak-hak yang terletak dalam hukum keluaraga
Hak mutlak atas sesuatu benda atau hak kebendaan (zakelijikrecht)
b. Hak nisbi (relatif) atau hak perseorangan (personlijk)
Yaitu hak yang hanya dipertahankan terhadap orang tertentu saja (hak sesuatu tuntutan
/penagihan terhadap seseorang) hak ini timbul karena adanya hubungan perutangan sedangkan
peritangan timbul dari perjanjian undang-undang dan sebagainya..
- Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas bendanya sendiri misalnya ; hak milik atas
tanah – yang kesemuanya diatur dalam UUPA.
– Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas benda milik orang lain misalnya; Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Sewa, Hak Memungut Hasil, dan Pengelolaan Atas Tanah
yang ke semuanya diatur oleh UUPA.
b) Hak kebendaan yang memberikan jaminan (zakelijk zakerheidsrecht) yaitu hak yang memberi
kepada yang berhak(kreditor) hak yang didahulukan untuk mengambil pelunasan dari hasil
penjualan barang yang di bebani ; misalnya, hak tangungan atas tanah dan hak fidicia ;sedangkan
menurut KUHPer . misalnya hak gadai sebagai jaminan ialah benda bergerak , hipotek sebagai
jaminan ialah benda-benda tetap dan sebagainya.
Hak mutlak tehadap benda dalam lapangan perdataan , meliputi\;
• Terhadap benda-benda berwujud
• Terhadap benda-benda yang tak berwujud
1. HAK MILIK
Hak milik atas benda selain tanah diatur dalam buku II KUHPer . pasal 570-624 dan buku
III NBW ,sedangkan hak milik yang berkaitan dengan tanah diatur dalam UU NO 5 tahun
1960 pasal 20-27.
a. Hak milik atas benda selain tanah
Bedasarkan pasal 570 KUHPer menyatakan; hak milik adalah hak untuk menikmati
kegunaan kebendaan dengan leluasa , dan untuk membuat bebas terhadap kebendaan itu
dengan kedaulatan sepenuhnya ,asal tidak bertentangan dengan undang-undang
,ketertiban umum dan tidak menggangu hak orang lain .
Menurut Sri Soedewi, pengertian dapat menguasai benda itu sebebas-bebasnya memiliki
dua arti. Pertama, dalam arti dapat memperlainkan (vervrem den ) , membebani,
menyewakan dan lainnya . kedua, dalam arti dapat memetik buah nya memakinya
,merusaknya, memelihara dan lain-lai,. Suatu hak memiliki cirri-ciri antara lain ;
2. Merupakan hak pokok terhadap hak-hak kebendaan lain yang bersifat teebatas .
3. Merupakan hak yang paling sempura
4. Bersifat tetap
5. Merupakan inti dari hak-hak kebendaan yang lain .
6. Memiliki sifat elastis
Suatu hak milik dapat diperoleh melalui beberapa cara ;
• Pendakuan ( toeeigening)
• Perlekatan (natrekking)
• Daluarsa (verjaring)
• Perwarisan
• Penyerahan (lavering)
Selain hak-hak diatas dalam UU no 5 tahun 1960 dikenal pula hak membuka tanah dan hak
memungut hasil .di samping pula hak milik atas satuan rumah susun dan ulayat dalamhukum
adat ,yang kesemuanya merupakan satu kesatuan dalam kerangka hukum perdata di Indonesia.
BAB IV
HUKUM KELUARGA
E. KONSEP DASAR
3. Istilah Dan Definisi Hukum Keluarga
Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan Familierecht (Belanda) atau law of familie
(Inggris). Dalam definisi ini setidaknya memuat dua hal penting yaitu, kaidah hukum dan
subtansi (ruang lingkup) hukum. Kaidah hukum meliputi hukum keluarga tertulis dan hukum
keluarga tidak tertulis. Hukum keluarga tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang bersumber
dari Undang-undang, traktat, dan yurisprudensi. Hukum keluarga yang tidak tertulis adalah
kaidah-kaidah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat.
Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum keluarga pada dasarnya
merupakan keseluruhan kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
hubungan hukum yang timbul dari kaitan keluarga yang meliputi:
(7) Peraturan perkawinandengan segala hal yang lahir dari perkawinan;
(8) Peraturan perceraian;
(9) Peraturan kekuasaan orang tua;
(10) Peraturan kedudukan anak;
(11) Peraturan pengampunan; dan
(12) Peraturan perwalian.
4. Sumber dan Asas Hukum Keluarga
Pada dasarnya hukum keluarga itu dibagi 2 dapat dibedakan 2 macam, yaitu sumber hukum
keluarga tertulis dan sumber huku tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tidak tertulis
merupakan norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang serta ditaati oleh sebagian besar
masyarakat atau suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia. Sedangkan sumber huku keluarga
yang tertulis berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan perjanjian
(traktat).
Sumber hukum keluarga tertulis yang menjadi rujukan di Indonesia meliputi: (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (BW); (2) Peraturan Perkawinan Campuran, (3) Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon; (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954
tentang pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (beragama Islam); (5) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan; (6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (7) Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang izin
Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil; dan (8) Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 Tentang Komplikasi Hukum Islam di Indonesia yang berlaku bagi orang-orang yang
beragama Islam.
F. KEKUASAAN ORANG TUA
4. Hak dan Kewajiban antara Suami Istri
Hak dan Kewajiban yang harus dipikul oleh suam istri dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu:
(3) Sebagai akibat yang timbul dari hubungan suami istri
(4) Sebagai akibat yang timbul dari kekuasaan suami
G. PERWALIAN
3. Konsep Dasar Perwalian
Pada dasarnya setiap orang mempunyai ‘kekuasaan berhak’ karena ia merupakan subyek hukum.
Tetapi tidak setiap orang cakap melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Secara umum, orang-
orang yang disebut meerderjarigheid dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah,
kecuali jika Undang-Undang tidak menentukan demikian. Misalnya, seorang pria yang telah
genap mencapai umur 18 Tahun sudah dianggap cakap untuk melangsungkan perkawinan.
4. Asas Perwalian
Ketentuan tentang perwalian diatur dalam KUHPerdata Pasal 331-344 dan Pasal 50-54 UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perwalian adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak
yang belum dewasa jika anak itu tidak berada ditangan kekuasaan orang tua. Jadi bagi anak yang
orang tuanya telah bercerai atau jika salah satu dari mereka atau semua telah meninggal dunia,
berada dibawah perwalian.
e. Asas Tak Dapat Dibagi-bagi
Pada setiap perwalian hanya ada satu orang wali saja, hal ini yang dikenal dengan istilah asas tak
dapat dibagi-bagi. Asas ini memiliki perkecualian dalam dua hal, yaitu (1) jika perwalian
dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup terlama jika ia kawin lagi, suaminya menjadi
wali peserta; dan (2) jika dirasa perlu, dilakukan penunjukan seorang pelaksana pengurusan yang
mengurus harta kekayaan minderjarige diluar Indonesia berdasarkan pasal 361 BW.
f. Asas Kesepakatan dari Keluarganya
Menurut pasal 359 B.W menentukan bahwa pengadilan dapat menunjuk seorang wali bagi
semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua. Hakim akan mengangkat
seorang wali setelah mendengar pendapat atau memanggil keluarga sedarah atau semenda atau
periparan.
Ketentuan ini memiliki makna, bahwa keluarga harus diminta kesepakatannya mengenai
perwalian. Jika keluarga tidak ada, maka tidak diperlukan kesepakatan. Apabila sesudah ada
pemanggilan pihak keluarga tidak datang menghadap, maka dapat dituntut berdasarkan
ketentuan pasal 524 KUHPer.
g. Orang-orang yang Dipanggil menjadi Wali
Perwalian menurut Hukum Perdata terdiri dari tiga macam, yaitu:
(4) Perwalian menurut Undang-Undang, yaitu: perwalian dari orang tua yang masih hidup
setelah salah seorang meninggal dunia lebih dahulu.
(5) Perwalian karena wasiat orang tua sebelum ia meninggal, yaitu: perwalian yang ditunjuk
dengan surat wasiat oleh salah seorang dari orang tuanya.
(6) Perwalian yang ditentukan oleh hakim.
(7)
h. Berakhirnya Perwalian
Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
3) Dalam hubungan dengan keadaan anak
Dalam hubungan ini, perwalian akan berakhir karena: (1) si anak yang dibawah perwalian telah
dewasa; (2) si anak meninggal dunia; (3) timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya; dan (4)
pengesahan seorang anak luar kawin.
4) Dalam hubungan dengan tugas wali
Berkaitan dengan tugas wali, maka perwalian akan berakhir karena; (1) wali meninggal dunia;
(2) dibebaskan atau dipecat dari perwalian; dan (3) ada alasan pembebasan dan pemecatan dari
perwalian.
Pada setiap akhir perwaliannya,seorang wali wajib mengadakan perhitungan penutup.
Perhitungan ini dilakukan dalam hal; (1) perwalian yang sama sekali dihentikan, yaitu kepada
ahli warisnya; (2) perwalian dihentikan karena diri wali, yaitu kepada penggantinya; dan (3) ahli
waris yang sudah berada dibawah perwalian , kembali lagi berada dibawah kekuasaan orang tua
yaitu kepada bapak atu ibu itu.
H. PENGAMPUAN
4. Konsep Dasar Pengampunan
Istilah pengampunan berasal dari Bahasa Belanda curatele, yang dalam Bahasa Inggris disebut
custody atau interdiction (Perancis). Pengampunan pada hakikatnya merupakan bentuk khusus
dari pada perwalian, yaitu diperuntukan bagi orang dewasa tetapi berhubung dengan suatu hal ia
tidak dapat bertindak dengan leluasa.
Dapat disimpulkan bahwa persamaan antara kekuasaan orangtua, perwalian dan pengampun
adalah kesemuanya mengawasi dan menyelenggarakan hubungn hukum orang-orang yang
dinyatakan tidak cakap bertindak.
5. Alasan Pengampunan
Undang-undang menyebutkan tiga alasan untuk pengampunan, yaitu karena: (1) keborosan; (2)
Lemah akal budinya misalnya, imbicil atau; dan (3) Kekurangan daya berpikir, misalnya sakit
ingatan, dungu, dan dungu disertai sering mengamuk. Orang yan telah dewasa tetapi sakit
ingatan, pemboros, lemah daya atau tidak sanggup mengurus kepentingannya sendiri dengan
semestinya, disebabkan kelakuan buruk diluar batas atau mengganggu keamanan, memerlukan
pengampunan. Oleh sebab itu diperlukan adanya pengampun (curator).
Sesuai dengan pasal 436 B.W., menetapkan bahwa yang berwenang menetapkan pengampunan,
ialah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman orang yang berada
hukumnya meliputi tempat kediaman orang ynag berada didaerah pengampunan.
Penetapan dibawah pengampunan dapat dimintakan suami atau istri, keluarga sedarah,
kejaksaan, dan dalam lemah daya hanya boleh atas permintaan yang berkepentingan saja. Orang
yang di bawah pengampunan disebut curandus; dan akibatnya ia dinyatakan tidak cakap
bertindak
6. Jabatan Pengampu dan Berakhirnya Pengampunan
Seorang currandus yang mempunyai istri atau suami, maka istri atau suaminyalah yang diangkat
sebagai curator, kecuali ada alasan-alasan penting yang menyebabkan bahwa seyogyanya orang
lainlah yang diangkat sebagai cirator. Pengampunan berakhir apabila alasan-alasan itu sudah
tidak ada lagi. Tentang hubungan hukum antara kuradus dan kurator, tentang syarat-syarat timbul
dan hilangnya pengampunan dan sebagainya itu diatur dalam peraturan tentang pengampunan
(curtele), antara lain:
(3) Secara absolut; crandus meninggal atau adanya putusan pengadilan yang menyatakan sebab-
sebab dan alasan-alasan dibawah pengampunan yang telah dihapus.
(4) Secara relatif ; curator meninggal, curator dipecat, atau suami diangkat sebagai curator yang
dahulunya berstatus sebagai curandus.
Dengan berakhirnya pengampunan, yang berarti berakhirnya tugas dan kewajiban curator, hal ini
membawa serta berakhirnya tugas curator sebagai pengampu pengawas.
Menurut ketentuan pasal 141 B.W bahwa berakhirnya pengampunan harus diumumkan sesuai
dengan formalitas-formalitas yang harus dipenuhi seperti pada waktu permulaan pengampunan.
Di samping itu bahwa ketentuan-ketentuan berakhirnya perwalian seluruhnya amutatis mutandis
berlaku pula berakhirnya pengampunan.
BAB VIII
1. Istilah Perikatan
Istilah ‘perikatan’ berasal dari bahasa Belanda ‘Verbintenis’. Subekti dan Tjiptosudibio,
menggunakan istilah perikatan untuk Verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst.. Utrecht,
dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah Perutangan untuk
Vebertenis dan perjanjian untuk Overeekomst. Sedangkan Achmad Ichsan, menterjemahkan
verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst untuk persetujuan.
Dengan demikian, verbintenis ini dikenal memiliki tiga istilah di Indonesia yaitu (1) Perikatan;
(2)Perutangan; dan (3) Perjanjian. Sedangkan untuk overeenkomst dipakai untuk dua istilah yaitu
perjanjian dan persetujuan.
Secara terminologi, verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat. Dengan
demikian verbintenis menunjuk kepada adanya ’ikatan’ atau ’hubungan’.
1. Definisi Perikatan
Hukum perikatan diatur dalam Bab III KUH Perdata. Namun demikian dalam Bab III KUH
Perdata tersebut tidak ada satu pasalpun yang merumuskan makna tentang perikatan. Menurut
Subekti, perkataan ‘perikatan’ dalam buku III KUH Perdata mempunyai arti yang lebih luas dari
perkataan ‘perjanjian’,sebab dalam buku III itu diatur juga perihal hubungan hokum yang sama
sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang
timbul dari perbuatan yang melanggar hokum ( onrechtamatige daad ) dan perihal perikatan yang
timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (
zaakwaarneming ). Tetapi sebagian besar dari buku III ditujukan pada perikatan yang timbul dari
persetujuan atau perjanjian.
Dalam Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, perikatan diartikan sebagai hubungan hukum yang
terjadi di antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan,
dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
Hukum Islam memiliki istilah sendiri tentang perikatan, yaitu ’aqdun atau akad. Adapun akad
sendiri mempunyai beberapa pengertian. Menurut pendapat para ulama Fiqh, bahwa akad adalah
sesuatu yang, dengannya akan sempurna perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan
kata atau yang lain, dan kemudian karenanya timbul ketentuan/kepastian pada dua sisinya.
1. Unsur-unsur Perikatan
Menurut Salim H,S bahwa pada suatu perikatan terdapat beberapa unsur pokok, antara
lain :
b. Kekayaan
Untuk menilai suatu hubungan hukum perikatan atau bukan, maka hukum mempunyai ukuran-
ukuran ( kriteria ) tertentu. Yang dimaksud kriteria perikatan adalah ukuran-ukuran yang
dipergunakan terhadap sesuatu hubungan hukum sehingga hubungan hukum itu dapat disebutkan
suatu perikatan.
c. Pihak-pihak
Para pihak pada suatu perikatan disebut dengan subjek perikatan. Apabila hubungan hukum pada
suatu perikatan dijajaki, maka hubungan hukum itu harus terjadi antara 2 ( dua ) orang atau lebih.
Pertama, pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang akitf atau pihak yang berpiutang yaitu
kreditor. Kedua, pihak yang berkewajiban memenuhi atas prestasi, pihak yang pasif atau yang
berhutang disebut debitor.
Di dalam perikatan pihak-pihak kreditor dan debitor dapat diganti. Penggantian debitor harus
diketahui atau persetujuan kreditor, sedangkan penggantian kreditor dapat terjadi secara sepihak.
Bahkan hal-hal tertentu, pada saat suatu perikatan lahir antara pihak-pihak , secara apriori
disetujui hakikat penggantian kreditor itu.
Pada setiap perikatan sekurang-kurangnya harus 1 ( satu ) orang kreditor dan sekurang-
kurangnya 1 ( satu ) orang debitor. Hal ini tidak menutup kemungkinan dalam suatu perikatan itu
terdapat beberapa orang kreditor dan beberapa orang debitor.
1. Prestasi
Pasal 1234 KUH Perdata, dinyatakan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka prestasi itu dapat dibedakan atas :
Memberikan sesuatu
Berbuat sesuatu
Tidak berbuat sesuatu
Menurut Hukum Islam, bahwa yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu akad
adalah dua unsur yaitu Ijab dan qabul. Artinya hanya karena ijab saja atau hanya karena
unsur qabul saja, aqad tidak akan pernah terwujud. Sementara hal lainnya ( semisal
subjek dan objek akad ) merupakan konsekuensi logis dari terwujudnya suatu ijab atau
qabul, bukan rukun yang berdiri sendiri menjadi sebab terwujudnya akad itu. Berbeda
dengan hal itu, menurut Jumhur, kebanyakan ulama selain mazhab hanafi menyatakan
bahwa rukun akad ada 5 ( lima ), hal ini untuk sempuranya akad dan dipandang sah
sebagai peristiwa hukum.
Kelima rukun akad tersebut antara lain :
1 ). ’Aqidun atau pelaku akad, baik hanya seorang atau sejumlah tertentu, sepihak atau
beberapa pihak.
2 ). Mahallul ’aqdi atau ma’qud ’alaih, yaitu benda yang menjadi objek. Misalnya, barang
dalam jual beli.
3 ). Maudu’ul ’aqdi, yaitu tujuan atau maksud pokok dari adanya akad.
4 ). Sigatul aqdi ( Ijab ), yaitu perkataan yang menunjukkan kehendak mengenai akad
diungkapkan.
5 ). Qabul, yaitu perkataan yang menunjukkan persetujuan terhadap kehendak akad
diungkapkan sebagai jawaban ijab.
Adapun untuk sahnya persetujuan-persetujuan perikatan diperlukan empat syarat, antara lain :
Adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya( toesteming )
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Adanya objek atau suatu hal tertentu dalam perjanjian ( onderwerp der overeenskomst )
Adanya suatu seab ( causa ) yang halal ( geoorloofdeoorzaak )
Subjek perikatan adalah para pihak pada suatu perikatan yaitu kreditor yang berhak dan debitor
yang berkewajiban atas prestasi. Pada debitor terdapat dua unsur, antara lain schuld yaitu utang
debitor kepada kreditor dan haftung yaitu harta kekayaan debitor yang dipertanggungjawabkan
bagi pelunasan utang.
Apabila seorang debitor tidak memenuhi atau tidak menepati perikatan disebut cedera janji (
wanprestasi ). Sebelum dinyatakan cedera janji terlebih dahulu harus dilakukan somasi (
ingebrekestelling ) yaitu suatu peringatan kepad debitor agar memenuhi kewajibannya.
1 ). Wanprestasi
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang
ditentukan dalam perjanjuan yang dibuat antara kreditor dengan debitor. Ada empat akibat
adanya wanprestasi :
Perikatan tetap
Debitor harus membayar ganti rugi kepada kreditor ( pasal 1243 BW )
Beban resiko beralih untuk kerugian debitor jika halangan itu timbul setelah debitor
wanprestasi
Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditor dapat membebaskan diri dari
kewajibannya ( pasal 1266 )
2 ). Somasi ( ingebrekestilling )
Somasi adalah teguran dari si kreditor kepad debitor agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan
isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya. Ketentuan tentang somasi diatur dalam
Pasal 1238 dan Pasal 1243 KUH Perdata
Kedua, Perikatan yang dapat dibagi ( deelbare verbintenissen ) adalah perikatan yang menurut
sifat dan maksudnya dapat dibagi-bagi dalam memenuhi prestasinya,misal perjanjian
mencangkul dan lain-lain. Adapun perikatan ang tidak dapat dibagi (ondeelbare verbintenissein )
adalah perikatan yang menurut sifat dan maksudnya tak dapat dibagi-bagi dalam melaksanakam
prestasinya,misalnya perjanjian menyanyi.
Ketiga, Perikatan Pokok ( Principale atau Hoofdverbintenissen ) yaitu perikatan yang dapat
berdiri sendiri tidak bergantung pada perikatan-perikatan lainnya,misal jual beli,sewa
menyewa,dll. Dan Perikatan Tambahan adalah perikatan yang merupakan tambaham dari
perikatan lainnya dan tidak dapat berdiri sendiri, misalnya perjanjian gadai.
Keempat, Perikatan Spesifik ( spesifike verbintenissen ) adalah perikatan yang secara khusus
ditetapkan macamnya prestasi. Dan Perikatan Generik ( Genericke verbintenissen ) yaitu
perikatan yang hanya ditentukan menurut jenisnya.
Kelima, Perikatan Sederhana ( Eenvoudige Verbintenissen ) adalah perikatan yang hanya ada
satu prestasi yang harus dipenuhi oleh debitor. Dan Perikatan Jamak ( meervoudige
verbintenissen ) yaitu perikatan yang pemenuhannya oleh debitor lebih dari satu macam prestasi.
Perikatan Jamak dibagi menjadi antara lain :
Perikatan Bersusun ( cumulative verbintenissen )
Perikatan Boleh Pilih ( alternative verbintenissen )
Perikatan Fakultatif ( facultatieve verbintenissen )
Keenam, Perikatan Murni ( zuivere verbintenissen ) adalah perikatan yang prestasinya seketika
itu juga wajib dipenuhi. Sedangkan Perikatan Bersyarat ( voorwaardelijk verbintenissen ) adalah
perikatan yang pemenuhannya oleh debitor, digantungkan keadaan sesuatu syarat, yaitu keadaan-
keadaan yang akan datang atau yang pasti terjadi. Perikatan Bersyarat, meliputi antara lain :
– Perikatan dengan penentuan waktu
– Perikatan dengan Syarat yang Menangguhkan
– Perikatan dengan Syarat Batal
Menurut ketentuan pasal 1253, perikatan bersyarat dapat digolongkan menjadi dua yaitu :
a. Perikatan Bersyaratt Yang Menangguhkan
Pasal 1253 KUH Perdata menyebutkan :
Suatu perikatan dengan syarat tangguh adalah suatu yang bergantung pada suatu peristiwa yang
masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, atau yang bergantung pada suatu
hak yang sudah terjadi tidak diketahui oleh kedua belah pihak.
b. Perikatan Bersyarat yang Menghapuskan
Perikatan bersyarat yang menghapus diatur dalam pasal 1265 KUH Perdata :
Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatanm dan membawa
segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan.
Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan;hanyalah mewajibkan si berpiutang
mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.
- untuk memberikan suatu kepastian atas pelaksanaan isi perjanjian seperti yang telah ditetapkan
dalam perjanjian yang dibuat para pihak.
– Sebagai usaha untuk menetapkan jumlah ganti kerugian jika betul betul terjadi wanprestasi
b. Jenis Perjanjian
Dalam ilmu pengetahuan Hukum Perdata, suatu perjanjian memiliki 14 jenis, diantaranya adalah
:
- isi perjanjian
– kepatutan
– kebiasaan
– undang – undang
b. Hapusnya Perjanjian
Suatu perjanjian akan berakhir ( hapus ) apabila :
1. telah lampau waktunya ( kadaluwarsa )
2. telah tercapai tujuannya
3. dicabut kembali
4. diputuskan hakim
5.
C. PERIKATAN YANG TIMBUL KARENA UNDANG –UNDANG
Perikatan yang besumber pada undang- undaang meliputi : (1) perikatan yang lahir dari undang-
undang saja (2) perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia
DAFTAR PUSTAKA