Anda di halaman 1dari 13

PENDIDIKAN PANCASILA

MAHKAMAH KONSTITUSI

NAMA ANGGOTA:

ARIS APRIANTO C. (1507112015)

DINI AVRILIANI (1507113562)

LAISA HUSRAINI (1507113888)

SEPTIAN (1507115183)

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA S1 KELAS A

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS RIAU

2017
KATA PANGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatnya penyusunan makalah yang berjudul “Mahkamah Konstitusi” dapat
diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan
makalah ini banyak mengalami kendala, namun kendala-kendala tersebut dapat
diatasi.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman masyarkat
tentang MK atau Mahkamah Kostitusi khususnya penulis selaku mahasiswa.
Penulis menyadari betul sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis berharap saran
dan kritik demi perbaikan-perbaikan lebih lanjut. Penulis berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Pekanbaru, November 2017


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Paradigma susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis
sejak reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002. Karena berbagai
alasan dan kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru dibentuk, meskipun ada juga
lembaga yang dihapuskan. Salah satu lembaga yang dibentuk adalah Mahkamah
Konstitusi (MK). MK didesain menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap
Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya. Dalam menjalankan tugas
konstitusionalnya, MK berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu
tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi
demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Visi tersebut
menjadi pedoman bagi MK dalam menjalankan kekuasaan kehakiman secara
merdeka dan bertanggung jawab sesuai amanat konstitusi.
Kiprah MK sejak kehadirannya enam tahun silam banyak dinilai cukup
signifikan terutama dalam kontribusi menjaga hukum dan mengembangkan
demokrasi. Namun usianya yang masih belia, membuat MK belum begitu dikenal
oleh khalayak luas. Berbagai hal, istilah dan konsep yang terkait dengan MK dan
segenap kewenangannya belum begitu dipahami oleh masyarakat. Sejalan dengan
misi MK untuk membangun konstitusionalitas Indonesia serta budaya sadar
berkonstitusi maka upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai
kedudukan, fungsi dan peran MK terus menerus dilakukan.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana latar belakang berdirinya Mahkamah Konstitusi?
2. Apa saja tugas pokok Mahkamah Konstitusi?
3. Apa saja wewenang Mahkamah Konstitusi ?
4. Urgensi Mahkamah Konstitusi dalam penyelenggaraan negara?
5. Seperti apa struktur organisasi utama di Mahkamah Konstitusi?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Latar Belakang Berdirinya Mahkamah Konstitusi


Membicarakan Mahkamah Konstitusi di Indonesia berarti tidak dapat
lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang
sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga Mahkamah Konstitusi.
Empat momen dari jelajah historis yang patut dicermati antara lain kasus madison
vs Marbury di Amerika Serikat, ide Hans Kelsen di Australia, gagasan
Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR dalam
sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945.

Sejarah judicial review muncul pertama kali di amerika serikat melalui


putusan supreme court amerika serikat dalam perkara merbury vs madison pada
1803. Meskipun undang-undang Amerika Serikat tidak mencantumkan judicial
review, supreme court membuat putusan yang mengejutkan chief justice john
marsal didukung empat hakim agung lainya menyatakan bahwa pengadilan
berwenang membatalkan undang-undang yang berwenang dengan konstitusi.
Keberanian john marshall dalam kasus itu menjadikan preseden dalam sejarah
amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum
dibanyak negara. Semenjak itulah banyak undang-undang federal maupun
undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi
oleh supreme court.

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pertama kali diperkenalkan oleh


Hans Kelsen (1881-1973), pakar konstitusi dan guru besar hukum public dan
administrasi unifersity of Vienna. Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan
konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ
jika selain badan legislative diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk
hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut
organ ini produk badan legislative tersebut tidak konstitusional. Untuk
kepentingan itu, kata kelsen, perlu dibentuk organ pengadilan khusus berupa
constitutional court atau pengawasan konstitusionalitas undang-undang yang
dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa.

Pemikiran kelsen mendorong vervassungs gericht soft di australia yang


berdiri sendiri diluar mahakamah agung, inilah mahkamah konstitusi pertama.
Momen yang perlu dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI,
Muhammad Yamin membahas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa
dibidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil atau
constitutional disputes gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya
diberlakukan suatu uji materiil terhadap undang-undang, Yamin mengusulkan
perlunya mahkamah agung diberi wewenang untuk membanding undang-undang
namun usulan yamin disanggah oleh supomo dengan empat alasan bahwa konsep
dasar yang dianut dalam undang-undang dasar yang tengah disusun bukan konsep
pemisahan kekuasaan melainkan konsep pembagian kekuasaan selain itu, tugas
hakim adalah menerapkan undang-undang bukan menguji undang-undang,
kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan
dengan konsep supremasi majelis permusyawaratan rakyat dan sebagai negara
yang baru merdeka belum memiliki yang ahli-ahli mengenai hal tersebut serta
pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya ide itu urung di adopsi dalam
UUD 1945.

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari


perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada
abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari
otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi
diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju
rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah Mahkamah Konstitusi dibentuk.
Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi,
selain membuat konstitusi bernilai semantik, juga mengarah pada pengingkaran
terhadap prinsip kedaulatan rakyat.

Dalam perkembangannya, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi


dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional
warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest
norm, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada
dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam
konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the
sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat
statement kerelaan pemberian sebagian hak- haknya kepada negara. Oleh karena
itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik
oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap
konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.

2.2. Tugas Pokok Mahkamah Konstitusi

Ada empat tugas pokok dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi yang
telah ditentukan dalam UUD 1945 perubahan ketiga Pasal 24C ayat (1) yaitu:

1. Menguji (judicial review) undang-undang terhadap UUD.


2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD.
3. Memutuskan pembubaran partai politik.
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewajiban
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran hukum oleh presiden dan wakil presiden menurut UUD.
Dengan demikian ada empat tugas poko dan satu kewajiban konstitusional
bagi Mahkamah Konstitusi. Pengadilan yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi merupakan pengadilan tinggal pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final. Artinya, tidak ada upaya hukum lain atas putusan Mahkamah
Konstitusi, seperti yang terjadi pada pengadilan lain.

2.3. Wewenang Mahkamah Konstitusi

Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusionalitas yang


dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah fungsi peradilan untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Fungsi Mahkamah Konstitusi dapat ditelusuri dari latar
belakang pembentukannya yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi
Didalam penjelasan umum undang-undang Mahkamah Konstitusi
dijelaskan bahwa tugas dan fungsinya adalah menangani perkara ketatanegaraan
atau perkara konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara tanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita
demokrasi. Selain itu keberadaan Mahkamah Konstitusi juga dimaksudkan
sebagai koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan.

Fungsi tersebut dijalankan melalui wewenang yang dimiliki yaitu


memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu berdasarkan pertimbangan
konstitusional. Berdasarkan latar belakang ini setidaknya terdapat lima fungsi
yang melekat keberadaan Mahkamah Konstitusi dan dilaksanakan melalui
wewenangnya yaitu sebagai pengawal konstitusi, penafsir final konstitusi,
pelindung hakasasi manusia, pelindung hak konstitusional warga negara, dan
pelindung demokrasi.

Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi telah


ditentukan dalam pasal 24 C UUD 1945 pada ayat (1) dan (2), yaitu :

1. Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945

Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi


kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya
mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar
konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-
undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di
atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak
dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review. Jika
undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak selaras
dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Melalui kewenangan judicial review, Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga
negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari
koridor konstitusi. Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU
Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60sengketa
kewenangan konstitusional antar lembaga negara
2. Sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara

Sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan


pendapat yang disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan
yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut. Hal ini mungkin
terjadi mengingat sistem relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya
menganut prinsip check and balances, yang berarti sederajat tetapi saling
mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam
melaksanakan kewenangan masing-masing timbul kemungkinan terjadinya
perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD. Mahkamah Konstitusi dalam hal
ini, akan menjadi wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan
mengenai ini telah diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 24
Tahun 2003.

3. Pembubaran Partai Politik

Kewenangan ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak


pada otoritarianisme dan arogansi, tidak demokratis, dan berujung pada
pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun. Mekanisme yang ketat
dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat
demokrasi. Partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi jika
terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatannya bertentangan dengan
UUD 1945. Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 UU Nomor 24 Tahun 2003 telah
mengatur tentang kewenangan ini.

4. Perselisihan hasil Pemilu

Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta


Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.
Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi:

a. Terpilihnya anggota DPD,


b. Penetapan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan
presiden dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden
c. Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan.
Hal ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal
79.

5. Pendapat DPR mengenai dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau


Wakil Presiden.
Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada
dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya habis,
ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip
supremacy of law dan equality before law, presiden dapat diberhentikan apabila
terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam
UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-
prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang
menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan.
Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi. Dalam hal
ini hanya DPR yang dapat mengajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun dalam
pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam ini harus melalui proses
pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah
seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-
kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.

2.4. Urgensi Mahkamah Konstitusi Dalam Penyelenggaraan Negara

Demokrasi Indonesia yang akan ditata ialah demokrasi yang dibingkai


dengan norma-norma kostitusi yang terdapat daalm UUD 1945. Demokrasi
Indonesia tidak identik dengan vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara
Tuhan) dan juga demokrasi Indonesia tidak sinonim dengan suara mayoritas
adalah suatu kebenaran. Ukuran kebenaran dalam demokrasi Indonesia adalah
norma hukum konstitusi. Oleh karena itu agar derap demokrasi dapat berupa
sesuai sumbu kostitusi, maka demokrasi itu harus dijaga. Di sinilah posisi
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi harus senantiasa menjaga
demokrasi sebagai pelaksana dari norma kostitusi.
Pelaksanaan demokrasi konstitusi terlihat dalam perwujudan antara lain:
1. Pelaksanaan pemilihan umum (pemilihan umum DPR, DPD, DPRD, Presiden,
Wakil Presiden dan Kepala Pemerintahan Daerah).
2. Pelaksanaan norma-norma konstitusi dalam bentuk undang-undang (UU).
3. Pelaksanaan kewenangan lembaga Negara.

Dalam penyelengaraan pemilihan umum akan muncul sengketa hasil


perhitungan perolehan suara dalam pelaksanaan norma undang-undang muncul
pengujian undang-undang terhadap UUD dan dalam pelaksanaan kewenangan
dapat muncul sengketa kewenangan antar lembaga negara. Norma undang-undang
yang telah disahkan oleh DPR dan Presiden secara demokratis apabila ternyata
prosedur pembentukannya atau substansi norma tersebut bertentangan dengan
konstitusi, maka oleh Mahkamah Konstitusi norma undang-undang tersebut dapat
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, alias dibatalkan. Jadi,
dalam demokrasi tidak dibenarkan muncul kesepakatan yang bertentangan dengan
konstitusi.
Demikian halnya sebuah kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga
Negara tidak boleh digunakan seenaknya, sebab jika kewenangan tersebut
menabrak rambu konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi berwenang
mencabutnya, tentu saja setelah melalui proses persidangan Mahkamah
Konstitusi. Pemilihan umum sebagai perwujudan system demokrasi konstitusional
dalam praktiknya sering kali menimnulkan perselisihan hasil perhitungan pemilu
antara KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum dengan peserta pemilu.
Apabila terjadi perselisihan demikian, maka Mahkamah Konstitusilah yang akan
memutus perhitungan yang benar.
Selain itu Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan membubarkan partai
politik atas permohonan pemerintah, serta Mahkamah Konstitusi wajib
memutuskan pendapat DPR yang menganggap presiden atau wakil presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden (Pasal 7A
UUD 1945).

2.5. Struktur Organisasi Utama di Mahkamah Konstitusi

Organisasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terdiri atas tiga


komponen yaitu:
1. Para hakim
Para hakim konstitusi yang terdiri atas 9 (sembilan) orang sarjana hukum
yang mempunyai kualifikasi negarawan yang menguasai konstitusi ditambah
dengan syarat-syarat kualitatif lainnya dengan masa pengabdian untuk lima tahun
dan sesudahnya hanya dapat dipilih kembali hanya untuk satu periode lima tahun
berikut. Dari antara para hakim itu dipilih dari dan oleh mereka sendiri seorang
Ketua dan seorang Wakil Ketua, masing-masing untuk masa jabatan 3 tahun.
Untuk menjamin independensi dan imparsialitas kinerjanya, kesembilan hakim itu
ditentukan oleh tiga lembaga yang berbeda, yaitu 3 orang sipilih oleh DPR, 3
orang ditunjuk oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang lainnya ditentukan oleh
Presiden. Setelah terpilih, kesembilan orang tersebut ditetapkan sebagai hakim
konstitusi dengan Keputusan Presiden. Mekanisme rekruitmen yang demikian itu
dimaksudkan untuk menjamin agar kesembilan hakim Mahkamah Konstitusi itu
benar-benar tidak terikat hanya kepada salah satu lembaga Presiden, DPR ataupun
MA. Dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Konstitusi diharapkan benar-benar
dapat bersifat independen dan imparsial.

Kesembilan orang hakim itu bahkan dapat dipandang sebagai sembilan


institusi yang berdiri sendiri secara otonom mencerminkan 9 pilar atau 9 pintu
kebenaran dan keadilan. Dalam bekerja, kesembilan orang itu bahkan diharapkan
dapat mencerminkan atau mewakili ragam pandangan masyarakat luas akan rasa
keadilan. Jikalau dalam masyarakat terdapat 9 aliran pemikiran tentang keadilan,
maka kesembilan orang hakim konstitusi itu hendaklah mencerminkan kesembilan
aliran pemikiran tersebut. Keadilan dan kebenaran konstitusional justru terletak
dalam proses perdebatan dan bahkan pertarungan kepentingan untuk mencapai
putusan akhir yang akan dijatukah dalam persidangan Mahkamah Konstitusi.
Karena itu, persidangan Mahkamah Konstitusi selalu harus dihadiri 9 orang
dengan pengecualian jika ada yang berhalangan, maka jumlah hakim yang
bersidang dipersyaratkan sekurang-kurangnya 7 orang. Karena itu pula, dapat
dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi hanya mengenal satu majelis hakim, tidak
seperti di Mahkamah Agung.
2. Sekretariat jenderal
Sekretariat jenderal Mahkamah Konstitusi yang menurut ketentuan UU
No. 24 Tahun 2003 dipisahkan dari organisasi kepaniteraan. Pasal 7 UU ini
menyatakan: “Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah
Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan. Penjelasan
pasal ini menegaskan bahwa Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis
administratif.
3. Kepaniteraan.
Kepaniteraan menjalankan tugas teknis administrasi justisial. Pembedaan
dan pemisahan ini tidak lain dimaksudkan untuk menjamin agar administrasi
peradilan atau administrasi justisial di bawah kepaniteraan tidak tercampur aduk
dengan administrasi non justisial yang menjadi tanggungjawab sekretariat
jenderal. Baik sekretariat jenderal maupun kepaniteraan masing-masing dipimpin
oleh seorang pejabat tinggi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dengan
demikian, Sekretaris Jenderal dan Panitera sama-sama mempunyai kedudukan
sebagai Pejabat Eselon 1a. Panitera dan Panitera Pengganti memang merupakan
jabatan fungsional, bukan struktural. Akan tetapi, khusus untuk Panitera diangkat
dengan Keputusan Presiden dan karena itu disetarakan dengan Pejabat Struktural
Eselon 1a. Untuk menjamin kemandirian MK di bidang finansial, maka UU
No.24/2003 juga menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai
mata anggaran tersendiri dalam APBN.
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:


1. Mahkamah konstitusi di bentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai
hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Karena itu
Mahkamah konstitusi biasa disebut sebagai the guardian of the
constitution seperti sebutan yang biasa dinisbatkan kepada Mahkamah Agung
di Amerika Serikat.
2. Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi MK Republik
Indonesia dilengkapi dengan lima kewenangan atau sering disebut empat
kewenangan ditambah satu kewajiban,yaitu:
a. Menguji undang-undang terhadap UUD;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
c. Memutus pembubaran partai politik;
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
e. Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3. Mengenai struktur organisasi MK, Dalam Pasal 24 C ayat (3) UUD 1945
ditentukan bahwa MK mempunyai Sembilan orang hakim konstitusimyang
ditetapkan oleh presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) dan tiga
orang oleh Presiden. Selain itu, untuk memperlancar tugas dan kerja Setjen
dan Kepaniteraan, susunan organisasi MKRI dibuat terdiri dari empat biro dan
satu pusat dengan masing-masing tugas pokok dan fungsinya.

Anda mungkin juga menyukai