Anda di halaman 1dari 25

HALAMAN JUDUL

MAKALAH ETIKA PROFESI


PENGAMATAN TERHADAP PROFESI HAKIM

Oleh:
1. Amin Amaludin 3163111000
2. Mutiara Jenny Clarette 3163111098
3. Rinaldhi Harif Punanditya 3153111003
4. Zedhio Pratama Zulzaq 3153111012
5. Arief Laksono Putra 3153111024
6. Astrianto Widura 3153111059

PROGRAM STUDI D3 SISTEM INFORMASI


FAKULTAS BISNIS DAN TEKNOLOGI INFORMATIKA
UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA
2018
ALAMAN PENGSAHAN

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tentang” PENGAMATAN TERHADAP PROFESI
HAKIM ".
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang” PENGAMATAN
TERHADAP PROFESI HAKIM” ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi
terhadap pembaca.

Yogyakarta , 04 Maret 2018

Penulis ,
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... 1


HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... 2
ABSTRAK .................................................................................................... 3
DAFTAR ISI ................................................................................................. 4
BAB I Pendahuluan ..................................................................................... 5
1.1 . Latar Belakang ............................................................................ 5
1.2 . Rumusan Masalah ....................................................................... 6
1.3 . Batasan Masalah .......................................................................... 6
1.4 . Tujuan Peneitian.......................................................................... 6
1.5 . Manfaat Penelitian....................................................................... 7
BAB II Kajian Hasil Penelitian................................................................... 8
BAB III Metode Penelitian ........................................................................ 11
3.1 . Obyek Penelitian ....................................................................... 11
3.2 . Metode Penelitian ...................................................................... 11
BAB IV Jadwal Penelitian ......................................................................... 13
Daftar Pustaka ............................................................................................ 14
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan
tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum pula dalam
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yang diterapkan di
negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang oleh lembaga-
lembaga yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab IX UUD 1945 menyebutkan tiga lembaga
negara yang termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah
Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun,
menurut Pasal 24 ayat (2), hanya MA (dan badan peradilan di bawahnya) dan MK
yang merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak
memiliki kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai lembaga
ekstra-yudisial.
Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu
unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya
pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak),
dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena
itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih
lagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim
dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga
negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.
Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui
putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah "Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal ini menegaskan bahwa kewajiban
menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia,
tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.[1]
Setiap profesi di berbagai bidang memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk
dijadikan pedoman dalam kehidupan profesi yang bersangkutan. Demikian halnya
dengan profesi hakim di Indonesia, di mana terdapat suatu kode etik yang
didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat
universal bagi hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi
hakim untuk mengatur tata tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan
profesinya.
Kode Etik Profesi Hakim Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI) pada Kongres III IKAHI tanggal 5-7 April 1965.[2] Seiring
berjalannya waktu, perkembangan berbagai hal seputar IKAHI sebagai wadah
profesi hakim dan Kode Etik Profesi Hakim Indonesia terus berlangsung. Dan yang
paling terkini adalah ketika MA menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim bersamaan
dengan disosialisasikannya Pedoman Etika Perilaku Hakim yang disusun KY,
sehingga peristiwa ini menjadi bagian dari ketidaksepahaman antara MA dan KY.
Berkaitan dengan fenomena yang tengah berkembang di masyarakat seputar
konflik antara MA dan KY, Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) Sophian Marthabaya berpendapat bahwa suatu kode etik berlaku bagi
suatu profesi tertentu sehingga sebuah kode etik harus disusun oleh profesi yang
bersangkutan yang akan menjalankan kode etik tersebut. Alangkah janggalnya
apabila kode etik disusun oleh suatu institusi di luar profesi yang akan menjadikan
kode etik itu sebagai pedomannya. Idealnya, sebuah pedoman untuk melakukan
pekerjaan dibuat sendiri oleh pihak yang akan menjalankan pekerjaan tersebut.
Bagaimanapun, kode etik dibuat untuk mengatur perilaku dan sepak terjang
individu profesional dalam menjalankan profesinya.[3]
Penegakan supremasi hukum sebagai bagian dari agenda reformasi telah
menjadi komitmen pemerintah sejak masa keruntuhan rezim Orde Baru hingga saat
ini. Namun demikian, harapan pencari keadilan terhadap lembaga peradilan sebagai
benteng terakhir untuk memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat memuaskan
seluruh pihak. Masyarakat mengkritik bahwa lembaga peradilan belum seperti yang
diharapkan. Lambat menangani perkara, biaya yang mahal, administrasi yang
berbelit-belit, perbuatan dan tingkah laku pejabat peradilan yang dianggap tercela,
hingga dugaan adanya mafia peradilan (judicial corruption) menjadi alasan tidak
percayanya sebagian besar masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Seiring berjalannya pemerintahan sejak awal reformasi hingga saat ini,
publik sadar bahwa praktik penyalahgunaan wewenang di badan peradilan
cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan. Hal ini mengakibatkan
menurunnya kewibawaan dan kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat
dan dunia internasional. Keadaan badan peradilan yang demikian mendesak pihak-
pihak yang berwenang dalam menjalankan negara ini untuk melakukan upaya-
upaya luar biasa yang berorientasi kepada terciptanya badan peradilan dan hakim
yang dapat menjamin masyarakat memperoleh keadilan, dan diperlakukan secara
adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan.
Terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan
disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah tidak efektifnya pengawasan
internal yang diterapkan di badan peradilan selama ini. Dengan kata lain, tingginya
urgensi pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal
didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut. Menurut Mas Achmad
Santosa, lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain:[4]
a. Kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai.
b. Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan.
c. Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk
menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan
akses).
d. Semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan
penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya
untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi
dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang
buruk itu.
e. Tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak
hukum untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.

Hal-hal yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi


pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor
utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak
adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan untuk
menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim. Akibatnya, peluang
bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk
mendapat "pengampunan" dari pimpinan badan peradilan yang bersangkutan akan
semakin terbuka. Oleh karena itu, kehadiran suatu lembaga khusus yang
menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim dirasakan sangat
mendesak.

1.2 Identifikasi Masalah


Dari identifikasi masalah di atas, maka dapat diidentifikasi suatu masalah
sebagai berikut :
a. Seperti apa profil dari profesi hakim ?
b. Bagaimana bentuk organisasi kehakiman ?
c. Bagaimana bentuk tingkatan atau level dari hakim ?
d. Bagaimana Bentuk Sertifikasi hakim ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Profil Hakim


Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undangundang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP). Sedangkan istilah hakim
artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau Mahkamah; Hakim
juga berarti pengadilan, jika orang berkata “perkaranya telah diserahkan kepada
Hakim”. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselengaranya negara hukum Republik Indonesia (Pasal 24 UUD
1945 dan Pasal 1 UUD No.48/2009). Berhakim berarti minta diadili perkaranya;
menghakimi artinya berlaku sebagai hakim terhadap seseorang; kehakiman artinya
urusan hukum dan pengadilan, adakalanya istilah hakim dipakai terhadap seseorang
budiman, ahli, dan orang yang bijaksana. Hakim di dalam menjalankan tugas dan
fungsinya wajib menjaga kemandirian peradilan. Segala campur tangan dalam
urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali
dalam hal-hal sebagaimana dimaksud 14 dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 3 Undang-Undang No.48 Tahun
2009).

2.2 Organisasi Kehakiman


Dalam struktur organisasi kekuasaan kehakiman, terdapat beberapa fungsi
yang dilembagakan secara internal dan eksternal. Terkait dengan jabatan-jabatan
kehakiman itu, terdapat pula pejabat - pejabat hukum yaitu:
a. Pejabat penyidik
b. Pejabat penuntut umum
c. Advokat yang juga diakui sebagai penegak hukum.
Di lingkungan pejabat penyidik, terdapat:
a. Polisi
b. Jaksa
c. Penyidik komisi pemberantasan korupsi (kpk)
d. Penyidik pegawai negeri sipil, yang dewasa ini di indonesia berjumlah
kurang lebih 52 macam.

Mereka yang menjalankan fungsi penuntutan adalah: (i) jaksa penuntut


umum, dan (ii) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara itu, dalam
lingkungan internal organisasi pengadilan, dibedakan dengan tegas adanya tiga
jabatan yang bersifat fungsional, yaitu: (i) hakim; (ii) panitera; dan (iii) pegawai
admi nistrasi lainnya. Ketiganya perlu dibedakan dengan tegas, karena memiliki
kedudukan yang berbeda dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara.
Hakim adalah pejabat negara yang menjalankan kekuasaan negara di bidang
yudisial atau kehakiman. Sementara itu, panitera adalah pegawai negeri sipil yang
menyandang jabatan fungsional sebagai administratur perkara yang bekerja
berdasarkan sumpah jabatan untuk menjaga kerahasiaan setiap perkara. Sementara
itu, pegawai administrasi biasa adalah pegawai negeri sipil yang tunduk pada
ketentuan kepegawai - negerian pada umumnya.
Independensi hakim dalam menjalankan tugas kehakimannya pada
pokoknya terletak dalam diri setiap hakim itu sendiri. Hakim tidak bertanggung
jawab kepada Ketua Majelis Hakim, kepada Ketua Mahkamah Agung, ataupun
kepada Ketua Mahkamah Konstitusi. Hakim memutus berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, dan karena itu bertanggung jawab langsung kepada Tuhan Yang
Maha Esa, yang wajib diyakini dan diimani oleh setiap Hakim Indonesia sebagai
Tuhan Yang Maha Kuasa. Panitera sebagai pejabat fungsional di bidang
administrasi tunduk dan bertanggung jawab kepada Ketua Mahkamah, Ketua
Pengadilan, atau kepada Ketua Majelis Hakim dalam bidang administrasi perkara.
Akan tetapi, dari segi administrasi kepegawaian tunduk kepada Sekretaris
Mahkamah Agung atau Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu,
di lingkungan pengadilan, ada tiga pejabat yang memegang tampuk kepemimpinan,
yaitu: (i) Ketua pengadilan yang bersangkutan; (ii) Panitera; dan (iii) Sekretaris
yang kadang-kadang dirangkap oleh Panitera. Di lingkungan Mahkamah Konstitusi
dan demikian pula di Mahkamah Agung, ketiga jabatan ini dipisahkan secara tegas.
Pada Mahkamah Konstitusi, terdapat kedudukan Sekretaris Jenderal yang
bertanggung jawab di bidang administrasi umum dengan status sebagai Pejabat
Eselon IA, dan ada pula Panitera yang bertanggung jawab di bidang administrasi
peradilan dengan status sebagai Pejabat yang disetarakan dengan Eselon IA.
Dengan demikian, kedua pejabat penunjang ini tidak saling tumpang tindih
tanggung jawabnya dalam mendukung kelancaran pelaksanaan tugas hakim.
Pemisahan kedua jabatan administrasi penunjang ini jelas diatur dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.Dalam
perkembangan selanjutnya, pemisahan serupa juga dilakukan di lingkungan
Mahkamah Agung.
Bahkan organisasi struktural di lingkungan Mahkamah Agung lebih besar
dan lebih kompleks, mengingat sebagian fungsi administrasi kehakiman yang
sebelumnya ditangani oleh Pemerintah c.q. Departemen Kehakiman, sekarang
beralih penanganannya oleh Mahkamah Agung di bawah manajemen satu atap.
Pemerintah tidak lagi berwenang menangani masalah administrasi pembinaan
hakim dan sebagainya. Oleh karena itu, pemisahan jabatan Panitera dan Sekretaris
menjadi semakin penting untuk dilakukan di lingkungan Mahkamah Agung.
Sekretaris bertindak menjadi semacam “Menteri Kehakiman” masa lalu yang dalam
melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Ketua Mahkamah Agung.
Sementara itu, Panitera tetap menangani administrasi perkara sebagaimana
biasanya. Tugas Sekretaris Mahkamah Agung sangat kompleks sehingga diberi
kewenangan untuk mengkoordinasikan pelaksanaan tugas beberapa Direktur
Jenderal yang diadakan khusus di lingkungan Mahkamah Agung. Dengan
demikian, pembinaan organisasi badanbadan peradilan di seluruh Indonesia berada
di bawah tanggung jawab administratif Sekretaris Mahkamah Agung.
2.3 Struktur Organisasi Pengadilan
a. Ketua Pengadilan:
1. Menyelenggarakan administrasi keuangan perkara dan mengawasi
keuangan rutin/pembangunan.
2. Melakukan pengawasan secara rutin terhadap pelaksanaan tugas dan
memberi petunjuk serta bimbingan yang diperlukan baik bagi para
Hakim maupun seluruh karyawan.
3. Sebagai kawal depan Mahkamah Agung, yaitu dalam melakukan
pengawasan atas peradilan dan pelaksanaan tugas, para Hakim dan
pejabat Kepaniteraan, Sekretaris, dan Jurusita di daerah hukumnya.
4. Masalah-masalah yang timbul :
i. Masalah tingkah laku/ perbuatan hakim, pejabat Kepaniteraan
Sekretaris, dan Juru sita di daerah hukumnya.
ii. Masalah eksekusi yang berada di wilayah hukumnya untuk
diselesaikan dan dilaporkan kepada Mahkamah Agung Memberikan
izin berdasarkan ketentuan undang-undang untuk membawa keluar
dari ruang Kepaniteraan: daftar, catatan, risalah, berita acara serta
berkas perkara.
5. Menetapkan panjar biaya perkara; (dalam hal penggugat atau tergugat
tidak mampu, Ketua dapat mengizinkan untuk beracara secara prodeo
atau tanpa membayar biaya perkara).
b. Wakil Ketua Pengadilan
Membantu Ketua dalam membuat program kerja jangka pendek dan
jangka panjang, pelaksanaannya serta pengorganisasiannya Mewakili ketua
bila berhalangan Melaksanakan delegasi wewenang dari ketua Melakukan
pengawasan intern untuk mengamati apakah pelaksanaan tugas telah
dikerjakan sesuai dengan rencana kerja dan ketentuan yang berlaku serta
melaporkan hasil pengawasan tersebut kepada ketua.
c. Hakim
Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan tugas
Kekuasaan Kehakiman. Tugas utama hakim adalah menerima, memeriksa
dan mengadili serta menyelesaikan semua perkara yang diajukan kepadanya
Dalam perkara perdata, hakim harus membantu para pencari keadilan dan
berusaha keras untuk mengatasi hambatan-hambatan dan rintangan agar
terciptanya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
d. Panitera
Kedudukan Panitera merupakan unsur pembantu pimpinan Panitera
dengan dibantu oleh Wakil Panitera dan Panitera Muda harus
menyelenggarakan administrasi secara cerrnat mengenai jalannya perkara
perdata dan pidana maupun situasi keuangan Bertanggungjawab atas
pengurusan berkas perkara, putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya
perkara, uang titipan pihak ketiga, surat-surat bukti dan surat-surat lainnya
yang disimpan di Kepaniteraan Membuat salinan putusan Menerima dan
mengirimkan berkas perkara Melaksanakan eksekusi putusan perkara
perdata yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan dalam jangka waktu yang
ditentukan.
e. Wakil Panitera
Membantu pimpinan Pengadilan dalam membuat program kerja
jangka pendek dan jangka panjang, pelaksanaannya serta
pengorganisasiannya Membantu Panitera didalam membina dan mengawasi
pelaksanaan tugas-tugas administrasi perkara, dan membuat laporan
periodik Melaksanakan tugas Panitera apabila Panitera berhalangan
Melaksanakan tugas yang didelegasikan Panitera kepadanya.
f. Panitera Muda
Membantu pimpinan Pengadilan dalam membuat program kerja
jangka pendek dan jangka panjang, pelaksanaannya serta
pengorganisasiannya Membantu Panitera dalam menyelenggarakan
administrasi perkara dan pengolahan/penyusunan laporan sesuai dengan
bidangnya masing-masing.
g. Panitera Pengganti
Membantu Hakim dalam persidangan perkara perdata dan pidana
serta melaporkan kegiatan persidangan tersebut kepada Panitera Muda yang
bersangkutan.
h. Sekretaris
Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi
Umum Pengadilan.
i. Kepala sub - Bagian Umum dan Keuangan
Memberikan pelayanan guna terciptanya proses peradilan
Menangani surat keluar dan surat masuk yang bukan bersifat perkara dan
menangani masalah keuangan, baik keuangan penerimaan Negara bukan
pajak, pengeluaran, anggaran, dan hal-hal lain yang menyangkut
pengeluaran pengadilan diluar perkara pengadilan.
j. Kepala sub - Bagian Kepegawaian
Kedudukan Kepala Bagian Kepegawaian adalah unsur pembantu
Sekretaris yang: Menangani keluar masuknya pegawai, Menangani pensiun
pegawai, Menangani kenaikan pangkat pegawai, Menangani gaji pegawai,
Menangani mutasi pegawai, Menangani tanda kehormatan, Menangani
usulan/promosi jabatan, dll.
k. Kepala sub - Bagian PTIP
Membantu Sekretaris dalam melakukan pengumpulan, identifikasi,
analisa, pengolahan dan penyajian data/ informasi untuk penyiapan bahan
penyusunan perencanaan, dan melakukan penyiapan bahan monitoring,
evaluasi dan pelaporan, Membantu Sekretaris dalam melaksanakan
pengembangan sistem dan teknologi informasi.
l. Jurusita
Jurusita bertugas untuk melaksanakan semua perintah yang
diberikan oleh Hakim Ketua Majelis Jurusita bertugas menyampaikan
pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, protes-protes dan
pemberitahuan putusan pengadilan Jurusita melakukan penyitaan atas
perintah Ketua Pengadilan Negeri Jurusita membuat berita acara penyitaan,
yang salinannya kemudian diberikan kepada pihak-pihak terkait.

2.4 Tingkatan atau level dari hakim


Level atau tingkatan dalam profesi hakim terbagi atas beberapa golongan
yang mana tiap golongan tersebut memiliki tugas atau hak dan kewajibannya
masing – masing . Golongan tersebut terbagi atas :

I • A,B

II
III • A,B,C,D

IV • A,B,C,D,E
Berdasarkan tingkatan golongan yang ada, tiap golongan menangani
permasalahan sesuai dengan golongan nya masing – masing dari tingkatan pertama
hanya menangani masalah yang tidak terlalu rumit. Semakin tinggi tingkat
golongan maka semakin konkrit pula permasalahan yang di tangani pada level ini.
Percabangan kelas a,b,c,d bukan berarti bekerja secara terpisah. Namun dalam fase
level ini kelas a,b,c,d,e menangani kasus yang sama, hanya di lakukan secara
terpisah untuk mempermudah observasi terhadap msuatu masalah.
2.5 Sertifikasi
Istilah sertifikasi berasal dari bahasa inggris ‘Certification’ yang berarti
keterangan, pengesahan, ijazah, sertifikat, brevet, diploma. Menurut International
Institute for Environment Development (IIED), mengemukankan bahwa
“sertifikasi adalah prosedur dimana pihak ketiga memberikan jaminan tertulis
bahwa suatu produk, proses atas jasa telah memenuhi standar tertentu, berdasarkan
audit yang dilaksanakan dengan prosedur yang disepakati”.
Sedangkan menurut Purwadi (2008a:1) mengemukakan bahwa “Sertifikasi
profesi dimaksudkan agar kegiatan atau suatu proses kerja yang telah dibakukan
memberikan hasil akhir sebagaimana yang diharapkan karena dilaksanakan oleh
orang yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan”. Dengan adanya sertfikasi
ini maka jika ada seribu pekerjaan yang sama, yang dilakukan diberbagai tempat
oleh seribu orang yang berbeda tetapi memiliki tingkat kompetensi yang sama
sebagaimana yang dipersyaratkan, maka dapat diharapkan akan memberikan hasil
yang sama. Sedangkan sertifikasi itu sendiri terbagi atas :
a. Sertifikasi Profesional
Untuk sertifikasi professional Jubilee Enterprise (2010b:2)
mengelompokan menjadi tiga kelompok yakni:
1. Sertifikasi yang dikeluarkan oleh Professional Society
Contoh: South East Asian Regional Computer Confederation
(SEARCC), Australian Computer Society (ACS), British Computer
Socity (BCS) dan lain sebagainya.
2. Sertifikasi yang dikeluarkan oleh komunitas suatu profesi
Contoh: CISA (IS Auditing), SAGE (System Administration
Guild), Linux Professional dan beberapa komunitas lainnya.

3. Sertifikasi yang dikeluarkan oleh vendor atau produsen software


Contoh: CCNA (Cisco), CNE (Netware), RHCE (Red Hat),
MCSE (Microsoft) dan beberapa produsen software lainnya.Sertifikasi
yang dikeluarkan oleh vendor atau produsen software ini juga dikenal
sebagai salah satu strategi pemasaran software. Melalui sertifikasi ini,
vendor atau produsesn software telah memberikan jaminan kepada
konsumen bahwa telah tersedia sumber daya manusia yang menguasai
penggunaan software tersebut. Sertifikasi yang dikeluarkan oleh vendor
atau produsen software ini sangat populer dan menjamin ketersediaan
lapangan pekerjaan bagi pemegangnya. Untuk kelas sertifikasi dari
profesi sendiri pada umumnya menurut UU dilakukan oleh badan resmi
. Pada pembahasan kali ini badan yang menjamin mutu kerja suatu
profesi ialah BNSP .
b. Sertifikasi BNSP
Sebelum itu mari kita ketahui lebih banyak tentang BNSP. Badan
Nasional Sertifikasi Profesi disingkat (BNSP) adalah sebuah lembaga
independen yang di bentuk pemerintah berdasarkan UU Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Badan ini bekerja untuk menjamin mutu
kompetensi dan pengakuan tenaga kerja pada seluruh sektor bidang profesi
di Indonesia melalui proses sertifikasi. Tugas pokok dan fungsi BNSP
sebagai otoritas sertifikasi personel sesuai PP No. 23 tentang Badan
Nasional Sertifikasi Profesi tahun 2004 utamanya pasal 4:
1. Ayat 1): Guna terlaksananya tugas sertifikasi kompetensi kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, BNSP dapat memberikan lisensi
kepada lembaga sertifikasi profesi yang memenuhi persyaratan yang
ditetapkan untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.
2. Ayat 2): Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian lisensi
lembaga sertifikasi profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1)
ditetapkan lebih lanjut oleh BNSP.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang
independen untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja bagi tenaga
kerja, baik yang berasal dari lulusan pelatihan kerja dan/atau tenaga kerja
yang telah berpengalaman. Badan Nasional Sertifikasi Profesi tersebut
sangat diperlukan sebagai lembaga yang mempunyai otoritas dan menjadi
rujukan dalam penyelenggaraan sertifikasi kompetensi kerja secara
nasional. Dengan demikian, maka akan dapat dibangun suatu sistem
sertifikasi kompetensi kerja nasional yang diakui oleh semua pihak.
Keberadaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi sebagaimana
dimaksud di atas juga sangat penting dalam kaitannya dengan penyiapan
tenaga kerja Indonesia yang kompetitif menghadapi persaingan di pasar
kerja global. Disamping itu, dengan adanya Badan Nasional Sertifikasi
Profesi akan memudahkan kerja sama dengan institusi-institusi sejenis di
negara-negara lain dalam rangka membangun saling pengakuan (mutual
recognition) terhadap kompetensi tenaga kerja masing-masing negara.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Peraturan Pemerintah ini
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas, organisasi, keanggotaan, tata
kerja, dan pembiayaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Pada Peraturan
Pemerintah No 23 Tahun 2004 pasal 18 disebutkan “Pelaksanaan sertifikasi
kompetensi kerja yang telah dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau telah
diakui oleh lembaga internasional tetap dilaksanakan oleh Lembaga
Sertifikasi Profesi yang bersangkutan”. Berikut ini cara mendapatkan
Sertifikasi dan Lisensi dari BNSP:
1. Tenaga Kerja mengikuti uji kompetensi, jika lulus mendapatkan
Sertifikat dan SIO.
2. Untuk mendapatkan SKP, tenaga kerja harus memiliki pengalaman
bekerja selama 2 tahun, kemudian mengikuti ujian lagi.
3. Ujian melalui PJK3 yang bekerjasama dengan Lembaga Sertifikasi
Profesi yang bersangkutan.
c. Pendidikan bagi Calon Hakim dan Calon Jaksa
Syarat-syarat menjadi hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada
pengadilan tinggi ada pada pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 49 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum, yaitu:
1. Warga negara Indonesia.
2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
4. Sarjana hukum ( dibuktikan dengan hasil sertifikasi sarjana hukum ).
5. Lulus pendidikan hakim.
6. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban.
7. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
8. Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40
(empat puluh) tahun.
9. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Jadi, salah satu syarat untuk dapat menjadi hakim seseorang harus
lulus pendidikan hakim. Pendidikan hakim ini diselenggarakan oleh
Mahkamah Agung. Proses pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi calon
hakim dilaksanakan pada awal masa pra-jabatan dan sangat erat kaitannya
dengan proses rekrutmen hakim. Selain digunakan sebagai program
orientasi bagi para calon hakim, diklat juga ditujukan untuk menjadi sarana
seleksi hakim. Program diklat dimulai dari kewajiban para peserta untuk
memenuhi masa magang selama kurang lebih satu tahun sebagai Calon
Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di pengadilan-pengadilan negeri di wilayah
Indonesia. Program pembinaan yang terarah belum terlihat pada tahap yang
disebut Diklat Praktik I ini. Para peserta diklat masih sebatas dikaryakan
sebagai staf administrasi pengadilan, hingga saatnya mereka mengikuti
ujian pra¬jabatan, yang merupakan fase seleksi kepegawaian secara umum.
Setelah melalui proses pengangkatan dan memperoleh status
Pegawai Negeri Sipil (PNS), para peserta diikutsertakan dalam Diklat
Klasikal yang diadakan secara terpusat oleh Pusat Pendidikan dan Latihan
(Pusdiklat) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham).
Pada tahap ini, para peserta akan menerima berbagai materi keahlian di
bidang hukum, dan mulai dipersiapkan secara teoritis untuk mengemban
jabatan sebagai hakim. Apabila dinyatakan lulus, para peserta diharuskan
memenuhi masa magang kembali dengan status sebagai calon hakim di
berbagai pengadilan negeri selama minimal satu tahun. Pada tahapan yang
disebut Diklat Praktik II ini diterapkan suatu pola pembinaan yang sudah
lebih mengarah pada pelaksanaan tugas hakim. Selanjutnya, Ketua
Pengadilan Negeri di mana calon hakim tersebut ditempatkan akan
mengusulkan para peserta yang dianggap layak untuk diangkat penuh
sebagai hakim. Pengangkatannya sendiri akan dilakukan oleh Presiden
melalui Menhukham. Untuk Mendapatkan sertifikasi hakim , seorang calon
hakim harus mengikuti pola rekrutmen yang mana nantinya akan di
dapatkan pula kualitas dari seorang calon hakim.

2.6 Sertifikasi Hakim


Pola Rekrutmen dan Kualitas Hakim
Bagaimana mekanisme perekrutan seorang individu untuk menjadi hakim
akan menentukan kualitas putusan pengadilan ke depannya. Individu yang sejak
awal memang memiliki kapabilitas dan wawasan hukum yang mendalam sudah
selayaknya terjaring dalam rekrutmen hakim sehingga mereka yang nantinya duduk
di muka ruang pengadilan sebagai pemimpin sidang adalah hakim-hakim yang
berkualitas terbaik. Faktanya, berbagai putusan pengadilan yang kontroversial terus
bermunculan sehingga berbagai pihak menilai hakim-hakim di negeri ini belum
memahami rasa keadilan masyarakat. Banyaknya kelemahan ataupun cacat hukum
pada putusan yang dikeluarkan oleh para hakim bisa jadi merupakan gambaran dari
tidak efektifnya pola rekrutmen hakim yang selama ini diterapkan di Indonesia.
Rifqi S. Assegaf mencontohkan, putusan Mahkamah Agung pada kasus
Buloggate yang membebaskan terdakwa Akbar Tandjung mengandung sangat
banyak kelemahan dari segi hukum dan amat mencederai perasaan hukum dan
keadilan sebagian masyarakat. Dari kelima hakim dalam majelis yang memutus
perkara tersebut, dua orang bukan merupakan hakim karir melainkan berasal dari
partai politik, sedangkan sisanya adalah hakim karir. Salah seorang hakim non-
karir, yakni Abdul Rahman Saleh mengajukan dissenting opinion dalam putusan
perkara korupsi dana non-budgeter Bulog tersebut. Berkaca pada pendapat Rifqi
mengenai kualitas putusan kasus ini, barangkali perbedaan pendapat antarhakim
tersebut menggambarkan adanya disparitas kualitas antara hakim karir dan hakim
non- karir.[13]
Dalam buku "The Civil Law Tradition", Merryman, seorang ahli
perbandingan hukum, menyatakan bahwa hakim karir (yang lahir dari sistem Civil
LaW) cenderung memiliki mentalitas birokrat, kurang memiliki kepercayaan diri
dan pemikiran yang mandiri. Hal ini mengakibatkan mereka cenderung ragu atau
takut untuk membuat keputusan yang kontroversial dan memiliki dampak politik
yang besar. Hal ini berbeda dengan hakim di negara penganut sistem Common Law
yang sebelum menjadi hakim biasanya berprofesi sebagai pengacara, pejabat
publik, atau akademisi.
Menurut Reza Indragiri Amriel, ahli psikologi forensik lulusan The
University of Melbourne, pembenahan aset terpenting institusi peradilan, yaitu
individu hakim, harus menjadi fokus agar sumber daya manusia (SDM) dapat
berkontribusi dalam meningkatkan kualitas produk peradilan (putusan pengadilan).
Dalam artikelnya, "Pengembangan Integritas Profesi Hakim", Reza memaparkan
kondisi yang ada dalam dunia peradilan berkaitan dengan kualitas profesi hakim
seperti di bawah ini:
a. Kesulitan mencari hakim, termasuk Hakim Agung (dan para pemangku
otoritas hukum pada umumnya) nyatanya tidak hanya terjadi di Indonesia.
Amerika Serikat pun mengalami keterbatasan jumlah hakim sejak usainya
Perang Sipil di negara itu. Dalam konteks Indonesia, kesulitan ini terutama
bersumber dari tidak adanya model kompetensi yang menjadi acuan
mengenai karakter ideal yang sepatutnya dipunyai oleh setiap individu
hakim.
b. Dalam survei yang dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and
Crime (UNODC) tahun 2006, saat ditanyakan kepada para hakim, banyak
hakim yang menyebutkan bahwa penambahan jumlah hakim dan staf
pendukung sebagai prasyarat efektif kedua dari tujuh faktor terpenting
dalam rangka peningkatan kualitas peradilan. Di sisi lain, banyak peneliti
justru menyimpulkan bahwa kualitas personel lembaga kehakiman tidak
dipengaruhi oleh jumlah aparat peradilan. Mutu putusan para hakim
berbanding lurus dengan peningkatan profesionalisme mereka.
Selanjutnya, Reza menguraikan dua hal yang dapat menjadi alternatif solusi untuk
mengembangkan integritas hakim sebagai berikut:[17]
a. Sebagai sumber daya manusia, para hakim juga idealnya dikenakan
perlakuan SDM (HR/human resources treatment) secara terintegrasi,
komprehensif, dan berkesinambungan. Ini artinya, penilaian ketat tidak
hanya diterapkan pada para kandidat hakim. Setelah menjabat, para kandidat
terpilih harus diberikan penilaian secara berkala pula. Prinsipnya, semakin
sentral peran SDM terhadap kinerja suatu organisasi, semakin ketat pula
idealnya manajemen SDM diberlakukan pada organisasi tersebut.
b. Ke depan perlu dirumuskan acuan kinerja (performance standards atau
distinct job manual) dan perangkat aturan organisasi lainnya sebagai
pedoman pengembangan karir para hakim.
Dari penjelasan di atas, secara garis besar untuk mendapatkan sertifikasi hakim
yang perlu di penuhi ialah :
a. Memenuhi persyaratan dasar saat melakukan pencalonan sebagi hakim.
b. Mengikuti ujian yang diadakan pemerintah sipil dalam rangka seleksi calon
hakim.
c. Telah mendapatkan persetujuan dari BNSP terkait data kualifikasi calon
hakim yang di dapat dari hasil seleksi.
d. Memenuhi kriteria seorang hakim yang di tentukan dalam perundang-
undangan bagi seorang hakim.
e. Mendapatkan peresmian atau pelantikan secara langsung bahwa yang
bersangkutan dinyatakan lulus dari serangkaian kegiatan seleksi dan
pelatihan .
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya
sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan,
secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para
hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di
persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan
tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct
dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
DAFTAR PUSTAKA

Kamil, Iskandar. "Kode Etik Profesi Hakim" dalam Pedoman Perilaku Hakim
(Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta:
Mahkamah Agung RI, 2006.
Mahkamah Agung RI. Pedoman Perilaku Hakim. Jakarta: Mahkamah Agung RI,
2006. Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005.
Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum. Cet. ke-2. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001.
Suyuthi, Wildan. "Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama"
dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan
Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.
Tasrif, S. "Kemandirian Kekuasaan Kehakiman" dalam Kemandirian Kekuasaan
Kehakiman. Editor Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan. Jakarta:
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian PerselisihanHubungan
Industrial. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Usman,
Suparman, Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia,
Jakarta,Gaya Media Pratam, 2008.
Widyadharma, Ignatius Ridwan. Hukum Profesi tentang Profesi Hukum.
Semarang: CV Ananta, 1994.
http://makalahdanskripsi.blogspot.co.id/2012/06/normal-0-false-false-false-en-us-
x-none.html
http://digilib.unila.ac.id/597/7/BAB%20II.pdf
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5818413abbd7e/seputar-status-hakim-
dalam-ruu-jabatan-hakim-broleh--arsil-

Anda mungkin juga menyukai