Anda di halaman 1dari 11

Auguste Comte: Bapak Positivisme

A. Pendahuluan

August Comte adalah seorang Filsuf dari Perancis yang menggagas aliran Positivisme.
Positivisme merupakan aliran yang cukup dominan pada abad ke- 19 yang mempunyai pengaruh
besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Positivisme menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan yang berdasarkan pada fakta yang teramati. Oleh
karena itu, positivisme menolak pengetahuan teologis, metafisis dan etis.

Sebagai orang yang pertama kali mengenalkan istilah sosiologi sebagai ilmu, dia juga
dikenal sebagai Bapak Sosiologi Dunia. Dia yang pertama kali memberdakan ruang lingkup dan
isi sosiologi dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Oleh Comte, sosiologi mencapai tahap positifnya
karena tidak lagi didasarkan pada spekulasi tentang masyarakat, akan tetapi didasarkan pada
pengamatan terhadap masyarakat.

Makalah ini akan membahas biografi Auguste Comte secara singkat dan sebagian
pemikirannya seperti arti positivisme, tahapan perkembangan manusia, klasifikasi ilmu
pengetahuan, dan agama kemanusiaan. Selain itu, akan disampaikan catatan kritis terhadap
sebagian pemikiran Comte.

B. Biografi

Lahir di Montpellier pada, Comte berasal dari sebuah keluarga bangsawan dan
dibesarkan sebagai seorang Katolik. Ayahnya, Louis, adalah seorang pejabat pajak pemerintah,
dan ibunya, Rosalie (Boyer) Comte, merupakan penganut Katolik yang taat. Pada usia empat
belas tahun, dia menegaskan kalau dirinya bukan lagi seorang penganut Katolik (Copleston,
1975: 75). Sejak tahun 1814 hingga 1816, dia belajar di Ecole Polytechnique di Paris. Disana dia
belajar dibawah bimbingan para ilmuwan tersohor. Pada saat inilah dia sampai kepada keyakinan
bahwa masyarakat haruslah diatur oleh kaum cendekiawan. Pada tahun 1816, Comte dikeluarkan
dari Ecole Polytechnique karena dia seorang republiken. Dia menjadi seorang republiken karena
terinspirasi revolusi Perancis. Setelah dikeluarkan, dia tetap tinggal Paris dan mempelajari
pemikiran para ideolog, seperti Destutt de Tracy dan Cabanis, serta tulisan-tulisan ekonom
politis dan sejarawan seperti David Hume dan Condorcet (Copleston, 1975: 75).

1
Pada tahun 1817, Comte menjadi sekretaris Saint-Simon. Saint-Simon adalah seorang
pakar ilmu sosial yang tertarik terhadap gagasan reformasi utopis. Tidak dapat dipungkiri,
perjumpaanya dengan Saint-Simon mempengaruhi perkembangan intelektualnya. Kebanyakan
idenya memang berasal dari Saint Simon (Hamersma, 1986: 54). Beberapa ide yang digagas
pertama kali oleh Saint-Simon muncul dalam beberapa pandangan filosofis Comte. Gagasan-
gagasan yang berasal dari Saint-Simon ini kemudian dia kembangkan dengan caranya sendiri.
Keduanya mempunyai pandangan yang sama bahwa reorganisasi masyarakat bisa dilakukan
dengan bantuan ilmu pengetahuan baru tentang perilaku manusia dan masyarakat.

Comte mulai mengajarkan gagasan Filsafat Positifnya pada tahun 1826 kepada khalayak
terbatas. Beberapa ilmuwan terkemuka mengikuti kuliahnya seperti Fourier, A. von Humbolt dan
Poinsot (Michel, 2018). Akan tetapi kuliahnya sempat terhenti karena dia mengalami gangguan
otak akibat kelelahan fisik dan tekanan psikis karena perceraiannya. Bahkan dia sempat
melakukan uji coba bunuh diri namun gagal. Dia berceria dengan istrinya, Caroline Massin
Comte, setelah tujuh belas tahun menikah. Dua tahun setelah berhenti dari mengajar, dia
melanjutkan kembali pengajarannya. Apa yang diajarkannya ini menjadi bahan dasar bagi
karyanya yang paling termasyhur Course of Positive Philosophy. Dalam karya yang terdiri dari
enam jilid ini, Comte mengajukan gagasan bahwa masyarakat berjalan berdasarkan hukum-
hukumnya sebagaimana dalam dunia fisika.

Dalam bukunya yang berjudul Discourse on the Positivist Outlook yang terbit pada tahun
1844, muncul gagasannya mengenai agama kemanusiaan. Dalam pandangan Comte, kemanusian
menggantikan Tuhan sebagai obyek penyembahan (Copleston, 1975:76). Pada tahun 1851, dia
menerbitkan bukunya yang berjudul System of Positive Policy. Setahun kemudian, bukunya yang
lain terbit dengan judul Positivist Catechism. Pada periode ini, dia mencoba menyampaikan
aspek-aspek religius dan ilmiah dari pemikirannya. Synthesis or Universal System of Concepts
Proper to the Normal State of Humanity adalah karyanya yang terbit pada tahun 1856. Dalam
karya terakhinya ini, dia mencoba menyintesis segala ilmu pengetahuan dalam hal hubungannya
dengan kebutuhan manusia. Akan tetapi usahanya tidak berhasil karena dia meninggal pada
tahun 1857 sebelum karyanya selesai.

2
C. Istilah “Positivisme”

Filsafat menurut Comte, sebagaimana yang dipahami para filsuf yunani kuno khususnya
Aristoteles, adalah sistem umum mengenai konsep-konsep manusia. Tugas filsafat menurutnya
ialah menyusun suatu teori umum sebagai rangka untuk hasil-hasil semua ilmu khusus
(Hamersma, 1986: 56). Sedangkan “Positivisme” berasal dari kata “positif”. Dalam karyanya
Discours sur lesprit positif, Comte menjelaskan secara eksplisit apa yang dia maksud dengan
kata “positif”. Pengertian dari kata “positif” menurut Comte sebagaimana yang diuraikan oleh
Koento Wibisono ialah:

1. Sebagai kebalikan sesuatu yang bersifat khayal, maka pengertian “positif” pertama-
tama dartikan sebagai pensifatan terhadap sesuatu yang nyata.
2. Sebagai kebalikan sesuatu yang tidak bermanfaat, maka pengertian “positif” diartikan
sebagai pensifatan terhadap sesuatu yang bermanfaat.
3. Sebagai kebalikan sesuatu yang meragukan, maka pengertian “positif” diartikan
sebagai pensifatan terhadap sesuatu yang sudah pasti.
4. Sebagai kebalikan sesuatu yang kabur, maka pengertian “positif” diartikan pensifatan
terhadap sesuatu yang jelas.
5. Sebagai kebalikansesuatu yang negatif, maka pengertian “positif” digunakan untuk
menunjukkan sifat-sifat pandangan filsafatnya yang selalu menuju kearah penataan atau
penertiban (Wibisono, 1996: 37).

Berdasarkan beberapa pengertian dari kata “positif” di atas, Comte berpandangan bahwa kata
“positif” sama dengan “faktual”. Dengan kata lain, “positif” adalah apa yang didasarkan pada
fakta-fakta yang teramati.

Menurut Comte, pengetahuan positif ialah pengetahuan mengenai fakta-fakta yang


teramati atau fenomena. Menurutnya, fakta adalah fenomena yang ditangkap panca indera.
Pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta yang teramati. Oleh karena itu,
pengetahuan positif hanya berbicara tentang gejala-gejala yang teramati (Hamersma, 1986: 54).
Baginya, persoalan filsafat yang penting bukan masalah hakikat atau asal mula pertama dan
tujuan akhir gejala-gejala, melainkan bagaimana hubungan antara gejala yang satu dengan gejala
yang lain (Munir, 2008: 34).

3
Berdasarkan pandangan positivismenya, Comte secara tegas menolak Metafisika. Selain
itu, dia menolak segala bentuk pengetahuan yang melampaui fakta yang teramati lainnya seperti
etika, teologi, dan seni. Satu-satunya pengetahuan yang sah menurutnya hanyalah ilmu
pengetahuan. Karena fakta dipahami hanya sebatas pada fenomena yang teramati, maka
positivisme memiliki persamaan dengan empirisme. Filsafat Positivisme Comte disebut juga
dengan faham Empirisisme-Kritis, yaitu pengamatan dan teori berjalan seiring (Munir, 2008:
34).

Menurut positivisme, pengetahuan yang sesungguhnya hanyalah pengalaman objektif


yang bersifat lahiriah yang dapat diuji secara indrawi. Jadi menurut Comte, pengetahuan adalah
apa yang dapat diuji secara empiris (Copleston, 1975: 77).

D. Tahapan Perkembangan Manusia

Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan alam terhadap pemikiran filosofis mulai


terasa pada abad ke tujuh belas dan semakin kentara pada abad ke delapan belas. Disamping
karena semakin besarnya pengaruh dari perkembangan ilmu pengetahuan alam terhadap
pemikiran filosofis, fenomena kehancuran tatanan feodal dan kekuasaan Gereja semakin
mendorong para pemikir abad ke sembilan belas untuk mencari sistem integrasi yang baru. Salah
satu cara yang ditempuh adalah dengan melakukan rekonstruksi historis mengenai sistem
pengetahuan manusia. Perkembangan sistem pengetahuan manusia diasumsikan berjalan
progresif, niscaya dan linier melalui beberapan tahapan. Pada abad ke delapan belas,
rekonstruksi historis sudah digagas oleh filsuf Perancis Condorcet dan Turgot. Kemudian pada
ada abad ke sembilan belas, meskipun sudah ada teori tahapan sejarah dari Saint-Simon,
rekonstruksi historis baru menemukan bentuknya yang paling komprehensif dalam pemikiran
Comte (Hardiman, 2007: 206).

Menurut Comte, sejarah perkembangan pengetahuan umat manusia mempunyai kaitan


yang erat dengan munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alam. Sejarah perkembangan pengetahuan
manusia terjadi melalui tiga tahapan. Bermula dari tahap teologis kemudian melalui tahap
metafisis untuk kemudian menuju tahap positif. Menurut Comte, ketiga tahapan itu dipahami
sebagai tahap-tahap perkembangan mental umat manusia sebagai suatu keseluruhan. Ketiga
tahapan perkembangan pengetahuan itu sesuai dengan tahapan perkembangan manusia sebagai

4
individu yang dimulai dari masa kanak-kanak kemudian melalui masa remaja untuk kemudian
menuju masa dewasa.

1. Tahap Teologis
Menurut Comte, pada tahap teologis, manusia mencari penyebab terakhir dari suatu
peristiwa dan menemukannya pada kehendak atau kekuatan dari pribadi yang
adikodrati (Copleston, 1975: 78). Pribadi yang adikodrati ini dapat berupa dewa-dewi
atau Tuhan yang diyakini memiliki kehendak dan kekuatan yang melampaui manusia.
Tahap ini dibagi lagi menjadi tiga sub-bagian. Pertama, tahap fetisisme atau
animisme. Pada tahap ini, manusia meyakini objek-objek fisik seperti batu, pohon,
dan lain sebagainya mempunyai jiwa dan kehendak. Kedua, tahap politeisme.
Kekuatan-kekuatan alam diproyeksikan dalam rupa dewa-dewi yang banyak
jumlahnya pada tahap ini. Ketiga, tahap monoteisme. Dewa-dewi yang merupakan
proyeksi dari kekuatan alam disatukan menjadi satu kekuatan adikodrati yang disebut
Tuhan.
2. Tahap Metafisis
Pada tahap metafisis, kehendak atau kekuatan pribadi adikodrati dirubah menjadi
konsep-konsep abstrak metafisis seperti “eter”, “causa”, “gaya” dan lain-lain.
Manusia tidak lagi menganggap Tuhan atau dewa-dewi sebagai penyebab atau
penjelasan bagi suatu fenomena atau peristiwa. Pada masa ini, Tuhan dan dewa-dewi
dianggap tidak ada. Keberadaanya digantikan oleh entitas-entits abstrak yang
metafisis Tahap Metafisis itu memang hanya suatu variasi dari cara berpikir teologis.
Karena pada tahap ini, dewa-dewa hanya diganti oleh kekuatan-kekuatan abstrak
(Hamersma, 1986: 55).
3. Tahap Positif
Tahap ini merupakan tahap kedewasaan mental manusia menurut Comte. Pada zaman
ini manusia tidak lagi mencari penyebab atau penjelasan dari sebuah peristiwa atau
fenomena diluar fakta-fakta yang teramati. Manusia tidak lagi merasa berkepentingan
dengan hal-hal yang berkaitan dengan sebab pertama atau tujuan terakhir, dan merasa
lebih dekat dengan gejala-gejala yang dapat diterangkan melalui pengamatan atas
hukum-hukum deskriptif seperti hukum gravitasi (Wibisono, 1996: 15). Pada tahap

5
inilah ilmu pengetahuan mengalami kemajuan. Pengetahuan sesungguhnya yang
dicirikan oleh Comte sebagai pengetahuan yang jelas, pasti dan bermanfaat.

Selain mengkaitkan tahap perkembangan sistem pengetahuan manusia dengan


perkembangan mental manusia sebagai individu, Comte juga mengkaitkannya dengan bentuk-
bentuk orgnisasi sosial (Copleston, 1975: 80). Tahap teologis misalnya, dikaitkan dengan tahap
absolutisme, misalnya otoritas absolut seorang raja dan kelompok militer. Pada tahap metafisis,
absolutisme raja digantikan oleh hak-hak abstrak rakyat dan hukum. Apabila pada tahap ini
masyarkat tumbuh dan perkembang dalam suatu susunan masyarakat feodal, maka pada tahap
positif, kehidupan masyarakat akan diatur oleh kelompok elit cendekiawan dengan rasa
perikemanusiaan sebagai dasar untuk mengatur kehidupan itu (Wibisono, 1996: 16). Kehidupan
ekonomi menjadi pusat perhatiaan pada zaman ini. Dengan kata lain, pada tahap positif,
perkembangan masyarakat telah sampai kepada tahap organisasi masyarakat industri. Menurut
Comte, masyarakat industri merupakan masyarakat yang damai. Agar masyarakat industri dapat
berkembang seperti yang diharapkan, dibutuhkan sebuah ilmu baru yang dikenal dengan
Sosiologi yang dapat digunakan untuk mengorganisasikan masyarakat industri.

E. Klasifikasi Pengetahuan

Setelah menjelaskan perkembangan pengetahuan manusia dengan tiga tahapannya,


Comte berusaha menunjukkan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan ilmiah dengan
mengklasifikan ilmu pengetahuan ilmiah yang ada. Menurut Comte, semua ilmu pengetahuan
ilmiah membahas kenyataan faktual. Karena kenyataan faktual berbeda-beda tingkatannya, maka
harus ada perbedaan sudut pandang ilmu pengetahuan. Comte membagi ilmu pengetahuan yang
bersifat spekulatif atau teoritis ke dalam ilmu pengetahuan yang abstrak atau umum dan ilmu
pengetahuan yang konkret atau khusus (Wibisono,
1996: 22). Dalam menetapkan ilmu-ilmu khusus,
Comte mencari ilmu-ilmu yang bersifat
fundamental. Dari ilmu-ilmu fundamental tersebut,
dapat diturunkan darinya ilmu-ilmu lainnya yang
bersifat terapan. Matematika, astronomi, kimia,
fisiologi, biologi dan fisika sosial adalah ilmu-ilmu

6
fundamental menurut Comte (Copleston, 1975: 84).

Keenam ilmu fundamental tersebut diurutkan sedemikian rupa dari mulai yang paling
abstrak hingga yang paling konkret. Semakin ke atas posisinya maka semakin abstrak.
Matermatika lebih abstrak dari astronomi, dan astronomi lebih abstrak dari fisika. Matematika
menempati posisi paling atas karena dianggap paling abstrak, sedangkan sosiologi ditempatkan
paling bawah karena paling konkret. Sebuah ilmu menjadi dasar bagi ilmu yang berada di
bawahnya. Matematika menjadi dasar bagi astronomi, dan astronomi menjadi dasar bagi fisika.
Dengan kata lain, sebuah ilmu tergantung dari ilmu yang berada di atasnya. Sosiologi tergantung
pada biologi, dan biologi tergantung pada kimia. Sedangkan dari segi kompleksitas, semakin ke
bawah posisi sebuah ilmu berarti semakin kompleks. Maka sosiologi dianggap sebagai ilmu yang
paling kompleks. Sebagai ilmu pengetahuan yang paling kompleks, sosiologi baru dapat
berkembang apabila ilmu-ilmu lainnya telah matang. Selain dianggap paling kompleks, sosiologi
juga dianggap sebagai ilmu yang paling konkret. Dianggap paling konkret karena sosiologi
mempelajari fakta yang paling konkret, yakni perilaku sosial manusia (Hardiman, 2007: 210).
Dalam sosiologi, ilmu-ilmu mencapai tahap positifnya dalam arti telah memakai metode ilmiah
sepenuhnya.

F. Agama Kemanusiaan

Menurut Comte, pada tahap positif, humanisme menggantikan posisi Tuhan pada tahap
teologis. Secara eksplisit, Comte menegaskan keinginannya untuk membentuk agama baru yang
disebutnya sebagai “agama kemanusiaan” atau “agama positivistis”. Objek yang menjadi
sesembahannya adalah “le Grand Etre” (Ada yang agung), yakni Kemanusiaan dengan huruf
kapital (Copleston, 1975: 95). Sedangkan moralitas tertinggi adalah cinta dan pengabdian kepada
kemanusiaan. Tidak hanya sampai disitu, Comte juga membuat unsur-unsur ritual sebagaimana
yang ada dalam ajaran Katolik sebagai agama yang pernah dianutnya. Beberapa diantaranya
seperti menyusun kalender untuk merayakan para orang suci, tempat ibadah, patung-patung dan
sakramen sosial bagi agama kemanusiaannya. Agama kemanusiaan ini dibentuk untuk
mengantikan agama tradisional dalam rangka memenuhi fungsi kohesi sosial dalam masyarakat.

Comte berpandangan bahwa masyarakat industri harus diatur oleh kelompok


cendekiawan yang terdiri dari filsuf positivis dan ilmuwan karena merekalah yang dianggap

7
sebagai orang yang mempunyai pengetahuan yang sesungguhnya. Seperti Plato, Comte tidak
melihat adanya manfaat nyata dari demokrasi. Bahkan dia lebih melihat adanya manfaat nyata
dari sistem paternalistis Gereja pada abad pertengahan dalam menciptakan kebaikan bersama
(Copleston, 1975: 93). Dalam masyarakat positif, peranan rohaniwan Gereja digantikan oleh
filsuf positivis atau ilmuwan sebagai pengatur dan pengontrol masyarakat.

G. Catatan Kritis

Pandangan positivisme membatasi kenyataan hanya pada sesuatu yang dapat terjangkau
panca indera. Padahal kenyataan tidak hanya terbatas pada apa yang dapat dijangkau oleh panca
indera saja. Ada kenyataan yang meskipun tidak dapat dijangkau oleh panca indera namun tetap
ada, seperti nilai, moral, kesadaran, dan lain sebagainya. Dengan demikian, positivisme belum
dapat menjelaskan dan menyentuh kenyataan secara komprehensif.

Selain membatasi kenyataan, positivisme juga telah mereduksi manusia dan alam.
Positivisme hanya mampu melihat manusia sebagai sekumpulan daging. Positivisme tidak
mampu menjangkau aspek-aspek sujektifitas manusia seperti kesadaran, perasaan dan kehendak
dalam kehidupan eksistensial manusia. Selain itu, positivisme juga tidak mampu menghayati
manusia dalam hakikatnya yang “monopluralistik”, yaitu kesatuan atau keutuhan organik dari
unsur-unsur dan taraf-tarafnya yang fisik-kimiawi, vegetatif-biologis, dan berakal-berasa-
berkehendak. (Wibisono, 1996: 64). Unsur-unsur yang menyusun keutuhan manusia tersebut
tidak dapat direduksi hanya menjadi salah satu unsur saja.

Positivisme terlalu deterministik dan naturalistik dalam memandang proses


perkembangan. Positivisme mengasumsikan bahwa perkembangan manusia terjadi sebagaimana
perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan linier, progresif dan niscaya. Pandangan terhadap
perkembangan manusia, baik secara keseluruhan maupun individual yang bermula dari tahap
teologis kemudian melalui tahap metafisis untuk kemudian menuju tahap positifis, berasal dari
pandangan bahwa manusia hanyalah bagian dari alam yang berkembang karena hukum alam.
Dalam setiap tahap perkembangannya, pikiran dan mental manusia seolah-olah sudah ditentukan
oleh suatu keadaan tertentu yang ada dalam tiap-tiap tahapan. Dengan kata lain, pandangan ini
meniadakan salah satu unsur yang menyusun manusia, yakni unsur kesadaran, perasaan dan
kehendak. Akibatnya, manusia seakan tidak mempunyai kuasa atas dirinya, dan hanya sekedar

8
menjadi objek bagi hukum alam. Dengan demikian, keutuhan manusia dalam hakikat
“monopluralistiknya” menjadi tereduksi.

Comte berpandangan bahwa masyarakat yang berada pada tahap positif adalah
masyarakat industri. Sehingga menurutnya, masyarakat yang ideal, yang telah mencapai tahap
kemajuan, adalah masyarakat industri karena kedamaian akan muncul dengan sendirinya dalam
masyarakat ini (Copleston, 1975: 91). Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan dan kemajuan
yang dimaksudkan Comte hanyalah kemajuan secara teknis. Kemajuan yang dimaksud Comte
belum menyentuk seluruh aspek kemajuan umat manusia. Dengan kemajuan teknologinya,
masyarakat industri memang telah mampu memberikan fasilitas fisik yang dapat memudahkan
kehidupan manusia. Akan tetapi pada saat yang sama, terjadi krisis dalam masyarakat industri.
Mulai dari krisis moral yang mengakibatkan tingginya angka kriminalitas, sampai krisis
lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Berbagai kemajuan di bidang
teknologi ternyata juga dapat menimbulkan bahaya yang dapat mengancam umat manusia akibat
kesalahan dalam penerapannya. Pengeboman atom di Nagasaki dan Hiroshima menjadi salah
satu contohnya. Comte terlalu optimistik terhadap kemajuan yang dia bayangkan sehingga tidak
mampu melihat kemungkinan lain yang akan terjadi setelah tahap positif tercapai. Ternyata
kemajuan yang dicapai oleh masyarakat industri tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang
diharapkan dan dibayangkan oleh Comte.

H. Penutup

Comte berpandangan bahwa kata “positif” sama dengan “faktual”. Dengan kata lain,
“positif” adalah apa yang didasarkan pada fakta-fakta yang teramati. Dengan demikian,
pengetahuan yang sesungguhnya menurut Comte ialah pengetahuan yang berasal dari fakta-fakta
yang teramati. Oleh karena itu, dia menolak segala bentuk pengetahuan yang melampaui fakta
yang teramati lainnya seperti etika, teologi, dan seni. Dengan kata lain, pengetahuan yang
sesungguhnya terbatas pada pengetahuan ilmiah atau sains.

Menurut Comte, sejarah perkembangan pengetahuan manusia terjadi melalui tiga


tahapan. Bermula dari tahap teologis kemudian melalui tahap metafisis untuk kemudian menuju
tahap positif. Pada tahap positif, perkembangan masyarakat telah sampai kepada tahap organisasi
masyarakat industri. Menurut Comte, masyarakat industri merupakan masyarakat yang paling

9
ideal. Disamping itu, Comte membagi ilmu pengetahuan yang bersifat teoritis ke dalam ilmu
pengetahuan yang abstrak dan ilmu pengetahuan yang praktis ke dalam ilmu pengetahuan yang
konkret. Sosiologi dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang paling kompleks dan konkret. Oleh
karena itu, sosiologi dianggap sebagai puncak ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk
mengorganisasikan masyarakat industri.

Pada tahap positif, Humanisme menggantikan posisi Tuhan pada tahap teologis. Comte
membentuk agama baru yang disebutnya sebagai “agama kemanusiaan”. Moralitas tertinggi
menurutnya adalah cinta dan pengabdian kepada kemanusiaan. Tidak dapat diragukan bahwa
pemikiran Comte mempunyai jasa besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan ilmiah
(sains) maupun ilmu sosial khususnya sosiologi dengan merumuskan model pengetahuan yang
tidak spekulatif. Selain itu, Comte mendorong penerapan ilmu pengetahuan dalam upaya
mengorganisasi masyarakat. Meskipun demikian, beberapa pemikiran Comte memiliki beberapa
kelemahnya. Beberapa diantaranya ialah bahwa gagasannya terlalu sempit dalam memandang
kenyataan, mereduksi hakikat manusia yang “monopluralistik”, memandang manusia dengan
pandangan deterministik dan naturalistik serta kurang komprehensif dalam memandang
kemajuan.

10
Daftar Pustaka

Bourdeau, Michel, "Auguste Comte", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2018
Edition), Edward N. Zalta (ed.)

Copleston, Frederick. 1975. A History of Philosophy. Vol. 9. New Jersey: Paulist Press

Hamersma, Harry. 1986. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: PT Gramedia

Hardiman, Budi, 2007. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia

Munir, Misnal. 2008. Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer. Yogyakarta : Lima

Wibisono, Koento. 1996. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

11

Anda mungkin juga menyukai