Anda di halaman 1dari 52

Kritik (ideologi) terhadap cara

berpikir Positivisme atau


Scientisme, oleh Ricky
Rengkung
BY SRI WAHYUNI · 18 FEBRUARY 2017

Pendahuluan

Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan


perihal kebijaksanaan[1], dan merupakan refleksi kritis tentang
pengalaman hidup manusia dan sebagai ilmu, filsafat berbeda
dengan ilmu-ilmu empiris lainnya. [2] Filsafat berasal dari kata
Yunani, yakni philosophia yang berarti cinta (philia) dan
kebijaksanaan (sophia) dan menurut analisis, kata ini muncul dari
mulut Phytagoras yang hidup di Yunani Kuno pada abad ke-16
sebelum masehi (Budi Hardiman, 2007), sehingga orang yang
mencintai kebijaksanaan disebut juga sebagai philosophos atau
filsuf [3]).  Selanjutnya untuk memahami arti dan penjelasan dari
filsafat itu lebih lanjut, maka dimengerti terlebih dahulu hakikat
dari filsafat.  Biasanya, ada dua jawaban atas pertanyaan tentang
hakikat filsafat, yang pertama, filsafat adalah suatu aktivitas, dan
bukan suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja. Dan kedua,
filsafat juga sering diartikan sebagai suatu analisis konseptual,
yakni berpikir tentang pikiran. [4] Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa filsafat merupakan suatu refleksi yang kritis dan
rasional tentang pengalaman kehidupan manusia, karena filsafat
berbeda dengan ilmu empiris lainnya.  Perbedaan antara filsafat
dengan dengan Ilmu empiris adalah tentang pengalaman.
Empiris membicarakan tentang data-data yang diperoleh lewat
observasi dengan mengadakan analisis tentang data-data empiris
yaitu dengan pendekatan teori dan metodologi, yang
mendatangkan atau menghasilkan temuan-temuan, sedangkan
filsafat berbicara tentang refleksi yang bertujuan untuk
mendapatkan pengetahuan yang sifatnya adalah hakiki.

Filsafat juga sebenarnya bertolak dari pengalaman dan data juga


tapi tujuannya tidak hanya berhenti sampai pada data alami tapi
dilakukan analisis lebih lanjut untuk mendapatkan pengetahuan
dasar.  Oleh karena itu filsafat tidak berhenti pada fenomena-
fenomena atau data empiris karena tujuannya adalah untuk
mendapatkan dasar-dasarnya atau unsur-unsur yang hakiki atau
bicara tentang hakekatnya.[5] Jadi, filsafat adalah untuk
mendapatkan pengetahuan yang hakiki atau memperoleh
hakekat, misalnya ilmu sosiologi akan membicarakan tentang
hakikat dari masyarakat.

Jika dilihat dari pengaruh dan perkembangannnya, terlebih bagi


perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat terlepas dari peran,
pengaruh dan perkembangan pemikiran filsafat itu.
Perkembangan sejarah filsafat dapat dibagi dalam empat
periodisasi [6], yaitu pertama adalah zaman Yunani Kuno (abad 6
SM – 6 M), dengan ciri pemikiran yang kosmosentris yang
didasarkan pada pengamatan atas alam, kedua adalah zaman
abad pertengahan (6 – 16 M) dengan pemikiran teologis, ketiga
zaman Rennaissance (16 – 17 M), dimana peralihan dari zaman
pertengahan ke zaman modern ditandai dengan era yang disebut
sebagai rennaissance, dan keempat zaman Modern (17 – 19 M)
yang disebut juga sebagai filsafat modern yang kelahirannya
didahului oleh periode rennaissance dan dimatangkan oleh
gerakan Aufklaerung pada abad 18.  Jika diilihat dari
perkembangan filsafat tersebut diatas, maka revolusi ilmu
pengetahuan (ilmu pengetahuan modenrn lahir) terjadi pada abad
17, dengan munculnya revolusi budaya (Rennaissance).  Jika
sebelumnya ilmu pengetahuan yang cara berpikirnya lebih
beorientasi pada metafisis (spekulatif dan tidak empiris), maka
semenjak abad ke-17 ilmu pengetahuan didasarkan pada bukti-
bukti empiris dan rasionalitas.  Namun demikian, tidak boleh
dianggap remeh perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat
sebelum abad ke-17 tersebut, karena ilmu pengetahuan modern
bisa berkembang karena prinsip-prinsip dasarnya telah dtemukan
pada masa tersebut.

Ilmu pengetahuan berkembang sejalan dengan berkembangnya


budaya dan peradaban manusia dan berlangsung secara
bertahap dan periodik.  Setiap perkembangannya menghasilkan
kekhususan dari ilmu pengetahuan tersebut.  Sampai pada sekitar
abad 18, Auguste Comte mengatakan bahwa Filsafat Ilmu
Pengetahuan merefleksikan tentang ilmu pengetahuan untuk
mebicarakan tentang struktur ilmu pengetahuan atau unsure-
unsur dan hakikat dari suatu ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu
pengetahuan lebih luas sekedar sejarah ilmu pengetahuan.
Sejarah ilmu pengetahuan berguna untuk memahami proses
penemuan berbagai macam hal dalam ilmu pengetahuan.
Banyak ahli berpendapat bahwa beberapa problematika dalam
filsafat ilmu pengetahuan tidak dapat dipahami secara memadai
terpisah dari  sejarah ilmu pengetahuan.

Perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri terjadi pada saat


revolusi ilmu pengetahuan pada abad 17, ketika terjadi
penemuan-penemuan oleh beberapa ahli tentang teori-teorinya
seperti, Newton dan Kepller.  Pada abad ke-17 itu telah terjadi
perubahan pemikiran yang sangat revolusioner dibandingkan
dengan sebelumnya.  Revolusi Budaya, sebagai salah satu
contoh yang mendorong orang berpikir rasional dan empiris yang
mengakibatkan perubaha cara orang berpikir. Revolusi ilmu
pengetahuan telah membuat orang berpikir mekanistik yang
sifatnya matematika, fisika dan astronomi.  Revolusi ilmu
pengetahuan juga memberikan dinamika dalam ilmu pengetahuan
empiris, maka dengan adanya lompatan ini munculah ilmu
pengetahuan.

Sistem ilmu pengetahuan berkembang hingga sampai pada abad


19, dimana Auguste Comte memberikan sumbangan kreatif yang
khas terhadap perkembangan sosiologi sebagai suatu sintesa
antara dua perspektif yang saling bertentangan mengenai
keteraturan sosial: positivisme dan organisme. Orang positivis
percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengadakan
perubahan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusi-
institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu. Hasilnya akan
berupa suatu takhayul, kekuatan, kebodohan, paksaan, dan
konflik akan dilenyapkan. Titik pandangan ini sangat mendasar
dalam gagasan-gagasan Comte mengenai kemajuan yang
mantap positivisme.

Sumbangan pikiran penting lain yang diberikan Comte ialah


pembagian sosiologi kedalam dua bagian besar: statika sosial
(social statics) dan dinamika sosial (social dynamics). Statika
mewakili stabilitas, sedangkan dinamaika mewakili perubahan.
Dengan memakai analogi dari bologi, Comte menyatakan bahwa
hubungan antara statika sosial dapat disamakan dengan
hubungan antara anatomi dan fisiologi.  Hal ini membuat Comte
membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga yaitu : Teologi yaitu
pengetahuan yang didapat didasarkan pada iman dan
kepercayaan, Metafisis yaitu pengetahuan yang didasarkan pada
akal budi (reasoning), spekulatif dan abstrak serta Positif yaitu
ilmu pengetahuan didasarkan pada fakta yang didapat yang
sifatnya empiris.  Comte dapat dikatakan sebagai seorang tokoh
bagi Ilmu pengetahuan yang positif, dimana Comte mendapat
dukungan dari para ilmuwan pada saat itu, karena banyak dari
mereka yang berpikir positif.  Sejak saat itu positivism mendapat
pengaruh yang sangat besar dalam ilmu pengetahuan dan pada
awal abad 19, muncul kelompok berkumpul di Wina yang
berorientasi positivism untuk membicarakan tentang struktur ilmu
pengetahuan tersebut, dimana kelompok ini lebih dikenal sebagai
Lingkaran Wina (Wina Circle).

SEJARAH PERKEMBANGAN

Positivisme merupakan istilah yang digunakan pertama kali oleh


Saint Simon (sekitar tahun 1825). positivisme berakar pada
empirisme karena kedekatan keduanya yang menekankan logika
simbolik sebagai dasar. Prinsip filosofik tentang Positivisme
dikembangkan pertama kali oleh empiris Inggris Francis Bacon.
Dalam psikologi pendekatan positif erat dikaitkan dengan
behaviorisme, dengan fokus pada observasi objektif sebagai
dasar pembentukan hukum.

Tesis Positivisme bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan


yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi
obyek pengetahuan.

Pendiri dan sekaligus tokoh terpenting dari aliran filsafat


positivism adalah Auguste Comte (1798-1857).  Filsafat Comte
adalah anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta yang
ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua
pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan
Comte yang terkenal adalah savior pour prvoir (mengetahui
supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki
gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala ini
supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.

Filsafat positivism Comte disebut juga faham empirisisme-kritis,


bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring.  Bagi Comte
pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran
atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin
dilakukan secara ‘terisolasi’, dalam arti harus dikaitkan dengan
suatu teori.  Metode positif Auguste Comte juga menekankan
pandangannya pada hubungan antara fakta yang satu dengan
fakta yang lain.  Baginya persoalan filsafat yang penting bukan
pada masalah hakikat atau asal-mula pertama dan tujuan akhir
gejala-gejala, melainkan bagaimana hubungan antara gejala yang
satu dengan gejala yang lain.

Fisafat Comte terutama penting sebagai pencipta ilmu sosiologi.


Kebanyakan konsep, prinsip dan metode yang sekarang dipakai
dalam sosiologi, berasal dari Comte.  Comte membagi
masyarakat atas ‘statika sosial’ dan ‘dinamika sosial’.  Statika
social adalah teori tentang susunan masyarakat, sedangkan
dinamika social adalah teori tentang perkembangan dan
kemajuan.  Sosiologi ini sekaligus suatu ‘filsafat sejarah’, karena
Comte memberikan tempat kepada fakta-fakta individual sejarah
dalam suatu teori umum, sehingga terjadi sintesis yang
menerangkan fakta-fakta tersebut.  Fakta-fakta itu dapat bersifat
politik, yuridis, ilmiah, tetapi juga falsafi, religious atau cultural.

Positivisme menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu


dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan
positif ilmiah.  Manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap
teologis” dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan”
kenyataan.  Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-
prinsip abstrak dan metafisis.  Pada tahap dewasa dan matang
digunakan metode-metode positif dan ilmiah.  Aliran positivisme
dianut oleh August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-
1873) dan H Spencer (1820-1903), dan dikembangkan menjadi
neo-positivisme oleh kelompok filsuf lingkaran Wina.

Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu


sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa
saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain
bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:

Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada


Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori
pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika
yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E.
Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme –


berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach
dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal
tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri
positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah
pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim,
yang bergabung dengan subyektivisme.

Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan


lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap,
Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut
berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah
Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini
menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis,
positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme
tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis,
struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Para pemikir logis berpendapat bahwa tugas terpenting adri


filsafat adalah untuk merumuskan semacam criteria penentuan
untuk membedakan antara pernyataan yang memadai dan
pernyataan yang tidak memadai. Intinya, mereka ingin
merumuskan semacam aturan-aturan korespondensi, dimana
observasi langsung untuk menguji suatu pernyataan dapat
langsung dilakukan.  Disamping itu, mereka juga ingin
menjernihkan konsep-konsp akstrak yang digunakan dalam fisika,
seperti konsep massa dan konsep energy, sehingga dapat
sunggu diamati secara inderawi.

Salah satu criteria yang dirumuskan oleh mereka adalah


verifikasi, yakni suatu pernyataan yang memadai adalah
pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris.  Jelaslah
bahwa para pemikir positivisme logis memusatkan refleksi mereka
pada problematika bahasa. Akan tetapi, bagi ilmu pengetahuan
alam terutama, ilmu-ilmu alam, pemikiran mereka dapat menjadi
pembenaran bagi dominasi ilmu-ilmu alam di dalam ilmu
pengetahuan pada awal abad ke-20.  Intinya, proses induksi,
dimana pernyataan umum dirumuskan setelah dikonfirmasi oleh
bukti-bukti eksperimental, adalah metode yang benar dan satu-
satunya metode yang pantas digunakan di dalam ilmu
pengetahuan.

Jadi inti utama dari para pemikir positivisme logis adalah suatu
pernyataan hanya bermakna, jika pernyataan tersebut dapat
diverfikasi dengan data inderawi, dengan kata lain, jika suatu
pernyataan tidak dapat dibuktikan secara inderawi, maka
pernyataan tersebut adalah tidak bermakna.

Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis,


empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah
filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an.
Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti
rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat
memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah
pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama
sekali.

Lingkaran Wina (Vienna Circle) adalah tonggak monumen sejarah


bagi para filsuf yang ingin membentuk ‘unified science’, yang
mempunyai program untuk menjadikan metode-metode yang
berlaku dalam ilmu pasti-alam sebagai metode pendekatan dan
penelitian ilmu-ilmu kemanusiaan, termasuk di dalamnya filsafat.
Gerakan para filsuf dalam Lingkaran Wina ini disebut oleh sejarah
pemikiran sebagai Positivisme-Logik. Meskipun aliran ini
mendapat tantangan luas dari berbagai kalangan, tapi gaung
pemikiran yang dilontarkan oleh aliran posotovosme logik masih
terasa hingga saat sekarang ini.

Perkembangan filsafat ilmu, berawal di sekitar abad 19,


diperkenalkan oleh sekelompok ahli ilmu pengetahuan alam yang
berasal dari Universitas Wina. Kemudian filsafat ilmu dijadikan
mata ajaran di universitas tersebut. Para ahli tersebut tergabung
dalam kelompok diskusi ilmiah yang dikenal sebagai lingkaran
Wina (Wina circle). Kelompok Wina menginginkan adanya unsur
pemersatu dalam ilmu pengetahuan. Dan unsur pemersatu
tersebut harus beracuan pada bahasa ilmiah dan cara kerja ilmiah
yang pasti dan logis. Dan pemersatu terssebut adalah filsafat
ilmu.

Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara


lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer.
Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok
Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap
pendekatan neo-positivis ini. Secara umum, para penganut
paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan
mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang
berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu
pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang
berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini
mendukung teori-teori paham realisme, materialisme, naturalisme
filsafat dan empirisme.

alah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain
teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan
bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika
dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara
empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk
diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di
antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki
makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.

ASAL DAN GAGASAN POSITIVISME LOGIS

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat


kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu
agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini
bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi
logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut
paham ini mendukung teori-teori paham realisme,[i]
materialisme[ii] naturalisme filsafat dan empirisme[iii]. Salah satu
teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori
tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa
sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan
hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris.
Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus
yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya
adalah etika[iv] dan  masalah keindahan, tidak memiliki makna
apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika[v].

Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan


dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama
Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang
berasal dari Lingkaran Wina.

Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang


membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan
dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara
istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan
meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari
pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan
pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara
empiris.

Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis


ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah
di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang
juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu
yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu
formal.

Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah


berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa
observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang
mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi
penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang
menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan
dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai
pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa
observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.

Positivisme Logis menyajikan suatu fusi dari empiris yang berasal


dari Hume, Mill, dan Mach, dengan logika Simbolis sebagaimana
ditafsirkan oleh L. Wittgenstein. Menurut teori ini, semua kalimat
yang bermakna harus bersifat analitik maupun bersifat sintetik.
Kalimat-kalimat analitik itu bisa betul (tautologi) dan bisa salah
( kontradiksi ) semata-mata karena bentuk logisnya dan tidak
mengandung informasi faktual. Kalimat sintetik, atau
empiris,merupakan laporan tentang pengamatan indera atau pun
generalisi yang didasarkan pada pengamatan empiris. Kalimat-
kalimat sintetik bermakna sejauh dapat di verifikasi. Pernyataan
metafisik dan teologis tidak cocok dengan kedua Kategori di atas
dan di hilangkan karena pernyataan semu yang tak bermakna.
Rumusan asli ini ( dari M.schlick, R.Carnap, O.Neurath, dan lain-
lain lambat laun engalami serangkaian modifikasi saat
kekurangan-kekurangannya menjadi semakin jelas. Verifikasi,
sebagai kriterium keberartian, secara berturut-turut dimodifikasi ke
dalam Verifikasi prinsip, konfirmabilitas, dan akhirnya desakan
bahwa evidensi empiris harus memainkan suatu peranan yang
berarti dalam penerimaan suatu pernyataan ilmiah. Pada saat
yang sama basis faktual diperluas daei pencerapan-pencerapan
ke laporan laporan pengamatan, kebahasa empiris.

Positivisme dewasa ini menjelaskan pengetahuan ilmiah


berkenaan dengan tiga komponen : bahasa teoritis, bahasa
observational, dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengaitkan
keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya
bahwa hanya bahasa observational yang menyatakan informasi
faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis
tidak mempunyai arti faktual sa mapi pernyataan-pernyataan itu
diterjemahkan ke dalam bahasa observational dengan kaidah-
kaidah korespondensi.

Kendati positivisme logis dikembangkan sebagai suatu basis


interpretatif bagi ilmu-ilmu alam, ia sudah diperluas ke ilmu-ilmu
manusia. Dalam psikologi ia menemukan prtalian alami dalam
behaviorisme dan operasionalisme. Dalam etika ( Ayer,
Stevenson ) ia berupaya menjelaskan makna dari pernyataan-
pernyataan yang menyatakan kewajiban moral sehubungan
dengan konotasi emotifnya. Dalam yurisprudensi, ketentuan-
ketentua dan larangan-larangan yang ditetapkan oleh komunitas
dilihat sebagai basis terakhir dari hukum. Dengan demikian ditolak
pandangan akan hukum kodrat atau norma-norma trans-empiris,
misalnya, imperatif kategoris kant.

 
TOKOH-TOKOH DAN PEMIKIRANNYA

Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara


lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer.
Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok
Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap
pendekatan neo-positivis ini.

Alfred Jules Ayer (1910- ) adalah filsuf kelahiran London yang


studi do Oxford dan pada tahun 1932-1933 berada di Wina dan di
sanalah ia atas ajakan Moritz Schlick ikut dalam diskusi-diskusi
bulanan dari sekelompok filsuf dan ilmuwan radikal yang
menamakan kelompoknya dengan “Der Wiener Kreis” atau
“Lingkaran Wiena” atau “Vienna Circle” sebagai cikal bakal
positivisme logis, yang kemudian sangat terkenal sebagai salah
satu aliran filsafat ilmu terkemuka dalam abad XX.

Ayer menulis buku, “language, Truth and Logic” yang menjadi


salah satu buku yang menjadi dasar bagi keyakinan positivistik
Lingkaran Wiena. Buku ini membuat Ayer terkenal, tahun 1946 ia
diminta menjadi profesor di London dan sejak tahun 1959 di
Oxford sampai pensiun tahun 1978. Ayer , Gottlob Frege (1848-
1925), G. E. Moore (1873-1958), Bertrand Russel (1872-1970)
dan Wittgenstein (1889-1951) adalah tokoh-tokoh filsafat analitis
yang terkemuka.

Moore dan Russell mengemukakan istilah “data indrawi” sebagai


suatu hal yang tidak dapat duragukan oleh semua aliran filsafat
ilmu pengetahuan (realisme epistemologis dan idealisme
epistemologi). Moore dan Russel menolak idealisme Berkeley
dengan menyatakan bahwa apa yang saya (kita) ketahui tidak
dapat direduksi pada kesadaran saya mengenainya. Kesadaranku
mengenai bau wangi mawar, warna hijau dedaunan, tingginya
menara Eifel dan beratnya emas I kilogram adalah sama. Obyek
adalah tetap sama baik kita persepsi atau tidak kita persepsi.
Moore, Russell dan Wittgenstein (I) berupaya untuk menekankan
pandangan realismenya dengan manyatakan bahwa ada
kesamaan antara datum indrawi dengan obyek yang dipersepsi.

Pernyataan (proposisi) ilmiah harus disusun berdasarkan data-


data indrawi, karena itu bahasa ilmiah dapat dianalisis benar
tidaknya berdasarkan verifikasi faktual. Ketika saya menyatakan “
ada kucing di atas meja” sementara orang lain menyatakan ‘tidak
ada kucing di atas meja”, maka benar dan salahnya pernyataan
itu dapat dilakukan dengan mengacu pada fakta. Positivisme logis
mempercayai bahwa ‘obyek-obyek fisik” atau datum indrawi
sebagai pola-pola dan data-data yang konstan, sehingga
pernyataan ilmiah adalah sama dengan datum indrawi
(fenomenalisme). Prinsip inilah yang kemudian menjadi titik tolak
filsafat analitis, ketika menyatakan verifikasi sebagai kriteria ilmiah
dan non-ilmiah. Filsafat analitis menganggap bahwa
permasalahan filsafat dapat diselesaikan melalui pengunaan
bahasa yang ketat dengan menggunakan logika dan analisis
bahasa. Logika dan analisis bahasa gunanya untuk
menghindarkan penggunaan bahasa yang abstrak, kacau atau
bahasa yang semu.

Dalam pandangan filsafat analitis hanya ada dua model bahasa


yang rasional, maksudnya yang bisa dibuktikan benar atau
salahnya, yaitu kalimat atau proposisi analisitis dan proposisi
sintetis. Proposisi analitis adalah pernyataan logika, matematika,
sedangkan proposisi sinstetis pembenarannya berdasarkan
pengalaman (fakta). Dengan menggunakan dua model bahasa ini,
Filsafat menjadi ilmu yang rigorus, ilmu yang hanya berdasarkan
pengalaman murni di mana bahasa ilmu pengetahuan hanya
menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa berhubungan di
dalamnya. Mach sendiri seorang profesor di Wiena menempatkan
pengalaman sebagai sumber ilmu pengetahuan dan
mengesampingkan unsur-unsur apriori (seperti metafisika dan
etika) masuk di dalam konstruksi ilmu pengetahuan.

Lingkaran Wiena lahir pada tahun 1923 seusai perang dunia


pertama melalui Moritz Schlick (1882-1936) sewaktu ia menjadi
profesor filsafat ilmu pengetahuan induktif di Universitas Wina,
dan mencapai kejayaannya sampai tahun 1960-an. Bersama
Rudolf Carnap (1891-1970) (seorang ahli logika), Philip Frank
(seorang ahli ilmu pasti), Victor Kraft (ahli sejarah), Hendrick Feigl
dan F. Waisman (dua ahli filsafat) (Wuisman, 1996).

Pada tahun 1929 R. Carnap, Hans Hahn dan Otto Neurath (1882-
1945) menerbitkan sebuah manifesto yang berjudul
“Wissenscaftliche Weltauffassung: der Wiener Kreis” (Pandangan
Dunia ilmiah Kelompok Wina) (Delfgaauw, 1972: 115).
Pandangan dunia ilmiah Lingkaran Wina ini kemudian diikuti
banyak ahli dan ilmuwan, sehingga menjadi kekuatan yang
dominan dalam filsafat ilmu pengetahuan, terutama di negara-
negara yang berbahasa Inggris sampai tahun 1960-an. Sehingga
pandangan ini sampai tahun 1960-an disebut dan dianggap
sebagai “the standard View” (pandangan yang dianggap baku)
atau “the received View” (pandangan yang diterima umum)

Sambutan hangat atas pandangan dunia ilmiah Kelompok Wina


ini diwujudkan dengan berdirinya kelompok Der Berliner Gruppe
(Kelompok Berlin) yang terdiri dari H. Reichenbach, Rudolf von
Mises dan C. G. Hempel. Di Inggris seorang filsuf terkenal, Alfred
Jules Ayer, tertarik pada aliran ini, sedangkan di Amerika Serikat
C. Morris dan Ernst Nagel secara setia mendukung aliran ini.

John Brodus Watson (1878-1958) dan Byrrhus Frederic Skinner


(1904-1990), tokoh psikologi behaviorisme di Universitas Harvard,
sangat terkesan dengan pemikiran Russel. Watson dan Skinner
melakukan penelitian empiris-laboratoris untuk memantapkan
psikologi sebagai kajian ilmiah. Hal yang sama telah dilakukan
oleh Wilhelm Wund (1832-1930) yang menjadikan pengamatan
laboratoris sebagai objek kajian psikologi dengan mendirikan
laboratorium psikologi pertama di Leipig. Wundt dan behavioris
membuang studi tentang: kesadaran, jiwa, akal budi, situasi
mental dan semua yang dianggap tidak dapat diamati secara
langsung. Psikologi dalam perspektif behavioris hanya berkaitan
dengan tingkah laku hewan atau manusia, lalu menjelaskan
tingkah laku manusia yang teramati itu untuk menerangkan apa
itu manusia.

Behavioris percaya bahwa tingkah laku manusia sepenuhnya


dapat dikontrol. Pandangan ini sejalan dengan asumsinya tentang
manusia yang secara prinsip sama dengan alam (sebuah mesin)
yang ditentukan sepenuhnya oleh hukum-hukum alam
(determinisme). Tingkah laku manusia dipandang sebagai suatu
sistem kompleks yang teratur (stimulus – respon). Manusia
adalah hewan yang lebih tinggi, akan tetapi secara prinsip tidak
terlalu berbeda dengan binatang. Manusia hanyalah hasil evolusi
akhir dari makhluk yang sederhana, karena itu penelitian tentang
hewan (anjing, tikus putih, atau monyet) dapat berlaku sama pada
manusia.

Berkembangnya positivisme logis (seperti pada psikologi,


sosiologi) harus dilihat dalam konteks perkembangan masyarakat
di Eropa pada awal abad ke-20, saat Perang Dunia I baru saja
usai. Banyak kekuatan politik, seperti kerajaan dan pemerintahan
republik yang tumbang, sehingga peta politik Eropa berubah
secara drastis. Di samping itu, perang mengakibatkan korban
yang sangat besar di kalangan generasi muda serta menimbulkan
kehancuran material yang luar biasa (Wuisman, 1996). Walaupun
demikian, harus diakui bahwa perang ini telah menimbulkan
kesadaran baru terhadap ilmu pengetahuan. Diakui secara umum
bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan industri serta kekuatan
ekonomi akan sangat menentukan kalah-menang dalam
peperangan. Karena itu, muncul semangat untuk membangun
kembali Eropa yang hancur itu di atas landasan ilmu
pengetahuan. Di tengah-tengah lahirnya cara pandang yang
demikian, positivisme logis berdiri pada barisan terdepan
menghadapi pandangan lain yang juga ingin membangun Eropa
berdasarkan landasan teologi dan metafisik (Wuisman, 1996: 4).

Kaum positivisme logis berpendapat bahwa pembangunan


masyarakat perlu ditangani secara ilmiah. Karena itu, masalah
metodologi ilmu menjadi penting sebagai prinsip bagi
pengembangan individu atau masyarakat yang diidamkan.
Kemudian dikembangkanlah apa yang disebut dengan “The spirit
of a scientific conception of the world,” yakni semangat dunia
ilmiah yang berorientasi pada ilmu-ilmu alam dan ilmu pasti yang
telah mencapai tingkat perkembangan yang tinggi dan
keberhasilan yang sangat dikagumi.

Untuk membentuk masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip ilmu


pengetahuan, diperlukan kesatuan ilmu pengetahuan (unified
Science). Kesatuan ilmu pengetahuan itu diwujudkan dalam
bentuk kesatuan metode dan kesatuan bahasa ilmiah, yang
berlaku universal untuk semua bidang ilmu pengetahuan. Jadi,
ilmu pengetahuan dikonstruksi atas logika ilmiah (logic of
science), yaitu dalam bentuk bahasa dan metode yang verifikatif.
Otto Neurat mendirikan International Encyclopaedia of Unified
Science yang diterbitkan di Amerika, sebagai dukungan atas
gagasan neopositivisme itu (Beerling, 1994: 97).

Kritik
Akan tetapi, ada problem epistemologis yang sangat mendasar di
dalam inti pemikiran positivisme logis tersebut.  Apa yang akan
dilakukan, dengan berbekal paradigma positivisme logis tentunya,
ketika dua teori yang berbeda menjelaskan satu fenomena yang
sama secara berbeda?  Disamping itu, pernyataan bahwa suatu
teori haruslah dapat diverifikasi tidaklah dapat diverifikasi.
Artinya, teori yang dikembangkan oleh pemikir positivisme logis ini
dapat dikenai kritiknya sendiri.  Maka, teori ini juga problematic
secara internal.  Akan tetapi, walaupun ide-ide yang dipaparkan
diatas dominan didalam perdebatan filsafat ilmu pengetahuan,
tetapi realitas actual praktek ilmu pengetahuan sendiri, terutama
didalam teori relativitas dan fisika kuantum, ternyata tidak sesuai
dengan ide-ide positivism logis ini.  Bahkan, refleksi filsafat ilmu
pengetahuan tentang teori-teori saintifik dan perkembangannya
merupakan suatu reaksi kritis terhadap pandangan ini.

Karl Popper, dengan teorinya, juga bersikap kritis terhadap tesis-


tesis dasar positivism logis, serta menunjukkan pentingnya
perannya proses falsifikasi didalam perumusan dan perubahan
suatu teori.  Yang lebih signifikan lagi, ada beberapa pendapat,
seperti yang dirumuskan oleh Thomas Kuhn, yang melihat bahwa
teori-teori ilmu pengetahuan selalu sudah berada didalam sebuah
pandangan dunia tertentu.  Oleh sebab itu, perubahan radikal di
dalam lmu pengetahuan hanya dapat terjadi, jika seluruh
pandangan dunia yang ada ternyata sudah tidak lagi memadai,
dan diganti yang lain.

Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan


dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak
dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip
tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang
dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara
empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian
teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif
(misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk
universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam)
mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah
yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif
(misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal
positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau
bahkan tidak mungkin dibuktikan.

Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal,


menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan
Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari
teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat
pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan
(falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah
tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan
yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang
ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya,
pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan
sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa,
karena pada saat tersebut belum ditemukan metode
penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik.
Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki
metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan
sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi
sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan
dapat digolongkan sebagai ilmiah. Dalam bidang ilmu sosiologi,
antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme
sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut
asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte
berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami
dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme
meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara
ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan
sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.

Positivisme menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu


dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan
positif ilmiah.  Manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap
teologis” dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan”
kenyataan.  Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-
prinsip abstrak dan metafisis.  Pada tahap dewasa dan matang
digunakan metode-metode positif dan ilmiah.  Aliran positivisme
dianut oleh August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-
1873) dan H Spencer (1820-1903), dan dikembangkan menjadi
neo-positivisme oleh kelompok filsuf lingkaran Wina.

Realisme adalah aliran yang berpacu pada pandangan konkret,


jadi “ada” menurut pandangan realisme adalah “ada” yang bersifat
konkret. aliran ini mempunyai hubungan dengan aliran
materialistik, dimana pandangan ini juga mempunyai pandangan
bahwa segala sesuatu yang ada itu adalah bersifat konkret.

Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan


bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi.
Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua
fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-
satunya substansi. Sebagai teori materialisme termasuk paham
ontologi monistik. Materialisme berbeda dengan teori ontologis
yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme. Dalam
memberikan penjelasan tunggal tentang realitas, materialisme
berseberangan dengan idealism

Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan


bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia.
Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa
fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme
lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume,
George Berkeley dan John Locke

Etika (Yunani Kuno: “ethikos“, berarti “timbul dari kebiasaan”)


adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas.
Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar,
salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika terbagi menjadi tiga
bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif
(studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan
nilai-nilai etika).
https://dosen.perbanas.id/kritik-ideologi-terhadap-cara-berpikir-positivisme-atau-

scientisme-oleh-ricky-rengkung/
BAB I
PENDAHULUAN
 
Dalam paradigma Positivisme Hukum, undang-undang atau
keseluruhan peraturan perundang-undangan dipikirkan sebagai
suatu yang memuat hukum secara lengkap sehingga tugas hakim
tinggal menerapkan ketentuan undang-undang secara mekanis
dan linear untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat,
sesuai bunyi undang-undang.[1] Sehingga, terdapat 5 (lima)
alasan yang melandasi kritik terhadap paradigma positivisme
hukum diperlukan, yaitu:[2]

1. Penelitian terhadap paradigma hukum secara filosofis


belum dilakukan secara sungguh-sungguh, bahkan boleh
dikatakan belum dimulai sama sekali. Padahal suatu
paradigma yang dianut seorang hakim sangat berpengaruh
terhadap putusan yang akan dijatuhkan. Biasanya hakim lebih
mengandalkan penafsiran gramatikal bahkan cenderung
tekstual secara leksikal.[3]

Paradigma hukum mengalami stagnasi di mana Positivisme


Hukum sebagai suatu paradigma tidak pernah mengalami apa
yang disebut Thomas Kuhn sebagai “anomali”. Artinya, paradigam
Positivisme Hukum terus bertahan dalam kemapanan (normal
science) dari generasi ke generasi dalam bentuk praktik hukum.
[4]

2. Ajaran Positivsime Hukum menempatkan hakim hanya


sebagai corong undang-undang, tidak memberikan ruang
kepada hakim sebagai subyek yang kreatif.

Pada saat kritis hukum sekarang ini, kita membutuhkan


keberanian hakim untuk melakukan lompatan progresif keluar dari
tawanan asas-asas, logika-logika, dan doktrin-doktrin
konvensional. Hanya dengan itu, pengadilan dapat bertindak
kreatif dan tidak submisif.[5]

3. Ajaran Positivisme Hukum menggambarkan hukum sebagai


wilayah yang steril, terpisah dari moral. Doktrin Kelsenian,
bahkan menampik keberadaan ilmu hukum yang
terkontaminasi anasir-anasir sosiologis, politis, ekonomis,
historis dan sebagainya. Doktrin hakim seperti itu, tidak lepas
dari kerangka disiplin ilmu hukum. Dalam disiplin ilmu hukum,
sekurang-kurangnya ada tiga tataran disiplim ilmu, yaitu
Dogmatika Hukum (rechtsdogmatiek), Teori Hukum, dan
Filsafat Hukum.[6]

Filsafat Hukum disingkirkan dalam kajian Ilmu Hukum


dikarenakan dianggap sebagai ilmu filsafat yang mempelajari
hukum. filsafat hukum dianggap bukan merupakan ilmu hukum
yang murni dan otentik sebagai ilmu hukum yang berbicara
tentang teks-teks aturan hukum. Teori Hukum dipersempit
menjadi ilmiah positif dan tidak lagi interdisipliner, dimana objek
kajiannya hanya berupa struktur dasar, asas-asas dasar, dan
pengertian-pengertian dasar yang ada dalam sistem hukum
positif. Penalasan hakim berada dalam
wilayah rechtsdogmatiek dimana objek telaah hakim adalah
norma-norma positif dalam sistem hukum positif, yang lebih
khusus lagi adalah sistem perundang-undangan.[7]
Para penganut Positivisme Hukum benar-benar menganggap
kebenaran Ilmu Hukum dan Praktik Hukum telah final pada garis
positivisme hukum. Positivisme Hukum yang ingin memurnikan
ilmu hukum dengan membersihkan dari anasir-anasir non hukum
membawa ilmu hukum cenderung mereduksi masalah hukum
yang kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanis,
dan deterministik sehingga melemahkan daya nalar hukum dan
antisipasi hukum terhadap perkembangan masyarakat.[8]
Disadari atau tidak, cara pandang yang linier dan mekanis
tersebut memiskinkan daya nalar sarjana-sarjana hukum di
Indonesia.  Oleh karena itu, memasung paradigma hakim kepada
satu pendekatan aliran pemikiran tertentu, tidak sejalan dengan
sifat hukum sebagai ilmu praktis, normologis otoritatif.[9]

4. Dalam tradisi hukum civil law, peran pemerintah dan


parlemen sangat dominan dalam pembuatan hukum yang
berupa peraturan-peraturan tertulis. Sementara hakim hanya
corong undang-undang dan dilarang untuk menciptakan
hukum, oleh karena mayoritas hakim berada dalam pemikiran
mainstream law as it is written in the book.
Pengadilan dalam sistem hukum yang lebih cenderung ke tradisi
kontinental serta dominasi paradigma Positivisme Hukum, tidak
memberikan ruang yang cukup pada pengadilan untuk menjadi
suatu institusi yang mampu menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Secara ontologis, dalam masyarakat yang majemuk, pemaknaan
hukum dalam arti norma-norma positif meski menjadi sumber
utama, tetapi jelas bukan satu-satunya. Hal tersebut berarti,
dalam masyarakat yang majemuk untuk memberikan rasa
keadilan, hakim tidak cukup menjadi corong undang-undang,
melainkan harus membuka mata dan telinga untuk melihat dan
mendengar denyut jantung masyarakat sebelum menjatuhkan
putusan.[10]

5. Ajaran Positivisme Hukum memberikan pemahaman


kepada hakim bahwa hukum semata-mata hanya berurusan
dengan norma-norma, tidak mempermasalahkan apakah
substansinya adil atau tidak, dan juga tidak mempersoalkan
implikasi socio yuridis nya.[11]

Kelemahan-kelemahan ajaran Positivisme Hukum adalah sebagai


berikut:[12]

1. Asumsi tentang kepastian hukum. Ilmu hukum dogmatis


yang berpegang teguh pada sistem hukum positif memerlukan
kepastian agar suatu aturan dapat ditegakkan segera setelah
norma hukum tersebut dinyatakan berlaku. Sehingga
memunculkan Teori Fiksi, yang justru menghindari kebenaran-
kebenaran yang secara empiris dapat dibuktikan
kebenarannya.
2. Asumsi mengenai realitas objektif. Subjek harus terpisah
dari objek. Jarak tersebut diperlukan agar penafsiran subjektif
dapat diminalisasi. Padahal, di dalam Ilmu Hukum Dogmatis,
penalaran adalah kegiatan berfikir dari subjek hukum yang
terikat pada lingkaran kebudayaan tertentu, sehingga mudah
terjebak kepada realitas subjektif pemegang kekuasaan politik.
3. Asumsi tentang reduksionisme. Reduksi terhadap objek
telaah Ilmu Hukum Dogmatis adalah norma-norma positif,
yang lebih khusus lagi adalah sistem perundang-undangan.
Akibatnya menimbulkan pemahaman yang tidak utuh tentang
hukum.
4. Asumsi tentang deterministik, yaitu keteraturan dunia
berdasarkan sebab-akibat yang bersifat linier. Prinsip yang
lebih tepat adalah imputasi.
5. Asumsi tentang bebas nilai. Nilai-nilai menurut Positivisme
Hukum, tidak ada kaitannya dengan objek karena nilai-nilai
adalah moralitas, sementara Positivisme Hukum hanya
berkaitan dengan materi. Hal tersebut justru tidak sejalan,
karena rechtsdogmatiek sebagai ilmu praktis membutuhkan
evaluasi terus menerus dari kenyataan-kenyataan sosial.

bersambung…………….
 
[1] Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme
Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011, hlm. 1.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 2.
[4] Ibid., hlm. 3.
[5] Ibid., hlm. 4.
[6] Ibid., hlm. 4.
[7] Ibid., hlm. 5.
[8] Ibid., hlm. 5.
[9] Ibid., hlm. 6.
[10] Ibid., hlm. 7.
[11] Ibid.
[12] Ibid., hlm. 9-10.
ADVERTISING
Advertisements
https://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2016/05/02/kritik-terhadap-

paradigma-positivisme-hukum-widodo-dwi-putro/
Kritikan terhadap Aliran Positivisme Hukum

Dalam perkembangan aliran postivisme hukum ini, muncul aliran yang


merupakan reaksi dari dominasi pemikiran rasionalisme yang dianggap
mempunyai banyak kelemahan yang didasarkan pada pemikiran yang hanya
terpaku pada nilai-nilai atau asumsi-asumsi yang bersifat khayal. Oleh karena itu,
akhirnya lahirlah aliran sejarah (historis) yang menginginkan suatu teori harus
didasarkan pada kenyataan-kenyataan atau fakta. Tokoh dari aliran sejarah ini
diantaranya adalah Von Savigny yang menolak untuk mengagung-agungkan akal
seseorang. Hukum baginya tidak dibuat, tetapi tumbuh dan ditemukan dalam
masyarakat.

Menurut Von Savigny, hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau
kebinasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa
itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Karena itu, Savigny
mengeluarkan pendapatnya yang amat terkenal bahwa hukum itu tidak dibuat
tetapi tumbuh bersama masyarakat. Pendapat Savigny sangat bertolak belakang
dengan pandangan positivisme, sebab mereka berpendapat bahwa dalam
membangun hukum maka studi terhadap sejarah atau bangsa mutlak diperlukan.
Pendapat tersebut oleh Puchta dibenarkan dan dikembangkan dengan
mengajarkan bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa yang
bersangkutan (Rahardjo, 2008: 164).

Teori hukum lain yang lahir dari proses dialektika antara tesis positivisme hukum
dan antitesis aliran sejarah, yaitu Sociological Jurisprudence yang berpendapat
bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat. Teori ini memisahkan secara tegas antara hukum positif
dengan hukum yang hidup. Tokoh aliran ini terkenal di antaranya adalah Eugen
Ehrlich yang berpendapat bahwa hukum positif baru akan berlaku secara efektif
apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (Lili
Rasyidi, 1988: 55). Tokoh lain yaitu Roscoe Pound yang mengeluarkan teori
bahwa hukum adalah alat untuk merekayasa sosial (law as a tool of social
enginering).Roscoe Pound juga menganjurkan supaya ilmu sosial didayagunakan
untuk kemajuan dan pengembangan ilmu hukum (Soetandyo, 2003: 8).

Penggunaan paradigma rekayasa sosial menekankan pada efektivitas hukum, yang


umumnya diabaikan pada studi hukum tradisional yang lebih menekankan pada
struktur dan konsistensi rasional dari sistem hukum. Dengan memperhatian
perihal efektivitas hukum, maka perhatian studi hukum menjadi melebar dan
melampaui kajian tradisional yang hanya menekankan pada masalah legalitas dan
legitimasi saja. Memebicarakan efektivitas hukum hanya dapat dilakukan dengan
pendekataan sosiologis, yaitu mengamati interaksi antara hukum dengan
lingkungan sosialnya. Hukum tidak dilihat sebagai institusi yang steril, melainkan
senantiasa diuji kehadirannya dan karya-karyanya dari hasil dan akibat yang
ditimbulkannya dalam kehidupan masyarakat luas (Rahardjo, 2002: 83).
Bersamaan dengan itu, berkembang juga aliran realisme hukum. Menurut aliran
ini, hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Ciri-
ciri ajaran realisme sebagaimana dikemukakan oleh Karl. N. Liewellyn adalah
sebagai berikut: pertama, tidak ada mahzab realis. Realisme adalah gerakan dari
pemikiran dan kerja tentang hukum; kedua, realisme adalah konsep hukum yang
harus diuji tujuan dan akibat-akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang
masyarakat yang berubah lebih cepat dari pada hukum; ketiga, realisme
menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan hukum
yang seharusnya untuk tujuan-tujuan studi; keempat, realisme tidak percaya pada
ketentuan dan konsepsi hukum sepanjang menggambarkan apa yang sebenarnya
dilakukan oleh pengadilan dan orang; kelima, realisme menekankan evolusi tiap
bagian dari hukum dengan mengingatkan akibatnya (Darmodiharjo dan Shidarta,
1995: 116).

Dalam menolak pemikiran hukum aliran positivisme, Holmes sebagai salah


seorang tokoh aliran realisme, mentertawakan anggapan bahwa kasus-kasus
hukum dipahami secara terbalik sebagai penerapan aturan-aturan (rules). Sebab
kalau hukum itu adalah sekedar aturan-aturan, maka tidak akan ada proses ke
pengadilan, oleh karena dengan mudah diterapkan aturan-aturan tersebut
sebagaimana adanya aturan-aturan dalam permainan catur (Azizy, 2002: 206).
Lebih lanjut, menurut aliran ini, bahwa hukum yang sebenarnya adalah hukum
yang dipraktekkan dalam kenyataan. Hukum bukanlah apa yang tertulis dengan
indah dalam undang-undang, melainkan apa yang dipraktekkan oleh para pejabat
penyelenggara hukum, polisi, jaksa, hakim atau siapa saja yang melaksanakan
fungsi pelaksanaan hukum (Rahardjo, 2008: 168).

Di sini terlihat bahwa aliran realisme hukum merupakan lanjutan dari


aliran Sociological Jurisprudence yang mengatakan sumber hukum satu-satunya
bukan pemegang kekuasaan negara, namun para pelaksana hukum, terutama para
hakim. Kekuasaan membuat hukum bukan lagi mutlak ada di tangan pemegang
kekuasaan politik, namun juga berada di tangan para pelaksana hukum. Juga
dinyatakan bahwa, bentuk hukum bukan lagi sebatas undang-undang, namun juga
meliputi putusan hakim dan tindakan-tindakan yang dilakukan dan diputuskan
oleh pelaksana hukum.

Di jerman, ajaran realisme hukum dikembangkan lebih lanjut dan melahirkan


Ajaran Hukum Bebas (Freirechtslehre) yang menyatakan bahwa, tugas hakim
adalah menciptakan hukum, itulah sebabnya hakim harus diberi hak untuk
melakukan penemuan hukum secara bebas, karena tugas hakim bukanlah
menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk
peristiwa-peristiwa konkrit, sehingga peristiwa berikutnya dapat diciptakan
menurut norma-norma yang diciptakan hakim. Bahkan lebih jauh mazhab ajaran
hukum bebas menuntut agar pengadilan berhak mengubah hukum (peraturan
perundang-undangan) apabila melahirkan malapetaka hukum (Rahardjo, 2008:
168).
Setelah ajaran hukum bebas, kemudian muncul Critical Legal Studies yang juga
mengkritisi dan menentang habis-habisan pandangan dasar positivisme hukum
yang merupakan pemikiran hukum liberal (Liberal Legal Thought) tentang
netralitas, kemurnian dan otonomi hukum, dengan mengembangkan teori-teori
kiri sebagai bahan inspirasi dan mengembangkan metode berpikir eklektik. CLS
mengecam doktrin netralitas, kemurnian dan otonomi hukum dengan menyatakan
bahwa istilah-istilah tersebut tak lebih sebagai mitos belaka, karena dalam
kenyataannya hukum tidak bekerja dalam ruang hampa, namun sangat ketat
dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik yang subyektif. CLS
menawarkan solusi agar pengkajian hukum dapat dilakukan tanpa harus terjebak
oleh pikiran positivisme hukum, yaitu dengan menghilangkan pemisahan antara
doktrin hukum dengan teori social empiris. CLS percaya bahwa doktrin-doktrin
hukum yang terus mengharapkan pemisahan antara pemikiran hukum dengan
ideologi dan falsafah politik hanya akan berakhir menjadi himpunan apologi yang
carut marut (Rahardjo, 2008: 169).

Untuk kasus di Indonesia, sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, aliran


positivisme hukum cukup memberikan pengaruh terhadap tata hukum Indonesia.
Tetapi pada perkembangannya dewasa ini, positivisme hukum sering dinilai
sebagai aliran hukum yang kaku (statis), sehingga sangat diperlukan sebuah
pemikiran maju untuk menjadikan hukum lebih hidup dan dinamis, agar
masyarakat Indonesia dapat merasakan manisnya rasa keadilan di bumi persada
ini. Untuk itulah Satjipto Rahardjo, seorang pakar hukum Indonesia, menggagas
sebuah pemikiran cemerlang dalam bidang hukum yang dikenal dengan hukum
progresif.

Raharjo sebagaimana yang dikutip Anton (2005: 11) menyebutkan bahwa dalam
pandangan hukum progresif, undang-undang itu tidak selalu jelas.
Kemampuannya untuk memberikan jawaban terhadap seribu-satu persoalan yang
dihadapkan kepadanya juga sangat rendah. Ia tidak menyediakan pasal-pasal yang
segera langsung bisa dipakai untuk menyelesaikan semua persoalan yang terjadi.
Dalam hukum progresif, kata dan kalimat yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan hanya semacam eksemplar saja, sedang yang ingin
dijangkau oleh hukum adalah suatu makna yang lebih dalam lagi, katakanlah,
keadilan. Kalau demikian keadaannya, maka menurut Rahardjo (2005: 2) kita
tidak dapat memegang peraturan tersebut secara mutlak atau hitam putih. Sedang
di sisi lain, kaum positivisme tidak menerima cara pandang tersebut.

Hal di atas berarti hukum progresif berseberangan dengan aliran positivisme


hukum, dogmatik hukum, dan normatif hukum dalam hal pemberian wewenang
kepada aparat hukum untuk menginterpretasikan undang-undang agar tidak
kehilangan elastisitasnya dan kemudian mampu mengakomodir permasalahan
hukum yang muncul di tengah masyarakat. Dengan kata lain aparat hukum harus
berupaya untuk “menemukan hukum”, dalam rangka menemukan suatu yang baru
sehingga dapat sesuai diterapkan dalam masyarakat.
https://www.kompasiana.com/kupas/552c7eb96ea834fa458b461f/kritikan-

terhadap-aliran-positivisme-hukum
MEMAHAMI FILSAFAT HUKUM DAN KRITIK
TERHADAP POSITIVISME HUKUM

     MEMAHAMI FILSAFAT HUKUM  DAN  KRITIK


TERHADAP POSITIVISME HUKUM
          Oleh: Turiman Fachturahman Nur

A.Definisi Filsafat

         Salah satu kesulitan ketika kita  memberikan pengertian


dalam  khazanah intelektual adalah memberikan pengertian
filsafat, disebabkan berbagai  arah sudut pandang dan focus
yang berbeda-beda diantara para pakar dalam memberikan
identifikasi . Hal ini merupakan sebuah kewajaran, sebab kajian
ilmu adalah kajian abstraksi konseptual maka sangat
dimungkinkan masing-masing  subyek (para pemikir) memiliki
perbedaan dalam menggunakan paradigma identifikasinya atau
proses menemukan makna dalam sebuah kajian keilmuan.
Paradigma tersebut akan menjadi acuan bagi pemikir untuk
menentukan sebuah tolok ukur kebenaran dari asumsi-asumsi
pembentuk dari konsepnya tersebut. Termasuk dalam persoalan
ini adalah apakah yang dimaksud dengan filsafat? Berbagai
jawaban yang sangat beragam dapat ditemukan dalam berbagai
literatur.
          Ditilik dari arti bahasa, maka kata falsafah atau filsafat
dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa
Arab, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία
philosophia.   Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata
majemuk dan berasal dari kata-kata philia (= persahabatan,
cinta dsb.) dan sophia (= “kebijaksanaan”). Sehingga arti
lughowinya (semantic) adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”
atau “ilmu”.  Sejajar dengan kata filsafat, kata filosofi juga
dikenal di Indonesia dalam maknanya yang cukup luas dan
sering digunakan oleh semua kalangan.
          Paparan lain ada juga yang  mengurainya dengan kata
philare  atau philo yang berarti cinta dalam arti yang luas yaitu
“ingin” dan karena itu lalu berusaha untuk mencapai yang
diinginkan itu. Kemudian dirangkai dengan kata Sophia artinya
kebijakan, pandai dan pengertian yang mendalam. Dengan
mengacu pada konsepsi ini maka dipahami bahwa filsafat dapat
diartikan sebagai sebuah perwujudan dari keinginan untuk
mencapai pandai dan cinta pada kabijakan .
         Seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut
“filsuf”. Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah
problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa
“filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena
kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis , mendeteksi 
problem secara radikal, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta
akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses
kerja ilmiah.
 Filsafat merupakan induk semua cabang ilmu . Dalam
(ilmu) filsafat dijelaskan asumsi- asumsi dasar bagi eksistensi
setiap cabang ilmu, yaitu ontology, epistimologi , dan aksiologi
ilmu.
Filsafat itu sendiri berasal dari kata Yunani “Filosofie” (Lili
Rasjidi,1985:5)”Filosofi” terdiri dari dua kata , yaitu  . “filo”yang
artinya cinta atau ingin dan “sofie”yang artinya
kebijaksanaan.Dengan demikian “Filosofie”dapat diartikan cinta
atau menginginkan suatu kebijaksanaan hidup . Sedangkan arti
filsafat ialah kebijaksanaan hidup berkaitan dengan pikiran –
pikiran rasional , kisah –kisah walaupun bijaksana  kalau tidak
rasional , maka bukan filsafat.[1]
Jadi dapat dikatakan pula bahwa filsafat berarti karya
manusia tentang hakekat sesuatu . Karya artinya menggunakan
rasio / pikiran dan dilakukan secara metodis –sistematis . Karya
manusia tentang hakekat sesuatu ialah hasil pikiran manusia
tentang hakekat sesuatu . Sesuatu itu ialah alam semesta dan
atau segala isinya (termasuk manusia). Hkekat sesuatu ialah
tempat sesuatu dialam semesta atau hubungan antara sesuatu
dengan isinya alam semesta (yang lain), termasuk tempat
manusia dan segala perilakunya. Ini berarti obyek filsafat itu
sangat luas , bersifat universal , yang mencakup segala gejala –
gejala atau fenomena yang ditemui manusia dimuka bumi ini.
Salah satu gejala tersebut ialah gejala hukum (hidup dan
penghidupan hukum). Hukum tersebut merupakan sesuatu yang
berkenaan dengan manusia. Hukum tidak akan ada bila tidak
ada manusia . Oleh karena itu , bila orang berfilsafat tentang
hukum maka harus berfilsafat tentang manusia terlebih dahulu .
Salah satu aspek dari manusia yang berkaitan erat dengan
hukum ialah perilakunya . Melalui filsafat perilaku atau etika
inilah , orang berfilsafat tentang hukum. Dengan demikian
filsafat manusia ialah pohonnya , salah satu cabangnya ialah
filsafat etika ,dan salah satu cabang dari filsafat etika ialah
filsafat hukum , yang sekaligus sebagai ranting pohon filsafat
manusia.[2]
Filsafat manusia sering juga disebut “genus” filsafat ,
filsafat  etika merupakan “species-nya” , dan filsafat hukum
sebagai “sub-species-nya”. Filsafat hukum mempelajari sebagian
perilaku manusia yang akibatnya diatur oleh hukum. Dengan
demikian hukum merupakan salah satu obyek filsafat , yaitu
filsafat hukum , yang filsafat hukum itu sendiri merupakan
ranting atau “sub-species “ filsafat manusia , atau cabang filsafat
etika.
Pada sisi yang lain kajian filsafat dalam wacana muslim
juga sering menggunakan kalimat padanan Hikmah sehingga
ilmu filsafat dipadankan dengan ilmu hikmah. Hikmah 
digunakan sebagai bentuk ungkapan untuk menyebut makna
kearifan, kebijaksanaan. sehingga dalam berbagai literature
kitab-kitab klasik dikatakan bahwa orang yang ahli kearifan
disebut Hukama’. Seringkali pula  ketika dikaji dalam berbagai
literature kitab-kitab pesantren muncul ungkapan-ungkapan
dalam sebuah tema  dengan konsep yang dalam bahasa arabnya
misalnya kalimat ‘wa qala min ba’di al hukama….”
          Perkataan filsafat dalam bahasa Inggris digunakan istilah
philosophy yang juga berarti filsafat yang lazim diterjemahkan
sebagai cinta kearifan. Unsur pembentuk kata ini adalah kata
philos dan sophos. Philos maknanya gemar atau cinta dan
sophos artinya bijaksana atau arif (wise).  Menurut
pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat
berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia
ternyata luas sekali,sophia tidak hanya berarti kearifan saja,
melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas,
kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian
pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal
praktis yang bertumpu pangkal pada konsep-konsep aktivitas –
aktivitas awal yang disebut pseudoilmiah dalam kajian ilmu.
           Secara lughowi (semantic) filsafat berarti cinta
kebijaksanaan dam kebenaran. Maksud sebenarnya adalah
pengetahuan tentang ada dari kenyataan-kenyataan yang paling
umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam
segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori
pengetahuan. Maka problem pengertian filsafat dalam
hakekatnya memang merupakan problem falsafi  yang kaya
dengan banyak  konsep dan pengertian.
B.Filsafat sebagai  Keilmuan
         Apakah filsafat sebagai ilmu, sebenarnya filsafat seringkali
disebut oleh sejumlah pakar sebagai induk semang dari ilmu-
ilmu. Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha untuk
menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan
manusia secara tepat dan lebih memadai.  Filsafat telah
mengantarkan pada sebuah fenomena adanya siklus
pengetahuan sehingga membentuk sebuah konfigurasi dengan
menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah
tumbuh mekar-bercabang secara subur sebagai sebuah
fenomena kemanusiaan.
         Masing-masing cabang pada tahap selanjutnya
melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan
masing-masing mengikuti metodologinya  sendiri-sendiri.
         Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin
maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru dengan berbagai disiplin
yang akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan
baru kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti
spesialisasi-spesialisasi. Ilmu pengetahuan hakekatnya dapat
dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas
(konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya
dapat ditentukan dengan patokan-patokan serta tolok ukur yang
mendasari kebenaran masing-masing bidang. 
          Dalam kajian sejarah dapat dijelaskan bahwa perjalanan
manusia telah mengantarkan dalam berbagai fase kehidupan .
Sejak zaman kuno, pertengahan dan modern sekarang ini telah
melahirkan sebuah cara pandang terhadap gejala alam dengan
berbagai variasinya. Proses perkembangan dari berbagai fase
kehidupan primitip–klasik dan  kuno menuju manusia modern
telah melahirkan lompatan pergeseran yang sangat signifikan
pada masing-masing zaman. Disinilah pemikiran filosofis telah
mengantarkan umat manusia dari mitologi oriented pada satu
arah menuju pola pikir ilmiah ariented, perubahan dari pola pikir
mitosentris ke logosentris dalam berbagai segmentasi
kehidupan. 
            Corak dari pemikiran bersifat mitologis (keteranganya
didasarkan atas mitos dan kepercayaan saja) terjadi pada
dekade awal sejarah manusia. Namun setelah adanya
demitologisasi oleh para pemikir alam seperti Thales (624-548
SM), Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras (532 SM), Heraklitos
(535-475 SM), Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi
pemikir lainnya, maka pemikiran filsafat berkembang secara
cepat kearah kemegahanya diikuti oleh proses  demitologisasi
menuju gerakan logosentrisme. Demitologisasi tersebut
disebabkan oleh arus besar gerakan rasionalisme ,
empirisme dan positivisme  yang dipelopori oleh para pakar dan
pemikir kontemporer yang akhirnya mengantarkan
kehidupan  manusia pada tataran era modernitas yang berbasis
pada pengetahuan ilmiah.
         Pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level
of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan
pengembangan filsafat umum. Filsafat ilmu sebagai cabang
filsafat menempatkan objek sasarannya Ilmu (Pengetahuan).
Permasalahan yang akan kita jelajahi dalam penulisan makalah
ini difokuskan pada pembahasan tentang: “Filsafat dan Filsafat
Ilmu Sebagai upaya konseptualisasi dan identifikasi”.     

C.Dari Mitos ke Logos


        Secara historis kelahiran dan perkembangan pemikiran
Yunani Kuno(sistem berpikir) tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini
adalah sejarah filsafat.
        Dalam tradisi sejarah filsafat mengenal  3 (tiga) tradisi
besar sejarah, yakni tradisi:

 Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini)


 Sejarah Filsafat Cina (sekitar 600 SM – dewasa ini)
 Sejarah Filsafat Barat (sekitar 600 SM – dewasa ini).
        Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah
Filsafat Barat adalah basis kelahiran dan perkembangan ilmu
(scientiae/science/sain) sebagaimana  yang kita kenal sekarang
ini. Titik-tolak dan orientasi sejarah filsafat baik yang
diperlihatkan dalam tradisi Sejarah Filsafat India maupun Cina
disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain pihak, yakni
semenjak periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan
orientasi sejarah yang berbeda. Pada tradisi Sejarah Fisafat India
dan Cina, lebih memperlihatkan perhatiannya yang besar pada
masalah-masalah keagamaan, moral/etika dan cara-cara/kiat
untuk mencapai keselamatan hidup manusia di dunia dan kelak
keselamatan sesudah kematian. 
         Sedangkan pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak
periodesasi awalnya (Yunani Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM),
para pemikir pada masa itu sudah mulai  mempermasalahkan
dan mencari unsur induk (arché) yang dianggap sebagai asal
mula segala sesuatu/semesta alam Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air”
merupakan arché, sedangkan Anaximander (sekitar 610  -540
SM) berpendapat arché adalah sesuatu “yang tak terbatas”,
Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat “udara” yang
merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Nama penting lain
pada periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) dan Parmenides
(515 – 440 SM), Herakleitos mengemukakan bahwa segala
sesuatu itu “mengalir” (“panta rhei”) bahwa segala sesuatu itu
berubah terus-menerus/perubahan sedangkan Parmenides
menyatakan bahwa segala sesuatu itu justru sebagai sesuatu
yang tetap (tidak berubah). 
        Lain lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa
segala sesuatu itu terdiri dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar
kenyataan itu tidak lain adalah “ritme”, dan Pythagoraslah orang
pertama yang menyebut/memperkenalkan dirinya sebagai
sorang “filsuf”, yakni seseorang yang selalu bersedia/mencinta
untuk menggapai kebenaran melalui berpikir/bermenung secara
kritis dan radikal (radix) secara terus-menerus. 
        Yang hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari
unsur induk segala sesuatu (arche), itulah momentum awal
sejarah yang telah membongkar periode myte (mythos/mitologi)
yang mengungkung pemikiran manusia pada masa itu kearah
rasionalitas (logos) dengan suatu metode berpikir untuk mencari
sebab awal dari segala sesuatu dengan merunut dari hubungan
kausalitasnya (sebab-akibat). 
       Jadi unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai,
yakni: rasio dan logika (konsekuensi). Meskipun tentu saja ini
arché yang dikemukakan para filsuf tadi masih  bersifat
spekulatif dalam arti masih belum dikembangkan lebih lanjut
dengan melakukan pembuktian (verifikasi) melalui observasi
maupun eksperimen (metode) dalam kenyataan (empiris), tetapi
prosedur berpikir untuk menemukannya melalui suatu bentuk
berpikir sebab-akibat secara rasional itulah yang patut dicatat
sebagai suatu arah baru dalam sejarah pemikiran manusia.
Hubungan sebab-akibat inilah yang dalam ilmu pengetahuan
disebut sebagai hukum (ilmiah). Singkatnya, hukum ilmiah atau
hubungan sebab-akibat merupakan obyek material utama dari
ilmu pengetahuan. Demikian pula kelak dengan tradisi
melakukan verifikasi melalui observasi dan eksperimen secara
berulangkali dihasilkan teori ilmiah.
       Zaman keemasan/puncak dari filsafat Yunani Kuno/Klasik,
dicapai pada masa Sokrates (± 470 – 400 SM), Plato (428-348
SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Sokrates sebagai guru dari
Plato maupun tidak meninggalkan karya tulis satupun dari hasil
pemikirannya, tetapi pemikiran-pemikirannya secara tidak
langsung banyak dikemukakan dalam tulisan-tulisan para
pemikir Yunani lainnya tetapi terutama ditemukan dalam karya
muridnya Plato. Filsafat Plato dikenal sebagai ideal (isme) dalam
hal ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi
atau bayang-bayang/bayangan dari suatu dunia “ide” yang abadi
belaka dan oleh karena itu yang ada nyata adalah “ide” itu
sendiri. 
       Filsafat Plato juga merupakan jalan tengah dari ajaran
Herakleitos dan Parmenides. Dunia “ide” itulah yang tetap tidak
berubah/abadi sedangkan kenyataan yang dapat diobservasi
sebagai sesuatu yang senantiasa berubah. Karya-Karya lainnya
dari Plato sangat dalam dan luas meliputi logika, epistemologi,
antropologi (metafisika), teologi, etika, estetika, politik, ontologi
dan filsafat alam.
         Sedangkan Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak
hal sering tidak setuju/berlawanan dengan apa yang diperoleh
dari gurunya (Plato). Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak
dalam dunia “abadi” sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato,
tetapi justru terletak pada kenyataan/benda-benda itu sendiri.
Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”). Lebih
jauh bahkan dikatakan bahwa “ide”  tidak dapat dilepaskan atau
dikatakan tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah
dengan bentuk. 
         Dengan demikian maka bentuk-bentuk “bertindak” di
dalam materi, artinya bentuk memberikan kenyataan kepada
materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari
materi. Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi logika, etika,
politik, metafisika, psikologi dan ilmu alam. Pemikiran-
pemikirannya yang sistematis tersebut banyak menyumbang
kepada perkembangan ilmu pengetahuan
    
C.Memahami Filsafat Hukum
Pembahasan filsafat hukum tidak bisa lepas (berkaitan
erat)dari hidup dan penghidupan hukum. Hidup dan penghidupan
hukum mengandung aspek teoritis (teoritik)dan aspek praktis
(praktek). Hal ini disebabkan karena hukum ini bersifat mendua ,
yaitu hidup di dunia normatif dan empiric. Hukumhidup tumbuh
dan berkembang dimasyarakat , dengan kata lain “Hukum ada ,
tumbuh dan berkembang jika ada masyarakat “.dengan
demikian hidup dan penghidupan hukum sebagai salah satu
gejala masyarakat /fenomena masyarakat tidak dapat hidup,
tumbuh dan berkembang sendiri jika tidak ada masyarakat .
Sebagai konsekuensinya , para anggota masyarakat harus/ wajib
tunduk dan taat (mematuhi)pada hukum yang telah
disepakatinya dalam masyarakat itu,hal ini kemudian dikuatkan
dengan adnya sanksi .  Bahkan dalam masyarakat muncul
keyakinan bahwa setiapa anggota masyarakat (orang)harus
mematuhi hukum , baik yang tertulis maupun tidak tertulis .
Fenomena hidup dan penghidupan hukum tersebut.,
menimbulkan beraneka ragam pertanyaan antara lain :
1.            Apakah Keadilan, Kepastian Hukum dan Mengapa anggota
masyarakat harus harus /wajib menaati hukum?
2.            Apa dasar dan arti keharusan / kewajiban itu?
3.            Mengapa sebagian anggota masyarakat berwenang memaksakan
kepatuhan itu(kalau perlu dengan kekuasaan)?
4.            Bagaimana proses pembentukan hukum ?
5.            Siapa yang berwenang membuat hukum dan mengapa ia
berwenang untuk itu?
6.            Sejauh mana wewenang itu dapat digunakan ?
7.            Apa arti wewenang itu?
8.            Apa artinya bahwa Hukum itu sudah berlaku ?Apa dasar
berlakunya hukum ?
9.            Apa hubungan hukum dan kekuatan ?
10.         Apakah semua hukum harus dipatuhi ? Apakah tata hukum
identik dengan hukum?
11.         Apa kriterianya bahwa suatu aturan itu disebut hukum?
12.         Apakah hukum harus berpijak pada aturan non hukum ?
13.         Sejauh mana kaidah non hukum perlu mendapat dukungan
kaedah hukum ?
14.         Sejauh mana kaedah hukum dapat mengesampingkan kaedah
non hukum ?
15.         Dapatkah semua kaedah non hukum diterapkan dan ditegakkan
sebagai kaedah hukum?
Pertanyaan – pertanyaan yang beraneka ragam dan
bersifat fundamental tersebut tidak dapat dijawab oleh ilmu
hukum (positif), tetapi memerlukan  refleksi filsafat . Hal ini
disebabkan bahwa pertanyaan – pertanyaan tersebut
mempunyai implikasi praktis terhadap kehidupan manusia .
Misalnya:Apakah hukuman mati masih perlu dipertahankan ?
Apakah “Euthanasia” , bunuh diri , judi, pelacuran , perlu
dilarang dengan hukuman pidana ? Sejauhmana transplantasi
organ tubuh manusia dan perubahan kelamin perlu diatur
dengan kaedah hukuman ?[3]
Disamping itu saat ini sedang marak masalah hak asasi,
keterbukaan , kebebasan demokrasi, keadilan dan
sebagainya.Pertanyaan –pertanyaan yang tidak mudah dijawab
tersebut dimuka selalu dihadapkan pada filsafat hukum. Seiring
dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi pada era globalisasi secara sangat cepat dan dinamis
oleh masyarakat manusia , maka hidup dan penghidupan hukum
mau tidak mau harus mengikuti arus tersebut. Dalam hal
ini,apakah filsafat hukum yang bersumber dari perenungan
manusia masih berguna atau relevan pada saat maraknya
masalah – masalah kongret yang memerlukan penyelesaian
teknis dan prakmatis saat ini ?untuk menjawab pertanyaan  ini
bukanlah hal yang mudah., oleh karena itu perlu dipahami
tentang pengertian filsafat dan filsafat hukum, ruang lingkup
filsafat hukum,dan manfaat filsafat hukum .

D.Pengertian Filsafat Hukum


Pengertian filsafat hukum itu sendiri teryata banyak sekali
dan bervariasi , yang antara lain disampaikan oleh para pakar
ilmu hukum ,separti berikut ini:
1. APELDOORN
Menurut Apeldoorn , filsafat hukum ialah pengetahuan yang
berusaha menjawab apakah hukum itu ?ia menghendaki agar
kita berpikir masak-masak, menanggapi dan bertanya-tanya
tentang “hukum”[4]. Dalam edisi baru yang ditulis DHM
Meuwissen , hal tersebut telah direvisi secara total. Misalnya ,
dikatakan bahwa filsafat hukum memang berusaha
mencarihakekat hukum, walau sebenarnya hanya melihat hukum
sebagai bagian dari kenyataan . Apa hal itu tak bisa dijawab oleh
ilmu hukum ?Dapat tapi tak akan mendapat jawaban yang
menangkan sebab ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala
hukum belaka dan melihat “hukum” yang dapat dilihat dengan
panca indera, tidak melihat dunia hukum yang tidak dapat dilihat
dengan panca indera (tersembunyi), hanya melihat hukum
sepanjang telah menjadi perbuatan manusia . Dimana  ilmu
hukum berakhir , disanalah filsafat hukum memulai . Ia
menjawab pertanyaan – pertanyaan yang tidak terjawab oleh
ilmu hukum.
2. WILLIAM ZEVENBERGEN
Menurut William Zevenbergen, Filsafat hukum ialah cabang ilmu
hukum yang menyelidiki ukuran –ukuran apa yang dapat
dipergunakan untuk menilai isi hukum agar dapat memenuhi
hukum yang baik. Ia juga mengatakan, filsafat hukum ialah
filsafat yang diterapkan dalam hukum.[5]
3. J. H. BELLEFROID
Menurut J.H.P. Bellefroid, filsafat hukum ialah filsafat dalam
bidang hukum , bukan ilmu hukum tetapi ilmu pembantu dalam
mempelajari ilmu hukum.[6]
4. JAN GIJSSEL dan MARK VAN HOECKE
Dalam bukunya yang ditulis bersama Mark van Hoecke , yang
berjudul “Wat is Rechtstheorie”. Antwerpen ini membagi ilmu
hukum kedalam tiga jenjang ilmu hukum (DRIE TRAPPEN VAN
RECHTSWETENSCHAP), yaitu :
a. Rechtskennis(Pengetahuan Hukum );
b. Rechtswetenschap(Ilmu Hukum);
c.  Rechtsfilosofie(Filsafat Hukum).
Filsafat Hukum merupakan peringkat teratas dalam ilmu hukum ,
yang cakupannya sangat luas , meliputi:
1) De Rechsontologie (Ontologi Hukum ), yang mempersoalkan
ajaran atau sifat dan hakekat hukum.
2) De Rechtsaxiologie (Aksiologi Hukum ), yang mempersoalkan
nilai –nilai dasar dalam hukum .
3) De Rechsidiologie (Ideologi Hukum ), yang mempersoalkan
ajaran berbagai ide yang dikenal dan mendasari hukum .
4) De Rechtsepistimologie(Epistimologi Hukum) yang
mempersoalkan / membicarakan sifat pengetahuan dalam
hukum, untuk mengetahui kenyataan hukum.
5) De Rechtsteleologie (Teleologi Hukum ), yang mempersoalkan
tentang maksud dan tujuan hukum .
6) De Wetenschapsleer van hetrecht (meta teori ilmu Hukum ),
membahas macam –macam ilmu dalam filsafat hukum. Ini
disebut pula Filsafat Ilmu Hukum.
7) De Rechtslogika(Logika Hukum ), mempelajari dasar – dasar
pemikiran hukum dan argumentasi yuridis dalam bagan yang
logis . mempelajari pula struktur dari suatu system hukum.[7]
5. GUSTAV  RADBRUCH
    Menurut Gustav Radbruch , Filsafat Hukum ialah cabang filsafat
yang mempelajari hukum yang benar.[8]
6. LANGEMEYER
Menurut Langemeyer , Filsafat Hukum ialah ilmu yang
membahas secara filosofis tentang hukum.[9]
7. L. BENDER. O.P
Filsafat Hukum ialah suatu ilmu yang merupakan bagian dari
filsafat yaitu tentang filsafat moral /etika[10]
8. E. UTRECHT
Menurut E. Utrecht , filsafat Hukum memberikan jawaban atas
pertanyaan – pertanyaan seperti : Apakah hukum itu sebenarnya
?(Persoalan adanya tujuan hukum ). Apakah sebabnya kita
mentaati hukum ?(persoalan berlakunya hukum ). Apakh
keadilan yang menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu ?
(persoalan keadilan hukum). Inilah pertanyaan –pertanyaan
yang sebetulnya juga dijawab oleh ilmu hukum . Tetapi bagi
benyak orang jawaban ilmu hukum tidak memuaskan .
Ilmu hukum sebagai suatu ilmu empiris hanya melihat hukum
sebagai suatu gejala saja . Sedangkan Filsafat Hukum hendak
melihat hukum sebagai kaedah dalam arti “etisch waarde
oordeel” (penilaian etis). Filsafat hukum berusaha membuat
dunia “etis”yang menjadi latar belakang yang tidak dapat diraba
oleh panca indera dari hukum positif(de onzichtbare ethische
wereld achter het(pasitieve)recht). Kadang- kadang juga
membuat gambaran tentang hukum yang etis dapat
dipertanggungjawabkan dan yang seharusnya berlaku . Filsafat
Hukum menjadi suatu ilmu normative seperti halnya dengan
(ilmu)politik hukum .Filsafat Hukum berusaha mencari suatu
rechtsideal yang dapat menjadi “dasar umum”dan “etis(Etisch)”
bagi berlakunya sistem hukum positif suatu masyarakat (seperti
“Grundnorm” yang telah digambarkan oleh sarjana hukum
bangsa Jerman yang menganut aliran –aliran seperti Neo –
Kantianisme atau “Pancasila”kita). Filsafat pada umumnya
mencari “etische waarde” dan “ideale levenshouding “yang dapat
menjadi dasar tetap petunjuk kita.[11]
9. KUSUMADI PUDJOSEWOJO
    Menurut Kusumadi , Filsafat Hukum ialah bagian ilmu filsafat
yang mempelajari apakah tujuan hukum itu ?Apakah aturan
hukum sudah memenuhi syarat keadilan ?Apakah keadilan itu?
Bagaimana hubungan hukum dan keadilan.[12]
10.PURNADI PURBACARAKA DAN  SOEKANTO
    Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto , Filsafat
Hukum ialah perenungan dan perumusan nilai-nilai ;kecuali itu
juga mencakup upaya penyerasian antara ketertiban
dengan ketentereman  , antara kebendaan dan keakhlakan , dan
antara kelanggengan / konservatisme dengan pembaharuan.
[13]
11. SATIJIPTO RAHARDJO
    Menurut Sacipto Rahardjo , Filsafat Hukum ialah ilmu yang
persoalkan pertanyaan –pertanyaan yang bersifat dasar tentang
hukum. Misalnya :Apa hakekat hukum ?Apa dasar mengikatnya
hukum?.
12. SOEDJONO DIRDJOSISWORO
    Menurut Soedjono D, Filsafat Hukum ialah ilmu pengetahuan
yang mempelajari pertanyaan – pertanyaan mendasar dari
hukum . Atau ilmu pengetahuan tentang hakekat hukum.
       
        Dari pengertian –pengertian tersebut
dimuka,dapatlah disimpulkan bahwa Filsafat Hukum ialah cabang
filsafat etika/moral yang obyek pembahasannya meliputi hakekat
hukum, inti hukum , dasar yang sedalam –dalamnya, serta
mempelajari atau menyelidiki lebih lanjut hal-hal yang tidak
dijawab oleh ilmu hukum.

E. Kritik terhadap Positivisme Hukum


Hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti bahwa
pergaulan antar manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh
hukum. Selain oleh hukum, kehidupan manusia dalam
masyarakat selain dipedomani moral manusia itu sendiri, diatur
pula oleh agama, oleh kaidah-kaidah sosial, kesopanan, adat
istiadat dan kaidah-kaidah sosial lainnya. Antara hukum dan
kaidah-kaidah sosial lainnya ini, terdapat hubungan jalin
menjalin yang erat, yang satu memperkuat yang lainnya.
Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi dengan kaidah-
kaidah sosial lainnya.[14]
Teaching order finding disorder, mempelajari keteraturan
(hukum) akan menemukan sebuah ketidakteraturan. Mungkin
inilah istilah yang tepat untuk menggambarkan bahwa hukum di
negeri ini memang kacau. Berbagai masalah dalam dunia hukum
seperti mafia peradilan, korupsi, kesewenang-wenangan, dan
suap seolah menjadi hal yang biasa dalam penegakan hukum di
Indonesia. Hal tersebut dikarenakan kita tidak berani keluar dari
alur tradisi penegakan hukum yang semata-mata bersandarkan
pada peraturan perundang-undangan.[15]
Paradigma positivisme hukum memang menjadi pegangan
setiap ahli hukum (sarjana). Hal ini tentunya tidak dapat
dipersalahkan begitu saja sebab paradigma positivisme memang
merupakan paradigma pemikiran hukum yang mendominasi.
Positivisme lahir dalam sistem hukum eropa kontinental.
Bermula dari pemikiran ahli ilmu sosial prancis Henri Saint Simon
dan Auguste Comte. Positivisme dalam paradigma hukum
menyingkirkan pemikiran metafisis yang abstrak. Setiap norma
hukum harus diwujudkan ke dalam sebuah norma yang konkrit
dan nyata.[16]
Hukum dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan, untuk itu dalam menegakkan keadilan kepastian
hukum memiliki peranan yang sangat urgen. Didalam aliran
positivisme  kepastian hukum merupakan tujuan utama,
sedangkan keadilan dan ketertiban menjadi hal yang dinomor
dua kan. Diskursus antara kepastian hukum dan keadilan telah
lama mengemuka, dengan aliran positivime tersebut hukum
seolah-olah terpisah dari nilai-nilai keadilan yang ada ditengah
masyarakat. Untuk itu diperlukan sebuah renovasi baru terhadap
hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat tanpa
menghilangkan kepastian hukum. Aliran Positivisme hukum telah
memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang
menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-
undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang
dan hukum diidentikkan.
Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus
eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang
positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual
yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya.
Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral
metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan,
melainkanius yang telah mengalami positivisasi
sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa
yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative
harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.
[17]
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto aliran positivis
mengklaim bahwa ilmu hukum adalah sekaligus juga ilmu
pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat
(yang semestinya tertib mengikuti norma-norma kausalitas),
maka mereka yang menganut aliran ini mencoba menuliskan
kausalitas-kausalitas itu dalam wujudnya sebagai perundang-
undangan.[18]
Soetandyo memaparkan lebih lanjut bahwa apapun klaim
kaum yuris positivis, mengenai teraplikasinya hukum kausalitas
dalam pengupayaan tertib kehidupan bermasyarakat dan
bernegara bangsa, namun kenyataannya menunjukkan bahwa
kausalitas dalam kehidupan manusia itu bukanlah kausalitas
yang berkeniscayaan tinggi sebagaimana yang bisa diamati
dalam realitas-realitas alam kodrat yang mengkaji “prilaku”
benda-benda anorganik. Hubungan-hubungan kausalitas itu
dihukumkan atau dipositifipkan sebagai norma dan tidak pernah
dideskripsikan sebagai nomos, norma hanya bisa bertahan atau
dipertahankan sebagai realitas kausalitas manakala ditunjang
oleh kekuatan struktural yang dirumuskan dalam bentuk
ancaman-ancaman pemberian sanksi.[19]
Terkait dengan kondisi di Indonesia maka persoalannya
tidak bisa terlepas dari kenyataan sejarah dan perkembangan
hukum, sehingga dapat dipahami bila saat ini terdapat
perbedaan cara pandang terhadap hukum di antara kelompok
masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas penegakan
hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber
dari cara pandang yang tidak sama tentang apa
yang dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber hukum.
[20] Para aparat penegak hukum terperangkap kedalam pola
pikir postivisme sehingga menganggap hukum sebatas undang-
undang. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah
1. Bagaimana filosopi pemikiran positivisme hukum?
2. Bagaimana kritik terhadap aliran positivisme hukum?

F.Filosofi Positivisme Hukum


Positivisme hukum adalah bagian yang tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu).
Dalam defenisinya yang paling tradisional tentang hakikat
hukum, dimaknai sebagai norma-norma positif falam sistem
perundang-undangan. Dari segi ontologinya, pemaknaan
tersebut mencerminkan penggabungan antara idealisme dan
materialisme. Oleh Bernard Sidharta dikatakan, penjelasan
seperti itu mengacu pada teori hukum kehendak (the will theors
of law) dari Jhon Austin dan teori hukum murni Hans Kelsen.
Berbeda dengan pemikiran hukum kodrat yang sibuk dengan
permasalahan validasi hukum buatan manusia, maka pada
positivisme hukum, aktivitasnya justru diturunkan kepada
permasalahan konkret . masalah validitas (legitimasi) aturan
tetap diberi perhatian, tetapi standar regulasi yang dijadikan
acuannya adalah norma-norma hukum.[21]
Menurut E. Sumaryono, positivisme hukum paling tidak
dapat dimaknai sebagai berikut:
a.                  Aliran pemikiran dalam yurisprudensi yang membahas konsep
hukum secara eklusif, dan berakar pada peraturan perundang-
undangan yang sedang berlaku saat ini.
b.                  Sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan
valid jika berbentuk norma-norma yang dapat dipaksakan
berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah instrument didalam
sebuah negara.[22]
Menurut Lili Rasyidi, prinsip-prinsip dasar positivime
hukum adalah:
a.                 suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar
dalam kehidupan sosial (menurut Comte dan Spenser), bukan
juga karena bersumber pada jiwa bangsa (menurut Savigny),
dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan
karena mendapatkan bentuk positifnya dalam instansi yang
berwenang.
b.                 Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk fromalnya;
bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material.
c.                 Isi hukum (material) diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum
karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum.[23]
Seorang pengikut Positivisme, Hart mengemukakan
berbagai arti dari positivisme tersebut sebagai berikut:
1.   hukum adalah perintah
2.   Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi
sosiologis, histories dan penilaian kritis.
3.   keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-
peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu merujuk
kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.
4.   Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan
dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau
pengujian
5.   Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus
senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan,
yang diinginkan[24].
Salah seorang pengikut positivisme Hukum john Austin,
seorang ahli hukum Inggris yang terkenal dengan
ajarananalytical Jurisprudence menyatakan bahwa satu-satunya
sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu
negara. Sedangkan sumber-sumber lain hanyalah sebagai
sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu adalah
pembuatnya lansung, yaitu pihak yang berdaulat atau badan
perundang-undangan yang tertinggi dalam suatu negara, dan
semua hukum dialirkan dari sumber yang sama. Hukum yang
bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun jelas
dirasakan tidak adil.[25]
Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan
terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum
tugasnya hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata
ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan
dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa
memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah
perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu
negara.[26]
Austin juga menegaskan bahwa hukum dipisahkan dari
keadilan dan hukum tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik
atau buruk, tetapi lebih disarkan kepada kekuasaan dari
kekuatan penguasa. Austin membagi hukum kedalam dua
bagian, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan, dan hukum yang
dibuat oleh manusia. Kemudian hukum yang dibuat oleh
manusia tersebut dibedakan lagi antara hukum yang sebenarnya
dan hukum tidak sebenarnya.[27]
Hukum yang sebenarnya terdiri atas hukum yang dibuat
oleh penguasa bagi pengikut-pengikutnya dan hukum yang
disusun oleh individu-individu guna melaksanakan hak-hak yang
diberikan kepadanya. Hukum yang sebenarnya mengandung
empat unsur yaitu: perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.
Sedangkan hukum yang tidak sebenarnya ialah bukan hukum
yang merupakan hukum yang secara lansung berasal dari
penguasa, tetapi peraturan-peraturan yang berasal dari
perkumpulan-perkumpulan ataupun badan-badan tertentu.[28]
Menurut Thomas Aquino, hukum positif  dinamakan
Undang-Undang Manusia (Menschelijke Wet) adalah hukum yang
ada dan berlaku.  Menurutnya, Undang-undang tersebut tidak
didasarkan alam, akan tetapi didasarkan akal. Undang-undang
tersebut harus mengabdi kepentingan umum karena undang-
undang adalah suatu peraturan tertentu dari akal yang bertujuan
untuk mengabdi kepentingan umum dan berasal dari satu
“kekuasaan” yang sebagai penguasa tertinggi harus memelihara
kesejahteraan masyarakat. Hukum positif aalah sesuatu yang
perlu untuk umat manusia, hukum positif kebanyakan ditaati
oleh manusia dengan sukarela dengan jalan peringatan-
peringatan dan tidak oleh karena paksaan oleh undang-undang.

G. Kritik Terhadap Positivisme Hukum.


          Hukum pada saat berhadapan dengan alam dan
kehidupan sosial yang berkembang, harus dapat berlaku secara
tidak stagnan dan juga harus fleksibel mengikuti situasi dan
kondisi yang dibutuhkan agar selalu dapat mengatur dan
menciptakan hasil yang berkeadilan. Dengan begitu pekerjaan
penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan dengan
menggunakan logika peraturan, melainkan juga membaca
kenyataan atau apa yang terjadi di masyarakat. [29]
Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam
dunia hukum  adalah karena masih terjerembab  kepada
paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi
sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup
karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis
dan multi kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa
hukumnya.[30]  Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian
yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-
undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak
dimaknai sebagai sebuah hukum.
Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang
dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia
tidak menghamba kepada abjad dan titik koma yang terdapat
dalam Undang-Undang sebagai buah perwujudan nalar, tetapi
hukum yang menghamba pada kepentingan manusia untuk
menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk
rasio, tetapi bagian dari intuisi. Relevansinya dengan nilai dasar
kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab,
seperti sila kedua Pancasila.[31]
Aliran Positivisme hukum ini sangat ditentang oleh
aliranSosiological Yurisprudence,  Sosiological
Yurisprudence adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang
antara lain dipelopori oleh Eugen Ehrlich. Menurutnya, bahwa
titik pusat dari perkembangan hukum, tidak terletak pada
pembuat undang-undang/ilmu hukum, dan tidak pula terletak
pada keputusan-keputusan hakim, melainkan pada masyarakat
itu sendiri. Pada dasarnya norma hukum selalu bersumber dari
kenyataan sosial, yang berdasarkan keyakinan akan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat. Sanksi yang berasal dari
penguasa untuk mempertahankan hukum tidaklah esensial,
tetapi hanya merupakan pelengkap.
Sesuai dengan pendapatnya di atas, menurut Eugen
Ehrlich, sumber hukum yang terpenting bukanlah kehendak
penguasa, tetapi kebiasaan. Jadi dalam hal ini Eugen Ehrlich
sependirian dengan Von Savigny, tetapi ia menggunakan istilah
yang lebih realistis yakni kenyataan-kenyataan hukum yang
hidup dalam masyarakat.    Menurut tokoh ilmu hukum realisme
F.S.Cohen, ilmu hukum fungsional merumuskan pengertian-
pengertian, pertauran-peraturan dan lembaga-lembaga. Hukum
dalam istilah-istilah adalah putusan hakim atau tindakan
kekuasaan-kekuasaan Negara lainnya dan sebagai bidang ilmu
hukum sosiologis (Sosiological Yurisprudence) penilaian hukum
dalam istilah tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh
hukum. Gerakan realisme dalam ilmu hukum memperlengkapi
aliran Sosiological Idealisme, karena gerakan idealisme
membatasi pada pengamatan terjadinya, berlakunya dan
tugasnya akibat hukum secara alamiah, sedangkan ahli-ahli pikir
dan aliran Sosiologis sebagai Pound, Cardozo, Geny, Heck,
mengarahkan perhatian mereka pada tujuan hukum (The Ends
Of Law).
        Indonesia sebagai negara yang besar serta kaya akan
budaya dan adat istiadat yang terbentang dari Sabang sampai
Merauke. Disetiap daerah memiliki kehidupan sosial yang
berbeda-beda pula begitu juga pranata norma-norma yang ada.
Norma-norma yang ada berupa hukum adat yang masih hidup
ditengah-tengah masyarakat. Hal ini telah ada sebelum
datangnya Belanda menjajah Indonesia dan menerapkan
positivisme dalam dunia hukum.
        Dengan adanya Unifikasi dan Positivisme hukum menutup
ruang gerak bagi hukum adat dan hukum kebiasaan-kebiasaan
lainnya yang hidup ditengah masyarakat untuk dapat berlaku
ditengah-tengah masyarakat, sehingga kearifan lokal
berupaliving law terhimpit oleh undang-undang yang dibuat oleh
penguasa. Sehingga perlawanan-perlawanan terhadap hukum
dan putusan pengadilan di Indonesia sampai hari ini masih
terjadi karena hukum yang terkristal dalam undang-undang dan
putusan pengadilan sangat jauh dari nilai-nilai keadilan yang
berlaku ditengah masyarakat.
Perkembangan masyarakat berkembang dengan sangat
cepat, sehingga untuk mengimbangi perkembangannya tersebut
hukum harus selalu mengikuti perkembangan masyarakat.
Hukum yang ada harus bisa menjadi pedoman dan solusi
terhadap semua permasalahan yang terjadi pada saat tersebut.
Sedangkan didalam aliran positivisme hukum terkunkung dalam
sebuah prosedur yang rumit., sehingga untuk melakukan sebuah
pembaharuan hukum selalu tertinggal oleh perkembangan
masyarakat. Al hasil hukum yang ada tidak mampu untuk
menjawab tantangan-tantangan zaman.
Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri
dari sub-sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat
terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub
sistem itu terdiri dari: Substansi Hukum (legal substance), yakni
menyangkut isi dari norma/aturan hukumnya; Struktur Hukum
(legal structure), yakni menyangkut sarana dan prasarana
hukumnya, termasuk sumber daya aparatur hukumnya; dan
Kultur Hukum (legal culture), yakni menyangkut perilaku budaya
sadar dan taat hukum, baik pemerintah maupun masyarakatnya.
Adapun budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua
pihak secara sungguh-sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi
secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua
orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu
besarnya peran budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi
kelemahan dari legal substance dan legal structure.
Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup
yang sangat luas, tidak terbatas pada tekstual berupa peraturan
perundang-undangan. Dalam berfungsinya hukum ditengah
masyarakat tidak saja membutuhkan undang-undang belaka
tetapi membutuhkan hal-hal lainnya seperti budaya masyarakat,
aparat penegak hukum maupun sarana dan prasarana. Dari sini
kita bisa melihat bahwa aliran positivisme berusaha
memenjarakan hukum hanya sebatas tekstual.
          Dalam paradigma postivistik sistem hukum tidak diadakan
untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan sekedar
melindungi kemerdekaan individu (person). Kemerdekaan
individu tersebut senjata utamanya adalah kepastian hukum.
Paradigma positivistik berpandangan demi kepastian, maka
keadilan dan kemanfaatan boleh diabaikan. Pandangan
positivistik juga telah mereduksi hukum dalam kenyataannya
sebagai pranata pengaturan yang kompleks menjadi sesuatu
yang sederhana, linear, mekanistik dan deterministik. Hukum
tidak lagi dilihat sebagai pranata manusia, melainkan hanya
sekedar media profesi. Akan tetapi karena sifatnya yang
deterministik, aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian
hukum yang sangat tinggi. Artinya masyarakat dapat hidup
dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan hukum demi tertib
masyarakat merupakan suatu keharusan dalam positivisme
hukum.
        Aliran positivisme banyak menuai kritik dari para ahli
hukum. Tujuan dari positivisme hukum adalah kepastian hukum.
Hukum terpisah dari norma-norma yang hidup didalam
masyarakat karena yang dikatakan hukum adalah peraturan
yang sah yang dikeluarkan oleh penguasa. Sehingga terjadinya
deviasi nilai-nilai keadilan, antara keadilan menurut hukum dan
keadilan menurut masyarakat. Sejatinya hukum dan masyarakat
adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hukum harus
bersumber dari norma-norma yang hidup dimasyarakat, karena
tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan keadilan
ditengah masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

        Anthon F. Susanto, Ilmu hukum Non Sistemik Fondasi


Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia,Genta
Publishing, Yogyakarta, 2010

E. Utrecht.1966. Pengantar dalam Hukum Indonesia .


Jakarta : Ichtiar.
Gijssels, jan & Mark van Hoecke.1982. Wat is
Rechtstheorie? Antwerpen : Kluwer Rechtswetenchappen.
JHP. Bellefroid. 1925. Inleiding tot de Rechtswetenschap in
Nederlands. Nijmegen Utrecht: Dekker & Van Vegt.
Koento Wibisono Siswomihardjo. 1994. Pengembangan Filsafat
Hukum Nasional  Suatu Gagasan bagi Dunia Perguruan
Tinggi . Makalah dalam Seminar Hukum Nasional yang Diadakan
BPHN tanggal 25-29 Juli 1994 di Jakarta . Jakarta : BPHN.
Kusumadi Pudjosewojo . 1961. Pedoman Pelajaran Tata Hukum
Indonesia . Jakarta :Penerbit Universitas.
        Mr. Kompor, Aliran Positivisme, Perkembangan dan Kritik-
Kritiknya,  dikutip dari www.mrkompor.blogspot.com yang
diakses pada tanggal 11 Mei 2013

L.Bender O.P.1984. Het Recht: Rechtsphilosophische


Verhandelingen . Bussum : Paul Brand.
Lili Rasjidi . 1985. Dasar –dasar Filsafat Hukum . Bandung : Alumni.
          . 1993. Filsafat Hukum ,Apakah Hukum
Itu?.Bandung : Remaja Rosdakarya.
Lili Rasjidi dan B . Arief Sidharta Ed.1994. Filsafat Hukum mazhab
dan Refleksinya . Bandung : Remaja Rosdakarya.
L.J. Van Apeldoorn . 1951. Inleiding  tot de Studie van het
Nederlands Recht . Zwolle. WEJ Tjeenk Willink.
Muhammad Siddiq Tgk. Armia,2008, Perkembangan Pemikiran
Teori Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita.

Purnadi  Purbacaraka.1978. Perihal  Kaedah Hukum . Bandung:


Alumni.
          . 1979. Sendi- sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum .
Bandung: Alumni.
          . 1980. Renungan tentang Filsafat Hukum .
Jakarta :Rajawali.
Roscoe Pound. 1972. Pengantar  Filsafat Hukum , terjemahan
Muhammad Radjab . Jakarta : Bhatara.
Satjipto Rahardjo . 1991. Ilmu Hukum . Bandung : Pradnya Paramita.
Soedjono Dirjosisworo. 1994. Pengantar Ilmu Hukum .Jakarta:
Radjawali .
Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman Ed. 1987. Displin Hukum dan
Disiplin Sosial (Bahan Bacaan Awal ). Jakarta : Rajawali
Pers.
Soetikno . 1976. Filsafat Hukum I-II. Jakarta : Pradnya Paramita.
Theo Huijbers.1991. Filsafat Hukum . Yogyakarta : Kanisius .
          .1993. Filsafat Hukum dan Lintasan
Sejarah .Yogyakarta : Kanisius .
Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22
januari 2010
Faisal,2010, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang
Education, Yogyakarta
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka
Belajar, Yogyakarta, 2009
W. Freidman .1970. Legal Theory . London . Steven & Son.
W. Zevenbergen .1925. Formele Encyclopaedie der
Rechtswetenschap. Gravenhage: GebrBelifante.

  
[1] Theo Huijbers,1991, Filsafat Hukum . Yogyakarta : Kanisius, hal 18.
[2]Lili Rasyidi, 1993, Filsafat Hukum ,Apakah Hukum Itu?. Bandung :
RemajaRosdakarya.hal 10
[3] Lili Rasjidi dan Arif Sidharta, 1994, Filsafat Hukum mazhab dan

Refleksinya . Bandung : Remaja Rosdakarya  hal 15


[4] Apeldoorn ,1951, Inleiding  tot de Studie van het Nederlands Recht .Zwolle.
WEJ Tjeenk Willink, hal 331-332
[5]W.Zevenbergen, 1925, Formele Encyclopaedie der
Rechtswetenschap.Gravenhage: GebrBelifante, hal 33
[6]JHP. Bellefroid. 1925. Inleiding tot de Rechtswetenschap in Nederlands.
Nijmegen Utrecht: Dekker & Van Vegt., hal 17

[7]Gijssels & Hoecke, 1982, Wat is Rechtstheorie? Antwerpen : Kluwer

Rechtswetenchappen  hal  9-86
[8] Gustav Radbruch 1942,B dalam Lili Rasjidi, 1993, Filsafat Hukum

,Apakah Hukum Itu?. Bandung : Remaja Rosdakarya hal  1


[9] Langemeyer ,1948, dalam lili Rasjidi, ibid, hal 1
[10] L, Blender,1984, dalam  Lili Rasjidi, ibid,  hal 1
[11] E. Utrecht,1966, Pengantar dalam Hukum Indonesia . Jakarta : Ichtiar,
hal75
[12] Kusumadi Pudjosewojo, 1961, Pedoman Pelajaran Tata Hukum
Indonesia.Jakarta :Penerbit Universitas, hal 10-13
[13] Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1978, Perihal  Kaedah
Hukum . Bandung: Alumni, hal 10-11).

[14] Mochtar Kusumaatmadja, 2009, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam


Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas
Hukum Universitas Padjararan Penerbit Bina Cipta, Bandung, hlm. 2
[15]Wongbanyumas, Menuju Hukum Yang Membebaskan (Hukum

Progresif,Dikutip dari www.fatahilla.blogspot.com  yang diakses pada


tanggal 10 Mei 2013
[16] Ibid
[17] Soetandyo Wignjosobroto,2002,  Hukum, Paradigma, metode dan

Dinamika Masalahnya, Elsam & Huma, Jakarta,  hlm. 96


[18] Mr. Kompor, Aliran Positivisme, Perkembangan dan Kritik-
Kritiknya, dikutip dari www.mrkompor.blogspot.com yang diakses pada
tanggal 10 Mei 2013
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Anthon F. Susanto,2010, Ilmu hukum Non Sistemik Fondasi Filsafat

Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta,  Hal.71


[22] Ibid, Hal. 71
[23] Ibid, Hal. 73
[24] Satjipto Raharjo II,1985, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum
Bagian IV, Karunika, Jakarta,  hlm. 111
[25] Muhammad Siddiq Tgk. Armia, 2008, Perkembangan Pemikiran Teori
Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,hlm. 6
[26] Ibid
[27] Sabian Usman,2009, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar,
Yogyakarta, hlm. 149
[28] Ibid, hlm. 149-150
[29] Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education,
Yogyakarta, hlm. 125
[30] Op Cit, Sabian Usman, 219
[31] Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010

Anda mungkin juga menyukai