Anda di halaman 1dari 32

Positivisme

Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah
positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut
asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat,
positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains.
Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada)
antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan
berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.

POSITIVISME DAN PERKEMBANGANNYA


31Mar2008 Filed under: Epistemology, Paradigm and Perspective
Author: Arif
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak
aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya
spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu
sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum
idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai
kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan
pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada
spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam
perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi,
walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang
diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh
Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan
Spencer.

2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme empirio-positivisme


berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan
Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyekobyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal.
Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut
pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran
Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan
lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan
tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua
kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis,
positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap
ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur
penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Positivisme Logis
Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan
dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama
Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang
berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi
pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan
atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis
ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan
ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsepkonsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara
empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini
adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam
suatu sistem yang dikenal dengan kesatuan ilmu yang juga akan
menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah.
Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.

Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan


tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidahkaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik
menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang
menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam
bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataanpernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan
kaidah-kaidah korespondensi.
Auguste Comte dan Positivisme
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu
positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana
metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan
hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat
pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan
dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint
Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut
Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab
akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti
pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap
perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme),
tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari
masyarakat industri.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of
Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai
evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang
sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan.
Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika,
dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala (
diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejalagejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).

Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode


positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini
mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat
hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan,
perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu
biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus
berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum
yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Karl R Popper: Kritik terhadap Positivisme Logis
Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan
ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru
ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa
pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi
pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika.
Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah
menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang
metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan
belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui
induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan
ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut
diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme
logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak
mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku,
karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan
kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan

tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan


tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu
dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai
adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat
bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya
tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan
pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian
pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk
membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab
benar secara mutlak.

Daftar Pustaka
Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern
tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1987
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1996
Collins, James, A History of Modern European Philosophy, The Bruce
Publishing Company, Milwaukee, 1954
Feibleman, James K., Understanding Philosophy :A Popular History of
Ideas,Billing & Sons Ltd, London, 1986
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosilogi : Klasik dan Modern, Jil. 1Cet. 3,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
Laeyendecker, L. Tata, Perubahan dan Ketimpangan : Suatu Pengantar
Sejarah Sosiologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983
Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah : Menurut Karl R.
Popper, PT. Gramedia, Jakarta, 1989
Walsh,W.H., Philosophy of History : An Introduction, Harper
Torchbooks, USA, 1967
Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid 1, Lembaga Penerbit
FE UI, Jakarta, 1996

KARL RAIMUND POPPER


31Mar2008 Filed under: Epistemology, Philosophers Author: Arif
Ketika Ia Hidup
Karl Raimund Popper lahir di Wina tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya Dr.
Simon Siegmund Carl Popper adalah seorang pengacara yang sangat
berminat pada filsafat. Maka tidak mengherankan bila ia begitu tertarik
dengan dunia filsafat, karena ayahnya telah mengkoleksi buku-buku
karya filusuf-filusuf ternama.
Pada usia 16 tahun ia keluar dari sekolahnya, Realgymnasium, dengan
alasan Ia bosan dengan pelajaran disana maka ia menjadi pendengar
bebas di Universitas Wina dan baru pada tahun 1922 ia diterima sebagai
mahasiswa disama.
Setelah perang dunia I dimana begitu banyak penindasan dan
pembunuhan maka Popper terdorong untuk menulis sebuah karangan
tentang kebebasan. Dan diusia 17 tahun ia menjadi anti Marxis karena
kekecewaannya pada pendapat yang menghalalkan segala cara dalam
melakukan revolusi termasuk pengorbanan jiwa. Dimana pada saat itu
terjadi pembantaian pemuda yang beraliran sosialis dan komunis dan
banyak dari teman-temannya yang terbunuh. Dan sejak saat itu ia
menarik suatu kebijaksanaan yang diungkapkan oleh Socrates yaitu
Saya tahu bahwa saya tidak tahu, dan dari sini ia menyadari dengan
sungguh-sungguh perbedaan antara pemikiran dogmatis dan kritis.
Salah satu peristiwa yang mempengaruhi perkembangan intelektual
Popper dalam filsafatnya adalah dengan tumbangnya teaori Newton
dengan munculnya Teori tentang gaya berat dan kosmologi baru yang
gikemukakan oleh Einstein. Dimana Popper terkesan dengan ungkapan
Einstein yang mengatakan bahwa teorinya tak dapat dipertahankan kalau
gagal dalm tes tertentu, dan ini sangat berlainan sekali dengan sikap
kaum Marxis yang dogmatis dan selalu mencari verifikasi terhadap teoriteori kesayangannya.

Dari peristiwa ini Popper menyimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah


sikap kritis yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes
yang crucial berupa pengujian yang dapat menyangkal teori yang
diujinya, meskipun tak pernah dapat meneguhkannya.
Tokoh lain yang cukup berpengaruh pada Popper yang berkaitan dengan
perkembangan pemikiran filsafatnya adalah Karl Buhler, seorang
profesor psikologi di Universitas Wina. Buhler memperkenalkan pada
Popper tentang 3 tingkatan fungsi bahasa, yaitu fungsi ekspresif, fungsi
stimulatif, dan fungsi deskriptif. Dua fungsi pertama selalu hadir pada
bahasa manusia dan binatang sedangkan fungsi ketiga khas pada bahasa
manusia dan bahkan tidak selalu hadir. Dan pada perkembangannya
Popper menambahkan fungsi keempat yaitu fungsi argumentatif, yang
dianggapnya terpenting karena merupakan basis pemikiran kritis.
Dalam perkembangan selanjutnya ia banyak menulis buku-buku yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan epistemologi, dan sampai pada
bukunya yang berjudul Logik der Forschung, ia mengatakan bahwa
pengetahuan tumbuh lewat percobaan dan pembuangan kesalahan. Dan
terus berkembang sampai karyanya yang berjudul The Open Society and
Its Enemies, dalam karyanya ini Popper mengungkapkan bahwa arti
terbaik akal dan masuk akal adalah keterbukaan terhadap kritik
kesediaan untuk dikritik dan keinginan untuk mengkritik diri sendiri.
Dari sini Popper menarik kesimpulan bahwa menghadapkan teori-teori
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya adalan
satu-satunya cara yang tepat untuk mengujinya dan juga satu-satunya
cara yang menungkinkan ilmu pengetahuan bisa berkembang terus
menerus. Dan dengan adanya kemungkinan untuk menguji teori tentang
ketidakbenarannya berarti teori itu terbuka untuk di kritik dan ia
memunculkan apa yang dinamakan Rasionalisme kritis. Demikianlah
sekelumit kehidupan Karl Raimund Popper yang mengakhiri hidupnya
pada tahun 1994.
Karya-karyanya
1. Logik der Forschung tahun 1934

2. The Open Society and Its Enemies I, II; The Poverty of Historicism
tahun 1957
3. The Logic of Scientific Discovery tahun 1959
4. Conjectures and Refutations: the Growth of Scientific Knowledge
tahun 1963
5. Objective Knowledge, an Evolutionary Approach tahun 1972
6. The Philosophy of Karl Popper tahun 1974
Kritiknya terhadap Positivisme Logis
Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan
ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru
ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa
pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi
pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika.
Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah
menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang
metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan
belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui
induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan
ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut
diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme
logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak
mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku,
karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan
kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan
tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan
tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu
dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai
adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat
bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya
tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan

pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian


pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk
membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab
benar secara mutlak.
Pemikirannya : Asas Falsifiabilitas
Menurut Popper teori yang melatar belakangi fakta-fakta pengamatan
adalah titik permulaan ilmu pengetahuan dan teori diciptakan manusia
sebagai jawaban atas masalah pengetahuan tertentu berdasarkan rasionya
sehingga teori tidak lain hanyalah pendugaan dan pengiraan dan tidak
pernah benar secara mutlak sehingga perlu dilakukan pengujian yang
secermat-cermatnya agar diketahuan ketidakbenarannya.
Ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang apabila teori yang
diciptakannya itu berhasil ditentukan ketidakbenarannya. Dan Popper
mengganti istilah verifikasi dengan falsifikasi.
Keterbukaan untuk diuji atau falsifiabilitas sebagai tolok ukur
mempunyai implikasi bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang dan
selalu dapat diperbaiki, dan pengetahuan yang tidak terbuka untuk diuji
tidak ada harapan untuk berkembang, dan sifatnya biasanya dogmatis
serta tidak dapat digolongkan sebagai pengetahuan ilmiah.
Adapun bagan mengenai metode falsifiabilitas yang dikemukankan oleh
Popper dapat ditunjukkan sebagai berikut :
Tahap 1: P1 TT EE P2
Tahap 2: P2 TT1 EE1 P3
Tahap dst..
Keterangan :
P1 : Permasalahan/ Problem Awal
TT : Tentative Theory
EE : Error Elimination
P2 : Problem baru
TT1 : Tentative theory ke dua

EE1 : Error Elimination ke dua


P3 : Problem baru
Dari bagan ini terlihat bahwa ilmu pengetahuan terus berkembang
mengikuti alur diatas dan penjelasan ini akan lebih jelas lagi dengan
menyimak penjelasn yang berikut.
Proses Pengembangan Pengetahuan Ilmiah
Popper menekankan bahwa pengalaman merupakan unsur yang paling
menentukan dan pengalaman tidak mengenai sesuatu yang berdiri sendiri
yang dapat dipakai sebagai tolok ukur atau batu uji mutlak buat
pembuktian atau embenaran suatu teori atay pernyataan, melainkan
mengenai cara menguji, atau metode penelitian itu sendiri. Jadi Popper
mengatakan bahwa pengalaman saman dengan pengujian dan pengujian
sama dengan metode penelitian.
Popper juga mengungkapkan adanya tahap-tahap pengembangan
pengetahuan ilmiah, yaitu tahap 1, Penemuan masalah, ilmu
pengetahuan mulai dari satu masalah yang bermula dari suatu
penyimpangan, dan penyimpangan ini mengakibatkan orang terpaksa
mempertanyakan keabsahan perkiraan itu dan ini merupakan masalah
pengetahuan. Tahap 2, Pembuatan Teori, langkah selanjutnya adalah
merumuskan suatu Teori sebagai jawabannya yang merupakan hasil daya
cipta pikiran manusia dan sifatnya percobaan atau terkaan. Teori sifatnya
lebih abstrak dari masalah. Tahap 3, Perumusan ramalan atau
hipotesis, Teori selanjutnya digunakan untuk menurunkan ramalan atau
hipotesis spesifik secara deduktif dan ini ditujukan kepada kenyataan
empiris tertentu. Tahap 4, Pengujuan ramalan atau hipotesis,
selanjutnya hipotesis diuji melalui pengamatan dan eksperimen tujuannya
adalah mengumpulkan keterangan empiris dan menunjukkan
ketidakbenarannya. Tahap 5, Penilaian hasil, tujuan menilai benar
tidaknya suatu teori oleh Popper dinamakan pernyataan dasar yang
menggambarkan hasil pengujian. Pernyataan dasar ini memainkan
peranan khusus yaitu pernyataan yang bertentangan dengan teori, dan ini
semacam petunjuk ketidakbenaran potensial dari teori yang ada. Dalam
tahap ke 5 ini terdapat dua kemungkinan, pertama, teori ini diterima

sehingga tidak berhasil ditunjukkan ketidakbenarannya dan untuk


sementara teori ini dapat dikategorikan sebagai pengetahuan ilmiah
sampai pada suatus aat dapat dirobohkan dengan menyusun suatu
pengujian yang lebih cermat. Kemungkinan kedua, adalah teori ini
ditolak sehingga terbukti bahwa ketidakbenarannya dan konsekuensinya
muncul masalah baru dan harus segera dibentuk teori baru untuk
mengatasinya. Tahap 6, Pembuatan Teori Baru, dengan ditolaknya teori
lama maka muncullah masalah baru yang membutuhkan teori baru untuk
mengatsinya dan sifat dari teori ini tetap abstrak dan merupakan
perkiraan atau dugaan sehingga merupakan suatu percobaan yang harus
tetap diuji.
Dari penjelasan diatas bahwa untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah
tentunya manusia tidka akan lepas dari kegiatan percobaan, kesalahan,
terkaan dan penolakan yang silih berganti dan menurut Popper teori
adalah unsur tetap dalam evolusi manusia dan teori pula adalah unsur
rasio dan bagian dari pembawaan manusia.
Menurut Popper filsafat ilmu pengetahuan tidak lain merupakan suatu
pengujian untuk memberikan alasan atau argumentasi untuk memilih
teori satu dan membuang teori yang lain dan bukan mengenai
pembenaran suatu teori. Dan apa yang dapat dibuat tidak lain hanya
mengadakan pilihan rasional dalam keputusan tentang suatu pernyataan.
Filsafat ilmu pengetahuan hanya dapat berbicara tentang pengetahuan
dalam arti kata produksi, sedangkan masalah bagaimana pengetahuan itu
dihasilkan atau ditemukan tidak bisa menjadi pokok pembicaraan oleh
karena meliputi intuisi kreatif yang tidak terbuka untuk ditelaah.
Apa yang dimaksud oleh Popper Rasionalisme Kritis adalah memberikan
kebebasan pada manusia untuk berfikir penuh kepada manusia. Pikiran
manusia merupakan percobaan atau terkaan belaka. Untuk memperbaiki
nasibnya manusia dituntut mengembangkan pengetahuan ilmiah dengan
cara mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang tersimpan dalam
pikirannya sendiri. Teori disatu pihak hanyalah alat untuk mencapai
pikiran yang lain dan lebih tepat. Teori pada hakekatnya merupakan jalan
menuju fakta-fakta baru. Tugas Ilmuwan menurut Popper adalah
membebaskan manusia dari terkaan dan ia dituntut untuk berkarya dan

menciptakan fakta barusehingga dengan cara ini manusia dapat


dibebaskan dari cengkraman kesalahan.
Kritik terhadap Popper
Kritik pertama disampaikan oleh Thomas Kunt ia melihat bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan itu dilihat dari masa lalu dan jika
demikian maka apa yang diungkapkan oleh Popper tidak sesuai. Kunt
mengungkapkan bahwa perkembang ilmu pengetahuan itu melalui 2
tahapan, yaitu tahap normal dan tahap revolusi.
Tahap normal ditandai dengan kesepahaman dikalangan ilmuwan tentang
permasalahan yang pantas diteliti maupun syarat0syarat yang harus
dipenuhi supaya hasil penelitian dapat diterima. Dengan adanya
kesepakatan ini maka metode yang digunakannya pun berdasarkan
kesepakatan. Karena ada kesepakatan diantara ilmuwan maka setiap fakta
baru yang muncul akan segera diketahui keberadaannya. Namun ketika
f\suatu fakta baru muncul dan dianggap menyimpang karena tidak dapat
diteliti dengan menggunakan paradigman yang dianut, maka tidaks egera
mengganti paradigma yang lama dengan yang baru seperti apa yang
dikatakan oleh Popper tetapi semua ilmuwan itu mencoba berdialog dan
membicarakan hal ini guna menetapkan paradigman baru yang akan
dipakai, dan jika pada perbincangan itu tidak bisa dijelaskan tentang
fakta yang baru ini maka barulah keabsahan yang menyimpang mulai
diakui dan timbul akan paradigma baru. Dan ini merupakan permulaan
dari tahap revolusi.
Ciri khas dari tahap revolusi adalah tiadanya satu paradigma yang
berperan sebagai titik orientasi yang tetap dan juga jatuhnya syarat-syarat
yang dianggap harus dipenuhi untuk suatu penelitian, atau menurut Kunt
dinamakan Anomali. Dengan demikian maka penjelasan untuk
pengertian paradigma dan perkembangan ilmu pengetahuan yang
menyertainya harus bersifat sosiologis.
Kritik kedua dilontarkan oleh Winch, ia mengatakan bahwa asumsi dasar
Popper tentang tujuan ilmu pengetahuan tidaklah benar karena tujuan
ilmu pengetahuan adalah mengembangkan ilmu pengetahuan berkesatuan

(Einheitswissenschaft), dan menurut Winch antara ilmu alam dan ilmu


sosial terdapat perbedaan yang mendasar sehingga kenyataan yang ingin
dideskripsikan dan dijelaskan oleh ilmu sosial menunjukkan sifat lain
dari ilmu alam sehingga tidak dapat dijelaskan dengan hukum-hukum
abstrak dan universal. Ilmu sosial umumnya bertugas memberikan
interpretasi, yakni harus menerangkan pengertian konsep yang
berkaitan dengan kelakuan manusia dan metode yang paling cocok untuk
itu harus bersifat interpretatif dan berdasarkan apa yang lazim dinamakan
verstehen. Asas filsafat ilmu pengetahuan yang mendasari ilmu alam
tidak dapat dianggap berlaku untuk ilmu-ilmu sosial.
Daftar Pustaka
Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah : Menurut Karl R.
Popper, PT. Gramedia, Jakarta, 1989
Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid 1, Lembaga Penerbit
FE UI, Jakarta, 1996

LOGIKA SEBAGAI ESENSI DARI FILSAFAT


7Nov2008 Filed under: Epistemology, Philosophers, Philosophy Author:
Arif
Riwayat Hidup
Betrand Russell lahir pada tahun 1872, Ia lahir dari kalangan bangsawan.
Pada usia 2 tahun Ia kehilangan ibunya dan berselang 2 tahun kemudian
Ia kehilangan ayahnya. Maka setelah kematian yang berturut-turut ini, Ia
tinggal bersama dengan orang tua ayahnya.
Singkat cerita Ia menempuh pendidikan di bidang ilmu pasti dan filsafat
di Universitas Cambridge, gurunya diantaranya Alfred North Whitehead
dan di Cambridge Ia bertemu dengan George Edward Moore yang
kemudian menjadi sahabatnya.
Selama hidupnya Ia sangat produktif dalam menulis buku, kurang lebih
71 buku dan brosur, yang membahas tentang berbagai macam
permasalaham mulai dari filsafat, pendidikan masalah moral, agama,
sejarah dan politik.
Antara tahun 1911-1915 Russell mengajar di Universitas Cambridge.
Karena pada tahun 1916 Ia keluar dari Cambridge karena Ia dihukum
sebab menolak untuk mengikuti wajib militer, bahkan sampai dipenjara
karena Ia mempropagandakan pasifisme pada tahun 1918. Setelah Ia
tidak mengajar lagi di Cambridge sebagai dosen tetap, Ia selalu menjadi
dosen tamu bahkan sampai memberi ceramah-ceramah di berbagai
Universitas di Amerka Serikat.
Ia memang manusia yang penuh dengan gagasan-gagasan, bahkan
gagasan-gagasannya tentang pendidikan coba Ia terapkan bersama
istrinya dengan mendirikan sekolah yang menganut sistem pendidikan
progresif.
Ia juga aktif dalam aksi-aksi melawan persenjataan nuklir. Bahkan
sempat Ia menulis beberapa buku tentang permasalahan nuklir ini.

Menjelang akhir hidupnya Ia menerbitkan buku yang mengungkapkan


kejahatan operang yang dilakukan oleh tentang Amerika di Vietnam. Dan
Ia juga mendirikan Pengadilan Internasional untuk mengadili kejahatankejahatan perang, salah seorang anggotanya adalah Jean Paul Sartre.
Pada tahun 1970 Russell meninggal dunia, dan seluruh bukunya
diwariskan pada Universitas McMaster, Hamilton, Ontario , Kanada yang
Ia gabungkan sendiri ke dalam The Collected Papaers of Bertrand
Russell sebanyak 14 jilid ditambah Bibliography sebanyak 3 jilid.
Berikut ini beberapa karya Bertrand Russell lainnya, seperti The Analysis
of Mind (1921), The Analysis of Matter (1927) dan juga Human
Knowledge, Its Scope and Limits (1948). Buku yang juga cukup terkenal
adalah A History of Western Philosophy (1945)
Tesis-tesis:
Berikut ini beberapa tesis yang dapat diangkat dalam buku Our
Knowledge of The External World: As a Field for Scientific Method in
Philoshophy
1. Logika sebagai Esensi dari Filsafat.
2. Teori tentang Kontinuitas.
3. Teori Positif tentang Ketidakberhinggaan.
Logika sebagai Esensi dari Filsafat
Permasalahan yang selama ini dihadapi oleh pada filusuf menurut Russell
adalah karena para filusuf terkadang terlalu berlebihan dan selalu
berusaha untuk mencapai sesuatu yang terbaik. Walaupun keadaan ini
tidak mungkin bisa dicapai karena para filusuf yang ada selama ini
kurang tepat melihat permasalahan filsafat dan metode-metode yang
digunakan untuk memecahkan permasalahan filsafat.
Menurut Russell permasalahan-permasalahan filsafat dan metode-metode
filsafat selama ini tidak mudah untuk dipahami atau dirumuskan oleh
sekolah-sekolah yang ada, banyak permasalahan-permasalahan

tradisionalyang belum dapat dipecahkan oleh pengetahuan yang sekarang


ada. Bahkan ada beberapa permasalahan yang sudah mulai di tinggalkan
namun sebenarnya masih bisa dipecahkan melalui metode-metode yang
tepat dengan tingkat pengetahuan yang lebih maju.
Dalam merumuskan permasalahan ini, Russell menoba membaginya ke
dalam 3 tipe besar yaitu tipe pertama disebut sebagai tipe tradisional
klasik yang diwakili oleh pemikiran Kant dan Hegel, periode ini
menekankan pada kecenderungan untuk mengadopsi pemecahan
permasalahan yang terjadi sekarang dengan metode-metode dan hasilhasil yang telah dicapai pada masa Plato dan lainnya. Tipe kedua adalah
Evolusionisme, yang dimulai dari pemikiran Darwin hingga Herbert
Spencer. Namun pada perkembangan selanjutnya didominasi oleh
pemikiran William James dan M Bergson. Dan Tipe Ketiga adalah yang
disebut Logika Atomisme, yang melihat filsafat melalui metode kritis
matematika.
Pada tipe Tradisional Klasik perhatian utamanya adalah para filusuf
Yunani yang menekankan pada rasio sebagai perhatian utamanya.
Metode deduksi apriori digunakan dalam tipe ini untuk mengkaji
fenomena yang ada. semua realita adalah suatu kesatuan dan tidak ada
perubahan. Sense yang ada dalam dunia merupakan ilusi. Keganjilan dari
hasil yang diperoleh oleh para filusuf tidak membuat mereka merasa
cemas karena bagi mereka rasio merupakan satu-satunya keabsahan yang
sahih.
Ketika para filusuf yang mereka jadikan acuan meninggal, maka ajaran
mereka terus dipertahankan dengan menggunakan kekuasaan, tradisi,
kekuatan hukum dan juga kekuatan yang selama ini masih ada yaitu
otoritas agama.
Di Inggris, rasio apriori ini digunakan untuk mengungkapkan rahasia
tentang dunia dan dapat membuktikan kenyataan seperti apa yang di
tampakkan. Logika dalam tipe Tradisional Klasik ini di konstruksikan
melalui proses negasi. Logika dibuat untuk mengutuk mereka semua
untuk menerima fenomena dan fenomena diungkapkan untuk sadar akan

dunianya. Dunia dibentuk oleh logika dengan sedikit peran dari


pengalaman.
Dunia, menurut tipe ini, merupakan organic unity, dimana bagianbagiannya yang berbeda bergabung menjadi satu dan bekerja sama
karena mereka sadar bahwa mereka berada dalam satu tempat yang sama
sebagai satu kesatuan. Intinya tipe ini merupakan penggabungan antara
pemikiran Yunani yang menekankan pada rasio dan abad pertengahan
yang menkankan pada kesempurnaan alam semesta.
Pada tipe Evolusionisme, percaya pada dirinya yang mendasarkan pada
ilmu pengetahuan, Sebuah pembebasan dari harapan-harapan,
memberikan inspirasi dalam menghidupkan kembali kekuatan manusia.
Evolusionisme ini bukan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya, dan juga
bukan metode untuk memecahkan masalah. Filsafat ilmiah yang
sesungguhnya adalah suatu yang lebih kuat sekaligus lebih longgar,
menguak harapan-harapan tentang keduaniaan dan membutuhkan
beberapa disiplin supaya berhasil dalam mempraktekkannya.
Logika, matematika, fisika hilang dalam tipe ini disebabkan karena
mereka terlalu statis. Apa yang nyata adalah sesuatu yang mendesak dan
bergerak menuju pada satu tujuan. Terdapat 2 kritik terhadap hal ini,
diantaranya, pertama, kebenaran tidak mengikuti apa yang telah
dihasilkan ilmu pengetahuan yang selalu memperhatikan fakta yang
mengalami evolusi. Kedua, motif dan kepentingan di inspirasikan oleh
praktek-praktek eklusif.
Hal yang paling penting dalam tipe Evolusionisme adalah pertanyaan
tentang tujuan manusia atau setidaknya tentang tujuan hidup manusia.
Evolusionisme lebih tertarik pada moralitas dan kebahagiaan dari pada
pemngetahuan semata.
Pada awalnya Russell sudah mulai menampakkan penyerangan pada
idealismedengan memihak pada akal sehat (common sense) dan Ia lebih
menekankan pada analisis logis. Namun setelah buku ini dikeluarkan
maka Russell sudah mulai beralih dari common sense ke pada ilmu
pengetahuan, maksudnya adalah dalam berfilsafat atau dalam

memecahkan permasalahan filsafat


pengetahuan yang ketat dan kritis.

harus

mengacu

pada

ilmu

Tipe Logika Atomisme ini mempunyai tujuan untuk mengupas habis


struktur hakiki bahasa dan dunia. Tujuan ini dicapai melalui jalan
analisis. Menurut Russell filsafat bertugas menganalisa fakta-fakta.
Filsafat harus melukiskan jenis-jenis fakta yang ada. Bagi Russell faktafakta tidak dapat bersifat benar dan salah yang mengandung dan bisa
dikatakan benar dan salah adalah proposisi-proposisi yang
mengungkapkan fakta-fakta. Atau dengan kata lainproposisi-proposisi
merupakan simbol dan tidak merupakan sebagian dunia. Dimana suatu
proposisi terdiri dari kata-kata, yang menunjukkan kepada data inderawi
(sense-data) dan universalia (universalis), yaitu ciri-ciri atau relasi-relasi.
Ada yang disebut proposisi atomis, dimana proposisi ini sama sekali
tidak mengandung unsur-unsur majemuk. Suatu proposisi atomis
mengungkapkan suatu fakta atomis. Dengan demikian Russell
menyimpulkan bahwa bahasa sepadan dengan dunia. Dengan kata lain
melalui bahassa kita dapat menemukan fakta-fakta jenis mana yang ada.
Menurur Russell bahasa menggambarkan realitas. Namun bahasa yang Ia
maksud adalah bahasa sempurna, yang terlepad dari kedwiartian dan
kekaburan, yaitu bahasa logis yang dirumuskan dalam principia
mathematica.
Dengan proposisi-proposisi atomis kita dapat membentuk suatu proposisi
majemuk, misalnya dengan menggunakan proposisi-proposisi atomis kita
dapat membentuk suatu proposisi majemuk, misalnya dengan
menggunakan kata dan atau atau. Yang dihasilkan adalah suatu
proposisi molekuler (molecular proposition). Tetapi tidak ada fakta
molekuler yang hanya menunjuk pada fakta-fakta atomis.
Kebenaran atau ketidak benaran suatu proposisi molekuler tergantung
pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi-proposisi atomis yang
terdapat di dalamnya. Jadi fakta-fakta yang atomis menentukan benar
tidaknya proposisi apa pun juga. Atau perkataan Russell adalah
molecular proposition are truth-functions of propositions.

Russell sadar bahwa dalam argumennya ini juga ada beberapa kelemahan
yang masih dapat dihindari, hal ini ditunjukkan bahwa bagi Russell
masih ada fakta umum. Seperti pernyataan-pernyataan umum yang tidak
harus dibentuk oleh proposisi atomis seperti semua orang akan mati, dari
proposisi ini pernyataan ini benar karena bukan terdiri dari serangkaian
fakta-fakta atomis tetapi proposisi ini benar karena adanya fakta umum
yang berlaku benar.
Hal kedua Russell juga mengakui adanya fakta-fakta negatif., karena
itulah satu-satunya cara untuk menerangkan kebenaran dan
ketidakbenaran proposisi-proposisi negatif. Dan terakhir Russell harus
mengakui adanya fakta-fakta khusus yang lebih mengacu pada suatu
kepercayaan atau suatu fakta psikis (mental fact)
Kritik-kritik terhadap Teori Atomisme Logis
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa atomisme logis mengandung
suatu metafisika, alasannya adalah teori ini mau menjelaskan struktur
hakiki dari bahasa dan dunia, atau dengan kata lain teori ini menjelaskan
bagaimana akhirnya halnya dengan realitas seluruhnya.
Dunia dapat diasalkan kepada fakta-fakta atomis, jelas sekali merupkana
suatu pendapat metafisis. Metafisika yang terdapat dalam teori Russell
merupakan suatu pluralisme radikal, sama sekali bertentangan dengan
monisme yang menandai idealisme, khususnya idealisme Bradley.
Atomisme logis menggunakan suatu kriterium untuk menentukan makna.
Suatu proposisi mengandung makna kalau dapat ditunjukkan suatu fakta
atomis yang sepadan dengannya atau kalau suatu proposisi majemuk
terdiri dari proposisi-proposisi atomis yang masing-masing sepadan
dengan suatu fakta atomis. Akan tetapi proposisi yang dinyatakan oleh
atomisme logis tidak dapat disamakan dengan kedua jenis proposisi ini.
Tidak ada fakta atomis yang membuat proposisi-proposisi yang
membentuk teori proposisi atomisme logis itu menjadi benar atau tidak
benar. Akibatnya perlu disimpulkan bahwa proposisi-proposisi atomisme

logis sendiri tidak bermakna. Dan Russell sendiri tidak memberikan


penyelesaiannya karena Ia telah beralih kepada pembahasan yang lain.

Analisa Kritis
Mengenai pendapat Russell tentang tipe Tradisional Klasik memang ada
benarnya karena pada tipe ini mereka lebih menekankan pada pemikiranpemikiran yang sudah lama adanya, dan belum tentu tepat dan dapat
menentukan benar atau salah suatu fakta. Dengan kata lain pendekatan
filsafat yang sudah usang belum tentu tepat untuk diterapkan pada masa
tertentu, terkadang apa yang ditawarkan oleh filusuf-filisuf terdahulu
haya dapat berlaku pada jamannya.
Memang logika pada saat ini sudah digunakan, karena Aristoteles sudah
memulainya, namun logika disini digunakan hanya untuk
mengkonstruksi fakta melalui negasi saja. Atau dengan kata lain dunia
dibentuk melalui pernyataan saja tanpa memperhatikan pengalaman yang
kongkrit.
Pada dasarnya pendekatan yang ditawarkan oleh Russell adalah
pendekatan logika yang atomis, dimana pendekatan ini lebih
mengandalkan pendekatan yang sangat matematis. Disatu sisi pendekatan
yang dilihat dari sudut matematis lebih sistematis. Biasanya filsafat dan
permasalahannya jika dikaji dengan menggunakan pendekatan yang
secara sistematis umumnya lebih sistematis, alur berfikir sangat runtut.
Namun kelemahannya ada beberapa permasalahan filsafat yang tidak
dapat didekati dengan pendekatan yang bersifat matematis seperti
metafisis, atau mengenai ontologi. Maka kebanyakan para filusuf yang
menekankan kajian filsafatnya dengan metode logika, mereka tidak
terlalu ambil pusing dengan metefisis atau segala hal yang berbau dengan
idealisme. Sesuatu itu harus dapat dipertanggungjawabkan dengan
proposisi-proposisi yang tepat dan benar. Sehingga fakta-fakta yang hadir
dapat diwakilkan dengan proposisi-proposisi yang benar dan sahih.

Sayangnya Russell kurang membahas lebih lanjut berkenaan dengan


kekuarngan teorinya.
Daftar Pustaka
Bertens, Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Russell, Bertrand. 1993. Our Knowledge of The External World: As a
Field for Scientific Method in Philoshophy. London: Routedge

AUGUSTE COMTE
5Jun2008 Filed under: Philosophers, Social Philosophy Author: Arif
Riwayat Hidup
Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Prancis tahun 1798,
keluarganya beragama khatolik dan berdarah bangsawan. Dia
mendapatkan pendidikan di Ecole Polytechnique di Prancis, namun tidak
sempat menyelesaikan sekolahnya karena banyak ketidakpuasan didalam
dirinya, dan sekaligus ia adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka
memberontak.
Comte akhirnya memulia karir profesinalnya dengan memberi les privat
bidang matematika. Namun selain matematika ia juga tertarik
memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat
terutama minat ini tumbuh dengan suburnya setelah ia berteman dengan
Saint Simon yang mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya.
Kehidupan ekonominya pas-pasan, hampir dapat dipastikan hidupa
dalam kemiskinan karena ia tidak pernah dibayar sebagaimana mestinya
dalam memberikan les privat, dimana pada waktu itu biaya pendidikan di
Prancis sangat mahal.
Pada tahun 1842 ia menyelesaikan karya besarnya yang berjudul Course
of Positive Philosophy dalam 6 jilid, dan juga karya besar yang cukup
terkenal adalah System of Positive Politics yang merupakan persembahan
Comte bagi pujaan hatinya Clothilde de Vaux, yang begitu banyak
mempengaruhi pemikiran Comte di karya besar keduanya itu. Dan dari
karyanya yang satu ini ia mengusulkan adanya agama humanitas, yang
sangat menekankan pentingnya sisi kemanusiaan dalam mencapai suatu
masyarakat positifis.
Comte hidup pada masa akhir revolusi Prancis termasuk didalamnya
serangkaian pergolakan yang tersu berkesinambungan sehingga Comte
sangat menekankan arti pentingnya Keteraturan Sosial.

Pada tahun 1857 ia mengakhiri hidupnya dalam kesengsaraan dan


kemiskinan namun demikian namanya tetap kita kenang hingga sekarang
karena kegemilangan pikiran serta gagasannya.
Konteks Sosial dan Lingkungan Intelektual
Untuk memahami pemikiran Auguste Comte, kita harus mengkaitkan dia
dengan faktor lingkungan kebudayaan dan lingkungan intelektual
Perancis. Comte hidup pada masa revolusi Perancis yang telah
menimbulkan perubahan yang sangat besar pada semua aspek kehidupan
masyarakat Perancis. Revolusi ini telah melahirkan dua sikap yang saling
berlawanan yaitu sikap optimis akan masa depan yang lebih baik dengan
bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebaliknya sikap
konservatif atau skeptis terhadap perubahan yang menimbulkan anarki
dan sikap individualis.
Lingkungan intelektual Perancis diwarnai oleh dua kelompok intelektual
yaitu para peminat filsafat sejarah yang memberi bentuk pada gagasan
tentang kemajuan dan para penulis yang lebih berminat kepada masalahmasalah penataan masyarakat. Para peminat filsafat sejarah menaruh
perhatian besar pada pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah sejarah
memiliki tujuan, apakah dalam proses historis diungkapkan suatu rencana
yang dapat diketahui berkat wahyu atau akal pikiran manusia, apakah
sejarah memiliki makna atau hanyalah merupakan serangkaian kejadian
yang kebetulan. Beberapa tokoh dapat disebut dari Fontenelle, Abbe de
St Pierre, Bossuet, Voltaire, Turgot, dan Condorcet. Para peminat
masalah-masalah penataan masyarakat menaruh perhatian pada masalah
integrasi dan ketidaksamaan. Tokoh-tokohnya antara lain Montesquieu,
Rousseau, De Bonald.
Dua tokoh filusuf sejarah yang mempengaruhi Comte adalah turgot dan
Condorcet. Turgot merumuskan dua hukum yang berkaitan dengan
kemajuan. Yang pertama berisi dalil bahwa setiap langkah berarti
percepatan. Yang kedua adalah hukum tiga tahap perkembangan
intelektual, pertama, orang pertama menemukan sebab-sebab adanya
gejala-gejala dijelaskan dalam kegiatan mahluk-mahluk rohaniah, kedua,
gejala-gejala dijelaskan dengan bantuan abstraksi dan pada tahap ketiga

orang menggunakan matematika dan eksperimen. Menurut Condorcet,


Studi sejarah mempunyai dua tujua, pertama, adanya keyakinan bahwa
sejarah dapat diramalkan asal saja hukum-hukumnya dapat diketahui
(yang diperlukan adalah Newton-nya Sejarah). Tujuan kedau adalah
untuk menggantikan harapan masa depan yang ditentukan oleh wahyu
dengan harapan masa depan yang bersifat sekuler. Menurut Condorcet
ada tiga tahap perkembangan manusia yaitu membongkar perbedaan
antar negara, perkembangan persamaan negara, dan ketiga kemajuan
manusia sesungguhnya. Dan Condorcet juga mengemukakan bahwa
belajar sejarah itu dapat melalui, pengalaman masa lalu, pengamatan
pada kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan peradaban manusia, da
menganalisa kemajuan pemahaman manusia terhadap alamnya.
Dan penulis yang meminati masalah penataan masyarakat, Comte
dipengaruhi oleh de Bonald, dimana ia mempunyai pandangan skeptis
dalam memandang dampak yang ditimbulkan revolusi Perancis. Baginya
revolusi nii hanya menghasilkan keadaan masyarakat yang anarkis dan
individualis. De Bonald memakai pendekatan organis dalam melihat
kesatuan masyarakat yang dipimpin oleh sekelompok orang yang
diterangi semangat Gereja. Individu harus tunduk pada masyarakat.
Comte dan Positivisme
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu
positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana
metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan
hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat
pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan
dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint
Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut
Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab
akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti
pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap
perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme),

tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari


masyarakat industri.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of
Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai
evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang
sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan.
Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika,
dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala (
diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejalagejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode
positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini
mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syaratsyarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan,
perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu
biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus
berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum
yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Hukum Tiga Tahap Auguste Comte
Comte termasuk pemikir yang digolongkan dalam Positivisme yang
memegang teguh bahwa strategi pembaharuan termasuk dalam
masyarakat itu dipercaya dapat dilakukan berdasarkan hukum alam.
Masyarakat positivus percaya bahwa hukum-hukum alam yang
mengendalikan manusia dan gejala sosial da[at digunakan sebagai dasar
untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik untuk
menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu.

Comte juga melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan


organisk yang kenyataannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian
yang saling tergantung. Dan untuk mengerti kenyataan ini harus
dilakukan suatu metode penelitian empiris, yang dapat meyakinkan kita
bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya
gejala fisik.
Untuk itu Comte mengajukan 3 metode penelitian empiris yang biasa
juga digunakan oleh bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu pengamatan,
dimana dalam metode ini [eneliti mengadakan suatu pengamatan fakta
dan mencatatnya dan tentunya tidak semua fakta dicatat, hanya yang
dianggap penting saja. Metode kedua yaitu Eksperimen, metode ini bisa
dilakukans ecara terlibat atau pun tidak dan metode ini memang sulit
untuk dilakukan. Metode ketiga yaitu Perbandingan, tentunya metode ini
memperbandingkan satu keadaan dengan keadaan yang lainnya.
Dengan menggunakan metode-metode diatas Comte berusaha
merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner
menjadi 3 kelompok yaitu, pertama, Tahap Teologis, merupakan periode
paling lama dalam sejarah manusia, dan dalam periode ini dibagi lagi ke
dalam 3 subperiode, yaitu Fetisisme, yaitu bentuk pikiran yang dominan
dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda
memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politheisme, muncul
adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang mengatur
kehidupannya atau gejala alam. Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa
mulai digantikan dengan yang tunggal, dan puncaknya ditunjukkan
adanya Khatolisisme.
Kedua, Tahap Metafisik merupakan tahap transisi antara tahap teologis
ke tahap positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukumhukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi. Ketiga,
Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai
sumber pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya
sementara dan tidak mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat
positivisme yang selalu terbuka secara terus menerus terhadap data baru
yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang
tinggi. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan

memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat


uniformitas.
Comte mengatakan bahwa disetiap tahapan tentunya akan selalu terjadi
suatu konsensus yang mengarah pada keteraturan sosial, dimana dalam
konsensus itu terjadi suatu kesepakatan pandangan dan kepercayaan
bersama, dengan kata lain sutau masyarakat dikatakan telah melampaui
suatu tahap perkembangan diatas apabila seluruh anggotanya telah
melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada, ada suatu
kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan
masyarakat untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu
keteraturan sosial.
Pada tahap teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan,
dalam tahap metafisik kekuatan negara-bangsa (yang memunculkan rasa
nasionalisme/ kebangsaan) menjadi suatu organisasi yang dominan.
Dalam tahap positif muncul keteraturan sosial ditandai dengan
munculnya masyarakat industri dimana yang dipentingkan disini adalah
sisi kemanusiaan. (Pada kesempatan lain Comte mengusulkan adanya
Agama Humanitas untuk menjamin terwujudnya suatu keteraturan sosial
dalam masyarakat positif ini).
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat dasar dari
suatu organisasi sosial suatu masyarakat sangat tergantung pada polapola berfikir yang dominan serta gaya intelektual masyarakat itu. Dalam
perspektif Comte, struktur sosial sangat mencerminkan epistemologi
yang dominan, dan Comte percaya bahwa begitu intelektual dan
pengetahuan kita tumbuh maka masyarakat secara otomatis akan ikut
bertumbuh pula.
Perkembangan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan
perkembangan yang lainnya selalu mengikuti hukum alam yang empiris
sifatnya dan Comte merumuskan ke dalam 3 tahapan yaitu tahap
Teologis, Metafisik dan Positif. Dimana dalam tahap teologis dimana
pengetahuan absolut mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan dari

tindakan langsung dari hal-hal supranatural. Tahap metafisik mulai ada


perubahan bukan kekuatan suoranatural yang menentukan tetapi
kekuatan abstrak, hal yang nyata melekat pada semua benda. Dan fase
positif, sudah meninggalkan apa-apa yang dipikirkan dalam dua tahap
sebelumnya dan lebih memusatkan perhatiannya pada hukum-hukum
alam.
Jika ditilik dari penjelasan diatas maka bentuk dari perkembnagan sejarah
Auguste Comte sulit untuk dipastikan apak mengikuti alur linier atau
mengikuti alur spiral tetapi yang jelas Comte tidak terlalu murni
menggunakan kedau alur tersebut, yang pasti ia mengarah pada
progresifitas dimana masyarakat positif merupakan cita-cita akhirnya
yang sebelum nya harus melalui 2 tahapan dibawahnya, yaitu tahap
Teologis dan Metafisik

Pustaka
Collins, James, A History of Modern European Philosophy, The Bruce
Publishing Company, Milwaukee, 1954
Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern
tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1987
Feibleman, James K., Understanding Philosophy :A Popular History of
Ideas,Billing & Sons Ltd, London, 1986
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat 2, Cet. 14, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1998
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosilogi : Klasik dan Modern, Jil. 1Cet. 3,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
Laeyendecker, L. Tata, Perubahan dan Ketimpangan : Suatu Pengantar
Sejarah Sosiologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983
Walsh,W.H., Philosophy of History : An Introduction, Harper
Torchbooks, USA, 1967

"KNOWLEDGE IS POWER"

Resensi atas Buku Tulisan Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan,


Maumere, Penerbit Ledalero, 2007. Buku bisa didapatkan di Toko
Gramedia.
Dewasa ini, peran ilmu pengetahuan sangatlah besar mempengaruhi
hidup manusia. Semua hal, mulai dari pembangkit tenaga listrik tenaga
nuklir, transportasi, komunikasi, dan memasak nasi pun tidak bisa lepas
dari kontribusi ilmu pengetahuan.
Relasi antar manusia berkembang pesat, karena kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi yang luar biasa cepat. Orang di kutub Utara
bisa berbincang-bincang santai dengan orang di Afrika Selatan tanpa
harus bingung memikirkan perbedaan jarak dan waktu.

Dunia medis pun berkembang pesat. Jika seratus tahun yang lalu,
penyakit flu bisa membawa kematian, maka sekarang ini, hal tersebut
nyaris tidak lagi menjadi kekhawatiran, kecuali kalau flu burung
tentunya.
Di sisi lain, ilmu pengetahuan juga memiliki dampak negatif bagi
manusia. Dampak negatif ini bisa dilihat mulai dari pencemaran
lingkungan, penciptaan senjata pemusnah massal yang bisa melenyapkan
jutaan manusia dalam sekejap mata, sampai radiasi yang bisa merusak
mata kita yang berasal dari monitor komputer.

Bagaimanakah hal ini harus ditanggapi? Salah satu cara untuk


menanggapi semua isu ini secara sistematis dan rasional adalah dengan
melalui refleksi filsafat ilmu pengetahuan, suatu cabang filsafat yang
hendak merefleksikan logika internal ilmu pengetahuan dalam bentuk

koherensi teori dan aspek-aspek yang mendasarinya, ataupun dampak


eksternal dalam bentuk efeknya bagi kehidupan manusia, baik secara
langsung maupun tidak langsung.

Sebagai suatu cabang filsafat, demikian tulis Mikhael Dua, kegiatan


filsafat ilmu pengetahuan tidaklah baru. Sejarah ilmu pengetahuan selalu
dibarengi dengan refleksi tentang hakekat dan fungsi ilmu pengetahuan
(hal. 3) Menurut Mikhael Dua, semua bentuk ilmu pengetahuan sudah
selalu berada bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, perannya tidak lagi bisa diabaikan.

Positivisme di dalam Ilmu Pengetahuan


Buku Mikhael Dua ini tampaknya lebih mau menanggapi isu pertama,
yakni suatu refleksi terhadap logika internal ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, seluruh buku ini bisa dilihat sebagai pembongkaran internal
analitis terhadap paradigma posivitisme yang, terutama di Indonesia,
tampaknya masih melekat di dalam asumsi dasar para ilmuwan kita.
Apa itu positivisme? Di dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat
dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama
pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia
tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya
terlebih dahulu secara inderawi.
Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting
metodologi di dalam mencapai pengetahuan. Di dalam positivisme, valid
tidaknya suatu pengetahuan dilihat dari validitas metodenya.
Dengan demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin kebenaran
itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang berbasiskan data yang

juga diklaim obyektif murni dan universal. Dan, satu-satunya metodologi


yang diakui oleh para pemikir positivisme adalah metode ilmu-ilmu alam
yang mengklaim mampu mencapai obyektifitas murni dan bersifat
universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam ini pun
dianggap tidak memadai.

Kritik Terhadap Positivisme


Yang juga dikritik oleh Mikhael Dua adalah suatu aliran filsafat yang
disebut sebagai positivisme logis, atau juga disebut sebagai positivisme
modern, yakni suatu aliran pemikiran yang berpendapat bahwa tugas
utama filsafat adalah berpikir secara positivistis dan memandang
tugasnya untuk membangun suatu analisis logis atas pernyataanpernyataan ilmu pengetahuan empiris (hal. 31).
Di dalam seluruh pemaparannya, Mikhael Dua tampak selalu
bertegangan dengan paradigma positivisme ini, baik secara jelas
maupun secara implisit. Dengan menggunakan berbagai teori di dalam
filsafat ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan para pemikir, seperti
Karl Popper dengan teori falsifikasinya (hal. 51-80), Hempel (hal. 83105), Thomas Kuhn (hal. 109-137), dan beberapa pemikir lainnya,
Mikhael Dua tampak menabuh genderang perang terhadap positivisme!

Lalu, apa implikasi dari refleksi ini bagi kehidupan manusia secara
keseluruhan? Setidaknya, ada dua. Yang pertama, kritik terhadap
positivisme logis maupun positivisme klasik hendak menyelamatkan
manusia dari reduksi pengetahuan tentang dunianya ke dalam data-data
empiris dan analisis-analisis logis semata, sekaligus memberi ruang
untuk pengetahuan yang secara dialektis mampu mencakup keseluruhan
(hal. 226).

Yang kedua, refleksi yang dilakukan Mikhael Dua ini juga dapat
membantu kita untuk menempatkan kembali ilmu pengetahuan di dalam
totalitas kehidupan manusia yang pada hakekatnya bersifat dialektis.
Tidak ada sebuah teori, demikian tulisnya, yang berdiri sendiri tanpa
dilihat dalam kerangka dialektis tersebut dengan teori-teori yang lain.
(hal. 240)

Bagaimanapun, ilmu pengetahuan adalah bagian dari totalitas kehidupan


manusia, dan oleh karenanya juga tidak luput dari cacat-cacat yang pada
akhirnya bisa menghancurkan manusia itu sendiri. Refleksi metodologis
terhadap ilmu pengetahuan sangatlah perlu, sehingga kita bisa secara
kritis menanggapi berbagai isu isu yang tentang ilmu pengetahuan yang
ada di dalam kehidupan bermasyarakat, mulai dari validitas suatu teori
ilmiah, sampai dampak ilmu pengetahuan bagi totalitas kehidupan
manusia***

Penulis
Reza Antonius Alexander Wattimena, Pengajar Filsafat Ilmu Universitas Atma Jaya,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai