Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dalam penemuan hukum terdapat bebrapa aliran. Sebelum tahun
1800 sebagaian besar hukum adalah kebiasan. Di muka hukm kebiasaan
itu beraneka ragam dan kurang menjamin kepastian hukum. Keadaan ini
menimbulkan gagasan untuk menyatukan hukum dan menuangkan dalam
sebuah kitab undang-undang. Maka timbullah gerakan kodifikasi.
Timbulnya gerakan kodifikasi ini di sertai timbulnya aliran legisme. Aliran
legisme adalah bahwa semua hukum terdapat pada undang-undang.
B. Rumusan masalah
1. Apa saja aliran-aliran dalam ilmu hukum ?.
C. Tujuan
1. Mengetahui aliran-aliran dalam ilmu hukum.

1
BAB II

PEMBAHASAN

Seperti dalam pembentukan undang-undang serta penerapan hukum.


Dalam hal ini mencakup proses peradilan yang berupa pula merupakan aliran
pemikiran hukum yang berhubungan langsung dengan applikasi hukum di tengah-
tengah masyarakat. Aliran-aliran tersebut terdiri dari :

A. Menurut Soedjono Didjosis terdiri dari :


1. Aliran legisme.
2. Aliran frie rechtsbewegung.
3. Aliran rechtsving.
B. Menurut Achmad Sanusi terdiri dari :
1. Aliran legisme.
2. Aliran begriffsjurisprudenz.
3. Aliran interessenjurisprudenz atau freirechtsschule.
4. Aliran sosiologische rechtsshule.
5. Aliran sistem-sistem hukum terbuka (open system recht).1

Aliran Legisme

Menurut Soedjono, D. bahwa aliran legisme adalah aliran yang


menganggap semua hukum terdapat dalam undang-undang. Atau berarti hukum
identik dengan undang-undang. Hakim di dalam melakukan tugasnya terikat pada
undang-undang, sehingga pekerjannya hanya melakukan pelaksanaan undang-
undang belaka (wetstoepassing), dengan jalan pembentukan silogisme hukum,
atau juridischesylogisme, yaitu suatu deduksi logis dari suatu perumusan yang
luas, kepada keadaan khusus, sehingga sampai kepada suatu kesimpulan.2

Menurut aliran ini mengenai hukum yang primer adalah pengetahuan


tentang undang-undang , sedangkan memepelajari yurisprudensi adalah masalah

1
Drs. Sudarsono, SH., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : PT. RINEKA CIPTA, 1991), 104
2
Dr. Soedjono dirdjosisworo, SH.PIH., 159-160

2
sekuler. (purnadi purbacaraka, Soejorno Soekanto, perundang-undangan dan
yurisprudensi, 179).

Aliran Legisme demikian besrnya menganggap kemampuan undang-


undang sebagai hukum termasuk dalam penyelesaian berbagai Permasalahan
sosial.

Adapun menurut Achmad Sanusi bahwa mengetahui pandangan-


pandangan dari aliran ini, baiklah kita kembali mengenangkan pembagian hukum
dalam , hukum tertulis dan hukum tidak tertulis atau hukum undang-undangdan
hukum kebiasaan. Secara kronologis sebenarnya kita harus lebih dahulu menyebut
hukum tidak tidak tertulis dan hukum kebiasaan , kemudian hukum tertulis dan
hukum undang-undang. Tidak boleh tidak, lahirnya hukum tertulis itu pasti baru
pada saat tatkala orang-orang ini mulai pandai tulis baca, sedang hukum undang-
undang tatkala masyarakat itu telah terbentuk negara dan di susun badan
perundang-undangannya walaupun masih bersifat sederhana sekali. Jadi kita
disini dengan logis dapat menarik kesimpulan bahwa apabila dibandingkan
hukum kebiasaan dan hukum tidak tertulis dengan hukum undang-undang dan
hukum tertulis, maka kedua hukum yang pertama itu biasanya lebih terhitung
sejak orang-orang belum mengenal tulis baca sama sekali, asal orang-orang itu
sudah hidup bermasyarakat .

Mula-mula ahli hukum Romawilah yang menghendaki bahwa peraturan-


peraturan hukum itu hendaknya dituliskan, bukan itu saja, malahan lebih jauh lagi.
Hendaknya himpunan peraturan-peraturanhukum itu ditetapkan dengan pasti
dalam kitab-kitab undang-undang dan hanya himpunan undang-undanglah yang
hendaknya dianggap satu-satunya sumber hukum. Tidak hukum kecuali hukum
undang-undang; hukum kebiasaan hanya ada, apabila diperbolehkan oleh hukum.3

3
Ibid., 144

3
Mereka pernah beranggapan, bahwa seluruh kaidah-kaidah hukum baik
yang mengikat penduduk ataupun alat-alat penguasa, dapat diletakkan dalam
undang-undang. Undang-undanglah yang dianggap supreme.4

Keberadaan undang-undang, lebih lanjut ditegaskan oleh apeldoorn.5 Ada


juga ajaran yang berpandangan bahwa disamping undang-undang tak ada tempat
untuk kebiasaan sebagai sumber hukum. Ajaran ini menyatakan, hukum apapun
timbul dari keinginan mereka yang memegang kedaulatan, yaitu kekuasaan yang
tertinggi didalam negara, jadi dari keinginan pembentukan undang-undang .
dengan demikian hanya ada empat bagi satu sumber saja, yaitu undang-undang.

Mengakui sebagai sumber hukum berarti mengakui adanya kekuasaan


pencipta undang-undang disamping dan berhadapan denga kekuasaan yang
berdaulat. Itu tak dapat disesuaikan dengan sifat kedaulatan atau kekuasaan
tertinggi. Karena dalam pada itu adanya hukum kebiasaan di samping hukum
undang-undang adalah suatu kenyataan yang tak dapat disangkal, orang mencoba
membela teori undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum, dengan
pandangan bahwa kebiasaan berlaku, karena diperbolehkan oleh pembentuk
undang-undang. Jika tidak dengan tegas diperbolehkan sebagaiman biasa orang
menganggap diperbolehkan secara diam-diam dan dengan demikian kita
memperoleh kekuasaan mengikat undang-undang. Dengan demikian kebiasaan
merupakan bagian dari hukum undang-undang.

Dalam masalah ini Achmad Sanusi selanjutnya menjelaskan didalam


bukunya antara lain: sejalan dengan ajaran-ajaran Montesqieu maupun Rousseau
pada dasarnya paham Legisme berpendapat bahwa pengadilan memiliki
kedudukan yang passief saja sebab pengadilan hanya merupakan terompet/corong
undang-undang. Pengadilan, terutama hakim sekedar bertugas memasukkan atau
menyelesaikan masalah-masalah yang kongkrit kedalam undang-undang . pada
umumnya hakim menggunakan Sillogisme hukum secara deduksi yang logis.

4
Prof. Dr. Achmad sanusi, SH, op.cit. passim, 87-89
5
Prof. Mr. Dr.LJ. van apeldoorn, op.cit, 130-131

4
Selanjutnya disebut bahwa teori legisme memiliki beberapa kelemahan
yang dapat dilihat didalam aturan-aturan hukum persetujuan, hukum kebiasaan
dan hukum adat. Keseluruha tersebut (kecuali undang-undang) hidup
melengkapkan undang-undang, ia mengikat karna persetujuan karena adat itu,
karena memang tertanam sebagai kesadaran hukum yang berkepentingan dan atau
sebagai besar masyarakat. Adakalanya putusan pengadilan (putusan hakim)
menguatkan hukum kebiasaan sehingga undang-undang dikesampingkan.6

Aliran Freie Rechtsbewegung.

Aliran ini berpandangan secara bertolak belakang dengan paham Legisme.


Ia beranggapan bahwa di dalam mastarakat tugasnya seorang hakim bebas untuk
melakukan menurut undang-undang atau tidak. Hal ini disebabkan karena
pekerjaan hakim adalah melakukanpenciptaan hukum. Akibatnya adalah bahwa
memahami yurisprudensi merupakan hal yang primer di dalam mempelajari
hukum, sedangkan undang-undang merupakan hal yang sekunder, pada aliran ini
hakim memang benar-benar sebagai pencipta hukum (judge made law) karena
keputusan yang berdasarkan keyakinan merupakan hukum. Dan keputusannya ini
lebih bersifat dinamis dan up to date karena senantiasa memperhatikan keadaan
dan perkembanga masyarakat.7

Selanjutnya dijelaskan bahwa: tidaklah mungkin di Indonesia muncul


suatu judge mae law, yang dijumpai misalnya di negeri Inggris, di sana judge
made law mempunyai derajat yang sama dengan statue law (undang-undang).
Judge made law denga statue law bersama-sama merupakan hukum positif. Hal
ini hanyalah mungkin oleh karena hakim di Inggris terikat kepada keputusana
para hakim yang sederajat atau yang berkedudukan lebih tinggi. Di Indonesia
pasal 21 ketentuan umu tentang perundang-undangan itu menghindarkan

6
Drs. Sudarsono, SH., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : PT. RINEKA CIPTA, 1991), 144-115

7
Dr. Soedjono Dirdjosisworo, SH., Op.Cip, 160

5
perkembangan judge made law yang demikian itu (di Inggris dinamakan The
Force Binding Of Presedent).8

Aliran Begriffsjuriprudent Dan Rechtsvinding

Menurut Soedjono D. Aliran Rechtsvinding dapat dianggap sebagai aliran


tengah di antara aliran Legisme dan Freie Rechtsbewegung. Menurut faham ini,
benar bahwa hakim terikat pada undang-undang, akan tetapi tidaklah seketat
seperti menurut pandangan Legisme. Karena hakim juga memiliki kebebasan.
Namun kebebasan hakim tidak seperti anggapan aliran Freie Rechtsbewegung,
sehingga di dalam melakukan tugasnya hakim mempunyai apa yang disebut
sebagai “kebebasan yang terikat”, (Gebonded Vriheid) atau keterikatan yang
bebas (Vrije Gebonded Heid), oleh itu maka tugas hakim disebutkan sebagai
upaya melakukan rechtsvinding yang artinya adalah menselaraskan undang-
undang pada tuntutan zaman.

Dari anggapan aliran rechtsvinding tarurai diatas dapat diketahui


pentingnya yurisprudensi untuk dipelajari, disamping perundang-undang. Hal ini
antar lain karena di dalam yurisprudensi terdapat makna hukum yang kongkrit
diperlukan dalam hidup bermasyarakat yang tidak dijumpai dalam kaidah yang
terdapat pada undang-undang.

Adapun ahmad sanusi beranggapan bahwa, dengan meninggalkan prinsip-


prisip pandangan aliran legisme maka aliran begriffsjurisprudenz telah
memperbaiki kelemahan yang ada. Telah diajarkan oleh aliran
begriffsjurisprudenz, behwa sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap,
akan tetapi ia tetap memenuhi kekurangan-kekurangannya sendiri, oleh karena ia
mempunyai daya meluas. Cara memprluas hukum hendaknya normlogis dan
hendaknya dipandang dari segi dogmatik sebab hukum itu adalah suatu kesatuan
yang tertutup, sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Briz bahwa ia adalah
suatu Logiche geschoossenheit.

8
Ibid., 147-160

6
Menurut pandangan tersebut tugas hakim adalah semata-mata pekerjaan
intelek, hakm adalah otomat susban, hakim sama sekali tidak membentuk hukum,
bahkan hanya membuka tabir pikiran-pikiran yang terletak dalam undang-undang.
Itulah yang disebutkan tugas geometris jurich. Ya, dalam tugas itu mungkin sekali
hakim tidak akan terlepas daripada putusan-putusannya yang tidak memenuhi
perasaan keadilan. Tapi ia tidak dapat dipersalahkan, sebab baginya berlaku asas
lex dura, sed tamen scripta (hukum itu keras, tetapi memang dalah demikian).

Kesalahan dari alairan begriffsjurisprudenz ialah bahwa ia terlalu


mendewa-dewakan rasio dan ligika dalam meluaskan undang0undang samapai
terbentuknya hukum. Ia sudah puas apabila dengan demikian kepastian hukum
dapat terjamin. Ya, bahkan justru inilah yang menjadi tujuan mereka.9

Adapun keadialan yang bermanfaat kemasyarakatan tidak


dikemukakannya, disini kekeliruan penganut-penganut alran ini, mereka secara
terbalik memandang alat sebagai tujuan, mereka walaupun mungkin bukan
maksudnya dengan ajarannya akan menjadi abdi rasio logika semata-mata, dengan
tidak memperdulikan kebenaran perasaan keadilan dan manfaat kemasyarakatan.
Ia akhirnya akan merubah hukum dengan dogma, yang sukar memenuhi tuntutan
–tuntuta hidup yang praktis yang sering silih berganti.

Pada dasaranya reaksi aliran begriffsyurisprudez terhadap aliran-aliran


sebelumnya (terutama aliran legisme) sangat berlebihan sifatnya. Aliran ini
memberikan kebebasan kepada hakim tidak hanya upaya sekedar mengisi
kekosongan undang-undang, akan tetapi hakim diberi wewenang untuk
menyempurnakan undang-undangatau apabila undang-undang berlawanan dengan
freie rect dapat di tiadakan oleh hakim. Dalam hal ini undang-undang dapat
dikesampngkan, atau justru disempurnakan.10

Aliran interessenjurisprudenz atau freirechtsschule

9
Ibid., 160
10
Prof. Dr. Ahmad sanusi, SH., Op.Cit., 90-92

7
Mereka yang tidak dapat menerima dasar-dasar pikiran legisme dan
begriffsjurisprudenz antara lain H. Kantorowicz, E. Ehrlich, O. Bulow, E. Stempe,
E. Fuch, menyatakan bahwa undang-undang tidak lengkap, ia bukanlah sumber
satu-satunya sumber hukum. Sedang hakim dan para pejabat lainnya mempunyai
kebebasan yang seluas-luasnya dalam menemukan hukum itu. Demi untuk
mencapai hukum yang seadil-adilnya, menurut para pengikut aliran ini yaitu
aliran Interessenjurisprudenz/Frei Rechtschulehakim malahan boleh menyimpang
dari peraturan undang-undang.

Adapun yang dimaksud dengan hukum yang seadil-adilnya itu adalah


hukum yang dapat memberikan jaminan atas kepentingan-kepentingan
kemasyarakatan, dan menilai kepentingan-kepentingan itu.

Hakim mempunyai freiesb ermessen. Menurut mereka hanya undang-


undang yang sesuai denga kesadaran hukum dan keadilanlah yang haeus
dilaksanakan oleh para pejabat. Tapi yang dijadikan ukuran-ukuran itu adalah
ukuran-ukuran dari keyakinan (overtuiging) hakim sendiri yang kedudukannya
bebas semutlak-mutlaknya itu.

Bahwa hakim ada kebebasan dalam menimbang dan menilai kepentingan-


kepentingan masyarakat, kami turut menyutujuinya. Akan tetapi kami menolak
pendirian yang memberi wewenang kepada hakim susai dengan perasaannya
untuk begitu saja menyampaikan undang-undang, sebab dengan demikian niscaya
hormat kepada undang-undang dan seterusnya kepada kepastian hukum akan
hilang karena faktor-faktor sybyektif yang ada pada hakim sendiri.

Apabila pada aliran Legisme/Begriffsjurisprudenz hakim mudah menjadi


abdi dari dogma atau undang-undang, disini hakim akan menjadi raja terhadap
undang-undang, di mana ia berkuasa sendiri menciptakan hukum bagi semua
angota-anggota masyarakatnya. Bukankah ini jalan yang sudah mendekat sekali
pada eskes kesewenang-wenangan?.11

11
Ibid., 93-94

8
Aliran Soziologische Rechtsschuie

Berlaina dengan Mr. Drs. Utrech, kami hendak menggolongkan jamaker


dan hymans sebagai penganut-penganut aliran freirechtsschule, akan tetapi
sebagai penganut-penganut aliran keempat : Soziologische Rechtsschule.

Pokok pikiran dari aliran ini ialah terutama hendak menahan dan menolak
kemungkinan sewenang-wenang dari hakim, berhubunga denga adanya freies
ermessen menurut aliran frei rechtsschule tadi. Mereka pada dasarnya tidak setuju
adanya kebebasan (Vrijbrief) bagi para pejabat hukum untuk menyampingkan
undang-undang sesuai dengan perasaannya. Undang-undang tetap harus
dihormati. Sebaliknya memang benar hakim mempunyai kebebasan dalam
menyatakan hukum, akan tetapi kebebasan tersebut terbatas dalam rangka
undang-undang. Menurut mereka, hakim hendaknya mendasarkan putusan-
putusannya pada peraturan undang-undang tapi tidak kurang pentingnya, supaya
putusan-putusan tersebut dapat dipertanggung jawabkan terhada asas-asas
keadilan, kesadaran dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat.

Maka aliran ini menyerukan, supaya pengetahuan masyarakat bagi


pejabat-pejabat hukum dipertinggi (pengetahuan-pengetahuan tentang ekonomi,
sosiologi dan sebagainya), supaya kebebasan dari hakim ditetapkan batasan-
batasannya (seperti tentang hukuman maksimal/minimal, keadaan belum dewasa,
jangka kedaluarsa dan lain-lain) dan supaya putusan-putusan hakim dapat diuji
oleh publik oponion (pemeriksaan putusan terbuka, tingkatan appel kasasi dan
lain-lain).

Sebagai pengikut aliran ini dapat kami sebutkan juga antara lain : A.
Auburtin, G.Gurvitch dan J. Valkhof. Kami dapatlah menyimpulkan kiranya,
bahwa menurut aliran ini akhirnya yang primair bagi hukum ialah penyesuaiannya
dengan kesadaran kemasyarakatan, dalam hal ini kita menghadapi
pendemokrasikan atau penyosialisasian dari hukum.12

12
Ibid., 94-95

9
Aliran Sistem Hukum Terbuka (Open System V/H Recht)

Hukum itu merupakan suatu sistim, ialah bahwa semua peraturan-


peraturan itu saling berhubungan, yang satu ditetapkan oleh yang lain, bahwa
praturan-peraturan tersebut dapat disusun secara mantik dan untuk yang bersifat
khusus dapat dicaraikan atauran-aturan umumnya, sehingga sampailah pada azas-
azasnya.

Tapai ini tidakalah berarti bahwa dengan bekerja secara mantik semata-
mata, untuk tiap-tiap hala dapat dicarikan putusan hukumannya. Sebab disamping
pekerjaan intelek, putusan itu selalu didasarkan pada penilaian yang menciptakan
sesuatu yang baru. Betul bahwa sistim hukum itu bersifat logis, akan tetapi karena
sifatnya sendiri, dia tidak tertutup, tidak beku, sebab ia memerlukan putusan-
putusan atau penetapan-penetapan yang selalu akan menambah luasnya sistim
tersebut. Hukum adalah suatu himpunan kaidah kaidah, hanya bukan dari kaidah-
kaidah yang memperoleh kewajibannya dari peristiwa-peristiwa sejarah dan
masyarakat. Ia adalah kaidah-kaidah yang harus dilaksanakan, dan sebaliknya ia
pun justru tergantung pada kenyataan pelaksanaan itu.

Maka dari sebab itu, hukum adalah sekaligus himpunan kaidah-kaidah dan
himpunan tidakan-tindakan dari badan perundang-undangan, hakim, administrasi
dan setiap orang yang berkepentingan. Ia adalah sebagai sollensi atau soisollen.13

13
Drs. Sudarsono, SH., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. RINEKA CIPTA, 1999),120-121

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut dkami penulis dapat menarik kesimpulan
yakni : bahwa di dalam tipe-tipe aliran itu terdapat sesuatu yang yang
dapat di benarkan serta dapat diambil manfaat. Serta aliran terbukalah
yang meletakkan persoalan undang-undang hakim, dan hukum ini
secara lebih tepat sebagaimna yang telah di jelaskan oleh Prof.
Achmad Sanusi diatas. Berdasarkan pandangan ini, maka hukum
perdata merupakan bagian dari hukum nasional. Oleh kaena itu asas
hukum perdata harus sesuai dan seirama dengan asas hukum nasional.
Dalam menjalankan aktivitas kehidupan kita sehari-hari,
sebagai seorang warga negara yang baik hendaklah kita mematuhi dan
mentaati hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis dalam
masyarakat.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini, kami selaku penyusun tentunya
mengalami banyak kekeliruan dan kesalahan baik dalam ejaan, pilihan
kata, sistematika penulisan bahasa yang kurang dipahami. Untuk itu
kami mohon maaf sebesar-besarnya, dikarenakan kami masih dalam
proses pembelajaran. Maka dari itu kami selaku penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar kami
bisa lebih baik lagi dalam pembuatan makalah berikutnya sehingga
makalah berikutnya lebih sempurna dari makalah sebelumnya.

11
Daftar Pustaka

 Drs. Sudarsono, SH., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : PT. RINEKA


CIPTA, 1991)
 Dr. Dirdjosisworo,Soedjono. SH.PIH.
 Prof. Dr. Achmad Sanusi, SH, op.cit.
 Prof. Mr. Dr.LJ. van apeldoorn, op.cit.

12

Anda mungkin juga menyukai