Anda di halaman 1dari 17

Perkembangan

Akal Budi
Manusia Menurut
Positivisme
Auguste Comte
Dari Manusia Mistis ke Manusia Ilmiah :
Perkembangan Akal Budi Manusia Menurut
Filsafat Positivisme Auguste Comte

Istilah Positivisme paling tidak mengacu pada dua hal berikut : pada teori pengetahuan
(epistemologi) dan pada teori tentang perkembangan sejarah (akal budi) manusia. Sebagai teori tentang
perkembangan sejarah manusia, kstilah positivisme identik dengan tesis comtesendiri mengenai tahap –
tahap perkembangan akal budi manusia, yang secara linear bergerak dalam urutan yang tidak putus.
Sebagai teori pengetahuan, istilah positivisme biasanya didefinisikan sebagai salah satu paham dalam
filsafat barat yang hanya mengakui (dan membatasi) pengetahuan yang benar kepada fakta – fakta postif
dan fakta tersebut harus didekati dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan yaitu Eksperimentasi,
Observasi, dan komparasi.
Fakta postif adalah fakta yang sungguh nyata, pasti, berguna, jelas dan langsung bisa diamat
kemudian dibenarkan oleh setiap orang yang mempunyai kesempatan sama untuk mengamati dan
menilainya. Jenis pengetahuan yang terakhir ini menurut Comte terdiri dari Teologi dan Metafisika, lambat
tapi pasti akan tersingkir dan digantikan oleh pengetahuan positif.
Tahap-tahap Perkembangan Akal Budi Manusia

I. Tahap Teologis.
Tahap ini merupakan tahap paling awal dari perkembangan akal manusia. Pada tahap ini,
manusia berusaha menerangkan segenap/fakta kejadian dalm kaitannya dengan teka – teki alam
yang dianggapnya berupa misteri. Segala – galanya termasuk manusia sendiri, diterangkan dalam
hubungannya denga kekuatan – kekuatan yang sifatnya misterius. Manusia tidak menghayati
dirinya sebagai makhluk luhur dan rasional, yang posisinya didalam alam berada diata makhluk –
makhluk lainnya. Sebaliknya, ia menghayati dirinya sebagai bagian dari keseluruhan alam, yang
selalu diliputi oleh rahasia yang tak terpecahkan oleh pikirannya yang sederhana.
Dalam tahap teoris ini, terdapat beberapa bentuk atau cara berpikir. Bentuk yang pertama
adalah fetiyisme dan animisme. Dalam kedua bentuk berpikir ini, kita bisa menyaksikan
bagaimana manusia menghayati alam semesta dalam individualitas dan partikularitasnya.
Kemudian terdapat cara berpikir lain yang lebih maju, yang sudah mulai menyatukan dan
mengelompokkan semua benda dan kejadian ke dalam konsep yang lebih umum. Pengelompokkan
itu didasarkan atas kesamaan – kesamaan yang ada diantara mereka. Ini merupakan cara berpikir
politeisme. Cara berpikir ini lebih maju daripada cara berpikir yang pertama, karena sudah tampak
adanya sejenis klasifikasi atas dasar dan kemiripan. Cara berpikir yang lebih maju lagi adalah
monoteisme. Cara berpikir ini tidak lagi mengakui adanya banyak roh (dewa) dari benda ataupun
kejadian – kejadian, melainkan hanya mengakui satu roh saja, yaitu Tuhan. Tuhan diapandang
sebagai satu – satunya roh yang menguasai bumi dan langit.
Cara berpikir yang lebih maju lagi adalah monoteisme. Cara berpikir ini tidak lagi mengakui
adanya banyak roh (dewa) dari benda ataupun kejadian – kejadian, melainkan hanya mengakui
satu roh saja, yaitu Tuhan. Tuhan diapandang sebagai satu – satunya roh yang menguasai bumi dan
langit. Monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma – dogma agama, yang kemudian
dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat, disamping sebagai landasan institusional serta
kenegaraan suatu bangsa dan sebagai alat jastifikasi para raja ( kepala negara ) yang berkuasa.
I. Tahap Metafisis
Pada tahap ini manusia mulai mengadakan perombakan atas cara berpikir lama, yang
dianggapnya tidak sanggup lagi memenuhi keinginan manusia, untuk menemukan jawaban
yang memuaskan tentang kejadian alam semesta. Pada tahap ini semua gejala dan kejadian
tidak lagi diterangkan dalam hubungannya dengan kekuatan yang bersifat supranatural atau
rohani. Akan tetapi, tahap metafisis pada prinsipnya hanya merupakan suatu bentuk
modifikasi artifisial saja dari tahap teologis. Pada tahap metafisik, pada kenyataannya hanya
merupakan modifikasi sederhana yang bersifat umum saja dari tahap pertama agen – agen
supranatural digantikan oleh kekuatan – kekuatan abstrak, enlitas – enlitas yang lebih nyata,
atau abstraksi yang dipersonifikasikan, yang memang ada didalam dunia ini.
Perbedaan di antara kedua cara berpikir tersebut terletak pada cara menerangkan
kenyataan : alam yang semula diasalkan dari dewa – dewa atau Tuhan, kini diterangkan
dengan menggunakan konsep – konsep abstrak, seperti kodrat, kehendak Tuhan, roh absolut,
tuntutan hati nurani, keharusan mutlak, kewajiban moral, dan lain sebagainya.
III. Tahap Positif
Tahap metafisis pada dasarnya merupakan tahap peralihan saja dari cara berpikir lama
(teologis) ke cara berpikir baru dan final, yakni cara berpikir positif. Pada tahap positif, gejala dan
kejadian alam tidak lagi dijelaskan secara a priori, melainkan berdasarkan observasi, eksperimen
dan komparasi yang ketat dan teliti. Gejala dan kejadian alam harus dibersihkan dari muatan
teologis dan metafisisnya. Akal mulai mecoba mengobservasi gejala dan kejadian secara empiris
dan hati – hati untuk menemukan hukum – hukum yang mengatur gejala dan kejadian itu. Hukum –
hukum yang ditemukan secara demikian tidak bersifat irrasional atau kabur, melainkan nyata dan
jelas karena sumbernya diperoleh secara langsung dari gejala – gejala dan kejadian – kejadian
positif, yang dapat dialami oleh setiap orang.
Hukum - hukum ini pun bersifat praktis dan bermanfaat, karena kalau kita mengetahui dan
menguasai hukum – hukum tersebut, maka kita dapat mengontrol dan memanipulasi gejala – gejala
dan kejadian – kejadian tertentu sebagai sarana mewujudkan kehidupan di masa depan yang lebih
baik.
Dalam ulasannya mengenai dinamika sosial dalam masyarakat positif, Comte dengan
penuh optimism menguraikan fungsi lain dari ilmu pengetahuan, tegasnya, didalam dirinya
sendiri mengandung alat untuk mencapai. baik kemajuan (progress) ataupun ketertiban
(order). Ia mengkritik pandangan lawan-lawan intelektualnya yang mempertentangkan dua
keadaan tersebut. Menurut mereka, kemajuan hanya mendatangkan instabilitas, disharmoni,
kerusuhan atau konflik sosial, peperangan dan anarkisme. Bagi dia, kemajuan dan ketertiban
merupakan dua sisi dari satu maya uang yang sama.
Di lain tempat, Comte menegaskan secara berulang-ulang bahwailmu pengetahuan
positif pun mampu membebaskan manusia dari perasaan terkungkung oleh kekuatan-
kekuatan magis akibat pandangan teologis, dan menjauhkan diri dari kecenderungan purba
untuk berperang akibat militerisme dan feodalisme sisa-sisa pemikiran tahap metafisis.
Tidak dapat diragukan bahwa perkembangan ilmu-ilmu industri, dan juga seni-seni
agung, meskipun masih merupakan sebab tersembunyi, secara historis sangat menentukan
dalam awal runtuhnya teologi dan militer. Dengan perkataan lain, tanpa perlu bantuan dari
agama dan meta-fisika, ilmu pengetahuan dengan sendirinya membawa moralitas dan
humanismenya sendiri. Selain itu, ilmu pengetahuan pun memiliki kemampuan untuk
mencegah kita dari keinginan tidak rasional untuk berperang dan melakukan penindasan
terhadap alam dan manusia
Teologi dan metafisika, sedikit demi sedikit atau sekaligus, harus mundur teratur,
begitu ilmu pengetahuan muncul. Tempat- tempat ibadat, sekolah-sekolah teologi serta
fakultas-fakultas filsafat (metafisika) harus dialihfungsikan menjadi universitas, pasar
(plaza atau supermarket), bank, dan pabrik (industri) —yang kesemuanya itu merupakan
produk-produk unggulan dari akal budi manusia, yang ber- dasarkan pada pemikiran dan
penelitian ilmiah. Pandangan hidup dan landasan institusional serta kenegaraan yang
semula berasal dari dogma agama, pemikiran teologis dan metafisis, sejak sekarang harus
digantikan oleh ilmu pengetahuan positif.
Ilmu Pengetahuan Positif

Comte menunjuk pada rasionalisme Descartes dan pada ilmu pengetahuan alam seperti
yang dikembangkan oleh Galileo Galilei, Isaac Newton, dan Francis Bacon. Dua jenis ilmu
pengetahuan pasti alam inilah yang merupakan model dari ilmu pengetahuan positif, yang
dikembangkan oleh Comte di dalam gagasan-gagasannya mengenai positivisme. Bangunan ilmu
pengetahuan positif ini, kalau kita telusuri asumsi- asumsinya, dapat dirumuskan seperti berikut
ini:

1. Asumsi pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat objektif (bebas nilai dan netral).
Objektivitas pengetahuan berlangsung dari dua pihak: pihak subjek dan objek. Pada pihak
subjek, seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berasal dari dalam dirinya sendiri, misalnya dari sentimen pribadi, penilaian- penilaian etis,
kepentingan pribadi atau kelompok, kepercayaan agama, filsafat, dan apa saja yang bisa
mempengaruhi objektivitas dari objek yang sedang diobservasi. Laporan-laporan atau teori-teori
ilmiah hanya menjelaskan fakta-fakta dan kejadian-kejadian yang dapat di-observasi dan/atau
dibuktikan keberadaanya.
2. Asumsi kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang
berulang kali terjadi. Andaikata ilmu pengetahuan diarahkan kepada hal-hal
unik, yang hanya sekali saja terjadi maka pengetahuannya tidak akan membantu
kita untuk meramalkan atau memastikan hal-hal yang akan terjadi. Padahal,
ramalan (prediksi) justru merupakan salah satu tujuan terpenting ilmu
pengetahuan. Di dalam setiap penjelasan (teori atau hukum) ilmiah sudah
terkandung prediksi. Dalam salah satu epigramnya ("From Science comes
Prevision, from Pre vision comes Control"), Comte menggambarkan hubungan
prediksi dan penjelasan ilmiah sebagai berikut: "Karena penjelasan ilmiah
merupakan sisi depan prediksi, penjelasan ilmiah itu meletakkan dasar bagi
pengendalian instrumental atas fenomena dengan cara memberikan jenis
informasi yang akan memungkinkan orang memanipulasi variabel-variabel
tertentu untuk menciptakan keadaan atau untuk mencegah terciptanya keadaan
itu.“
3. Asumsi ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti setiap
fenomena atau kejadian alam dari saling
ketergantungan dan antarhubungannya dengan
fenomena-fenomena atau kejadian-kejadian lain.
Mereka di andaikan saling berhubungan satu sama
lain dan membentuk suatu sistem yang bersifat
mekanis. Maka perhatian utama ilmuwan bukan
diarahkan pada hakikat dari gejala-gejala atau
kejadian-kejadian, melainkan pada relasi-relasi luar
(eksternal), khususnya relasi sebab akibat (kausal),
antara benda-benda, gejala-gejala atau kejadian-
kejadian. Gejala-gejala alam tidak ditinjau secara
terpisah, tetapi sejauh mereka merupakan suatu
jaringan relasi-relasi yang bersifat tertentu dan
konstan.
● Ketiga asumsi tersebut di atas pada prinsipnya dilandasi oleh keyakinan ontologis
Comte yang bersifat naturalistik dan deterministik, yakni bahwa segenap gejala dan
kejadian, tanpa kecuali, tunduk pada hukum alam. Hukum ini berjalan secara mekanis
dan menentukan bukan hanya gejala dan kejadian yang bersifat fisis atau inorganis,
tetapi juga gejala dan kejadian yang bersifat psikis (psikologis) dan organis. Gejala
manusia bukanlah kekecualian. John Stuart Mill, salah seorang pengikut positivisme
Comte, dengan baik sekali menjelaskan hal itu.

● Mengacu pada gejala sosial manusiawi, ia menyuarakan apa yang hendak dikatakan
Comte: Gejala masyarakat manusia tunduk pada hukum-hukumnya sendiri, tapi
sebetulnya tidak melulu tergantung pada itu: mereka tergantung pada segenap hukum
kehidupan organik dan hewani, bersama-sama dengan hukum-hukum alam inorganik.
Pengaruh Positivisme Auguste Comte
Amatlah sulit mengukur pengaruh suatu pemikiran filsafat seperti positivisme auguste
comte. Rentang waktu antara tahun pertama diterbitkannya buku utama comte , cours de
philosophie positive (6 volume 1830 – 1842) hingga hari ini, adalah rentang waktu yang
sangat panjangsehingga sangat mustahil untuk menilai daya jangkau dan kontribusi
positivism comte pada pada berbagai unsur kebudayaan kita hari ini. Selama itu, terlah
bermunculan isme – isme lain dari berbagai bidang dan disiplin, yang sangat mungkin jauh
lebih berpengaruh dari positivisme sendiri dalam memberi bentuk dan warna pada
kebudayaan kita. Namun demikian dibawah ini akan sebutkan beberapa “pengaruh’’
positivisme , yang saya acu dari koento wib isono, dalam disertasinya yang bewrjudul arti
perkembangan menurut filsafat positivisme auguste comte.
● Menurut pengamatan ahli filsafat berat ini, kontribusi filsafat
positivisme comte terhadap kebudayaan barat, paling tidak, tampak
dari :

1. Semakin tebalnya optimisme masyarakat barat yang telah timbul sejak


zaman aufklarung mengenai hari depan umat manusia yang semakin baik
atau maju
2. Semangat eksploratif dan ilmiah para ilmuwan sedemikian rupa,
sehingga mendorong lahirnya model model ilmu pengetahuan yang
positif, yang lepas dari muatan-muatan spekulatif
3. Konsepsi yang semakin meluas tentang kemajuan atau modernisasi
yang menitikberatkan pada kemajuan dan modernisasi dalam bidang
ekonomi, fisik dan teknologi (model masyarakat industri)
4. Menguatnya golongan teknokrat dan industriawan dalam pemerintahan. 35
tahun yang lalu, Bertrand Russel dalam komentarnya yang bernada kritik
terhadap positivisme telah meramalkan kenyataan itu "...........positive humanity
will be ruled by the moral authority of a scientific elite, while the executive
power will be entrusted to technical experts.

>> Beberapa pengaruh yang baru disebut, tentu saja, diluar pengaruh
positivisme comte didalam sejarah filsafat, disamping kontribusinya dalam
melahirkan sebuah ilmu yang disebut "fisika sosial" atau sosiologi, serta
positivisasi ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Diperlukan sebuah karangan
tersendiri yang cukup panjang untuk membahas hal itu.
Beberapa Permasalahan Praktis di Seputar Positivisme
• Dalam bidang pembangunan dan bidang industrilisasi merupakan wujud nyata dari kemajuan,
maka bangunan – bangunan fisik material pada akhirnya merupakan tolak ukur dari
keberhasilan dan kemajuan pembangunan.

• Persoalan lainnya berkenaan dengan nilai dalam kesenian. Nilai estetik suatu karya seni lukis
misalnya, tidak lagi karena nilai intrinstiknya, melainkan karena nilai ekonomisnya. Di
sebagian masyarakat kita pun sudah muncul kecenderungan penilailan yang berorientasi
ekonomi tentang yang indah dan yang buruk. Konsepsi Comte tentang bersatunya kemajuan
(Progress) dan ketertiban (order) menimbulkan permasalahan lain yang baru lagi.
Pada Konsepsi Comte mungkin saja benar bahwa kemajuan
dalam bidang industri di beberapa negara maju dapat membawa
ketertiban dalam sistem sosial mereka. Biarpun tidak ada
hubungan di antara order dan force, apalagi dengan Physical
force, tetapi di banyak negara “show of force” yang mengarah
pada Physical force dimana hal tersebut menjadi alat yang
efektif bagi penguasa dalam menciptakan ketertiban (stabilitas).
Kenyataan ini sering ditemukan terutama di negara-negara
berkembang sehingga tidak mustahil jika pelanggaran hak asasi
manusia di banyak negara berkembang, termasuk di negeri kita
sendiri, semasa orde baru berkuasa.

Anda mungkin juga menyukai