Anda di halaman 1dari 28

KONFLIK

EKSISTENSIAL
MANUSIA MENURUT
JEAN PAUL SARTRE
 Jean Paul Sartre lahir di Paris, Prancis, 21 Juni 1905 dan meninggal
di Paris, Prancis, 15 April 1980 (pada umur 74 tahun).

 Dia adalah seorang filsuf kontemporer dan penulis Prancis. Sartre


(1905 – 1980) mengaku pemikirannya banyak dipengaruhi oleh
fenomenologi Husserl dan Heidegger.

 Dari fenomenologi Husserl, paling tidak Sartre melihat dua hal


penting.
1.Pertama, perlunya menempatkan kesadaran sebagai titik tolak
untuk kegiatan atau penyelidikan filsafat.
2.Kedua, pentingnya filsafat untuk “Kembali kepada realitasnya
sendiri” (Zu den sachen selbst).
 Sartre memberi ilustrasi tentang gejala emosi, Emosi menurut Sartre, ternyata merupakan
perilaku yang bertujuan, berlandaskan pada harapan atau motif – motif tertentu. “Emosi,”
menurut Sartre juga menunjuk pada perilaku manusia yang bebas, yang tidak dideterminir.

 Akan tetapi, pengakuan akan penting dan bermanfaatnya fenomenologi Husserl, mendapat kritik
dari Sartre. Karena konsepsinya tentang kesadaran tidak dihubungkan dengan adanya dunia.

 Dunia (dan eksistensi) oleh Husserl justru direduksi (ditunda) dan tidak pernah ditempatkan lagi
sebagai realitas yang menopang kesadaran.

 Sartre yang menggunakan fenomenologi secara lebih “realistic”, kesadaran dihubungkan dengan
dunia. “Menyelidiki kesadaran pasti akan bertautan dengan menyelidiki dunia”

 Beberapa konsepsi Heidegger coba diambil alih dan “dimodifikasi” oleh Sartre. Misalnya, “ada –
dalam – dunia” digunakan Sartre untuk mendeskripsikan “struktur dunia imajiner;”
“keterlemparan” (Geworfenheit) untuk “haram jadah”.
DUA TEMA UTAMA
FILSAFAT SARTRE :
“KEBEBASAN” DAN
“ADA”
 Dalam Saint Genet, Sartre merumuskan seluruh usaha filsafatnya dalam satu kalimat pendek:
“merekonsiliasikan (mendamaikan) subjek dan objek”. Usaha ini didorong oleh pengalaman mental
Sartre tentang kebebasan diri sebagai “subjek” dan tentang benda “objek”.

 Dalam pandangan Sartre tentang kedua pengalaman ini merupakan simbol kondisi manusia yang (di
satu pihak) mengalami dirinya sebagai makhluk bebas, tetapi (di lain pihak) selalu dihadapkan pada
kuasa atau daya tarik benda.

 Dalam pandangan Sartre, pengalaman tentang kebebasan dan tentang kesadaran sendiri bukanlah
pengalaman yang mudah dan mengenakkan.

 Pengalaman tentang kebebasan dan tentang Benda dalam novel La nausse telah mewarnai seluruh
pemikiran Sartre sejak awal hingga akhir karir filsafat nya. Kedua pengalaman tersebutlah yang
membawa Sartre pada pandangan dualistiknya yang terkenal yaitu “dualisme antara ada yang
subjektif dan ada yang objektif, antara pour-soi dan ­en-soi, antara Kebebasan dan Ada.”
 Francis Jeanson, mecoba menjawab pertanyaan dengan menunjuk pada dua tema lain dari
pemikiran Sartre, yaitu “haram jadah” (bastardy) dan ”kebanggaan” (pride).

 Pengalaman dari masa lalu Sartre, ia meyakinkan pendiriannya bahwa eksistensi manusia
pada prinsipnya adalah sia-sia, absurd, penuh permusuhan, dan syakwansangka.
Pendiriannya ini pun semakin mendapatkan pembenarannya di dalam pengalaman
Heidegger tentang “keterlemparan”, di mana kita sebagai manusia sesungguhnya tidak
mengetahui asal usul dan alasan keberadaan hidup kita sendiri.

 Petunjuk kedua terdapat pada tema “kebanggaan”, yakni sebuah tema yang membawa Sartre
pada humanisme esksistensial: “kebanggaan” bahwa manusia adalah satu-satunya pusat dari
realitas, dan atas dasar “kebanggaan” itulah Sartre mengikuti Husserl, hendak menghapus
benda-benda dari kesadaran.
PERANAN
FENOMENOLOGI
DALAM
PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN SARTRE
1. PERIODE PRAFENOMENOLOGIS

 Komitmen dan concern Sartre untuk merekonsiliasikan pertentangan antara


kebebasan-subjektif dan ada-objektif sudah ada. Salah satu ilustrasi yang diberikan
oleh Sartre untuk menunjukkan pertentangan antara kebebasan dan ada adalah sikap
atau tindakan manusia religious. Manusia religious memandang dirinya sebagai
kehadiran yang absolut dalam situasi yang relatif.

 Kebebasan (manusia) dan Ada tidak dapat dipadukan atau direkonsiliasikan. Masing-
masing mempunyai cara beradanya sendiri; masing-masing mempunyai
karakteristiknya sendiri. Sehingga, tanpa ragu-ragu lagi Sartre memandang manusia
sebagai “nafsu yang tidak berguna”, sebagai “gairah yang sia-sia” (man is a useless
passion).
2. PERIODE PSIKOLOGI FENOMENOLOGIS

 Pada periode ini, pendekatan dan interpretasi Sartre atas masalah kebebasan dan ada, juga mulai
bebas dari pesimisme yang muram dan pikiran yang masih diliputi kekaburan. Fenomenologi
yang dipelajari Sartre selama belajar di Jerman (1933-1934), telah memberinya permulaan baru,
yaitu permulaan berpikir yang dibayangi oleh filsafat dan psikologi tradisional.

 Studi Sartre tentang emosi yang menghasilkan kesimpulan bahwa emosi mempunyai makna.
“Emosi bukan merupakan peristiwa pasif dalam kesadaran, melainkan menurunnya kesadaran
secara spontan”. Melalui emosi, kesadaran berusaha mencapai sasarannya secara “magis”, yakni
dengan cara melarikan diri dengan realitas.

 Kesimpulan ini bertentangan dengan teori-teori psikologi tradisional, yang memandang manusia
sebagai makhluk yang tunduk pada nafsu-nafsu hewani, dan juga memperkokoh pendapatnya
tentang kebebasan mutlak yang terdapat pada manusia.
3. PERIODE ONTOLOGI FENOMENOLOGIS

Periode ini dimulai dengan terbitnya buku Ada dan Tiada (L’etre et le neant) pada tahun 1943.
Yang menarik dari buku itu adalah perpaduan baru antara ontologi dengan berbagai bentuk baru
psikoanalisis, yang disebut Psikoanalisis Eksistensial.

Berikut ini empat bagian penting dalam Ada dan Tiada :

• Bagian pertama berkenaan dengan relasi antara ketiadaan dengan struktur kesadaran.
• Bagian kedua berkenaan dengan struktur kesadaran dalam faktisitasnya, kemudian dalam
temporalitas dan dalam transendensinya terhadap Ada.
• Bagian ketiga menyangkut tentang tema baru, tentang perhubungan antara kesadaran yang satu
dengan kesadaran yang lain.
• Bagian keempat merupakan deskripsi tentang esensi kesadaran sebagai suatu aktivitas dan
kebebasan.
Kesadaran (pour-soi) yang didefinisikan sebagai “that which is what it is not, and is not what it
is” selalu bergiat menidak ada (en-soi) yang didefinisikan sebagai “it is what it is”. Sartre yakin
bahwa kesadaran pada prinsipnya kurang terang dan kurang masif; sedangkan Ada adalah gelap,
masif, dan melimpah ruah. Sartre secara metaforis menamakan kesadaran sebagai “lobang kecil
yang terdapat ditengah-tengah Ada”.

Kesadaran memiliki aktivitas yang positif, yakni memberi makna semesta Ada, yang sejak mula
pertama, keberadaannya tanpa makna dan melimpah ruah. Menurut Sartre, kesadaran adalah
kesadaran yang bereksistensi.

Sartre masih mempertahankan interpretasinya tentang relasi antar kesadaran, yang berlandaskan
pada konflik, yang tidak bisa diperdamaikan. Demikian pula halnya interpretasinya tentang Tuhan.
Sartre tetap mempertahankan pandangan ateistiknya.
4. PERIODE EKSISTENSIALISME FENOMENOLOGIS

 Eksistensialisme Sartre menjadi sangat terkenal, terutama setelah ceramahnya tentang


eksistensialisme, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku kecil, Eksistensialisme Adalah
Suatu Humanisme (L’Eexistentialisme est un humanisme) (1946). Ceramah itu dimaksudkan
sebagai apologia eksistensialisme dalam menangkal serangan kaum komunis dan gereja Katolik.

 Humanisme eksistensialis bisa dikatakan suatu bentuk humanisme baru karena pendirian dasarnya
yang khas, yakni bahwa tidak ada universum apapun di luar universum manusia. Universum
manusia adalah “universum hasil dari proyek transendensi diri dan proyek aktif subjektivitas
manusia”. “Menjadi manusia tidak lain adalah suatu anugerah, suatu berkah yang luar biasa, hanya
jika manusia itu sendiri mengakui kebebasan absolutnya dan pertanggungjawabannya yang
menyeluruh.” yang juga berubah adalah pandangannya tentang hidup bersama (autrui) atau relasi
manusia.
 Ini adalah periode ketika pemikiran Sartre mulai akrab dengan Marxisme, seperti yang
dituangkan dalam Kritik atas Rasio Dialektis (Critique de la raison dialectique) (1960).
Dalam periode ini “pembebasan” eksistensi manusia dalam bentuk perjuangan sosial dan
komitmen yang tinggi pada revolusi sosial kaum proletar. Seperti yang tertuang dalam esai
panjangnya, yang berbentuk prosa tentang Santo Genet (JeanGenet). Maksud dari penulisan
buku ini masih tetap sama, yakni merekonsiliasi subjek dengan objek. Hanya saja lebih
dititikberatkan pada metode atau pendekatannya.

 Dalam pandangan Sastre, “kita perlu mencegah pendekatan yang terlalu subjektif (yang
berasal dari psikoanalisis) dan sekaligus menghindar dari pendekatan yang terlalu objektif
(yang berasal dari Marxisme) pada gejala manusia.

 Dengan demikian usaha ini merupakan kelanjutan dari Ada dan Tiada, yakni suatu usaha
untuk menghubungkan kesadaran (subjek) dengan dunianya (objek).
BEBERAPA
KARAKTERISTIK
UTAMA
FENOMENOLOGI
SARTRE DAN TEMA-
TEMA
PENYELIDIKANNYA
a. TEMA PENYELIDIKAN SARTRE : KESADARAN

1.Penolakan atas ego Transendental Husserl dan Interpretasi Sartre tentang Fenomologi
Eksistensi manusia.
• Fenomenologi didefinisikan oleh Husserl sebagai “studi tentang esensi kesadaran dan berbagai
struktur dasariahnya”.
• Akan tetapi Sarte tidak mau mengulang apa yang telah dilakukan Husserl , yakni mendapatkan
ego pada tingkat transendetal, dengan alasan menempatkan ego pada tingkat transendental berarti
masuk ke dalam dunia ideal dan akhirnya terjebak ke dalam idealisme.
• Sarte coba “menurunkan” ego transendental ke tingkat eksistensial, atau ketingkat konkret.
• Menurut Sarte “eksistensi mendahului esensi”, sedangkan menurut Heidegger, “ eksistensi “
dihubungkan dengan temporalitas, terutama dimensi masa depan .
2. Kesadaran dan Fenomenologi

 Salah satu sumbangan terpenting Sarte pada perkembangan fenomenologi adalah konsepsinya tentang
kesadaran. Ia memperluas pengertian kesadaran dengan cara membedakan antara kesadaran reflektif dan
kesadaran pra-reflektif.
 Kesadaran pra-reflektif adalah kesadaran yang langsung terarah pada objek perhatian kita (baik objek
dalam kehidupan sehari-hari kita maupun objek dalam pemikiran atau penelitian kita).
 Adapun kesadaran reflektif adalah kesadaran yang tidak disadari menjadi “kesadaran yang didasari”.

3. Karakter Negatif Kesadaran

 Konsepsi Sarte tentang kesadaran adalah tekanan pada karakter negatifnya “imajinasi” demikian ia
menulis, “terarah pada objek yang tidak ada pada objek-objek yang dimanapun tidak menampakan
kehadirannya. “Dalam ada dan tiada, fungsi negatif pada kesadaran itu lebih diberi tekanan lagi.
 Apa yang dimaksud oleh Sarte dengan “ketiadaan” adalah ketidakhadiran dari bagian-bagian yang hilang
dalam totalitas ada..
4. Kebebasan
 Aspek negatif kesadaran berhubungan erat dengan esensi kesadaran yakni kebebasan. Karena
seringkali sarte menggunakan istilah “kebebasan”, yang seakan-akan sinonim dengan
“kesadaran”, timbul kesan kesadaran identik dengan kebebasan. Ia mencoba membuktikan
bahwa kesadaran imajinatif mengandaikan kapasitas manusia untuk menjauh dari kausalitas
dunia.

5. Kecemasan
 Kecemasan adalah keadaan mencekam, yang disebabkan oleh ancaman dari ketiadaan.
 Kecemasan oleh Sarte dihubungkan dengan kebebasan dan tanggung jawab.
 Kecemasan adalah gejala universal dan menyerap siapa saja,
6. Malafide

 Sartre mengakui kecemasan tidak sungguh-sungguh dan tidak selamanya disadari. berlangsung
pada taraf kesadaran pra-reaktif (yang ekuivalen dengan ketidaksadaran psikoanalisis). Dalam
gejala malafide (bad faith) adalah bukti dari adanya kesadaran akan kebebasan dan kecemasan
kita. Dalam malafide manusia menipu dirinya sendiri, dengan cara menyangkal kebebasannya
dan menutupi kecemasan.

 Manusia malafide pun tampil dalam bentuk yang lain, manusia malafide bisa saja tampil pada
ilmuan atau psikolog yang meyakini teori-teori deterministik, dan menjadikan teori-teori
tersebut sebagai alasan untuk menyangkal kebebasan dan tanggung jawabnya.
b. METODE FENOMENOLOGI DAN PSIKOANALISIS EKSISTENSIAL

 Sarte memperkenalkan suatu metode fenomenologis “baru”, yang ia sebut “psikoanalisis


eksistensial”. Sarte menyimpulkan bahwa psikoanalisis dapat membantu usahanya untuk
menerangi dan menganalisa aspek-aspek gelap dari kesadaran. Tetapi Sarte sendiri menilai
konsep psikoanalasis terlalu mekanistik dan tidak mempunyai landasan teoretis dan filsafati
yang kokoh.

 Gejala yang hendak diungkap dan digali oleh Sarte melalui Psikoanalisis Eksistensialnya, yakni
“ketidaksadaran” (atau ketidaksadran pra-reflektif). Menurut Sarte, psikoanalisis Eksistensial,
harus memulai dengan perilaku-perilaku yang dapat diamati secara langsung.
 Bagaimana kita menguji hasil “penguraian” itu? Sarte menunjuk pada psikoanalisis klasik.
Sampai berapa jauh psikoanalisis eksistensial dapat dikategorikan ke dalam fenomenologi?

 Sejauh fenomenologi tidak membatasi diri pada deskripsi tentang gejala-gejala yang dapat
diamati secara langsung, maka psikoanalisis eksistensial Sarte masih dapat dikategorikan ke
dalam fenomenologi. Alasannya adalah bahwa Sarte tidak membatasi diri pada deskripsi tentang
gejala-gejala yang dapat diamati secara langsung, tetapi juga berusaha “mengurai” gejala-gejala
tersebut secara “analitis”, dengan tujuan mencari makna yang melatar belakanginya.
BEBERAPA ILUSTRASI TENTANG
GEJALA MANUSIA, HASIL DARI
PRAKTEK FENOMENOLOGI
EKSISTENSIAL SARTRE

Banyak sekali karya yang menggunakan wacana-wacana filsafat, novel-novel,


naskah-naskah sandiwara, dan esei-esei kritis yang mengunakan fenomenologi
sebagai pendekatannya. Namun kita akan membahas tentang 4 Fenomenologi
Sastre yang dapat menjelaskan gejala-gejala dasar manusia seperti imajinasi,
emosi, tatapan, dan tubuh.
A. IMAJINASI

Fenomenologi Sartre tentang imajinasi dituangkan dalam Limaginaire pada tahun 1940, yang dinamakan
karya tentang "psikologi fenomenologis tentang imajinasi." Akan tetapi, kita harus meninggalkan karya
yang sangat kaya dan orisinal itu dan membatasi perhatian kita pada perbedaan antara persepsi dan
imajinasi, menurut empat karakteristik dasarnya.

 Perbedaan pertama antara persepsi dan imajinasi tidak terletak pada kehadiran dan ketidakhadiran
suatu citra (image), melainkan pada cara terarahnya kesadaran kita pada objek intensionalnya.
 Perbedaan kedua melibatkan cara kita mengalami objek. Kalau dalam persepai kita sepenuhnya
tergantung pada observasi dalam imajinasi kita, tengantung pada quasi-imajinasi.
 Perbedaan ketiga, imajinasi menghadirkan objeknya dengan karakter negatif, yakni sebagai sesuatu
yang tidak-ada.
 Perbedaan keempat dan terpenting adalah bahwa imajinasi jauh lebih spontan, kreatif dan produktif
dibandingkan dengan persepsi.
B. EMOSI

Emosi dapat dipastikan merupakan suatu bentuk perilaku yang bermakna dan bertujuan.
Untuk membuktikan hal itu, Sartre memulai interpretasinya pertama-tama dengan cara
mengkritik teori-teori klasik tentang emosi.

Menurut teori-teori tersebut, emosi adalah proyeksi mekanis dari kejadian-kejadian fisiologis
dalam kesadaran. Sebaliknya, Sartre memandang emosi sebagai jaringan cara-cara yang teratur,
untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Maka dalam beberapa hal ia setuju dengan para psikolog gestaltis, yang menginterpretasikan
emosi sebagai suatu cara mengambil keputusan secara tergesa-gesa, untuk mengakhiri keragu-
raguan.
C. TATAPAN

Fenomenologi Sartre menunjukkan beberapa karakteristik yang menarik dari gejala tatapan.
Menurutnya, ada perbedaan yang sangat mencolok antara melihat tatapan orang lain yang ter –
arah pada kita, dengan melihat matanya. Kedua hal itu berbeda satu sama lain.

Ciri utama dari tatapan adalah bahwa ia mempunyai akibat nyata pada kesadaran, yang
mengalami dirinya ditatap oleh orang lain :
 Tatapan mampu "membekukan" objeknya. Tatapan mata dari seseorang mampu "membuat
beku" orang lain yang ditatapnya, oleh Sartre dijadikan sebagai landasan untuk
menginterpretasikan relasi antar – manusia sebagai suatu "konflik". Relasi antar manusia,
dalam pandangan Sartre, tidak lain adalah suatu perseteruan, suatu usaha untuk saling meng –
objekan atau menjadikan diri sendiri sebagai subjek bagi orang lain
D. TUBUH

 Tubuh sebagaimana dialami langsung secara sadar oleh kita dan fungsi tubuh dalam
kaitannya dengan relasi kita dengan “orang lain”.
 Kita mengalami tubuh sendiri sebagai tubuh-subjek.
 Sartre membagi tubuh dalam tiga dimensi, yaitu:
 Tubuh saya bagi saya sendiri; fungsi utama tubuh adalah sebagai titik pandang kita
dalam hubungannya dengan dunia. Berkat tubuhlah kita dapat merubah perspektif kita
tentang dunia
 Tubuh saya bagi orang lain; Tubuh kita sebagaimana tampak bagi orang lain pada
dasarnya merupakan gejala tubuh yang sangat kaya.
 Tubuh bagi saya yang menyadari adanya dimensi kesadaran orang lain akan tubuh
saya; dikatakan oleh Sartre, “Kita perlu berhenti melihat diri kita sendiri melalui mata
orang lain.”
PENGARUH SARTRE

 Ia tidak punya mazhab, tidak punya “sekolah”, tapi ia memiliki sekelompok pengikut
yang fanatik berkat majalah yang diterbitkannya, yakni Les Temps moderness.
Pengaruhnya dalam bidang filsafat barangkali lebih kuat melalui provokasinya,
ketimbang melalui transmisinya.

 Banyak hal “baru” dan menarik tentang manusia, diungkapkan oleh Sartre dengan cara
yang gamblang dan berani.

 Banyak ruang-ruang gelap dan tidak terduga keberadaannya dalam pengalaman kita,
disoroti oleh Sartre dengan sangat terang.
KESIMPULAN

Pemikiran Sartre memang banyak dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl dan Heidegger,
namun Ia tetap memberikan kritik dan memodifikasi teori-teori yang sudah ada.
Pengalaman-pengalaman yang dialami Sartre dan orang-orang di sekitarnya itulah yang
menghantarkannya dalam mencetuskan beberapa teori-teorinya. Fenomenologi menempati
kedudukan urgen, bahkan “sentral” dalam filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Sartre
juga membahas ilustrasi tentang gejala manusia, yang merupakan hasil dari praktek
fenomenologinya, yaitu: imajinasi, emosi, tatapan, dan tubuh. Maka, pemikiran-pemikiran
Sartre tentang manusia, baik melalui filsafat maupun novel-novelnya, tidak boleh
diabaikan begitu saja.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai