Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

“Yurisprudensi“

Disusun oleh:
Lidia sermina abram

PROGRAM STUDI HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA (UNPI) MANADO 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan atas rahmat dan berkatnya kami dapat
menyelesaikan tugas pembuataan makalah ini guna melengkapi tugas yang diberikan oleh
dosen kami, yaitu dosen Pengantar ilmu hukum di UNPI. Di samping itu, kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah
ini. Makalah ini berisi materi tentang “Yurisprudensi”. Dimana disini akan dijabarkan tentang
contoh kasus yurisprudensi yang merujuk tentang Yurisprudensi.
Dari hati terdalam kami mengutarakan permintaan maaf atas kekurangan makalah ini,
karena kami tahu makalah yang kami buat ini masi jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kami berharap kritikan, saran, dan masukan yang membangun dari pembaca guna
penyempurnaannya kedepan.
Akhir kata kami ucapkan Terima kasih dan semoga makalah ini bermanfaat sesuai
dengan fungsinya.

Manado, 31 oktober 2022

Lidia sermina abram


BAB I
Pendahuluan

A. Latar belakang
Untuk mewujudkan perlindungan hukum dan kepastian hukum diperlukan satu media
atau institusi keadilan, yang dapat digunakan sebagai akses bagi masyarakat untuk
mendapatkan rasa keadilan tersebut. Institusi keadilan dalam sistem hukum moderen dewasa
ini, salah satunya diwujudkan dalam satu wadah yaitu badan pengadilan. Lembaga
pengadilan ini pada masa peradaban hukum moderen,secara simbolik telah menjadi wujud
dari pemberlakuan hukum dan keadilan secara nyata.
Sudikno Metrokusumo memberikan arti kepada kata “peradilan” sebagai berikut:
“kata peradilan yang terdiri dari kata dasar “adil” dan mendapat awalan ‘per’ serta akhiran
‘an’ berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan pengadilan, pengadilan disini bukanlah
diartikan semata mata sebagai badan yang mengadili melainkan sebagai pengertian yang
abstrak yaitu, “hal memberikan keadilan”. Sementara menurut Rahmat Rochmat Soemitro2
“peradilan (rechtspraak) adalah proses penyelesaian sengketa hukum dihadapan badan
pengadilan menurut hukum…, pengadilan adalah cara mengadili atau usaha memberikan
penyelesaian hukum dan dilakukan oleh badan pengadilan …, badan pengadilan ialah suatu
badan, dewan, hakim atau instansi pemerintah yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang diberikan wewenang untuk mengadili sengketa hukum. Sedangkan Sjachran
Basah3 memberikan pengertian yang lebih lugas, dikatakan: “…penggunaan istilah
pengadilan ditujukan kepada badan atau kepada wadah yang memberikan peradilan, sedang
peradilan menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakkan
hukum atau het rechtspreken”.
Kelembagaan peradilan dapat dibedakan antara susunan horizontal dan vertikal.
Susunan horizontal menyangkut berbagai lingkungan badna peradilan (peradilan umum,
peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan lainnya). Susunan vertikal adalah 2
susunan tingkat pertama, banding dan kasasi. Kelembagaan peradilan sebelum amandemen
UUD 1945 menganut satu cabang kekuasaan yang berpuncak pada Mahkamah Agung,
namun setelah amandemen UUD 1945 menganut sistem bifurkasi (bifurcation system)
dimana kekuasan kehakiman terbagi dalam dua cabang yaitu cabang peradilan biasa yang
berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi di Mahkamah Konstitusi.
Kelembagaan peradilan ini merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, sehingga pengadilan
wajib memeriksa dan memutus perkara, pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara
dengan alasan ketiadaan hukum atau hukumnya tidak jelas mengaturnya, apabila hakim
dihadapkan pada situasi ketiadaan hukum atau hukum yang tidak jelas, sedangkan perkara
harus diselesaikan, hakim wajib mencari kaidah-kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat
atau hakim dapat berpedoman pada putusan hakim yang terdahulu (yurisprudensi Mahmakah
Agung), memperhatikan kewajiban hakim yang demikian itu, menunjukan bahwa hakim
bukanlah corong undang-undang melainkan berperan menemukan hukum (rechtsvinding)
atau membentuk hukum (rechtsvorming). Hal ini disebabkan karena yurisprudensi
Mahkamah Agung merupakan salah satu sumber hukum tata pemerintahan faktual di
Indonesia.
Bab ll
Pembahasan

A. Pengertian yurisprudensi
Yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya (judicature rechtspraak),
Yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan yg di jalankan oleh suatu badan
yang berdiri sendir dan di adakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun
dengan cara memberikan keputusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Selainitu
yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin Yng di muat dalam putusan
pengadilan.
Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan produk yudikatif yang
berisi kaidah hukum atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersagkutan atau
terhukum. Jadi jurisprudensi hanya mengikat orang-orang tertentu saja, namun putusan
pengadilan adalah hukum yang sejak di jatuhkan. Pada umumnya di kenal adanya dua sistem
peradilan, sistem eropa continental dan sistem Anglo saxon. Dalam sistem eropa
continental,termasuk Indonesia, hakim tidak terikat pada “precedent” atau putusan hakim
terdahulu mengenai perkara atau persoalan hukum yang serupa dengan yang akan di
putuskan. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit hakim berkiblat pada putusan –
putusan pengadilan yang lebih tinggi atau mahkama agung mengenai perkara serupa. Namun
dalam sistem Anglo saxon hakim terikat pada “precedent” atau putusan hakim terdahulu
mengenai perkara yang serupa dengan yang akan diputus. Asas keterkaitan hakim pada
“precedent” disebut “stare decisis et quieta non movere” atau di sebut juga “the binding force
of precedent” disebut “stare decisis et quieta non movere” force of precendent”

B. Macam-macam yurisprudensi
Terdapat beberapa macam yurisprudensi, macam-macam yurisprudensi tersebut
sebagai berikut.
1. yurisprudensi tetap. Pengertian yurisprudensi tetap adalah suatu putusan dari hakim
yang terjadi oleh karena rangkaian putusan yang sama dan jadikan sebagai dasar bagi
pengadilan untuk memutuskan suatu perkara’
2. yurisprudensi tidak tetap. Pengertian yursprudensi tdak tetap ialah suatu putusan dari
hakim terdahulu yang tdak di jadikan sebagai dasar bagi pengadilan’.
3. yurisprudensi semi yuridis pengertian yurisprudensi semi yuridis yaitu semua
penetapan pengadilan yang didasarkan pada permohonan seseorang yang berlaku
khusus hanya pada pemohon. contohnya: penetapan status anak.
4. yurisprudensi administrative. Pengertian adminitratif adalah SEMA (surat Edaran
Mahkama Agung) yang berlaku hanya secara administrative dan mengikat intern di
dalam lingkup pengadilan.

C. Peran yurisprudensi dalam perkara sengketa Hak atas tanah


Masalah pertanahan pada umumnya adalah mengenai sengketa hak atas tanah. Sengketa
hak atas tanah sekarang ini semakin berkembang seiring munculnya permasalahan-
permasalahan di masyarakat terutama bagi para pencari keadilan terkait putusan tentang
pertanahan. Pembuktian sengketa hak atas tanah tersebut tidak semata-mata hanya
menyangkut soal alas hak dan status hak, akan tetapi juga terkait dengan pembuktian
mengenai tanda bukti hak.
Dalam menindaklanjuti putusan terkait pertanahan yang sudah berkekuatan hukum tetap
di pengadilan negeri, para pencari keadilan masih bingung karena mereka kesulitan saat akan
melakukan eksekusi, oleh karena bersinggungan dengan kewenangan peradilan TUN terkait
tanda bukti hak berupa sertifikat. Kehadiran PERMA Nomor 2 Tahun 2019 Tentang
Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintah dan Kewenangan Mengadili
Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige
Overheids daad) justru menimbulkan kegalauan bagi sebagian hakim di lingkungan
pengadilan negeri, khususnya berkenaan dengan Pasal 11 PERMA Nomor 2 Tahun 2019
tersebut yang menyatakan “Perkara melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat
pemerintahan (Onrechtmatige Overheids daad) yang sedang diperiksa oleh pengadilan negeri,
pengadilan negeri harus menyatakan tidak berwenang mengadili”.
Sengketa pertanahan menjadi salah satu perkara yang kompleks untuk mencapai titik
penyelesaian secara cepat. Penyelesaian perkara pertanahan melalui peradilan bahkan dapat
melibatkan lebih dari satu peradilan antara lain Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha
Negara serta Peradilan Agama. Hal itu dikarenakan ketiga lembaga peradilan tersebut
memiliki kompetensi absolut masing-masing yang berbeda dalam penyelesaian sengketa
pertanahan namun dapat menjurus pada satu titik penyelesaian perkara yang bersinggungan.
Pada peradilan umum terdapat kompetensi mengadili sengketa pertanahan terkait
sengketa hak kepemilikan dikarenakan alasan-alasan keperdataan. Sedangkan pada Peradilan
Tata Usaha Negara terdapat kompetensi mengadili mengenai keabsahan sertifikat tanah
sebagai sebuah keputusan yang dilahirkan oleh seorang pejabat tata usaha negara. Di sisi lain,
Peradilan Agama juga mempunyai kompetensi mengadili dalam hal sengketa kepemilikan
tanah yang dilandaskan pada konflik kewarisan. Meskipun ketiga peradilan mempunyai
kompetensi masing-masing yang memiliki ruang lingkup masing-masing namun semua
keputusan itu dimaksudkan berujung pada satu titik penyelesaian yang dapat dirasakan nilai
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatannya bagi pencari keadilan.
Untuk menghadapi kasus-kasus konkrit dalam perkara pertanahan yang hampir selalu
mengkaitkannya dengan keabsahan sertifikat, maka hendaknya hakim mampu mencari dan
menemukan kaedah atau asas-asas hukum seperti yang dikemukakan Bruggink yang
menyatakan bahwa, “bukankah pada sistem hukum terdapat kaidah-kaidah fundamental yang
melandasinya yang biasa disebut dengan asas-asas hukum dan asas-asas hukum ini memuat
ukuran-ukuran nilai (waarde maatstaven), yang berakar pada nilai-nilai tertentu.
Maka dalam konteks penyelesaian sengketa pertanahan yang terkait dengan sertifikat,
nilai-nilai tertentu tersebut adalah nilai efektifitas dan efisien yang tercermin dalam asas
peradilan cepat sederhana dan biaya ringan. Dalam prakteknya, peraturan-peraturan
perundangan yang telah ada tidak cukup untuk menjawab semua permasalahan pertanahan
yang berkembang secara cepat. Untuk menyikapi permasalahan tersebut, diperlukan peran
yurisprudensi sebagai instrumen hukum dalam rangka menjaga kepastian hukum, oleh karena
hukum bersifat dinamis, baik dalam pengertian normatif atau dalam pengertian aktivitas, baik
secara teoretis maupun secara praktis. Kedinamisan hukum tersebut didasarkan pada berbagai
perkembangan yang terjadi di berbagai sektor yang ada, seperti sektor perekonomian, sektor
perdagangan, sektor politik, sektor pemerintahan, dan lain sebagainya. Perkembangan hukum
terutama hukum
perdata perlu disikapi dengan menerapkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap berupa yurisprudensi.
Yurisprudensi merupakan putusan badan peradilan berkekuatan hukum tetap yang
berisikan kaidah hukum yang penting serta diyakini dan diikuti oleh hakim lainnya pada
elemen perkara yang sama dalam rangka menjamin kepastian hukum. Yurisprudensi sebagai
penemuan hukum baru (rechtsvinding) dapat menjawab permasalahan dinamika sosial
masyarakat, mencerminkan arah perkembangan hukum dan secara konstan (berulang-ulang)
telah diikuti oleh hakim lainnya. Kedudukan yurisprudensi dalam sistem hukum Indonesia
merupakan sumber hukum formal, selain peraturan perundang-undangan, doktrin, traktat,
kontrak (perdata), dan kebiasaan.
Untuk itu agar yurisprudensi dapat berperan maksimal dalam mengisi kekosongan
hukum itu sendiri, maka pertimbangan hukum dan putusan hakim khususnya perkara yang
berkaitan dengan sengketa hak atas tanah harus memiliki dimensi dan implikasi jangka
panjang terhadap pengembangan hukum perdata di Indonesia, jauh melebihi pertimbangan
hukum dan putusan terhadap para pihak yang bersengketa (individu atau badan hukum
perdata dengan badan atau pejabat lainnya). Selain itu diperlukan pula kemampuan pemikiran
dan profesionalitas dari hakim untuk meningkatkan kualitas pertimbangan dalam putusan-
putusannya, dengan melihat kondisi dalam masyarakat yang harus disesuaikan dengan asas
hukum perdata dan asas hukum acara perdata.
Diharapkan putusan hakim akan menjadi sumber ilmu pengetahuan dan sumber
hukum yang mampu menjawab setiap permasalahan hukum yang timbul di masyarakat
terutama permasalahan sengketa pertanahan di Indonesia. Sistem penegakan hukum tidak
didasarkan pada sistem precedent, tetapi hakim berkewajiban untuk secara sungguh-sungguh
mengikuti putusan Mahkamah Agung. Selain itu, para hakim wajib memberikan
pertimbangan hukum yang baik dan benar dalam pertimbangan hukum putusannya, baik dari
segi ilmu hukum, maupun dari segi yurisprudensi dengan mempertimbangkan putusan hakim
yang lebih tinggi dan/atau putusan hakim sebelumnya. Dan apabila hakim ingin menyimpang
dari yurisprudensi, maka hakim yang bersangkutan wajib memberi alasan dan pertimbangan
hukum adanya perbedaan dalam fakta-fakta dalam perkara yang dihadapinya dibanding
dengan fakta-fakta dalam perkara-perkara sebelumnya.
Dengan mekanisme yang demikian, maka perkara sengketa pertanahan yang berkaitan
dengan alas hak dan tanda bukti hak yang tidak diatur penyelesaiannya dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka hakim dapat menerapkan yurisprudensi sehingga
akan terwujud proses peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan serta memberikan
kepastian hukum bagi para pencari keadilan.

D. Contoh kasus yurisprudensi


Kasus jual beli dengan paksaan ini terkait Budi Haliman Halim yang merupakan
pemilik sah lembaga pendidikan Arise Shine Ces.Belakangan, pada 8 Agustus 2006,
Yayasan Hwa Ing Fonds dan Lo Iwan Setia Dharma mempolisikan Budi dengan tuduhan
pelanggaran hak cipta. Laporan ini ditindaklanjuti dengan menahan Budi. Nah, selama
ditahan polisi, Yayasan Hwa Ing Fonds justru memaksa Budi menjual merek tersebut
sebesar Rp 400 juta sedangkan kepada Lo Iwan Setia Dharma sebesar Rp 400 juta dan
disetujui. Meski belakangan, uang Rp 400 juta tersebut tidak pernah dibayarkan. Adapun
untuk pidananya, Yayasan Hwa Ing Fonds dan Lo Iwan Setia Dharma berdamai dan tidak
meneruskan laporannya.

Dalam hal ini MA melakukan yurisprudensi dan memutuskan penjualan tersebut tidak
sah dan batal demi hukum. MA menilai pada saat dibuatnya perjanjian jual beli budi
sedang ditahan oleh polisi karena laporan dari Yayasan Hwa Ing Fonds dan Lo Iwan Setia
Dharma untuk menekan Budi agar mau membuat atau menyetujui perjanjian jual beli
tersebut.Hal ini adalah merupakan ‘Misbruik van Omstandigheiden’ yang dapat
mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan, karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur
pasal 1320 KUH.Perdata yaitu tidak ada kehendak yang bebas dari pihak Penggugat.

Bab lll
PENUTUP
A. Kesimpulan
Yurisprudensi Mahkama Agung merupakan sumber hukum tata pemerintahan factual
yang telah memberikan kontribusi bagi penyelenggara pemerintahan. Salah satu sumber
hukum yurisprudensi yang sekarang masih di terapkan adanya yurisprudensi mengenai asas-
asas umum pemerintah yang baik oleh hakim peradilan tata usaha negara sebagai landasan
pengujian.

Anda mungkin juga menyukai