Anda di halaman 1dari 59

HUKUM

SEKILAS TENTANG SEJARAH


STRUKTUR LEMBAGA
PENGADILAN MASA KOLONIAL
HINDIA BELANDA DAN
PENJAJAHAN JEPANG
Posted on 8 September 2015
“Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”

– Ir. Soekarno –

Kalimat di atas adalah kalimat yang diucapkan oleh Presiden


pertama Republik Indonesia, Soekarno, dalam pidato kenegaraan
pada perayaan HUT RI ke-21, tanggal 17 Agustus 1966, pidato
terakhir bung Karno di perayaan hari kemerdekaan. Kalimat ini
kemudian dikenal dengan frase “JAS MERAH”. Secara pribadi,
penulis sangat mengimani kalimat ini bahwa kita sebagai warga
suatu bangsa tidak boleh meninggalkan sejarah dari bangsa kita
sendiri.

Banyak hal yang bisa di dapat dari sebuah sejarah. Salah satunya
adalah gambaran mengenai kejadian masa lalu, yang bisa
menjadi pengetahuan tersendiri yang menarik. Kalau sejarah
tentang bangsa Indonesia secara umum, penulis meyakini bahwa
sudah bayak yang membahas hal tersebut, atau bahkan pembaca
sudah banyak membaca mengenai hal tersebut, sehingga penulis
tidak akan membahas mengenai hal itu lagi. Dalam tulisan kali ini,
penulis ingin menyajikan sebuah sejarah mengenai lembaga
pengadilan Indonesia, khususnya pada masa kolonial Hindia
Belanda dan penjajahan Jepang.

Mungkin sudah ada beberapa literatur yang membahas hal ini,


yang mana literatur tersebut juga (mungkin) penulis gunakan
dalam menyusun tulisan ini. Tulisan ini hanya mencoba untuk
menggambarkan sejarah lembaga pengadilan secara lebih
sederhana, yang penulis sari kan dari beberapa literatur. Dalam
tulisan ini juga penulis tidak akan menyertakan catatan kaki untuk
menjelaskan literatur asal dari pernyataan-pernyataan yang ada.
Penulis akan menyertakan literatur-literatur yang penulis gunakan
di bagian “referensi” di akhir tulisan dan penulis dapat membaca
lebih lanjut dari literatur tersebut, termasuk untuk memverifikasi
pernyataan yang ada di tulisan ini.

Selain itu, walaupun pembahasan tulisan ini hanya mengenai


sejarah lembaga pengadilan pada masa kolonial Hindia Belanda
dan penjajahan jepang, namun di akhir bagian, penulis akan
menjelaskan sedikit tentang perkembangan lembaga pengadilan,
terutama struktur lembaga pengadilan umum, dari masa
penjajahan Jepang ke masa kemerdekaan Indonesia yang
memiliki struktur Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
Mahkamah Agung. Penulis tidak membahas lebih lanjut mengenai
perkembangan lembaga pengadilan pasca kemerdekaan karena
menurut penulis sudah sangat banyak literatur yang membahas
hal tersebut. Selain itu, apabila ingin mengetahui hal tersebut,
pembaca bisa melakukan penelusuran peraturan perundang-
undangan mengenai lembaga pengadilan dari tahun 1945-
sekarang, dimana dalam peraura-peraturan etrsebut sudah
tersebut dengan jelas bagaimana struktur lembaga pengadilan
pasca kemerdekaan. Penulis masih meyakini bahwa pembaca
adalah bukan orang-orang pemalas dan sudah pasti lulus
pemberantasan buta huruf (kalau tidak, bagaimana bisa
membaca tulisan ini..benar?), sehingga menurut penulis,
pembaca dapat melakukannya sendiri apabila berminat.

Lalu, bagaimana sejarah struktur lembaga pengadilan pada masa


kolonial Hindia Belanda dan penjajahan Jepang?

A. Masa Kolonial Hindia Belanda

Berbicara mengenai kondisi lembaga pengadilan pada zaman


kolonial Hindia Belanda, tentu kita tidak bisa melepaskan dari
kondisi hukum dan sosial yang terjadi pada masa itu. Yang paling
mencolok adalah politik diskriminasi yang diterapkan oleh
pemerintah Hindia Belanda yang melakukan pengklasifikasian
masyarakat yang ada di Hindia Belanda menjadi 3 (tiga)
golongan, yaitu golongan eropa, timur asing, dan bumiputera
(pribumi). Hal ini berakibat pada perbedaan hukum yang berlaku
bagi masing-masing golongan tersebut, yang pada akhirnya
menyebabkan timbulnya lembaga-lembaga pengadilan yang
berbeda yang berwenang mengadili masing-masing golongan
tersebut. Secara umum dan ringkas, lembaga-lembaga
pengadilan yang dimaksud adalah

Pribumi Indonesia

Districtgerecht

Districtgerect terletak di kecamatan dan dipimpin oleh Camat


sebagai hakim. Perkara-perkara yang disidangkan
di districtgerecht adalah:

 Perkara perdata dengan nilai objek kurang dari 20 (dua


puluh) gulden;
 Perkara pidana yang diancam maksimal pidana denda 3
(tiga) gulden

Putusan perdata dari districtgerecht dapat dimintakan banding


ke regentschapgerecht, sedangkan putusan pidananya bersifat
final dan langsung mengikat (tidak dapat dimintakan banding).

Regentschapgerecht

Regentschapgerecht terletak di kabupaten dan dipimpin oleh


Bupati atau deputinya sebagai hakim. Perkara-perkara yang
disidangkan di regentschapgerecht adalah:

 Perkara perdata dengan nilai objek 20-50 gulden;


 Perkara pidana yang diancam maksimal pidan penjara 6
hari atau denda 3-10 gulden

Regentschapgerecht adalah pengadilan tingkat banding atas


putusan districtgerecht. Putusan regentschapgerecht sendiri
dapat dimintakan banding ke landraad.
 Rechtspraak fer Politierol/Politierol

Politierol terletak di Kabupaten dengan asisten gubernur sebagai


hakim tunggal. Lembaga pengadilan ini hanya mengadili perkara
pidana yang diancam pidana denda maksimal 25 gulden.
Lembaga pengadilan ini dibubarkan pada tahun 1901 dan
digantikan oleh landgerecht pada tahun 1914.

Landraad

Landraad adalah lembaga pengadilan yang memiliki yurisdiksi se-


kabupaten dimana hakim yang bertugas di landraad adalah
hakim-hakim professional. Perkara-perkara yang disidangkan
di landraad adalah:

 Perkara perdata dengan nilai objek lebih dari 50 gulden


atau di bawah 50 gulden untuk golongan eropa;
 Perkara pidana di luar kewenangan districtgerecht,
regentschapgerecht, dan politierol, salah satunya adalah
pidana yang diancam pidana denda maksimal lebih dari 25
gulden.

Putusan landraad dapat dimintakan banding ke Raad van


Justitie dan Hooggerechtschof. Untuk putusan perdata dengan
nilai objek di atas 100 gulden dan putusan pidana berupa putusan
bebas, dapat dimintakan banding ke Raad van Justitie,
sedangkan untuk putusan perdata dengan nilai objek di atas 500
gulden dan putusan pidana dengan pemidanaan selain bebas,
dapat dimintakan banding ke Hooggerechtschof.

Golongan Eropa

Residentiegerecht

Residentiegerecht berada di semua kota yang


memiliki landraad dan memiliki wilayah yurisdiksi hukum sama
dengan landraad. Persidangan di residentiegerechtdipimpin oleh
hakim tunggal, yang adalah hakim dari landraad. Perkara-perkara
yang dapat disidangkan di residentiegerecht adalah sebagai
berikut:
 Klaim yang nilainya tidak melebihi 500 gulden pada
kewajiban pribadi, pembayaran untuk hak guna usaha,
memperoleh kepemilikan properti pribadi.
 Klaim pada kerusakan yang diakibatkan manusia atau
perilaku hewan atas tanah, semak-semak, pohon atau
taman buah atau umbi-umbian, perbaikan dan kerusakan
untuk properti nyata disewa, yang berada di bawah
penguasaan penyewa.
 Klaim atas tindakan sewenang-wenang terhadap
perencanaan penggunaan tanah, pohon, pagar, sungai,
bendungan, saluran air atau yang mengakibatkan
kerusakan pada hal-hal tersebut, yang sah di bawah hukum
adat indonesia.
 Klaim dalam penyewaan property, yaitu pengosongan
properti karena berakhirnya jangka sewa, terlepas dari
harga sewa, kecuali bahwa di persidangan, penyewa
dengan bukti tertulis membuktikan bahwa jangka sewa telah
diperbaharui dan harganya melebihi 600 gulden per tahun.
 Klaim atas pemutusan kontrak sewa dan pengosongan
properti yang disewa, dalam kasus penyewa diabaikan
untuk membayar dan kemudian menyewa kecuali tidak
melebihi 600 gulden.
 Permohonan (putusan yang besifat deklaratoir) mengenai
penyitaan properti yang telah dilakukan adalah sah selama
dilakukan atas dasar klaim di bawah
yurisdiksi residentiegerecht.
 Permohonan (putusan yang bersifat deklaratoir) mengenai
pengosongan atau pelegalan tawaran pembayaran atau
pembayaran agar barang disimpan di pengadilan, jika harga
barang yang ditawarkan atau jumlah uang yang disetorkan
tidak melebihi 500 gulden.
 Perlawanan klaim atas suatu hal yang mana hal tersebut
berada di bawah yurisdiksi residentiegerecht.
 Penyelesaian perselisihan eksekusi hukuman jika para
pihak adalah orang pribumi Indonesia atau timur asing non-
cina, asalkan para pihak secara sukarela menundukkan diri
pada hukum Eropa.
 Sengketa ketenagakerjaan terlepas dari berapa nilai
sengketa nya dan golongan yang menjadi para pihak.
Tidak semua putusan residentiegerecht dapat diajukan banding
ke Raad van Justitie. Hanya putusan atas perkara no. 9 di atas
yang dapat dimintakan banding ke Raad van Justitie sebagai
pengadilan tinggi.

Raad van Justitie

Raad van Justitie (RvJ terletak di 6 (enam) kota, yaitu Jakarta,


Surabaya, Semarang, Padang, Medan, dan Makassar. Wilayah
hukum RvJ Jakarta meliputi Jawa Barat, Lampung, Palembang,
Jambi, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat. Wilayah hukum
RvJ Surabaya meliputi Jawa Timur dan Madura, Bali, Lombok,
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Wilayah hukum RvJ
Semarang meliputi Jawa Tengah. Wilayah hukum RvJ Padang
meliputi Sumatera Barat, Tapanuli, dan Bengkulu. Wilayah hukum
RvJ Medan meliputi Sumatera Timur, Aceh, dan Riau. Dan
wilayah hukum RvJ Makassar meliputi Sulawesi, Timor, dan
Maluku.

RvJ adalah pengadilan untuk orang golongan eropa, baik untuk


perkara pidana, maupun perkara perdata. Untuk golongan
chinese, pengadilan ini adalah pengadilan untuk perkara perdata.
Pengadilan ini juga berwenang mengadili perkara perdata yang
diajukan oleh orang-orang di luar golongan eropa dan chinese,
selama hal yang diperkarakan adalah masuk ke dalam hukum
eropa dan para pihak tersebut menundukkan diri secara sukarela
pada hukum eropa. Selanjutnya, terlepas dari golongan
masyarakat, RvJ berwenang untuk mengadili kasus perdata atas
barang yang ditemukan dari laut dan teluk.

Untuk perkara pidana, tanpa memperhatikan asal golongan


masyarakat, RvJ berwenang mengadili perkara pidana mengenai
perdangan budak (slave trade), tindak pidana ekonomi,
pembajakan, perampokan barang ketika transit di pantai,
perampokan barang di sungai, dan tindak pidana lainnya. RvJ
juga berwenang mengadili sengketa kewenangan mengadili dari
pengadilan-pengadilan yang berada di bawah nya. Disamping itu,
RvJ merupakan pengadilan tingkat banding atas putusan-
putusan landraad dan residentiegerecht.
Sejak tanggal 1 Januari 1983, RvJ Jakarta, sebagai pengadilan
tingkat banding, memiliki panel khusus untuk mengadili perkara
banding atas putusan landraad se- Jawa dan Madura. RvJ
Surabaya dan Semarang tidak dapat lagi menjadi pengadilan
banding atas putusan-putusan landraad tersebut. Untuk putusan-
putusan landraad di wilayah lainnya, apabila para pihak
bersepakat, maka dapat langsung diajukan banding ke RvJ
Jakarta, tanpa melalui RvJ yang seharusnya menjadi pengadilan
banding atas perkara tersebut. Putusan banding RvJ Jakarta tidak
dapat diajukan banding lagi.

Dalam perkara perdata, putusan RvJ sebagai pengadilan tingkat


pertama dapat dimintakan banding apabila nilai klaim/objek lebih
dari 500 gulden. Sedangkan, dalam perkara pidana, putusan RvJ
yang dapat dimintakan banding (sebagai pengadilan tingkat
pertama) adalah seluruh putusan kecuali putusan yang
menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah. Pengadilan banding
atas putusan RvJ adalah Hooggerechtshof.

Hooggerechtshof

Hooggerechtshof, atau Mahkamah Agung Kolonial, terletak di


Jakarta dengan wilayah yurisdiksi seluruh Hindia
Belanda. Hooggerechtshof dipimpin oleh “chief justice”, atau yang
sekarang disebut sebagai Ketua Mahkamah Agung. Selain
sebagai pengadilan tingkat banding
terakhir, Hooggerechtshof adalah pengadilan tingkat pertama
untuk perkara pidana dimana tindak pidana dilakukan oleh
pejabat tinggi lembaga yudisial dan administratif, seperti
anggota volksraad(DPR masa Hindia Belanda).
Putusan Hooggerechtshof bersifat final dan mengikat.

Hooggerechtshof memiliki kekuasaan untuk me-review putusan-


putusan pengadilan yang sudah dijatuhkan sebelumnya. Selain
itu, fungsi utama hooggerechtshof adalah men-supremasi
implementasi kekuasaan kehakiman oleh pengadilan di bawah
nya.

Selain lembaga-lembaga pengadilan di atas, ada beberapa


lembaga peardilan yang memiliki keistimewaan, yang dibentuk
pada masa kolonial Hindia Belanda,
yaitu Landgerecht. Landgerecht adalah lembaga pengadilan
umum berdiri menggantikan Politierol sejak tahun 1914.
Keistimewaan dari Landgerecht adalah lembaga pengadilan ini
dapat mengadili perkara untuk semua
golongan. Landgerecht dijalankan oleh hakim professional.

Pemeriksaan di landgerecht dilakukan dengan hakim tunggal.


Jenis perkara yang dapat disidangkan di landgerecht adalah
perkara pidana yang diancam maksimal dengan 3 (tiga) bulan
pidana penjara atau denda 500 gulden. Putusan landgerecht tidak
dapat diajukan banding.

Walaupun mengadili dari semua golongan masyarakat (eropa,


timur asing, dan pribumi), namun hukum acara yang dipakai untuk
masing-maisng golongan masyarakat adalah berbeda. Kalau
tindak pidana tersebut dilakukan oleh golongan pribumi dan
eropa, maka hukum acara yang digunakan adalah hukum acara
untuk golongan eropa.

Hal yang menarik dari sistem pengadilan pada masa kolonial


Hindia Belanda ini adalah apabila suatu perkara melibatkan 2
atau lebih orang dari golongan yang berbeda, maka apabila
perkara tersebut adalah perkara pidana, akan diadili di Raad van
Justitie, sedangkan apabila perkara tersebut adalah perkara
perdata, akan diadili di residentiegerecht.

Selain lembaga-lembaga pengadilan yang tersebut di atas, yang


lazim disebut “lembaga peradlan umum”, pada masa kolonial
Hindia Belanda juga dibentuk beberapa lembaga pengadilan lain,
yaitu:

Inheemsche Rechtspraak

Inheemsche Rechtspraak adalah lembaga pengadilan yang


dibentuk untuk golongan bumiputera/pribumi Indonesia yang tidak
dilaksanakan berdasarkan “In Naam des Konings” (Atas Nama
Raja/Ratu). Pengadilan ini dilaksanakan oleh seorang hakim yang
bukan hakim pemerintah Belanda, melainkan diserahkan kepada
penguasa adat setempat. Ada 3 bentuk Inheemsche
Rechtspraak ini, yaitu:

1. Inheemsche Rechtspraak di daerah swapraja, yaitu daerah


yang tidak langsung berada di bawah Pemerintah Hindia
Belanda (Indirect Gebeid), yang dikenal dengan istilah
“Pengadilan Swapraja”;
2. Inheemsche Rechtspraak di daerah yang langsung di
bawah Pemerintah Hindia Belanda (Direct Gebeid), yang
dikenal dengan istilah “Pengadilan Adat”. Pada tahun 1935,
untuk daerah ini, dibentuk suatu pengadilan bumiputera
yang disebut “Pengadilan Desa” (Dorpsrechtspraak), yang
memutus perkara dengan hukum adat, tidak boleh
menjatuhkan pidana menurut Kitab Undang-undang Hukum
Pidana. Pengadilan ini tidak dikenal di Batavia (Jakarta),
dan hanya terdapat di Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Sumatera Selatan, dan
Irian Jaya (Papua).
3. Godsdienstige Rechtspraak (Pengadilan Agama) yang
menurut hukum yang hiduo dalam masyarakat merupakan
bagian tersendiri dari Pengadilan Swapraja dan Pegadilan
Adat. Pada masa kolonial Hindia Belanda, dikenal adanya 2
bentuk Pengadilan Agama, yaitu:

 Pengadilan Agama yang dihubungkan


dengan Gouvernement Rechtspraak (Pengadilan
Pemerintah), yang diatur secara resmi
dengan Staatsblad Hindia Belanda 1929 Nomor 221 Nomor
487. Pengadilan Agama untuk Pulau Jawa dan Madura
diatur dalam Staatsblad Hindia Belanda 1937 Nomor 119,
yang dimasukkan menjadi Pasal 2a Koninklijk
BesluitStaatsblad Hindia Belanda 1882 Nomor 152 jo. 152,
yang kemudian disebut sebagai “Raad Agama”. Sebagai
pengadilan banding atas putusan Raad Agama, dibentuklah
Mahkamah Islam Tinggi (Hof voor Islamietische Zaken) di
Batavia (Jakarta). Untuk Pengadilan Agama di Kalimantan
diatur berdasarkan staatsblad Hindida Belanda 1937 Nomor
638.
 Pengadilan Agama yang tidak diatur dengan undang-
undang (staatsblad) pengaturannya diserahkan kepada tata
pemerintahan adat setempat

Krygsraad

Krygsraad adalah Pengadilan Militer. Pengadilan Militer pada


masa kolonial Hindia Belanda terdiri dari Krygsraad sebagai
Pengadilan Militer Tingkat Pertama dan Hoogmilitair
Gerechtshof sebagai Pengadilan Militer Tingkat Banding.

B. Masa Penjajahan Jepang

Pada masa penjajahan jepang, tidak banyak perubahan yang


terjadi dengan lembaga pengadilan dan pada dasarnya lembaga-
lembaga pengadilan yang ada adalah lanjutan lembaga-lembaga
pengadilan yang sudah ada pada masa kolonial Hindia Belanda.
Kekuasaan Jepang yang hanya berlangsung selama 3,5 tahun
mengakibatkan tidak banyak pengaruh yang terjadi dari sistem
hukum dan peradilan Jepang ke sistem hukum dan peradilan
Indonesia.

Ada 2 hal paling terlihat mengenai perubahan lembaga


pengadilan umum pada masa ini, yaitu:

1. Pemerintahan Jepang menghapuskan dualisme peradilan


sesuai asas peradilan Jepang bahwa hanya ada satu
macam peradilan untuk semua golongan penduduk,
walaupun dengan beberapa pengecualian bagi orang-orang
Jepang di Indonesia. Misalnya, untuk Tiho
Hoin (sebelumnya landraad), yang merupakan pengadilan
sehari-hari bagi semua golongan penduduk, kecuali orang
jepang yang ada di Hindia Belanda/Indonesia tetap berlaku
hukum dan peraturan perundang-undangannya sendiri.
Penyidikan, penuntutan, dan pengadilan dalam perkara
pidana dilakukan oleh opsir-opsir Jepang pada Gunsei
Hooin;
2. Nama-nama lembaga pengadilan diubah. Perubahan yang
dimaksud adalah:
 Districtgerecht menjadi Gun Hoin
 Regentschapgerecht menjadi Ken Hoin
 Landgerecht menjadi Keizai Hoin
 Landraad menjadi Tiho Hoin
 Raad Agama menjadi Sooryoo Hooin
 Hof voor Islamietische Zaken menjadi Kaikyo Kootoo Hooin
 Raad van Justitie menjadi Koto Hoin
 Hooggerechtshof menjadi Saiko Hoin 

Pada awal kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia


mempertahankan susunan pengadilan umum yang ada, namun
dengan perubahan penyebutan, yaitu:

1. Districtgerecht/Gun Hoin menjadi Pengadilan Distrik


2. Regentschapgerecht/Ken Hoin menjadi Pengadilan
Kabupaten
3. Landgerecht/Keizai Hoin menjadi Pengadilan Kepolisian
4. Landraad/Tiho Hoin menjadi Pengadilan Negeri
5. Raad van Justitie/Koto Hoin menjadi Pengadilan Tinggi
6. Hooggerechtshof/Saiko Hoin menjadi Mahkamah Agung

Baru kemudian, seiring berjalannya waktu, Pengadilan Distrik,


Pengadilan Kabupaten, dan Pengadilan Kepolisian, berdasarkan
Pasal 71 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang
Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan
Kejaksaan, secara tersirat, dilebur kekuasaannya ke Pengadilan
Negeri. Sehingga, seperti yang diatur dengan jelas pula dalam
Pasal 7 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948, susunan
lembaga pengadilan umum terdiri dari Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, yang adalah susunan
lembaga pengadilan umum yang sampai saat ini kita kenal.

Sejarah memang selalu menarik dipelajari, setidaknya menurut


penulis. Dengan sejarah, kita bisa mendapatkan pengetahuan
mengenai bagaimana proses terciptanya/terjadinya sesuatu dan
mendapatkan gambaran pada saat proses tersebut terjadi. Itulah
yang penulis coba berikan dalam tulisan ini. Semoga tulisan ini
bisa memberikan pengetahuan baru dan gambaran yang mudah
dipahami buat penulis mengenai sejarah struktur lembaga
pengadilan, khususnya pada masa kolonial Hindia Belanda dan
penjajahan Jepang. Dan besar harapan penulis agar kita semua
tidak melupakan sejarah-sejarah yang ada di Indonesia dan bisa
saling menyampaikan sejarah-sejarah yang ada di Indonesia agar
pengetahuan yang kita miliki tentang sejarah Indonesia semakin
bertambah.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak meninggalkan


sejarahnya”

Referensi:

1. Sebastiaan Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung,


(Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk
Independensi Peradilan, 2012)
2. Ansyahrul, Sejarah Peradilan Umum Di Jakarta, (Jakarta:
Pengadilan Tinggi Jakarta, 2013)
3. Daniel S. Lev, Colonial Law and The Genesis Of The
Indonesian State, http://cip.cornell.edu/DPubS?
service=Repository&version=1.0&verb=Disseminate&view=
body&content-type=pdf_1&handle=seap.indo/1107007218#
4. Daniel S. Lev, Judicial Unification In Post-Colonial
Indonesia, http://cip.cornell.edu/DPubS?
service=Repository&version=1.0&verb=Disseminate&view=
body&content-type=pdf_1&handle=seap.indo/1107129332#
5. Badan Pembinaan Hukum Nasional, The History of
Indonesian Law, http://eng.bphn.go.id/content/view.php?
id=thehistoryofindonesianlaw.pdf&title=THE%20HISTORY
%20OF%20INDONESIAN%20LAW
6. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan
dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan

https://kanggurumalas.com/2015/09/08/sekilas-tentang-sejarah-struktur-lembaga-

pengadilan-masa-kolonial-hindia-belanda-dan-penjajahan-jepang/
SEJARAH LEMBAGA PERADILAN
DI INDONESIA
Posted on  January 13, 2013 by fauzirijal99
SEJARAH LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sebagai Negara yang konstitusinya menamakan dirinya Negara
hukum, maka sesungguhnya fungsi lembaga peradilan bagi
Indonesia amatlah penting. Suatu Negara dapat dikatakan sebagai
Negara hukum dapat diukur dari pandangan bagaimana hukum itu
diperlakukan di Indonesia, apakah ada system peradilan yang baik
dan tidak memihak serta bagaimana bentuk-bentuk pengadilannya
dalam menjalankan fungsi peradilan.
Sejarah perkembangan lembaga peradilan di Indonesia sebenarnya
sudah cukup lama sejalan dengan perkembangan system hukum
yang ada di Indonesia. Bahkan sebelum bangsa Eropa (Belanda)
dating ke Indonesia, kita sebenarnya telah memiliki berbagai
macam lembaga peradilan yang dipimpin oleh Raja sekalipun
susunan dan jumlahnya masih terbatas bila dibandingkan dengan
yang ada sekarang ini. Lembaga pengadilan dari zaman ke zaman
akan mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan
perkembangan dan perubahan masyarakat itu sendiri.
Ketika Hindia Belanda berkuasa dikenal adanya dualism dalam
system pengadilan di Indonesia. Karena adanya pemisahan
Pengadilan untuk golongan yang berbeda dengan pengadilan untuk
golongan pribumi (bangsa Indonesia). Namun pada saat itu sudah
ada penklasifikasian jenis peradilan berdasarkan yurisdiksi perkara
yang ditangani.
Pada periode awal kemerdekaan hingga tahun 1960-an dimana
perkembangan hokum nasional diarahkan untuk mensukseskan
revolusi nasional melawan neo kolonialisme maka peran pengadilan
sangatlah penting dalam mendorong transformasi hokum colonial
menjadi hukum nasional. Sedangkan perkembangan pengadilan
dalam masa Orde Baru diarahkan untuk mengembalikan wibawa
hukum dengan memperkenalkan konsep hukum sebagai sarana
merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering) untuk
suksesnya pembangunan. Namn kenyataan selama hamper 30 tahun
lamanya kekuasaan Orde Baru, hukum dan peradilan justru
mengalami kemerosotan karena tatanan hukum yang ada saat itu
dilandasi oleh paradigma kekuasaan, sentralisme dan monolitik.
Namun seiring dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru dan
dimualinya era reformasi disegala bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara, bergulir pula tuntutan untuk mereformasi hukum secara
menyeluruh. Dengan melihat hukum sebagai suatu sistem
bagaimana dikemukakan L. M. Friedman, maka reformasi hukum
selain menyangkut perbaikan substansi peraturan perundang-
undangan, juga harus menyentuh struktur/kelembagaan penegakan
hukum serta kultur/budaya hokum masyarakatnya. Sejalan dengan
tuntutan Reformasi dan amandemen UUD 1945 muncul lembaga
peradilan baru, yaitu Mahkamah Konstitusi, yang diharapkan
keberadaannya dapat meningkatkan wibawa hukum dan peradilan
di Indonesia.
Substansi yang akan dibahas di dalam makalah ini mengenai sejarah
peradilan Indonesia sebagai salah satu bagian yang integral dari
system hokum Indonesia yang memainkan peranan penting dalam
upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita dan
tujuan Negara.

B. Permasalahan
 Bagaimana sejarah lembaga peradilan yang ada di Indonesia dari
masa ke masa?

BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN SEJARAH LEMBAGA PERADILAN DI
INDONESIA

A. Era Pemerintah Kolonial Hindia Belanda Tahun 1926-1942


Pada tahun 1918 oleh pemerintah Belanda dibentuk Volksraad
(Dewan Rakyat) sebagai wadah bagi rakyat pribumi untuk
berpartisipasi dalam pemerintahan daerah jajahan, dan pada tahun
1926, Volksraad diberi kewenangan untuk ikut serta dalam
pembentukan undang-undang berdasarkan perubahan II Grondwet
Belanda Tahun 1922 khusus tentang tata pemerintahan Hindia
Belanda). Kemudian Regerings Reglement diubah dan diganti
menjadi IS (Indische Staatsregeling).
Pasal 131 IS (salinan Pasal 75 RR) menyatakan :
– Mendorong upaya legislasi (pembuatan hokum dalam bentuk
tertulis) di Hindia Belanda;
– Dualisme hukum tetap dipertahankan;
– Namun ada dorongan unifikasi, yakni secara tidak penuh melalui
penetapan Gubernur Jenderal atas perkara-perkara tertentu (jika
dipandang perlu) yang harus diatur dengan hukum Eropa
(toepasselijk Verklaring) dan secara pasif melalui mekanisme
penundukkan diri secara sukarela terhadap hukum Eropa
(vrijwilligeonderweping).

Pasal 163 IS (salinan pasal 109 RR baru), menyatakan:


“membedakan penduduk menjadi 3 golongan yaitu golongan Eropa,
Pribumi dan Timur Asing”.
– Yang termasuk golongan Eropa (Pasal 163 ayat I.S) yaitu : Semua
orang Belanda;
1. Semua orang yang berasal dari Eropa non Belanda;
2. Semua orang Jepang;
3. Semua orang (non 1, 2, 3) yang negaranya menerapkan hukum
keluarga yang sama dengan hukum Belanda;
4. Semua anak sah dari orang-orang yang termasuk poin 2, 3, 4;
– Yang termasuk golongan pribumi (Pasal 163 ayat 3 I.S) :
1. Penduduk asli Hindia Belanda;
2. Golongan lain yang meleburkan diri dengan penduduk asli
Hindia Belanda;
– Yang termasuk golongan Timur Asing (Pasal 163 ayat 4 I.S) :
Mereka yang tidak termasuk ke dalam golongan Eropa maupun
golongan Pribumi. (agar tidak ada penghuni Hindia Belanda yang
terlewatkan dari pembagian golongan penduduk).

B. Susunan Badan Peradilan bagi golongan Eropa Untuk Wilayah


Jawa dan Madura:
a. Residentiegerecht, berada di kota karesidenan, dengan susunan
kelembagaan seorang hakim tunggal dan seorang panitera (yang
sekaligus bertugas di Pengadilan Landraad), dan memiliki
kewenangan mengadili atas perkara perdata kecil (bagi orang-orang
Eropa), perkara perdata dimana orang Eropa/Tionghoa sebagai
pihak tergugat, perkara perdata orang-orang Indonesia danTimur
Asing non Tionghoa yang menundukkan diri dengan sukarela pada
hukum perdata Eropa (vrijwillige onderweping) dan persengketaan
perjanjian kerja orang Indonesia dan Timur Asing non Tionghoa
(walaupun tidak tunduk pada hukum perdata Eropa).
b. Raad van Justitie, terdapat di Jakarta (Batavia), membawahi
wilayah: Jabar, Lampung, Palembang, Jambi, Bangka-Belitung, dan
Kalimantan Barat. Di Semarang, membawahi wilayah: Jateng dan
Surabaya, membawahi wilayah: Jatim, Madura, Bali, Lombok,
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Susunan kelembagaan
Raad van Justitie terdiri dari: Presiden, wakil presiden, anggota,
Officier van Justitie, Substituut-Officier van Justitie, Justite,
Panitera, Wakil Panitera pertama.
Raad van Justitie memiliki kewenangan:
1. Peradilan (bagi orang Eropa) untuk perkara pidana dan perdata
pada umumnya;
2. Peradilan harian bagi orang Tionghoa yang melakukan gugatan
perdata kepada sesama orang Tionghoa atau Eropa;
3. Peradilan harian atas perkara perdata dengan tergugat adalah
orang Indonesia dan Timur Asing non Tionghoa yang tunduk secara
sukarela pada hukum perdata Eropa;
4. Peradilan bagi semua golongan atas perkara tertentu seperti:
penemuan barang di laut, tindak pidana kepailitan, dan pembajakan
dalam pelayaran perdagangan;
5. Menyelesaikan sengketa kewenangan antara: hakim dengan
pegawai di bawahnya, hakim peradilan pemerintah dengan hakim
peradilan bumiputera, dan antara hakim peradilan pemerintah dan
peradilan bumiputera dengan hakim peradilan swapraja;
6. Sebagai pengadilan tingkat banding atas perkara yang telah
diputus di pengadilan Residentiegerecht dan pengadilan Landraad.
(dilakukan di RvJ Jakarta);
7. Juga dapat berfungsi sebagai Politierechter (hakim kepolisian)
untuk perkara pidana ringan. Dilakukan oleh seorang hakim tunggal
sehinga juga disbut sebagai “Kamar Tunggal”;
c. Hooggerechtshof, merupakan peradilan yang tertinggi di Hindia
Belanda, yang hanya berkedudukan di Jakarta, untuk membawahi
wilayah hukum seluruh Hindia Belanda. Presiden Hooggerechtshof
diangkat oleh Raja dan kedudukannya diatur dalam Indische
Staatsregeling, dan keputusan dari mahkamah Hooggerechtshof
dinamakan sebagai “Arrest”.
Hooggerechtshof memiliki kewenangan sebagai berikut:
1. Pengawas pengadilan-pengadilan di bawahnya;
2. Pengadilan tingkat pertama dan terakhir atas perkara pidana dg
terdakwa para pegawai kehakiman, pegawai tinggi pemerintahan,
dan anggota Volksraad;
3. Pengadilan tingkat banding atas perkara perdata yg diadili di
Residentiegerecht di luar wil Jawa dan Madura dg nilai gugatan
f.500 ke atas;
4. Pengadilan tingkat pertama dan terakhir atas perkara perdata
yang ditolak/dihambat penyelesaiannya di Raad van Justitie atau di
Residentiegerecht;
5. Menyelesiakan sengketa kewenangan para hakim: hakim
peradilan pemerintah dengan hakim bumiputera, hakim peradilan
pemerintah dan peradilan bumiputera dengan hakim swapraja,
hakim sipil dengan hakim militer;

C. Susunan Badan Pengadilan bagi Golongan Eropa untuk wilayah


di Luar Jawa dan Madura:

a. Residentiegerecht, berada di ibu kota karesidenan dengan


susunan terdiri dari seorang hakim sarjana hukum yang sekaligus
sebagai ketua Landraad (jika ada), atau seorang pegawai
pemerintahan Belanda (jika tdk ada landraad).
Residentiegerecht disini memiliki kewenangan sebagai berikut:
1. Perkara pidana untuk orang Eropa untuk tingkat I dan terakhir
berupa tindak pidana pelanggaran dengan ancaman pidana
kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal f.300 tanpa
penyitaan barang. (Jika di daerah tersebut tidak ada). Landsgerecht
sebagai pengadilan pidana semua golongan;
2. Perkara perdata pada tingkat I atas gugatan (oarng Eropa atau
Tionghoa) pada orang Indonesia atauTimur Asing non Tionghoa
yang tunduk secara sukarela pada hukum perdata Eropa dengan
nilai gugatan f.500-f.1500 (untuk wilayah Aceh, Sumatera Timur,
Jambi, Riau, Bangka Belitung, Palembang, Lampung, Kalimantan –
Barat – Selatan –Timur, Bali – Lombok, Sulawesi, Menado, dan
Ternate);
3. Perkara perdata tingkat I atas gugatan perdata kepada tergugat
orang Indonesia atau Timur Asing non Tionghoa yang tunduk
secara sukarela pada hukum perdata Eropa dengan nilai gugatan >
f.1500 (untuk wilayah idem di atas);
4. Perkara perdata atas gugatan orang Eropa, Tionghoa, Timur
Asing non Tionghoa dan Pribumi yang tunduk secara sukarela pada
hukum perdata Eropa (untuk wilayah Sumatera Barat dan
Tapanuli);
5. Perkara perdata bagi orang Eropa danTionghoa dengan nilai
gugatan tak terbatas (untuk wilayah Amboina, Tual, Irian Utara,
dan Irian Barat Sedangkan bagi orang Pribumi dan TimurAsing non
Tionghoa ke Residentiegerect).
b. Raad van Justitie, terdapat di daerah, Padang, membawahi
wilayah: Sumbar, Tapanuli, dan Bengkulu. Medan, membawahi
wilayah: Aceh, Sumatera Timur, dan Riau. Dan Makasar,
membawahi wilayah: Sulawesi,Manado. Timor, dan Maluku.
Kewenangan Raad van Justite sama dengan Raad van Justitie
Jawa&Madura.
D. Susunan pengadilan bagi golongan Pribumi di wilayah Jawa dan
Madura: Districtsgerecht.
a. Districtsgerecht terdapat di daerah kawedanan. Susunan
kelembagaan yang terdiri dari seorang wedana sbg hakim tunggal,
dengan kewenangan sebagai berikut:
1. Perkara pidana ringan/pelanaggaran (yang dilakukan oleh orang
pribumi) dengan ancaman denda maksimal f.3,-
2. Perkara perdata (gugatan oleh orang non Eropa danTionghoa)
dengan nilai gugatan.
b. Regentschapsgerecht, terdapat di kota-kota kabupaten, dengan
susunan kelembagaan yang terdiri dari seorang Bupati (atau Patih)
sebagai hakim tunggal, dibantu oleh pegawai kabupaten, penghulu
dan jaksa (adjunct magistraat). Regentschapsgerecht, memiliki
kewenangan sebagai berikut:
1. Pidana pelanggaran (oleh org Pribumi) dengan ancaman
hukuman maksimal 6 hari atau denda maksimal f.10,-;
2. Perdata (atas gugatan oleh orang non Eropa dan Tionghoa)
dengan tergugat orang Pribumi dengan nilai gugatan f.20;
3. Pengadilan tingkat banding dari Districtsgerecht;
c. Landraad, terdapat di kota-kota kabupaten atau kota lain sesuai
kebutuhan. Susunan kelembagaan yaitu terdiri dari majelis hakim
dengan seorang sarjana hukum sebagai hakim ketua yang
membawahi pegawai pemerintahan sebagai hakim anggota, seorang
panitera, seorang jaksa (jika perkara pidana), dan seorang penasihat
sidang jika yang diperkarakan orang beragama Islam atau golongan
lain yang berlaku hukum Adat. Landraad memiliki kewenangan
sebagai berikut yaitu:
1. Perkara perdata dan pidana (yang mengadili golongan Pribumi)
yang diperkenankan oleh UU untuk diadili pada tingkat pertama.
2. Perkara perdata pada tingkat pertama untuk golongan Timur
Asing non Tionghoa yang berlaku hukum adatnya.
3. Pengadilan tingkat banding dari Regentschapsgerecht.
4. Permohonan banding dari Landraad ke Raad van Justite.
E. Susunan pengadilan bagi golongan Pribumi untuk Wilayah Luar
Jawa dan Madura
a. Negorijrechtbank, hanya tedapat di desa (negorij) di Ambon.
Susunan kelembagaannya terdiri dari majelis yang diketuai kepala
negorij dengan anggota-anggota negorij sebagai anggota majelis.
Kewenangan Negorijrechtbank adalah menangani Perkara pidana
pelanggaran atas semua golongan yg diancam kurungan maksimal 6
hari atau denda maksimal f.15,- di luar pelanggaran fiscal.
b. Districtsgerecht, terdapat di kawedanan dari daerah Bangka
Belitung, Menado,Sumbar, Tapanuli, dan Kalimantan Selatan-
Timur. Susunan kelembagaannya terdiri dari hakim tunggal seorang
wedana untuk wilayah Bangka Belitung dan Manado, atau majelis
hakim dengan wedana sebagai ketua dan beberapa anggota yang
ditunjuk oleh Residen. Districtsgerecht mempunyai kewenangan
(untuk wilayah Bangka Belitung dan Manado) dalam perkara:
1. Perkara perdata atas gugatan oleh orang Pribumi danTimur Asing
non Tionghoa kepada orang Pribumi dengan nilai gugatan 8 f.50,-;
2. Perkara pidana pelanggaran (oleh orang Pribumi) dengan
ancaman kurungan maksimal 6 hari atau denda maksimal f.15,- di
luar pelanggaran fiscal;
3. Banding putusan Districtsgerecht dilakukan ke Landraad untuk
perkara dengan nilai > f.20,- , atau kebagian Magistraatsgerecht
untuk perkara pidana pelanggaran dengan ancaman kurungan atau
dengan f.3 <
c. Magistraatsgerecht, merupakan pengadilan setingkat Landgerecht
untuk wilayah-wilayah yang tidak terdapat Landgerecht. Susunan
kelembagaan Magistraatsgerecht adalah terdiri dari hakim tunggal
yang merupakan pegawai-pegawai pemerintah Belanda yang
diangkat oleh Residen. Kewenangannya adalah sebagai berikut:
1. Perkara pidana yang dilakukan oleh golongan Pribumi dan
TimurAsing non Tionghoa;
2. Perkara perdata bagi orang pribumi dan Timur Asing non
Tionghoa yang menundukkan diri secara sukarela pada hukum
perdata Eropa dengan nilai gugatan maksimal f.30,-;
3. Pengadilan tingkat banding dari putusan Distrcitsgerecht untuk
perkara pidana pelanggaran dengan ancaman kurungan atau dengan
f.3
d. Landgerecht, memiliki kedudukan dan susunan kelembagaan
yang sama dengan Landraad di Jawa, kecuali untuk daerah yang
kekurangan sarjana hukum diketuai oleh pegawai pemerintah
Belanda. Kewenangan Landgerecht adalah menangani perkara
perdata dan pidana sebagai pengadilan biasa bagi golongan pribumi.
Dan mengani perkara banding yang dilakukan ke Raad van Justitie;
F. Lembaga peradilan lain di luar lembaga-lembaga di atas, yaitu
terdiri dari:
a. Pengadilan Swapraja, terdapat di daerah yang memiliki
pemerintahan sendiri dan diselenggarakan oleh pemerintah tersebut
sebagai akibat kontrak politik dan ijin penyelenggaraannya oleh
Pemerintah Belanda (contoh: wilayah Surakarta danYogyakarta).
b. Peradilan Agama, terdapat di seluruh wilayah Hindia Belanda
yaitu pertama untuk wilayah Jawa & Madura, terdiri dari dua
tingkat yakni: Raad agama (Pri-esterraad) dan Mahkamah Tinggi
Islam (Hof voor Islamietische Zaken). Kedua untuk wilayah di luar
Jawa & Madura susunannya sama, hanya penamaannya berbeda
menyesuaikan dengan wilayah bersangkutan. Kewenangan
Peradilan Agama yaitu mengadili perkara perdata hukum keluarga
(masalah: nikah, talak/cerai, rujuk, waris, dan wakaf) orang Islam.
c. Pengadilan Militer, memiliki kewenangan untuk mengadili
perkara pidana oleh anggota militer (Angkatan Darat dan Angkatan
Laut) bagi semua golongan. Susunan kelembagaan Peradilan
Militer yaitu:
1. Krijgsraad untuk Angkatan Darat, terdapat di Padang, Cimahi,
dan Makasar. Tdr dari majelis hakim dengan seorang sipil sarjana
hukum sebagai ketua dan empat orang perwira sebagai anggota
yang diangkat oleh Komandan Garnisum, dan seorang Penuntut
Umum (Auditeur Militair) sarjana hukum.
2. Zeekrijgsraad_untuk Angkatan Laut, Susunan kelembagaannya
terdiri dari perwira-perwira angkatan laut yang mengadili perkara di
atas kapal.
3. Hoog Militair Gerechtshof, hanya terdapat di Batavia, sebagai
pengadilan tingkat Banding dari Krijgsraad dan Zeekrijgsraad.
G. Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945
Hukum yang berlaku pada masa pendudukan Jepang tidak berubah.
Peraturan Osamu Sirei (UU BalaTentara Jepang) No. 1 Tahun 1942
pasal 3 menyatakan:
“Segala badan pemerintahan dan kekuasannya, hukum dan
undangundang dari pemerintah yang dahulu tetap diakui sah bagi
sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan
pemerintah militer.” Sehingga pada saat itu politik hukum kembali
merujuk pada pasal 131 dan pasal 163 I.S.
Pemerintah Jepang melakukan perubahan atas badan-badan
peradilan. Perubahan atas badan-badan peradilan tersebut antara
lain, dihapuskannya dualisme dalam tata peradilan, sehingga badan-
badan peradilan yang ada diperuntukkan bagi semua golongan.
Berdasarkan kebijakan di atas, maka badan-badan peradilan yang
ada tinggal meliputi:
1. Hooggerechtshof sebagai pengadilan tertinggi, dengan nama
yang diganti menjadi Saiko Hoin.
2. Raad van Justite, yang berubah nama menjadi Koto Hoin.
3. Landraad, yang berubah nama menjadi Tiho Hoin.
4. Landgerecht, yang berubah nama menjadi Keizai Hoin.
5. Regentschapsgerecht, yang berubah nama menjadi Ken Hoin.
6. Districtsgerecht, yang berubah nama menjadi Gun Hoin.
H. Masa Kemerdekaan Tahun 1945 – sekarang
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (pra amandemen) menyatakan
bahwa: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
undang-undang dasar ini.”
Amandemen Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan:
“Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang
dasar ini.”
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 juga menyatakan: “Semua
badan negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk
melaksanakan ketentuan undang-undang dasar dan belum diadakan
yang baru menurut undang-undang dasar ini.”
Susunan pengadilan yang ditetapkan berdasarkan Ordonansi dan
Reglement tersebut merupakan pengadilan-pengadilan yang diakui
oleh Negara. Namun, di luar pengadilan tersebut masih terdapat
pengadilan yang berlakunya diakui pula oleh Negara, misalnya
pengadilan Agama dan pengadilan Adat. Dasar diakuinya
pengadilan agama adalah Pasal 134 Indische Ataatsregeiing (I.S)
yang menentukan bahwa dengan menyimpang dari ketentuan
tentang bak kekuasaan pengadilan-pengadilan yang diadakan oleh
Negara, perkara-perkara perdata diantara orang-orang Islam, apabila
sesuai dengan kehendak hukum adat, diadili oleh hukum agama,
sepanjang tidak ditentukan lain d dalam undang-undang.
Adapun dasar berlakunya pengadilan adat ditentukan dalam Pasal
130 I.S, yang menentukan bahwa dimana-mana sepanjang rakyat
Indonesia tidak dibiarkan mempunyai peradilan sendiri, maka di
Indonesia dilakukan peradilan atas nama raja. Ini berarti bahwa di
samping pengadilan-pengadilan oleh Negara, diakui dan dibiarkan
berlakunya pengadilan-pengadilan asli. Pengadilan ash ada 2 (dua)
macam, yaitu :
a. Pengadilan adat di sebagian daerah yang langsung ada di bawah
pemerintahan Hindia-Belanda;
b. Pengadilan Swapraja.
Lembaga pengadilan kembali mengalami perubahan ketika
Indonesia disusuki oleh Jepang. Pada waktu Balatentara jepang
dating di Indonesia, maka pengadilan-pengadilan Hindia-Belanda
ditutup. Perkara-perkara diselesaikan oleh Pangreh Raja. Keadaan
semacam itu berlangsung sampai bulan Mei 1942. Dan sejak
Pemerintah Pendudukan Jepang menjalankan kekuasaannya di
Indonesia peradilan dilakukan oleh Gunpokaigu, Gunritukaigi,
Gunsei Hooin, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja dan Peradilan
Adat.
Oleh karena itu, semua badan-badan peradilan dari Pemerintah
Hindia-Belanda, kecuali residentiegerecht, yang dihapuskan dengan
Undang-undang No. 4 tahun 1942 diganti namanya, enjadi sebagai
berikut:
a. Landraad menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri);
b. Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Pengadilan Kepolisian);
c. Regentschapsgerecht menjadi Ken Hooin (Pengadilan
Kabupaten);
d. Districtsgerecht menjadi Gun Hooi (Pengadilan Kewedanaan).
Setelah Indonesia merdeka, di awal kemerdekaan belum terlihat
adanya perubahan terhadap lembaga pengadilan. Berdasarkan Pasal
II aturan peralihan UUD 1945, maka susunan pengadilan masih
menggunakan seperti yang diatur di dalam Undang-Undang No. 34
tahun 1942. Perubahan mulai terjadi setelah dikeluarkannya
Undang-Undang No. 19 tahun 1948. Undang-undang ini bermaksud
melaksanakan Pasal 24 UUU 1945 tentang kekuasaan kehakiman
sealigus juga mencabut Undang-undang No. 7 tahun 1947 tentang
susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
Menurut Pasal 6 Undang-undang No. 19 tahun 1948 dalam Negara
RI dikenal adanya 3 lingkungan peradilan, yaitu :
1). Peradilan umum
2). Peradilan Tata Usaha Pemerintahan;
3). Peradilan Ketentaraan.
Selanjutnya Pasal 10 ayat 1 menyebutkan tentang sebagai
“pemegang kekuasaan dalam masyarakat yang memeriksa dan
memutus perkara-perkara yang menurut hokum yang hidup di
masyarakat desa”. Tentang peradilan agama tidak disebutkan oleh
Undang-undang No. 19 tahun 1948 itu, hanya dalam Pasal 35 ayat 2
ditetapkan bahwa perkara-perkara perdata antara orang Islam yang
menurut hokum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut
hokum agamanya, harus diperiksa oleh pengadilan Negeri, yang
terdiri dari seorang hakim beragama Islam, sebagai ketua dan dua
orang hakim ahli agama Islam sebagai anggota.
Pada saat Indonesia menjadi Negara Serikat, pengaturan lembaga
peradilan di dalam konstitusi RIS lebih luas dibandingkan dengan
UUD 1945. Sebagai jaminan terlaksananya peradilan dengan baik,
maka dalam KRIS diatur pula tentang syarat-syarat pengangkatan,
penghentiann pemecatan kecakapan dan kepribadian daripada
Hakim. Badan-badan peradilan yang ada seperti badan peradilan
umum tetap dipertahankan, termasuk juga Peradilan Swapraja tetap
dilanjutkan, kecuali peradilan Swapraja di Jawa dan Sumatra telah
dihapuskan dengan Undang-undang No. 23 tahun 1947. Peradilan
tetap dipertahankan demikian juga peradilan agama. KRIS telah
mengatur pula peradilan tata usaha sekalipun belum ada peraturan
pelaksanaanya.
Perubahan terhadap lembaga pengadilan kembali terjadi setelah
Republik Indonesia enjadi Negara kesatuan. Ketika Negara RIS
menggunakan KRIS, namun setelah RI menjadi Negara Kesatuan
KRIS tidak lagi digunakan, yang digunakan adalah UUDS
(Undang-Undang Dasar Sementara). Perubahan ini dengan
sendirinya berpengaruh kepada lembaga peradilannya. Karena
UUDS tidak lagi mengenal daerah-daerah atau Negara-negara
bagian, berarti pula tidak dikenal lagi pengadilan-pengadilan di
daerah bagian sebagai realisasi dari UUDS, maka pada tahun 1951
diundangkannya UU Darurat No. 1 Tahun 1951. UU Darurat inilah
yang kemudian menjadi dasar menghapuskan beberapa pengadilan
yang tidak sesuai dengan Negara Kesatuan, termasuk secara
berangsur-angsur menghapuskan pengadilan tertentu dan semua
pengadilan adat.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Negara Republik Indonesia
kembali menggunakan UUD 1945 yang sampai sekarang masih
berlaku, sekalipun telah mengalami amandemen. Sejak mulai
berlakunya kembali UUD 1945, lembaga pengadilan telah berbeda
jauh dengan lembaga pengadilan sebelumnya. Sejak itu tidak
dijumpai lagi peradilan Swapraja, peradilan adat, peradilan desa,
namun badan-badan peradilan telah berubah dan berkembang.
Berdasarkan Pasal 10 Undang-undang No. 14 tahun 1970
menyebutkan adanya empat lingkungan peradilan yakni peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha
negara.
Kemudian sejalan jatuhnya pemerintahan Orde baru yang disertai
dengan tuntutan Reformasi di segala bidang termasuk hokum dan
peradilan, maka para Hakim yang tergabung dalam Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI) mendesak emerintah supaya segera mereformasi
lembaga peradilan. Karena kekuasaan Pengadilan yang ada saat itu
masih belum bisa dipisahkan dari Eksekutif, oleh karena untuk
urusan administrasi dan finansial masih di bawah Menteri
Kehakiman yang merupakan pembantu presiden. Perjuangan
menjadi kekuasaan Yudikatif yang mandiri dibawah Mahkamah
Agung berlangsung cukup lama hingga kemudian mengalami
perkembangan ang cukup mendasar, yakni setelah dikeluarkannya
Undang-undang No. 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 4 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Dari sinilah kemudian ke empat lingkungan
badan peradilan dikembalikan menjadi Yudikatif di bawah satu atap
Mahkamah Agung. Undang-undang itu sendiri kemudian di cabut
dengan berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman untuk menyesuaikan dengan adanya
amandemen UUD 1945.
Dengan berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 2004, kembali
terjadi perubahan yang mendasar terhadap badan/lembaga peradilan
di Indonesia. Perubahan ini tidak saja terjadi pada elemen
lembaganya, melainkan perubahan ini terjadi pada
pengorganisasiannya, baik mengenai organisasinya, administrasi,
dan finansial, yakni semula berada di bawah kekuasaan kehakiman
berubah menjadi berada di bawah kekuasaan mahkamah Agung.
Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan organisasi,
administrasi, dan finansial lembaga pengadilan bukan lagi menjadi
urusan Departemen Hukum dan HAM melainkan menjadi urusan
Mahkamah Agung. Sementara itu, organisasi, administrasi, dan
finansial badan-badan peradilan lainnya untuk masing-masing
lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan
kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
Perubahan pada elemen kelembagaan, yakni ditandai dengan
dilahirkannya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga
peradilan yang bertugas membentengi penyelewengan dan
penyimpangan terhadap UUD 1945. Berdasarkan Pasal 12 UU No.
4 tahun 2004 menyebutkan sebagai berikut :
(1). Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
 Menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945;
 Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
 Memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan
tentang hasil Pemilihan Umum.
(2). Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakray bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden
diduga telah melakukan pelanggaran hokum berupa penghianatan
terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya
atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan atau Wakil Presiden.
Perubahan ini telah melahirkan 2 (dua) mahkamah di negeri ini dan
keduanya mempunyai kedudukan yang sama, yakni sama-sama
sebagai pelaksana kekuasan kehakiman. Sekalipun kedudukannya
sama, dalam hal kewenangan ternyata undang-undang memberikan
kewenangan yang berbeda satu dengan yag lainnya.
Demikianlah perkembangan lembaga pengadilan yang terjadi di
Indonesia. Apakah akan mengalami perubahan kembali, perubahan
itu pasti terjadi karena hukum selalu ada karena manusia sedangkan
manusia senantiasa bergerak dan berubah dan tidak ada sesuatu
yang tetap, namun apakah perubahan itu menjadi lebih baik ataukah
malah menjadi semakin buruk, maka waktulah yang akan
menentukan.
BAB III
Kesimpulan

Dari uraian perjalanan panjang sejarah lembaga peradilan di


Indonesia dapat kita simpulkan bahwa lembaga Pengadilan
senantiasa berubah dari waktu ke waktu mengikuti perubahan
masyarakatnya. Perubahan itu tentunya kea rah penyempurnaan
kelembagaan yang lebih baik sehingga bisa menjadikan Pengadilan
yang bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya sebagai pilar Negara
hukum.

DAFTAR PUSTAKA
R. Tresna, “Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad”, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1977.
Sudikno Mertokusumo, “Sejarah Peradilan dan Perundang-
undangannya di Indonesia sejak 1942 dan apakah kemanfaatannya
bagi bangsa Indonesia”, Liberty, Yogjakarta, 1983.

https://fauzirijal.wordpress.com/2013/01/13/sejarah-lembaga-peradilan-di-

indonesia/
Oleh : Rosmanizar Caniago

Semester II Fakultas Hukum UMN Al-WASHLIYAH MEDAN 2012


BAB I PENDAHULUAN
Sebagai negara yang dalam konstitusinya menamakan dirinya negara hukum, maka sesungguhnya
fungsi lembaga peradilan bagi Indonesia amatlah penting. Suatu negara dapat dikatakan sebagai
negara hukum dapat diukur dari pandangan bagaimana hukum itu diperlakukan di Indonesia,
apakah ada sistem peradilan yang baik dan tidak memihak serta bagaimana bentuk-bentuk
pengadilannya dalam menjalankan fungsi peradilan.
Sejarah perkembangan lembaga pengadilan di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama sejalan
dengan perkembangan sistem hukum yang ada di Indonesia. Bahkan sebelum bangsa Eropa
(Belanda) datang ke Indonesia, kita sebenarnya telah memiliki berbagai macam lembaga peradilan
yang dipimpin oleh Raja sekalipun susunan dan jumlahnya masih terbatas bila dibandingkan
dengan yang ada sekarang ini. Lembaga pengadilan dari zaman ke zaman akan mengalami
perubahan dan perkembangan sejalan dengan perkembangan dan perubahan masyarakatnya itu
sendiri.
Jika kita melihat ke belakang, ketika negara ini masih terpisah menjadi berbagai kerajaan-kerajaan,
adalah suatu kenyataan oleh karena kerajaan- kerajaan di Indonesia itu yang berdaulat adalah
raja, yang berkuasa secara mutlak, dimana soal hidup dan mati rakyat ada pada tangannya,
makakekuasaan mengadili pun ada pada raja sendiri. Sebagai contoh di zaman Kerajaan Kalingga,
peradilan dipimpin sendiri oleh Ratu Shima yang menghukum adiknya sendiri karena melanggar
aturan yang dibuat oleh kerajaan.
Ketika Hindia Belanda berkuasa dikenal adanya dualisme dalam sistem pengadilan di Indonesia.
Karena adanya pemisahan Pengadilan untuk golongan yang berbeda dengan pengadilan untuk
golongan Pribumi (bangsa Indonesia). Namun pada saat itu sudah ada pengklasifikasian jenis
peradilan berdasarkan
yurisdiksi perkara yang ditangani.
Kemudian pada periode awal kemerdekaan hingga tahun 1960-an dimana perkembangan hukum
nasional diarahkan untuk mensukseskan revolusi nasional melawan neo kolonialisme maka peran
pengadilan sangat penting dalam mendorong transformasi hukum kolonial menjadi hukum
nasional. Sedangkan perkembangan pengadilan dalam masa Orde Baru diarahkan untuk
mengembalikan wibawa hukum dengan memperkenalkan konsep hukum sebagai sarana
merekayasa masyarakat (law as a tool of social enginering) untuk suksesnya pembangunan.1
Namun kenyataan selama hampir 30 tahun lamanya kekuasaan Orde Baru, hukum dan peradilan
justru mengalami kemerosotan karena tatanan hukum yang ada saat itu dilandasi oleh paradigma
kekuasaan, sentralisme dan monolitik.
Namun seiring dengan jatuhnya pemerintahan Orde baru dan dimulainya era reformasi disegala
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, bergulir pula tuntutan untuk mereformasi hukum
secara menyeluruh. Dengan melihat hukum sebagai suatu sistem sebagaimana dikemukakan
L.M.Friedman, maka reformasi hukum selain menyangkut perbaikan substansi peraturan
perundang-undangan, juga harus menyentuh struktur/kelembagaan penegakan hukum serta
kultur/budaya hukum masyarakatnya. Sejalan dengan tuntutan Reformasi dan amandemen UUD
1945 muncul lembaga peradilan baru yaitu Mahkamah Konstitusi, yang diharapkan keberadaannya
dapat meningkatkan wibawa hukum dan peradilan di Indonesia.[1]
BAB II  PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Peradilan
Ada banyak sekali pengertian dari Peradilan, antara lain :
o       Menurut FOCHEMA ANDREA, Peradilan adalah organisasi yang diciptakan negara untuk
memeriksa dan menyelesaikan sengketa hukum.
o       Menurut LEMAERE, Peradilan adalah sebagai suatu pelaksanaan hukum dalam hal adanya
tuntutan hak.
o       Menurut VAN KAN, Peradilan adalah pekerjaan hakim atau badan peradilan.
2.2 Badan Peradilan di Masa Hindia-Belanda
Menurut SOEPOMO ada lima tatanan peradilan Hindia Belanda, yaitu :
      Peradilan Gubernemen
      Peradilan Pribumi
      Peradilan Swapraja
      Peradilan Agama
      Peradilan Desa
      PERADILAN GUBERNEMEN
Peradilan ini merupakan peradilan Pemerintah Hindia Belanda, yang dilaksanakan atas nama
Ratu, yang meliputi seluruh daerah Hindia Belanda dan berlaku untuk semua golongan penduduk,
dengan perkecualian-perkecualian. Peradilan Gubernemen ini tersebar di seluruh daerah “Hindia-
Belanda”.
Peradilan Gubernemen ini terdiri dari :
Ø      Peradilan Gubernemen Bumiputera
1.      Districtsgerecht (Pengadilan Kewedanan)
2.      Regentshapsgerecht (Pengadilan Kabupaten)
§         Landraad
Adalah peradilan tingkat pertama untuk semua perkara perdata dan pidana terhadap orang
Indonesia, yang tidak dengan tegas oleh UU dipercayakan pada peradilan lain. Dalam perkara
pidana, Landraad merupakan pengadilan tingkat pertama bagi orang Tionghoa dan Timur Asing
(TA). Dalam perkara pidana kedudukan orang Tionghoa dan TA sama dengan orang Indonesia.
§         Landgerecht
Landgerecht hanya mempunyai kekuasaan mengadili dalam perkara pidana, dengan tidak
memandang kebangsaan terdakwa dalam tingkat pertama dan terakhir terhadap “semua
pelanggaran (dan beberapa kejahatan ringan) yang diancam hukuman kurungan paling lama 3
bulan atau denda paling banyak 500 rupiah”
3.      Raad Van Justitie
Berkedudukan di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Merupakan pengadilan Tingkat Pertama untuk
orang Eropa dan Tionghoa untuk perkara perdata dan pidana. Putusan Raad Van Justitie
sepanjang terdakwa tidak dibebaskan dari segala tuntutan, dapat dimintakan revisi kepada
Hooggerechtshof.
Pada pengadilan RvJ (Raad Van Justitie) itu dipekerjakan seseorang advokat-fiksal, yang dalam
perkara pidana menjadi penuntut umum akan tetapi di dalam perkara sipil bertindak sebagai
anggota biasa. Jadi badan pengadilan pada tingkat pertama dan terakhir untuk pegawai-pegawai
Belanda dilakukan pada pengadilan ini, Badan pengadilan Apple untuk penduduk kota yng minta
bandingan atas keputusan-keputusan schepenbank[2] dilakukan juga pada pengadilan ini[3]
4.      Hooggerechtshof
Merupakan pengadilan tertinggi dan berkedudukan di Jakarta, dan daerah hukumnya meliputi
seluruh Hindia Belanda.
Ø      Peradilan Gubernemen Eropa dan yang dipersamakan :
1.      –  Residentiegerecht
Keadaan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah mengadili
perkara perdata bagi orang Eropa dan yang dipersamakan.
– Landgerecht
Kedudukan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah mengadili
perkara bagi orang Eropa.
2. Raad Van Justitie
Berkedudukan di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Merupakan pengadilan Tingkat Pertama untuk
orang Eropa dan Tionghoa untuk perkara perdata dan pidana. Putusan Raad Van Justitie
sepanjang terdakwa tidak dibebaskan dari segala tuntutan, dapat dimintakan revisi kepada
Hooggerechtshof.
3.      Hooggerechtshof
Merupakan pengadilan tertinggi dan berkedudukan di Jakarta, dan daerah hukumnya meliputi
seluruh Hindia Belanda.
      PERADILAN PRIBUMI
Peradilan Pribumi ini tersebar di luar Jawa dan Madura, yaitu di Keresidenan Aceh, Tapanuli,
Sumatera-Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu, Riau, Kalimantan-Barat, Kalimantan-Selatan,
Kalimantan-Timur, Manado dan Lombok..
      PERADILAN SWAPRAJA
Peradilan Swapraja yang ada dan di kelola oleh raja-raja, sultan-sultan atau pangeran-pangeran.
Untuk daerah yang tidak  langsung diperintah oleh pemerintah Hindia-Belanda juga didapati
beragam bentuk beda penyelesaian sengketa yang lain seperti yang lazim disebut Pengadilan
Desa (Desa Rechtspraak)[4]. Peradilan Swapraja ini tersebar hampir di seluruh daerah swapraja,
kecuali di Pakualaman dan Pontianak.
      PERADILAN AGAMA
Peradilan Agama ini tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan Peradilan Gubernemen, di
daerah-daerah dan menjadi bagian dari Peradilan Pribumi, atau di daerah-daerah swapraja dan
menjadi bagian dari Peradilan Swapraja.
Pada zaman penjajahan Belanda, kita menjumpai beberapa macam instruksi gubernur Jendral
yang ditujukan kepada para Bupati, khususnya di pantai utara Jawa agar memberi kesempatan
kepada para ulama menyelesaikan perselisihan perdata di kalangan penduduk menurut ajaran
Islam. Bahkan, konon Keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit) No. 19 tanggal 24 Januari
1882 yang kemudian diumumkan dalam Staatsblad tahun 1882 No. 152 tentang pembentukan
Pristeerraad (Pengadilan Agama) didasarkan atas teori Van DenBerg yang menganut paham
receptio in complexu, yang berarti bahwa hokum yang berlaku bagi pribumi adalah hukum agama
yang dipeluknya.[5]. Barangkali sangat taat menjalankan syariat agamanya.Teori Van Den Berg
tersebut ditentang oleh Snuuck Hurgronje dkk yang menganut paham teori receptie yang intinya
menyatakan bahwa hukum Islam dipandang sebagai hukum apabila telah diterima (di-recipiir) oleh
hukum adat. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa masalah ini menyangkut masalah politik hukum
Belanda. Namun, dengan segala kekurangan dan kesederhanaan Pengadilan Agama dikala itu,
ada sesuatu yang tidak dapat dipungkiri yaitu berlakunya hukum Islam ditanah air.
           PERADILAN  DESA
Peradilan Desa ini tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan Peradilan Gubernemen. Di
samping itu, ada juga Peradilan Desa yang merupakan bagian dari Peradilan Pribumi atau
Peradilan Swapraja.[6]
2.3 Dualisme Tata cara Peradilan di Indonesia
Dualisme badan peradilan telah berjalan selama berthaun-tahun lamanya. Penggolongan hukum
dan penggolongan penduduk yang mempengaruhi pengadilan.[7]
Untuk Eropa tingkat peradilannya yaitu[8] :
ü      Hooggerechtshof (HGH) dan
ü      Raad Van Justitie (RvJ)
Untuk orang pribumi tingkat peradilannya yaitu[9] :
ü      Districtgerecht
ü      Regentschapsgerecht
ü      Landraad
ü      Rechtbank Van Ommegang
ü      Rechtspraak ter Politierol
         Peradilan di Indonesia dibenahi agar dapat memperluas kewenangan peradilan Belanda
dengan menarik sedikit demi sdikit kewenangan raja-raja yang berkuasa.[10]Keruwetan hokum
yang ada di Indonesia bukan hanya pada substansi hokum melainkan pada peradilannya juga.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan banyaknya perubahan yang terjadi di Indonesia pada zaman pemerintahan Hindi-Belanda
dapat kita simpulkan bahwa Lembaga Peradilan juga yang salah satunya  mengalami perubahan
dari masa ke masa mengikuti perubahan zaman ataupun perubahan yang diinginkan masyarakat.
            Perubahan yang terjadi tersebut tentunya sesuai yang diinginkan bersama, yaitu menuju
Sistem Peradilan yang lebih baik alam tahap proses kesempurnaan suatu Lembaga Peradilan
pada suatu Negara Hukum (Rechstaat).
 
DAFTAR PUSTAKA
      Sudikno Mertokusumo, “Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia sejak
1942 dan apakah kemanfaatannya bagi bangsa Indonesia”, Liberty, Yogjakarta, 1983,
      Supomo. R, “Sistim Hukum di Indonesia (sebelum perang dunia II)” Noordhoff-Kolff N.V.,
Jakarta, 1957.
      http://mardian.wordpress.com/2009/08/11/perbandingan-sistem-hukum-hindia-belanda-dengan-
indonesia/
      http://annida.harid.web.id/?p=354
      http://www.scribd.com/doc/33928318/Perkembangan-Peradilan-Indonesia-Dari-Zaman-
Kolonial-Sampai-Masa-Kemerdekaan-Agung-Yuriandi
      http://www.scribd.com/doc/27490397/Peradilan-Agama-Indonesia#feedback
      http://annida.harid.web.id/?p=354
      http://pandidikan.blogspot.com/2010/05/sejarah-peradilan-di-indonesia.html

[1]Sutandyo Wignyosubroto, “DARI HUKUM KOLONIAL KE HUKUM NASIONAL,


Suatu Kajian tentang Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah
Abad di Indonesia (1840-1990)”, penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm:226-227.
[2] Muhammad Arifin. Op. Cit schepenbank adalah suatu badan pengadilan untuk segala penduduk
kota yang merdeka (bukan budak) dari bangsa apapun, kecuali pegawai-pegawai kompeni dan
serdadu-seradadu kompeni.)
[3] (Muhammad Arifin. Op. Cit)
[4] Sunarmi. Op. Cit
[5] Ahmad Amrullah, Dimensi Hukum Islam, Gema Insani Press, Jakarta: 1996. hal 56
[6] Ibid, ….hal 110.
[7] Sunarmi. Op. Cit
[8] Sunarmi. Op. Cit
[9] Sunarmi. Op. Cit
[10] Sunarmi. Op. Cit

https://rosmanizarcaniago.wordpress.com/2012/03/23/makalah-pengantar-ilmu-

hukum-peradilan-di-zaman-hindia-belanda/
Sejarah Perkembangan Lembaga/Badan Peradilan di Indonesia, (http://legal-

community.blogspot.co.id, diakses 18 Maret 2018)

SEJARAH PERKEMBANGAN LEMBAGA/BADAN

PERADILAN DI INDONESIA

SEJARAH PERKEMBANGAN LEMBAGA/BADAN PERADILAN

DI INDONESIA

A.    Masa Penjajahan Hindia Belanda

Sebagaimana kita ketahui, pada waktu pemerintahan Hindia Belanda

masih menguasai Indonesia, penduduk di Indonesia dibagi ke dalam beberapa

golongan. Yang mendasarinya adalah Pasal 131 dan 163 Indische

Staatsregeling disingkat IS. Berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa bagi

golongan Eropa dan mereka yang disamakan berlaku hukum negeri Belanda yang
juga dapat disbeut hukum Barat, sedangkan bagi golongan Bumi Putera dan

mereka yang disamakan berlaku hukum adatnya masing-masing. Terhadap

golongan Bumiputera ini dapat juga berlaku hukum Barat jika ada kepentingan

umum dan kepentingan sosial yang dibutuhkan. Bagi golongan Cina dan Timur

asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku

hukum Barat dengan beberapa pengecualian.

Karena adanya perbedaan perlakuan hukum tersebut, konsekuensinya

adalah adanya perbedaan pula dalam badan-badan peradilan berikut hukum

acaranya. Peradilan untuk Golongan Eropa dan mereka yang disamakan

kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Raad van Justitie dan Residentie-

gerecht sebagai peradilan sehari-hari.


Untuk golongan Bumiputera dan mereka yang disamakan kedudukannya

dengan golongan tersebut adalah Landraad sebagai peradilan sehari-hari dan

beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan distrik dan

sebagainya. Hukum acara yang dipergunakan adalah yang termuat

dalam Herziene Inlandscb Reglementdisingkat HIR, sedangkan untuk daerah-

daerah di luar Pulau Jawa dan Madura diatur menjadi satu dengan Recbtsgelement

Buitengewesen atau Rbg.

Tata peradilan pada waktu Zaman Hindia Belanda diatur sebagai berikut:

a.       Untuk Pulau Jawa dan Madura berlaku Peraturan Organisasi Peradilan dan

Kebijaksanaan Kehakiman di Hindia Belanda (Regelement op de Rechterlijke

Organisatie en bet Beleid der Justitie disingkat R.O).

b.      Untuk luar pulau Jawa dan Madura berlaku Peraturan Peradilan dengan seberang

laut (Rechtsreglemen, Buitengewesten/Rbg).

Sedangkan dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman kolonial

Belanda ini adalah Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBg yang berbunyi:

Jika orang Indonesia dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka

diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan

perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.

Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang

bersengketa untuk menyelesaikan di luar pengadilan. Namun demikian HIR

maupun RBg tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan

tesebut, pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBg langsung menunjuk aturan pasal-pasal

yang terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de

Bergerlijke Recbtsvorderingdisingkat Rv, S. 1847-52 jo 1849-63)

Dengan mengacu kepada adanya politik hukum yang membedakan tiga

kelompok penduduk tersebut di atas, bagi golongan Bumiputera, hukum material


yang berlaku pada dasarnya diterapkan hukum adat. Pengadilannya tunduk pada

pengadilan Landraad sebagai peradilan tingkat pertama. Hukum acara yang

dipergunakan adalah HIR untuk daerah Pulau Jawa dan Madura dan RBg untuk

daerah di luar pulau Jawa dan Madura (tanah seberang).

Bagi Golongan Timur Asing dan Eropa, Hukum Perdata material yang

berlaku adalah Burgerlijk Wetboek-BW (Kitab Undang-undang Hukum Perdata)

dan Wetboek van Kophandel-Wvk (Kitab Undang-undang Hukum Dagang).

Hukum acaranya adalah Reglement Acara Perdata (Rv).

Pada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipakai oleh para pedagang baik

sebagai eksportir maupun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada tiga

badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda , yaitu:

1.      Badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia

2.      Badan arbitrase tentang kebakaran;

3.      Badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan.

B.     Zaman Penjajahan Jepang

Pada waktu Jepang masuk menggantikan kedudukan penjajahan Belanda,

Peradilan Raad van Justitie dan Residen tiegerecht dihapuskan. Jepang

membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi

nama Tiboo Hooin. Badna peradilan ini merupakan peradilan kelanjutan

dari Landraad. Hukum acaranya tetap mengacu pada HIR dan RBg.

Dengan demikian pada waktu penjajahan Jepang penyelesaian kasus

arbitrase juga mengacu pada Buku III Rv. Yang berjudul Recbtspleging van

onderscheiden aard(peradilan bentuk lainnya), Titel I di bawah judul van de

uitspraken van scheidsmannen(keputusan-keputusan yang dijatuhkan juru

pemisah) dan diatur dalam Pasal 615 sampai dengan 651.


Mengenai berlakunya arbitrase ini, pemerintah Jepang pernah

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa:

semua badan-badan Pemerintahan dan kekuasaan hukum dan Undang-undang

dari Pemerintah dahulu- Pemerintahan Hindia Belanda- tetap diakui sah buat

sementara asal tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer Jepang.

C.    Zaman Indonesia Merdeka

untuk mencegah terjadinya kevakuman hukum, pada waktu Indonesia

merdeka, diberlakukanlah Pasal 11 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar

1945 tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan:

"Segala Badan Negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama

belum diadakan yang baru menurut Undang- undang Dasar ini".

Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden juga telah mengeluarkan

Peraturan Nomor 2 yang dalam pasal 1 menyatakan "segala badan- badan

Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara

Republik Indonesia pada tanggal 17Agustits 1945 selainya belum diadakan

yang baru menurut UUD masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar tersebut".

Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian sengketa melalui

arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR, RBg dan RVJ Mengenai badan

peradilannya di beberapa bagian Republik Indonesia yang dikuasai Belanda

sebagai pengganti peradilan zaman Jepang, diadakan landrechter  untuk semua

orang sebagai peradilan sehari-hari dan Appelraad  sebagai peradilan dalam

perkara perdata tingkat kedua. Selanjutnya pada waktu terjadinya Republik

Indonesia Serikat, landrechter  ini menjadi Pengadilan Ncgeri,

sedangkan Appelraad  menjadi Pengadilan Tinggi, sesuai dengan ketentuan


yang berlaku di daerah-daerah yang tidak pernah dikuasai oleh Pemerintah

Belanda.

Ketika berlakunya Undang-undang Darurat Nomor 1 tahun 1951

tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya di seluruh Indonesia hanya ada

tiga macam badan peradilan yaitu Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat

pertama, Pengadilan Tinggi sebagai peradilan tingkat kedua atau banding, dan

Mahkamah Agung sebagai peradilan tingkat kasasi. Namun diluar itu ternyata

masih dikenal peradilan adat dan swapraja.

Pada zaman Repuhlik Indonesia Serikat, menurut konstitusi yang

berlaku saat itu (konstitusi RIS), dalam pasal 192 konstitusi RIS tersebut

dinyatakan bahwa:

1. Peraturan-peraturan, undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata

usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku (menurut

pasal    197 Konstitusi RIS pada saat pemulihan kedaulatan, yaitu pada

tanggal 27 Desember 1949) tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai

peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan RIS sendiri, selama ada sekedar

peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentitan itu tidak di cabut, ditambah

atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaba atas

kuasa konstitusi ini.

2. Pelanjutan peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-

ketentuan tata usaba yang sudah ada sebagai diterangkan dalam ayat I hanya

berlaku, sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak

bertentangan dengan ketentuan Piagam Pemulihan Kedaulatan Status UNI,

Persetujuan peralihan ataupun persetujuan-persetujuan yang lain yang

berhubungan dengan pemulihan kedaulatan dan sekedar peraturan-peraturan


dan ketentuan-ketentuan konstitusi ini tidak memerlukan peraturan-peraturan

undang-undang atau tindakan menjalankan. "

Selanjutnya jika kita lihat ketentuan dalam Undang-Undang Dasar

Sementara 1950, pasal 142-nya menyatakan bahwa:

"Peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaba yang sudah

ada pada tangal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai

peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendir, selama

dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak diabut,

ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha

atas kuasa Undang-undang Dasar ini.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semua peraturan-

peraturan yang sudah ada sejak zaman penjajahan Hindia Belanda dulu selama

belum diubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan tentang

arbitrase yang diatur dalam Rv juga tetap berlaku. Keadaan ini  terus berlanjut

sampai dikeluarkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

http://legal-community.blogspot.co.id/2011/08/sejarah-perkembangan-

lembagabadan.html
Peradilan Agama zaman penjajahan Belanda dan

Jepang

                                                                             BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Berbicara tentang peradilan agama di Indonesia tidak akan lepas dari


sejarah yang melatar belakanginya, ada empat produk hukum yang mempengaruhi
berlakunya hukum di Indonesia, yaitu hukum adat masyarakat asli sebagai warga
pribumi, hukum Eropa daratan (kontinental) yang dikenal dengan civil law,
hukum Eropa kepulauan yang dikenal dengan nama common law atau Anglo
Saxon yang dibawa oleh penjajah Belanda, serta hukum Islam sebagai produk
pemahaman Islam yang dipopulerkan oleh penduduk muslim Indonesia pada masa
kerajaan-kerajaan Islam.
Peradilan Islam dalam sejarahnya mengalami pasang surut, itu mungkin
tidak lepas dari kenyataan adanya beberapa produk hukum yang berbeda yang
saling mengambil tempat untuk bisa eksis dan diaplikasikan di Indonesia oleh
masing-masing penggagasnya, keadaan sosial masyarakat, sistem pemerintahan
yang sedang berkuasa, sangat mempengaruhi perkembangan Peradilan Islam di
Indonesia.
Hal-hal tersebut bisa terlihat dari potret sejarah perjalanan Peradilan
agama. Penulis menilai ini sangat menarik sekali untuk dikaji karena akan
memberikan gambaran kepada kita faktor-faktor yang mempengaruhi pasang
surut perjalanan Peradilan Agama di Indonesia, sehingga mungkin akan
menumbuhkan sikap tertentu dan paradigma baru yang akan membawa kepada
masa depan Peradilan Agama yang lebih baik lagi, karena bagaimanapun juga ini
merupakan salah satu simbol kebesaran Islam yang ada di Indonesia.
B.     RUMUSAN MASALAH
Penulis membatasi pembahasan dalam penulisan ini pada masalah-masalah
sebagai berikut :
1.      Bagaimana sejarah perjalanan Peradilan Agama pada Masa Penjajahan Belanda ?
2.      Bagaimana sejarah perjalanan Peradilan Agama pada Masa Penjajahan Jepang ?

C.    METODOLOGI PENULISAN
Kajian ini adalah merupakan bentuk penelitian kualitatif, yang
menekankan kajian kepustakaan (library research) untuk mencari data-data
tentang sejarah Peradilan Agama melalui pendekatan Teori Sosial, Tata Negara,
dan Living Law, sehingga diharapkan akan ditemukan sebuah gambaran tentang
tumbuh kembang Peradilan Agama pada saat itu serta factor-faktor yang
mempengaruhinya, baik kondisi sosial, politik, maupun budaya saat itu.
D.    SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memudahkan pemahaman serta terfokusnya penulisan ini, penulis
menyusunnya dengan sistematima sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang, runusan masalah, serta sistematika penulisan.
BAB II : PEMBAHASAN
Berisi pemaparan tentang sejarah Peradilan Agama pada masa penjajahan
Belanda, yang meliputi tiga periode, masa transisi, masa tahun 1882-1837. Dan
masa setelah tahun 1937 sampai penjajahan Jepang. Kemudian perjalanan
Peradilan Agama pada masa pendudukan Jepang sampai merdeka.
BAB III : KESIMPULAN DAN PENUTUP

BAB II

PEMBAHASAN

A.    SEJARAH PERADILAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA

Dalam memahami potret perjalanan peradilan agama di Indonesia pada


masa penjajahan, dapat di klasifikasi menjadi beberapa periode, yaitu era sebelum
tahun 1882 pada masa kerajaan-kerajaan dan awal pendudukan belanda dan masa
setelah belanda melancarkan politik hukum, setelah tahun 1882 sampai sekitar
tahun 1937, dari sekitar tahun 1937 sampai pendudukan jepang, dan era setelah
pendudukan jepang sampai Indonesia merdeka. Berikut ini akan dipaparkan
secara detail perjalanan peradilan agama dalam periode-periode tersebut.  
a.      Sebelum tahun 1882 (masa transisi)
Sebelum belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia[1], hukum
Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat,
baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang-undangan negara.
Kerajaan-kerajaan islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum
islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing, dengan timbulnya komunitas-
komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang
memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan.
Masyarakat pada masa kerajaan sampai awal kolonial belanda berkuasa
dengan rela dan patuh serta tunduk mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai
dimensi kehidupan. Namun, keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan
munculnya kolonialisme barat yang membawa misi tertrentu, mulai dari misi
dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi[2].
Peradilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para
penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang-sidang
pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid,
sehingga pengadilan agama sering pula disebut “pengadilan serambi”.
Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan
isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat
dipisahkan. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama
termasuk bagian tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, para ulama yang
memegang kekuasaan dalam Peradilan Agama merupakan penghulu kraton yang
mengurus keagamaan islam dalam semua aspek kehidupan. Kewenangan
Peradilan Agama yang diselenggarakan oleh pihak keraton tersebut sangat luas
mencakup perbagai permasalahan kemasyarakatan dan kerajaan.
Eksistensi Peradilan Agama yang di praktekkan tersebut merupakan bukti
bahwa hukum Islam telah mampu melebur dengan hukum adat Indonesia, dan
justru lebih bisa di terima oleh masyarakat. Hal ini tentu tidak terlepas dari
keadaan sosial masyarakat saat itu yang mayoritasnya sudah memeluk agama
Islam, selain itu kekuasaan pemerintahan kerajaan juga sangat mendukung
aktifnya Peradilan Agama.
Setelah Belanda datang ke Indonesia dan mulai menjajah, dengan VOC
yang merupakan badan persatuan pedagang yang sekaligus berfungsi sebagai
badan pemerintahan mereka di Indonesia, keadaan sedikit berubah, mereka
berusaha mengikis eksistensi Peradilan Agama yang diparaktekkan oleh warga
pribumi melalui kebijakan-kebijakan mereka, pada tanggal 4 maret 1620 mereka
mengeluarkan instruksi agar di semua daerah yag dikuasai VOC harus
diberlakukan Hukum Sipil Belanda[3]. usaha mereka ini tidak berhasil karena
tidak diterima oleh masyarakat, dan bahkan mereka banyak yang melakukan
perlawanan.
Pada tanggal 25 mei 1760 berlakunya Hukum Islam di akui oleh VOC
melalui Resolutie der Indische Regeling, yaitu berupa kumpulan aturan Hukum
Perkawinan dan Hukum Kewarisan mebnurut Hukum Islam[4].
Hal ini mngkin disebabkan karena sistem pemerintahan Belanda belum
kuat kekuasaannya, dan juga idealisme serta fanatisme keberagamaan masyarakat
Indonesia pada saat itu yang sangat kuat sekali, sehingga upaya pemerintah
Belanda untuk menekan Peradilan Agama dan memasukkan hukum Eropa kurang
berjalan lancar.
Kemudian pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811)
Pengadilan  Agama belum berdiri sendiri sebagai lembaga independen, meskipun
demikian untuk daerah Banten, daendels membiarkan adanya Pengadilan
Penghulu yang dapat praktik memutuskan perkara-perkara kekeluargaan menurut
hukum Islam. Di daerah-daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, walaupun tidak
ada Pengadilan Agama di setiap landgerecht diikut sertakan seorang penghulu
yang akan ikut memberikan pertimbangan bila ketua (bupati) Landoros beserta
anggota akan memutuskan perkara./ untuk setiap viredesqerecht di Jawa Tengah
dan Jawa Timur diangkat seorang penghulu sebagai anggota
dan viredesqerecht ini akan memutuskan perkara-perkara kecil misalnya
perselisihan-perselisihan dalam perkawinan, penganiayaan, utang piutang, dan
sebagainya.
Seperti halnya VOC, Daendels menganggap hukum adat jawa yang terdiri
dari hukum Islam adalah lebih rendah derajatnya dari hukum Eropa, oleh karena
itu tidak cukup baik untuk orang Eropa. Hal ini tampak jelas ketika terjadi seorang
Eropa melakukan kejahatan bersama-sama dengan orang Jawa asli, maka yang
berhak untuk mengadili mereka adalah Raad van Justitie dan hukum materil yang
diterapkan adalah hukum Eropa.
Pada tahun 1830 pemerintahan belanda menempatkan peradilan agama di
bawah pengawasan “landraad” (pengadilan negeri). Hanya
lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan
Pengadilan Agama dalam bentuk “excecutoire verklaring” (pelaksanaan putusan),
Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang.
Dapat disimpulkan bahwa potret peradilan agama pada awal penjajahan
Belanda sudah beroperasi secara maksimal, diakui dan diterapkan oleh kerajaan-
kerajaan di Indonesia, walaupun belum diakui sebagai lembaga resmi yang
independen oleh Belanda. hal ini bisa terjadi karena memang pengaruh Islam kuat
sekali, kemudian pengakuan dan legitimasi yang diberikan oleh penguasa juga
sangat mendorong berdirinya peradilan agama dan diakui keberadaannya serta
aktualisasinya. Ini sesuai dengan teori living law dan teori hukum ketatanegaraan.
Peradilan Agama pada mulanya masih eksis dan memiliki peran penting pada
masa awal penjajahan belanda, ini karena sesuai dengan teori living law hukum
yang hidup di masyarakat  dan yang mempengaruhi pola pikir mereka adalah
hukum Islam, namun ketika belanda berkuasa dan melancarkan politik hukumnya,
peradilan agama dengan hukum Islam yang diusungnya bersinggungan dengan
hukum Eropa dan hukum adat, ketika terjadi gap semacam ini maka kebijakan
penguasalah yang paling menentukan, pemerintah belanda dalam hal ini ingin
menyingkirkan peradilan agama walaupun masyarakat mayoritas muslim, ini
tentunya tidak lepas dari pertimbangan politik dari mereka[5], seperti terancamnya
kekuasaan, ketakutan akan fanatisme yang berlebihan dari rakyat jajahan, dsb. 

b.      Sesudah tahun 1882 sampai tahun 1937 (Pemerintahan Belanda I)


Setelah masa Daendels sekitar tahun 1845,  banyak ahli hukum dan ahli
kebudayaan Belanda mengakui bahwa dikalangan masyarakat Indonesia Islam
merupakan agama yang sangat dijunjung tinggi oleh pemeluknya. Penyelesaian
masalah kemasyarakatan senantiasa merujuk kepada ajaran agama Islam, baik itu
soal ibadah, politik, ekonomi dan kemasyarakatan lainnya. Atas fenomena ini,
maka para pakar hukum Belanda berkeyakinan bahwa ditengah-tengah komunitas
itu berlaku hukum Islam, termasuk dalam mengurus peradilan pun diberlakukan
undang-undang agama Islam.
Bukti Hindia Belanda secara tegas mengakui bahwa UU Islam (hukum
Islam) berlaku bagi orang Indonesia yang bergama Islam. Pengakuan ini tertuang
dalam peraturan perundang-undangan tertulis pada 78 reglement op de beliedder
regeerings van nederlandsch indie disingkat dengan regreeings reglement (RR) 
staatsblad tahun 1854 No. 129 dan staatsblad tahun 1855 No. 2. Peraturan ini
secara mengakui bahwa telah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige
wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia yang notabenenya beragama Islam.
Pasal 78 RR berbunyi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama
orang Indonesia asli atau dengan orang yang dipersamakan dengan mereka, maka
mereka tunduk pada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka
menurut UU agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka”.
Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari
1882 Nomor 24, yang dimuat dalam Staatsblad 1882 No. 152 telah mengubah
susunan dan status Peradilan Agama. serta pengakuan dan pengukuhan akan
keberadaan Pengadilan Agama yang telah ada sebelumnya, ini adalah merupakan
tonggak sejarah yang sangat penting bagi Peradilan Agama, dengan adanya
Staatblad 1882 no.152 yang di keluarkan pada tanggal 1 Agustus 1882 ini[6],
maka secara yuridis formal Peradilan Agama sebagai suatu badan peradilan yang
terkait dengan sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia. 
Adapun wewenang Pengadilan Agama yang disebut dengan
"preisterraacf'”, menurut Noto Susanto (1963: 7) perkara-perkara itu umumnya
meliputi : pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah, keabsahan  anak,
perwalian, kewarisan, hibah, waqaf, shadaqah, dan baitul mal, yang semuanya erat
dengan agama Islam,
Staatblad 1882 no.152 berisi tujuh pasal yang maksudnya adalah sebagai
berikut:
Pasal 1
Disamping setiap landraad (pengadilan negeri) di jawa dan madura
diadaklan satu Pengadilan Agama, yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah
hukum landraad.
Pasal 2
Pengadilan Agama terdiri atas; penghulu yang diperbantukan kepada
landroad sebagai ketua. Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya
delapan orang ulama Islam sebagai anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan
oleh gubernur/residen
Pasal 3
Pengadilan agama tidak boleh menjatuhkan putusan, kecuali dihadiri oleh
sekurang-kurangnya tiga anggota trermasuk ketua. Kalau suara sama banyak,
maka suara ketua yang menentukan.
Pasal 4
Putusan pengadilan agama dituliskan dengandisertai dengan alasan-
alasannya yang singkat, juga harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh para
anggota yang turut memberi keputusan. Dalam berperkara itu disebutkan pula
ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang berperkara.
Pasal 5
Kepada pihak-pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat
keputusan yang ditandatangani oleh ketua.
Pasal 6
Keputusan pengadilan agama harus dimuat dalam suatu daftar dan harus
diserahkan kepada residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian
(visum) dan pengukuhan
Pasal 7
Keputusan pengadilan agama yang melampaui batas wewenang atau
kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan ayat (2), (3), dan (4) tidak dapat
dinyatakan berlaku
Selain Peradilan Agama pada saat itu terdapat lima buah tatanan peradilan,
yaitu :
1.      Peradilan Gubernemen, tersebar di seluruh daerah Hindia-Belanda
2.      Peradilan Pribumi, tersebar di luar Jawa dan Madura, yaitu di Karesidenan Aceh,
Tapanuli, Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu, Riau, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan dan Timur, Manado dan Sulawesi, Maluku, dan di pulau
Lombok dari Karesidenan Bali dan Lombok.
3.      Peradilan Swapraja, tersebar hamper di seluruh daerah swapraja, kecuali di
Pakualaman dan Pontianak.
4.      Peradilan Agama, tersebar di daerah-daerah tempat Peradilan Gubernemen, di
daerah-daerah dan menjadi bagian dari Peradilan Pribumi, atau di daerah-daerah
swapraja dan menjadi bagian dari peradilan swapraja.
5.      Peradilan Desa, tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan Peradilan
Gubernemen. Disamping itu ada juga Peradilan Desa yang merupakan bagian dari
Peradilan Pribumi atau Peradilan Swapraja.
Pengakuan hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia pada waktu
itu sangat dipengaruhi oleh pemikiran hukum sarjana barat L.W.C. Van De Berg,
dia sebagai penasehat kerajaan Belanda adalah konseptor Staatblad 1882
no.152[7]. Dia mengemukakan sebuah teori yang disebut teori “receptio in
complexu”, Teori ini digagas oleh Salomon Keyzer yang belakangan dikaitkan
oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg (1854-1927). Maksud teori ini,
adalah “hukum mengikat agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk
agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya. Dengan kata lain teori ini
menyebut bagi rakyat pribumi yang berlaku bagi mereka adalah hukum
agamanya, walaupun terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam prakteknya”.
Teori ini diangkat dari kenyataan yang menunjukkan bahwa sebelum VOC
berkuasa di Indonesia banyak kerajaan-kerajaan tersebut diterapkan norma-norma
Hukum Islam. Kerajaan-kerajaan yang memberlakukan Hukum Islam antara lain
kerajaan Samudra Pasai, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Cirebon,
Banten, Ternate, Kesultanan Buton, Sumbawa, Kalimantan Selatan, Kutai,
Pontianak, Surakarta, dan Palembang. Di Wilayah kerajaan tersebut diberlakukan
Hukum Islam dan ada lembaga peradilan agama, dengan pertimbangan ini maka
sudah seharusnya Peradilan Agama ada, termasuk juga di Batavia yang
merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda[8].  

           c.       Setelah tahun 1937 (Pemerintahan Hindia Belanda II)


Teori Receptio In Complexu yang dikemukakan Van De Berg yang
melatar belakangi munculnya stanblaad tahun 1882 no.153 mendapat kritikan
tajam oleh Snouck Horgronje karena teori Receptio In Complexu bertentangan
dengan kepentinggan-kepentingan pemerintah Hindia Belanda, dan akhirnya dia
mengemukakan teori Receptio.
Menurut teori Receptio dinyatakan “hukum yang berlaku di Indonesia
adalah hukum adat asli. Hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau
dikehendaki dan diterima oleh hukum adat”. Maka dari itu sudah selayaknya jika
diterapkan adanya kebijakan bahwa hukum Islam bisa diterapkan sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum adat[9].
Pada tahun 1937 munculah Staatsblad 1937 Nomor 116, dengan stanblaad
ini berarti telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura
daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris
harus diserahkan kepada pengadilan negeri, mereka
(Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan
bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan
kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain diseluruh
Indonesia.
Wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura berdasarkan ketentuan
baru pasal 2a Staatblad 1837 meliputi perkara-perkara sebagai berikut[10] :
1.      Perselisihan antar suami istri yang beragama Islam
2.      Perkara-perkara tentang : a. nikah, b. talak, c. rujuk, dan d. perceraian antara
orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan hakim agama
islam
3.      Menyelenggarakan perceraian
4.      Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (ta’liq al
thalaq) telah ada.
5.      Perkara mahar atau mas kawin.
6.      Perkara tentang keperluan kehidupan isteri yang wajib diadakan oleh suami.
Teori receptio bertujuan untuk mengetahui peranan hukum Islam dengan
mengedepankan hukum adat atau bahkan mengganti hukum Islam dengan hukum
adat. Selain itu bertujuan untuk memperkuat pemerintah kolonial dan adanya
kepentingan pemerintah kolonial dalam penyebaran agama kristen di wilayah
Hindia Belanda.
Dengan ini pemerintah Belanda melegislasi Peradilan Agama, namun
dengan terselubung bermaksud mematikan Peradilan Agama dengan cara sedikit
demi sedikit mengurangi kewenangan serta membiarkan tanpa pembinaan.

B.     SEJARAH PERADILAN ISLAM PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG

Tahun 1942 adalah tahun Indonesia diduduki oleh Jepang. Kebijaksanaan


pertama yang dilakukan oleh Jepang terhadap perundang-undangan dan
pengadilan ialah bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berasal dari
pemerintahan Belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan.
Peradilan Agama tetap dipertahankan dan tidak mengalami perubahan, Sooryoo
hoon untuk Radd Agama dan Kaikiooo Kottoo Hooin untuk Mahkamah Islam
Tertinggi, berdasarkan aturan peralihan pasal 3 bala Jepang (Osanu Seizu) tanggal
07 maret 1942 No.1.
Pada zaman Jepang, posisi pengadilan agama tetap tidak akan berubah
kecuali terdapat perubahan nama menjadi Sooryo Hooin. Pemberian nama baru
itu didasarkan pada aturan peralihan pasal 3 Osanu Seizu tanggal 7 maret 1942
No. 1. Pada tanggal 29 April 1942, pemerintah balatentara Dai Nippon
mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942 yang berisi pembentukan Gunsei Hoiin
(pengadilan pemerintah balatentara). Dalam pasal 3 UU ini disebutkan bahwa
Gunsei Hooin terdiri dari :
1.      Tiho hooin (pengadilan negeri)
2.      Keizai hooin (hakim poloso)
3.      Ken hooin (pengadilan kabupaten)
4.      Kaikioo kootoo hoin (mahkamah Islam tinggi)
5.      Sooryoo hoon (raad agama)

Pada masa pendudukan Jepang kedudukan pengadilan agama pernah


terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara Jepang
(guiseikanbu) mengajukan pertanyaan pada Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-
Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka Jepang akan memberikan kemerdekaan
pada bangsa Indonesia yaitu bagaimana sikap dewan ini terhadap susunan
penghulu dan cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan
agama dalam negara Indonesia merdeka kelak.
Akan tetapi dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan
kemerdekaan opada tanggal 17 agustus 1945, maka pertimbangan dewan
pertimbangan agung bikinan Jepang itu mati sebelum lahir dan peradilan agama
tetap eksis disamping peradilan-peradilan yang lain.
Dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama pada masa pendudukan
Jepang ini baik posisi maupun wewenangnya tidak mengalami perubahan yang
berarti, justru Jepang lebih bersikap terbuka terhadap Islam dengan pengakuan
dan pengukuhan adanya Peradilan Agama, hanya istilah penyebutannya saja yang
berbeda, ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan Jepang saat itu yang
posisinya sedang kritis dan terjepit sebagai dampak dari perang dengan tentara
sekutu, jadi saat mereka dalam keadaan lemah seperti ini tidak mungkin mereka
merusak hubungan dengan kaum muslim di Indonesia, langkah yang diambil
adalah sikap lentur terhadap Islam termasuk lembaga Peradilan Agama.

BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP

             a.      Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah dipaparkan di Atas, penulis dapat
menyimpulkan beberapa poin diantaranya sebagai berikut :
1.      Perjalanan sejarah Peradilan agama mengalami pasang surut dalam hal posisi dan
kewenangannya, ini tidak lepas dari faktor keadaan politik dan kebijakan
penguasa, keadaan sosio historis masyarakat, serta gap antara empat hukum yang
tumbuh dan berkembang di Indonesia, hukum Islam, hukum adat, hukum darat
Eropa (civil law), dan hukum kepulaun Eropa (common law)
2.      Perubahan Perbedaan posisi serta wewenang Peradilan Agama dapat dibedakan
berdasarkan periodesasi : masa transisi (awal penjajahan Belanda sampai tahun
1882), masa Hindia Belanda I (tahun 1882), masa Hindia Belanda II (tahun 1937),
dan masa pendudukan Jepang (1942). Perbedaan posisi dan wewenang Peradilan
Agama dalam setiap periode beserta faktor yang mempengaruhinya dapat
disimpulkan sebagai berikut :
A.    Masa Transisi (awal penjajahan sampai 1882) :
a.       Awal kolonial
  Eksistensi :
Peradilan Serambi (PA eksis dalam masyarakat, belum terlembaga dalam sistem
kenegaraan)
  Wewenang :
Hampir semua permasalahan masyarakat yang berhubungan dengan apapun.
  Faktor yang mempengaruhi :
1.      Keadaan sosial masyarakat
2.      Pengaruh Islam yang kuat
3.      Sesuai dengan Teori Living law
b.      Masa VOC (1620)
  Eksistensi :
o   Peradilan Agama hampir tersingkirkan,
o   VOC ingin memberlakukan Hukum Sipil Belanda pada daerah kekuasannya. 
  Wewenang :
Hukum Kewarisan ingin diambil alih juga oleh Belanda.
  Faktor yang mempengaruhi :
Kepentingan politik Belanda
c.       Masa tahun 1760
  Eksistensi :
Berlakunya hukum perdata Islam diakui Belanda denganResolutie Der Indische
Regeling (kumpulan Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan Islam)
  Wewenang :
Hukum Kewarisan diakui lagi oleh belanda.
  Faktor yang mempengaruhi :
1.      Kepentingan Politik Belanda
2.      Gejolak masyarakat Indonersia
B.     Hindia Belanda I
  Eksistensi :
Peradilan Agama menjadi Lembaga Peradilan Resmi secara formal sebagai bagian
dari sistem kenegaraan.
  Wewenangnya :
o    pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah, keabsahan  anak, perwalian,
kewarisan, hibah, waqaf, shadaqah, dan baitul mal
o    Hukum mu’amalah dan pidana belum diakui.
  Faktor yang mempengaruhi :
1.      Kebijakan Politik Belanda
2.      Teori  “receptio in complexu” oleh L.W.C. Van Den Berg sesuai teori living law
C.    Hindia Belanda II
  Eksistensi :
Peradilan agama masih diakui sebagai lembaga peradilan formal, namun
wewenangnya dibatasi
  Wewenangnya :
o   masalah pernikahan saja
o   wewenang dalam waris wakaf dan persengketaan harta benda dihilangkan
  Faktor yang mempengaruhi :
1.      Kebijakan Politik Belanda (teori receptio a complexu bertentangan dengan
kepentingan Belanda)
2.      Teori  “receptio” oleh Snouck Horgronje
D.    Pendudukan Jepang
  Eksistensi :
Peradilan agama masih diakui sebagai lembaga peradilan formal
  Wewenangnya :
Wewenangnya tidak ada perubahan yang jelas
  Faktor yang mempengaruhi :
1.      Kebijakan Politik Jepang
2.      Kelemahan posisi pemerintahan Jepang
b.      Penutup
Demikian makalah ini kami susun, apabila ada kesalahan diharapkan kritik
dan saran dari semua pihak, apabila ada kebenaran dari apa yang kami tulis itu
semua adalah murni pertolongan dan petunjuk dari Allah. Semoga tulisan ini
dapat diambil manfaat oleh para pembaca sebagai tambahan pengetahuan dalam
mengarungi samudera ilmu tuhan, dan menjadi amal bail penulis, amin.  
DAFTAR PUSTAKA

M Dawam Rahardjo, Prof., Ensiklopedia Al-Qur’an : Tafsir Sosial

Berdasarkan Konsep-konsepKunci, Paramadina, Jakarta, 1996

Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam (Jakarta: PT.

RajaGrafindoPersada, 2000)

Hj. Sulaikan Lubis, SH. MH. ET. AL. Hukum Acara Perdata Peradilan

Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.

Jazuni,Legislasi Hukum Nasional di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya

Bakti,2005.

Mushofa, Sy. SH. MH. Kepaniteraan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana,

2005.

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta:

Kencana, 2010.

Drs. Cik Hasan Bisri, MS. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2003


[1] M Dawam Rahardjo, Prof., Ensiklopedia Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan

Konsep-konsepKunci, Paramadina, Jakarta, 1996

[2] Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam (Jakarta: PT.

RajaGrafindoPersada, 2000), Hal: 43

[3] Hj. Sulaikan Lubis, SH. MH. ET. AL. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di

Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006. h. 25

[4] Op. Cit.h. 26

[5] Jazuni,Legislasi Hukum Nasional di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya

Bakti,2005.h.176-177

[6] Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana,

2010. h. 48

[7] Mushofa, Sy. SH. MH. Kepaniteraan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2005. h. 15

[8] Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana,

2010. h. 47

[9] Hj. Sulaikan Lubis, SH. MH. ET. AL. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di

Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006. h. 28-29

[10] Drs. Cik Hasan Bisri, MS. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2003, h. 120.

http://elmadani212.blogspot.co.id/2017/02/peradilan-agama-zaman-

penjajahan.html
Peradilan Pada Masa Belanda
Ma'mun Syaikhoni

Bab I
Regereringsreglement 1854

 Pada masa ini suasana di Hindia Belanda tidak begitu aman, karena banyaknya
terjadi pelanggaran-pelanggaran nilai-nilai manusiawi, dengan di terapkan
sistem culterstelsel, tidak adanya kepastian hukum dan berjalannya roda
pemerintahan yang terjadi banyak penyimpangan kewenangan di Hindia Belanda.
Tentunya hal ini menarik perhatian dari negeri induknya yakni Belanda. Banyak
kecaman datang dari kelompok liberalisme yang tidak menyetujui dengan gaya
pengelolaan negara jajahan yang tidak manusiawi itu.
Untuk itu diperlukannya kebijakan-kebijakan baru dibidang hukum dan
pemerintahan di Hindia Belanda, agar adanya kepastian hukum bagi setiap warga
serta berjalannya roda pemerintahan yang fair. Beratnya tugas yang diemban oleh
administrator-administrator sehingga tidak menghasilkan hasil yang maksimal dan
membuka banyak peluang untuk terjadinya penyelewengan-penyelewengan
wewenang, ditambah lagi kurangnya pengawasan. Hal ini ditandai dengan adanya
tugas-tugas kepolisian dan tugas-tugas peradilan perdata maupun pidana yang
harus dijalankan oleh administrator tersebut.
Selain itu, ide kaum liberalisasi adalah untuk mendapatkan pengakuan dan hak
yang sama terhadap masyarakat pribumi, sebab selama ini masyarakat pribumi
hanya menjadi objek penderitaan yang berkepanjangan tanpa adanya insentif
tertentu bagi pribumi. Salah satu prektek eksploitasi yang sangat kejam tersebut
ialah sistem tana paksa.
Tanam paksa atau cultuur stelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh
Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa harus
menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya
kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan
harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah
kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam
setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh
wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan
kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultur
stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian
wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia
Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem
monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat
dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi
tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus
menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa
inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan
kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun
melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat.
Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.Sistem tanam paksa yang
kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda,
akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa
masih terus berlangsung sampai 1915. Akibat berbagai kelaparan yang menimpa
hampir seluruh penduduk di Jawa, telah menimbulkan berbagai kritikan pedas
dari orang-orang non-pemerintah. Gejala kelaparan ini diangkat kepermukaan dan
dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan
terhadap bumiputera Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi
Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Di bidang sastra muncul
Multatuli atau Dr. Douwes Dekker, dilapangan jurnalistik muncul E.S.W Roorda
van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell, sehingga dari
sinilah muncul gagasan politik etis.
Maka untuk mengatasi semua masalah tersebut maka
dikeluarkannya Regereringsreglement 1854, sebuah upaya untuk menciptakan
Hindia Belanda sebagai negara hukum (rechtstaat) bukan negara yang
berdasarkan kepada kekuasaan (machtstaat). Adapun inti dari kebijakan ini adalah
memerintahkan agar pengelolaan pemerintahan di Hindia Belanda dengan
menggunakan azas trias politika dengan menyerahkan peradilan kepada hakim
yang bebas serta menerapkan azas legalitas untuk mendapat kepastian hukum
serta melarang pemidanaan yang menyebabkan seseorang akan kehilangan hak-
hak perdatanya. Dan kaum pribumi dilindungan semua hak-hak nya dengan
peraturan-peraturan yang ada.

Bab II
Kebijakan eenheidsbeginsel
Cita-cita kaum liberal untuk mewujudkan kepastian hukum di Hindia Belanda
yakni dengan melakukan unifikasi hukum yang terkenal dengan
kebijakan eenheidsbeginsel. Dengan adanya ide ini, maka setiap masyarakat akan
memperoleh hak yang sama dan roda pemerintahan bisa berjalan dengan baik dan
benar. Dengan adanya unifikasi hukum tersebut maka akan hilangnya diskriminasi
terhadap pribumi, karena hak-hak bagi pribumi akan sama dengan hak-hak bagi
kaum eropa, dengan membiarkan dualisme berjalan ditengah kehidupan Hindia
Belanda berarti sama saja dengan membiarkan diskriminasi terus berjalan di
Hindia Belanda.
Namun niat baik dari kaum liberal ini untuk melakukan unifikasi terbentur
dilapangan, karena selama ini masyarakat pribumi hidup dengan menjalankan
dualisme hukum, masyarakat sudah terbiasa dengan hal-hal tersebut, apabila
dilakukan juga unifikasi hukum dengan segera, maka akan mengakibatkan
hancurnya lembaga-lembaga adat masyarakat pribumi yang telah hidup ditengah-
tengah masyarakat. Namun secara pragmatis dan realistik, dengan diterapkannya
unifikasi hukum maka akan mengeluarkan biaya yang banyak dan waktu yang
cukup lama, karena banyak yang harus disiapkan untuk menuju kesana.
Unifikasi mudah dalam cita-cita dan rekaan ideal, tetapi sungguh terasa sulit
dalam pelaksanaan. Lebih dari dua abad lamanya dualisme hukum telah
dipertahankan berlakunya, sehingga untuk melakukan unifikasi tidaklah mudah
dan selalu terbentur tembok keras kenyataan dilapangan. Untuk meujudkannya
memerlukan waktu dan harus hati-hati dan tidak mengejutkan administrator yang
bertanggung jawab ditataran pemerintahan kolonial.
Maka diambillah jalan tengah yakni dengan menerapkan unifikasi maka
dikeluarkan kebijakan berupa vrijwillige onderwerping dan toepasselijk
verklaring. vrijwillige onderwerping adalah upaya kecil-kecilan oleh para pencari
keadilan bangsa pribumi secara individual yang dimungkinkan oleh hukum untuk
membuat pilihan hukum, kebijakan toepasselijk verklaring adalah upaya besar-
besaran lewat wewenang Gubernur Jenderal untuk menerapkan peraturan
perundang-undangan Eropa tertentu ke golongan pribumi. Maka, dengan
dikeluarkannya dua kebijakan ini, hukum asli rakyat pribumi hanya kan dipakai
oleh hakim sejauh hukum itu tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang ada.
Ini merupakan bentuk kompromi dalam melakukan unifikasi disatu sisi dan tetap
mempertahankan dualisme hukum disisi yang lain. Tetapi pada akhirnya dua
kebijakan ini merupakan cikal bakal untuk menerapak unifikasi hukum untuk
hukum-hukum tertentu seperti bidang tenaga kerja dan tanah.

Bab III
Ihwal Perundang-undangan kolonial dibentuk pada periode liberalisme
(1850-1890)
Pada masa ini terjadi perkembangan hukum yang lebih bersifat pragmatis yang
didengungkan oleh kelompok liberal. Mereka menggaungkan supaya
diberlakukannya hukum Eropa dengan maksud lain, disatu sisi kaum liberal
mendengungkan nilai-nilai kemanusian, persamaan hak dan persaudaraan antara
sesame manusia, namun dibelakang maksud baik itu semua terdapat sebuah
rencana licik yang akan membawa rakyat di Hindia Belanda dibawah eksploitasi
yang diluar batas kemanusiaan.
Kaum liberal ingin memudahkan melakukan usahanya di Hindia Belanda
dengan perundang-undangan yang ada. kaum liberal di Belanda berhasil memaksa
pemerintah Belanda untuk menghapuskan Tanam Paksa dengan diberlakukannya
UU Agraria atau Agrarische Wet. Namun tujuan utamanya ternyata bukan hanya
menghapuskan Tanam Paksa, tapi lebih dari itu yaitu memperjuangkan kebebasan
ekonomi dimana mereka berpendapat bahwa pemerintah jangan ikut campur
dalam bidang ekonomi, mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani
oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga
negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan
serta ketertiban.
Dampaknya bagi kaum pribumi adalah semakin meluasnya kemiskinan,
sehingga menimbulkan gelombang protes dari kaum humanis tadi seperti Dr.
Douwes Dekker yang menulis sebuah buku yaitu Max Havelaar pada tahun 1860,
dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat
tekanan pejabat Hindia Belanda. Selain itu, seorang anggota Raad van Indie, C.Th
van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan
kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah
De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau
kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah
jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi
Politik Etis.
Rupanya eksploitasi yang dilakukan oleh pihak swasta melalui kebijakan-
kebijakan liberal yang memperbolehkan pihak swasta untuk melakukan
eksploitasi di Hindia Belanda mengakibatkan dampak yang sangat parah sekali
dirasakan oleh masyarakat dari pada sistem eksploitasi pemerintah melewati
tanam paksa.
Untuk memudahkan usahanya maka dikeluarkanlah undang-undang mengenai
pertanahan. Dengan adanya undang-undang ini diatur bagaimana caranya agar
usaha-usaha swasta dapat memperoleh tanah untuk menjalankan perusahaannya.
Salah satu undang-undang mengenai pertanahan, masalah pokok yang hendak
diatasi dengan Cultuurwet ( Undang-undang Tentang Usaha Pertanian) itu, ialah,
bagaimanakah caranya agar usaha-usaha swasta dapat memperoleh tanah untuk
menjalankan perushaannya. Bersamaan dengan upaya menata kebijakan hukum
dalam soal pertanahan dan pendayagunaanya, yang ternyata mengudang
kontroversi antara kepentingan untuk segera memajukan posisi orang-orang
pribumi setara dengan posisi orang-orang Eropa ( khususnya dalam usaha-usaha
pertanian) dengan kepentingan untuk melindungi orang-orang pribumi dari
kemungkinan terampas milik-milik tanahnya oleh orang-orang Eropa (uang
dikatakan lebih berakal menurut ukuran saat itu), pada dasawarsa 1860-an itu
telah terpikirkan pula kebijakan-kebijakan hukum dalam soal ketenagakerjaan.
Upaya mengeluarkan perundang-undangan mengenai tenaga kerja adalah untuk
menjamin dapat diperolehnya tenaga-tenaga kerja bagi usaha-usaha perkebuanan
swasta, yang akan tampil menggantikan kulturstelsel adalah upaya yang relative
sulit dari pada upaya-upaya serupa untuk menjamin dapat diperolehnya lahan-
lahan pertanian. Berbeda dari suplai tanah yang dapat diperoleh dari apa yang
dikuasai secara de factooleh penduduk dan masyarakat pribumi lewat pernyataan
hukum yang disebut  domeinverklaring. Suplai tenaga kerja tidaklah akan
mungkin dapat diperoleh kecuali dengan cara “merebut” dan “menyita” nya
dengan suatu tindakan yang lebih nyata dari kawasan ulayat masyarakat pribumi
itu. Lagi pula, suplai tenaga manusia pada waktu itu berbeda dengan suplai tanah,
suplai tenaga manusia jauh lebih terbatas.
Bab IV
Kebijakan diseputar politik etik kolonial pada peralihan abad 19
         Seperti kita ketahui, sejak awal 1900 an, pemerintah Hindia Belanda, atas
usul Van de Venter anggota Parlemen Belanda dari Partai Buruh, menekankan
perlunya pemerintah Hindia Belanda menjalankan apa yang disebut sebagai
Politik Etis, yaitu agar dalam menjajah Indonesia hendaknya juga memperhatikan
kesejahteraan dan kemajuan sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Semacam
konsep imperialisme berakhlak. Memang setelah itu mulai ada upaya pemerintah
Belanda membuka lembaga-lembaga pendidikan.  Kebijakan politik etis ini
diterapkan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat pribumi yang sedang
menurun. Padahal hasil yang diperoleh di daeah jajahan berlipat ganda sedangkan
kemakmuran pada masyarakat pribuminya sangat memprihatikan, maka untuk itu
diperlukan upaya timbal balik dengan menyisihkan sedikit keuntungan untuk
memakmurkan taraf kehidupan masyarakat pribumi.
Van Vollenhoven merupakan seorang ahli hukum, ia berperdapat bahwa hukum
adat tak perlu dihapus, karena itu merupakan cerminan masyarakat pribumi. Dia
tidak menentang unifikasi, tetapi ia berpendapat bahwa tidak mungkin mayoritas
yakni pribumi berhukum kepada hukum mayoritas yakni eropa. Kemudian de
strijd om het adatrechtini disambung oleh muridnya yakni Ter Har yang telah
berhasil menghimpun dan menyusun konsep-konsep hukum adat.
Cara pandang Ter Harr dan Van Vollenhoven didalam hukum adat sangatlah
berbeda, kalau Ter Har memandang hukum adat dari konsep common law dan
menurutnya hukum adat itu adalah bagian dari kebijakan pengusa, sedangkan Van
Vollen hoven memandang hukum adapt ialah aturan-aturan yang harus
dikodifikasikan dan hukum adat itu adalah miliknya masyarakat. Walaupu hukum
adapt tidak terkodifikasi dan kurang mendapatkan tempat, hukum adapt telah
membawa peran yang cukup penting dalam menyelesaikan masalah-masalah serta
sengketa hukum ditengah-tengah masyarakat pribumi. Sehingga terjadinya
dualisme hukum ditengah-tengah dunia hukum di Hindia Belanda.
            Ball menyebut dualisme hukum ini dengan enlightenen dualism, jadi
hukum adat tetap dianggap sebagai hukum yang setara dengan hukum eropa
ditanah Hindia Belanda. Sehingga banyak yurisprudensi-yurisprudensi dari
hukum adapt yang dijadikan dasar hukum dalam memutuskan suatu masalah.
Namun dipihak lain banyak juga yang menentang terhadap hukum adapt tersebut,
bagi pihak yang kontroversi terhadap hukum adapt ini memandang bahwa apabila
hukum adapt tetap dipertahankan maka nantinya masyarakat pribumi akan
tertutup dengan adanya keterbukaan dan kemajuan zaman serta mereka memiliki
pandangan bahwasanya hukum adat melindungi kelompok pribumi saja,
sedangkan di Hindia Belanda masyarakatnya sudah demikian plural
Bab V
Perkembangan kebijakan zelfbestuur bagi masa depan “Tanah Hindia”
Banyak kewenangan yang dimiliki oleh gubernur jenderal seperti memegang
kekuasaan lgislatif di negeri kolonial, berkewenangan untuk melaksanakan
peraturan-peraturan yang ada, berkewenangan untuk mengangkat dan
memberhentikan pejabat-pejabat tinggi dijajaran pemerintahan kolonial,
berkedudukan sebagai penglima tertinggi angkatan darat dan angkatan laut di
Hindia Belanda dan berkewenangan untuk memberikan grasi. Untuk
mendayagunakan seluruh kekuasaan dan kewenangannya, gubernur jenderal
dibantu oleh suatu organisasi pemerintahan yang diisi oleh pejabat-pejabat yang
tidak sedikit pun mempunyai kekuasaan administrative yang mandiri, baik dipusat
pemerintahan maupun didaerah-daerah. Karena besarnya kewenangan gubernur
jenderal maka sulit untuk melakukan pengawasan dan pengontrolan sehingga pola
pemerintah terksesan monopoli.
Buruknya kinerja pemerintahan kolonial sehingga mendapat kritikan yang tajam
dari kelompok-kelompok liberal yang berada di Hindia Belanda. Mereka
menuntut reformasi sistem pemerintahan yang ada, dan kemudian mereka
menginginkan agar mereka dikutsertakan dalam mengambil setiap keputusan dan
kebijakan didaerah Hindia Belanda yag disebut dengan Gewestelijk
raad. Gewestelijk raad adalah suatu dewan dimana warga Eropa dapat berbicara
untuk menyuarakan isi hatinya. Sudah tiba waktunya pemerintah membuka mata
untuk melihat perkembangan di tanah Hindia Belanda dan untuk kemudian
melakukan reformasi ketatanegaraan yang sudah harus dipandang sebagai suatu
langkah yang amat diperlukan agar kebijakan dan urusan pemerintahan tidak lagi
hanya terpusat ditangan gubernur jenderal beserta raad van indie nya.
Untuk mewujudkan upaya reformasi ketatanegaraan di Hindia Belanda maka
dikeluarkanlah Decentralisatie Wet 1903. adapun tujuan dikeluarkannya undang-
undang ini adalah untuk mewujudkan desentralisasi administrative didaerah-
daerah yang dimungkinkan. Yang pada pokoknya membagi wilayah Hindia
Belanda kedalam satuan-satuan daerah dan pembagian itu akan dilakukan oleh
raja, bahwa pemerintahan didaerah-daerah itu dilaksanakan oleh pejabat-pejabat
tinggi yang sebutannya akan di tentukan kemudian, bahwa gubernur jenderal akan
menetapka intruksi-intruksi berkenaan dengan hubungan para pejabat tinggi
daerah itu dengan berbagai pihak lain serta kekuasaan sipil adalah kekuasaan yang
tertinggi didaerah-daerah. Melalaui desentralisasi ini suara rakyat pribumi sudah
ikut diperhitungkan, yakni dengan adanya perwakilan pribumi yang boleh duduk
menjadi anggota raad. Walaupun dari segi kekuatan politik masih belum matang,
ini bisa menjadi sebagai sebuah corong bagi pribumi untuk menyuarakan hak-
haknya di dalam raden tersebut. Walaupun sebagian besar anggota raad adalah
dari puak eropa.
Bab VI
Perkembangan hukum di Indonesia yang menyangkut ihwal ketatanegaraan
Pemerintahan militer Jepang membagi 3 wilayah komando, yaitu Jawa dan
Madura, Sumatera serta Indonesia bagian timur. Untuk wilayah Jawa dan Madura
berlaku Osamu Sirei 1942 No.1, yang mengatur bahwa seluruh wewenang badan
pemerintahan dan semua hukum dan peraturan yang selama ini berlaku tetap
dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan
militer Jepang. Terhadap 2 wilayah lainnya juga diatur dengan peraturan yang
serupa.
Kitab undang-undang dan ketentuan perundangan yang semula berlaku hanya
untuk orang-orang Belanda, kini juga berlaku untuk orang-orang Cina. Hukum
adat tetap dinyatakan berlaku untuk orang-orang pribumi. Pemrintah militer
Jepang juga menambah beberapa peraturan militer ke dalam peratuturan
perundangan pidana, dan memberlakukannya untuk semua golongan penduduk.
Namun kontribusi penting yang diberikan Jepang ialah dengan
menghapuskan dualisme tata peradilan, sehingga Indonesia hanya memiliki satu
sistem peradilan. Sebagaimana juga pada institusi pengadilan, jepang juga
mengunifikasi badan kejaksaan dengan membentuk Kensatzu Kyoku, yang
diorganisasi menurut 3 tingkatan pengadilan. Reorganisasi badan peradilan dan
kejaksaan ditujukan untuk meniadakan kesan khusus bagi golongan Eropa di
hadapan golongan Asia.
Dalam situasi lebih mementingkan keperluan perangnya, pemerintah
militer Jepang tidak banyak merubah ketentuan administratif yang telah berlaku
melainkan hanya beberapa ketentuan dianggap perlu untuk dirubah. Untuk
menjamin jalannya roda pemerintahan dan penegakan tertib hukum, Jepang
merekrut pejabat-pejabat dari kalangan Indonesia untuk melaksanakan hal
tersebut. Namun setelah Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dan
berpemerintahan, banyak peraturan yang dibuat oleh pemerintah militer Jepang
dinyatakan tidak berlaku.
Setelah Jepang pergi dari Indonesia, ini merupakan kesempatan bagi Indonesia
untuk bisa memerdekakan dirinya, maka disusunlah segala sesuatu yang
diperlukan untuk memenuhi syarat sebagai sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat termasuk didalam bidang hukum. Untuk mengisi kekososngan hukum
maka hukum yang telah berlaku sebelumnya yakni hukum peninggalan Belanda di
berlakukan melalui Pasal II aturan peralihan UUD 1945. Namun disatu sisi ada
juga masukan dari kelompok-kelompok ahli hukum untuk menerapkan hukum-
hukum yang ada dalam konsep mereka, seperti hukum Islam dan hukum Adat.
Namun untuk memberlakukan hukum tersebut memerlukan waktu yang lama,
sedangkan kebutuhan akan hukum sangatlah mendesak, sebab Indonesia sedang
terlibat perang fisik dengan Belanda yang akan merongrong kedaulatan negara
Indonesia.
Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan
kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belandamendapat kecaman keras dari
dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa
pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan
Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan Konferensi
Meja Bundar. Berdasarkan keputusan pada perundingan KMB atau konfrensi
meja bundar antara Moh. Hatta, Moh. Roem dengan Van Maarseven di Den Haag
Belanda memutuskan bahwa bentuk negara Indonesia adalah negara RIS /
Republik Indonesia Serikat. Negara republik indonesia serikat memiliki total 16
negara bagian dan 3 daerah kekuasaan ditetapkan tanggal 27 desember 1949.
Tujuan dibentuknya negara RIS tidak lain adalah untuk memecah belah rakyat
Indonesia dan melemahkan pertahanan IndonesiaBelanda mengakui kemerdekaan
Indonesia pada 27 Desember 1949, selang empat tahun setelah proklamasi
kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan
ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana
Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa
mengakui Indonesiamerdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui
tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalah ilegal. Pada 5
Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarnomengeluarkan dekrit yang diumumkan
dalam upacara resmi di Istana Merdeka. Dengan dikeluarkan dekrit tersebut
Indonesia kembali ke UUD 1945 dan semua peraturan-peraturan hukum dan
bentuk negara kembali kepada semula yakni kesatuan Republik Indonesia.

Bab VII
Kebijakan pembangunan hukum pada era orde baru
Kebijakan pembangunan hukum dimasa Orde baru ditujukan untuk
melakukan pembangunan di bidang Ekonomi. Hukum dijadikan sarana dan
prasarana untuk menumbuhkan pembangunan ekonomi di Indonesia. Hukum
jangan sampai menghambat pembangunan Ekonomi. Pada masa ini hukum
memang dibentuk untuk merekayasa kehidupan sosial masyarakat. Kekusaan
pemerintahan yang sedemikian besar itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh
keluarga istana. Selama lebih dari 32 tahun Orde Baru berkuasa, hukum telah
menjadi instrumen untuk memperkaya kekuasaan. Dominasi para "konglomerat
hitam" yang mengitari istana ketika itu telah melahirkan sejumlah produk hukum
yang justru melegalisasi praktik-praktik KKN dan monopoli bisnis keluarga
Soeharto.
Di bidang ekonomi, misalnya, betapa banyak keppres yang melegalisasi
praktik-praktik monopolistik. Kasus-kasus seperti monopoli cengkih yang
menyengsarakan petani, proyek jalan tol yang terlaksana tanpa tender yang fair,
mobil Timor yang kontroversial, hingga pada kasus ruilslag tanah Bulog yang
melibatkan Tomy, putra bungsu Soeharto, telah menjadi fakta sejarah betapa
hukum pada masa itu telah menjadi instrumen untuk memperkaya kekuasaan.
Karena itu, jika pada masa Orde Lama politik adalah panglima, pada masa ini
ekonomi menjadi panglimanya.
Hukum pada zaman ini memang dijadikan alat untuk merekaraya
masyarakat. Tujuan yang hendak dicapai pada zaman orde baru ini ialah
pemabngunan ekonomi. Jadi hukum harus dijadikan sarana untuk memajukan
pembangunan ekonomi bukan malah sebaliknya, hukum jangan dijadikan
penghambat pembangunan ekonomi. Jadi hukum pada zaman ini tadak
memfokuskan pada bidang lainnya sehingga sering mengkaburkan nilai-nilai
keadilan, asas-asas moral dan wawasan kearifanyang sebenarnya. Sehingga
tibulnya gerakan-gerakan untuk menuntut hak asasi manusia
Ide law as a tool of social engineering ditujukan secara selektif untuk
memfungsikan hukum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja, dan
tidak berpretensi akan sanggup merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek
kehidupannya. Ide ini tentu saja bersesuaian benar dengan kepentingan
pemerintah orde baru, karena ide untuk mendahulukan pembangunan hukum yang
gayut dengan ranah netral, yang juga hukum ekonomi, tanpa melupakan hukum
tatanegara.
Dengan memfungsikan hukum untuk kepentingan pembangunan ekonomi
(kehendak kepentingan industrialisasi masyarakat modern) oleh faham “ hukum
sebagai sarana perekayasa social” begitu pula ide pendayagunaan hukum masuk
sebagai kebijakan pemerintah dengan upaya melakukan survai untuk
menginvestasikan dan meletakkan keadan hukum yang telah atau belum ada untuk
kepentingan aktivitas ekonomi, yang kemudian bermanfaat untuk menentukan
kebijakan perundang-undangan yang telah direncanakan dalam rancangan
pembangunan lima tahun kedua. Pembangunan hukum nasional dengan cara
mengembangan hukum baru atas dasar prinsip yang diterima dalam kehidupan
Internasional, dimana ada dua pihak ahli hukum yang tidak setuju, yaitu harus ada
kontinuitas perkembangan hukum (kolonial) menuju hukum nasional dimana
Hukum nasional harus berakar yaitu hukum adat.
Jelasnya bahwa pendayagunaan hukum untuk kepentingan pembangunan
Indonesia adalah dengan hukum yang telah diakui dan berkembang dikalangan
bisnis Internasional (berasal dari hukum dan praktek bisnis Amirika), Para ahli
hukum praktek, mempelajari hokum eropa (belanda) dimana mochtar
berpengalaman luas dalam unsur-unsur hukum dan bisnis Internasional,
melakukan pengembangan hokum nasional Indonesia dengan dasar hukum
kolonial yang dikaji ulang berdasarkan Grundnom Pancasila adalah yang
dipandang paling logis.
Hukum Kolonial secara formil masih berlaku dan sebagian kaidah-
kaidahnya masih merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan ketentuan
peralihan, terlihat terjadi pergerakan kearah pola-pola hukum eropa(belanda).
Telihat adanya adopsi dari hukum adat, hukum Amirika atau hukum Inggris, akan
tetapi konfigurasinya/pola sistemiknya yang eropa tidak dapat dibongkar, hukum
tata niaga atau hukum dagang (Handels recht Vav koophandel membedakan
hukum sebagai perekayasa social atau hukum ekonomi. Dalam Weyboek Van
Koohandel terdapat pula mengatur leasing, kondominium dan Universitas
Padjadjaran melihat masalah hukum perburuhan, agraria, perpajakan dan
pertambangan masuk kedalam hukum ekonomi. Terutama pada hukum dagang
(belanda) yang dikualifikasikan sebagai hukum privat (perdata), sedangkan
hukum ekonomi berunsurkan kepada tindakan publik-administratif pemerintah,
oleh karenanya hukum dagang untuk mengatur mekanisme ekonomi pasar bebas
dan hukum ekonomi untuk mengatur mekanisme ekonomi berencana.
Keberadaan hukum adat tidak pernah akanmundur atau tergeser dari
percaturan politik dalam membangun hukum nasional, hal terlihat dari
terwujudnya kedalam hukum nasional yaitu dengan mengangkat hukum
rakyat/hukum adat menjadi hukum nasional terlihat pada naskah sumpah pemuda
pada tahun 1928 bahwa hukum adat layak diangkat menjadi hukum nasional yang
modern (soepomo). Di masa Orde Baru pencarian model hukum nasional adalah
untuk memenuhi panggilan zaman dan untuk dijadikan dasar-dasar utama
pembangunan hukum nasional., dimana mengukuhkan hukum adat akan berarti
mengukuhan pluralisme hukum dan tidak berpihak kepada hukum nasional yang
diunifikasikan (dalam wujud kodifikasi). Dan ide kodifikasi dan unifikasi
diprakasai kolonial yang berwawasan universalistis, dimana hukum adat adalah
hukum yang memiliki perasaan keadilan masyarakat lokal yang pluralistis, dengan
mengingat bahwa hukum kolonial dianggap sangat bertentangan dengan hukum
adat adalah merupakan tugas dan komitmen Pemerintah Orde Baru untuk
melakukan unifikasi dan kodifikasi kedalam hukum nasional tersebut.

Daftar Pustaka
Adi sulistiono, 1987. Sejarah lembaga peradilan di
Indonesia (online) http://www.malang.ac.id, diakses 20 April 2010.
Disriani Lathifah,2009. Sejarah terbentuknya perdilan negeri di Indonesia,
(online) http://www. Lathifah blog, sejarah terbentuknya peradilan negeri di
Indonesia.com. Diakses 23 April 2010.

http://msfoundation.blogspot.co.id/2012/04/peradilan-pada-masa-belanda.html

Anda mungkin juga menyukai