Pendahuluan
SEJARAH PERKEMBANGAN
Jadi inti utama dari para pemikir positivisme logis adalah suatu
pernyataan hanya bermakna, jika pernyataan tersebut dapat
diverfikasi dengan data inderawi, dengan kata lain, jika suatu
pernyataan tidak dapat dibuktikan secara inderawi, maka
pernyataan tersebut adalah tidak bermakna.
alah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain
teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan
bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika
dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara
empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk
diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di
antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki
makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
TOKOH-TOKOH DAN PEMIKIRANNYA
Pada tahun 1929 R. Carnap, Hans Hahn dan Otto Neurath (1882-
1945) menerbitkan sebuah manifesto yang berjudul
“Wissenscaftliche Weltauffassung: der Wiener Kreis” (Pandangan
Dunia ilmiah Kelompok Wina) (Delfgaauw, 1972: 115).
Pandangan dunia ilmiah Lingkaran Wina ini kemudian diikuti
banyak ahli dan ilmuwan, sehingga menjadi kekuatan yang
dominan dalam filsafat ilmu pengetahuan, terutama di negara-
negara yang berbahasa Inggris sampai tahun 1960-an. Sehingga
pandangan ini sampai tahun 1960-an disebut dan dianggap
sebagai “the standard View” (pandangan yang dianggap baku)
atau “the received View” (pandangan yang diterima umum)
Kritik
Akan tetapi, ada problem epistemologis yang sangat mendasar di
dalam inti pemikiran positivisme logis tersebut. Apa yang akan
dilakukan, dengan berbekal paradigma positivisme logis tentunya,
ketika dua teori yang berbeda menjelaskan satu fenomena yang
sama secara berbeda? Disamping itu, pernyataan bahwa suatu
teori haruslah dapat diverifikasi tidaklah dapat diverifikasi.
Artinya, teori yang dikembangkan oleh pemikir positivisme logis ini
dapat dikenai kritiknya sendiri. Maka, teori ini juga problematic
secara internal. Akan tetapi, walaupun ide-ide yang dipaparkan
diatas dominan didalam perdebatan filsafat ilmu pengetahuan,
tetapi realitas actual praktek ilmu pengetahuan sendiri, terutama
didalam teori relativitas dan fisika kuantum, ternyata tidak sesuai
dengan ide-ide positivism logis ini. Bahkan, refleksi filsafat ilmu
pengetahuan tentang teori-teori saintifik dan perkembangannya
merupakan suatu reaksi kritis terhadap pandangan ini.
scientisme-oleh-ricky-rengkung/
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam paradigma Positivisme Hukum, undang-undang atau
keseluruhan peraturan perundang-undangan dipikirkan sebagai
suatu yang memuat hukum secara lengkap sehingga tugas hakim
tinggal menerapkan ketentuan undang-undang secara mekanis
dan linear untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat,
sesuai bunyi undang-undang.[1] Sehingga, terdapat 5 (lima)
alasan yang melandasi kritik terhadap paradigma positivisme
hukum diperlukan, yaitu:[2]
bersambung…………….
[1] Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme
Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011, hlm. 1.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 2.
[4] Ibid., hlm. 3.
[5] Ibid., hlm. 4.
[6] Ibid., hlm. 4.
[7] Ibid., hlm. 5.
[8] Ibid., hlm. 5.
[9] Ibid., hlm. 6.
[10] Ibid., hlm. 7.
[11] Ibid.
[12] Ibid., hlm. 9-10.
ADVERTISING
Advertisements
https://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2016/05/02/kritik-terhadap-
paradigma-positivisme-hukum-widodo-dwi-putro/
Kritikan terhadap Aliran Positivisme Hukum
Menurut Von Savigny, hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau
kebinasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa
itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Karena itu, Savigny
mengeluarkan pendapatnya yang amat terkenal bahwa hukum itu tidak dibuat
tetapi tumbuh bersama masyarakat. Pendapat Savigny sangat bertolak belakang
dengan pandangan positivisme, sebab mereka berpendapat bahwa dalam
membangun hukum maka studi terhadap sejarah atau bangsa mutlak diperlukan.
Pendapat tersebut oleh Puchta dibenarkan dan dikembangkan dengan
mengajarkan bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa yang
bersangkutan (Rahardjo, 2008: 164).
Teori hukum lain yang lahir dari proses dialektika antara tesis positivisme hukum
dan antitesis aliran sejarah, yaitu Sociological Jurisprudence yang berpendapat
bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat. Teori ini memisahkan secara tegas antara hukum positif
dengan hukum yang hidup. Tokoh aliran ini terkenal di antaranya adalah Eugen
Ehrlich yang berpendapat bahwa hukum positif baru akan berlaku secara efektif
apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (Lili
Rasyidi, 1988: 55). Tokoh lain yaitu Roscoe Pound yang mengeluarkan teori
bahwa hukum adalah alat untuk merekayasa sosial (law as a tool of social
enginering).Roscoe Pound juga menganjurkan supaya ilmu sosial didayagunakan
untuk kemajuan dan pengembangan ilmu hukum (Soetandyo, 2003: 8).
Raharjo sebagaimana yang dikutip Anton (2005: 11) menyebutkan bahwa dalam
pandangan hukum progresif, undang-undang itu tidak selalu jelas.
Kemampuannya untuk memberikan jawaban terhadap seribu-satu persoalan yang
dihadapkan kepadanya juga sangat rendah. Ia tidak menyediakan pasal-pasal yang
segera langsung bisa dipakai untuk menyelesaikan semua persoalan yang terjadi.
Dalam hukum progresif, kata dan kalimat yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan hanya semacam eksemplar saja, sedang yang ingin
dijangkau oleh hukum adalah suatu makna yang lebih dalam lagi, katakanlah,
keadilan. Kalau demikian keadaannya, maka menurut Rahardjo (2005: 2) kita
tidak dapat memegang peraturan tersebut secara mutlak atau hitam putih. Sedang
di sisi lain, kaum positivisme tidak menerima cara pandang tersebut.
terhadap-aliran-positivisme-hukum
MEMAHAMI FILSAFAT HUKUM DAN KRITIK
TERHADAP POSITIVISME HUKUM
A.Definisi Filsafat
DAFTAR PUSTAKA
[1] Theo Huijbers,1991, Filsafat Hukum . Yogyakarta : Kanisius, hal 18.
[2]Lili Rasyidi, 1993, Filsafat Hukum ,Apakah Hukum Itu?. Bandung :
RemajaRosdakarya.hal 10
[3] Lili Rasjidi dan Arif Sidharta, 1994, Filsafat Hukum mazhab dan
Rechtswetenchappen hal 9-86
[8] Gustav Radbruch 1942,B dalam Lili Rasjidi, 1993, Filsafat Hukum