B. Pemikiran
Filsafat Aristoteles berkembang dalam tiga tahapan yang pertama ketika dia masih
belajar di Akademi Plato ketika gagasannya masih dekat dengan gurunya tersebut,
kemudian ketika dia mengungsi, dan terakhir pada waktu ia memimpin Lyceum
mencakup enam karya tulisnya yang membahas masalah logika, yang dianggap
sebagai karya-karyanya yang paling penting, selain kontribusinya di bidang
Metafisika, Fisika, Etika, Politik, Ilmu Kedokteran, Ilmu Alam dan karya seni.
Berlawanan dengan Plato yang menyatakan teori tentang bentuk-bentuk ideal benda,
Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada
(eksis). Pemikiran lainnya adalah tentang gerak dimana dikatakan semua benda
bergerak menuju satu tujuan, sebuah pendapat yang dikatakan bercorak teleologis.
Karena benda tidak dapat bergerak dengan sendirinya maka harus ada penggerak
dimana penggerak itu harus mempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada
penggerak pertama yang tak bergerak yang kemudian disebut dengan theos, yaitu
yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan. Logika
Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), yang bahkan
sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika
formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya
observasi, eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking).
Hal lain dalam kerangka berpikir yang menjadi sumbangan penting Aristoteles adalah
silogisme yang dapat digunakan dalam menarik kesimpulan yang baru yang tepat dari
dua kebenaran yang telah ada. Misalkan ada dua pernyataan (premis).
Setiap manusia pasti akan mati (premis mayor).
Sokrates adalah manusia (premis minor)
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Sokrates pasti akan mati
C. Komentar
Aristoteles berkata bahwa negara sebaiknya memberikan pendidikan yang baik bagi
semua anak-anak. Serta mempunyai suatu sistem sekolah negeri yang wajib bagi
putra-putra semua warga negara, tetapi sistem tersebut terdiri dari pendidikan fisik
dan latihan militer. Usul Aristoteles tentang pendidikan umum yang universal dalam
kesenian dan ilmu pengetahuan tidak terlaksana secara luas sehingga dua ribu tahun
kemudian, ketika dalam abad ke-16 dan abad ke-17, sistem-sistem sekolah nasional
secara bertahap didirikan di Jerman dan negeri-negeri Eropa lainnya. Tetapi,
usulnya itu tidak diperuntukkan bagi negara-negara besar atau kekaisaran, tetapi bagi
negara-negara kota seperti Athena yang dipandangnya sebagai suatu lingkungan yang
ideal. Dalam pandangannya, pendidikan universal sebaiknya mencakup olahraga,
senam, musik, kesusateraan, ilmu pengetahuan, dan latihan moral. Pendidikan
tersebut mungkin saja memasuki dunia pendidikan.
Dalam rangka pendidikan yang lebih tinggi, ia nampaknya setuju dengan Plato
tentang nilai-nilai matematika, fisika, astronomi, dan filsafat. Ia menyatakan bahwa
putera-putera semua warganegara sebaiknya diajar sesuai dengan kemampuan
mereka, suatu pandangan yang sama dengan doktrin Plato tentang perbedaan
individual. Disiplin merupakan hal yang eesensial untuk mengajar para pemuda dan
kaum lelaki muda untuk mematuhi perintah-perintah dan mengendalikan gerak hati
mereka. Dengan belajar menaati, mereka akan belajar bagaimana caranya untuk
memberikan perintah-perintah yang dapat dibenarkan dan untuk memerintah orang-
orang lain. Mereka dapat diajar untuk menggunakan retorika untuk menghimbau dan
membangkitkan semangat orang lain, dan juga untuk memberitahukan kepada
mereka, asalkan mereka berbuat demikian untuk tujuan yang baik. Bagi semua
pelajar, Aristoteles menggambarkan tentang idealisme yang tinggi, ketekunan,
pengamatan, dalam yang cermat dan berpikir secara lugas untuk mendorong berpikir
lugas (diharuskan menemukan kebenaran yang tak logos, salah atau kontradiktif dari
fakta-fakta atau observasi-observasi). Aristoteles mendirikan ilmu pengetahuan
tentang logika (ia menyebutnya analitik) yang mengemukakan prinsip-prinsip
penalaran yang benar.
Referensi
Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, Estetika Filsafat Keindahan (Yogyakarta: Kanisius,
1993.
Yenne, Bill. 100 Pria Pengukir Sejarah Dunia (hal 38-39). Alih bahasa: Didik Djunaedi. PT.
Pustaka Delapratasa, 2002, Jakarta.
I. Rene Descartes
A. Riwayat Hidup
B. Pemikiran
Dari tahun 1616 hingga 1628, Descartes berkelana kesana kemari, dari satu negeri ke negeri
lain. Dia masuk tiga dinas ketentaraan yang berbeda-beda (Belanda, Bavaria dan Honggaria),
walaupun tampaknya dia tidak pernah ikut bertempur samasekali. Dikunjungi pula Italia,
Polandia, Denmark dan negeri-negeri lainnya. Dalam tahun-tahun ini, dia menghimpun apa
saja yang dianggapnya merupakan metode umum untuk menemukan kebenaran. Ketika
umurnya tiga puluh dua tahun, Descartes memutuskan menggunakan metodenya dalam suatu
percobaan membangun gambaran dunia yang sesungguhnya. Dia lantas menetap di Negeri
Belanda dan tinggal di sana selama tidak kurang dari dua puluh satu tahun. (Dipilihnya
Negeri Belanda karena negeri itu dianggapnya menyediakan kebebasan intelektual yang lebih
besar ketimbang lain-lain negeri, dan karena dia ingin menjauhkan diri dari Paris yang
kehidupan sosialnya tidak memberikan ketenangan cukup).
Sekitar tahun 1629 ia menulis Rules for the Direction of the Mind buku yang memberikan
garis-garis besar metodenya. Tetapi, buku ini tidak komplit dan tampaknya ia tidak berniat
menerbitkannya. Diterbitkan untuk pertama kalinya lebih dari lima puluh tahun sesudah
Descartes tiada. Dari tahun 1630 sampai 1634, Descartes menggunakan metodenya dalam
penelitian ilmiah. Untuk mempelajari lebih mendalam tentang anatomi dan fisiologi, dia
melakukan penjajagan secara terpisah-pisah. Dia bergumul dalam bidang-bidang yang berdiri
sendiri seperti optik, meteorologi, matematik dan peberbagai cabang ilmu lainnya.
Mungkin, bagian paling menarik dari filosofi Descartes adalah caranya dia memulai sesuatu.
Meneliti sejumlah besar pendapat-pendapat yang keliru yang umumnya sudah disepakati
orang, Descartes berkesimpulan untuk mencari kebenaran sejati dia mesti mulai melakukan
langkah yang polos dan jernih. Untuk itu, dia mulai dengan cara meragukan apa saja, apa saja
yang dikatakan gurunya. Meragukan kepercayaan meragukan pendapat yang sudah berlaku,
meragukan eksistensi alam di luar dunia, bahkan meragukan eksistensinya sendiri.
Ini membuat dia menghadapi masalah yang menghadang: apakah mungkin mengatasi
pemecahan atas keraguan yang begitu universal, dan apakah mungkin menemukan
pengetahuan yang bisa dipercaya mengenai segala-galanya? Tetapi, lewat alasan-alasan
metafisika yang cerdik, dia mampu memuaskan dirinya sendiri bahwa dia sebenarnya ada
(Saya berpikir, karena itu saya ada), dan Tuhan itu ada serta alam di luar dunia pun ada. Ini
merupakan langkah pertama dari teori Descartes.
Makna penting teori Descartes punya nilai ganda. Pertama, dia meletakkan pusat sistem
filosofinya persoalan epistomologis yang fundamental, Apakah asal-muasalnya pengetahuan
manusia itu? para filosof terdahulu sudah mencoba melukiskan gambaran dunia. Descartes
mengajar kita bahwa pertanyaan macam itu tidak bisa memberi jawab yang memuaskan
kecuali bila dikaitkan dengan pertanyaan Bagaimana saya tahu?
Descartes menganjurkan kita harus berangkat bukan dengan kepercayaan, melainkan dengan
keraguan. (Ini merupakan kebalikan sepenuhnya dari sikap St. Augustine, dan umumnya
teolog abad tengah bahwa kepercayaan harus didahulukan). Memang benar Descartes
kemudian meneruskan dan sampai pada kesimpulan teologis yang ortodoks, tetapi para
pembacanya lebih tertarik dan menaruh perhatian lebih besar kepada metode yang
dikembangkannya ketimbang kongklusi yang ditariknya. (Ketakutan gereja bahwa tulisan-
tulisan Descartes akhirnya akan menjadi bahaya, jelas sekali).
Dalam filosofinya, Descartes menekankan beda nyata antara pikiran dan obyek material, dan
dalam hubungan ini dia membela dualisme. Perbedaan ini telah dibuat sebelumnya, tetapi
tulisan-tulisan Descartes menggalakkan perbincangan filosofis tentang masalah itu.
Permasalahan yang dikemukakannya menarik para filosof sejak itu dan tetap tak terpecahkan.
Pengaruh besar lain dari konsepsi Descartes adalah tentang fisik alam semesta. Dia yakin,
seluruh alam kecuali Tuhan dan jiwa manusia bekerja secara mekanis, dan karena itu
semua peristiwa alami dapat dijelaskan secara dan dari sebab-musabab mekanis. Atas dasar
ini dia menolak anggapan-anggapan astrologi, magis dan lain-lain ketahayulan. Berarti, dia
pun menolak semua penjelasan kejadian secara teleologis. (Yakni, dia mencari sebab-sebab
mekanis secara langsung dan menolak anggapan bahwa kejadian itu terjadi untuk sesuatu
tujuan final yang jauh). Dari pandangan Descartes semua makhluk pada hakekatnya
merupakan mesin yang ruwet, dan tubuh manusia pun tunduk pada hukum mekanis yang
biasa. Pendapat ini sejak saat itu menjadi salah satu ide fundamental fisiologi modern.
Descartes menggandrungi penyelidikan ilmiah dan dia percaya bahwa penggunaan praktisnya
dapat bermanfaat bagi masyarakat. Dia pikir, para ilmuwan harus menjauhi pendapat-
pendapat yang semu dan harus berusaha menjabarkan dunia secara matematis. Semua ini
kedengarannya modern. Tetapi, Descartes, melalui pengamatannya sendiri tak pernah
bersungguh-sungguh menekankan arti penting ruwetnya percobaan-percobaan metode ilmiah.
Filosof Inggris yang masyhur, Francis Bacon, telah menyatakan perlunya penyelidikan ilmiah
dan keuntungan yang bisa diharapkan dari sana beberapa tahun sebelum Descartes. Dan
argumen yang terkenal Descartes yang berbunyi saya berfikir, karena itu saya ada,
bukanlah pendapatnya yang orisinal. Itu sudah pernah dikemukakan lebih dari 1200 tahun
sebelumnya (walau dalam kalimat yang berbeda tentu saja) oleh St. Augustine. Hal serupa
juga mengenai pembuktian Descartes tentang adanya Tuhan hanyalah variasi dari pendapat
ontologis yang pertama kali diucapkan oleh St. Anselm (1033-1109).
Di tahun 1641 Descartes menerbitkan bukunya yang masyhur Meditations. Dan bukunya
Principles of philosophy muncul tahun 1644. Ke dua buku itu aslinya ditulis dalam bahasa
Latin dan terjemahan Perancisnya terbit tahun 1647.
Tahun 1649 Descartes menerima tawaran bantuan keuangan yang lumayan dari Ratu
Christina, Swedia, agar datang ke negerinya dan menjadi guru pribadinya. Descartes amat
kecewa ketika dia tahu sang Ratu ingin diajar pada jam lima pagi! Dia khawatir udara pagi
yang dingin bisa membikinnya mati. Dan ternyata betul: dia kena pneumonia, meninggal
bulan Februari 1650, cuma empat bulan sesudah sampai di Swedia. Descartes tak pernah
menikah, tetapi memiliki seorang anak perempuan.
Filosofi Descartes dikritik pedas oleh banyak filosof sejamannya, sebagian karena mereka
anggap filosofi itu menggunakan alasan yang berputar-putar. Sebagian lagi menunjukkan
kekurangan-kekurangan dalam sistemnya. Dan sedikit sekali orang saat ini yang membelanya
dengan sepenuh hati. Tetapi, arti penting seorang filosof tidaklah terletak pada kebenaran
sistemnya; melainkan pada apakah penting tidaknya ide-idenya, atau apakah ide-idenya ditiru
orang dan berpengaruh luas. Dari ukuran ini, sedikitlah keraguan bahwa Descartes memang
seorang tokoh yang penting.
Sedikitnya ada lima ide Descartes yang punya pengaruh penting terhadap jalan pikiran Eropa:
(a) pandangan mekanisnya mengenai alam semesta; (b) sikapnya yang positif terhadap
penjajagan ilmiah; (c) tekanan yang, diletakkannya pada penggunaan matematika dalam ilmu
pengetahuan; (d) pembelaannya terhadap dasar awal sikap skeptis; dan (e) penitikpusatan
perhatian terhadap epistemologi.
C. Komentar
Dalam tradisi filsafat, kebanyakan mereka yang telah mengemukakan jawaban terhadapa
persoalan-persoalan tersebut dapat di kelompokkan dalam salah satu dari dua aliran yaitu:
rasionalisme dan empirisme. Akan tetapi sejalan dengan perkembangan dengan pemikiran
filsafat, kedua aliran inipun telah mendapat kritik tajam dari aliran yang kemudian di kenal
dengan kritisisme. Seolah-olah pemikiran itu menunjukkan dirinya secara nyata dalam alam
pemikiran filsafat. Tampak jelas dalam proses perjalanan pemikiran rasionalisme ke
empirisme dan kritisisme yang pada akhirnya telah melahirkan apa yang kemudian di kenal
dan mewarnai pemikiran dunia hingga dewasa ini. Itulah yang kita kenal dengan metode
ilmiah atau scientific method.
Memang jelas terdapat hubungan yang lazim antara metafisik dan epistemologi. Konsepsi
kita tentang realitas tergantung pada paham kita tentang apa yang dapat kita ketahui .
sebaliknya, teori pengetahuan kita bergantung pada pemahaman terhadap diri kita dalam
hubungannya dengan seluruh realitas yang ada.
Rasionalisme adalah aliran filsafat yang dipopulerkan oleh Rene Descartes atau sering juga di
sebut sebagai bapak filsafat pada abad modern. Aliran ini di sebut rasionalisme karena sangat
mementingkan rasio sebagai instrumen mencari kebanaran. Dalam rasio terdapat ide-ide dan
dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di
luar rasio.
Ada perbedaan mendasar antara filsafat abad pertengahan denga abad modern. Perbedaan itu
bukanlah dilihat dari segi maju dan mundur pada dunia ilmu pengetahuan melainkan lebih
sering dilihat dari sudut ciri khasnya masing-masing. Filsafat abad pertengahan bercirikan
pemaduan atau sinkretasi antara akal dan wahyu, antara rasio dan agama, dengan
kecenderungan untuk mencari pembenaran-pembenaran terhadap wahyu dan eksistensi
Tuhan melalui argumen-argumen filosofis. Adapun ciri filsafat modern adalah perhatian yang
antusias terhadap hal-hal yang bersifat konkret, seperti alam semesta, manusia, hidup
bermasyarakat dan sejarah.
Adapun metode yang digunakan dalam aliran rasionalisme adalah menyangsikan segala-
galanya atau keragu-raguan. Descartes bermaksud bahwa kesangsian atau keragu-raguan ini
harus meliputi seluruh pengaetahuan, termasuk juga kebenaran-kebanaran yang sampai kini
di anggap pasti. Misalnya, ada suatu dunia material, bahwa saya mempunyai tubuh, dan
allah ada. Menurut Descartes kalau ada suatu kebenaran yang tahan dalam kesangsian yang
radikal itu, maka itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan dasar bagi
seluruh ilmu pengetahuan. Ungakapan Descartes yang sangat terkenal adalah cogito ergo sum
( aku berfikir maka aku ada). Dalam filsafat modern cogito sering kali digunakan dalam arti
kesadaran. Cogiti ergo sum itulah menurut Descartes suatu kebenaran yang tidak dapat
disangkal, betapa pun besar usaha kita.
Bagaimana memperoleh pengetahuan yang sahih dari metode yang canangkan dapat dijumpai
dalam bagian kedua karyanya, Anaximenes Discourse on Method yang menjelaskan perlunya
memperhatikan empat hal berikut ini: (1) tidak menerima sesuatu pun sebagai kebenaran
kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas (clearly and
distinctly), sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu merobahkannya. (2)
Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah atau sebanyak mungkin bagian, shingga tidak ada
suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya. (3) Bimbinglah pikiran dengan teratur,
dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap
sampai pada yang paling sulit dan kompleks. (4) Dalam proses pencarian dan pemeriksaan
hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta
pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada
satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.
Referensi
Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, Estetika Filsafat Keindahan (Yogyakarta: Kanisius,
1993.
Yenne, Bill. 100 Pria Pengukir Sejarah Dunia (hal 38-39). Alih bahasa: Didik Djunaedi. PT.
Pustaka Delapratasa, 2002, Jakarta.
II. Al Ghazali
A. Riwayat Hidup
Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin
Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-
Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah
Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam
Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di
pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang
hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada
teman akrabnya yang bernama Ahmad bin
Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-
Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan
hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan
belajar Imam Ghazali.[1]Ia wafat di Tusia, sebuah
kota tempat kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M)
dalam usianya yang ke 55 tahun.
B. Pemikiran
Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof,
karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di lontarkan
al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai
berikut :
...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar
seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku
pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-
prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ...,
mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syariat dan agama, tidak
percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah
ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...
Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam
kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran
Islam yaitu al-Quran dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka sumber-
sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama
dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya
IhyaUlum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang
keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru
menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa
tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan
kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan
kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof?.
Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan
filsosof menjadi 3 (tiga) golongan:
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada
dengan sendirinya.
Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui
penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban
dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam raya ini. Kendatipun
demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak
mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah
menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak
dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri
termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan
pemikiran ini di dunia Islam.
Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bidat dan
kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-
Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20 bahagian, antara lain:
Kemudian al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang bisa
menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :
Para filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan
atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas malulnya (ada sebab akibat), yakni dari
zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari para filosof itu adalah tidak mungkin
wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan
demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam
belum ada.
Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak
pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi,
paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya.
Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran al-Quran yang jelas
menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala
isinya). Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada,
sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping
adanya Tuhan.
Al-Ghazali juga menjawab argumen filosof-filosof mulsim itu. Katanya; tidak ada halangan
apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim pada waktu
diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum
dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah berfungsi
membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu
bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta
dan tidaknya sama kedudukannya, harus ada suat sifat khusus yang membedakannya, yaitu
sifat iradah. Andaikata para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut
sebagai iradah, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar
istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.
Apakah yang menjadi landasan berpikir al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa alam itu
tidak qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka filosofis yang ia tawarkan adalah titik tolak
yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan
kehendak unik yang bertindak secara aktual. Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui,
Maha Perkasa, dan Maha Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan
sesuatu yang ia kehendaki; ia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia
kehendaki dan dalam bentuk yang Dia kehendaki.
Sebenarnya perbedaan yang terjadi pada al-Ghazali dan tentang qadimnya alam hanya sebuah
perbedaan penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Memang filosof Muslim
berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan. Dari nihil yang
kosong, tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu
yang lain. Justru itu materi asal (al-hayula alula), yang darinya alam ini disusun, mesti qadim.
Materi asal ini diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak di batasi oleh zaman.
Oleh karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia qidam dan azali.
Justru itu alam ini qidam pula. Interprestasi filosof Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari
teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh ilmu alam, yakni antara sebab dan musabab tidak
ada perbedaan. Allah menciptakan alam semenjak azali, berarti materinya berasal dari energi
yang qadim. Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Agaknya,
interprestasi ini sejalan dengan ilmu fisika modren.
Menurut ilmu fisika modren, antara energi dan materi tidak bisa lagi ditarik garis pemisah
yang tegas, energi dapat berubah menjadi materi dan materi dapat berubah menjadi energi.
Dengan kata lain, energi ialah materi yang direnggangkan, sedangkan materi adalah energi
yang dipadatkan.
c. Tuhan tidak mengetahui yang juziyyat (hal-hal yang terperinci/kecil) yang terjadi di
alam.
Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juziyyat (hal-hal yang sifatnya
terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para filosof Muslim.
Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim itu adalah pemahaman yang
dianut oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman
bahwa Allah sebagai Tuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa
mengetahui yang selain-Nya.
Pendapat para filosof Muslim ini di jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa
para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah
sebuah perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu
berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai
ilmu tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, bila seseorang berada
di sebelah kanan Anda, lalu orang itu berpindah kesebelah kiri Anda, kemudian berpindah
lagi kedepan atau kebelakang, maka yang berubah adalah orang itu, bukanya Anda. Ia
mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak
berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan.
Dalil pertama:
Artinya: Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al
Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di
waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah
(atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar
dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).(Q.S. Yunus:
61)
Dalil kedua :
Dalam ayat ini jelaslah bahwa Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. berbeda dengan Ibnu
Rusyd yang mengatakan Tuhan hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil
(partikular). Tudingan al-Ghazali ini berbentuk sebuah ucapan seperti di bawah ini :
Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka (para filsafat) Tuhan yang Mahamulia
mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular
pernyataan ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-dalil di atas, ini menunjukkan
ketidakberimanannya mereka. Maka yang benar adalah tidak ada sebutir atom pun di langit
maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.
Kalau dilihat pendapat Ibnu Rusyd maka akan berlawanan, menurut Ibnu Rusyd;
pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juzi (parsial) dan kully (umum). Juzi adalah satuan
yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan
pancaindera. Kully, mencakup berbagai jenis (nu). Kully bersifat abstrak, hanya dapat
diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat
pancaindera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para
filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juzi dan kully.
Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di alam akhirat
adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka dari itu, ketika di akhirat
nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun kepedihan di sana yang dapat merasakan adalah
rohani. Sedangkan jasmani (jasad) merasakan kebahgiaan dan kepedihan hanya saat di dunia
saja.
Kesesuaian suasana rohani maka ketika dibangkitkan nanti saat di akhirat bersifat rohani
pula. Akan tetapi, kebangkitan jasmani tidak sampai ke akhirat atau dikembalikan. Dalam
mengulas alasan-alasan, mereka mengemukakan bahwa pengembalian jasad memiliki tiga
kemungkinan. Pertama, manusia terdiri atas badan dan kehidupan, ini sama halnya seperti
dikatakan oleh sebagian ulama kalam, sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya dan yang
mengatur badan tidak ada wujudnya. Pengertian mati berarti terputus hidup, yakni Tuhan
tidak lagi menciptakan hidup, oleh karena itu hidup ini tidak ada, dan badan tidak ada pula.
Jadi, arti kebangkitan adalah bahwa Tuhan mengembalikan badan yang sudah tidak ada
karena mati kepada wujudnya, dan mengembalikan hidupnya yang sudah tidak ada. Dalam
perkataan lain, badan manusia setelah menjadi tanah dikumpulkan dan disusun kembali
menurut bentuk manusia dan diberikan hidup kepadanya. Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa
(roh) manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi badan yang pertama (yang terjadi di dunia ini)
nantinya dikembalikan lagi dengan anggota-anggota badannya sendiri dengan lengkap.
Ketiga, atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan, baik badan dengan
anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain samasekali. Jadi, yang
dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya) tidak terpenting, sedangkan
manusia disebut karena jiwanya (rohnya), bukan karena bendanya (badannya).
Atas dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani
kepada jasad ketika keduanya telah berpisah. Menurut mereka, setelah berpisah antara roh
dengan jasad, berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh menjadi hancur. Penciptaan
kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini
berarti mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika
diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan
membutuhkan pemikiran yang panjang, seperti adanya manusia pincang, manusia buta, dan
lainnya. Kalau ini yang terjadi maka di surga nantinya akan ada sidat kekurangan dan ada
pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Sesungguhnya di surga yang suci tidaklah
demikian. Jika demikian terjadilah proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas
hingga menjadi kain.
Menurut al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Quran dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW.
Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja. Tetapi pada
kehidupan rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia
yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani.
Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu, menurut al-Ghazali,
bukanlah kehidupan di surga dan neraka bersifat rohaniah saja, menurut al-Ghazali adalah
pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman
demikian, menurutnya bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh al-Quran dan al-Hadits,
karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu
adalah jasmani. Ini terbukti dengan perkataannya :
... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang
mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi
hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau
hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya,
mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual
karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala
dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah
diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga mengatakan; banyak hadits yang
mengatakan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atu siksa kubur dan lainnya.
Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sedangkan kebangkitan jasmani secara
eksplisit telah ditegaskan dalam syara, yakni berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik
tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan. Ini dikarenakan tubuh
manusia dapat berganti bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan
seterusnya. Namun, hal yang terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang dapat
merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu. dan
dengan KeMahakuasaan-Nya tidak merasa sulit bagi-Nya menjadikan setetes sperma
menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf, otoit, lemak, dan
sebagainya. Dari hasil ini detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari.
Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang berbeda antara setiap manusia. Justru itu, Allah
jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada badan (jasmani) di akhirat ketimbang
penciptaan-Nya pertama kali.
Sungguh pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji secara
mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan Interprestasi karena
bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asyari, ia aktif mengembangkan
Asyarisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizhamiyah Baghdad, tentu
saja pemikirannya dipengaruhi oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak
Tuhan dan interprestasinya tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof
Muslim dipengarhui oleh pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari
al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.
Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan
bodoh dan tidak mengetahui arah hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar,
Al-Ghazali berupaya membuat sebuah karya-karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang
untuk selalu menggali ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di dalam karyanya al-
Ghazali yang berjudul Ihya Ulum Ad Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini
merupakan sebuah karya al-Ghazali yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama kalam
sebagai bahan kajian untuk amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam buku itu banyak
menjelaskan tentang ilmu-ilmu keagamaan Islam, ke-Esaan Allah, dan ilmu-ilmu yang
bersangkutan dengan syariat.
Pada karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqiz
min Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa :
ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni
alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan
analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin.
Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin).
Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda
untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi)
yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah
jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui
penglihatan dan pendengaran. Maka marifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al-
Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al Ijtihad) karena
bertentangan dengan ajaran agama.
Kalau dilihat pemikiran dari al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang banyak
menentang aliran-aliran filsafat. Menurutnya banyak orang-orang yang menyimpang dari
ajaran agama saat mempelajari filsafat, karena kebanyakan manusia di saat mempelajari
filsafat tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar yang kuat. Filsafat menurutnya lebih
banyak mengedepankan akal daripada dalil untuk mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab itu,
al-Ghazali banyak dikenal oleh para masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak
melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan
tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali berdasarkan atas
rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari
penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.
C Komentar
Saat ini perkembangan filsafat di dunia Islam sangat memprihatinkan. Mayoritas muslim
menolak the mother of science ini. Mereka menganggap filsafat sebagai ilmu yang merusak
keimanan seseorang. Filsafat dianggap sebagai musuh agama. Oleh karenanya, umat Islam
sudah tidak tertarik lagi terhadap filsafat karena menganggapnya sebagai ilmu yang tidak
berguna dan bahkan menyesatkan.
Pandangan yang demikian itu tidak hanya dilontarkan oleh mereka yang berpikiran dangkal,
tetapi juga oleh mereka yang dianggap sebagai ulama terkemuka, seperti K.H. Hasyim
Asyari (pendiri NU). Beliau menempatkan filsafat sebagai ilmu yang baik tetapi ketika
didalami akan menimbulkan kekacauan berpikir. Sehingga, beliau menganggap filsafat
sebagai ilmu yang tidak perlu. Lebih parah lagi, Al-Ghazali yang mendapat gelar Hujjatul
Islam juga turut memberikan warning terhadap filsafat karena dianggap sebagai ilmu yang
berbahaya bagi keimanan terutama ketika dipelajari oleh orang-orang awam. Lebih lanjut,
Al-Ghazali mengecam keras terhadap tiga kesimpulan para filosof, yaitu keabadian alam,
pengetahuan Tuhan sebatas pada yang universal, dan jasad tidak dibangkitkan pada akhir
zaman. Menurut Al-Ghazali, tiga kesimpulan itu bisa mengantarkan seorang muslim pada
kekafiran.
Al-Ghazali memiliki pandangan berbeda terhadap dua dari tiga kesimpulan para filosof tadi.
Pertama, mengenai keabadian alam (ke-qadim-an alam). Al-Ghazali menganggap bahwa
filosof telah musyrik karena ada dua entitas yang sama-sama qadim, yaitu Tuhan dan alam.
Padahal, yang qadim hanyalah Tuhan. Sehingga, beliau menyimpulkan bahwa alam ada
dengan sendirinya tanpa membutuhkan Tuhan.
Sebenarnya, Alam disebut qadim oleh filosof bukan berarti keberadaan alam itu tidak butuh
kepada Tuhan. Memang, secara temporal (zamaniy) Tuhan dan alam sama-sama ada sebelum
adanya ruang dan waktu. Itulah yang dimaksud alam yang qadim oleh para filosof.
Sementara, jika dilihat dari zatnya (zaty), keberadaan alam itu butuh kepada Tuhan.
Sehingga, alam itu tetap baru (hadist) sebagai lawan dari abadi (qadim). Maka, secara
temporal, alam bersifat qadim, tetapi secara zat alam tetap bersifat hadits. Itu yang
disalahpahami oleh Al-Ghazali.
Kedua, Al-Ghazali keliru mengartikan bahwa pengetahuan Tuhan terhadap alam itu bersifat
universal, tidak partikular. Al-Ghazali menganggap bahwa para filosof telah mengingkari
sifat Maha Tahu yang dimiliki Tuhan sebagaimana keterangan yang banyak terdapat di dalam
al-Quran. Sebenarnya, filosof tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui yang
partikular dari alam ini, tetapi, filosof mengatakan bahwa cara Tuhan itu berbeda dengan cara
manusia dalam mengetahui alam ini.Pengetahuan Tuhan itu sebagai sebab (illat) dari alam
ini, sementara, pengetahuan manusia itu sebagai akibat (malul) dari alam ini. Pengetahuan
Tuhan tentang alam ini sudah pasti benar sehingga alam ini akan mengikuti pengetahuan
Tuhan tersebut. Alam menjadi akibat (malul) dari pengetahuan Tuhan, yang dalam hal ini
menjadi sebab (illat). Pengetahuan manusia itu berdasarkan pengamatan yang dilakukan
terhadap alam ini, sehingga pengetahuan itu tergantung kepada alam. Maka, alam menjadi
sebab (illat) bagi pengetahuan manusia, yang dalam hal ini menjadi akibat (malul).
Dengan demikian, sebenarnya Al-Ghazali tidak menolak keseluruhan sistem filsafat yang
selama ini dibangun. Beliau hanya menolak ajaran Neoplatonisme. Bukan filsafat secara
keseluruhan. Al-Ghazali dan pengikut-pengikutnya sampai saat ini masih tetap menggunakan
logika Aristoteles, misalnya. Itu menunjukkan bahwa Al-Ghazali tidak menolak filsafat
secara keseluruhan. Pelajaran Mantiq yang diajarkan di pesantren-pesantren sampai saat ini
tidak lain adalah logika Aristoteles yang sudah ada sejak 5 abad sebelum masehi.
Jadi, filsafat harus tetap hidup di dunia Islam agar umat Islam bisa meraih kembali kejayaan
seperti di masa lalu. Terbukti, ketika masa dinasti Abbasiyyah dilakukan penerjemahan buku-
buku filsafat serta buku-buku pengetahuan lainnya, umat Islam memperoleh kejayaan yang
luar biasa, jauh melampaui Eropa.
Referensi
Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat Hidup Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
A. Hanafi, Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Rusyd Dalam Tiga Metafisika, Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1981
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesi, 1983
Rusyd, Ibnu, Tahafut al-Tahafut, Tahkik, Sulaiman Dunya, Kairo: Dar al-Maarif, 1971
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, Bandung: Pustaka
Setia, 2009