Anda di halaman 1dari 11

TAHAP PENGETAHUAN MANUSIA (AUGUST COMTE)

Makalah Ini Guna Menyelesaikan Tugas Mata Kuliah:

Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu:

Abdullah Hanif, M. Ag

Disusun Oleh:

Moch. Solihin (202212137238)

Muhammad Hafidz Mahardika Arjuna (202212137233)

Prodi ; Ilmu Tasawuf

Jurusan Ushuluddhin

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL FITHRAH

SURABAYA

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Positivisme adalah filsafat awal dan dasar munculnya ilmu pengetahuan


serta hadir sebagai kritik atas pemahaman yang menjamur pada abad
pertengahan yaitu metafisik. Positivisme mendasarkan pembuktian kebenaran
menurut metodologi ilmiyah yang dapat dan diukur selanjutnya menjadi
hukum-hukum yang menjadi acuan pokok dalam mencari kebenaran yang
dirangkum menjadi hukum alam. Berbeda dengan metafisik yang tidak dapat
diamati dan diukur karena pencarian kebenaran berdasarkan akal budi
manusia. Perbedaaan pengalaman manusia akan menjadi perbedaan dalam
menentukan kebenaran, sehingga pada metafisik kebenaran bersifat abstrak.

Positivisme muncul pada abad ke-19 dipromotori oleh seorang sosiolog


asal prancis yaitu August Comte. Paradigma ini terbukti ampuh dan digunakan
banyak ilmuan untuk mengungkap kebenaran realitas dalam kurun waktu yang
cukup lama(±400 tahun) walau terdapat berapa kelemahan dalam teori ini
diantaranya adalah tidak dapat menjangkau kajian metafisika.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Auguste Comte ?
2. Bagaimana karakteristik Positivisme Auguste Comte ?
3. Apa Filsafat Auguste Comte?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Auguste Comte

Auguste Comte lahir di Montpellier, Prancis, pada 17 Januari 1798.


Memiliki nama asli Isidore Marie Auguste Comte, ia berasal dari keluarga
bangsawan Katholik. Ia menempuh pendidikan di Ecole Polytechnique dan
mengambil jurusan berpengalaman memberi les matematika dan menjadi
murid sekaligus sekretaris Saint Simon.1

Pemikiran Auguste Comte, selaku orang yang memulai kajian sosiologi


dan kemudian disebut sebagai bapak sosiologi ini, dipengaruhi oleh revolusi
Prancis. Pemikiran Comte yang terkenal salah satunya adalah penjabaran
sejarah perkembangan sosial atau peradaban manusia. Teori Comte tersebut
membagi fase perkembangan peradaban menjadi tiga tahap. Tahap pertama
yaitu teologis, sebelum 1300. Pada fase ini manusia belum menjadi subjek
bagi dirinya dan sangat bergantung pada dunia luar. Contohnya, kesuburan
dan panen padi seorang petani tergantung kemurahannya Dewi Sri pada
konteks milotogi Indonesia.

Tahap kedua, adalah tahap metafisika. Pada tahap ini manusia atau
masyarakat mulai menggunakan nalarnya. Keterbatasan nalar manusia pada
fase ini adalah kentalnya kecendrungan spekulasi yang belum melalui analisis
empirik. Contohnya, nalar masyarakat mengalami yang menilai kesusahan
takdir semata.

Tahap ketiga, tahap positifistik. Ini adalah tahap modern, dimana manusia
atau masyarakat menggunakan nalarnya, menjadi subjek dan memandang
yang lain sebegai objek. Pada tahap ini semua gejala alam atau fenomena yang
terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan peninjauan, pengujian dan
dapat dibuktikan secara empiris.

B. Filsafat Positivisme Auguste Comte

1
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 1992
1. Pengertian Positivisme

Positivisme berasal dari bahasa Inggris Positivisme, kata ini semula


dari bahasa latin, Positivus, yang asal katanya Ponere, yang berarti
“meletakan”. Kata positif disini berarti yang diketahui, yang factual, dan
yang positif artinya yang fakta-fakta. Segala uraian yang diluar fakta atau
kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu metafisik ditolak. Apa yan
diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan yang dapat diukur.
Dengan demikian positivisme membatasi filsafat dan ilmu pada bidang
gejala-gejala saja. Gejala-gejala disusun dalam hukum-hukum tertentu
dengan melihat hubungan antara gejala tersebut. Positivisme suatu aliran
filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sabagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dan studi,
filosofis atau metafisis. Aliran filsafat Positivisme ditandai dengan
pendewaan ilmu dan metode ilmiah.

Jadi, positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu


alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak
aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal
adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris. Positivisme
dianggap bisa memberikan sebuah kunci pencapaian hidup manusia dan ia
dikatakan merupakan satu-satunya formasi social yang benar-baenar bisa
dipercaya kehandalan dan akurasinya dalam kehidupan dan keberadaan
masyarakat.

Comte sering disebut “bapak Positivisme” karena aliran filsafat yang


didirikannya tersebut. Postivisme adalah nyata, bukan hayalan. Ia menolak
metafisika dan teologi. Jadi menurutnya ilmu pengetahuan harus nyata dan
bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan. Positivisme
merupakan suatu paham yang berkembang dengan sangat cepat, ia tidak
hanya sekedar menjadi aliran filsafat tetapi menjadi agama dogmatis
karena ia telah melembagakan pandangan dunianya menjadi doktrin bagi
ilmu pengetahuan.2 Pandangan dunia yang dianut oleh positivisme adalah
2
Herabudin, Pengantar Sosiologi ,Badung:Pustaka Setia,2015, h.225
pandangan dunia objektivistik. Pandangan dunia objektivistik adalah
pandangan dunia yang menyatakan bahwa objek-objek fisik hadir
independen dari indrawi. Realitas dengan data indrawi adalah satu. Apa
yang dilihat adalah realitas sebagaimana adanya. Seeing is believing.

Menurut Ahmad (2009), tujuan utama yang ingin dicapai oleh


positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika).
Menurut Ernts, ilmu hendaknya dijauhkan dari tafsiran-tafsiran metafisis
yang merusak objektifitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafsiran metafisis
dari ilmu, para ilmuan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap
dengan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk
menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitanya dengan tugas
filsafat. Menurut positivsme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala
sesuatu yang ada didalam. Tugas filsafat adalah memberikan penjelasan
logis terhadap pemikiran. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa
filsafat bukanlah ilmu.

Alasan yang digunakan oleh positivisme dalam membatasi tugas


filsafat diatas adalah karena filsafat bukanlah ilmu. Kata filsafat hendaklah
diartikan sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari ilmu-
ilmu eksakta. Penjelasan dari hal ini adalah bahwa tugas utama dari ilmu
adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi didalam dan
sebab-sebab terjadinya. Sementara tugas ilmu-ilmu sosial adalah memberi
tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi pada manusia, baik sebagai
individu maupun sebagai masyarakat. Dan karena semua objek
pengetahuan baik yang berhubungan dengannya, maka tidak ada lagi
obyek yang perlu ditafsirkan oleh filsafat. Oleh karena itulah dapat
disimpulkan bahwa filsafat bukanlah ilmu.3

2. Karakteristik Positivisme

3
Ibid Hal 23-24
Positivisme mempunyai ciri-ciri yang bertitik beratkan pada kata
positivistik yang berasal dari salah satu aliran filsafat yaitu positivisme,
adapun ciri-ciri adalah sebagai berikut :

a. Penekanan pada metode ilmiah. Metode ilmiah adalah satu-satunya


sumber pengetahuan yang benar tentang realitas. Telah ada upaya
untuk membangun sebuah system yang menyatukan seluruh sains di
bawah satu metodologi logis, matematis dan eksperiensial.
b. Positivisme mendasarkan suatu atas prinsip verifikasi, sebuah kriteria
untuk menentukan bahwa sebuah pernyataan memiliki makna kognitif
sebuah pernyataan dikatakan bermakna jika dapat diverifikasi secara
empiris. Segala pengetahuan haruslah sampai pada tingkat positif,
barulah ia dapat memiliki makna kognitif.
c. Filsafat pada pandangan positivisme hanyalah sebagai analisis dan
penjelasan makna dengan menggunakan logika dan metode ilmiah.
Karena matematika dan logika sangat diperlikan untuk menganalis
pernyataan-pernyataan yang bermakna.
d. Bahasa filsafat mereka bangun dalam sebuah bahasa yang artificial
dan sempurna secara formal untuk filsafat, sehingga memperoleh
efesiensi, ketelitian, kelengkapan seperti yang dimiliki sains-sains
fisika.
e. Ciri positivisme yang cukup radikal adalah penolakan terhadap
metafisika. Mereka menolak metafisika disebabkan hal-hal yang
metafisika tersebut tidak dapat diverifikasi secara empiris.
f. Objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai
mengharuskan subyek penelitian mengambil jarak dari realitas dengan
bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan
terkukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari
realitis (korespondensi).
g. Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari empiris-empiris. Ilmu
pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi
tersubut. Substansi metafisis yang diandaikan berada dibelakang
gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika).
h. Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas
partikularlah yang nyata.
i. Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat
diamati.
j. Naturalism, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam
semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam
semesta memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya
sendiri.
k. Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelskan dengan prinsip-
prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin
(system-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai giant
clock work.4

3. Metodologi positivisme

Metodologi berarti salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan yang


sohih tentang kenyataan. Ini berarti positivisme meletakkan dasar-dasar ilmu
pengetahuan hanya tentang fakta objektif. Metodologi merupakan isu pertama
yang dibawa positivisme, yang memang dapat dikatakan bahwa refleksi
filsafatnya sangat menitik beratkan pada aspek ini. Metodologi positivisme
berkaitan erat dengan pandangannya tentang obyek positif. Jika metodologi
bisa diartikan suatu cara untuk memperoleh pengetahuan yang sahih tentang
kenyataan, maka kenyataan dimaksud adalah objek positif.5

Atas dasar pemikiran ini, bagi Comte ilmu pengetahuan yang pertama
adalah astronomi, lalu fisika, lalu kimia dan akhirnya psikologi (biologi).
Anatomi ini kemudian diterjemahkan ke dalam norma-norma metodologis
sebagai berikut.

1. Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa kepastiaan (sense of


certainly) pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif.

4
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 1992

5
Mohammad Muslih, 2016, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, LESFI: Yogyakarta. P.110.
2. Kesamaan metodis sama pentingnya dengan rasa kepastian
3. Ketepatan pengetahuan dijamin oleh teori-teori yang secara formal kokoh
yang menyerupai deduksi hepotesis.
4. Pengetahuan ilmiah harus bisa digunakan secara teknis.
5. Pengetahuan itu relatif.6

Maka menurut Comte metode penelitian yang harus digunakan dalam


proses keilmuan adalah observasi, eksperimentasi, kemudian komparasi.

C. Filsafat Sosiologi Auguste Comte

Auguste Comte melihat bahwa masyarakat merupakan suatu keseluruhan


organis yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan. Comte
mengajukakan tiga metode penelitian empiris yang juga digunakan oleh
bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu pengamatan eskprimen dan
perbandingan. Menggunakan metode tersebut, kemudian berusaha
merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner.

Teori evolusioner (Hukum Tiga Tahap Comte) cenderung melihat bahwa


perubahan sosial yang terjadi merupakan proses yang linear, artinya semua
masyarakat berkembang melalui urutan perkembangan yang sama dan
bermula dari tahap perkembangan awal dan akhir. Tokoh teori evolusioner
adalah Auguste Comte, yang melihat bahwa masyarakat bergerak dalam tiga
tahap perkembangan berikut.

1. Tahap Teologis (theological stage)

Masyarakat di arahkan oleh nilai-nilai supernatural. Dimana akal budi


manusia dengan mencari kodrat manusia yakni sebab pertama dan sebab
terakhir dari segala akibat.

2. Tahap Metafisik (methaphysical stage)

6
Nugroho Irham, Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya Terhadap
Sains, Cakrawala, Vol. Xi, No. 2, 2016
yaitu tahapan peralihan dari kepercayaan terhadap unsur supernatural
menuju prinsip-prinsip abstrak yang berperan sebagai dasar perkembangan
budaya. Hapan metafisik sebagai transisi dari teologis. Tahap ini sebagai
suatu kepercayan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat
ditemukan dengan akal budi.

3. Tahap Positif atau Ilmiah (positive stage)

masyarakat diarahkan oleh kenyataan yang didukung oleh prinsip-


prinsip ilmu pengetahuan. Dimana akal budi telah meninggalkan pencarian
yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian absolut.

Menurut Comte ada tiga prinsip yang berlaku pada sosiologi, yaitu
bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai. Ini
adalah konstribusi terbesar dari Comte yang mengantarkannya sebagai
bapak sosiologi modern.

Asumsi-asumsi positivisme tersebut berkonsekuensi tiga hal, yaitu


pertama prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung
diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Kedua hasil-hasil riset dapat dirumuskan
dalam bentuk ‘hukum-hukum’ seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga ilmu-
ilmu sosial bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetaahuan yang bersifat
instrumental murni.7

Sosiologis Comte terdiri dari sosiologi statis dan sosiologi dinamis.


Perbedaannya adalah jika sosiologi statis menelaah fungsi jenjang
peradaban, sedangkan sosiologi dinamis menelaah perubahan jenjang-
jenjang tersebut. Ia juga membedakan antara konsep order dan progres.
Order terjadi bila masyarakatnya stabil berpegang pada prinsip dasar yang
sama dan terdapat persamaan pendapat. Disebut progres dengan
dicontohkan ketika muncul ide protestanisme dan revolusi prancis.

7
Apridasari. Paham Ketuhanan Positivisme Auguste Comte Dalam Perspektif Islam. Skripsi.
Lampung. 2018.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Auguste Comte Memiliki nama asli Isidore Marie Auguste Comte, ia


berasal dari keluarga bangsawan Katholik. Comte sering disebut “bapak
Positivisme” karena aliran filsafat yang didirikannya tersebut. Menurutnya
positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang
berkenaan dengan metafisik. Tugas khusus filsafat menurut aliran ini adalah
mengordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang beranekaragam coraknya.

Jadi, Positivisme berakar pada empirisme. Positivisme adalah: bahwa ilmu


adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sejarah yang
mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan demikian positivisme
menolak keberadaan segala kekuatan atau subyek di belakang fakta, menolak
segala penggunaan metode diluar yang digunakan untuk menelaah fakta.

B. Saran

Dengan membaca makalah ini semoga pembaca bisa bertambah ilmunya


dan wawasan pengetahuannya tentang filsafat khususnya pemikiran Auguste
Comte tentang Positivisme, Bila terdapat kesalahan mohon di maafkan.

DAFTAR PUSTAKA

Apridasari. Paham Ketuhanan Positivisme Auguste Comte Dalam Perspektif


Islam. Skripsi. Lampung. 2018.

Herabudin, Pengantar Sosiologi ,Badung:Pustaka Setia,2015, h.225

Muslih Mohammad, 2016, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma,
dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, LESFI: Yogyakarta. P.110.
Nugroho Irham, Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai
Etisnya Terhadap Sains, Cakrawala, Vol. Xi, No. 2, 2016

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 1992

Anda mungkin juga menyukai