Anda di halaman 1dari 36

TEORI FENOMENOLOGI

SENIN, 28 NOVEMBER 2011

Fenomenologi Sosial Dari Alfred Schutz (1899-1959)

By: Monique 
1.      Berkenalan Dengan Alfred Schutz?
Alfred Schutz lahir di Wina pada tahun 1899 dan meninggal di New York pada tahun
1959. Ia menyukai musik, pernah bekerja di bank mulai berkenalan dengan ilmu hukum dan
sosial. Ia mengikuti pendidikan akademik di Universitas Vienna, Austria dengan mengambil
bidang ilmu-ilmu hukum dan sosial. Gurunya yang sangat terkenal adalah Hans Kelsen (ahli
hukum), Ludwig Von Mises (ekonom), dan Friedrich Von Wieser dan Othmar Spann
(keduanya ahli sosiologi).
Pendidikan formal ini dijalankan Schutz setelah ia mengikuti Perang Dunia I. Selama
kuliah ia menjadi sangat tertarik pada karya-karya Max Weber dan Edmund Husserl. Setelah
lulus ilmu hukum, dia malah bekerja di bidang perbankan untuk jangka waktu yang sangat
lama. Meskipun penghasilannya sangat besar tetapi dia merasa perbankan bukanlah tempat
yang cocok baginya untuk mengaktualisasikan diri.
Schutz akhirnya banting setir yang mulai mempelajari sosiologi khususnya
fenomenologi yang dianggap memberi makna dalam pekerjaan dan hidup. Di tahun 1920-an
meskipun bukan seorang Dosen, tetapi hampir seluruh temannya adalah dosen perguruan
tinggi sehingga dia mulai terjun ke dunia akademik. Dia mulai mengajar dengan bantuan
temannya dan bahkan memberikan kuliah di Perguruan Tinggi serta dapat berpartisipasi
dalam diskusi dan seminar ilmiah. Setelah menerbitkan Der Sinnhafte Aufbau der sozialen
welt,   Schutz akhirnya berkenalan secara pribadi dengan Edmund Husserl yang menawarinya
menjadi asisten tetapi Schutz menolaknya.  
Dalam teori Schutz sangat kental pengaruh Weberian-nya khususnya karya-karya
mengenai tindakan (action) dan tipe ideal (ideal type). Meskipun Schutz terkagum-kagum
pada Weber tetapi ia beusaha mengatasi kelemahan yang ada di dalam karya Weber dengan
menyatukan ide filsuf besar Edmund Husserl dan Henri Bergson.
Schutz sangat ingin mendirikan Sekolah Tinggi Ekonomi Austria dengan menggunakan
paradigma theory of action yang bersifat subyektif tapi ilmiah. Keinginannya ini
mempengaruhi dirinya menerbitkan buku yang sangat berharga di bidang sosiologi yang
berjudul   The Phenomenology of the social world yang diterbitkan tahun 1932 dalam bahasa
Jerman. Buku ini baru diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris tahun 1967, sehingga karya
Schutz baru mendapat perhatian serius dan penghargaan dari Amerika Serikat tiga puluh
tahun sejak diterbitkan.
Dalam karir akademiknya tercatat di tahun 1943, Schutz mengajar di The New York
School of Research yang sebelumnya bernama Alvin Johnson’s University. Meski siang hari
dia menjadi bankir namun di malam hari dirinya mengabdikan diri untuk dunia pendidikan.
Tapi tidak sampai tahun 1956 dia berhenti menjadi konsultan perbankan  dan berkonsentrasi
menjadi dosen di News School for Research.
Selain mengajar Schutz juga aktif menerbitkan tulisan-tulisan di jurnal
penelitianPhilosophy and Phenomenological Research.   Schutz menjadi staf redaksi jurnal
itu di tahun 1941. Di tahun 1952, Dia dinobatkan sebagai Guru Besar di News York School
for Research dan mengajar di sana sampai dia meninggal di tahun 1959.
Meski Schutz telah tiada tetapi koleksi karya-karyanya diterbitkan dalam tiga jilid di
tahun 1962, 1964 dan 1966. Bahkan Thomas Luckman seorang guru besar di Universitas
Frankfurt mengumpulkan catatan dan tulisan Schutz dan membuatnya menjadi buku Die
Strukturen der Lebenswelt yang dialibahasakan ke dalam bahasa Inggris di tahun 1970
dengan judul Reflection on the problem of relevance.
2.      Mengintip Fenomenologi Secara Umum
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, Phainoai, yang berarti
‘menampak’  danphainomenon merujuk pada ‘yang menampak’. Istilah fenomenologi
diperkenalkan oleh Johann Heirinckh. Meskipun demikian pelopor aliran fenomenologi
adalah Edmund Husserl.
Jika dikaji lagi Fenomenologi itu berasal dari phenomenon  yang berarti realitas yang
tampak. Dan logos yang berarti ilmu. Jadi fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk
mendapatkan penjelasan dari realitas yang tampak.
Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi
makna dan konsep penting dalam kerangka intersubyektivitas (pemahaman kita mengenai
dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain). (Kuswarno,2009:2)
Fenomenologi berasumsi bahwa orang-orang secara aktif menginterpretasi pengelaman-
pengelamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengelaman pribadinya
(Littlejohn,2009:57).
Fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak dapat berdiri sendiri,
karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran yang lebih lanjut. Tokoh-tokoh
fenomenologi ini diantaranya Edmund Husserl, Alfred Schutz dan Peter. L Berger dan
lainnya.
Fenomenologi menerobos fenomena untuk dapat mengetahui makna hakikat terdalam
dari fenomena tersebut untuk  mendapatkan hakikatnya. Cara kerja dari fenomenologi ini
dapat dilihat pada bagan  berikut ini:

Tujuan dari fenomenologi, seperti yang dikemukakan oleh Husserl, adalah untuk
mempelajari fenomena manusia tanpa mempertanyakan penyebabnya, realitas yang
sebenarnya, dan penampilannya. Husserl mengatakan, “Dunia kehidupan adalah dasar makna
yang dilupakan oleh ilmu pengetahuan.” Kita kerap memaknai kehidupan tidak secara apa
adanya, tetapi berdasarkan teori-teori, refleksi filosofis tertentu, atau berdasarkan oleh
penafsiran-penafsiran yang diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi kehidupan, dan
kebiasaan-kebiasaan kita. Maka fenomenologi menyerukan zuruck zu de sachen
selbst (kembali kepada benda-benda itu sendiri), yaitu upaya untuk menemukan kembali
dunia kehidupan.
Terdapat dua garis besar di dalam pemikiran fenomenologi, yakni fenomenologi
transsendental sepeti yang digambarkan dalam kerja Edmund Husserl dan fenomenologi
sosial yang digambarkan oleh Alfred Schutz. Menurut Deetz (Ardianto,dkk, 2007:127) dari
dua garis besar tersebut (Husserl dan Schutz) terdapat tiga kesamaan yang berhubungan
dengan studi komunikasi, yakni pertama  dan prinsip yang paling dasar dari fenomenologi –
yang secara jelas dihubungkan dengan idealism Jerman – adalah bahwa pengetahuan tidak
dapat ditemukan dalam pengalaman eskternal tetapi dalam diri kesadaran
individu.  Kedua, makna adalah derivasi dari potensialitas sebuah objek atau pengalaman
yang khusus dalam kehidupan pribadi. Esensinya, makna yang beraal dari suatu objek atau
pengalaman akan bergantung pada latar belakang individu dan kejadian tertentu dalam
hidup. Ketiga, kalangan fenomenolog percaya bahwa dunia dialami – dan makna dibangun –
melalui bahasa. Ketiga dasar fenomenologi ini mempunyai perbedaan derajat signifikansi,
bergantung pada aliran tertentu pemikiran fenomenologi yang akan dibahas.
3.      Fenomenologi Sosial Schutz
Schutz dengan aneka latar belakangnya memberikan warna tersendiri dalam tradisi
fenomenologi sebagai kajian ilmu komunikasi. Sebagai seorang ekonom yang suka dengan
musik dan tertarik dengan filsafat begitu juga beralih ke psikologi, sosiologi dan ilmu sosial
lainnya terlebih komunikasi membuat Schutz mengkaji fenomenologi secara lebih
komprehensif dan juga mendalam.
Schutz sering dijadikan centre dalam penerapan metodelogi penelitian kualitatif yang
menggunakan studi fenomenologi. Pertama, karena melalui Schutz-lah pemikiran dan ide
Husserl yang dirasa abstrak dapat dijelaskan dengan lebih gamblang dan mudah
dipahami.Kedua,   Schutz merupakan orang pertama yang menerapkan fenomenologi dalam
penelitian ilmu sosial.
Dalam mempelajari dan menerapkan fenomenologi sosial ini, Schutz mengembangkan
juga model tindakan manusia (human of action) dengan tiga dalil umum yaitu:
  The postulate of logical consistency (Dalil Konsistensi Logis)
Ini berarti konsistensi logis mengharuskan peneliti untuk tahu validitas tujuan penelitiannya
sehingga dapat dianalisis bagaimana hubungannya dengan kenyataan kehidupan sehari-hari.
Apakah bisa dipertanggungjawabkan ataukah tidak.
  The postulate of subjective interpretation (Dalil Interpretasi Subyektif)
Menuntut peneliti untuk memahami segala macam tindakan manusia atau pemikiran manusia
dalam bentuk tindakan nyata. Maksudnya peneliti mesti memposisikan diri secara subyektif
dalam penelitian agar benar-benar memahami manusia yang diteliti dalam fenomenologi
sosial.
  The postulate of adequacy  (Dalil Kecukupan)
Dalil ini mengamanatkan peneliti untuk membentuk konstruksi ilmiah (hasil penelitian) agar
peneliti bisa memahami tindakan sosial individu. Kepatuhan terhadap dalil ini akan
memastikan bahwa konstruksi sosial yang dibentuk konsisten dengan konstruksi yang ada
dalam realitas sosial.
Schutz dalam mendirikan fenomenologi sosial-nya telah mengawinkan fenomenologi
transendental-nya Husserl dengan konsep verstehen yang merupakan buah pemikiran weber.
Jika Husserl hanya memandang filsafat fenomenologi (transendental) sebagai metode
analisis yang digunakan untuk mengkaji ‘sesuatu yang muncul’, mengkaji fenomena yang
terjadi di sekitar kita. Tetapi Schutz melihat secara jelas implikasi sosiologisnya didalam
analisis ilmu pengetahuan, berbagai gagasan dan kesadaran. Schutz tidak hanya menjelaskan
dunia sosial semata, melainkan menjelaskan berbagai hal mendasar dari konsep ilmu
pengetahuan serta berbagai model teoritis dari realitas yang ada.
Dalam pandangan Schutz memang ada berbagai ragam realitas termasuk di dalamnya
dunia mimpi dan ketidakwarasan. Tetapi realitas yang tertinggi itu adalah dunia keseharian
yang memiliki sifat intersubyektif yang disebutnya sebagai the life world.
Menurut Schutz ada enam karakteristik yang sangat mendasar dari the life world ini,
yaitupertama, wide-awakeness (ada unsur dari kesadaran yang berarti sadar
sepenuhnya). Kedua, reality (orang yakin akan eksistensi dunia). Ketiga, dalam dunia
keseharian orang-orang berinteraksi. Keempat,  pengelaman dari seseorang merupakan
totalitas dari pengelaman dia sendiri. Kelima,  dunia intersubyektif dicirikan terjadinya
komunikasi dan tindakan sosial.Keenam, adanya perspektif waktu dalam masyarakat.
Dalam the life wolrd ini terjadi dialektika yang memperjelas konsep ‘dunia budaya’ dan
‘kebudayaan’.  Selain itu pada konsep ini Schutz juga menekankan adanya stock of
knowledgeyang memfokuskan pada pengetahuan yang kita miliki atau dimiliki
seseorang. stock of knowledge  terdiri dari knowledge of skills dan useful knowledge. stock of
knowledgesebenarnya merujuk pada  content (isi), meaning (makna), intensity (intensitas),
dan duration (waktu). Schutz juga sangat menaruh perhatian pada dunia keseharian dan
fokusnya hubungan antara dunia keseharian itu dengan ilmu (science),  khususnya ilmu
sosial.
Schutz mengakui fenomenologi sosialnya mengkaji tentang intersubyektivitas dan pada
dasarnya studi mengenai intersubyektivitas adalah upaya untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan seperti:
  Bagaimana kita mengetahui motif, keinginan, dan makna tindakan orang lain?
  Bagaimana kita mengetahui makna atas keberadaan orang lain?
  Bagaimana kita dapat mengerti dan memahami atas segala sesuatu secara mendalam?
  Bagaimana hubungan timbal balik itu dapat terjadi?
Realitas intersubyektif yang bersifat sosial memiliki tiga pengertian, yaitu:
  Adanya hubungan timbal balik atas dasar asumsi bahwa ada orang lain dan benda-benda yang
diketahui oleh semua orang.
  Ilmu pengetahuan yang intersubyektif itu sebenarnya merupakan bagian ilmu pengetahuan
sosial.
  Ilmu pengetahuan yang bersifat intersubyektif memiliki sifat distribusi secara sosial.
Ada beberapa tipifikasi yang dianggap penting dalam kaitan dengan intersubyektivitas, antara
lain :
  Tipifikasi pengelaman (semua bentuk yang dapat dikenali dan diidentifikasi, bahkan berbagai
obyek yang ada di luar dunia nyata, keberadaannya didasarkan pada pengetahuan yang
bersifat umum).
  Tipifikasi benda-benda (merupakan sesuatu yang kita tangkap sebagai ‘sesuatu yang
mewakili sesuatu’.
  Tipifikasi dalam kehidupan sosial (yang dimaksudkan sosiolog sebagai System, role status,
role expectation, dan  institutionalization itu dialami atau melekat pada diri individu dalam
kehidupan sosial).
Schutz mengidentifikasikan empat realitas sosial, dimana masing-masing merupakan
abstraksi dari dunia sosial dan dapat dikenali melalui tingkat imediasi dan tingkat
determinabilitas. Keempat elemen itu diantaranya umwelt, mitwelt, folgewelt, dan vorwelt.
  Umwelt, merujuk pada pengelaman yang dapat dirasakan langsung di dalam dunia kehidupan
sehari-hari.
  Mitwelt, merujuk pada pengelaman yang tidak dirasakan dalam dunia keseharian.
  Folgewelt, merupakan dunia tempat tinggal para penerus atau generasi yang akan datang.
  Vorwelt, dunia tempat tinggal para leluhur, para pendahulu kita.
Schutz juga mengatakan untuk meneliti fenomena sosial, sebaiknya peneliti merujuk pada
empat tipe ideal yang terkait dengan interaksi sosial. Karena interaksi sosial sebenarnya
berasal dari hasil pemikiran diri pribadi yang berhubungan dengan orang lain atau
lingkungan. Sehingga untuk mempelajari interaksi sosial antara pribadi dalam fenomenologi
digunakan empat tipe ideal berikut ini:
  The eyewitness (saksi mata)
Yaitu seseorang yang melaporkan kepada peneliti sesuatu yang telah diamati di dunia dalam
jangkauan orang tersebut.
  The insider (orang dalam)
Seseorang yang karena hubunganya  dengan kelompok yang lebih langsung dari peneliti
sendiri, lebih mampu melaporkan suatu peristiwa, atau pendapat orang lain, dengan otoritas
berbagi sistem yang sama relevansinya sebagai anggota lain dari kelompok. peneliti
menerima informasi orang dalam sebagai ‘benar’ atau sah, setidaknya sebagian, karena
pengetahuannya dalam konteks situasi lebih dalam dari saya.
  The analyst (analis)
Seseorang yang berbagi informasi relevan dengan peneliti, orang itu telah mengumpulkan
informasi dan mengorganisasikannya sesuai dengan sistem relevansi .
  The commentator (komentator)
Schutz menyampaikan juga empat unsur pokok fenomenologi sosial yaitu”
  Pertama, perhatian terhadap aktor.
  Kedua, perhatian kepada kenyataan yang penting atau yang pokok dan kepada sikap yang
wajar atau alamiah (natural attitude).
  Ketiga,  memusatkan perhatian kepada masalah mikro.
  Keempat, memperhatikan pertumbuhan, perubahan, dan proses tindakan. Berusaha memahami
bagaimana  keteraturan dalam masyarakat diciptakan dan dipelihara dalam pergaulan sehari-
hari.
4.      Referensi
1)      Ardianto, Elvinaro & Bambang Q.Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi.Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.
2)      Ardianto, Elvinaro. 2010. Metodologi Penelitian untuk Publik Relation Kuantitatif dan
Kualitatif.  Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
3)      Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi (fenomena pengemis kota bandung).Bandung:
Widya Padjadjaran.
4)      Littlejohn, Stephen W & Karen A.Foss. 2009. Teori Komunikasi (Theories of Human
Communication). Jakarta: Salemba Humanika.
5)      Manafe, Yeremia Djefri. 2010. Dasar-Dasar Teori Komunikasi (Edisi Revisi).
Kupang:Undana Press.
6)      Schutz, Alfred dalam John Wild dkk. 1967. The Phenomenology of the Social
World.  Illinois: Northon University Press.
7)      Syam, Nina W. 2009. Sosiologi Komunikasi. Bandung: Humaniora.
8)      http://agustocom.blogspot.com/2010/11/alfred-schutz-fenomenologi-dan.html
9)      http://informationr.net/tdw/publ/papers/schutz02.html
10)  http://perjalananveronkandroll.wordpress.com/2011/03/15/alfred-schutz-dan-sosiologi-
fenomenologi/
11)  http://plato.stanford.edu/entries/schutz/
12)  http://www.iep.utm.edu/schutz/
Diposkan oleh icha pastia di 20.06 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
(ICHA PASTIA: http://ichapastia.blogspot.co.id/2011/11/fenomenologi-sosial-dari-alfred-
schutz.html)

Jumat, 29 Agustus 2014


FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ (Oleh: Ahmad Toni)
FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ
Oleh:
Ahmad Toni

A.    Max Weber Dan Pengaruh Fenomenologi Schutz


Fenomenologi ialah suatu perspektif yang modern tentang dunia manusia dan
merupakan gerakan filsafat yang paling dekat dengan hubungannya dengan abad ke-20.
Bahwa pemahaman historis pengalaman ditunjang dengan konsep subjektivitas ‘interaktif’
namun yang jauh lebih menantang ialah ide bahwa subjek kolektif atau universal, yang
didefiniskan melalui hasil-hasil umum dari reduksi transedental, juga berkarakter historis.
Menurut Weber “pemisahan dunia akal budi sebagai idealism ilmiah dan rasionalitas dengan
dunia pengalaman primordial, akhirnya menimbulkan crisis, hilangnya makna dan
signifikansi pada pembawa akal budi itu sendiri. Komitmen imprensif dan kekkakuan crisis
menurut Weber akan sia-sia, bahwa kegagalan manusia tidak dapat dihindari dalam
modernitas. Fenomenologi telah diidentikan secara keliru dengan baik tentang pandangan
‘psikologis’ maupun pandangan idealis, pandangan yang dari perspektif sosiologis melihat
dirinya sendiri memiliki tanggung jawab istimewa untuk memenangkan keyakinan.
Terdapat beberapa hal bukti relevansi fenomenologi dalam ilmu sosial;
1.     Sebagai pendekatan metodologis khas terhadap permasalahan dari kajian sosiologi, yakni
manusia dan pola-pola interaksi kehidupannya.
2.     Fenomenologi sebagai sumber wawasan dan pengetahuan yang riil atas isu-isu dan gejala
sosial.
3.     Sebagai konstruks materi deskriftif untuk gejalan sosial dan pengalaman modernitas.
Pendekatan Alfred Schutz berbeda dengan pendekatan Husserl, bahwa pendekatan
fenomenologis Schutz terhadap realitas sosial dapat dicirikan pada imanen dan duniawi.
Schutz tidak terlalu membahas tentang mengungkap karakter tertentu dari suatu gejala
melainkan sebagai konsep sejarah sosial dalam arus kehidupan sosial yang sadar dan riil, juga
memahami dunia sosial sebagai realitas yang diinterpretasikan secara holistic (menyeluruh).
Fenomenologi Schutz memandang dunia kehidupan sehari-hari ialah realitas fundamental dan
terpenting manusia yang dikonstruksikan sebagai intersubjektivitas.
Intersubjektivitas adalah kenetntuan dunia nyata dan tidak memerlukan eksplikasi
fundamental. Bahwa kita menanggapi interaksi sosial dan hidup dalam dunia nyata yang
sudah terbentuk sebagai komunitas. Maka secara konkret kita berhadapan dengan duniawi
yang terkungkung dalam realitas transcendental. Baik konsep ilmiah dan pengalaman sehari-
hari terbentuk lewat kategori-kategori yang terpisah dari segala sesuatu yang menyertai dan
ditentukan dalam kesadaran manusia. Schutz mendefinisikan realitas ‘diterima apa adanya’
dalam hubungan kognitif, sebagai suatu dunia pemikiran spesifik dan komunitas perceptual,
tempat, gudang pengetahuan yang menjadi pondasi pengalaman. Asumsi hubungan timbale
balik antara manusia dalam pengalaman sebagai fondasi kehidupan sosial secara umum.
Relasi sosial autentik menyatakan timbale balik langsung secara kontak fisik dan kontak
pengalaman. Gudang pengetahuan manusia ialah bahwa distribusi pengetahuan melalui
kelompok-kelompok luar didefinisikan dalam hubungan yang macam-macam, yakni tipikasi.
Bahwa tipikasi ialah dunia fisik dan dunia sosio-budaya yang dialami sejak awal dan
hubungannya dengan tipe-tipe tertentu.
Max Weber mengartikan, dalam konteks ini tindakan sosial tidak hanya dianggap
bermakna secara subjektif tetapi interpretasi manusia merupakan salah satu konsekuensi dari
kesatuan fungsional masyarakat sebagai suatu keseluruhan, timbale balik, tindakan yang
komprehensif, sebagai bagian dari kesatuan tindakan yang nyata. Bahwa masyarakat modern
dipandang sebagai realitas yang integral secara fungsi dan mempunyai kesatuan atau
persatuan komunitas dalam tingkat yang tinggi. Bahwa tindakan rasional manusia sebagai
pilihan kesadaran, sebagai ekspresi, tindakan diartikan sebagai suatu perbuatan yang telah
direncanakan terlebih dahulu oleh pelaku (aktor) dan didasari oleh prinsip atas tindakan
tersebut.  Pada dasarnya Weber bukan menekankan hukum kausalitas (sebab-akibat) dalam
memandang realitas sosial, akan tepati Weber lebih menekankan pada cara-cara yang
ditempuh dan dipergunakan dalam memahami dan mengamati gejala sosial (masyarakat).
Secara subtansi proses dan gejala sosial merupakan sebuah konsekuensi dari fenomena
realitas yang sifatnya kompleks, dari hakikat realita sosial.
B.    Konstitusi Pengalaman Hidup Yang Bermakna
Kehidupan yang bermakna menurut Schutz adalah tindakan manusia secara sosial tidak
hanya dipandang atau dianggap bermakna secara subjektif, melainkan secara objektif dengan
berpedoman pada komunitas dan makna yang dilahirkan secara bersama-sama oleh
komunitas. Makna dilahirkan secara subjektif yang kemudian didukung olehb pengalaman
yang sama yang dikonsepsikan oleh orang lain, sehingga menjadi sekumpulan pengalaman
yang banyak, yang sama kemudian melahirkan objetivitas dari realitas komunitas tersebut.
Pola-pola kesatuan atau (lifeworld) yang melahirkan sebuah konsekuensi persatuan atas
pengalaman, ketimbal-balikan tindakan dan kesatuan pengalaman nyata menjadikan objektif
dalam pengalaman hidup mereka sehari-hari. Semakin pola kehidupan dekat dan
terlembagakan maka semakin tipikal (tipikasi) menyerupai atau mirip dalam dimensi
kebudayaan, hukum atau aturan, adat istiadat dan lain sebagainya. Realitas sehari-hari
dipahami dan dikonstruksikan sebagai hirarki makna yang melalui tatanan kesepakatan atau
konvensional dicapai dan dipertahankan sebagai interaksi sosial para actor sosial dalam
reaksi yang alamiah atau natural.
C.   Fondasi Intersubjektivitas
Intersubjektivitas adalah ketentuan dunia nyata dan tidak memerlukan eksplikasi
fundamental. Bahwa kita memandang dunia yang membentuk komunitas. Bahwa ilmu-ilmu
sosial secara konkret berhadapan dengan realitas sosial yang nyata yang tekah
termanipulasikan oleh fenomenologi transcendental. Pemikiran Schutz ini adalah kritik atas
sejumlah fenomenologi yang terdahulu yang memandang realitas sebagai sebuah ruang
transcendental yang hanya bisa dipandang oleh kalangan tertentu. Pengalaman sehari-hari
dari manusia terbentuk lewat kategori atau tipikasi yang terpisah dari segala sesuatu dan pula
didorong oleh kesadaran sosial.
Bahwa sosiologi adalah konstruksi tingkat kedua dalam memandang dunia abstrak-
abstrak yang melahirkan interpretasi atas bentuk dan isi langsung dari kehidupan. Schutz
memperjuangkan subuah sosiologi ‘subjektif’ artinya bahwa realitas sosial dibentuk atau
dikonstruksi berdasarkan pada tindakan dan relasi makna.
D.   Realitas Sebagai Struktur Social
Realitas diartikan sebagai ketergantungan struktur, pertukaran langsung, umum,
produkstivitas. Realsi pertukaran ini dari setiap actor sosial terpilih dalam sebuah sistem,
sistem yang kemudian berpola pada konstruksi sosial. Bahwa kehidupan atau realitas adalah
dibangun berdasarkan struktur sosial. Dalam proses pertukaran sosial terjadi interaksi di
dalam struktur sosial, ketika insiasi terbalas, timbale-balik, serangkaian transaski yang
dilakukan secara kontinu atau terus menerus, yang dilakukan oleh para actor sosial. Transaksi
dalam pertukaran sosial adalah ketika actor sosial lain membalas interaksinya untuk sebuah
tindakan yang dilakukan oleh actor sosial yang lain. Pola-pola stuktur sosial dan
ketergantungan didasari atas integrasi kepentingan, perbedaan, kelompok, konflik termasuk
kekuasaan. Kekuasaan dalam perspektif strukturalis ialah sebuah hirarki tertinggi yang
mengakibatkan ketergantungan actor-aktor sosial dalam pemenuhan kebutuhan hidup serta
eksistensi dirinya.
E.    Problematika Interpretif Sosial
Konsepsi fenomenologi dalam konstruksi realitas media menjadi perdebatan yang
cukup panjang, banyak ilmuan sosiologi menempatakan fenomenologi sebagai konsepsi
paradigmatis kelilmuan sosial yang berorinetasi pada pemkanaan konstruksi media sangat
cocok dengan konsepsi pola-pola pesan media yang bersifat kemanusiaan dan universal.
Sehingga asumsi para ilmuan  terutama di Indonesia menempatkan “fenomenologi”sebagai
teori yang relevan dengan segala bentuk persepsi dan efek media karena melibatkan
psikologis khalayak untuk dapat memaknai pesan-pesab media secara universal. Sementara
konsepsi lain tentang fenomenologi sebagai paradigma penelitian yang konstruks masih
dipertanyakan sebagai konsepsi paradigmatis dalam kajian dan penelitian ilmu komunikasi.
Fenomenologi lahir dan dilahirkan atas konsepsi ilmu sosial untuk mengamatai gejala yang
timbul di dalam sistem sosial masyarakat, namun keterpaduan antara ilmu komunikasi
dengan ilmu sosial lainnya menunjukan bahwa eksistensi fenomenologi dalam kajian ilmu
komunikasi sangat berhubungan berdasarkan pada teknologi modern dewasa ini.
Perdebatan paradigmatis fenomenologi mampu menghadirkan pemaknaan dan
konstruksi realitas media dan komunikasi dihadapkan pada implementasi pemaknaan
kalahayk yang bersifat dinamis untuk menghadirkan maka sebagai pengalaman media,
pengalaman proses bermedia sebagai sebuah kesadaran bermedia dalam mewujudkan bentuk
penyadaran diri individu terhadap realitas yang terkonstruksi akibat terpaan media.
Paradigmatis yang lahir sebagai konsekuensi logis terpaan media dan pola-pola konstruksi
media yang bersifat konstruksionis. Bahwa media mempunyai kekuatan agenda dan pengaruh
yang diterpakan sebagai sebuah kepentingan pemunculan persepsi tentang makna yang
dikonstruksikanya lewat pesan yang disampaikan. Secara eksplisit, proses pengamatan
fenomena yang ditimbulkan oleh media berdasarkan pada keberpihakan dan sekaligus
kemampuan peneliti dalam menjalankan pengamatan terhadap gejala yang diamatinya, baik
terkonstruksikan berdasarkan unsur kesengajaan untuk mengetahui secara cepat bagaimana
konstruksi realitas media dan komunikasi diusung oleh aktor yang sedang diamati atau
berdasarkan pada proses pengamatan secara alamiah, dengan mengikuti pola, gerak
kehidupan actor atau subjek penelitian guna mengenathui secara lebih dalam fenomena yang
terjadai di dalam jiwa yang terekspresikan oleh fisik subjek atau actor yang sedang
diamatinya.
Pemikiran Schutz menjadi acuan dasar penelitian fenomenologi sebagai kajian yang
menarik, akan tetapi pemikiran Schutz sebenarnya tidak beda dengan para pendahulunya.
Schutz melihat fenomenologi sebagai tindakan sosial pada pengalaman, makna dan
kesadaran. Manusia mengkonstruksi makna di luar arus utama pengalamannya melalui proses
“tipikasi”. Penafsiran “tipikasi” dalam konteks fenomenologi di Indonesia dimaknai dangkal
sebagai Pengelompokan pengalaman manusia. Pada prinsipnya tipikasi ialah sebuah
pengelolaan, produksi makna yang dikelola, diorganisasikan berdasarkan hubungan dengan
pengelolaan informasi atau pengalaman lain yang diterima oleh manusia pada masa
sebelumnya. Dalam bahasa fenomenologi Schutz disebut dengan “stock of knowledge”,
proses kumpulan pengalaman tersebut kemudian mempengaruhi makna yang terkonstruksi
dalam pola pikir, gerak, sikap, perilaku dan dapat diaplikasikan, diimplementasikan secara
nyata dalam realitas.
Tipikasi bukan sekedar pengetahuan yang terkonstruksi di dalam alam imajinasi, otak,
atau pikiran individu semata, melainkan pengetahuan tersebut dapat diimplementasikan
dalam bentuk tindakan nyata dalam dunia. Dimana manusia secara substantive melahirkan
konsep pengalaman subjektif, dimana pengalaman subjektif tersebut ialah bentuk modal yang
menjadikan manusia melakukan suatu tindakan riil. Pola tindakan merupakan cerminan,
wujud, reprensentasi dari makna yang dihadirkan dari pengalaman subjektif yang
diorganisasikan oleh dirinya. Dalam pandangan Schutz selajutnya, dalam konteks manusia
atau individu sebagai mahkluk sosial, tipikasi dimaknai dan ditafsirkan sebagai pemahaman
atas dasar pengalaman bersama, dimana argumentasinya mencoba mengelompokkan manusia
sebagai individu yang menyesuaikan diri, dimana individu ialah orang yang memainkan
tipikal situasi tertentu. konsepsi fenomenologi ini mencoba menempatkan individu bukan
sebagai orang yang mempunyai prinsip, namun individu yang berkompromi dengan
peengalaman sejenis yang diakibatkan oleh interaksi yang dilakukannya sebagai mahkluk
sosial.
Pemahaman yang demikian menempatkan fenomenologi Schutz tidak menempatkan
pengalaman hidup seseorang sebagai kemandirian makna yang dikonstruksi oleh individu
secara sadar. Pada hakikatnya makna dari pengalaman hidup seseorang berbeda-beda dan
tidak bisa digeneraliasaikan, realitas bukan bersifat monolitik tapi realitas bersifat plural.
Kemiripan pengalaman bukanlah merukan kesamaan dan keseragaman pengalaman antara
individu satu dengan individu yang lainnya. Hegel dan gerakan fenomeologi dalam
modernitas menitikberatkan kepada landasan berpikir tentang pengalaman yang melebihi
batas-batas pengalaman. “gagasan fenomeologi menolak mengakui referen banyak istilah
‘deskriptif’ yang tampak tidak berbahaya sebagai sesuatu yang nyata baik dalam wacana
ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari” (Ritzer dan Samrt, 2011: 466). berikut adalah
penjelasan esensial fenomenologi yang menetapkan suatu orientasi orisinal terhadap realitas:
1.              Intensional
“Husserl mengungkapkan bahwa karakter pengalaman merupakan intensionalitas kesadaran,
hal ini berarti kesadaran tidak pernah tanpa isi: proses sadar disebut dengan intensional”.
Brentano, (Ritzer dan Smart, 2011: 467) “ineksistensi intensional juga disebut dengan mental,
suatu objek yang sepenuhnya relasi dengan suatu isi, arah menuju objek atau objektivitas
imanen”. Bahwa pada dasarnya kesadaran muncul sebagai kebenaran empiris yang
menganggap pengalaman indrawi manusia sebagai pengalaman kebenaran, artinya wawasan
yang paling tajam dalam pengalaman modern yang bersifat empiris yang menandai tentang
kualitas pengalaman. 
2.     Pengalaman Nyata
Terpaan dan pengalaman yang dikonstruksi individu sebagai bentuk hubungan sadar antara
pengakses media dengan pesan-pesan yang dapat dipersepsikan, diproses, dimaknai dengan
kesadaran yang mendasar sebagai bentuk pengalaman manusia.
3.     Esensi
Esensi yang dimaksudkan ialah kesadaran ideal dari actor-aktor sosial sebagai bentuk
kesadaran yang konkret yang dimanifestasikan dalam bentuk pemaknaan, tindakan atas
kesadaran dari dan untuk dirinya.
4.     Modalisasi
Kebenaran suatu gejalan merupakan usaha untuk menemukan penyebab subjektivitas dan
objektivitas pengalaman inderawi manusia. Dimana hubungan antara konsep fisik dengan
modalitas diri seseorang yang menjadi actor untuk merepresentasikan relasi umum dan
generalisasi atas fenomena inderawi manusia.
5.     Epoche
Esensi kesadaran  ialah bertujuan untuk mengembalikan sikap kita sebagai actor sosial
kepada pemaknaan tentang dunia dan realitasnya.
6.     Penubuhan
Fenomena adalah suatu konsep keterbukaan  yang terkonstruksikan atas dasar hubungan
tubuh dengan dunia ekspresi. Artinya ada hubungan antara jiwa dan fisik seseorang untuk
menggerakan pemikiran memaknai suatu realitas yang sedang diamati sebagai sebuah gejala.
7.     Temporalitas
Hal ini menunjukan bahwa ada keterkaitan ruang dan waktu yang luas dan mendalam
berdasarkan pada kesadaran manusia. Makna yang dilahirkan dari individu bergantung pada
konsisi ruang dan waktu yang melingkupinya secara sosial.
8.     Intersubjektivitas
Relasi timbal balik antara diri sendiri dengan sosial. Ketersilangan individu dalam
pemaknaan melahirkan pemaknaan yang bersifat sosial berdasarkan pada pengalaman yang
sama dengan subjek lain.
F.    Ontologi dan Epistimologi Fenomenologi Schutz
Landasan ontology fenomenologi Schutz ialah konsep-konsep pemikiran dari Weber
tentang relevansi nilai, pemahaman (verstehen) dan konsep tipe ideal. Artinya konsep tentang
pembauran atau proses penyatuan makna yang sebenarnya bersifat dualitas atau ambiguitas.
Bagi Schutz makna ialah dapat diinterpretasikan dari berbagai perspektif manusia sebagai
makhluk sosial, makna dilahirkan berdasarkan pada sebuah pengalaman yang subjektif, yang
dikonstruksikan dalam diri manusia sebagai individu yang merdeka. Indivdu yang aktif dalam
proses pemberian makna, bahwa setiap manusia memaknai realitas berdasarkan pada apa
yang pernah dilihat, didengar, dirasakan sebagai pengalaman yang nyata. Makna hadir dan
dihadirkan sebagai konsekuensi atas apa yang dirasakan oleh manusia.  
Secara epistimologi Schutz memandang bahwa penguasaan manusia terhadap makna
yang timbul dari motivasi atau disebut dengan makna motivasi, tindakan dan proses
pemahaman manusia sebagai mahkluk yang berpikir. Proses yang demikian kemudian
diimplementasikan oleh manusia pada tingkatan realitas atau lapangan, sehingga terjadi
dialektika manusia dalam proses versthehen dalam memaknai realitas-realitas yang
bersentuhan dengan dirinya. Dalam tataran ini manusia mencari kualitas dirinya dalam
memahami realitas, bahkan manusia menjadikan dirinya sebagai sumber atas pemehaman
realitas.
Pemikiran mankna yang dilahirkan manusia yang sangat subjektif  dalam
mengeksplorasi perilaku dirinya yang berhubungan dengan realitas sosial melahirkan
perilaku-perilaku yang lain. Sehingga manusia menggunakan intuisi dan logikanya untuk
memahami dan menelusuri dunia sosial sebagai dunia yang bukan bersifat monolitik akan
tetapi bersifat plural. Artinya manusia pada tataran ini adalah manusia yang intersubjektif,
dimana manusia merupakan dunia arti yang merupakan suatu makna dan simbolik diantara
manusia yang dinamis dan bertindak. Hubungan intersubjektif-intersubjektif adalah konsep
yang melahirkan hubungan manusia yang dapat mengkonstruksikan objektivitas bagi realitas
itu sendiri atau bagi kehidupan manusia itu sendiri.

Sumber Referensi: (dirangkum dari)

Schutz, Alfred, 1967, The Phenomenology of The social World, German: Der Sinnhafie Aufbau Der
Sozialen.
Diposkan oleh toni anthonovubl di 22.05 

22 BAB II KERANGKA KONSEPTUAL A. Teori Fenomenologi Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani,
Phainoai, yang berarti ‘menampak’ dan phainomenon merujuk pada ‘yang menampak’. Istilah ini
diperkenalkan oleh Johann Heirinckh. Istilah fenomenologi apabila dilihat lebih lanjut berasal dari
dua kata yakni; phenomenon yang berarti realitas yang tampak, dan logos yang berarti ilmu. Maka
fenomenologi dapat diartikan sebagai ilmu yang berorientasi unutk mendapatan penjelasan dari
realitas yang tampak. Lebih lanjut, Kuswarno menyebutkan bahwa Fenomenologi berusaha mencari
pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka
intersubyektivitas (pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang
lain).1 Alfred Schutz merupakan orang pertama yang mencoba menjelaskan bagaimana
fenomenologi dapat diterapkan untuk mengembangkan wawasan ke dalam dunia sosial. Schutz
memusatkan perhatian pada cara orang memahami kesadaran orang lain, akan tetapi ia hidup dalam
aliran kesadaran diri sendiri. Perspektif yang digunakan oleh schutz untuk memahami kesadaran itu
dengan 1 Engkus Kuswarno, Fenomenologi; fenomena pengemis kota bandung. (Bandung: Widya
Padjadjaran, 2009), 2. 23 konsep intersubyektif. Yang dimaksud dengan dunia intersubyektif ini
adalah kehdupan-dunia (life-world) atau dunia kehidupan sehari-hari.2 Dunia kehidupan sehari-hari
ini membawa Schutz mempertanyakan sifat realitas sosial para sosiolog dan siswa yang hanya peduli
dengan diri mereka sendiri. Dia mencari jawaban dalam kesadaran manusia dan pikirannya. Baginya,
tidak ada seorang pun yang membangun realitas dari pengalaman intersubjective yang mereka lalui.
Kemudian, Schutz bertanya lebih lanjut, apakah dunia sosial berarti untuk setiap orang sebagai aktor
atau bahkan berarti baginya sebagai seorang yang mengamati tindakan orang lain? Apa arti dunia
sosial untuk aktor/subjek yang diamati, dan apa yang dia maksud dengan tindakannya di dalamnya?
Pendekatan semacam ini memiliki implikasi, tidak hanya untuk orang yang kita pelajari, tetapi juga
untuk diri kita sendiri yang mempelajari orang lain.3 Instrument yang dijadikan alat penyelidikan
oleh Scutz adalah memeriksa kehidupan bathiniyah individu yang direfleksikan dalam perilku sehari-
harinya.4 Schutz meletakkan manusia dalam pengalaman subjektif dalam bertindak dan mengambil
sikap dalam kehidupan sehari-hari. Dunia tersebut adalah kegiatan praktis. Manusia mempunyai
kemampuan untuk menetukan akan melakukan apapun yang berkaitan dengan dirinya atau orang
lain. Apabila kita ingin menganalisis unsur-unsur kesadaran yang terarah menuju serentetan 2
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj Alimandan, (Jakarta: Kencana,
2007), 94. 3 Ajiboye, Emmanuel Olanrewaju, Social Phenomenologi of Alfred Schutz and the
Development of African Sociology, (British Journal of Arts and Social Sciences, Vol.4. No.1 2012) 4
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, dan Perbandingan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994),
233. 24 tujuan yang bertkaitan dengan proyeksi dirinya. Jadi kehidupan sehari-hari manusia bisa
dikatan seperti proyek yang dikerjakan oleh dirinya sendiri. Karena setiap manusia memiliki
keinginan-keinginan tertentu yang itu mereka berusaha mengejar demi tercapainya orientasi yang
telah diputuskan.5 Lebih lanjut, Schutz menyebutnya dengan konsep motif. Yang oleh Schutz
dibedakan menjadi dua pemakmanaan dalam konsep motif. Pertama, motif in order to, kedua, motif
because. Motif in order to ini motif yang dijadikan pijakan oleh sesorang untuk melakukan sesuatu
yang bertujuan mencapai hasil, sedangkan motif because merupakan motif yang melihat
kebelakang. Secara sederhana bisa dikatakan pengidentifikasian masa lalu sekaligus
menganalisisnya, sampai seberapa memberikan kontribusi dalam tindakan selanjutnya.6 B. Teori Elit
Pembahasan tentang elit dalam kerangka teoritik ini merujuk pada konsepsi yang telah dikemukan
oleh Vilfredo Pareto (1828-1923) dan Goetano Mosca (1858-1941). Tujuan dituliskannya teori elit
dalam penelitian ini kurang lebihnya sebagai alat untuk mengetahui, siapakah yang dimaksud elit
nahdliyin sekaligus menegaskan kaum nahdliyin yang dijadikan objek dalam penelitian ini. 5 Ibid.,
235- 237. 6 Ibid., 270. 25 Asumsi dasar teori ini adalah dalam semua masyarakat selalu ada distribusi
kekuasaan yang tidak merata. Sehingga memunculkan kelas dalam sebuah masyarakat. Mosca
mebagi kelas kedalam dua bagian. Pertama, kelas yang berkuasa, kedua, kelas yang dikuasai. Elit
yang berkuasa apabila dilihat dari sisi jumlah lebih sedikit, akan tetapi ia melaksanakan semua fungsi
politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keistimewaan. Maka bagi kelas yang dikuasai
menerima kebalikan dari yang telah dimiliki oleh kelas yang berkuasa.7 Mosca menyebutkan yang
membedakan karakter elit adalah kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol. Meskipun
kelas yang memerintah tersebut kehilangan kepercayaan dan orang-orang diluar kelas tersebut,
mempunyai kecakapan yang lebih baik. Maka terdapat kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa
akan dijatuhkan dan digantikan oleh penguasa baru. Mosca juga menegaskan bahwa dalam setiap
masyarakat ada dan harus ada suatu minoritas yang menguasai anggota masyarakat yang lain.
Minoritas itu adalah kelas politik atau elit yang memerintah yang terdiri mereka yang menduduki
jabatan-jabatan komando politik dan secara lebih tersamar, mereka yang dapat langsung
mempengaruhi keputusan-keputusan politik.8 Akan tetapi, kelompok elit kalau ditelaah dari segi
sifat dan karakternya, sebenarnya bukan kelompok yang heterogen. Kelompok elit politik dibagi
menjadi tiga tipe. Pertama, elit politik yang dalam segala tindakan berorientasi pada kepentingan
pribadi atau golongan. Elit tipe ini cenderung 7 TB Bottomore, Elit dan Masyarakat, 86. 8 Yusron, Elit
Lokal dan Civil Society: Kediri ditengah demokratisasi, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2009), dalam Tesis
Jumari, Peran Elit Dan Basis Sosial Partai Demokrat Dalam Pemilukada Depok Tahun 2010, edisi
digital, 34. 26 bersifat tertutup, dalam arti menolak golongan elit yang bukan elit untuk memasuki
lingkungan elit. Diantara sesama elit tipe ini mengembangkan kolaborasi untuk mempertahankan
keadaan yang ada. Oleh karena itu pelapisan sosial politik tidak hanya berbetuk piramid dan
hierarkhi, namun juga tidak tanggap atas aspirasi dan tuntutan masyarakat. Elit ini disebut elit
konservatif karena sikap dan perilaku yang cenderung memelihara dan mempertahankan struktur
masyarakat yang secara jelas menguntungkannya.9 Kedua, elit politik liberal. Elit ini memiliki sikap
dan perilaku yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi setiap warga untuk meningkatkan
status sosial. Elit ini cenderung bersifat terbuka terhadap golongan masyarakat yang bukan elit
untuk menjadi bagian lingkungan elit, sepanjang yang bersangkutan mampu berkompetisi secara
sehat untuk menjadi elit, dan menyesuaikan dengan diri dengan lingkungan yang elit. Adanya
kesempatan yang sama dan kompetisi sehat untuk menjadi elit cenderung membuat pelapisan
masyarakat bersifat pluralis. Elit politik cenderung berorientasi pada kepentingan masyarakat umum
sehingga mereka juga akan responsif atas tuntutan masyarakat. Ketiga, pelawan elit (counter elite).
Tipe ini meliputi para pemimpin yang berorientasi pada khalayak baik dengan cara menentang
segala bentuk kemapanan (established order) maupun dengan cara menentang segala bentuk
perubahan. Ciri-ciri kelompok ini adalah ekstrim, tidak toleran, antiintelektualisme, beridentitas
superioritas rasial tertentu, dan menggunakan 9 Laili Bariroh, Bahan Ajar Teori-Teori Politik,
Unpublished, 42. 27 kekerasan dalam memperjuangkan aspirasinya. Kelompok pelawan elit terdiri
atas dua sayap, yakni sayap kiri (left wing) yang menuntut perubahan radikal dan revolusioner serta
sayap kanan (right wing) yang menentang berbagai perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Namun kedua sayap ini memperlihatkan diri sebagai pembawa suara rakyat dan menuntut agar
rakyat menguasai hukum, lembaga-lembaga, prosedur, dan hak-hak individu. Lebih lanjut Robert D
Putnam mengajukan tiga perspektif terkait dengan elit. Pertama, perspektif struktur atau posisi yang
menganggap bahwa elit adalah mereka yang berkuasa atau menduduki posisi tertinggi dalam
struktur organisasi formal. Perspektif posisi ini cenderung lebih mudah dan umum untuk mengetahui
siapa yang berkuasa. Kedua, perspektif reputasional adalah pandangan yang memperlihatkan
seseorang tidak harus dalam posisi organisasi formal, namun mengetahui atau menyaksikan
mekanisme politik yang sedang berlangsung dari dekat. Ketiga, perspektif keputusan menyatakan
bahwa elit adalah mereka yang memiliki pengaruh dan berhasil mengajukan inisiatif atau menentang
usul-usul keputusan.10 Dari uraian diatas, setidaknya dapat diketahui konsep elit meliputi; Pertama,
kelompok orang yang jumlahnya minoritas. Kedua, elit memiliki kekuasaan politik. Ketiga, elit dapat
melakukan perintah kepada selain mereka dan pada massa yang tak terorganisir. Keempat, elit
dapat mempengaruhi pada setiap perubahan yang meliputi daerah kekuasaannya. 10 Robert D.
Putnam, Studi Perbandingan Politik, dalam Mohtar Mas,oed dan Colin Mac Andrew, Perbandingan
Sistem politik, (Yogyakarta: GAMA Press, 2001), 91-94. 28 Sedangkan elit dalam konteks penelitian
ini menggunakan perspektif keputusan. Karena elit nahdliyin yang menjadi politisi secara otomatis
tidak bisa menduduki jabatan struktur kepengurusan Nahdlatul ulama, sehingga perspektif
keputusan lebih tepat digunakan untuk memperjelas cakupan dalam penelitian ini. Hal ini bisa dilihat
dalam Anggaran Rumah Tangga (ART NU) Bab XVI pasal 51. Adapun kategori yang digunakan untuk
melihat seseorang masuk kategorisasi elit nahdliyin atau tidak dalam penelitian ini; Pertama dia
putra seorang kyai. Kyai merupakan tokoh dan atau pemegang keputusan sentral di dalam Nandlatul
Ulama. Ucapan dari seorang kyai di dalam tubuh NU bisa mewarnai aktivitas yang akan
dilakukannya, bahkan fatwa seorang kyai mampu merubah sikap jajaran yang menduduki posisi
struktural. Sehingga kedudukan kyai bukan hal yang sepele, oleh karena itu ketika kaum nahdliyin
mengikuti fatwa-fatwa dari para kyai bukan hal yang aneh. Sebab kaum nahdliyin merupakan
jama’ah yang berada dibawah Nahdlatul Ulama. Maka ketika seseorang yang menjalani takdir
sebagai putra kyai memiliki pengaruh di lingkungannya yang dijadikan basis politiknya. Kedua,
keberpengaruhan seseorang dalam kategori elit nahdliyin ini, tercermin ketika tokoh tersebut
mencalonkan diri sebagai legislator. Yang ditandai dengan kemampuannya menggalang massa
(konstituen) untuk mengantarkan mereka menduduki kursi parlemen. 29 C. Konsep Partai Politik
Sejarah lahirnya partai politik dimulai pertama-tama di Negara-negara eropa barat. Dengan
meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan fakor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan
dalam proses politik, maka partai politik lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung
antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain. Partai politik umumnya dianggap sebagai
manifestasi dari suatu sistem politik yang sudah modern atau yang sedang dalam proses
memodernisasikan diri. Di Negara-negara yang menganut paham demokrasi gagasan mengenai
partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa-siapa
yang akan menjadi pemimpin yang nantinya menentukan kebijaksanaan umum. Di Negara-negara
totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elit politiknya bahwa rakyat perlu
dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng. Untuk mencapai tujuan itu partai
politik merupakan alat yang baik. Pada awal perkembangannya di Negara-negara barat seperti
inggris dan Perancis, kegiatan politik pada mulanya dipusatkan pada kelompok-kelompok politik
dalam parlemen. Kegiatan ini mula-mula bersifat elitis dan aristokratis, mempertahankan
kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja. Dengan meluasnya hak pilih,
kegiatan politik juga berkembang di luar parleman dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan
yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum. Oleh
karena dirasa peru memperoleh dukungan dari berbagai golongan masyarakat, kelompok- 30
kelompok politik dalam parlemen lambat laun berusaha memperkembangkan organisasi massa dan
dengan demikian terjalinlah suatu hubungan tetap antara kelompok-kelompok politik dalam
parlemen dengan panitia-panitia pemilihan yang sepaham dan sekepentingan. Maka lahirlah partai
politik.11 1. Definisi Partai Politik Partai politik secara umum adalah suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyaoi orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama.
Tujuan dari kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik,
biasanya dilakukan melalui konstitusionil untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.12
Carl J. Friederik mendefinsikan partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara
stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi
pimpinan partainya dan berdasarkan pengusaan ini memberikan kepada anggota partainya
kemanfaatan yang bersifat ideal maupun material.13 2. Fungsi Partai Politik Partai politik di dalam
Negara demokrasi mempunyai fungsi yang strategis, fungsi-fungsi itu ialah; partai sebagai sarana
komunikasi politik, 11 Ibid., 159-160. 12 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1977), 132- 133. 13 Ibid., 161. 31 partai sebagai sarana sosialisasi politik,
partai sebagai sarana rekrutmen politik, partai sebagai sarana pengatur konflik. Partai politik sebagai
sarana komunikasi politik dalah menyalurkan berbagai macam pendapat dan aspirasi masyarakat
dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpang siuran pendapat dalam masyarakat
berkurang.14 Dengan banyaknya pendapat yang diterima oleh partai politik, maka partai
mempunyai tugas yang tidak ringan. Antara lain tugas yang dijalankan oleh suatu partai politik yakni
menyatukan pendapat-pendapat yang masuk, kemudian memformulasikan menjadi program partai.
Partai politik sebagai sarana sosisalisasi politik, dalam hal ini partai politik berfungsi sebagai salah
ssatu sarana sosialisasi politik dalam usaha menguasasi pemerintahan melalui kemengangan dalam
pemilihan umum. Maka dari itu partai politik harus memperoleh dukungan seluas-luasnya.15 Partai
politik sebgai sarana rekrutmen politik, artinya partai politik berfungsi untuk mencari dan mengajak
orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Untuk
mencapai tujuan itu partai politik biasanya menggunakan cara kontak pribadi, persuasi dan
lainlain.16 Partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Dalam praktek politik sering dilihat bahwa
fungsi partai sebagai pengatur konflik dalam 14 Ibid., 163. 15 Ibid., 164. 16 Ibid., 32 melakukannya
kurang maksimal. Misalnya informasi yang disampaikan menimbulkan kegelisahan dan perpecahan,
yang dikejar bukan kepentingan bersama, tetapi partai cenderung lebih mengejar kepentingan
pribadi. Sebagai akibatnya terjadilah pengotakan politik atau konflik tidak terselesaikan, tapi malah
dipertajam.17 Dari beberapa uraian tentang fungsi partai politik diatas. Maka dapat diambil suatu
garis besar, bahwa peran serta partai politik didalam Negara yang mengaut sistem demokrasi
mempunyai peran yang sangat vital. Oleh karena itu, setiap orang yang ada dalam partai politik
tentu tidal bisa asalasalan. Disatu sisi, setiap orang yang berada dalam suatu partai politik harus
mempunyai kapasitas yang mumpuni dalam bidang politik. Disisi lain partai politik juga harus
menerepkan sistem kaderisasi yang sedemikian rupa, agar dapat menghasilkan kader-kader siap
mengemban tugas yang diberikan oleh rakyat. 17 Ibid., 33 D. Konsep Perilaku Memilih Menurut
Ramlan Surbakti terdapat empat faktor yang yang mempengaruhi perilaku seorang aktor politik.
Pertama, faktor lingkungan sosial politik tak langsung. Seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem
budaya, dan media massa.18 Kedua, faktor lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi
dan membentuk kepribadian aktor. Seperti keluarga, agama, sekolah, dan kelompok pergaulan.
Dalam lingkungan sosial politik langsung ini, seorang aktor mengalami sosialisasi dan internalisasi
nilai dan norma masyarakat. Termasuk nilai dan norma kehidupan bernegara dan pengalaman-
pengalaman hidup pada umumnya. Ketiga, faktor stuktur kepribadian yang tercermin dalam sikap
individu. Dalam hal ini terdapat tiga basis fungsional sikap yakni; kepentingan, penyesuaian diri,
eksternalisasi dan pertahanan diri. Basis yang pertama merupakan sikap yang menjadi fungsi
kepentingan, maka penilaian orang terhadap suatu obyek ditentuka oleh minat dan kebutuhan atas
objek tersebut. Basis yang kedua merupakan sikap yang menjadi fungsi penyesuaian diri. Artinya
penilaian terhadap suatu objek dipengaruhi oleh keingian untuk sesuai atau selaras dengan objek
tersebut. Basis ketiga merupakan sikap yang menjadi fungsi eksternalisiasi diri dan pertahan diri.
Artinya penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh keinginan untuk mengatsi konflik
batin atau teanan psikis yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan diri dan eksternalisasi 18
Ibid., 160. 34 diri. Seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi, dan identifikasi dengan aggressor.
Keempat, faktor lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu kedaan yang mempengaruhi
aktor secara langsung ketika hendak melakukan suatu kegiatan. Seperti cuaca, keadaan keluarga,
keadaan ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok dan ancaman dengan segala bentuknya. Di
dalam melihat kecenderungan seseorang menjatuhkan pilihan ke partai politik y atau lebih
cenderung memilih pada partai politik x atau bahkan menjatuhkan sikap poloitik yang tidak berpihak
pada partai politik manapun. Ramlan Surbakti mengajukan lima pendekatan yakni19; pendekatan
Struktural, pendekatan Sosiologis, pendekatan Ekologis, pendekatan psikolois sosial, pendekatan
pilihan rasional. Pendekatan Struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari konteks
struktur sosial yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum,
permasalahan, dan program yang ditonjolkan oleh setiap partai. Struktur sosial yang menjadi
sumber kemajemukan politik dapat berupa kelas sosial atau perebedaan –perbedaan antara majikan
dan pekerja, agama, perebedaan kota dan desa, dan bahasa dan nasionalisme. Pendekatan
sosiologis cenderung menempatkan kegaiatan memilih dalam kaitan dengan kontes sosial.
Karakteristik sosial dan pengelompokan sosial mempunyai pengaruh signifikan dalam perilaku
memilih. Oleh karena itu, 19 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, 1992), 145-146. 35 ketika aktifitas aktor politik menentukan arah politiknya
didasarkan pada latar belakang demografi dan sosial-ekonomi. Seperti jenis kelamin, tempat tinggal
(kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan, dan agama. Pendekatan ekologis akan
relevan apabila, dalam suatu daerah terdapat suatu perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan
unit territorial. Seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Seperti di amerika serikat
misalnya, terdapat distrik, precint, dan ward. Kelompok masyarakat seerti penganut agama tertentu,
buruh, kelas mengnah, mahaiswa, suku tertentu, subkultur tertentu, dan profesi tertentu bertempt
tinggl pada unit territorial sehingga perubahan komposisi penduduk yang tinggal di unit teritrial
dapat dijadikan sebagai penjelasan atas perubahan hasil pemilihan umum. Mengingat pentingnya
pendekatan ekologi ini digunakan, karena seringkali terjadi perbedaan karakteristik data hasil pemilu
tingkat provisi dengan karakteristik data dalam tingkat kabupaten dan atau perbedaan karakteristik
data tingkat kabupaten dengan karakteristik data tingkat kecamatan. Pendekatan psikologi sosial,
pendekatan ini merujuk pada perepsi pemilih tehadap partai-partai yang ada. Atau keteriktan
emosional politisi dengan partai politik tertentu. Artinya partai politik yang secara emosional
dirasakan dekat dengaanya, maka itulah pilihan politiknya. Pendekatan pilihan rasional. Dalam
pendekatan ini semua kegiatan politik didasarkan pada kalkulasi untung dan rugi. Yang dijadikan
pertimbangan oleh politisi bukan hanya “ongkos” ketika sudah menjatuhkan pilihan pada partai 36
politik tertentu, akan tetapi juga mempertimbangkan sampai berapa besar partai politik yang telah
dipilihnya mampu memberikan suara pada dirinya. Hal ini umumnya terjadi ketika seseorang
menginginkan untuk menjadi wakil rakyat (legislatif). Pendekatan pilihan rasional mengasumsikan
pemilih mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik yang diajukan. Kelompok masyarakat
yang dapat menjadi pemilih rasional umumnya tidak begitu mempertimbangkan faktor kesamaan
dalam lingkujgan sosialnya, maupun ilatan emosional dengan partai tertentu.20 E. Konsep Ideologi 1.
Pengertian Ideologi berasal dari bahasa yunani idea yang berarti idea atau gagasan dan logos yang
mempunyai arti studi tentang, ilmu pengetahuan tentang. Dalam arti melioratif, ideologi adalah
setiap sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis,
politis, sosial.21 Karl Manheim menggunakan istilah idea untuk menunjuk kepada seperangkat
kepercayaan, di mana terdapat perebedaan antara motif-motif yang terungkapkan dan mendasari. Ia
membedakan antara ideologi parsial dan total. Yang terdahulu berasal-usul psikologis, sementara
yang belakangan 20 Muhammad Asfar, Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Perilaku Pemilih,
dalam Jurnal Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), 16. 21 Loren Bagus, Kamus
Filasafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), 306. 37 sosial.22 Yang dimaksud dengan
ideologi parsial yakni ideologi lebih menghuni benak dan diterima secara psikologis oleh warga
masayarakat. Sedangkan ideologi total merupakan ciri khas yang menyangkut struktur pikiran pada
abad atau kelompok tertentu, sekaligus ideologi lebih berhimpit pada weltanchaung yang didukung
oleh strukur kolektif masyarakat. Manheim dengan tegas menyatakan bahwa dalam membicarakan
ideologi kita tidak terlepas dari tiga tingkatan dalam berfikir, diantaranya; 1) tingkatan berfikir
ideologi sebagai ideologi atau ideology it self. 2) tingkatan berfikir ideologi sebagai utopia 3)
tingkatan berfikir ideologi sebagai scientific thinking. Ideologi merupakan kata ajaib yang
menciptakan pemikiran dan semangat hidup di antara manusia terutama kaum muda, khususnya
diantara cendekiawan atau intelektual dalam suatu masyarakat.23 Dapat dikatakan bahwa ideologi
merupakan rumusan alam pikiran yang terdapat diberbagai subjek atau kelompok masyarakat yang
dijadikan dasar yang kemudian direalisasikannya. Dengan demikian, ideologi tidak hanya dimiliki
oleh Negara, melainkan bisa dimiliki oleh sebuah organisasi dalam Negara, seperti partai politik atau
asosiasi politiik. Ideologi juga merupakan mythos yang meliputi political doctrin (doktin politik) dan
political formula (formula politik).24 22 Ibid., 23 Ali Syariati dalam Firdaus Syam, Pemikiran Politik
Barat; sejarah, filasafat, ideologi, dan pengaruhnya terhadap dunia ke-3, cet, 2, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara,2010), 238. 24 Ibid., 238. 38 Gramsci membawa pengertian ideologi ke dalam dua bagian.
Pertama, ideologi yang bersifat arbiter dan ideologi yang bersifat organis. Yang dimaksud ideologi
yang bersifat arbiter adalah dimungkinkan adanya kesadaran palsu, sedangkan ideologi yang bersifat
organis tidak dimungkinkan akan terjadi kesadaran palsu. Lanjutnya, ideologi organis merupakan
suatu konsepsi tentang dunia yang dimanifestasikan dalam kesenian, hukum, kegiatan ekonomi.25
Menurut Ali Syari’ati seorang yang menganut ideologi tertentu, haruslah membela dan meyakini apa
yang tersirat didalamnya. Karena ideologi terdiri dari keyakinan, cita-cita yang diyakini oleh orang
perorangan maupun secara kolektif. Baik dalam tataran kelas sosial maupun suatu bangsa dalam
Negara.26 2. Ideologi politik Roger Eatwell mendefinisikan ideologi politik sebagai berikut; “A
political ideology is a relatively coherent set of empirical and normative beliefs of thought, focusing
on the problem of human nature, the process of history, and socio-political arrangement. It is usually
related to a program of specific short run concern. Depending on its relationship to the dominant
value structure, an ideology can act as either a stabilizing or radical force. Single thinkers may
embody the core of an ideology, but to call a single person n ‘ideologist’, or ‘ideologue’, would
normally be seen as pejorative. The term of ‘political philosopher’ or ‘political theorist’, therefore,
seems more appropriate for a thinker capable of developing a sophisticated level of debate. Political
ideologies 25 Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Ditetjemahkan Oleh Kamdani dan
Imam Baehaqi (Yogyakarta: Insist Press bersama Pustaka Pelajar, 1999) 83-85. 26 Ali Syari’ati, Tugas
Cedekiawan Muslim, diterjemakan oleh Amien Rais, (Jakarta: Lentera, 1996), 156-157. 39 are
essentially the product of collective thought. They are ‘ideal types’, not to be confused with specific
movement, parties or regimes which may bear their name.27 Ideologi politik merupakan suatu
kesatuan yang padu atas kepercayaan berfikir berdasarkan norma dan secara empiris, berpusat pada
permasalahan kebutuhan manusia, proses sejarah, dan adanya pengaturan sosial-politik. Hal itu
pada umumnya dihubungkan dengan suatu program secara spesifik yang bertumpu pada jangka
pendek. Tergantung pada hubungan antara struktur nilai yang dominan, suatu ideologi dapat
bertindak sebagaimana suatu kestabilan atau kekuatan radikal. Pemikir tunggal bisa menjadi suatu
inti dari suatu ideologi, tetapi untuk orang tunggal penganut ideologi atau ideolog, akan secara
normal dilihat lebih tidak berkekuatan. Istilah ahli filsafat politik atau ahli teori politik, oleh karena
itu, nampak lebih sesuai dengan suatu pemikiran yang dianggap mampu mengembangkan suatu
tingkatan perdebatan yang dianggap mutakhir. Ideologi politik merupakan produk pikiran kolektif
yang utama. Mereka adalah 'jenis ideal', tidak bisa dikacaukan atas pergerakan tertentu, partai-
partai atau rezim yang mana mampu melahirkan nama mereka) 27 Eatwell, Roger and Anthony
Wright (Editor.), Contemporary Political Ideologies. (London and New York: Pinter, 1999) 17. 40 Dari
definisi diatas tergambar bahwa ideologi politik dalam sebuah organ-organ politik akan dijadikan
sebagai patokan dalam setiap perilakunya. Baik dalam lingkup internal organisasi maupun yang
berhubungan dengan khalayak umum. Ideologi politik yang berhubungan dengan khalayak umum
dalam ilmu sosial dikenal dengan dua sebutan yaitu ideologi struktural dan ideologi fungsional.
Ideologi secara struktural diartikan sebagai sistem pembenaran, seperti gagasan dan formula politik
atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa. Sedangkan ideologi secara
fungsional digolongkan menjadi dua, yakni ideologi yang doktriner dan ideologi yang pragmatis.
Suatu ideologi dikatakan doktriner apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi itu
dirumuskan secara sistematis dan terinci dengan jelas. Diindoktrinasikan kepada warga masayarakat,
dan pelaksanannya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah, akan tetapi,
apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi tersebut tidak dirumuskan secara sistematis
dan terinci, melainkan dirumuskan secara umum (prinsipprinsipnya saja). Dalam hal ini ideologi tidak
diindoktrinasikan, tetapi disosialisasikan secara fungsioanal melalui kehidupan keluarga, sistem
pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan agama dan sistem politik.28 Lebih lanjut Ramlan Surbakti,
menyebutkan ideologi sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama, biasanya
dirumuskan dalam bentuk tujuan yang hendak dicapai dan cara-cara yang digunakan untuk 28
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia, 1992), 32-33. 41 mencapai tujuan.
Ideologi dapat pula dirumuskan sebagai suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan
mendalam tentang tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh suatu masyarakat, dan mengenai cara-
cara yang paling baik dianggap baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dan cara itu secara moral
dianggap paling baik dan adil bagi penghayatnya untuk mengatur perilaku sosial warga mayarakat
dalam berbagai segi kehidupan di dunia ini.29 Dari dua rumusan itu dapat disimpukan ada dua fungsi
ideologi dalam masyarakat. Pertama, menjadi tujuan dan cita-cita yang hendak dicapai bersama oleh
suatu masyarakat. Dengan demikian, ideologi menjadi pedoman dalam membuat keputusan politik
dan menjadi patokan (alat ukur) untuk menilai keberhasilan pelaksanaan keputusan politik. Kedua,
sebagai pemersatu masyarakat, dan karenanya menjadi prosedur penyelesaian konflik yang terjadi
dalam masyarakat.30 3. Ideologi Partai Politik di Indonesia Melihat ideologi partai politik Indonesia
tidak bisa dilepaskan dari percaturan politik bangsa ini yang berkembang di awal adad ke-20.
Pergerakan dunia politik saat itu menghasilkan berbagai varian gerakan. Pengelompokan varian
gerakan itu didasarkan pada garis agama, nasioanalisme, kesukuan dan ideologi.31 29 Ibid., 48. 30
Ibid., 31 Parakitri T. Simbolan, Menjadi Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Tama, 2006), dalam
laporan penelitian Muhadi Sugiono dan Wawan Mas’udi, Peta Ideologi Partai Politik Peserta Pemilu
2009, edisi digital (Yogyakarta, 2008), 5. 42 Pemetaan ideologi partai politik di Indonesia pertama
kali dilakukan oleh Herbert Feith dan Lance Castle, yang kemudian dituliskan dengan judul Indonesial
Political Thinking 1945-1965. Dalam karya tersebut digambarkan kekuatan dan aliran politik utama
Indonesia terdiri dari; Komunisne, Nasionalisme, Radikal, Sosialisme Demokratis, Islam, dan
Tradisionalisme Jawa.32 Selain kategori tesebut juga masih ada aliran politik lainnya seperti katolik
dan kekuatan daerah. Selanjutnya menurut Muhadi, kategorisasi tersebut hanya bisa
menggambarkan kluster sosial-politik masyarakat Indonesia dan transformasinya dalam organisasi
politik. Namun studi tersebut tidak memberikan gambaran konkret karakter ideologis, apalagi
instrumentasi ideologis partai dalam kebijakan. Pemetaan yang dilakukan Feith, hanya bisa
menjangkau basis massa bagi partai politik, namun gagal menjangkau basis dan karakter ideologis
parpol.33 Di lain pihak, Komaruddin Hidayat dan M. Yudhie Haryono. Memberikan pandangan
pemilahan ideologi partai politik ke dalam enam kelompok, yakni; Islam Tradisional, Islam Modern,
Nasionalis, Sosial Demokrat, Marhaenisme, dan Kristen. Pemilhan ideologi tersebut berdasarkan
yang dipaparkan dalam visi, misi, serta platform partai politiknya. Walaupun demikian apa yang
dikemukakan dalam platform partai tidak selamanya merupakan cerminan dan ideologi partai
politik. Banyak partai politik yang tidak selaras antara asas partai dengan realitas pemilih dan 32
David Bourchier dan Vedi R. Hadiz, Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia; periode 1965-1999,
(Jakarta: Freedom Institute, 2006), dalam laporan penelitian Muhadi Sugiono dan Wawan Mas’udi,
Peta Ideologi Partai Politik Peserta Pemilu 2009, edisi digital (Yogyakarta, 2008), 5. 33 Ibid., 43
platform serta program-program partai. Lebih jauh, tingkah laku elit politik, kadang tidak
mencerminkan ideologi dari partai yang diusungnya. 34 Tabel Peta Ideologi 24 Partai Peserta Pemilu
2004 (Versi Komarudin Hidayat dan Yudhie Haryono) No. Ideologi Partai Politik 01. Islam Tradisonalis
Partai Bintang Reformasi, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah
Indonesia, Partai Kebangkitan Bangsa. 02. Islam Modern Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan
Sejahtera, Partai Bulan Bintang. 03. Nasionalis Partai Golkar, Partai Penegak Demokrasi Indonesia,
Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Patriot Pancasila, Partai
Demokrat, Partai Persatuan Daerah, Partai Merdeka. 04. Sosial Demokrat Partai Indonesia Baru,
Partai Buruh Sosial Demokrat, Partai Sarikat Indonesia, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan. 05.
Marhaenisme PDI-P, PNBK, Partai Pelopor, PNI Marhaenisme. 06. Kristen Partai Damai Sejahtera.
Sumber: Komaruddin Hidayat dan M. Yudhie Haryono (2004). Sementara Riswanda Imawan,
menggambarkan pemilahan ideologi dengan lebih utuh. Karena tidak hanya didasarkan pada garis
agama, melainkan ditambahkan sisi lain yakni developmentalisme yang merupakan bagaian dari
ideologi kapitalis. Dengan doktrinnya yang lazim mengedepankan pembangunan ekonomi. Berikut
ini partai-partai yang menurut Riswanda, mempunyai kecenderungan ke arah developmentalisme;
PPP, PKB, PBB, PDKB, PK, dan Partai Krisna. Di sisi lain, partai nasionalis 34 Asep Nurjaman, Peta Baru
Ideologi Partai Politik Indonesia, Jurnal UMM, 140 44 yang cenderung kearah developmentalis
adalah partai Golkar. Partai Sektarian yang cenderung ke arah kelas adalah PAN, dan Partai
Nasionalis yang cenderung ke arah kelas adalah PDIP dan PRD. 35 35 Riswanda Imawan, dalam Asep
Nurjaman.140

teori fenomenologi ( Alfred Schutz )


Oktober 31, 2013 — bim
 
 
 
 
 
 
6 Votes

fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak

Definisi

Fenomenologi tersusun dari kata “phenomenon” yang berarti realitas yang tampak, dan “logos” yang berarti
ilmu.
Fenomenologi ialah ilmu pengetahuan tentang apa yang Nampak

Sejarah
Istilah “Fenomenologi” pertama kali digunakan oleh J. H. Lambert (1728 – 1777). Kemudian istilah itu juga
digunakan oleh Immanuel Kant, Hegel serta sejumlah filosof lain. Namun semuanya mengartikan istilah
fenomenologi secara berbeda. Baru Edmund Gustay Aibercht Husserl biasa di sebut Edmund Husserl adalah
seorang filsuf Jerman yang memakai istilah fenomenologi secara khusus dengan menunjukkan metode berpikir
secara tepat.

Menurut Husserl, fenomena adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang
memisahkan subyek dengan realitas, karena realitas itu sendiri yang tampak bagi subyek. Dengan pandangan
seperti ini, Husserl mencoba mengadakan semacam revolusi dalam filsafat Barat. Hal demikian dikarenakan
sejak Descartes, kesadaran selalu dipahami sebagai kesadaran tertutup (cogito tertutup), artinya kesadaran
mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan itu dapat mengenal realitas. Sebaliknya Husserl berpendapat
bahwa kesadaran terarah pada realitas, dimana kesadaran bersifat “intensional”, yakni realitas yang
menampakkan diri.

Ahli teori sosiologi-fenomenologi yang paling menonjol adalah Alfred Schutz, seorang murid Husserl yang
berimigrasi ke Amerika Serikat setelah munculnya fascism di Eropa, melanjutkan karirnya sebagai bankir dan
guru penggal-waktu (part-time). Dia muncul di bawah pengaruh filsafat pragmatis dan interaksionisme-simbol;
barngkali cara terbaik untuk mendekati karyanya adalah melihatnya sebagai bentuk interaksionisme yang lebih
sistematik dan tajam. Akan tetapi, dalam karya klasiknya yang berjudul The Phenomenology of the Social
World, bagaimanapun, dia tertarik dengan penggabungan pandangan fenomenologi dengan sosiologi melalui
suatu kritik sosiologi terhadap karya Weber.

Penjelasan

Tokoh – tokoh

 Edmund Husserl

 Alfred Schutz

 Peter L. Berger

Contoh Teori Fenomenologi

Saat ini sepasang pemuda-pemudi tidak lagi mempunyai rasa malu dalam hal berpacaran. Banyak di jumpai
misalkan di taman, mereka tidak malu bermesraan atau bahkan beradegan hal yang tidak senonoh seperti
ciuman di tempat umum. Hal itu merupakan suatu fenomena atau suatu realitas yang nampak pada saat ini
dan menjadi suatu yang tidak di anggap tabu lagi.

referensi :

1. http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2013/01/21/percakapan-dengan-fenonemologi/
2. http://yosepriwm.blogspot.com/2013/05/pemikiran-fenomenologi-menurut-
edmund_9736.html#.UnHo-SIW0Zs
3. http://didanel.wordpress.com/2011/06/22/teori-fenomenologi-dan-etnometodologi/
Kamis, 18 November 2010

Alfred Schutz: Fenomenologi dan Metodologi Untuk Penelitian


Perilaku Informasi

PENDAHULUAN: Fenomenologi

Fenomenologi, merupakan cabang dari filsafat, karena asal-usulnya dari karya Husserl dan kemudian penulis
[misalnya, Heidegger, Sartre, Merleau-Ponty, yang mengambil ide menjadi eksistensialisme]. Tujuan dari
fenomenologi, seperti yang dikemukakan oleh Husserl, adalah untuk mempelajari fenomena manusia tanpa
mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan tentang penyebab mereka, realitas objektif mereka, atau
bahkan penampilan mereka. Tujuannya adalah untuk mempelajari bagaimana fenomena manusia yang
berpengalaman dalam kesadaran, dalam tindakan kognitif dan persepsi, serta bagaimana mereka dapat dinilai
atau dihargai estetis. Fenomenologi berusaha untuk memahami bagaimana orang membangun makna dan
konsep kunci intersubjektivitas. Pengalaman kami di dunia, setelah yang pikiran kita tentang dunia didasarkan,
adalah intersubjektif karena kita mengalami dunia dengan dan melalui orang lain. Apapun artinya kita
menciptakan berakar pada tindakan manusia, dan totalitas artefak sosial dan benda-benda budaya didasarkan
pada aktivitas manusia.

Tidak mengherankan, fenomenologi itu menarik untuk peneliti psikologis pada awal abad ke-20 dan psikologi
fenomenologis (alternatif disebut psikologi eksistensial atau psikologi fenomenologi eksistensial) ada sebagai
sub-disiplin berkembang psikologi (Frankl, Mei, Perl), dimana penekanan adalah pada pemahaman pengalaman
seseorang dari sebuah situasi yang bermasalah. 'Orang-orang tersebut menceritakan kisah mereka sendiri,
dalam hal mereka sendiri. Jadi "kesetiaan terhadap fenomena seperti yang hidup" berarti menangkap dan
memahami dalam konteks hidup dari orang yang hidup melalui situasi.

Alfred Schutz dan sosiologi fenomenologi

Alfred Schutz lahir di Wina tahun 1899 dan meninggal di New York pada 1959, dan luar biasa dalam kenyataan
bahwa ia mengejar karir di bidang perbankan [3] pada saat yang sama seperti mengejar kepentingan di filsafat
fenomenologis dan penciptaan secara fenomenologis untuk ilmu sosial - dijalankan melalui bekerja paruh waktu
di Sekolah Baru untuk Penelitian Sosial di New York. Hal ini, mungkin, ini kontak langsung dengan dunia kerja di
luar akademi dan dengan kekhawatiran sehari-hari mencari nafkah, bersama dengan kemampuan mengamati
kehidupan biasa orang-orang dengan siapa ia datang ke dalam kontak, yang membuat beberapa esainya
sehingga mudah dibaca dan ide-ide yang dapat dijangkau.

Meskipun Schutz tidak pernah seorang mahasiswa Husserl (ia belajar hukum di Universitas Wina, kembali dari
dinas militer di Italia selama Perang Dunia Pertama), ia, bersama dengan seorang rekan, Felix Kaufman,
mempelajari karya Husserl intensif dalam mencari dasar untuk 'sosiologi pemahaman' yang berasal dari karya
Max Weber [4]. Ini kerja dan kelanjutan yang dihasilkan dalam buku pertamanya, sinnhafte Der Aufbau der Welt
sozialen [5] (harfiah, 'Pembangunan yang berarti dari dunia sosial', namun diterbitkan dalam bahasa Inggris
sebagai 'fenomenologi dunia sosial' [6]) . Karya ini membawanya ke perhatian Husserl, dengan siapa ia berkirim
surat dan siapa dia berkunjung sampai kematian Husserl pada tahun 1938. Bahkan, ia ditawari posisi asisten
Husserl di Freiburg University di awal 1930-an, tapi ditolak.

Schutz'S Metodologi 

Posisi metodologis Schutz adalah diatur dalam tiga esai dalam Volume 1 dari Dikumpulkan karya-karyanya. Titik
awal adalah bahwa penelitian sosial berbeda dari penelitian dalam ilmu fisika berdasarkan fakta bahwa, dalam
ilmu-ilmu sosial, seseorang berhadapan dengan 'obyek penelitian' yang menafsirkan sendiri dunia sosial yang
kita, sebagai ilmuwan, juga ingin menafsirkan. Orang-orang terlibat dalam suatu proses terus-menerus untuk
memahami dunia, dalam interaksi dengan sesama mereka dan kami, sebagai ilmuwan, yang berusaha
memahami mereka rasa keputusan. Dalam melakukannya, kita pasti harus menggunakan metode yang sama
penafsiran seperti halnya orang dalam 'akal sehat dunia nya. Apa yang membedakan perusahaan ilmiah sosial,
bagaimanapun, adalah bahwa ilmuwan sosial mengasumsikan posisi pengamat tertarik. Dia tidak terlibat dalam
kehidupan yang diamati - kegiatan mereka bukan kepentingan praktis, tetapi hanya kepentingan kognitif.

Dengan kata Schutz, orang biasa, yang bertindak di dunia, adalah dalam situasi yang ditentukan, melakukan apa
yang dia lakukan sesuai dengan sistem relevansi yang memungkinkan mereka untuk memilih dari lingkungan
dan dari interaksi dengan orang lain, elemen-elemen yang membuat akal bagi tujuan di tangan. Ilmuwan sosial,
di sisi lain, ini beroperasi di dasar ilmiah yang ditentukan dari relevances, memilih aspek-aspek situasi yang
sesuai untuk tujuan penelitian. Akibatnya, para ilmuwan sosial dapat fokus pada aspek perilaku yang diambil-
untuk-yang diberikan oleh orang biasa, namun yang topik yang menarik kognitif untuk ilmuwan sosial.

Dalam berperilaku dengan cara ini, peneliti mengembangkan model tindakan manusia, umumnya dalil-dalil yang,
1. Dalil konsistensi logis, dimana validitas tujuan ilmuwan konstruksi dijamin dan dibedakan dari konstruksi
kehidupan sehari-hari;
2. Dalil interpretasi subjektif, dimana ilmuwan dapat merujuk '... segala macam tindakan manusia atau hasil
mereka dengan arti subjektif tindakan tersebut atau hasil dari suatu tindakan telah bagi aktor ". 
4. Dalil kecukupan: yaitu, konstruksi yang diciptakan oleh peneliti harus dimengerti oleh aktor sosial individu
dan / nya sesamanya. Kepatuhan dengan postulat ini memastikan bahwa konstruksi ilmiah konsisten dengan
konstruksi pengalaman yang masuk akal dari dunia sosial.

Model tindakan manusia diciptakan melalui proses pencirian, konsep yang ditemukan di kedua Weber dan
Husserl, dan diterima oleh Schutz dari keduanya. Dia pertama kali bertemu ide dalam konsep Weber tentang
'tipe ideal', dan kemudian di wawasan Husserl yang typification merupakan proses kunci dalam pembuatan
pengertian kita tentang dunia.Pembedaan akal sehat kami digunakan terus menerus dan mungkin dalam
pembangunan berkelanjutan, sedangkan pembedaan ilmiah - tipe sosial (yaitu, jenis aktor, jenis tindakan, jenis
kepribadian sosial) dalam hal Schutz, melayani tujuan yang sama, tetapi dalam struktur relevansi dan tujuan
penelitian ilmuwan sosial. Mereka menyediakan cara untuk mengidentifikasi, mengklasifikasi dan
membandingkan mode aksi sosial dan interaksi, dengan menggunakan kriteria yang ditetapkan untuk tugas
fenomena untuk mengetik.

Contoh :Warga yang Memiliki Informasi yang baik

Salah satu esai Shutz's mencontohkan gagasan tentang jenis, dan menyajikan kita dengan kesempatan untuk
mempertimbangkan nilai dari ide untuk ilmu informasi. 'The Citizen Yah-informasi', sebenarnya merupakan
sumbangan kepada sosiologi pengetahuan, sebagai sub-berjudul menunjukkan - 'esai pada distribusi sosial
pengetahuan'. Namun, Schutz mengambil masalah dengan sosiologi Marxis pengetahuan seperti yang
diungkapkan oleh Mannheim, yang merupakan pengetahuan sebagai produk dari kondisi sosial material. Schutz,
di sisi lain, menunjukkan pengetahuan yang berasal dari pengalaman praktis masyarakat dunia.

Dia melakukan ini dengan membangun tipe ideal 'pria di jalan', 'warga negara yang bertujuan untuk menjadi baik
informasi', dan 'ahli'. Pengetahuan sosial didistribusikan menurut jenis dan dengan apa yang diambil untuk
diberikan oleh masing-masing, dan menurut apa sistem relevansi. Jadi, 'orang di jalan' yang beroperasi sesuai
dengan (atau dia) mengatur tentang relevansi naif, yang 'resep pengetahuan' adalah cukup. Saya, sebagai
tukang roti, hanya perlu resep untuk pembuatan roti untuk mencapai sebuah roti bisa dimakan roti - Saya tidak
perlu mengetahui kimia ragi atau aspek ilmiah lainnya pembuatan roti. Aspek-aspek yang tidak relevan dengan
tujuan langsung saya. Dalam esai lain, Schutz 'Orang asing' mencatat bahwa:

'... Pengetahuan dari orang yang bertindak dan berpikir dalam dunia kehidupan sehari-hari tidak homogen,
melainkan (1) tidak koheren, (2) hanya sebagian yang jelas, dan (3) tidak sama sekali bebas dari kontradiksi." 

Kita mungkin menyimpulkan bahwa ini juga berlaku untuk dua jenis lainnya yang ideal.

Aku, waktu pemilihan semakin dekat, akan berusaha untuk membuat diriku baik secara informasi mengenai
pilihan sebelum saya yang relevan kepada saya baik sebagai warga negara, dengan tanggung jawab sipil, dan
sebagai pribadi swasta, dengan kebutuhan bahwa partai politik dapat meminta ke alamat berbeda. Fakta bahwa
saya mengambil keputusan ini pada saat ini menunjukkan bahwa 'zona relevansi' untuk saya mencari informasi
kegiatan 'warga baik informasi' seperti tidak konstan, tapi akan bervariasi sesuai dengan minat saya.

Saya, sebagai seorang ahli (untuk beberapa derajat setidaknya) di daerah ini sub-kecil dari ilmu informasi (atau
sosiologi, jika kita ingin mendefinisikan seperti itu) mencari pengetahuan fundamental yang akan mengarah pada
pemahaman tentang perilaku. Schutz menambahkan bahwa sistem relevances sesuai dengan yang saya
bekerja sebagai 'ahli' dikenakan oleh masalah pra-mapan lapangan, dan keberadaan dari rangkaian konferensi
kolaboratif mencontohkan keinginan kita untuk membangun masalah relevansi dan kewajaran metode.

Jelas, kebanyakan orang, dan mungkin semua orang, contoh jenis-jenis yang berbeda pada waktu yang berbeda
dan dalam situasi yang berbeda.

Schutz juga meneliti bagaimana pengetahuan sosial yang diturunkan berasal dan, sekali lagi, menggunakan tipe
ideal untuk menjelajahi fenomena ini. Selain dari diri kita sendiri, sebagai (untuk pikiran kita) tokoh sentral dalam
interaksi sosial, ia menyarankan bahwa sumber pengetahuan sosial-yang diperoleh dapat dilihat sebagai empat
tipe ideal:

1. saksi mata, yaitu, seseorang yang melaporkan kepada saya sesuatu yang ia telah mengamati di dunia dalam
orang itu mencapai;
2. orang dalam: seseorang yang, karena hubungannya dengan kelompok yang lebih langsung dari saya sendiri,
mampu melaporkan suatu peristiwa, atau pendapat orang lain, dengan otoritas berbagi sistem yang sama
kepentingannya sebagai anggota lain dari kelompok. Saya menerima informasi orang dalam sebagai 'benar' atau
sah, setidaknya sebagian, karena pengetahuan dalam tentang konteks situasi yang lebih dalam dari saya
sendiri;
3. analis: seseorang yang berbagi sistem saya relevances, yang telah mengumpulkan informasi dan terorganisir
bahwa informasi sesuai dengan sistem relevansi, dan
4. komentator: seseorang yang tidak berbagi sistem saya relevances, tetapi yang telah mengumpulkan informasi
dalam cara yang sama seperti analis dan telah disajikan bahwa informasi sedemikian rupa sehingga saya dapat
membentuk 'pengetahuan yang cukup jelas dan tepat dari sistem yang menyimpang yang mendasari dari
relevansi.

Sekali lagi, masing-masing dari kita mungkin, pada waktu yang berbeda dan dalam situasi yang berbeda,
mengambil peran yang sesuai dengan jenis ideal.

Esai pada 'warga baik secara informasi' menunjukkan, saya pikir, kekuatan tipe ideal dan, dalam hal ini, poin
langsung ke nilai yang dapat diperoleh ketika berpikir tentang penelitian perilaku informasi. Schutz menunjukkan
bahwa tipe ideal berasal untuk tujuan penelitian di tangan dan bahwa jenis mungkin tidak sesuai untuk tujuan
penelitian yang berbeda. Namun, jenis, berasal karena mereka adalah untuk tujuan memberi penjelasan
distribusi sosial pengetahuan, tampaknya saya untuk menjadi alat yang sangat ampuh untuk menjelajahi
informasi perilaku mencari. Sejumlah pertanyaan penelitian tampaknya mengikuti Schutz alami dari apa yang
dikatakan, misalnya:
* Bagaimana 'pria di jalan' menemukan pengetahuan resep nya? Apa saluran komunikasi yang dia gunakan?
* Hari ini, bagaimana keberadaan sumber informasi di Internet mempengaruhi cara orang di jalan berpikir untuk
menemukan pengetahuan resep?
* Apa yang khas tidak menggunakan orang di jalan menemukan pengetahuan resep?
* Apa saja batas-batas, dalam hal perilaku mencari informasi, antara perwakilan dari tiga tipe yang ideal?
* Bagaimana 'pria di jalan' menanggapi informasi yang diberikan oleh saksi mata, orang dalam, analis dan
komentator itu? Informasi apa yang dianggap sebagai yang paling 'relevan' atau dapat diandalkan, dan
mengapa?
* Dengan asumsi bahwa catatan ilmiah terdiri dari informasi yang diberikan oleh 'analis', dalam keadaan apa
mungkin sarjana mencari informasi dari 'saksi mata', 'orang dalam', atau 'komentator'?

Jelas, pertanyaan lebih mirip dan banyak yang bisa diminta dalam kaitannya dengan jenis ideal, tetapi kita harus
mengakui bahwa untuk menggunakan tipe ideal dengan cara ini tidak benar-benar penelitian fenomenologis: di
sini kita menggunakan konsep-konsep yang berasal dari analisis fenomenologis untuk berkembang pertanyaan
penelitian panduan mode lainnya penelitian.

Penelitian sebelumnya di bidang ini telah memimpin, tentu saja, untuk jenis lain dari tipe ideal, meskipun mereka
tidak selalu digambarkan sebagai tersebut dan kekayaan konotasi sosiologis (dalam hal, misalnya, dari sistem
relevances) biasanya diabaikan. Sebagai contoh, Palmer mengidentifikasi tipe ideal ilmuwan ahli sebagai pencari
informasi (istilah menggunakan seperti kolektor Hunters dan Yakin dalam studinya perilaku di Rothamsted
Experimental Research Station. Ini adalah tipe ideal eksplisit, tetapi pencari dibangun digambarkan oleh Ellis
karakteristik pencarian, atau dengan Kuhlthau's bertahap, atau dengan proses Wilson pemecahan masalah, juga
merupakan tipe ideal (Schutz mengacu pada jenis konstruksi 'boneka' sebagai diciptakan oleh ilmuwan sosial.
Fakta ini juga umumnya diabaikan Namun,. ketika kita mendalilkan suatu tipe ideal berdasarkan karakteristik
Ellis, misalnya, memberikan kita kesempatan untuk mengajukan pertanyaan penelitian lebih lanjut. Kita dapat
bertanya tentang keadaan dimana karakteristik ini hadir. , dan ketika tidak, dan, karena mereka berasal dari
perilaku 'ahli', kita juga bisa menikah tipe ideal dan bertanya apakah dan bagaimana karakteristik berbeda untuk
'pria di jalan' dan 'warga baik informasi' itu.

Dengan konsep Schutz setiap tipe ideal dikaitkan dengan 'sistem relevansi' berbeda, kita juga bisa mengajukan
pertanyaan tentang sifat sistem-sistem di masing-masing tipe ideal, atau memang, tentang tipe ideal kita dapat
membangun diri kita sendiri, jika konsep 'sistem relevances adalah yang relevan dengan penelitian kami.

DARI METODOLOGI KE METODE

Ada kebingungan derajat hubungan antara metodologi konsep dan metode, kita menemukan, sering, misalnya,
bahwa orang menulis 'metodologi' tentang kapan semua yang mereka lakukan adalah menjelaskan pilihan
metode untuk studi, atau hanya menjelaskan Metode yang dipilih. Metodologi, bagaimanapun, adalah sebelum
metode dan lebih mendasar, ia menyediakan dasar filosofis untuk metode. Untuk menyatakan posisi metodologis
seseorang adalah untuk menggambarkan pandangan seseorang tentang sifat realitas: untuk positivis, posisi
metodologis adalah bahwa fakta-fakta dunia mewakili benda-benda nyata, sedangkan untuk fenomenolog, dunia
(atau setidaknya dunia / dia memilih untuk mengeksplorasi) adalah salah satu arti intersubjectively dibangun.
Dalam fenomenologi, dengan penekanan pada pemahaman pengalaman seseorang tentang dunia dan / nya
situasinya, metode penelitian adalah metode filsafat. Metode tersebut meliputi, misalnya, analisis konseptual,
analisis linguistik, metode hermeneutis dan praksis; metode historis-kritis; filosofi sastra, dan logika formal.
Metode ini juga mendasari beberapa aspek pendekatan kualitatif dalam ilmu informasi - analisis konseptual
adalah di dasar semua 'coding kegiatan di semua metode untuk menganalisis data kualitatif, dan Kornelius telah
menyarankan pendekatan hermeneutik ke seluruh ilmu informasi.

Dalam psikologi fenomenologis kita menemukan jenis-jenis metode penelitian yang sama seperti dalam
fenomenologi sebagai suatu disiplin filsafat. Penekanannya adalah pada pemahaman pengalaman seseorang
tentang dunia dan situasi mereka dan, karena itu, rekening narasi, dan wawancara kualitatif secara teratur
digunakan metode penelitian. Modus analisis akan bervariasi, tentu saja, menurut perspektif teoritis peneliti,
atau, mungkin lebih sesuai dengan kerangka fenomenologis, menurut perspektif teoretis yang timbul dari data.
Dalam penelitian psikologis, misalnya, orang dapat menemukan, melalui wawancara ekstensif dengan orang
yang menderita masalah didiagnosis sama, bahwa beberapa mengalami masalah sebagai sesuatu dengan yang
mereka harus berhadapan dalam rangka menanggulangi dengan seluruh pengalaman mereka, sedangkan orang
lain menemukan bahwa struktur hidup mereka ditentukan oleh masalah - kehidupan yang dialami melalui
masalah. 'Kehidupan normal' Dengan kata lain, konsep struktur, coping,, 'masalah hidup' dan, mungkin muncul
dari analisis.

Hal ini menunjukkan bahwa metode adalah manusia yang mampu digunakan di bawah pengandaian
metodologis yang berbeda, dan ini akan benar. Kuesioner dapat digunakan untuk memperoleh hal yang berbeda
dan kita dapat menggunakan data yang diperoleh untuk memenuhi tujuan penelitian kita apakah kita
mengadopsi positivis atau sikap fenomenologis. Di tempat lain, aku telah menetapkan sebuah tipologi dari
metode penelitian [19] yang menolak pembagian biasa menjadi metode kualitatif dan kuantitatif, karena saya
menganggap divisi ini sebagai membingungkan. Sebagai contoh, wawancara 'kualitatif dapat dianalisa untuk
mengidentifikasi konsep-konsep yang mendasari dan terjadinya konsep-konsep ini dalam suksesi wawancara
bisa dihitung dan terkait dengan, misalnya, karakteristik demografi responden, menggunakan SPSS untuk
analisis. Atlas.ti, paket analisis kualitatif sebenarnya menyediakan cara untuk mengkonversi analisis seseorang
untuk input SPSS. Apakah wawancara kualitatif kemudian kualitatif atau metode kuantitatif?

Tipologi alternatif saya menunjukkan bahwa observasi adalah metode pengumpulan data dasar, dan bahwa hal
ini dapat dibagi menjadi pengamatan langsung oleh peneliti dan 'tidak langsung' observasi, dimana peneliti
mengumpulkan pengamatan diri dari responden. Salah satu dari mode ini mungkin memiliki struktur yang
dikenakan pada pengumpulan data oleh peneliti, atau s / dia mungkin mengizinkan struktur untuk 'muncul' dalam
proses analisis. Ini hasil klasifikasi dalam representasi metode yang ditunjukkan pada Gambar 1.
metode?
Setelah menyarankan bahwa metode penelitian dapat diklasifikasikan dengan cara ini, masih ada pertanyaan,
"Apa metode yang tepat untuk penelitian fenomenologis.", Dan di sini kita harus kembali ke isu metodologi
mendasar. Fenomenologi menuntut bahwa kita berusaha untuk menemukan dunia seperti yang dialami oleh
mereka yang terlibat di dalamnya. Ini adalah tentang sifat pengalaman manusia dan makna bahwa orang
melampirkan pengalaman mereka. Dalam mencoba untuk sampai pada pemahaman semacam ini, peneliti
diminta 'braket', atau menangguhkan kepercayaan fenomena dunia luar, untuk menempatkan mereka ke
samping dan fokus pada kesadaran dari dunia itu.

Peserta dalam perilaku bunga mengalami. Jelas, kemudian, hal ini menunjukkan bahwa mode penelitian saya
telah diberi label sebagai melibatkan 'struktur muncul' yang paling mungkin untuk digunakan dalam penyelidikan
fenomenologis. Secara khusus, observasi dan wawancara kualitatif banyak digunakan, seperti analisis
dokumenter, meskipun belakangan ini sering berjalan di bawah judul hermeneutika, yang berkaitan erat dengan
fenomenologi. Dengan kata lain, 'metode kualitatif' label, yang tipologi saya dimaksudkan untuk menghindari,
dapat diterapkan. Bahkan sebuah buku terkenal, Pendahuluan Bogdan dan Taylor untuk metode penelitian
kualitatif memiliki subjudul, pendekatan fenomenologis terhadap ilmu-ilmu sosial.

KESIMPULAN

Fenomenologi mungkin adalah gerakan filosofis paling penting dari abad kedua puluh, sejauh ilmu-ilmu sosial
yang bersangkutan. gagasan Husserl, diubah dan dikembangkan, telah memberitahu penelitian di bidang
sosiologi, psikologi, psikologi sosial, pendidikan, ilmu kesehatan, dan bidang lainnya. ide fenomenologis
mendasari hampir semua sekolah-sekolah pemikiran yang terus bahwa perlu untuk memahami arti disebabkan
oleh orang untuk kegiatan di mana mereka terlibat, dalam rangka memahami ilmu behaviour.social mereka.

Dari sudut pandang ini, langkah ke arah penerapan metode kualitatif dalam penelitian sosial yang dipicu oleh
kenaikan sosiologi fenomenologis, terutama melalui konstruksionisme sosial Berger dan Luckman - mahasiswa
Schutz. Pendekatan-pendekatan lain dalam ilmu sosial, seperti interaksionisme sosial Blumer's - sumber Dervin
ide-ide tentang 'rasa membuat', memiliki hubungan dan banyak kesamaan dengan fenomenologi. Misalnya,
George Herbert Mead, Blumer guru's, belajar di Freiberg, dan harus sudah bersentuhan dengan ide-ide yang
mengarah Husserl untuk mengembangkan fenomenologi sebagai disiplin filosofis dalam lembaga yang sama.
Kita melihat sambungan, juga, dalam penggunaan Kuhlthau tentang 'teori pribadi membangun' di Kelly - Boeree
menunjukkan bahwa metode ini merupakan bagian dari gudang senjata dari penyidik fenomenologis.

Tujuan dari makalah ini telah dua: untuk membawa fenomenologi ke dalam perdebatan umum tentang teori
perilaku informasi, dan untuk menekankan perbedaan antara metodologi dan metode. Selama beberapa tahun
terakhir lebih banyak perhatian telah dikhususkan untuk penelitian metode daripada prinsip-prinsip yang
mendasari kerangka metodologi penelitian yang berbeda. Saya percaya bahwa upaya Schutz untuk membuat
sosiologi fenomenologis memberikan kita kerangka kerja yang bermanfaat untuk memandu penelitian perilaku
informasi masyarakat dan, dengan demikian, untuk membimbing kita ke pilihan metode yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

1. HUSSERL, E. Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy. 1st book:
General introduction to a pure phenomenology, trans. by F. Kersten. The Hague: Nijhoff, 1982
2. DANIELS, V. Lecture on phenomenology. Rhonert Park, CA: Sonoma State University, 2000. Available at:
http://www.sonoma.edu/people/daniels/phenomlect.html [Accessed 28th December 2001]
3. WAGNER, H.R. Introduction. On phenomenology and social relations: selected writings, by Alfred Schutz.
Edited by H. R. Wagner. Chicago: University of Chicago Press, 1970. 1-50
4. WEBER, M. Economy and society: an outline of interpretive sociology. Vol.1. New York: Bedminster Press,
1968.
5. SCHUTZ, A. Der sinnhafte Aufbau der sozialen Welt. Vienna: Springer, 1932
6. SCHUTZ, A. The phenomenology of the social world. Evanston, IL: Northwestern University Press, 1967.
7. SCHUTZ, A. Collected papers Vol. I. The problem of social reality. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962.
8. SCHUTZ, A. The well-informed citizen. In: Collected papers. Vol. II. Studies in social theory. The Hague:
Martinus Nijhoff, 1964, 120-134.
9. MANNHEIM, K Ideology and utopia. London: Routledge & Kegan Paul, 1936.
10. SCHUTZ, A. The stranger: an essay in social psychology. In: Collected papers. Vol. II. Studies in social
theory. The Hague: Martinus Nijhoff, 1964, 93.
11. PALMER, J. Scientists and information: I. Using cluster analysis to identify information style. Journal of
Documentation, 47, 1991, 105-226.
12. ELLIS, D. A behavioural approach to information retrieval design. Journal of Documentation, 46, 1989, 318-
338.
13. KUHLTHAU, C.C. Seeking meaning: a process approach to library and information services. Norwood, NJ:
Ablex Publishing, 1993.
14. WILSON, T.D. Exploring models of information behaviour: the 'Uncertainty' Project. In; T.D. Wilson and D.K.
Allen, eds. Exploring the contexts of information behaviour: Proceedings of the 2nd International Conference on
Information Seeking in Context, August 12-15, 1998. Sheffield, UK. London: Taylor Graham, 1999 55-66.
15. CORNELIUS, I.V. Meaning and method in information studies. Norwood, N.J.: Ablex, 1996.
16. WILSON, T.D. (2001) Mokslinio tyrimo metodu struktura: naujas žvilgsnis i tipologija. Knygotyra, 37, 248-252
[In Lithuanian: contact the author for an English version]
17. BOGDAN, R. and TAYLOR, S.J. Introduction to qualitative research methods. New York, NY: Wiley, 1975
18. BERGER P.L. and LUCKMAN, T. The social construction of reality :a treatise in the sociology of knowledge.
Harmondsworth: Penguin, 1979.
19. BLUMER, H. Symbolic interactionism: perspective and method. Englewood Cliffs: Prentice- Hall, 1969.
20 DERVIN, B. An overview of sense-making research: concepts, methods, and results to date. Paper presented
at the International Communication Association Annual Meeting, Dallas, Texas, USA, May l983. Available at
http://communication.sbs.ohio-state.edu/sense-making/art/artdervin83.html [Site visited 11th February 2002]
21. KELLY, G.A. The psychology of personal constructs. New York, NY: Norton, 1955.
22. BOEREE, C. G. Qualitative methods workbook. Available at: http://www.ship. edu/~cgboeree/qualmeth.html
[Site visited 10th February 2002]

Catatan: Artikel ini diterjemahkan dari Alfred Schutz, phenomenology and research methodology for
information behaviour research Oleh Professor T.D. Wilson
Posted by Agus Susanto at 08.44 

Reactions: 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
228 Hardiansyah A: Konsep Ilmu Edmund Husserl TEORI PENGETAHUAN EDMUND HUSSERL
Hardiansyah A Program Doktor PPS IAIN Sumatera Utara Email: hardiansyah@gmail.com ABSTRACT
Edmund Husserl (1859-1938) was born in Prosznitz town in Moravia. Edmund Husserl studied
Phenomenology with Franz Brentano, Husserl's very influenced with phenomenology thought
founded by Franz Brentano. The uniqueness of knowledge discovery on phenomenology is get while
all theories, opinions and views are already known by every one, so that will be able to capture the
pure essence. As a measuring is inter-subjective truth, knowledge truth if to explore the meaning
behind the phonemenon neomenon towards meta-theory and meta-science. The step methods used
are (1) Phenomenological Reduction, (2) Eidetic Reduction, (3) Transcendental Reduction. ABSTRAK
Edmund Husserl (1859-1938) dilahirkan di sebuah kota kecil Prosznitz di daerah Moravia. Edmund
Husserl belajar fenomenologi bersama Franz Brentano, Husserl sangat terpengaruh dengan
pemikiran fenomenologi. Yang didirikan oleh Franz Brentano. Keunikan penemuan pengetahuan
dalam fenomenologi ialah menyingkirkan (mengurung) sementara segala teori, pendapat dan
pandangan yang telah diketahui sebelumnya oleh setiap orang, agar nantinya dapat menangkap
hakikat yang murni. Sebagai tolok ukurnya ialah kebenaran intersubjektif, kebenaran pengetahuan
jika melakukan eksplorasi makna noumenon di balik yang phenomenon menuju metateori dan
metasains. Langkahlangkah metode yang dipakai ialah (1). Reduksi fenomenologis, (2). Reduksi
Eidetik, (3). Reduksi transendental Kata Kunci: Edmund Husserl, Teori Pengetahuan Pendahuluan
Epistemologi adalah sebuah penjajakan terhadap asal-usul pengetahuan atau singkatnya teori
pengetahuan. Seorang tokoh filsuf dapat dan sangat urgen jika disingkap bagaimana cara dia
memperoleh pengetahuannya. Mulai mengenal asul-usul pengetahuannya maka dengan sangat
mudah mengetahui serta memahami pemikirannya. Juga dapat diketahui pisau bedah (metode)
yang digunakan filsuf dalam rangka berpikir, yang kadang berbeda satu dengan lainnya, ini dimulai
dari teori atat asal usul pengetahuan (epistemologi) Fenomenologi selain dapat dikatakan sebagai
filsafat juga terkenal sebagai metode, tokoh mempopulerkannya ialah Edmund Husserl. Jurnal
Substantia Vol. 15, No. 2, Oktober 2013 229 Riwayat Hidup Edmund Husserl Edmund Husserl (1859-
1938) dilahirkan di sebuah kota kecil Prosznitz di daerah Moravia, ketika itu merupakan wilayah
kekaisaran Austria Hongaria, namun dari perang dunia pertama (1918) hingga sekarang masuk pada
wilayah Cekoslavia. Ia dilahirkan dari keluarga Yahudi kelas menengah. Husserl sendiri berasal dari
kata Iserle (=Israel). Pada umur 27 tahun dia dibaptis dalam gereja Kristen bertradisi Protestan. Ia
mulai belajar di Universitas Leipzig, Berlin dan Wina dalam bidang matematika, fisika, astronomi dan
filsafat. Husserl mendapat jabatan sebagai asisten dari Weirstrass seorang ahli matematika di Berlin.
Matakuliah yang diasuh oleh Husserl ialah matematika. Keterkaitan terhadap filsafat dirasakan
setelahy mengikuti kuliah-kuliah yang diampu oleh Franz Brentano, di Wina.1 Ia pernah menjadi
dosen tamu di Halle yang mengampu matakuliah filsafat. Ia juga pernah mengajar filsafat di
Gottingen, sebagai dosen tidak tetap pada tahun 1901-1916.2 Husserl berhasil memperoleh gelar
doktor filsafat dengan disertasi filsafat matematika yang berjudul Beitra Gziwur Varitionsreachnung
(1983). Pada tahun 1901 dinobatkan sebagai Profesor di Universitas Gottingen, ketika ia menagajar
di Gottungen pemikiran fenomenologisnya mencapai kematangan. Selanjutnya pada tahun 1916 ia
menerima undangan di Freiburg Im Breisgau untuk menjadi Profesor. Ketika ia mengajar di Freiburg
ia sudah mulai menerima pengakuan dari tingkat internasional. Di akhir hidupnya ia mengalami
banyak kesulitan, akibat tingkah laku Nazi Jerman, disbebakan Husserl adalah keturunan Yahudi.
Husserl pernah dilarang mengajar di kampus Universitas Freiburg, demikian juga dengan anak-
anaknya mengalami hal serupa. Husserl tidak mengungsi meninggalkan Jerman sampai akhir
hayatnya, walaupun menadapat tawaran untuk mengungsi ke Amerika Serikat. Husserl meninggal
pada usia tujuh puluh sembilan tahun pada tanggal 28 April 1938, karena sakit yang dideritanya
selama hampir satu tahun.3 2. Karya-Karya Edmund Husserl Karir filsafat Hsuserl dimulai dari sebuah
buku yang ditulisnya dengan judul “The Fundation of Arimatic”, dalam karyanya ini belum terlihat
filsafat yang ingin dikembangkannya. Tiga karya lain yang dapat menepatkannya sebagai filsuf adalah
Logical Investigation (1900-1901), “Ideas for a Pure Phenomenology” (1913), kemudian disusul lagi
dengan karya selanjutnya “Cartesian Meditation” (1929), dalam dua karya itu, Logical Investigation
dan Ideas for a Pure Phenomenology, ia mulai mendeskripsikan tentang metode reduksi
fenomenologis (The Method of Phemnomenological Reduction).4 Bertens (1987) memberikan
catatan bahwa Husserl adalah seorang yang sangat aktif menulis, ketika ia meninggal jumlah tulisan
yang pernah ia tulis sebanyak 50.000 lembar tulisan. Masalah-masalah tersebut merupakan hasil
dari catatan-catatan kuliah, surat-surat serta dokumen-dokumen pribadinya, dan sebagian besar
merupakan catatan dalam bentuk stenografi di mana ia terbiasa berfikir dengan penanya. Naskah-
naskah yang diterbitkan kebanyakan dalam keadaan terbengkalai. 1 Bertens K, Filsafat Barat Abad XX
(Jakarta: PT Gramedia, 1987), 94-95 2 Bakker, Anton, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta: Graha
Indonesia, 1984), 107 3 Bertens, Filsafat…., 95-98 4 Shofiyullah Mz, Fenomenologi Edmund Husserl
(Suatu Pendekatan Memahami Ketegangan Religiusitas), Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Esensia, Vol. 3,
No. 2, Juli, 2002, 253 230 Hardiansyah A: Konsep Ilmu Edmund Husserl Pada tahun 1887 ia menulis
karangan dengan judul Ueber den Begrif der Zahl (Tentang Konsep Bilangan). Tahun 1891 terbit lagi
buku tentang Philosophie der Arithmetik, Psikologische und Logische Untersuchungen (Filsafat Ilmu
Berhitung, Penelitian-penelitian Psikologis dan Logis), pada tahun 1900- 1901 ia mempublikasikan
buku yang berjudul Logische Untersuchungen (dalam dua jilid), penelitian-penelitian tentang logika.
Setting Sosial Pemikiran Husserl Upaya melihat yang melatar belakangi pemikiran ilmuan atau filsuf,
maka mengungkapkan setting sosial pada saat ilmuan atau filsuf tersebut hidup adalah sangat
penting sekali, karena tidak mungkin suatu pemikiran hadir atau tanpa ada yang melatar belakangi
untuk diungkap, apalagi kalau filsafat yang lahir di Barat dan Eropa. Belajar filsafat dari gurunya,
yaitu Franz Brentano (1838-1917), Husserl semakin berminat terhadap filsafat, dari gurunya itu,
Husserl sangat terpengaruh dengan pemikiran fenomenologi. Pendiri aliran fenomenologi adalah
Franz Brentano. Brentano adalah seorang psikologi empiris, ia melakukan penelitian mengenai jiwa
manusia yang sengaja dilakukannya sebagai upaya menentang premis idealisme. Dalam
penelitiannya ia mengatakan “geist (roh/ jiwa) yang universal memiliki ciri sendiri dalam dunia ini.
Geist atau roh/ jiwa seolah-olah bertalian dengan manusia pribadi secara tidak sengajadan hayalan
sewaktu-waktu saja. Menurutnya lagi, sifat kejiwaan yang abstrak tidak dapat dijadikan titik tolak
psikologi. Memulai psikologi mesti dari kasus individual, yaitu kasus orang pertama yang dapat
diketahui langsung oleh peneliti. Kemudian ia melangkah pada pemikiran filsafat lama tentang
hakikat pengetahuan orang pengetahuan.5 Husserl menentang keras dan sekaligus mengkritik
positivisme (saintisme), pragmatisme yang saat itu ingin menguasai dunia ilmiah. Aliranaliran yang
ditentang oleh Husserl karena mereka tidak mengakui akan geist (roh/ jiwa) dan benar-benar
menyingkirkannya dari dunia ilmiah, lalu mereka juga menolak peran intuitif dalam memperoleh
kebenaran ilmiah. Husserl selanjutnya malah memasukkan geist dan metode intuitif sebagai sarana
mencapai kebenaran ilmiah. Ada tiga tahap filsafat Husserl yang dikembangkan. Pertama, Husserl
merobohkan posisi ilmu psikologi yang kokoh dalam dasar-dasar aritmatilkanya. Kedua, ia bertolak
dari filsafat a konseptual-sebagai akar psikologi deskriptif Bretanian-untuk selanjutnya
mengembangkan sebuah disiplin ilmu baru mengenai fenomenologi dan mempunyai posisi yang
bersifat metafisik, yang dikenal dengan transcendental idealism. Ketiga, ia mentransformasikan
fenomenologinya dalam suatu fenomenologi intersubjektif, yang berujung pada pandangan hidup
sosial tentang budaya dan sejarah.6 Husserl berpendapat bahwa terjadinya krisis manusia di Eropa
saat ini adalah disebabkan oleh karena mereka meninggalkan sikap (attitude) dan semangat
Yunanian, semnagat tersebut pernah menyatukan peradaban Eropa selama berabad-abad, tetapi
sebaliknya sikap mereka mengingkari sikap ini telah melahirkan krisis, sbegai penyelamatan dari
krisis Husserl menegaskan penting 5 Aholiab Watloly, 2001, Tanggungjawab Pengetahuan, Kanisius,
Yogyakarta, 93 6 Shofiyulla Mz, 2002, Fenomenoloi ..., 254 Jurnal Substantia Vol. 15, No. 2, Oktober
2013 231 adanya rehabilitasi terhadap gagasan-gagasan kepastian rasional dengan cara, yaitu
kembali kepada metode fenomenologi.7 Kritik Husserl terhadap psikologisme dalam filsafat tentang
logika (Bertens, 1987), Husserl mengatakan adalah tidak mungkin memasukan logika sepenuhnya
dalam psikologi., disebabkan psikolgi dapat mendeskripsikan adanya proses faktual kegiatan akal,
sedangkan logika hanya mempertimbangkan apakah kegiatan akal sah atau tidak.8 Psikologi
menyelediki kesadaran empiris, kesadaran yang muncul dalam pengalaman, suatu kesadaran yang
terdiri atas hubungan dengan alam, sedangkan fenomenologi sebaliknya, yaitu tidak mahu ada
sangkut pautnya dengan kesadaran empiris, melainkan dengan kesadaran murni.9 Sikap menolaknya
terhadap saintisme ditujukan karena saintisme menghidupakn kenyataan pengertian dengan
metode dan sikap ilmu eksakta; die naturliche einstellung (sikap natural). Sikap seperti ini akan
membina adanya pertentangan subjek dan objek, dan memasukan sikap asli terhadap hal-hal
nyata.10 Husserl ingin mengarahkan diri kembali ke isi objektif: zu den sachen selbst (die wende zum
gegenstand) oleh sebab itu obejk pertama bagi filsafat adalah bukan pnegertian tentang kenyataan,
melainkan kenyataan itu sendiri. Husserl ingin menemukan kebenaran yang mendasari segala
pengetahuan manusia lainnya.11 Dualisme Kant dan Contructionism Hegel juga tidak luput dari
kritikan yang dilakukan oleh Husserl, terhadap kedua pandangan tersebut Husserl menyarankan agar
”to the things themselves: kembali kepada benda itu sendiri. Nah untuk ke luar dari peradaban
Eropa yang digambarkan di atas, sebagai upaya penyelamatan Husserl menawarkan dengan kemabli
kepada metode fenomenologi (Shofiyullah Mz, 2002). Fenomenologi adalah problem epistemologi
yang paling banyak mempengaruhi pemikiran filasafat modern, oleh Beerling (1958) sosok Husserl
dengan fenomenologinya disebut sebagai salah seorang wakil yang teresar dan terakhir yang ia
namakan dengan etos keilmuan dari manusia modern Barat. Selayang Pandang tentang Epistemologi
Pengertian Epistemologi Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, epistem artinya mendudukan,
menempatkan/ meletakkan, acapkali dikaitkan dengan gnosis (dari kata gignosko) yang artinya ialah
menyelami dan mendalami, oleh sebab itu epsitem lebih mengandung arti pengetahuan sebagai
suatu usaha agar menepatkan sesuatu di dalam kedudukan yang tepat, sedangkan gnosis lebih
mendekati pengetahuan dalam pengertian bathin atau singkatnya pengertian epistemologi adalah
suatu tindakan atau upaya intelekstual untuk menyelidiki dan memutuskan pengetahuan yang benar
dan tidak benar, dan dapat mendudukkan pengetahuan di dalam yang sebenarnya. Pada
pemahaman filosofis mendasar, epistemologi merupakan suatu fungsi dari cara berada manusia.
Melaluinya manusia dipacu agar selalu 7 Shofiyullah Mz, Fenomenologi…, 255 8 Delfgaauw, Bernad,
Filsafat Abada 20, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yoyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), 107
9 Beerling R. F, 1958, Filsafat Dewasa Ini Jilid 2, Kanisius, Yogyakarta, 53 10 Shofiyullah, Mz
Fenomenologi…, 256 11 Bakker, Anton, 1984, Metode-Metode Filsafat, Graha Indonesia, Jakarta,
108 232 Hardiansyah A: Konsep Ilmu Edmund Husserl mempermasalahkan pengetahuannya.
Seseorang dapat juga mempersoalkan kriteria tentang kepastian dan validitas pengetahuan.12
Menurut filsafat Yunai kuno Aristoteles menjelaskan pengertian epsitem ialah ”an organized body of
rational knowledge with its proper object” (suatu kumpulan yang terartur dari pengetahuan rasional
dengan objeknya sendiri yang tepat).13 Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mengawali
peneylidikannya dari asal mul, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. Secara umum
pertanyaan-pertanyaan epistemologi dapat dibagi menjadi dua kelompok: 1. Pertanyaan mengacu
kepada sumber pengetahuan, pertanyaan ini dinamakan pertanyaan epistemologi kefilsafatan dan
erat sekali hubungannya dengan ilmu jiwa 2. Merupakan masalah-masalah semantik, yakni
menyangkut hubungan pengetahuan yang diperoleh oleh manusia dan bagaimana cara memperoleh
pengetahuan14 Adapun hal yang ingin dibicarakan oleh epistemologi antara lain masalah hakikat
pengetahuan, yaitu apa sesungguhnya pengetahuan itu. Juga membicrakan sumber pengetahuan
yang diperoleh oleh manusia dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan.15 Persoalan
Epistemologi Kata philosophia merupakan padanan kata dari epistem. Luasnya filsafat sama dengan
luasnya filsafat pengetahuan, di mana usaha penyelidikannya dan pengungkapan realitas
(kenyataan) selalu bersamaan dengan upaya untuk menentukan apa yang saya ketahui di bidang
tertentu.16 Adanya pertanyaan menuntut adanya jawaban, sebagai persoalan awal dalam filsafat
dan pengetahuan adalah pertanyaan, tak ada pertanyaan, maka tidak ada filsafat. Pertanayan itu
disebabkan oleh rasa ingin tahu yang ada pada setiap manusia, rasa ingin tahu manusia bukan
keingin tahuan yang dingin atau suatu motivasi agar memperoleh kebenaran formal saja, tetapi
keingintahuan manusia merupakan keprihatinan eksistensial. Dalam persoalan epsitemologi perlu
menjadi catatan bahwa setiap pengetahuan mempunyai sifat kontradiksi di dalam dirinya sendiri
(self contradictionary). Sebab hanya manusia sendirilah yang mengetahui bahwa ia tidak
mengetahui, juga sekaligus berarti manusia sendirilah yang mengetahui bahwa ia sendiri
mengetahui.17 Hardono Hadi dalam pengantarnya mengatakan yang mengawali munculnya
epistemologi alah sikap skeptis. Demokritos dan atomis Yunani (sebelum Plato) telah membedakan
antara sifat-sifat yang benar-benar melekat pada benda, misalkan ukuran dan bentuk, dari sifat-sifat
yang merupakan buah dari persetujuan manusia/ sebagai hasil budi, misal warna. Pencetus awal dari
12 Aholiab Watloly, Tanggungjawab…., 26 13 The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta:
Liberty, 2004), 1 14 Kattsof O. Louis, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 74 15Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal Hati Sejak Thale
Sampai James (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998), 21 16Gallagher, T. Kenneth, Epistemologi,
sadur oleh Hardono Hadi, (Yogyakarta: Kanisius, 1984), 16 17 Aholiab Watloly, Tanggungjawab….,
113 Jurnal Substantia Vol. 15, No. 2, Oktober 2013 233 epistemologi adalah Plato, karena usahanya
untuk mengolah masalah-masalah dasar: apa itu pengetahuan? Di mana pengetahuan umum
ditemukan, dan sejauhmana apa yang bisa dianggap sebagai pengetahuan? Apa hubungan
pengetahuan dan keyakinan yang benar? Demikian sejumlah persoalan-persoalan yang digeluti oleh
epistemologi. Kaum sophis yang hidup pada abad ke lima sebelum masehi mengawali sikap skeptis
dalam filsafat dengan sikap keraguan terhadap sejumlah hal yang pada awalnya dianggap sebagai
bagian dari kodrat, dan mulai diragukan, dan dinyatakan sebagai hal yang tidak demikian. Sikap
skeptis metodis atau dikatakan juga dengan keraguan metodis (bukan skeptis absolut) sebagai ciri
dasar pengembangan epistemologi. Mempunyai tujuan untuk meragukan suatu kenyataan sampai
menemukan dasar-dasar dari kebenaran dan menemukan kepastian dasar yang tidak dapat
diragukan lagi dari alam pengetahuan manusia. Keraguan metodis atau skeptisisme adalah sebagai
”pisau bedah” dalam mengauk tabir misteri pengetahuan manusia.18 Pada perkembangan
selanjutnya Francis Bacoon (1516-1727 M) telah mengawali sikap kritis terhadap ajaran
pendahulunya, yaitu ajaran Aristoteles. Bacoon yang terkenal dengan metode induktifnya telah
mengkritisi ajaran Aristoteles dengan metode deduktifnya. Bacoon mengatakan logika deduktif
Aristoteles tidak akan menghasilkan pengetahuan baru. Kemudian ia menggantinya dengan metode
induktif sebagai upaya pencapai kebenaran, melalui metode induktif nantinya akan mencapai
sebuah generalisasi terhadap semua masalah. Rene Descartes (1569-1650 M) dengan semboyan
yang terkenal ”cogito ergo sum ” yang artinya aku berpikir, jadi aku ada. Metodenya adalah
keraguan atau kesangsian yang metodis. Semua teori, pengamatan teori dan termasuk tubuhnya
sendiri juga diragukan, yang tak dapat diragukannya lagi aku yang sedang berpikir. Kesadaran
Descartes adalah kesadaran subjektif, bagi eksistensialis pengetahuan harus dikembalikan ke dalam
kesdaran eksistensial sebagaimana ia meluap di dalam kesadaran aslinya.19 Imanuel Kant (1724-
1808) dengan filsafat kritisismenya telah berhasil mengatasi dikotomi atau pemisahan antara yang
rasionalisme dan empirisme atau antara kebenaran apriori dan aposteriori. Baginya kedua-duanya
tidak dapat dipisahkan. Kant berada di antara rasionalis dan empiris. Ia bukan empirisme tulen, dan
juga tidak menjadi idealisme tulen.20 Kant sebenarnya ingin membersihkan pengenalan dari adanya
keterikatan kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi filsafatnya bermaksud untuk
penyadaran terhadap kemampuan-kemampuan rasio secara objektif dan menentukan batas-batas
kemampuannya, untuk memberi tempat kepada iman kepercayaan.21 Batas kemampuan mausia
menangkap kebenaran adalah sebatas phenomenon saja, sementara pada noumenon manusia tidak
mampu untuk menjangkaunya, karena berada di luar batas kemampuan manusia untuk
mengungkapkannya. 18 Aholiab Watloly, Tanggungjawab…., 114 19 Aholiab Watloly,
Tanggungjawab….., 115 20 Ahmad Tafsir, Filsafat…., hal 158 21 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah
Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 64 234 Hardiansyah A: Konsep Ilmu Edmund Husserl
Edmund Husserl telah banyak mempengaruhi filsafat pada masa ini (abad 20) dengan
fenomenologinya.22 Sekarang ini fenomenologi menjadi ilmu yang paling fundamental dan dasar
yang mutlak bagi segala pengetahuan. Adapun reduksinya berguna untuk menjadikan fundamen
yang kuat dan kokoh bagi filsafat. Esensi-eseninya dianggap dapat dialami langsung.23 Pengabdian
seorang filsafat adalah untuk menebus rahasia, bagi filsuf fenomenologis akan berusaha untuk dapat
memecahkan dualisme (problem untuk mengkompromikan realitas dengan pemikiran), seperti yang
tergambar pada setting pemikiran. Fenomenologi mengawali tugasnya dengan mengatakan: jika
memang terdapat pemecahan masalah, maka pemecahan tersebut berbunyi: hanya fenomenologi
yang ada di hadapan dan oleh karenanya mesti mengambilnya.24 Fenomenologi Edmund Husserl
Alat Menemukan Pengetahuan Realitas Objek tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari
subjek yang menampakkan diri sebagaimana adanya. Husserl mengatakan, fenomena adalah realitas
sendiri yang tampak. Di mana segala tirai yang memisahkan manusia dengan realitas tidak ada lagi,
dengan begitu realitas itu sendiri tampak bagi manusia. Inilah yang dalam semboyan filsafat Husserl
dikatakan: Zurruck zu den sachen selbst (kembali kapada benda itu sendiri) (Bertens, 1983: 101).
Realiatas objek yang tampak di hadapan subjek ditangkap oleh kesadaran itu adalah intensional.
Dengan mengatakan kesadaran bersifat intensional sebenarnya sama artinya mengatakan realitas
menampakkan diri. Husserl menjelaskan intensionalitas merupakan struktur hakiki kesadaran
(Bertens, 1983)). Intensionlitas adalah istilah yang berasal dari kata intedere, yang artinya menuju
ke.25 Dalam intensionalitas ingin mengatakan bahwa objek adalah selalu melihat dengan subjek,
dan tidak bisa dipahami berdiri sendiri.26 Istilah intensionalitas juga digunakan oleh psikologi, yang
berpandangan bahwa tidak ada hal yang menyadari tanpa ada yang menyadari. Begitu juga tak ada
yang dilihat, tanpa ada yang melihat. Tampaklah dari penjelasan yang dipaparkan di atas hal
tersebut mengisyaratkan adanya suatu sintesis antara subjuek dan objek (Brower, 1983). Jadi dalam
intensionalitas tidak ada dikotomi antara subjek dan objek. Setiap pandangan subjek mempengaruhi
objek. Fenomenologi berangkat dari pra pengalaman empiris dan membebaskan segala bentuk teori
pengetahuan, dengan tidak memberikn penilaian dan interpretasi terhadap objek yang
menampakkan dalam kesadaran, dengan cara menangguhkan atau menunda penilaian interpretasi
untuk menemukan 22 Delfgauuw, Filsafat Abad…, 104 23 Beerling, Filsafat Dewasa…, 90 24 Harold h.
Titus dkk, Persoalan-persoalan Filsafat, terj. H. M. Rasjidi, Bulan Bintang, Jakarta, 398 25 Hamersma,
Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1983), 117 26 Shofiyullah Mz,
Fenomenologi…, 256 Jurnal Substantia Vol. 15, No. 2, Oktober 2013 235 hakikat. Hakikat tidak
terletak di belakang atau di atas peristiwa, tetapi berada di dalamnya.27 Intensionalitas bagi Husserl
bersifat kesadaran transendental yang berarti kesadaran yang selama memurnikan dari semua atau
segala unsur-unsur transenden, yakni dari semua bahan-bahan dunia (Beerling, 1958). Semua
bentuk teori dan konsep telah disingkirkan, maka yang tinggal adalah evidensi (kenyataan/
kejelasan). Kesadaran bagi Husserl adalah titik sama dengan kesadaran yang terdapat pada
Descsrtes. Kesadaran Descartes adalah kesadaran yang tertutup. Setelah semuanya kesadaran
disangsikan oleh Descartes, maka yang tinggal adalah ”aku yang sedang berpikir”, aku yang sedang
berpikir ada, adalah sangat subjektif, dan ini dikatakan kesadaran Descartes tertutup. Kesadaran
terbuka adalah mengarahkan kepada objketifikasi realitas, yaitu kembali kepada benda itu sendiri,
dengan keterbukaan yang terus menerus pada objek. Tolok Ukur Kebenaran Kebenaran ialah yang
terkandung dalam suatu pnegetahuan. Pada pengetahuan nilai kebenaran tergantung pada cara
atau bagaimana memperoleh pengetahuan, sikap pada subjek dalam mencoba untuk menggali
sebuah kebenaran, sarana yang dipergunakan untuk mengamati objek. Kemudian tidak kalah
pentingnya kebenaran pengetahuan tergantung pada kualitas dan karakteristik pengetahuan, relasi
subjek dan objek, serta kandungan nilai yang melekat pada pengetahuan, apa ia objektif
kebenarannya atau subjektif.28 Fenomenologi Husserl yang menjadi tolok ukur kebenarannya
adalah intersubjektif. Ia berpandangan bahwa pengetahuan mempunyai nilai benar jika melakukan
eksplorasi makna noumenon di balik yang phenomenon menuju ke metateori atau metasains.
Makna noumenon dapat mengacu pada acuan monolitik, kemudian boleh juga mengembangkan
alternatif acuan divergen.29 Meliahat suatu objek akan menghasilkan interpretasi yang berbeda-
beda, setelah diamati oleh subjek, kemudian dari interpretasi yang berbeda-beda tersebut dalam
intersubjektif harus menuju konsensus bersama. Objek Pengetahuan Objek pengetahuan menurut
Husserl adalah realitas sendiri yang menampakkan diri sendiri pada kita, melalui kesadaran yang
intensional. Suatu fenomenon tidak mesti dapat diamati oleh indera yang lima buah itu, sebab
fenomenon dapat juga dilihat dan diamati secara rohani, tanpa melalui indera, dan fenomen bukan
suatu peristiwa.30 Realitas yang nampak tersebut kemudian dipahami dengan menggunakan intuisi.
Inutuisi menurut Husserl 27 Beerling, Filsafat Dewasa…, 64 28 Abbas Hamimi Mintaredja, Teori
Pengetahuan Menurut Berger, (Yogyakarta: 1983), 30 29 Noeng Muhadjir, Filsafat Illmu: Positivisme,
Post Positivisme dan Post Modernisme, Edisi 2, (Yogyakarta: Rake Yasin, 2001), 65 30 Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah…, 140 236 Hardiansyah A: Konsep Ilmu Edmund Husserl adalah kesdaran
atau mempunyai kesadaran yang dapat di pandang secara sadar.31 Dalam penilaian dan interpretasi
terhadap objek realitas yang diamati seringkali terjadi reduksi-reduksi. Menurut Husserl reduksi-
reduksi tersebut merupakan langkah metodis yang dibaginya menjadi tiga macam: 1. Reduksi
fenomenologis Istilah lain sering dipergunakan adalah ”epoche”, yang mempunyai arti sama, yaitu
menyaring segala keputusan di antara tanda kurung yang muncul terhadap objek realitas yang
diamati. Penyaringan segala keputusan seperti teori maupun hipotesis-hipotesis yang pernah ada,
yang pada akhirnya menyisihkan segala macam tradisi yang berusaha membahas dan memberikan
keputusan tentang objek tersebut.32 2. Reduksi Eidetik Yaitu reduksi yang ingin menemukan intisari
atau sampai kepada esensi. Fenomenologi adalah ilmu hakikat. Hakikat maksudnya ialah struktur
dasariah. Ia meliputi: isi, fundamental, ditambah dengan semua sifat hakiki, ditambah juga dengan
semua relasi hakiki dengan kesadaran, dan objek-objek yang lainnya yang disadari.33 Usaha yang
paling pokok adalah menangkap hakikat fenomena-fenomena. Reduksi kedua bisa menyisihkan hal-
hal yang tidak hakiki, dan agar hakikat dapat mengungkapkan diri sendiri, yang demikian bukan
abstraksi, tetapi intuisi mengenai hakikat (wesenserchuung).34 3. Reduksi Transendental Reduksi
yang ketiga tidak lagi mengenai objek atau fenomin, bukan pula mengenai hal-hal sejauh
menampakkan diri kepada kesadaran, tetapi reduksi trasendental khusus merupakan: wende zum
subject (pengetahuan ke subjek) dan mengenai terjadinya penampakkan sendiri, dan mengenai
akar-akar kesadaran Supaya mendapatkan kepastian akan kebenaran pengertian kata, menurut
Husserl, harus dicarinya dalam Erlebnisse, yaitu pengalaman yang dengan sadar. Dalam pengalaman
tersebut mengalami diri sendiri. Segala pengalaman empiris yang ada pada dunia benda untuk
sementara waktu diletakkan pada tanda kurung, kemudian melakukan penyaringan, setelah itu
tampaklah yang tertinggal adalah ”kesadaran murni” atau transendental, tidak empiris lagi.
Kesimpulan Husserl sebagai filsuf abad ke 20, dengan filsafat fenomenologinya besar sekali
pengaruhnya di Eropa dan Amerika. Pada zaman di antara perang dunia pertama dan perang dunia
kedua pengaruh berpikir fenomenologi luar biasa. Filsuf eksistensialisme juga sangat dipengaruhi leh
metode yang digunakan dalam pemikiran fenomenologis (Harun Hadiwijono, 1980). Beerling (1958)
mengatakan sebagian eksistensialisme adalah murid-murid Husserl yang mempraktekkan
fenomenologi dengan cara yang berbeda. 31 Beerling, Filsafat Dewasa…, 54 32 Hamersma H, 1983,
Tokoh-Tokoh Filsafat ..., 117 33 Anton Bakker, Metode-metode…, 115 34 Delgaauw Bernard, Filsafat
Abad…., 105 Jurnal Substantia Vol. 15, No. 2, Oktober 2013 237 Intuisi dan kesadaran intensionalitas
Husserl merupakan alat yang mempunyai peranan urgen. Intuisi mengamati genomin dengan cara
rohani, tanpa harus melewati indera. Intuisi adalah kesadaran yang di pandang secara sadar. Dalam
intensionalitas antara subjek dan objek tidak dapat dipisahkan. Subjek dan objek dalam hal ini terjadi
sintesis dalam fenomenologi Epistemologi fenomenologi sebagai sebuah metode telah menghasilkan
nilai kebenaran yang intersubjektif. Usaha untuk menemukan makna noumenon di balik fenomenon
dan makna yang dicari mempunyai kesepakatan bersama. Intersubjektif mendekati sesuatu untuk
dinilai dan memberikan interpretasi, maka hasil dari nilai dan interpretasi tersebut selamanya akan
berbeda-beda, sampai ada kesepakatan yang dihasilkan bersama-sama. Objek pengetahuan bagi
Husserl adalah realitas yang menampakkan diri sendiri, melalui kesadaran yang intensional.
Fenomenon tidak mesti melawati indera, karena fenomenon juga bisa ditangkap oleh rohani.
Menemukan hakikat menurut Husserl terjadi reduksi (penyaringan) yang dibaginya kepada tiga
macam reduksi: 1. Reduksi fenomenologis 2. Reduksi eidetik 3. Reduksi transendental 238
Hardiansyah A: Konsep Ilmu Edmund Husserl

DAFTAR PUSTAKA Ahmad Tafsir. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1998. Abbas Hamimi Mintaredja. Teori Pengetahuan Menurut Berger.
Laporan Penelitian Fakultas Filsafat UGM. Yogyakata: UGM, 1983. -----. Teori G. E. Moore Tentang
Pengetahuan. Laporan Penelitian Fakultas Filsafat UGM. Yogyakarta: UGM, 1982, Aholiab Watloly.
Tanggungjawab Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 2001. Bambang Q-Anees dan Rudea Juli A.
Hambali. Filsafat Untuk Umum. Jakarta: Pernada Media, 2003. Bertens K. Filsafat Barat Abad XX.
Jakarta: PT. Gramedia, 1987. Bakker, Anton. Metode-Metode Filsafat. Jakarta: Graha Indonesia, 1984
Delfgaauw, Bernard. Filsafat Abad 20. alih bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya. Gallagher, T. Kenneth. Epistemologi, sadur oleh Hardono Hadi, Yogyakarta: Kanisius,
1984. Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980. Hamersma H.
Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia, 1983. Kattsoff, O. Louis. Pengantar Filsafat,
alih bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004. Noeng Muhadjir. Filsafat
Ilmu: Positivisme, Post Positiisme dan Post Modernisme. Edisi 2. Yogyakarta: Rake Yasin, 2001.
Shofiyullah Mz. Fenomenologi Edmund Husserl (Suatu Pendekatan Memahami Ketegangan
Religiusitas). Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin Esensia. Vol. 1. 3, No. 2, Juli, 2002 Titus H. Harold, Smith S,
Marilyn dan Nolan T. Richard. Persoalan-Persoalan Filsafat. terj. H. M. Rajidi. Jakarta: Bulan Bintang.
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 2004.
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=265999&val=7080&title=TEORI
%20PENGETAHUAN%20EDMUND%20HUSSERL)

 
Filsafat Manusia
E. Rele#an"i
1ada milenium ketiga   ini, banyak   fenomena%fenomena   yang terjadi. 'aik secara
langsung )kita sadari* maupun yang tidak kita sadari. Fenomena%fenomenayang -masih
panas dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalammedia masa@ salah
satunya tentang -
  glo'al  warming”
.  dapun fenomena
yang  baru saja kita alami yakni bencana alam. "hususnya di ndonesia kita dapatmelihat
fenomena%fenomena alam yang sering menimpa negeri kita yang tercintaini. Fenomena
alam yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannyaterjadi, antara lain
misalnya saja@ meluapnya lumpur /apindo di $idoarjo
dan g e l o m b a n g   T s u n a m i   d i  c e h .   < e m a n g   k i t a   y a k i n   b a h !
a   p e n y e b a b n y a   i a l a h keserakahan dan ketidakpuasan manusia akan sumber daya
alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan hidup.<enurut hemat
penulis, baik
  glo'al warming
maupun fenomena%fenomenaalam lainnya merupakan fenomena   yang sangat
menarik dan   masih aktual
untukdiperbincangkan   dalam   pembahasan   fenomenologi.   <isalnya,   menumpuknya
sampah di T1 $piturang. $iapa yang percaya bah!a pemulung yang 
s e r i n g mengais%ngais sampah itu sebenarnya orang kaya. upanya dibalik semuanya
itua d a   f e n o m e n a % f e n o m e n a   y a n g   m a u   d i s a m p a i k a n .   D a l a m   h a l   i n i ,  
s e b a i k n y a  janganlah kita melihatnya hanya sebatas mata melihatHapa yang tampak pada
matakita, tetapi sebenarnya ada fenomena yang tersembunyi dibalik semuanya itu
yaitu pemulung di T1 $piturang adalah bukan semuanya miskin, tetapi kebanyakanorang
kaya.Dalam tulisan ini, penulis menghimbau kepada kita yang hadir di
sini@ supaya dalam melihat, merasakan )mengalami* setiap fenomena%fenomena
dalamhidup, selalu bertitik berangkat dari pemikiran fenomenologi, di mana kita
perlu k e m b a l i   k e p a d a   b e n d a % b e n d a   i t u   s e n d i r i .   + e l a s   b a h ! a   y a n g   d i m a k s u d  
ialahmembiarkan  obyek%obyek itu menampilkan seperti dirinya sendiri. 
Dengandemikian  kita akan menjadi -pe!aris pemikiran &usserl dan juga 
k i t a   a k a n diba!a   kepada   suatu referensi yang   mendalam   dari luasnya   panorama
%panoramafenomenologi de!asa ini. $edangkan bagi masyarakat pada umumnya.
$emoga
10
 
Filsafat Manusia
dengan memandang fenomena dari dua sudut yaitu melihat fenomena selal
u -menunjuk ke   luar  atau   berhubungan   dengan realitas   di luar   pikiran.
"emudian melihat fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam
kesadarankita. Dengan   demikian,   dalam memandang fenomena%fenomena   harus
melihat J p e n y a r i n g a n K   ) r a t i o *   t e r l e b i h   d a h u l u   s e h i n g g a   m e n d a p a t k a n   k e s a
d a r a n   y a n g murni.$ebagai pertanyaan refleksi bagi kita@ sudahkah kita melakukan
semuanyainiG 'eranikah kita -menyapu  bersih segala asumsi yang cenderung
mengotorikemurnian pengalaman manusia!i kitaG 1ersoalannya sekarang ialah
dari mana k i t a   m e m u l a i n y a G   " a p a n   k i t a   m e m u l a i n y a G   3 n t u k   m e n j a !
a b   p e r t a n y a a n %  pertanyaan ini, penulis mena!arkan solusi yang sekiranya berguna bagi
kita yaknidengan melakukan -<  L+  . <    )<ulai dari diri   sendiri,   <ulai dari hal
%hal   yang kecil dan, <ulai dari sekarang*, sedangkan + )+adilah fenomenolog yang kritis
di=aman sekarang*.
F. Ke"i!ulan
$ebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan, !
alaupun m a s i h   j a u h   d a r i   s e m p u r n a .   D i   m a n a   c i r i   k h a s   p e m i k i r a n   & u s
s e r l   t e n t a n g  bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai
dalam satukalimat
“ach den sachen sel"st” 
 )kembalilah kepada benda%benda itu sendiri*.Dengan pernyataan ini &usserl menghantar
kita untuk memahami realitas itu
apaa d a n y a   s e r t a   m e n d e s k r i p s i k a n   s e p e r t i   a p a   d a n   b a g a i m
a n a   r e a l i t a s   i t u menampakkan diri kepada kita. amun sesungguhnya usaha
kembali pada benda% benda itu sendiri, bagi &usserl adalah kembali kepada realitas itu
sebagaimana diatampil dalam keasadaran kita.  pa yang tampil kepada kita itulah
yang disebut fenomena.Fenomenologi secara khusus berbicara tentang kesadaran dan
strukturnya,a t a u   c a r a % c a r a   b a g a i m a n a   f e n o m e n a   m u n c u l   p a d a   k i t a .  
" a r e n a   k e s a d a r a n semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu me
nyatakan dirinya dan
11
 
Filsafat Manusia
fenomenologi   adalah
studi   tentang   kesadaran,   maka   fenomenologi   merupakan filsafat
utama.2ksistensialisme berhubungan erat dengan fenomenologi.
Fenomenologilebih suatu metode filsafat daripada suatu ajaran. <etode
fenomenologi &usserlkemudian dikembangkan oleh muridnya antara lain@ <.
$cheler dan <erleau%1onty.   Fenomenologi   mengatakan   bah!a kita   harus
memperkenalkan   gejala% g e j a l a   d e n g a n   m e n g g u n a k a n   i n t u i s i .   " e n y a t a a n  
t i d a k   h a r u s   d i d e k a t i   d e n g a n argumen%argumen,   konsep%konsep   dan   teori  
umum.   $etiap benda   mempunyai - h a k e k a t % h a k e k a t n y a    d a n   -
h a k e k a t    i n i   b e r b i c a r a   k e p a d a   k i t a   k a l a u   k i t a membuka diri untuknya.
"ita harus -mengabstrahir  dari semua hal yang tidakhakiki. "alau segala sesuatu
yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal yang ingin kita selidiki, mulai
berbicara dan -bahasa ini dimengerti berkat
intuisik i t a .   O l e h   k a r e n a   i t u ,   m e t o d e   f e n o m e n o l o g i s   t e l a h   m e m b u k t i k a n   m a n
f a a t n y a untuk epistemologi, psikologi, antropologi, studi agama%agama dan etika.
Da3ta% Pu"ta/a
Cahral dian, Donny.
  Per&ik Pemikiran -ontemporer (se'uah Pengantar -omprehensif)
 .
 #ogyakarta: +alasutra, 7BB>.'agus, /orens.
  -amus !ilsafat$
 +akarta: Cramedia. 7BB>.Delfgaau!, 'ernard.
  !ilsafat .'ad // 
.
 #ogyakarta: Tiara Wacana #ogya. 5?88.&amersma, &erry.
TokohTokoh !ilsafat "arat #odern
. +akarta: Cramedia. 5?8.&amersma, &erry.
  Pintu #asuk ke Dunia !ilsafat$
 
#ogyakarta: "anisius. 5?8B.Team 1ustaka 1hoeniI.
  -amus "esar "ahasa ndonesia (0disi "aru)
.
 +akarta:1ustaka 1hoeniI. 7BB6.
12

 Job Board
 About
 Press
 Blog
 People
 Papers
 Terms
 Privacy
 Copyright
  We're Hiring!
  Help Center

 Find new research papers in:


 Physics
 Chemistry
 Biology
 Health Sciences
 Ecology
 Earth Sciences
 Cognitive Science
 Mathematics
 Computer Science

Academia © 2016

Anda mungkin juga menyukai