Anda di halaman 1dari 15

Pengertian Fenomenologi

Fenomenologi secara etimologi berasal dari kata “phenomenon” yang berarti


realitas yang tampak, dan “logos” yang berarti ilmu. Sehingga secara Tujuan utama
fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran,
pikiran dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima
secara estetis. Fenomologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia
mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting, dalam kerangka intersubjektivitas.
Secara terminologi fenomenologi adalah ilmu berorientasi untuk dapat
mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak.Fenomena yang tampak adalah
refleksi dari realitas yang tidak berdiri sendiri karena ia memiliki makna yang
memerlukan penafsiran lebih lanjut. Fenomenologi menerobos fenomena untuk dapat
mengetahui makna (hakikat) terdalam dari fenomena-fenomena yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari.

Jadi, fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dari


sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan
mengklasifikasikan fenomena, atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain,
fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak di depan kita, dan bagaimana
penampakannya.

      Sejarah Fenomenologi

Ahli matematika Jerman Edmund Husserl, dalam tulisannya yang berjudul


Logical Investigations (1900) mengawali sejarah fenomenologi. Fenomenologi sebagai
salah satu cabang filsafat, pertama kali dikembangkan di universitas-universtas Jerman
sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian di lanjutkan
oleh Martin Heidehher dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre,
Heidegger, dan Merleau-Ponty memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam
pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus dari eksistensialisme adalah
eksplorasi kehidupan dunia mahluk sadar, atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa fenomenologi tidak dikenal
setidaknya sampai menjelang abad ke-20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya
istilah fenomenologi sebagai nama teori tentang penampakan, yang menjadi dasar
pengetahuan empiris (penampakan yang diterima secara inderawi). Istilah
fenomenologi itu sendiri diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert, pengikut
Christian Wolff. Sesudah itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah
fenomenologi dalam tulisannya, seperti halnya Johann Gottlieb Fichte dan
G.W.F.Hegel. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk
psikologi deskriptif. Dari sinilah awalnya Edmund Hesserl mengambil istilah
fenomenologi untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”.

     Teori Fenomenologi

Terdapat dua garis besar di dalam pemikiran fenomenologi, yakni fenomenologi


transsendental sepeti yang digambarkan dalam kerja Edmund Husserl dan
fenomenologi sosial yang digambarkan oleh Alfred Schutz. Menurut Deetz dari dua
garis besar tersebut (Husserl dan Schutz) terdapat tiga kesamaan yang berhubungan
dengan studi komunikasi, yakni pertama  dan prinsip yang paling dasar dari
fenomenologi – yang secara jelas dihubungkan dengan idealism Jerman – adalah
bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam pengalaman eskternal tetapi dalam
diri kesadaran individu.  Kedua, makna adalah derivasi dari potensialitas sebuah objek
atau pengalaman yang khusus dalam kehidupan pribadi. Esensinya, makna yang
beraal dari suatu objek atau pengalaman akan bergantung pada latar belakang individu
dan kejadian tertentu dalam hidup. Ketiga, kalangan fenomenolog percaya bahwa
dunia dialami dan makna dibangun melalui bahasa. Ketiga dasar fenomenologi ini
mempunyai perbedaan derajat signifikansi, bergantung pada aliran tertentu pemikiran
fenomenologi yang akan dibahas. 

     Jenis-Jenis Tradisi Fenomenologi


Inti dari tradisi fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian
dalam suasana yang alamiah. Tradisi memandang manusia secara aktif
mengintrepretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami
lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungannya. Titik
berat tradisi fenomenologi adalah Pada bagaimana individu mempersepsi serta
memberikan interpretasi pada pengalaman subyektifnya. Adapun varian dari tradisi
Fenomenologi ini adalah :
1. Fenomena Klasik, percaya pada kebenaran hanya bisa didapatkan melalui
pengarahan pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut pandangnya
tersendiri atau obyektif.
2. Fenomenologi Persepsi, percaya pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut
pandang yang berbeda – beda, tidak hanya membatasi fenomenologi pada obyektifitas, atau
bisa dikatakan lebih subyektif.
3. Fenomenologi Hermeneutik, percaya pada suatu kebenaran yang di tinjau baik dari
aspek obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan juga disertai dengan analisis guna menarik
suatu kesimpulan.
4. Fenomena Klasik, percaya pada kebenaran hanya bisa didapatkan melalui
pengarahan pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut pandangnya
tersendiri atau obyektif.
5. Fenomenologi Persepsi, percaya pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut
pandang yang berbeda – beda, tidak hanya membatasi fenomenologi pada obyektifitas, atau
bisa dikatakan lebih subyektif.
6. Fenomenologi Hermeneutik, percaya pada suatu kebenaran yang di tinjau baik dari
aspek obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan juga disertai dengan analisis guna menarik
suatu kesimpulan.

Prinsip Dasar Fenomenologi

Stanley Deetz menyimpulkan tiga prinsip dasar fenomenologis:


 Pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar. Kita
akan mengetahui dunia ketika kita berhubungan dengan pengalaman itu sendiri.
 Makna benda terdiri dari kekuatan benda dalam kehidupan seseorang.
Bagaimana kita berhubungan dengan benda menentukan maknanya bagi kita.
 Bahasa merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia melalui bahasa
yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu.
T
Tokoh Fenomenologi
E     1. Edmud Husserl

Edmud Husserl
Edmund Husserl (1859-1938) merupakan tokoh terpenting dalam metode
fenomenologi mengingat ialah yang untuk pertama kalinya mempopulerkan nama
fenomenologi sebagai metode atau cara berpikir baru dalam ranah keilmuan sosial-
humaniora. Beberapa pemikiran Edmund  Husserl terkait teori fenomonologi. sebagai
berikut : 
Fenomenologi Sebagai Metode untuk Membangun Disiplin dasar

Pendiri fenomenologi sebagai sebuah gerakan filosofis, Edmund Husserl


(1859-1938) memiliki tujuan fundamental, yang diperlukan untuk memiliki jelas
dalam pikiran dalam menilai pekerjaannya dan relevansinya bagi psikologi. Tujuan
ini adalah untuk memberikan dasar yang pasti untuk disiplin ilmiah yang berbeda
dengan membentuk makna konsep-konsep mereka yang paling dasar. Hal ini harus
dilakukan oleh klarifikasi struktur-struktur esensial penting dari pengalaman yang
membedakan satu disiplin dari yang lain dan mengatur sifat dari masing-masing
konsep disiplin itu. Seorang ahli matematika dengan pelatihan, kita bisa melihat
dalam sesuatu karya Husserl pendekatan untuk pengetahuan tentang geometri
Euclidean, peletakan keluar dari aksioma, atas dasar hal-hal yang pada
kenyataannya dapat dianggap melalui secara sehat. Dimana ini istirahat analog
bawah adalah dalam sifat dari aksioma dasar, yang bukan untuk Husserl, produk
dari alasan sederhana tetapi temuan pengawasan dari sifat abstrak dari pengalaman
tersebut dan dari mana konsep seperti itu berasal, sehingga mendasar untuk cabang
beasiswa.

Yang penting, maka Husserl memiliki kekhawatiran bahwa ilmu yang berbeda
dan disiplin ilmiah tidak memiliki metodologi untuk membangun konsep-konsep
dasar mereka. Banyak psikolog dengan selera untuk kekakuan konseptual juga
memiliki kepedulian picik bahwa konsep-konsep dasar yang kurang kuat dan jika
ada pretensi dari yayasan tersebut, mereka tampaknya tetap akan digunakan secara
longgar tanpa mata untuk setiap arti mendasar. Husserl memandang hal ini sebagai
khas dari semua alam pemikiran ilmiah. Tujuan filsafat aslinya sebagai ilmu yang
ketat (yang metodologis ketat dan hasilnya pasti memproduksi) dan itu akan
memberikan landasan untuk konsep dari setiap disiplin ilmiah. Jadi akan ada
(misalnya) menjadi geografi fenomenologis, efektif menciptakan apa disiplin adalah
dengan memperbaiki konsep-konsep utama. Husserl (1913/1983) berpendapat
bahwa, untuk setiap ilmu pengetahuan empiris akan ada disiplin eidetic
(Historisisme), tubuh dasar penelitian fenomenologis yang tidak akan sendiri secara
langsung berkaitan dengan dunia nyata tetapi akan memberikan set mapan konsep-
konsep yang akan memungkinkan peneliti untuk mempelajari dunia nyata. “Eidetic”
mengacu pada gagasan bahwa akan konsep-konsep dari “ esensi”  tersebut, murni
ide dasar memberikan struktur rasional untuk berpikir tentang realitas. Sama seperti
logika tidak secara khusus tentang realitas, namun menyediakan sistem konseptual
yang memungkinkan berpikir tentang aspek-aspek realitas untuk melanjutkan, dan
hanya sebagai geometri disiplin eidetik memungkinkan teknologi seperti survei tanah
untuk mengambil tempat, sehingga akan ada disiplin eidetik untuk wilayah masing-
masing usaha manusia.

Jadi, sama seperti geometri bisa menempatkan “ garis lurus “ sebagai item
dalam gudang senjata yang eidetik kebenaran meskipun adalah pertanyaan yang
sama sekali apakah hal seperti itu mempunyai manifestasi empiris sehingga esensi
disiplin murni lainnya harus dibangun tanpa perhatian yang dibayar untuk masalah
ini eksistensi nyata. Di antara disiplin fenomenologis akan ada psikologi
fenomenologis. Bahkan Husserl ditangani secara khusus dengan topik ini dalam
ceramah di 1925 (Husserl, 1925/1977). Tapi account dari psikologi fenomenologis
akan tidak seperti buku psikologi empiris seperti biasanya dipahami, memberikan
hasil penelitian ilmiah. Melainkan akan memeriksa dan fundamental psikologi
menemukan nyenyak sehingga bekerja empiris bisa pergi ke depan aman.

l
Hal Sendiri intensionalitas dan Para Fenomena

Bagaimana pengalaman dari sesuatu untuk diinterogasi ketat? Ini melibatkan


mengalihkan perhatian secara eksklusif untuk pengalaman, kemungkinan
mengalihkan perhatian untuk mengalami dan apa yang diberikan dalam pengalaman
tergantung pada pemahaman bahwa kesadaran semua adalah kesadaran dari
sesuatu. Prinsip pertama dari fenomenologi adalah bahwa kesadaran adalah
disengaja. Namun Husserl (1913/1983) terdengar peringatan terhadap ini yang
risalah pahami sebagai hanya mengulangi dunia “batin” dan dikotomi dunia “luar”.
Sebaliknya, perlu dipahami adalah bahwa kedua “modus kesadaran” dan “obyek”
kesadaran ini adalah “milikku”, mereka berdua di dalam pengalaman pribadi atau
kesadaran: Kita semua memahami kesadaran ekspresi dari sesuatu Ini jauh lebih
sulit untuk murni dan benar merebut atas keanehan yang sesuai untuk itu tidak ada
yang dilakukan dengan mengatakan bahwa objektivitas dan cerdas setiap
berhubungan dengan sesuatu objektivikasi, bahwa setiap menilai sesuatu yang
berhubungan dengan dinilai, dll Karena tanpa memiliki disita pada sendiri aneh sikap
transendental dan memiliki benar-benar disesuaikan dasar phenomenlogical murni,
seseorang mungkin saja menggunakan kata, fenomenologi tapi tidak memiliki materi
itu sendiri.
Jadi, “fenomena ini” apa yang muncul (objek sengaja) seperti yang dijelaskan
dengan caranya muncul, dengan memperhatikan mode sadar (persepsi, misalnya)
yang muncul. Kami akan mempertimbangkan kemudian dua “aspek” dari fenomena
seperti yang dijelaskan oleh Husserl (1913/1983), yang noema, obyek kesadaran,
dan cara di mana seseorang menyadari itu, noesis. Kunci pendekatan
fenomenologis adalah untuk fokus pada “penampilan yang muncul”. Untuk
memperhatikan benda di dalam yang muncul adalah untuk menolak gagasan bahwa
ada noumenon tersembunyi berbaring di balik fenomena yang berpengalaman.,
tugas ini adalah untuk menggambarkan apa yang muncul, fenomena yang murni dan
sederhana. Sebagai Husserl memberitahu kita: “Apa yang menentukan terdiri dari
deskripsi benar-benar setia dari apa yang sebenarnya hadir dalam kemurnian
fenomenologis dan dalam menjaga di kejauhan semua melampaui interpretasi
diberikan”. Sekarang, deskripsi kesadaran seseorang tentang fenomena ini
dianggap oleh Husserl sebagai pasti. Jadi, misalnya, keyakinan keagamaan
meskipun pasti masalah sengketa besar untuk hubungannya dengan realitas dan
nilai di dalam masyarakat saat ini, adalah tetap describable dalam muncul nya. Itu
harus mungkin karena itu, menurut Husserl bagi siapa saja untuk datang ke sebuah
pernyataan tentang apa iman. Tidak ada teori dibayangkan bisa membuat kita keliru
sehubungan dengan prinsip semua prinsip bahwa setiap intuisi asal presentive
merupakan sumber legitimasi dari cogniton, bahwa segala sesuatu awalnya
(sehingga untuk berbicara, di personal yang sebenarnya) ditawarkan kepada kita
dalam intuisi yang akan diterima hanya seperti apa yang disajikan kepada kita
sebagai mahluk, tapi juga hanya dalam batas-batas dari apa yang disajikan di sana.

Berpikir Fenomenologis

Temuan eksistensial tentang proses mental, sehingga tidak perlu membuat


“pengalaman” dan “pengamatan” akal di mana ilmu hal-hal fakta harus mendukung
dirinya sendiri oleh mereka, itu tetap membuat temuan eidetik yang berutang untuk
refleksi, lebih tepatnya intuisi reflectional dari esensi. Akibatnya keraguan skeptis
sehubungan dengan pengamatan-diri juga datang ke dalam tampilan untuk
fenomenologi, yang datang ke dalam tampilan untuk fenomenologi, lebih khusus,
sejauh meragukan hal ini memungkinkan menjadi diperpanjang dari refleksi tentang
sesuatu yang imanen untuk refleksi diambil universal.

 2  2.    ALFRED SCRUTZ
Alfred Scrutz

Ahli teori sosiologi-fenomenologi yang paling menonjol adalah Alfred Schutz,


seorang murid Husserl yang berimigrasi ke Amerika Serikat setelah munculnya fascism
di Eropa, melanjutkan karirnya sebagai bankir dan guru penggal-waktu (part-time). Dia
muncul di bawah pengaruh filsafat pragmatis dan interaksionisme-simbol; barngkali
cara terbaik untuk mendekati karyanya adalah melihatnya sebagai bentuk
interaksionisme yang lebih sistematik dan tajam. Akan tetapi, dalam karya klasiknya
yang berjudul The Phenomenology of the Social World, bagaimanapun, dia tertarik
dengan penggabungan pandangan fenomenologi dengan sosiologi melalui suatu kritik
sosiologi terhadap karya Weber.  Dia mengatakan bahwa reduksi fenomenologis,
pengesampingan pengetahuan kita tentang dunia, meninggalkan kita dengan apa yang
ia sebut sebagai suatu “arus-pengalaman” (stream of experience). 

Sebutan fenomenologis berarti studi tentang cara dimana fenomena hal-hal yang
kita sadari muncul kepada kita, dan cara yang paling mendasar dari pemunculannya
adalah sebagai suatu aliran pengalaman-pengalaman inderawi yang
berkesinambungan yang kita terima melalui panca indera kita. Fenomenologi tertarik
dengan pengidentifikasian masalah ini dari dunia pengalaman inderawi yang bermakna,
suatu hal yang semula yang terjadi di dalam kesadaran individual kita secara terpisah
dan kemudian secara kolektif, di dalam interaksi antara kesadaran-kesadaran. Bagian
ini adalah suatu bagian dimana kesadaran bertindak (acts) atas data inderawi yang
masih mentah, untuk menciptakan makna, didalam cara yang sama sehingga kita bisa
melihat sesuatu yang bersifat mendua dari jarak itu, tanpa masuk lebih dekat,
mengidebtifikasikannya melalui suatu proses dengan menghubungkannya dengan latar
belakangnya.
Hal ini mengantarkan kita kepada salah satu perbedaan yang jelas antara
fenomenologi dan bentuk lain dari teori tindakan: “tindakan” sejauh ini mengacu pada
tindakan manusi dalam berhubungan satu denan yang lain dan lingkungannya. Bagi
fenomenologi juga sama halnya, bahkan tindakan terutama ditujukan kepada proses
internal dari kesadaran (manusia), baik individualataupun kolektif. Sekali tindakan itu
ditransformasikan ke dalam fikiran kita, ia menjadi sulit untuk keluar lagi dan ini
mempunyai konsekuensinya pada usaha untuk memperluas sosiologi-fenomenologis
menjadi sebuah teori tentang masyarakat seperti juga tentang pribadi.

Menurut Schutz, cara kita mengkonstruksikan makna diluar dari arus utama
pengalaman ialah melalui proses tipikasi. Dalam hal ini termsuk membentuk
penggolongan atau klasifikasi dari pengalaman dengan melihat keserupaannya. Jadi
dalam arus pengalaman saya, saya melihat bahwa objek-objek tertentu pada umumnya
memiliki ciri-ciri khusus, bahwa mereka bergerak dari tempat ke tempat, sementara
lingkungan sendiri mungkin tetap diam. 

Jadi, kita menentukan apa yang Schutz sebutkan sebagai “hubungan-hubungan


makna” (meanings contexs), serangkaian kriteria yang dengannya kita mengorgnisir
pengalaman inderawi kita ke dalam suatu dunia yang bermakna. Hubungan-hubungan
makna iorganisir secara bersama-sama, juga melalui proses tipikasi, ke dalam apa yag
Schutz namakan “kumpulan pengetahuan” (stock of knowledge). Kalau kita tetap pada
tingkat kumpulan pengetahuan umum (commomsense knowledge), kita diarahkan
kepada studi-studi yang berlingkup kecil, mengenai situasi-situasi tertentu, yang
merupakan jenis karya empiris. Dimana interaksionisme simboliklah yang lebih unggul.
Secara umum karya Schutz telah digunakan untuk memberikan konsep-konsep
kepekaan yang lebih lanjut, sering secara implicit. Saya kira tiada satupun studi empiris
yang menggunakannya secara sistematik kecuali melalui pengembangan
etnometodologi. Namun demikian, Peter Berger telah mencoba secara sistematis untuk
mengembangkan fenomenologi menjadi suatu teori mengenai masyarakat.

Lebih jauh, bagi Schutz, manipulasi individu turut dimungkinkan dikarenakan


individu selalu berhadapan dengan dunia, obyek-obyek, atau realitas secara nyata.
Menurutnya, individu selalu meyakini bahwa ia berhadapan dengan realitas nyata
sepanjang tak memiliki alasan yang tepat untuk menentangnya. Keyakinan akan
keberadaan realitas nyata tersebutlah yang diistilahkannya dengan realitas puncak dan
pada gilirannya melahirkan makna puncak. Namun, manakala individu tak mampu
menghadapi realitas puncak, atau realitas tersebut tak sesuai dengan harapannya,
maka ia pun bakal menolak keberadaan makna puncak, dan menggantinya dengan
“makna khusus”. Dalam hal ini, makna khusus merupakan makna yang tak terpaku
pada dunia obyektif—berikut demikian berbeda dengan pemaknaan individu lain,
melainkan pendayagunaan-lebih alam kesadaran manusia terhadap realitas nyata.
Penggunaan makna khusus inilah yang kemudian menghantarkan individu larut dalam
dunia khayalan. Sebagai misal, seorang intelektual yang gagal menjadikan dirinya
terkenal dan tak kuasa menerima kenyataan tersebut, kemudian kerap membayangkan
dirinya menjadi populer, memiliki publikasi yang laris di pasaran, serta diundang
berbagai universitas dunia untuk memberikan kuliah. Bagi Schutz, hal tersebut
merupakan bagian dari kebebasan individu, hanya saja kebebasan yang tak
bertanggung jawab mengingat ketiadaan kontrol dan batasan di dalamnya.

Di samping konsep manipulasi individu yang memiripkan bentuknya dengan


fenomenologi eksistensial, layaknya Sartre, Schutz turut meyakini bahwa kehendak dan
keinginan dalam diri individu merupakan tanda kekosongan manusia yang memaksa
individu untuk terus bertindak. Adapun kecemasan mendasar individu menurut Schutz
adalah kematian mengingat hal tersebut selalu membayangi individu akan berbagai
proyeknya yang belum selesai selama dirinya berhadapan dengan realitas puncak
(Zeitlin, 1995: 264). Hal ini sedikit berbeda dengan pandangan eksistensialisme Sartre
(1956: 412) di mana kematian ditempatkan sebagai kepasrahan individu akan
proyeknya yang telah usai: kematian menyebabkan individu menjadi “is” ‘adalah’. Oleh
karenanya, apa yang dapat dilakukan individu dalam pandangan eksistensialisme
hanyalah “berbuat tanpa berharap”.

Di sisi lain, perbedaan mendasar antara fenomenologi eksistensial Sartre


dengan fenomenologi Schutz adalah anggapan Schutz bahwa kesadaran individu
selalu terbagi. Kesadaran tak pernah menjadi entitas yang tunggal, melainkan selalu
terbagi dengan individu lain; sahabat, keluarga, teman dan orang lain. Artinya,
pemahaman atau perspektif individu akan suatu hal tidak mungkin tidak dipengaruhi
oleh individu lain. Dengan kata lain, dunia individu tak pernah bersifat pribadi
sepenuhnya. Anggapan tersebut sudah tentu mengingkari otentitas individu dalam
pandangan fenomenologi eksistensial, terlebih berkenaan dengan pemaknaan
eksistensial yang dilakukan tiap-tiap individu.

3.    PETER L. BERGER 
Add caption

Peter L. Berger
Pengkajian fenomenologi Peter L. Berger berkaitan erat dengan konsepnya
mengenai konstruksi realitas sosial yang dianggapnya bergantung pada posisi individu
sebagai subyek. Dengan demikian, asumsi awal pemikiran terkait layaknya struktural
fungsional, hanya saja pemaknaan dihasilkan oleh hubungan subyektif individu dengan
dunia obyektif. Dalam proses tersebut, Berger (1994: 4-5) meyakini eksisnya dialektika
tiga momentum yang dialami individu dalam masyarakat, yakni eksternalisasi,
internalisasi dan obyektivasi, yang mana ketiganya menunjukkan eksistensi individu
sebagai produk masyarakat dan begitu pula sebaliknya: masyarakat sebagai produk
individu. Eksternalisasi adalah kondisi di mana individu lebih dominan ketimbang
masyarakat, dalam kondisi yang demikian individu aktif memproduksi nilai, norma dan
budaya bagi masyarakatnya. Sebaliknya, internalisasi adalah kondisi tatkala individu
lebih dormant ketimbang masyarakatnya, dalam kondisi tersebut individu aktif
mengadopsi nilai, norma dan budaya yang terdapat dalam masyarakat. 

Lebih jauh, kontektualisasi dialektika tiga momentum di atas dapat dimisalkan


dengan proses bertransformasinya konstruksi sosial menjadi kenyataan sosial. Sebagai
misal, seorang individu yang berpengaruh dalam masyarakat pada mulanya
mempraktekkan senyum simpul kala berpapasan dengan individu lain yang dikenalnya
sebagai bentuk penghormatan. Lambat-laun, perilaku tersebut ditiru oleh individu-
individu lain dan segera berubah menjadi suatu konstruksi sosial, yakni senyum simpul
sebagai bentuk penghormatan kala berpapasan dengan individu lain yang dikenal.
Bersamaan dengannya, konstruksi sosial pun menemui bentuknya sebagai kenyataan
sosial. Sebagai misal, apabila terdapat individu yang berpapasan dengan individu lain
yang dikenalnya namun tak melancarkan senyum simpul, maka ia akan segera
mendapati cap sombong, angkuh, dan lain sejenisnya.

            Apabila fenomenologi Berger masih mengakui keterkaitan antara individu


dengan masyarakat, maka tak demikian halnya dengan fenomenologi eksistensial
Sartre yang menolaknya sama sekali. Begitu pula, fenomenologi eksistensial Sartre
menolak dimensi internalisasi dan obyektivasi mengingat memberikan titik tolak penuh
pada kedirian individu. Secara tak langsung, hal tersebut turut menyiratkan
penolakannya terhadap konstruksi sosial sebagai realitas sosial. Dalam hal ini,
fenomenologi eksistensial Sartre sekedar meluluskan terjadinya momen eksternalisasi,
namun tak demikian halnya pada momen internalisasi dan obyektivasi. Internalisasi
sebagai bentuk pengadopsian nilai, norma dan budaya dalam masyarakat menemui
bentuknya sebagai mauvaise foi dalam pandangan Sartre, alih-alih obyektivasi yang
menekankan pada penciptaan (persetujuan) konsensus bersama.

            Analisis Berger menyatakan, bahwa individu dilahirkan dengan suatu


pradisposisi ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota masyarakat. Titik awal dari
proses ini adalah internalisasi, yaitu suatu pemahaman atau penafsiran yang langsung
dari peristiwa objektif sebagai suatu pengungkapan makna. Kesadaran diri individu
selama internalisasi menandai berlangsungnya proses sosialisasi.

4. MAX WEBER

Max Weber
Terkait dengan fenomonologi Max Weber membahas tentang Verstehen. Max
Weber (1864-1920) merupakan tokoh sosiologi yang paling berpengaruh dalam
pemahaman nominalisme sosiologis. Menurutnya, kajian sosiologi yang memfokuskan
perhatian pada studi mengenai entitas masyarakat, institusi atau lembaga-lembaga
sosial bersifat abstrak dan penuh spekulasi. Bagi Weber, satu-satunya perihal yang
konkret adalah motif berikut tindakan yang dimiliki individu, “Tak ada sesuatu yang
dinamakan masyarakat, melainkan kumpulan individu dan kelompok yang menjalin
hubungan sosial satu sama lain”, pungkas Weber. Di satu sisi, pernyataan tersebut
dapat diasumsikan sebagai berikut, “Keluarkan individu dari masyarakat, maka habislah
masyarakat. Tetapi, bubarkan masyarakat beserta lembaga-lembaganya, maka individu
akan tetap ada”. Oleh karenanya, obyek studi sosiologi Weber berfokus pada motif
tindakan sosial aktor.

Dalam hal ini, tindakan sosial memiliki beberapa karakteristik, antara


lain; (1) Tindakan aktor yang memiliki makna dan bersifat subyektif, (2)
Tindakan nyata maupun yang bersifat membatin dan sepenuhnya bersifat
subyektif, (3) Tindakan yang sengaja diulang berikut tindakan dalam
bentuk persetujuan diam-diam, (4) Tindakan terkait diarahkan pada
individu maupun kolektif, serta (5) Tindakan tersebut memperhatikan
tindakan orang lain dan terarah pada orang itu.

            Lebih jauh, guna menelisik penafsiran dan pemahaman dari serangkaian
tindakan sosial di atas, Weber mencetuskan metode verstehen. Secara sederhana,
verstehen mengajak peneliti (ilmuwan sosial) untuk menempatkan diri dalam posisi
aktor dan berusaha memahami dunia sebagaimana yang dipahami aktor tersebut.
Keyakinan Weber akan tindakan aktor yang bersifat rasional, menyebabkannya
memetakan tindakan aktor ke dalam empat tipe rasionalitas. Pertama, werktrational
(rasionalitas nilai), yakni tindakan aktor yang didasarkan pada sesuatu yang dianggap
benar, baik dan diharapkan keterwujudannya—sebagaimana pengertian nilai pada
umumnya. Sebagai misal, seseorang yang berkata jujur pada orang lain dikarenakan
menganggap kejujuran sebagai perihal yang patut dijunjung tinggi. Kedua, zwerk
rational (rasionalitas instrumental), yakni tindakan yang didasarkan pada efisiensi dan
efektifitas tingkat tinggi dalam pencapaian tujuan. Semisal, seorang wanita muda yang
bersedia menerima pinangan duda tua nan kaya raya dengan harapan bergelimang
harta dalam waktu singkat. Ketiga, affectual action (tindakan/rasionalitas afektif), yakni
tindakan aktor yang didasarkan pada perasaan atau emosi. Sebagai misal, seorang
gadis yang berjingkrak kegirangan karena memperoleh cokelat dari seorang pria yang
disukainya. Keempat, traditional action (tindakan/rasionalitas tradisional), yakni
tindakan yang didasarkan pada perihal yang telah dilakukan secara turun-temurun dan
berulang-ulang. Semisal, seorang pemuda yang pergi merantau dari kampung
halamannya dikarenakan hal tersebut telah menjadi tradisi dalam masyarakatnya.
Faktual, Weber berhasil membawa konsep pemahaman subyektif pada pola-pola
penalaran yang lebih bersifat rigorous “ketat”. Namun, layaknya fenomenologi Husserl,
verstehen Weber tak memiliki penjelasan akan posisi subyek sebagai obyek. Seolah,
subyek selalu berpikir berikut bertindak proaktif, bahkan ketika subyek “tertelan” oleh
masyarakat, semisal mengikuti nilai, norma dan tradisi yang terdapat di dalamnya, ia
tetap dalam kondisi aktif menafsirkan serta menciptakan dunia. Secara tak langsung, ini
menjadi aib bagi konsep rasionalitas Weber mengingat dimensi irasionalitas yang turut
termuat di dalamnya (tak sepenuhnya rasional)—bertindak karena sekedar mengikuti
atau meniru. Di satu sisi, hal terkait kiranya membuat kita perlu mengkaji ulang
pernyataan Weber yang kurang-lebih berbunyi: “Seluruh tindakan manusia di dunia
adalah rasional”, yang justru mengaburkan batas-batas antara dimensi rasionalitas
dengan irasionalitas.
Hal di atas berbeda halnya dengan konsep eksistensialisme Sartre (1956: 48)
yang mengenal istilah “keyakinan yang buruk”, yakni kondisi ketika individu sekedar
mengikuti individu atau kolektif lainnya. Meskipun memang, Sartre menyatakan pula,
“Anda memiliki keyakinan yang buruk, tapi tak mengapa, gaya yang berbeda untuk
orang yang berbeda”. Bisa jadi, pernyataan tersebut justru menunjukkan kapasitas
eksistensialisme Sartre dalam upaya menjembatani posisi individu dalam masyarakat
tanpa harus kehilangan dimensi eksistensinya. Pasalnya, bagi Sartre pengalaman
eksistensial dapat menjangkiti baik kala individu tegak berdiri melawan masyarakat
(menindak) maupun kala individu tak kuasa melawan dominasi masyarakat (ditindak).
Pengalaman terakhir ini, menunjukkan eksistensi diri individu sebagai etre en soi,
semisal rasa malu, terobjekkan, pasrah, serta keharusan menilai diri sendiri
berdasarkan kerangka penilaian orang lain. Lebih jauh, verstehen Weber tak memuat
penjelasan akan kemampuan individu dalam memanipulasi obyek, dalam hal ini
terutama orang lain dan ruang (tempat). 

    MAX SCHELER

Disamping Husserl, filsuf lain yang juga terlibat dalam filsafat fenomenologi
adalah Max Scheler. Scheler juga menggunakan metode Husserl dan tidak berusaha
untuk menganalisa dan menerangkan lebih jauh tentang suatu obyek dan gejala-
gejalanya. Bagi Scheler, fenomenologi merupakan “jalan keluar” ketidakpuasannya
atas logisisme-transendentalis Immanuel Kant dan Psikologisme Empiris. Dan
pemikiran yang paling utama Scheler adalah tentang fenomenologi etika.

Dalam pandangan Scheler tentang fenomenologi etis, benda dianggap sebagai


“sesuatu” yang bernilai; oleh karena itu, adalah keliru menginginkan inti nilai dari benda-
benda, atau memandang keduanya dengan tempat berpijak yang sama. Dunia benda-
benda terdiri atas segala sesuatu, maka dapat dihancurkan oleh kekuatan alam dan
sejarah. Dan jika nilai moral kehendak kita tergantung pada benda-benda, maka
kehancuran tersebut akan mempengaruhinya. Sebaliknya benda itu memiliki nilai
empiris, induktif, dan prinsip yang didasarkan diatasnya bersifat relatif.

Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana sebuah prinsip yang universal dan


pasti dapat diturunkan dari realitas yang berubah, yang tidak stabil? Jika etika benda-
benda diterima, prinsip-prinsip moral akan tertinggal di belakang evolusi sejarah, dan,
kata Scheler, adalah tidak mungkin untuk mengkritik dunia benda-benda yang ada pada
satu jaman tertentu, karena etika pasti didasarkan pada benda-benda tersebut. Juga
salah, bahwa setiap prinsip etis yang berusaha untuk menetapkan tujuan yang
berkaitan dengan nilai moral dari hasrat yang terukur. Sebab tujuan, sebagaimana
adanya, tidak pernah baik ataupun buruk, sebab benda-benda itu bebas dari nilai yang
harus direalisasikan. Dengan model pemikiran seperti ini, maka menurut Scheler,
perilaku yang baik dan yang buruk  tidak dapat diukur dengan menghubungkannya
dengan tujuan karena konsep tentang baik dan buruk tidak dapat disarikan dari isi
empiris tujuan.. Jelasnya, Scheler ingin mengatakan bahwa nilai itu berasal dari benda-
benda, namun tidak tergantung pada mereka. Dan dari ketidaktergantungan tersebut
memungkinkan benda itu untuk “menyusun” sebuah etika aksiologis yang sekaligus
material dan a priori.

Lebih jelasnya lagi, Scheler mengilustrasikannya dengan membandingkan “nilai”


dengan “warna” untuk menunjukkan bahwa didalam kasus keduanya terdapat
persoalan tentang kualitas yang keberadaannya tidak tergantung pada benda. Scheler
mengatakan bahwa “merah” sebagai kualitas murni dalam spektrum, tanpa mengalami
perlunya untuk mengkonsepsikannya sebagai yang meliputi permukaan yang berbadan.
Dengan cara yang sama, “nilai” yang terkandung didalam benda serta pembentukan
atas suatu “kebaikan” tidak tergantung pada benda tersebut. Menurut Scheler, kita tidak
memahami, misalnya nilai kenikmatan atau estetik melalui induksi yang umum. Dalam
kasus tertentu, satu obyek atau perbuatan tunggal cukup memadai bagi kita untuk
menangkap nilai yang terkandung didalamnya. Sebaliknya, kehadiran nilai yang
menyertai obyek yang bernilai memiliki hakekat “baik”. Dengan cara ini, kita tidak
memeras keindahan dari benda yang indah; karena keindahan mendahului
bendanya. Dan bila dikaitkan dengan perbuatan manusia, maka menurut Scheler,
manusia bukanlah pencipta nilai tingkah laku karena nilai-nilai itu berada diluar diri
manusia. Lebih lanjut Scheler mengatakan bahwa tugas manusia adalah mengakui
nilai-nilai itu serta mengikutinya dalam hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Brouwer, M.A.W, 1984, Psikologi Fenomenologis, Jakarta: Gramedia.
Lathief, Supaat I, 2010, Psikologi Fenomenologi Eksistensialisme, Jakarta: Pustaka
Pujangga.
Poloma, Margaret M, 2010, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers.
Ritzer, George, 2005, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana.
Zeitlin, Irving M, 1995, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Soekanto, Soerdjono.1993, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai