Anda di halaman 1dari 8

Perkembangan Akal Budi Manusia Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte

Dua gagasan pokok :


1. Tahap - tahap perkembangan akal budi manusia
2. Ilmu pengetahuan positif (positivisme)

Positivisme >> dari kacamata teori pengetahuan didefinisikan sebagai salah satu paham dalam
filsafat barat yang hanya mengakui dan membatasi pengetahuan yang benar kepada fakta - fakta
positif dan fakta - fakta tersebut harus didekati dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan,
yakni eksperimentasi, observasi, dan komparasi. Fakta positif adalah fakta yang sungguh -
sungguh nyata, pasti, berguna, jelas dan yang langsung dapat diamati dan dibenarkan oleh setiap
orang yang mempunyai kesempatan sama untuk mengamati dan menilainya.
Comte : fakta serupa dilawankan secara tegas dengan kejadian yang bersifat khayal, meragukan,
ilusi, dan kabur.
Teologi dan metafisika contohnya >> Setiap bentuk pengetahuan yang tidak mendasar pada fakta
- fakta positif, dan mendekatinya tidak dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan, tidak
bisa lain daripada fantasi atau spekulasi liar

Tahap - tahap Perkembangan Akal Budi Manusia (diibaratkan Tahap teologis itu anak -
anak, metafisis (masa transisi) adalah masa remaja, dan positif (ahli ilmu alam) adalah masa
dewasa)
1. Tahap Teologis, tahap paling awal dari perkembangan akal manusia. Pada tahap ini
manusia berusaha menerangkan segenap fakta kejadian dalam kaitannya dengan teka -
teki alam yang dianggapnya berupa misteri. Segala - galanya, termasuk manusia sendiri,
diterangkan dalam hubungannya dengan kekuatan - kekuatan yang sifatnya misterius.
Manusia tidak menghayati dirinya sebagai makhluk luhur dan rasional, yang posisinya di
dalam alam berada di atas makhluk - makhluk lain. Sebaliknya, ia menghayati dirinya
sebagai bagian dari keseluruhan alam yang selalu diliputi oleh rahasia yang tak
terpecahkan oleh pikiran yang sederhana. Tahap perkembangan ini bisa kita jumpai,
misalnya pada manusia purba. Alam semesta, oleh mereka, dimengerti sebagai
keseluruhan yang integral dan terdiri dari makhluk - makhluk yang mempunyai
kedudukan yang kurang lebih setara dengan mereka. Dan seperti diri mereka sendiri,
keseluruhan itu dihayati sebagai sesuatu yang hidup, berjiwa, berkemauan, dan bertindak
sendiri. Dalam tahap ini ada beberapa cara untuk berfikir, 1) fetiyisme dan animisme,
yaitu bagaimana manusia menghayati alam semesta dalam individualistas dan
partikularitasnya. Manusia purba tidak mengenal atau memahami konsep - konsep
abstrak, semua hal dianggap sebagai sesuatu yang individual dan singular. Layaknya
manusia yang memiliki jiwa atau rohnya sendiri; 2) politeisme, yaitu cara berfikir yang
sudah mulai menyatukan dan mengelompokkan semua benda ataupun kejadian ke dalam
konsep yang lebih umum yang didasari oleh kesamaan yang dimiliki. Individualitas dan
partikularitas benda atau kejadian diganti oleh kelas - kelas benda atau kejadian lalu
diekspresikan dalam bentuk konsep - konsep umum dan abstrak; 3) Monoteisme, hanya
mengakui satu roh saja, yang berasal dan berakhir dari kekuatan tunggal yang bersifat
rohaniah (Tuhan). Dari cara berfikir itu yang kemudian melahirkan dogma - dogma
agama, yang kemudian dijadikan oleh masyarakat sebagai pedoman hidup dan landasan
institusional serta kenegaraan suatu bangsa serta sebagai alat jastifikasi para petinggi
yang berkuasa. Dukun misalnya, mereka diyakini sebagai perantara manusia dengan
Tuhan. Begitupun dengan Raja, yang memiliki legitimasi teologi, yang dianggap sebagai
titisan dewa suci atau wakil Tuhan di bumi.
2. Tahap Metafisis, dimana semua gejala dan kejadian tidak lagi dikaitkan dan dijelaskan
dengan kekuatan yang bersifat supranatural atau rohani. Manusia mulai mencari hakikat
atau esensi dari segala sesuatu, mencari pengertian dan penjelasan yang logis dengan
membuat abstraksi dan konsep - konsep metafisik. Dogma agama mulai ditinggalkan dan
kemampuan akal mulai dikembangkan dengan melandasi segala pemikiran ataupun
argumentasi yang logis. Namun pada prinsipnya, dalam tahap ini manusia hanya
membentuk modifikasi artifisial dari tahap teologi. Baik manusia teologis maupun
manusia metafisis, keduanya sama - sama mengembangkan ilmu pengetahuan dengan
mencari sebab pertama dan tujuan akhir dari kehidupan. Satu hal yang menjadi catatan,
walaupun berasal dari pemikiran logis dan tidak begitu saja mengambil pernyataan dari
dogma agama, pemikiran metafisis tidak mempunyai dasar - dasar empiris yang bisa
dipertanggungjawabkan. Konsep tersebut hanya pengandaian a priori tanpa melakukan
penelitian ilmiah. Jadi pemikiran metafisis tidak menciptakan informasi baru akan tetapi
hanya “nama” baru pada konsep - konsep lama.

Noted : Perbedaan yang signifikan antara kedua tahapan diatas terletak pada cara menjelaskan
kenyataan yang ada.
a. Teologis : Alam berasal dari Tuhan atau Dewa - dewa
b. Metafisis : Alam berasal dari sebuah kodrat, kehendak Tuhan, roh absolut, keharusan
mutlak, kewajiban moral dsb.

3. Tahap Positif, yaitu gejala ataupun suatu kejadian tidak dijelaskan secara a priori tetapi
berdasarkan observasi, eksperimen dan komparasi yang ketat dan teliti. Manusia tidak
lagi mencari kekuatan - kekuatan yang bersifat transenden atau mencari suatu hakikat
dari setiap gejala atau kejadian. Manusia pun tidak berorientasi pada pencarian sebab
pertama dan tujuan akhir dari kehidupan, akan tetapi lebih kepada mengobservasi secara
empiris dan hati - hati untuk menemukan yang menjadi sebab akibat (hukum - hukum)
dari suatu gejala atau kejadian. Hukum hukum tersebut bersifat jelas dan nyata karena
bisa dipertanggung jawabkan; praktis dan bermanfaat sehingga bisa diaplikasikan di
kehidupan bermasyarakat. Pada akhirnya, cara berfikir teologi dan metafisis sedikit demi
sedikit ditinggalkan dan digantikan oleh ilmu pengetahuan dari cara berfikir positif.
Ilmu Pengetahuan Positif
Ilmu pengetahuan positif atau positivisme menurut August Comte, merupakan gabungan dan
pengembangan dari rasionalisme yang dikemukakan oleh Descartes dan ilmu pengetahuan alam
yang dikembangkan oleh Galileo Galilei, Isaac Newton dan Francis Bacon. Berikut ciri atau
asumsi dari positivisme by August Comte :
1. Ilmu pengetahuan harus bersifat objektif (bebas nilai dan netral). Seorang ilmuwan tidak
boleh membiarkan dirinya dipengaruhi faktor - faktor yang ada pada dirinya sehingga
mempengaruhi objektivitas dari objek yang sedang diobservasi. Pada pihak objek, aspek
atau dimensi lain yang tidak bisa diukur dalam observasi maka tidak dapat ditolerir
keberadaannya. Sehingga laporan atau teori ilmiah hanya menjelaskan fakta atau kejadian
yang dapat diobservasi atau dibuktikan keberadaannya yang kemudian bisa
digeneralisasikan dan diabstraksikan.
2. Ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal - hal yang berulang kali terjadi.
Dibutuhkan sebuah prediksi sehingga kita bisa meramalkan banyak kejadian dari satu
perilaku misalnya.
3. Ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari saling
ketergantungan dan antar hubungannya dengan fenomena - fenomena lain. Fokus utama
dari penelitian terjadi bukan hanya sekedar untuk mengetahui hakikat atau esensi dari
suatu fenomena melainkan juga pada relasi - relasi luar, khususnya relasi sebab-akibat
(kausal). Suatu gejala tidak ditinjau secara terpisah melainkan ditinjau secara menyeluruh
sebagai suatu jaringan berelasi yang bersifat tertentu dan konstan.
Ketiga asumsi diatas dilandasi oleh keyakinan ontologis Comte yang bersifat naturalistik dan
deterministik, yang berartikan bahwa segenap gejala dan kejadian tanpa terkecuali tunduk pada
hukum alam. Hukum ini berjalan secara mekanis menentukan semua kejadian yang bersifat fisis
atau inorganis dan juga psikis dan organis. Comte juga memiliki keyakinan epistemologis dan
metodologis yang sangat kuat. Ia merumuskan bahwa ilmu pengetahuan tersebut bersifat
objektif, ilmiah dan general yang pada akhirnya menggiring kepada ilmu pasti (a science of
number). Ia berkesimpulan bahwa ilmu pasti memiliki tingkat kebenaran yang sangat tinggi,
bebas dari penilaian - penilaian subjektif, berlaku universal dan penjelasannya disertai
perhitungan yang dalam dibuktikan. Tanpa ilmu pasti (matematika dan atau statistika) ilmu
pengetahuan hanya kembali menjadi metafisika.

Pengaruh Positivisme Auguste Comte, terhadap kebudayaan barat, mengacu kepada Koento
Wibisono :
1. Optimisme masyarakat barat semakin tinggi terhadap masa depan;
2. Semangat eksploratif dan penelitian yang beragam, sehingga menghasilkan model -
model ilmu pengetahuan yang positif;
3. Konsepsi yang semakin meluas mengenai kemajuan atau modernisasi dalam bidang
ekonomi, fisik dan teknologi;
4. Menguatnya golongan teknokrat dan industriawan dalam pemerintahan.
Dalam sejarah filsafat, positivisme dari Auguste Comte yakni melahirkan ilmu fisika sosial atau
sosiologi, serta positivisasi ilmu - ilmu sosial dan humaniora.

Beberapa Permasalahan Praktis di Seputar Positivisme,


1. Dalam bidang pembangunan dan industrialisasi, jika ilmu pengetahuan merupakan satu -
satunya motor penggerak kemajuan dan industrialisasi merupakan wujud nyata dari
kemajuan, maka bangunan - bangunan fisik material akan menjadi tolak ukur dari
keberhasilan dan kemajuan pembangunan. Bagaimana dengan pembangunan mental
material ?
2. Dalam kehidupan sehari - hari, manusia akan menjadi pribadi yang product-minded.
Mengacu kepada terminologi Max Weber mengenai orientasi tujuan sehingga masalah
etika dan moral menjadi marginal. Kebutuhan manusia tidak lagi berorientasi kepada
kebahagiaan dan kenikmatan kerja akan tetapi pada perolehan hasil sebanyak - banyak
nya dengan waktu yang singkat. Kemudian harga diri dan martabat seseorang atau
sesuatu ditentukan dari seberapa besar akses dan kontribusi ekonomi dan industri yang
dimiliki oleh orang atau suatu bangsa. Kualitas pribadi dan kemanusiaan hanya
merupakan nilai yang bersifat periferal.
3. Dalam bidang kesenian, nilai estetik karya seni lukis yang tidak lagi melihat nilai
intrinsiknya tetapi melihat nilai ekonomisnya. Bukan lagi lukisan yang secara inheren
bernilai estetika tinggi yang dihargai mahal secara ekonomis, akan tetapi lukisan yang
secara ekonomis mahal yang dianggap bernilai estetik tinggi.
Konsep Comte mengenai kemajuan (progress) dan ketertiban (order) menimbulkan
permasalahan lain. Bagi beberapa negara maju dalam bidang industrial mungkin memang
membawa ketertiban dalam sistem sosial mereka. Namun manakala tidak terjadi ketertiban,
maka “aturan the class” hanya memaksakan ketertiban atau bisa dikatakan “menindas”.
Contohnya dalam di negara Indonesia sendiri, semasa Orde Baru berkuasa, disebabkan oleh
keinginan para penguasa untuk menciptakan kemajuan dan ketertiban (atau pembangunan dan
stabilitas), yakni cita - cita yang sudah lama digagaskan oleh pemikiran positivisme Comte.
Positivisme

Filsafat Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte yang merupakan figure


representative untuk Positivisme sehingga dia dijuluki sebagai Bapak Positivisme. Positivisme
sendiri berasal dari “positif”. Istilah “filsafat positif” mulai digunakan Comte pada karyanya
“Cours de Philosophie Positive” dan terus menggunakan istilah itu di seluruh karyanya. Filsafat
digunakan sebagai “sistem umum tentang konsep-konsep umum mengenai manusia” dan positif
digunakan sebagai “teori yang bertujuan untuk menyusun fakta-fakta yang teramati”. Dalam hal
ini Comte menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa melampaui fakta sehingga
positivisme benar-benar menolak metafisika dan menerima adanya “das Ding an Sich” (Objek
yang tidak bisa diselidiki oleh pengetahuan ilmiyah).
Comte menerangkan dalam karyanya yang berjudul Discour sur lèsprit positif (1984),
sebagaimana yang dikutip oleh Koento Wibisono bahwa pengertian “positif” menurut Comte
ialah sebagai berikut;

1. “Positif” merupakan lawan dari “khayal” (chimérique), artinya positif adalah hal hal
yang bersifat nyata (réel). Pengertian ini melanjutkan bahwa objek filsafat positivisme
adalah hal yang dapat dijangkau akal, sedangkan hal hal yang diluar nalar/akal
bukan/tidak dapat menjadi kajian dari filsafat positivisme,
2. “Positif” adalah lawan dari sesuatu yang “tidak bermanfaat” (oiseux) artinya positif
adalah hal yang bermanfaat (utile). Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa tujuan dari
pemikiran filsafat positivisme tidak berhenti pada pemenuhan rasa keingintahuan
manusia, namun lebih dari itu segala pemikiran yang dilandasi positivisme harus
diarahkana kepada kemajuan ilmu pengetahuan untuk manusia.
3. “Positif” sebagai lawan dari “keraguan” (indécision), berarti positif sendiri adalah
keyakinan (certitude). Positif diartikan pada hal hal yang sudah pasti.
4. “Positif” sebagai lawan dari “kabur” (vague), maka positif disifati sebagai suatu hal
yang jelas atau tepat (précis). Hal tersebut sesuai dengan ajaran filsafat comte yang
menyatakan bahwa pemikiran filsafati harus dapat memberikan pemikiran yang jelas dan
tepat, baik mengenai hal hal yang nampak atau hal hal yang tak nampak yang sebenarnya
dibutuhkan. Hal ini menjadi “antitesa” dari cara berfilsafat lama yang memberikan
pedoman yang tidak jelas.
5. “Positif” sebagai lawan “negatif” hal ini digunakan unutk menunjukkan sifat filsafata
positivisme yang mengarah pada penataan dan penertiban pola pikir.

Filsafat positivisme yang diungkapkan Comte melontarkan kritik yang keras terhadap
metodologi pengetahuan sistematis yang berkembang subur pada abad pertengahan yaitu
metafisika. Berbeda dengan meatafisika, positivisme mendasari pengetahuan dengan fakta
objektif (nyata, pasti, tepat, berguna dan mutlak) sedangkan metafisika tidak dapat membuktikan
kebenaran perntaan pernyataanya secara indrawi (pengamatan dan percobaan).

Penggolongan Ilmu Pengetahuan Menurut Auguste Comte


Hukum tiga tahap yang telah dibahas sebelumnya merupakan pandangan filsafat Comte.
Selain itu juga diterangkan tahap perkembangan-perkembangan pemikiran manusia menuju
puncak kemajuan yaitu pada tahap positif Comte. Kemajuan yang dimaksudkan adalah kemajuan
dalam kehidupan bermasyarakat dan kemajuan dalam ilmu pengetahuan (scientific knowledge).
Comte mengakui bahwa tujuan dari ilmu pengetahuan adalah unutk mencapai kekuasaan
sebagaimana semboyan menyatakan bahwa “knowledge is power”, akan tetapi tidak boleh
dikesampingkan bahwa tujuan ilmu pengetahuan juga memberi pengetahuan bagi manusia
mengenai hukum-hukum gejala (fenomena) alam sehingga dapat mengantisipasi, meramalkan
gejala alam bahkan merubah alam sendiri seperti yang dibutuhkan oleh manusia.
Comte dalam mengukur kemajuan ilmu pengetahuan mengklasifikasikan ilmu
pengetahuan menjadi beberapa cabang sejalan dengan gejala-gejala pengetahuan yang paling
umum akan tampil terlebih dahulu. Berikut urutan klasifiksai ilmu pengetahuan menurtu Auguste
Comte; pertama ilmu pasti (matematika) yang diikatan sebagai dasar ilmu pengetahuan,
selanjutnya ilmu perbintangan (astronomi), ilmu alam (fisika), kimia (chemi), ilmu hayat
(biologi) dan ilmu fisika sosial (sosiologi). Comte tidak memasukkan ilmu jiwa (psikologi)
sebagai bagian dari ilmu pengetahuan karena psikologi belum mampau melampaui metafisik.

Kelebihan dan Kekurangan


Dari deskriptif ringkas di atas mengenai positivisme, maka sebenarnya positivisme mempunyai
beberapa kelebihan dan kekurangan

Kelebihan Positivisme :
1. Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh
lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.
2. Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu
pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak
secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan
valid.
3. Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak
aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi juga
meramalkan masa depannya.
4. Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.
5. Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun
keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.

Kelemahan Positivisme
1. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar
terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan
manusia tereduksi ke dalam pengertian fisikbiologik.
2. Akibat dari ketidak percayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya,
maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya
kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam
ajaran agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat
paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada
agama semakin meningkat.
3. Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat
merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu
dinafikan.
4. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan
pengetahuan yang valid.
5. Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat
dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera.
Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna.
Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang
tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
6. Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang
optimis, tetapi juga terkesan lincah-seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu
pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang
digambarkan sebagai masyarakat positivistic. Bias teoritik seperti itu tidak memberikan
ruang bagi realitas yang berkembang atas dasar siklus-yakni realitas sejarah berlangsung
berulang-ulang tanpa titik akhir sebuah tujuan sejarah yang final.

Aguste Comte adalah tokoh aliran positivisme, pendapat aliran ini adalah indera amatlah
penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat
dengan eksperimen. Karena kekurangan inderawi dapat dikoreksi dengan eksperimen.
Paham positivisme muncul karena beberapa sebab yang melatar belakanginya diantaranya:
● Ketidakpuasan terhadap dominasi positivisme, terutama terhadap latar belakangnya yang
naturalistik dan deterministik.
● Reaksi terhadap kepercayaan akan apa yang disebut sebagai kemajuan (progres) abad ke-
19.
● Timbul reaksi terhadap pengertian mengenai perkembangan yang telah menjadi mitos
yang mencakup segala-galanya
Bila dilihat dari nilai etisnya terhadap sains maka dapat dinyatakan bahwa apabila pradigma
positivisme maka objeknya empiris macam pengetahuannya menunjukkan sains dan dapat diukur
dengan logis dan bukti empiris.

Simpulan

Auguste Comte membawa perubahan besar dalam dunia pemikiran dan mendobrak
paham metafisik yang menjamur pada abad pertengahaan dengan filsafat positivisme. Positif
yang menurut comte adalah hal hal yang bersifat nyata, pasti, tepat, berguna dan memiliki
kebenaran yang mutlak. Artinya kebenaran harus bersifat positif bukóan abstrak dan dapat
diamati, diukur dan diprediksi sebagaimana moto Comte savoir pour prevoir” (mengetahui untuk
meramalkan). Dalam filsafat Positifisme comte juag memaparkan tiga tahap perkembangan
pemikiran manusia yaitu teologis/fiktif, metafisis dan positif, serta membagi ilmu pengetahuan
menjadi 8 golongan berdasarkan tarap positivitas dan tarap kompleksitas dari masing masign
ilmu pengetahuan.

Referensi :

Nugroho, Irham. (2016). Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya
Terhadap Sains. CAKRAWALA. XI: 2: 167-177.
Koento, Wibisono. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1983.

Anda mungkin juga menyukai