– Ir. Soekarno –
Banyak hal yang bisa di dapat dari sebuah sejarah. Salah satunya
adalah gambaran mengenai kejadian masa lalu, yang bisa
menjadi pengetahuan tersendiri yang menarik. Kalau sejarah
tentang bangsa Indonesia secara umum, penulis meyakini bahwa
sudah bayak yang membahas hal tersebut, atau bahkan pembaca
sudah banyak membaca mengenai hal tersebut, sehingga penulis
tidak akan membahas mengenai hal itu lagi. Dalam tulisan kali ini,
penulis ingin menyajikan sebuah sejarah mengenai lembaga
pengadilan Indonesia, khususnya pada masa kolonial Hindia
Belanda dan penjajahan Jepang.
Pribumi Indonesia
Districtgerecht
Regentschapgerecht
Landraad
Golongan Eropa
Residentiegerecht
Hooggerechtshof
Inheemsche Rechtspraak
Krygsraad
Referensi:
https://kanggurumalas.com/2015/09/08/sekilas-tentang-sejarah-struktur-lembaga-
pengadilan-masa-kolonial-hindia-belanda-dan-penjajahan-jepang/
SEJARAH LEMBAGA PERADILAN
DI INDONESIA
Posted on January 13, 2013 by fauzirijal99
SEJARAH LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
B. Permasalahan
Bagaimana sejarah lembaga peradilan yang ada di Indonesia dari
masa ke masa?
BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN SEJARAH LEMBAGA PERADILAN DI
INDONESIA
DAFTAR PUSTAKA
R. Tresna, “Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad”, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1977.
Sudikno Mertokusumo, “Sejarah Peradilan dan Perundang-
undangannya di Indonesia sejak 1942 dan apakah kemanfaatannya
bagi bangsa Indonesia”, Liberty, Yogjakarta, 1983.
https://fauzirijal.wordpress.com/2013/01/13/sejarah-lembaga-peradilan-di-
indonesia/
Oleh : Rosmanizar Caniago
https://rosmanizarcaniago.wordpress.com/2012/03/23/makalah-pengantar-ilmu-
hukum-peradilan-di-zaman-hindia-belanda/
Sejarah Perkembangan Lembaga/Badan Peradilan di Indonesia, (http://legal-
PERADILAN DI INDONESIA
DI INDONESIA
golongan Eropa dan mereka yang disamakan berlaku hukum negeri Belanda yang
juga dapat disbeut hukum Barat, sedangkan bagi golongan Bumi Putera dan
golongan Bumiputera ini dapat juga berlaku hukum Barat jika ada kepentingan
umum dan kepentingan sosial yang dibutuhkan. Bagi golongan Cina dan Timur
asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku
daerah di luar Pulau Jawa dan Madura diatur menjadi satu dengan Recbtsgelement
Buitengewesen atau Rbg.
Tata peradilan pada waktu Zaman Hindia Belanda diatur sebagai berikut:
a. Untuk Pulau Jawa dan Madura berlaku Peraturan Organisasi Peradilan dan
b. Untuk luar pulau Jawa dan Madura berlaku Peraturan Peradilan dengan seberang
Belanda ini adalah Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBg yang berbunyi:
diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan
maupun RBg tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan
tesebut, pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBg langsung menunjuk aturan pasal-pasal
dipergunakan adalah HIR untuk daerah Pulau Jawa dan Madura dan RBg untuk
Bagi Golongan Timur Asing dan Eropa, Hukum Perdata material yang
Pada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipakai oleh para pedagang baik
sebagai eksportir maupun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada tiga
membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi
arbitrase juga mengacu pada Buku III Rv. Yang berjudul Recbtspleging van
dari Pemerintah dahulu- Pemerintahan Hindia Belanda- tetap diakui sah buat
C. Zaman Indonesia Merdeka
"Segala Badan Negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama
yang baru menurut UUD masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan
arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR, RBg dan RVJ Mengenai badan
Belanda.
tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya di seluruh Indonesia hanya ada
tiga macam badan peradilan yaitu Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat
pertama, Pengadilan Tinggi sebagai peradilan tingkat kedua atau banding, dan
Mahkamah Agung sebagai peradilan tingkat kasasi. Namun diluar itu ternyata
berlaku saat itu (konstitusi RIS), dalam pasal 192 konstitusi RIS tersebut
dinyatakan bahwa:
usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku (menurut
pasal 197 Konstitusi RIS pada saat pemulihan kedaulatan, yaitu pada
ketentuan tata usaba yang sudah ada sebagai diterangkan dalam ayat I hanya
ada pada tangal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai
peraturan yang sudah ada sejak zaman penjajahan Hindia Belanda dulu selama
belum diubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan tentang
arbitrase yang diatur dalam Rv juga tetap berlaku. Keadaan ini terus berlanjut
http://legal-community.blogspot.co.id/2011/08/sejarah-perkembangan-
lembagabadan.html
Peradilan Agama zaman penjajahan Belanda dan
Jepang
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
C. METODOLOGI PENULISAN
Kajian ini adalah merupakan bentuk penelitian kualitatif, yang
menekankan kajian kepustakaan (library research) untuk mencari data-data
tentang sejarah Peradilan Agama melalui pendekatan Teori Sosial, Tata Negara,
dan Living Law, sehingga diharapkan akan ditemukan sebuah gambaran tentang
tumbuh kembang Peradilan Agama pada saat itu serta factor-faktor yang
mempengaruhinya, baik kondisi sosial, politik, maupun budaya saat itu.
D. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memudahkan pemahaman serta terfokusnya penulisan ini, penulis
menyusunnya dengan sistematima sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang, runusan masalah, serta sistematika penulisan.
BAB II : PEMBAHASAN
Berisi pemaparan tentang sejarah Peradilan Agama pada masa penjajahan
Belanda, yang meliputi tiga periode, masa transisi, masa tahun 1882-1837. Dan
masa setelah tahun 1937 sampai penjajahan Jepang. Kemudian perjalanan
Peradilan Agama pada masa pendudukan Jepang sampai merdeka.
BAB III : KESIMPULAN DAN PENUTUP
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
a. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah dipaparkan di Atas, penulis dapat
menyimpulkan beberapa poin diantaranya sebagai berikut :
1. Perjalanan sejarah Peradilan agama mengalami pasang surut dalam hal posisi dan
kewenangannya, ini tidak lepas dari faktor keadaan politik dan kebijakan
penguasa, keadaan sosio historis masyarakat, serta gap antara empat hukum yang
tumbuh dan berkembang di Indonesia, hukum Islam, hukum adat, hukum darat
Eropa (civil law), dan hukum kepulaun Eropa (common law)
2. Perubahan Perbedaan posisi serta wewenang Peradilan Agama dapat dibedakan
berdasarkan periodesasi : masa transisi (awal penjajahan Belanda sampai tahun
1882), masa Hindia Belanda I (tahun 1882), masa Hindia Belanda II (tahun 1937),
dan masa pendudukan Jepang (1942). Perbedaan posisi dan wewenang Peradilan
Agama dalam setiap periode beserta faktor yang mempengaruhinya dapat
disimpulkan sebagai berikut :
A. Masa Transisi (awal penjajahan sampai 1882) :
a. Awal kolonial
Eksistensi :
Peradilan Serambi (PA eksis dalam masyarakat, belum terlembaga dalam sistem
kenegaraan)
Wewenang :
Hampir semua permasalahan masyarakat yang berhubungan dengan apapun.
Faktor yang mempengaruhi :
1. Keadaan sosial masyarakat
2. Pengaruh Islam yang kuat
3. Sesuai dengan Teori Living law
b. Masa VOC (1620)
Eksistensi :
o Peradilan Agama hampir tersingkirkan,
o VOC ingin memberlakukan Hukum Sipil Belanda pada daerah kekuasannya.
Wewenang :
Hukum Kewarisan ingin diambil alih juga oleh Belanda.
Faktor yang mempengaruhi :
Kepentingan politik Belanda
c. Masa tahun 1760
Eksistensi :
Berlakunya hukum perdata Islam diakui Belanda denganResolutie Der Indische
Regeling (kumpulan Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan Islam)
Wewenang :
Hukum Kewarisan diakui lagi oleh belanda.
Faktor yang mempengaruhi :
1. Kepentingan Politik Belanda
2. Gejolak masyarakat Indonersia
B. Hindia Belanda I
Eksistensi :
Peradilan Agama menjadi Lembaga Peradilan Resmi secara formal sebagai bagian
dari sistem kenegaraan.
Wewenangnya :
o pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah, keabsahan anak, perwalian,
kewarisan, hibah, waqaf, shadaqah, dan baitul mal
o Hukum mu’amalah dan pidana belum diakui.
Faktor yang mempengaruhi :
1. Kebijakan Politik Belanda
2. Teori “receptio in complexu” oleh L.W.C. Van Den Berg sesuai teori living law
C. Hindia Belanda II
Eksistensi :
Peradilan agama masih diakui sebagai lembaga peradilan formal, namun
wewenangnya dibatasi
Wewenangnya :
o masalah pernikahan saja
o wewenang dalam waris wakaf dan persengketaan harta benda dihilangkan
Faktor yang mempengaruhi :
1. Kebijakan Politik Belanda (teori receptio a complexu bertentangan dengan
kepentingan Belanda)
2. Teori “receptio” oleh Snouck Horgronje
D. Pendudukan Jepang
Eksistensi :
Peradilan agama masih diakui sebagai lembaga peradilan formal
Wewenangnya :
Wewenangnya tidak ada perubahan yang jelas
Faktor yang mempengaruhi :
1. Kebijakan Politik Jepang
2. Kelemahan posisi pemerintahan Jepang
b. Penutup
Demikian makalah ini kami susun, apabila ada kesalahan diharapkan kritik
dan saran dari semua pihak, apabila ada kebenaran dari apa yang kami tulis itu
semua adalah murni pertolongan dan petunjuk dari Allah. Semoga tulisan ini
dapat diambil manfaat oleh para pembaca sebagai tambahan pengetahuan dalam
mengarungi samudera ilmu tuhan, dan menjadi amal bail penulis, amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam (Jakarta: PT.
RajaGrafindoPersada, 2000)
Hj. Sulaikan Lubis, SH. MH. ET. AL. Hukum Acara Perdata Peradilan
Bakti,2005.
2005.
Kencana, 2010.
[2] Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam (Jakarta: PT.
[3] Hj. Sulaikan Lubis, SH. MH. ET. AL. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di
[4] Op. Cit.h. 26
Bakti,2005.h.176-177
2010. h. 48
2010. h. 47
[9] Hj. Sulaikan Lubis, SH. MH. ET. AL. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di
[10] Drs. Cik Hasan Bisri, MS. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
http://elmadani212.blogspot.co.id/2017/02/peradilan-agama-zaman-
penjajahan.html
Peradilan Pada Masa Belanda
Ma'mun Syaikhoni
Bab I
Regereringsreglement 1854
Pada masa ini suasana di Hindia Belanda tidak begitu aman, karena banyaknya
terjadi pelanggaran-pelanggaran nilai-nilai manusiawi, dengan di terapkan
sistem culterstelsel, tidak adanya kepastian hukum dan berjalannya roda
pemerintahan yang terjadi banyak penyimpangan kewenangan di Hindia Belanda.
Tentunya hal ini menarik perhatian dari negeri induknya yakni Belanda. Banyak
kecaman datang dari kelompok liberalisme yang tidak menyetujui dengan gaya
pengelolaan negara jajahan yang tidak manusiawi itu.
Untuk itu diperlukannya kebijakan-kebijakan baru dibidang hukum dan
pemerintahan di Hindia Belanda, agar adanya kepastian hukum bagi setiap warga
serta berjalannya roda pemerintahan yang fair. Beratnya tugas yang diemban oleh
administrator-administrator sehingga tidak menghasilkan hasil yang maksimal dan
membuka banyak peluang untuk terjadinya penyelewengan-penyelewengan
wewenang, ditambah lagi kurangnya pengawasan. Hal ini ditandai dengan adanya
tugas-tugas kepolisian dan tugas-tugas peradilan perdata maupun pidana yang
harus dijalankan oleh administrator tersebut.
Selain itu, ide kaum liberalisasi adalah untuk mendapatkan pengakuan dan hak
yang sama terhadap masyarakat pribumi, sebab selama ini masyarakat pribumi
hanya menjadi objek penderitaan yang berkepanjangan tanpa adanya insentif
tertentu bagi pribumi. Salah satu prektek eksploitasi yang sangat kejam tersebut
ialah sistem tana paksa.
Tanam paksa atau cultuur stelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh
Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa harus
menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya
kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan
harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah
kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam
setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh
wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan
kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultur
stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian
wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia
Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem
monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat
dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi
tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus
menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa
inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan
kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun
melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat.
Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.Sistem tanam paksa yang
kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda,
akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa
masih terus berlangsung sampai 1915. Akibat berbagai kelaparan yang menimpa
hampir seluruh penduduk di Jawa, telah menimbulkan berbagai kritikan pedas
dari orang-orang non-pemerintah. Gejala kelaparan ini diangkat kepermukaan dan
dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan
terhadap bumiputera Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi
Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Di bidang sastra muncul
Multatuli atau Dr. Douwes Dekker, dilapangan jurnalistik muncul E.S.W Roorda
van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell, sehingga dari
sinilah muncul gagasan politik etis.
Maka untuk mengatasi semua masalah tersebut maka
dikeluarkannya Regereringsreglement 1854, sebuah upaya untuk menciptakan
Hindia Belanda sebagai negara hukum (rechtstaat) bukan negara yang
berdasarkan kepada kekuasaan (machtstaat). Adapun inti dari kebijakan ini adalah
memerintahkan agar pengelolaan pemerintahan di Hindia Belanda dengan
menggunakan azas trias politika dengan menyerahkan peradilan kepada hakim
yang bebas serta menerapkan azas legalitas untuk mendapat kepastian hukum
serta melarang pemidanaan yang menyebabkan seseorang akan kehilangan hak-
hak perdatanya. Dan kaum pribumi dilindungan semua hak-hak nya dengan
peraturan-peraturan yang ada.
Bab II
Kebijakan eenheidsbeginsel
Cita-cita kaum liberal untuk mewujudkan kepastian hukum di Hindia Belanda
yakni dengan melakukan unifikasi hukum yang terkenal dengan
kebijakan eenheidsbeginsel. Dengan adanya ide ini, maka setiap masyarakat akan
memperoleh hak yang sama dan roda pemerintahan bisa berjalan dengan baik dan
benar. Dengan adanya unifikasi hukum tersebut maka akan hilangnya diskriminasi
terhadap pribumi, karena hak-hak bagi pribumi akan sama dengan hak-hak bagi
kaum eropa, dengan membiarkan dualisme berjalan ditengah kehidupan Hindia
Belanda berarti sama saja dengan membiarkan diskriminasi terus berjalan di
Hindia Belanda.
Namun niat baik dari kaum liberal ini untuk melakukan unifikasi terbentur
dilapangan, karena selama ini masyarakat pribumi hidup dengan menjalankan
dualisme hukum, masyarakat sudah terbiasa dengan hal-hal tersebut, apabila
dilakukan juga unifikasi hukum dengan segera, maka akan mengakibatkan
hancurnya lembaga-lembaga adat masyarakat pribumi yang telah hidup ditengah-
tengah masyarakat. Namun secara pragmatis dan realistik, dengan diterapkannya
unifikasi hukum maka akan mengeluarkan biaya yang banyak dan waktu yang
cukup lama, karena banyak yang harus disiapkan untuk menuju kesana.
Unifikasi mudah dalam cita-cita dan rekaan ideal, tetapi sungguh terasa sulit
dalam pelaksanaan. Lebih dari dua abad lamanya dualisme hukum telah
dipertahankan berlakunya, sehingga untuk melakukan unifikasi tidaklah mudah
dan selalu terbentur tembok keras kenyataan dilapangan. Untuk meujudkannya
memerlukan waktu dan harus hati-hati dan tidak mengejutkan administrator yang
bertanggung jawab ditataran pemerintahan kolonial.
Maka diambillah jalan tengah yakni dengan menerapkan unifikasi maka
dikeluarkan kebijakan berupa vrijwillige onderwerping dan toepasselijk
verklaring. vrijwillige onderwerping adalah upaya kecil-kecilan oleh para pencari
keadilan bangsa pribumi secara individual yang dimungkinkan oleh hukum untuk
membuat pilihan hukum, kebijakan toepasselijk verklaring adalah upaya besar-
besaran lewat wewenang Gubernur Jenderal untuk menerapkan peraturan
perundang-undangan Eropa tertentu ke golongan pribumi. Maka, dengan
dikeluarkannya dua kebijakan ini, hukum asli rakyat pribumi hanya kan dipakai
oleh hakim sejauh hukum itu tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang ada.
Ini merupakan bentuk kompromi dalam melakukan unifikasi disatu sisi dan tetap
mempertahankan dualisme hukum disisi yang lain. Tetapi pada akhirnya dua
kebijakan ini merupakan cikal bakal untuk menerapak unifikasi hukum untuk
hukum-hukum tertentu seperti bidang tenaga kerja dan tanah.
Bab III
Ihwal Perundang-undangan kolonial dibentuk pada periode liberalisme
(1850-1890)
Pada masa ini terjadi perkembangan hukum yang lebih bersifat pragmatis yang
didengungkan oleh kelompok liberal. Mereka menggaungkan supaya
diberlakukannya hukum Eropa dengan maksud lain, disatu sisi kaum liberal
mendengungkan nilai-nilai kemanusian, persamaan hak dan persaudaraan antara
sesame manusia, namun dibelakang maksud baik itu semua terdapat sebuah
rencana licik yang akan membawa rakyat di Hindia Belanda dibawah eksploitasi
yang diluar batas kemanusiaan.
Kaum liberal ingin memudahkan melakukan usahanya di Hindia Belanda
dengan perundang-undangan yang ada. kaum liberal di Belanda berhasil memaksa
pemerintah Belanda untuk menghapuskan Tanam Paksa dengan diberlakukannya
UU Agraria atau Agrarische Wet. Namun tujuan utamanya ternyata bukan hanya
menghapuskan Tanam Paksa, tapi lebih dari itu yaitu memperjuangkan kebebasan
ekonomi dimana mereka berpendapat bahwa pemerintah jangan ikut campur
dalam bidang ekonomi, mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani
oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga
negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan
serta ketertiban.
Dampaknya bagi kaum pribumi adalah semakin meluasnya kemiskinan,
sehingga menimbulkan gelombang protes dari kaum humanis tadi seperti Dr.
Douwes Dekker yang menulis sebuah buku yaitu Max Havelaar pada tahun 1860,
dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat
tekanan pejabat Hindia Belanda. Selain itu, seorang anggota Raad van Indie, C.Th
van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan
kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah
De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau
kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah
jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi
Politik Etis.
Rupanya eksploitasi yang dilakukan oleh pihak swasta melalui kebijakan-
kebijakan liberal yang memperbolehkan pihak swasta untuk melakukan
eksploitasi di Hindia Belanda mengakibatkan dampak yang sangat parah sekali
dirasakan oleh masyarakat dari pada sistem eksploitasi pemerintah melewati
tanam paksa.
Untuk memudahkan usahanya maka dikeluarkanlah undang-undang mengenai
pertanahan. Dengan adanya undang-undang ini diatur bagaimana caranya agar
usaha-usaha swasta dapat memperoleh tanah untuk menjalankan perusahaannya.
Salah satu undang-undang mengenai pertanahan, masalah pokok yang hendak
diatasi dengan Cultuurwet ( Undang-undang Tentang Usaha Pertanian) itu, ialah,
bagaimanakah caranya agar usaha-usaha swasta dapat memperoleh tanah untuk
menjalankan perushaannya. Bersamaan dengan upaya menata kebijakan hukum
dalam soal pertanahan dan pendayagunaanya, yang ternyata mengudang
kontroversi antara kepentingan untuk segera memajukan posisi orang-orang
pribumi setara dengan posisi orang-orang Eropa ( khususnya dalam usaha-usaha
pertanian) dengan kepentingan untuk melindungi orang-orang pribumi dari
kemungkinan terampas milik-milik tanahnya oleh orang-orang Eropa (uang
dikatakan lebih berakal menurut ukuran saat itu), pada dasawarsa 1860-an itu
telah terpikirkan pula kebijakan-kebijakan hukum dalam soal ketenagakerjaan.
Upaya mengeluarkan perundang-undangan mengenai tenaga kerja adalah untuk
menjamin dapat diperolehnya tenaga-tenaga kerja bagi usaha-usaha perkebuanan
swasta, yang akan tampil menggantikan kulturstelsel adalah upaya yang relative
sulit dari pada upaya-upaya serupa untuk menjamin dapat diperolehnya lahan-
lahan pertanian. Berbeda dari suplai tanah yang dapat diperoleh dari apa yang
dikuasai secara de factooleh penduduk dan masyarakat pribumi lewat pernyataan
hukum yang disebut domeinverklaring. Suplai tenaga kerja tidaklah akan
mungkin dapat diperoleh kecuali dengan cara “merebut” dan “menyita” nya
dengan suatu tindakan yang lebih nyata dari kawasan ulayat masyarakat pribumi
itu. Lagi pula, suplai tenaga manusia pada waktu itu berbeda dengan suplai tanah,
suplai tenaga manusia jauh lebih terbatas.
Bab IV
Kebijakan diseputar politik etik kolonial pada peralihan abad 19
Seperti kita ketahui, sejak awal 1900 an, pemerintah Hindia Belanda, atas
usul Van de Venter anggota Parlemen Belanda dari Partai Buruh, menekankan
perlunya pemerintah Hindia Belanda menjalankan apa yang disebut sebagai
Politik Etis, yaitu agar dalam menjajah Indonesia hendaknya juga memperhatikan
kesejahteraan dan kemajuan sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Semacam
konsep imperialisme berakhlak. Memang setelah itu mulai ada upaya pemerintah
Belanda membuka lembaga-lembaga pendidikan. Kebijakan politik etis ini
diterapkan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat pribumi yang sedang
menurun. Padahal hasil yang diperoleh di daeah jajahan berlipat ganda sedangkan
kemakmuran pada masyarakat pribuminya sangat memprihatikan, maka untuk itu
diperlukan upaya timbal balik dengan menyisihkan sedikit keuntungan untuk
memakmurkan taraf kehidupan masyarakat pribumi.
Van Vollenhoven merupakan seorang ahli hukum, ia berperdapat bahwa hukum
adat tak perlu dihapus, karena itu merupakan cerminan masyarakat pribumi. Dia
tidak menentang unifikasi, tetapi ia berpendapat bahwa tidak mungkin mayoritas
yakni pribumi berhukum kepada hukum mayoritas yakni eropa. Kemudian de
strijd om het adatrechtini disambung oleh muridnya yakni Ter Har yang telah
berhasil menghimpun dan menyusun konsep-konsep hukum adat.
Cara pandang Ter Harr dan Van Vollenhoven didalam hukum adat sangatlah
berbeda, kalau Ter Har memandang hukum adat dari konsep common law dan
menurutnya hukum adat itu adalah bagian dari kebijakan pengusa, sedangkan Van
Vollen hoven memandang hukum adapt ialah aturan-aturan yang harus
dikodifikasikan dan hukum adat itu adalah miliknya masyarakat. Walaupu hukum
adapt tidak terkodifikasi dan kurang mendapatkan tempat, hukum adapt telah
membawa peran yang cukup penting dalam menyelesaikan masalah-masalah serta
sengketa hukum ditengah-tengah masyarakat pribumi. Sehingga terjadinya
dualisme hukum ditengah-tengah dunia hukum di Hindia Belanda.
Ball menyebut dualisme hukum ini dengan enlightenen dualism, jadi
hukum adat tetap dianggap sebagai hukum yang setara dengan hukum eropa
ditanah Hindia Belanda. Sehingga banyak yurisprudensi-yurisprudensi dari
hukum adapt yang dijadikan dasar hukum dalam memutuskan suatu masalah.
Namun dipihak lain banyak juga yang menentang terhadap hukum adapt tersebut,
bagi pihak yang kontroversi terhadap hukum adapt ini memandang bahwa apabila
hukum adapt tetap dipertahankan maka nantinya masyarakat pribumi akan
tertutup dengan adanya keterbukaan dan kemajuan zaman serta mereka memiliki
pandangan bahwasanya hukum adat melindungi kelompok pribumi saja,
sedangkan di Hindia Belanda masyarakatnya sudah demikian plural
Bab V
Perkembangan kebijakan zelfbestuur bagi masa depan “Tanah Hindia”
Banyak kewenangan yang dimiliki oleh gubernur jenderal seperti memegang
kekuasaan lgislatif di negeri kolonial, berkewenangan untuk melaksanakan
peraturan-peraturan yang ada, berkewenangan untuk mengangkat dan
memberhentikan pejabat-pejabat tinggi dijajaran pemerintahan kolonial,
berkedudukan sebagai penglima tertinggi angkatan darat dan angkatan laut di
Hindia Belanda dan berkewenangan untuk memberikan grasi. Untuk
mendayagunakan seluruh kekuasaan dan kewenangannya, gubernur jenderal
dibantu oleh suatu organisasi pemerintahan yang diisi oleh pejabat-pejabat yang
tidak sedikit pun mempunyai kekuasaan administrative yang mandiri, baik dipusat
pemerintahan maupun didaerah-daerah. Karena besarnya kewenangan gubernur
jenderal maka sulit untuk melakukan pengawasan dan pengontrolan sehingga pola
pemerintah terksesan monopoli.
Buruknya kinerja pemerintahan kolonial sehingga mendapat kritikan yang tajam
dari kelompok-kelompok liberal yang berada di Hindia Belanda. Mereka
menuntut reformasi sistem pemerintahan yang ada, dan kemudian mereka
menginginkan agar mereka dikutsertakan dalam mengambil setiap keputusan dan
kebijakan didaerah Hindia Belanda yag disebut dengan Gewestelijk
raad. Gewestelijk raad adalah suatu dewan dimana warga Eropa dapat berbicara
untuk menyuarakan isi hatinya. Sudah tiba waktunya pemerintah membuka mata
untuk melihat perkembangan di tanah Hindia Belanda dan untuk kemudian
melakukan reformasi ketatanegaraan yang sudah harus dipandang sebagai suatu
langkah yang amat diperlukan agar kebijakan dan urusan pemerintahan tidak lagi
hanya terpusat ditangan gubernur jenderal beserta raad van indie nya.
Untuk mewujudkan upaya reformasi ketatanegaraan di Hindia Belanda maka
dikeluarkanlah Decentralisatie Wet 1903. adapun tujuan dikeluarkannya undang-
undang ini adalah untuk mewujudkan desentralisasi administrative didaerah-
daerah yang dimungkinkan. Yang pada pokoknya membagi wilayah Hindia
Belanda kedalam satuan-satuan daerah dan pembagian itu akan dilakukan oleh
raja, bahwa pemerintahan didaerah-daerah itu dilaksanakan oleh pejabat-pejabat
tinggi yang sebutannya akan di tentukan kemudian, bahwa gubernur jenderal akan
menetapka intruksi-intruksi berkenaan dengan hubungan para pejabat tinggi
daerah itu dengan berbagai pihak lain serta kekuasaan sipil adalah kekuasaan yang
tertinggi didaerah-daerah. Melalaui desentralisasi ini suara rakyat pribumi sudah
ikut diperhitungkan, yakni dengan adanya perwakilan pribumi yang boleh duduk
menjadi anggota raad. Walaupun dari segi kekuatan politik masih belum matang,
ini bisa menjadi sebagai sebuah corong bagi pribumi untuk menyuarakan hak-
haknya di dalam raden tersebut. Walaupun sebagian besar anggota raad adalah
dari puak eropa.
Bab VI
Perkembangan hukum di Indonesia yang menyangkut ihwal ketatanegaraan
Pemerintahan militer Jepang membagi 3 wilayah komando, yaitu Jawa dan
Madura, Sumatera serta Indonesia bagian timur. Untuk wilayah Jawa dan Madura
berlaku Osamu Sirei 1942 No.1, yang mengatur bahwa seluruh wewenang badan
pemerintahan dan semua hukum dan peraturan yang selama ini berlaku tetap
dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan
militer Jepang. Terhadap 2 wilayah lainnya juga diatur dengan peraturan yang
serupa.
Kitab undang-undang dan ketentuan perundangan yang semula berlaku hanya
untuk orang-orang Belanda, kini juga berlaku untuk orang-orang Cina. Hukum
adat tetap dinyatakan berlaku untuk orang-orang pribumi. Pemrintah militer
Jepang juga menambah beberapa peraturan militer ke dalam peratuturan
perundangan pidana, dan memberlakukannya untuk semua golongan penduduk.
Namun kontribusi penting yang diberikan Jepang ialah dengan
menghapuskan dualisme tata peradilan, sehingga Indonesia hanya memiliki satu
sistem peradilan. Sebagaimana juga pada institusi pengadilan, jepang juga
mengunifikasi badan kejaksaan dengan membentuk Kensatzu Kyoku, yang
diorganisasi menurut 3 tingkatan pengadilan. Reorganisasi badan peradilan dan
kejaksaan ditujukan untuk meniadakan kesan khusus bagi golongan Eropa di
hadapan golongan Asia.
Dalam situasi lebih mementingkan keperluan perangnya, pemerintah
militer Jepang tidak banyak merubah ketentuan administratif yang telah berlaku
melainkan hanya beberapa ketentuan dianggap perlu untuk dirubah. Untuk
menjamin jalannya roda pemerintahan dan penegakan tertib hukum, Jepang
merekrut pejabat-pejabat dari kalangan Indonesia untuk melaksanakan hal
tersebut. Namun setelah Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dan
berpemerintahan, banyak peraturan yang dibuat oleh pemerintah militer Jepang
dinyatakan tidak berlaku.
Setelah Jepang pergi dari Indonesia, ini merupakan kesempatan bagi Indonesia
untuk bisa memerdekakan dirinya, maka disusunlah segala sesuatu yang
diperlukan untuk memenuhi syarat sebagai sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat termasuk didalam bidang hukum. Untuk mengisi kekososngan hukum
maka hukum yang telah berlaku sebelumnya yakni hukum peninggalan Belanda di
berlakukan melalui Pasal II aturan peralihan UUD 1945. Namun disatu sisi ada
juga masukan dari kelompok-kelompok ahli hukum untuk menerapkan hukum-
hukum yang ada dalam konsep mereka, seperti hukum Islam dan hukum Adat.
Namun untuk memberlakukan hukum tersebut memerlukan waktu yang lama,
sedangkan kebutuhan akan hukum sangatlah mendesak, sebab Indonesia sedang
terlibat perang fisik dengan Belanda yang akan merongrong kedaulatan negara
Indonesia.
Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan
kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belandamendapat kecaman keras dari
dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa
pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan
Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan Konferensi
Meja Bundar. Berdasarkan keputusan pada perundingan KMB atau konfrensi
meja bundar antara Moh. Hatta, Moh. Roem dengan Van Maarseven di Den Haag
Belanda memutuskan bahwa bentuk negara Indonesia adalah negara RIS /
Republik Indonesia Serikat. Negara republik indonesia serikat memiliki total 16
negara bagian dan 3 daerah kekuasaan ditetapkan tanggal 27 desember 1949.
Tujuan dibentuknya negara RIS tidak lain adalah untuk memecah belah rakyat
Indonesia dan melemahkan pertahanan IndonesiaBelanda mengakui kemerdekaan
Indonesia pada 27 Desember 1949, selang empat tahun setelah proklamasi
kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan
ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana
Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa
mengakui Indonesiamerdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui
tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalah ilegal. Pada 5
Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarnomengeluarkan dekrit yang diumumkan
dalam upacara resmi di Istana Merdeka. Dengan dikeluarkan dekrit tersebut
Indonesia kembali ke UUD 1945 dan semua peraturan-peraturan hukum dan
bentuk negara kembali kepada semula yakni kesatuan Republik Indonesia.
Bab VII
Kebijakan pembangunan hukum pada era orde baru
Kebijakan pembangunan hukum dimasa Orde baru ditujukan untuk
melakukan pembangunan di bidang Ekonomi. Hukum dijadikan sarana dan
prasarana untuk menumbuhkan pembangunan ekonomi di Indonesia. Hukum
jangan sampai menghambat pembangunan Ekonomi. Pada masa ini hukum
memang dibentuk untuk merekayasa kehidupan sosial masyarakat. Kekusaan
pemerintahan yang sedemikian besar itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh
keluarga istana. Selama lebih dari 32 tahun Orde Baru berkuasa, hukum telah
menjadi instrumen untuk memperkaya kekuasaan. Dominasi para "konglomerat
hitam" yang mengitari istana ketika itu telah melahirkan sejumlah produk hukum
yang justru melegalisasi praktik-praktik KKN dan monopoli bisnis keluarga
Soeharto.
Di bidang ekonomi, misalnya, betapa banyak keppres yang melegalisasi
praktik-praktik monopolistik. Kasus-kasus seperti monopoli cengkih yang
menyengsarakan petani, proyek jalan tol yang terlaksana tanpa tender yang fair,
mobil Timor yang kontroversial, hingga pada kasus ruilslag tanah Bulog yang
melibatkan Tomy, putra bungsu Soeharto, telah menjadi fakta sejarah betapa
hukum pada masa itu telah menjadi instrumen untuk memperkaya kekuasaan.
Karena itu, jika pada masa Orde Lama politik adalah panglima, pada masa ini
ekonomi menjadi panglimanya.
Hukum pada zaman ini memang dijadikan alat untuk merekaraya
masyarakat. Tujuan yang hendak dicapai pada zaman orde baru ini ialah
pemabngunan ekonomi. Jadi hukum harus dijadikan sarana untuk memajukan
pembangunan ekonomi bukan malah sebaliknya, hukum jangan dijadikan
penghambat pembangunan ekonomi. Jadi hukum pada zaman ini tadak
memfokuskan pada bidang lainnya sehingga sering mengkaburkan nilai-nilai
keadilan, asas-asas moral dan wawasan kearifanyang sebenarnya. Sehingga
tibulnya gerakan-gerakan untuk menuntut hak asasi manusia
Ide law as a tool of social engineering ditujukan secara selektif untuk
memfungsikan hukum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja, dan
tidak berpretensi akan sanggup merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek
kehidupannya. Ide ini tentu saja bersesuaian benar dengan kepentingan
pemerintah orde baru, karena ide untuk mendahulukan pembangunan hukum yang
gayut dengan ranah netral, yang juga hukum ekonomi, tanpa melupakan hukum
tatanegara.
Dengan memfungsikan hukum untuk kepentingan pembangunan ekonomi
(kehendak kepentingan industrialisasi masyarakat modern) oleh faham “ hukum
sebagai sarana perekayasa social” begitu pula ide pendayagunaan hukum masuk
sebagai kebijakan pemerintah dengan upaya melakukan survai untuk
menginvestasikan dan meletakkan keadan hukum yang telah atau belum ada untuk
kepentingan aktivitas ekonomi, yang kemudian bermanfaat untuk menentukan
kebijakan perundang-undangan yang telah direncanakan dalam rancangan
pembangunan lima tahun kedua. Pembangunan hukum nasional dengan cara
mengembangan hukum baru atas dasar prinsip yang diterima dalam kehidupan
Internasional, dimana ada dua pihak ahli hukum yang tidak setuju, yaitu harus ada
kontinuitas perkembangan hukum (kolonial) menuju hukum nasional dimana
Hukum nasional harus berakar yaitu hukum adat.
Jelasnya bahwa pendayagunaan hukum untuk kepentingan pembangunan
Indonesia adalah dengan hukum yang telah diakui dan berkembang dikalangan
bisnis Internasional (berasal dari hukum dan praktek bisnis Amirika), Para ahli
hukum praktek, mempelajari hokum eropa (belanda) dimana mochtar
berpengalaman luas dalam unsur-unsur hukum dan bisnis Internasional,
melakukan pengembangan hokum nasional Indonesia dengan dasar hukum
kolonial yang dikaji ulang berdasarkan Grundnom Pancasila adalah yang
dipandang paling logis.
Hukum Kolonial secara formil masih berlaku dan sebagian kaidah-
kaidahnya masih merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan ketentuan
peralihan, terlihat terjadi pergerakan kearah pola-pola hukum eropa(belanda).
Telihat adanya adopsi dari hukum adat, hukum Amirika atau hukum Inggris, akan
tetapi konfigurasinya/pola sistemiknya yang eropa tidak dapat dibongkar, hukum
tata niaga atau hukum dagang (Handels recht Vav koophandel membedakan
hukum sebagai perekayasa social atau hukum ekonomi. Dalam Weyboek Van
Koohandel terdapat pula mengatur leasing, kondominium dan Universitas
Padjadjaran melihat masalah hukum perburuhan, agraria, perpajakan dan
pertambangan masuk kedalam hukum ekonomi. Terutama pada hukum dagang
(belanda) yang dikualifikasikan sebagai hukum privat (perdata), sedangkan
hukum ekonomi berunsurkan kepada tindakan publik-administratif pemerintah,
oleh karenanya hukum dagang untuk mengatur mekanisme ekonomi pasar bebas
dan hukum ekonomi untuk mengatur mekanisme ekonomi berencana.
Keberadaan hukum adat tidak pernah akanmundur atau tergeser dari
percaturan politik dalam membangun hukum nasional, hal terlihat dari
terwujudnya kedalam hukum nasional yaitu dengan mengangkat hukum
rakyat/hukum adat menjadi hukum nasional terlihat pada naskah sumpah pemuda
pada tahun 1928 bahwa hukum adat layak diangkat menjadi hukum nasional yang
modern (soepomo). Di masa Orde Baru pencarian model hukum nasional adalah
untuk memenuhi panggilan zaman dan untuk dijadikan dasar-dasar utama
pembangunan hukum nasional., dimana mengukuhkan hukum adat akan berarti
mengukuhan pluralisme hukum dan tidak berpihak kepada hukum nasional yang
diunifikasikan (dalam wujud kodifikasi). Dan ide kodifikasi dan unifikasi
diprakasai kolonial yang berwawasan universalistis, dimana hukum adat adalah
hukum yang memiliki perasaan keadilan masyarakat lokal yang pluralistis, dengan
mengingat bahwa hukum kolonial dianggap sangat bertentangan dengan hukum
adat adalah merupakan tugas dan komitmen Pemerintah Orde Baru untuk
melakukan unifikasi dan kodifikasi kedalam hukum nasional tersebut.
Daftar Pustaka
Adi sulistiono, 1987. Sejarah lembaga peradilan di
Indonesia (online) http://www.malang.ac.id, diakses 20 April 2010.
Disriani Lathifah,2009. Sejarah terbentuknya perdilan negeri di Indonesia,
(online) http://www. Lathifah blog, sejarah terbentuknya peradilan negeri di
Indonesia.com. Diakses 23 April 2010.
http://msfoundation.blogspot.co.id/2012/04/peradilan-pada-masa-belanda.html