Sejarah Fenomenologi
Teori Fenomenologi
Edmud Husserl
Edmund Husserl (1859-1938) merupakan tokoh terpenting dalam metode
fenomenologi mengingat ialah yang untuk pertama kalinya mempopulerkan nama
fenomenologi sebagai metode atau cara berpikir baru dalam ranah keilmuan sosial-
humaniora. Beberapa pemikiran Edmund Husserl terkait teori fenomonologi. sebagai
berikut :
Fenomenologi Sebagai Metode untuk Membangun Disiplin dasar
Yang penting, maka Husserl memiliki kekhawatiran bahwa ilmu yang berbeda
dan disiplin ilmiah tidak memiliki metodologi untuk membangun konsep-konsep
dasar mereka. Banyak psikolog dengan selera untuk kekakuan konseptual juga
memiliki kepedulian picik bahwa konsep-konsep dasar yang kurang kuat dan jika
ada pretensi dari yayasan tersebut, mereka tampaknya tetap akan digunakan secara
longgar tanpa mata untuk setiap arti mendasar. Husserl memandang hal ini sebagai
khas dari semua alam pemikiran ilmiah. Tujuan filsafat aslinya sebagai ilmu yang
ketat (yang metodologis ketat dan hasilnya pasti memproduksi) dan itu akan
memberikan landasan untuk konsep dari setiap disiplin ilmiah. Jadi akan ada
(misalnya) menjadi geografi fenomenologis, efektif menciptakan apa disiplin adalah
dengan memperbaiki konsep-konsep utama. Husserl (1913/1983) berpendapat
bahwa, untuk setiap ilmu pengetahuan empiris akan ada disiplin eidetic
(Historisisme), tubuh dasar penelitian fenomenologis yang tidak akan sendiri secara
langsung berkaitan dengan dunia nyata tetapi akan memberikan set mapan konsep-
konsep yang akan memungkinkan peneliti untuk mempelajari dunia nyata. “Eidetic”
mengacu pada gagasan bahwa akan konsep-konsep dari “ esensi” tersebut, murni
ide dasar memberikan struktur rasional untuk berpikir tentang realitas. Sama seperti
logika tidak secara khusus tentang realitas, namun menyediakan sistem konseptual
yang memungkinkan berpikir tentang aspek-aspek realitas untuk melanjutkan, dan
hanya sebagai geometri disiplin eidetik memungkinkan teknologi seperti survei tanah
untuk mengambil tempat, sehingga akan ada disiplin eidetik untuk wilayah masing-
masing usaha manusia.
Jadi, sama seperti geometri bisa menempatkan “ garis lurus “ sebagai item
dalam gudang senjata yang eidetik kebenaran meskipun adalah pertanyaan yang
sama sekali apakah hal seperti itu mempunyai manifestasi empiris sehingga esensi
disiplin murni lainnya harus dibangun tanpa perhatian yang dibayar untuk masalah
ini eksistensi nyata. Di antara disiplin fenomenologis akan ada psikologi
fenomenologis. Bahkan Husserl ditangani secara khusus dengan topik ini dalam
ceramah di 1925 (Husserl, 1925/1977). Tapi account dari psikologi fenomenologis
akan tidak seperti buku psikologi empiris seperti biasanya dipahami, memberikan
hasil penelitian ilmiah. Melainkan akan memeriksa dan fundamental psikologi
menemukan nyenyak sehingga bekerja empiris bisa pergi ke depan aman.
l
Hal Sendiri intensionalitas dan Para Fenomena
Berpikir Fenomenologis
2 2. ALFRED SCRUTZ
Alfred Scrutz
Sebutan fenomenologis berarti studi tentang cara dimana fenomena hal-hal yang
kita sadari muncul kepada kita, dan cara yang paling mendasar dari pemunculannya
adalah sebagai suatu aliran pengalaman-pengalaman inderawi yang
berkesinambungan yang kita terima melalui panca indera kita. Fenomenologi tertarik
dengan pengidentifikasian masalah ini dari dunia pengalaman inderawi yang bermakna,
suatu hal yang semula yang terjadi di dalam kesadaran individual kita secara terpisah
dan kemudian secara kolektif, di dalam interaksi antara kesadaran-kesadaran. Bagian
ini adalah suatu bagian dimana kesadaran bertindak (acts) atas data inderawi yang
masih mentah, untuk menciptakan makna, didalam cara yang sama sehingga kita bisa
melihat sesuatu yang bersifat mendua dari jarak itu, tanpa masuk lebih dekat,
mengidebtifikasikannya melalui suatu proses dengan menghubungkannya dengan latar
belakangnya.
Hal ini mengantarkan kita kepada salah satu perbedaan yang jelas antara
fenomenologi dan bentuk lain dari teori tindakan: “tindakan” sejauh ini mengacu pada
tindakan manusi dalam berhubungan satu denan yang lain dan lingkungannya. Bagi
fenomenologi juga sama halnya, bahkan tindakan terutama ditujukan kepada proses
internal dari kesadaran (manusia), baik individualataupun kolektif. Sekali tindakan itu
ditransformasikan ke dalam fikiran kita, ia menjadi sulit untuk keluar lagi dan ini
mempunyai konsekuensinya pada usaha untuk memperluas sosiologi-fenomenologis
menjadi sebuah teori tentang masyarakat seperti juga tentang pribadi.
Menurut Schutz, cara kita mengkonstruksikan makna diluar dari arus utama
pengalaman ialah melalui proses tipikasi. Dalam hal ini termsuk membentuk
penggolongan atau klasifikasi dari pengalaman dengan melihat keserupaannya. Jadi
dalam arus pengalaman saya, saya melihat bahwa objek-objek tertentu pada umumnya
memiliki ciri-ciri khusus, bahwa mereka bergerak dari tempat ke tempat, sementara
lingkungan sendiri mungkin tetap diam.
3. PETER L. BERGER
Add caption
Peter L. Berger
Pengkajian fenomenologi Peter L. Berger berkaitan erat dengan konsepnya
mengenai konstruksi realitas sosial yang dianggapnya bergantung pada posisi individu
sebagai subyek. Dengan demikian, asumsi awal pemikiran terkait layaknya struktural
fungsional, hanya saja pemaknaan dihasilkan oleh hubungan subyektif individu dengan
dunia obyektif. Dalam proses tersebut, Berger (1994: 4-5) meyakini eksisnya dialektika
tiga momentum yang dialami individu dalam masyarakat, yakni eksternalisasi,
internalisasi dan obyektivasi, yang mana ketiganya menunjukkan eksistensi individu
sebagai produk masyarakat dan begitu pula sebaliknya: masyarakat sebagai produk
individu. Eksternalisasi adalah kondisi di mana individu lebih dominan ketimbang
masyarakat, dalam kondisi yang demikian individu aktif memproduksi nilai, norma dan
budaya bagi masyarakatnya. Sebaliknya, internalisasi adalah kondisi tatkala individu
lebih dormant ketimbang masyarakatnya, dalam kondisi tersebut individu aktif
mengadopsi nilai, norma dan budaya yang terdapat dalam masyarakat.
4. MAX WEBER
Max Weber
Terkait dengan fenomonologi Max Weber membahas tentang Verstehen. Max
Weber (1864-1920) merupakan tokoh sosiologi yang paling berpengaruh dalam
pemahaman nominalisme sosiologis. Menurutnya, kajian sosiologi yang memfokuskan
perhatian pada studi mengenai entitas masyarakat, institusi atau lembaga-lembaga
sosial bersifat abstrak dan penuh spekulasi. Bagi Weber, satu-satunya perihal yang
konkret adalah motif berikut tindakan yang dimiliki individu, “Tak ada sesuatu yang
dinamakan masyarakat, melainkan kumpulan individu dan kelompok yang menjalin
hubungan sosial satu sama lain”, pungkas Weber. Di satu sisi, pernyataan tersebut
dapat diasumsikan sebagai berikut, “Keluarkan individu dari masyarakat, maka habislah
masyarakat. Tetapi, bubarkan masyarakat beserta lembaga-lembaganya, maka individu
akan tetap ada”. Oleh karenanya, obyek studi sosiologi Weber berfokus pada motif
tindakan sosial aktor.
Lebih jauh, guna menelisik penafsiran dan pemahaman dari serangkaian
tindakan sosial di atas, Weber mencetuskan metode verstehen. Secara sederhana,
verstehen mengajak peneliti (ilmuwan sosial) untuk menempatkan diri dalam posisi
aktor dan berusaha memahami dunia sebagaimana yang dipahami aktor tersebut.
Keyakinan Weber akan tindakan aktor yang bersifat rasional, menyebabkannya
memetakan tindakan aktor ke dalam empat tipe rasionalitas. Pertama, werktrational
(rasionalitas nilai), yakni tindakan aktor yang didasarkan pada sesuatu yang dianggap
benar, baik dan diharapkan keterwujudannya—sebagaimana pengertian nilai pada
umumnya. Sebagai misal, seseorang yang berkata jujur pada orang lain dikarenakan
menganggap kejujuran sebagai perihal yang patut dijunjung tinggi. Kedua, zwerk
rational (rasionalitas instrumental), yakni tindakan yang didasarkan pada efisiensi dan
efektifitas tingkat tinggi dalam pencapaian tujuan. Semisal, seorang wanita muda yang
bersedia menerima pinangan duda tua nan kaya raya dengan harapan bergelimang
harta dalam waktu singkat. Ketiga, affectual action (tindakan/rasionalitas afektif), yakni
tindakan aktor yang didasarkan pada perasaan atau emosi. Sebagai misal, seorang
gadis yang berjingkrak kegirangan karena memperoleh cokelat dari seorang pria yang
disukainya. Keempat, traditional action (tindakan/rasionalitas tradisional), yakni
tindakan yang didasarkan pada perihal yang telah dilakukan secara turun-temurun dan
berulang-ulang. Semisal, seorang pemuda yang pergi merantau dari kampung
halamannya dikarenakan hal tersebut telah menjadi tradisi dalam masyarakatnya.
Faktual, Weber berhasil membawa konsep pemahaman subyektif pada pola-pola
penalaran yang lebih bersifat rigorous “ketat”. Namun, layaknya fenomenologi Husserl,
verstehen Weber tak memiliki penjelasan akan posisi subyek sebagai obyek. Seolah,
subyek selalu berpikir berikut bertindak proaktif, bahkan ketika subyek “tertelan” oleh
masyarakat, semisal mengikuti nilai, norma dan tradisi yang terdapat di dalamnya, ia
tetap dalam kondisi aktif menafsirkan serta menciptakan dunia. Secara tak langsung, ini
menjadi aib bagi konsep rasionalitas Weber mengingat dimensi irasionalitas yang turut
termuat di dalamnya (tak sepenuhnya rasional)—bertindak karena sekedar mengikuti
atau meniru. Di satu sisi, hal terkait kiranya membuat kita perlu mengkaji ulang
pernyataan Weber yang kurang-lebih berbunyi: “Seluruh tindakan manusia di dunia
adalah rasional”, yang justru mengaburkan batas-batas antara dimensi rasionalitas
dengan irasionalitas.
Hal di atas berbeda halnya dengan konsep eksistensialisme Sartre (1956: 48)
yang mengenal istilah “keyakinan yang buruk”, yakni kondisi ketika individu sekedar
mengikuti individu atau kolektif lainnya. Meskipun memang, Sartre menyatakan pula,
“Anda memiliki keyakinan yang buruk, tapi tak mengapa, gaya yang berbeda untuk
orang yang berbeda”. Bisa jadi, pernyataan tersebut justru menunjukkan kapasitas
eksistensialisme Sartre dalam upaya menjembatani posisi individu dalam masyarakat
tanpa harus kehilangan dimensi eksistensinya. Pasalnya, bagi Sartre pengalaman
eksistensial dapat menjangkiti baik kala individu tegak berdiri melawan masyarakat
(menindak) maupun kala individu tak kuasa melawan dominasi masyarakat (ditindak).
Pengalaman terakhir ini, menunjukkan eksistensi diri individu sebagai etre en soi,
semisal rasa malu, terobjekkan, pasrah, serta keharusan menilai diri sendiri
berdasarkan kerangka penilaian orang lain. Lebih jauh, verstehen Weber tak memuat
penjelasan akan kemampuan individu dalam memanipulasi obyek, dalam hal ini
terutama orang lain dan ruang (tempat).
MAX SCHELER
Disamping Husserl, filsuf lain yang juga terlibat dalam filsafat fenomenologi
adalah Max Scheler. Scheler juga menggunakan metode Husserl dan tidak berusaha
untuk menganalisa dan menerangkan lebih jauh tentang suatu obyek dan gejala-
gejalanya. Bagi Scheler, fenomenologi merupakan “jalan keluar” ketidakpuasannya
atas logisisme-transendentalis Immanuel Kant dan Psikologisme Empiris. Dan
pemikiran yang paling utama Scheler adalah tentang fenomenologi etika.