Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN

”FILSAFAT POSITIVISME DAN KEBENARAN ILMIAH”

Dosen Pengampu,

Bahran Taib, S.Psi,. M.Si

Oleh :

1. SANIYYAH SUAIB (03292111003)


2. FADLI AMMAR (03292111007)
3. HESTIYANA USIA (032921110 11)
4. FAHARIA ALINU (03292111013)
5. NURFIFI ARBA (03292111018)
6. NURFITRI UJUD (03292111031)
7. FAUJIA RADEN (03292111037)
KELAS : 1AB
KELOMPOK : 1 (SATU)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
TERNATE
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah filsafat pendidikan tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam juga semoga selalu tercurahkan kepada baginda Rasulullah
SAW, sang manajer sejati Islam yang selalu bercahaya dalam sejarah hingga saat
ini. Dalam pembuatan makalah ini, tentu tak lupa penulis mengucapkan terima
kasih kepada Dosen Pengampu. Tentunya makalah ini, masih jauh dari
kesempurnaan. Olehnya itu penulis mengharapkan senantiasa mengharapkan
kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua. Aamiin Yaa Robbal ‘Aalamiin.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Ternate. 27 Oktober 2021

Kelompok I

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………..i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………1
A. Latar Belakang…………………………………………………..…….1
B. Rumusan Masalah……………………….………………………….....2
C. Tujuan……………………..……………………...…………………...2
D. Manfaat…………………………………..……………………………2
BAB II PEMBAHASAN……………………………....………………….….3
1. Pengertian Positivisme………………………....………………..…….3
2. Sejarah Kemunculan Positivisme…………………....……..………….3
3. Tokoh-tokoh filsafat positivisme……..…………………….......……..5
4. Ajaran – Ajaran didalam Filsafat Positivisme………...…...………….6
5. Kebenaran ilmiah dalam perspektif filsafat positivisme……...,….…...7
6. Peran dan Fungsi Filsafat Positivisme dalam Mencari Arti dan Makna
Kebenaran Ilmiah...…………………………………….……….…......7
BAB III PENUTUP……………………….....……………………………..10

A. Kesimpulan………………………………………………....……......10
B. Saran………………………………………………………....……….11

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………....,.………..12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal


muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar
dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada dalam
kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam. Upaya penelitian, dalam
hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan
bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.

Menurut Emile Durkheim, objek studi sosiologi adalah fakta sosial. Fakta
sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik,
pendidikan, dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran
individu, tetapi dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran itu
ditanyakan oleh penelitian kepada individu yang dijadikan responden
penelitian. Untuk mencapai kebenaran ini, maka seorang pencari kebenaran
(penelitian) harus menanyakan langsung kepada objek yang diteliti, dan objek
dapat memberikan jawaban langsung kepada penelitian yang bersangkutan.

Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu


pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: dapat di teramati (observable), dapat
di terulang (repeatable), dapat di terukur (measurable), dapat di teruji
(testable), dan dapat di teramalkan (predictable).

Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk


mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran yang dianut positivisme dalam
mencari kebenaran adalah teori korespondensi. Teori korespondensi

1
menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta
empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu
pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan
tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh
pernyataan tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Pengertian Positivisme?
2. Kemukakan Sejarah Kemunculan Positivisme?
3. Siapa saja tokoh-tokoh filsafat positivisme?
4. Apa saja Ajaran – Ajaran didalam Filsafat Positivisme?
5. Bagaimana Kebenaran Ilmiah dalam perspektif filsafat positivisme?
6. Bagaimana Peran dan Fungsi Filsafat Ilmu (filsafat positivisme) dalam
Mencari Arti dan Makna Kebenaran Ilmiah?

C. Tujuan
Mengetahui konsep-konsep filsafat positivisme dan kebenaran ilmiah

D. Manfaat
Dapat menambah wawasan terkait konsep-konsep filsafat positivisme dan
kebenaran ilmiah

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Positivisme
Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang
menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan menolak spekuliasi dari suatu filosofis atau
metafisik. Dapat pula dikatakan positivisme ialah “aliran yang
bependirian bahwa filsafat itu hendaknya semata-
mata mengenai dan berpangkal pada peristiwa-peristiwa positif Jadi,
dapat dikatakan titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah
yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya, karena positif
adalah dalam artian segala gejala dan segala yang tampak seperti apa
adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif bukannya metafisika
yang merupakan ilmu pengetahuan yg berhubungan dengan hal-hal yg
nonfisik atau tidak kelihatan.

Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu


alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak
aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal
adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris. Karena aliran
ini lahir sebagai penyeimbang pertentangan yang terjadi antara aliran
empirisme dan aliran rasionalisme.

2. Sejarah Kemunculan Positivisme


Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon
(sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan

3
pertama kali oleh seorang filosof berkebangsaan Inggris yang bernama
Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17. Ia berkeyakinan bahwa
tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori
akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu
harus melakukan observasi atas hukum alam.

Barulah pada paruh kedua abad ke-19 muncullah Auguste Comte


(1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang dilahirkan
di Montpellier pada tahun 1798 dari
keluarga pegawai negeri yang beragama Katolik. Comte menggunakan
istilah ini kemudian mematoknya sebagai tahapan paling akhir sesudah
tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya utamanya yang
berjudul Course de Philosophie Phositive.

Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi


peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi
pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis,
menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan
agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang
mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini.

Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan


monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena
yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan.
Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati
tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan
‘penyebab’.

4
Pada fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan
pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan
aksiden, esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif (tahap
positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan
menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan
kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir
agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris
dalam menyikap fenomena-fenomena.

3. Tokoh-tokoh filsafat positivisme

a) Auguste Comte

Philosophe Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte, yang


lebih dikenal dengan Auguste Comte, adalah seorang filsuf Perancis. Dia
adalah pendiri dari disiplin sosiologi dan doktrin positivisme. Lahir: 19
Januari 1798, Montpellier, Prancis. Meninggal: 5 September 1857, Paris,
Prancis. Nama lengkap: Isidore Auguste Marie François Xavier Comte.
Pendidikan: Universitas Montpellier, École Polytechnique

b) John Stuart Mill

Adalah seorang filsuf Inggris, ekonom politik dan pegawai negeri


sipil. Dia adalah seorang kontributor berpengaruh untuk teori sosial, teori
politik dan ekonomi politik. Lahir: 20 Mei 1806, Pentonville, London.
Meninggal: 8 Mei 1873, Avignon, Prancis. Pasangan: Harriet Taylor Mill.
(M 1851-1858). Pendidikan: University College London. Orangtua: James
Mill, Harriet Burrow

5
c) Hippolyte Taine Adolphe

Adalah seorang kritikus Perancis dan sejarawan. Dia adalah


pengaruh teoritis kepala naturalisme Perancis, pendukung utama
positivisme sosiologis dan salah satu praktisi pertama kritik historis. Lahir:
21 April 1828, Vouziers, Prancis. Meninggal: 5 Maret 1893, Paris, Prancis.
Pendidikan: École Normale Supérieure

d) Émile Durkheim

Sosiolog David Émile Durkheim adalah seorang sosiolog Perancis,


psikolog sosial dan filsuf. Ia secara resmi mendirikan disiplin akademis
dan, dengan Karl Marx dan Max Weber, yang sering dikutip sebagai
kepala sekolah. Lahir: 15 April 1858, Épinal, Prancis. Meninggal: 15
November 1917, Paris, Prancis. Pendidikan: Lycée Louis-le-Grand, École
Normale Supérieure,Universitas Leipzig.

4. Ajaran-ajaran di dalam filsafat Positivisme


Positivisme memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu
alam, yang menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat
dikontrol, digeneralisasi sehingga gejala ke depan bisa diramalkan. Yang
mana positivisme menganggap ilmu-ilmu alam adalah satu-satunya ilmu
pengetahuan yang secara universal adalah valid. Jadi, ajaran di dalam filsafat
positivisme dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Positivisme bertolak dari pandangan bahwa filsafat positivisme hanya
mendasarkan pada kenyataan (realita, fakta) dan bukti terlebih dahulu.
2. Positivisme tidak akan bersifat metafisik dan tidak menjelaskan tentang
esensi
3. Positivisme tidak lagi menjelaskan gejala-gejala alam sebagai ide abstrak
4. Positivisme menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat
digeneralisasi sehingga kedepan dapat diramalkan (diprediksi).

6
5. Positivisme menyakini bahwa suatu realitas (gejala) dapat direduksi
menjadi unsur-unsur yang saling terkait membentuk sistem yang dapat
diamati

5. Kebenaran ilmiah dalam perspektif filsafat positivisme (filsafat


ilmu)
Positivisme dalam artian luasnya adalah sebagai suatu aliran
dalam sejarah filsafat modern yang dasar-dasarnya telah diletakan oleh
August Comte (1798-1857). Dalam artian sempit, Positivisme adalah suatu
aliran epistemologi yang semata-mata menggunakan pengalaman untuk
mencapai pengetahuan. Kata positif mengandung berbagai arti, yaitu
kongkrit, eksak, tepat/akurat, memberi manfaat. Oleh karena itu yang disebut
dengan realitas adalah fenomena sejauh dapat disermati secara inderawi.
Masih berkaitan dengan kebenaran ilmiah, menurut Comte metode ilmiah
merupakan sumber pengetahuan satu-satunya yang tepat tentang realitas.
Selanjutnya Comte melihat perkembangan pemikiran manusia dalam tiga
tahap yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap positif. Sedemikian
rupa sehingga dikatakan ilmu-ilmu merupakan kesatuan menyeluruh, tetapi
dalam tahap-tahap yang berbeda dari perkembangan ilmu itu. Ilimu-ilmu itu
juga terkait dalam suatu tata ketergantungan yang hirarkisitas dapat
dimengerti berkat konsep dasar seperti kesatuan organis tata, acuan, suksesi,
keserupaan, relasi, kegunaan, realitas, gerakan, dan pengarahan.

6. Peran dan Fungsi Filsafat Ilmu dalam Mencari Arti dan Makna
Kebenaran Ilmiah
Filsafat ilmu sebagaimana dijelaskan dimuka adalah
sebagai refleksi yang tidak pernah mengalami titik henti dalam meneliti
hakekat ilmu untuk menuju pada sasarannya, yaitu apa yang disebut

7
sebagai kenyataan atau kebenaran. Sasaran yang tidak pernah akan habis dipikir
dan tidak akan pernah selesai diterangkan sedemikian rupa sehingga menjadi
sangat penting kehadirannya dalam mencari kenyataan dan kebenaran dalam ilmu,
dan itu memang tugasnya. Ilmu merupakan bagian dari ilmu pengetahuan, tidak
bebas dari nilai kebenaran, kegunaan dan manfaatnya sesuai dengan visi dan
orientasinya, cepat atau lambat ilmu akan menyentuh nilai kemanusiaan melalui
obyeknya, maka aktualisasi dan aplikasi filsafat ilmu mutlak dibutuhkan dalam
upaya mencari dan menentukan arti dan makna kebenaran ilmiah. Disinilah letak
kebenaran yang bersifat koherensif dan idealis. Dengan demikian ilmu dalam
aliran ini harus yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana
pandangan Phenomenologi.

Kebenaran dalam aliran Positivisme terwujud jika ilmu memberi


justifikasi terhadap setiap produk ilmu dari lembaga yang berwenang dan tidak
terikat/terlepas dari nilai moral. Kebenaran disini adalah kebenaran
korespondensif dan pragmatis sebagai ciri dari positivisme yang bersifat obyektif
dan faktual. Dalam tahap ini kebenaran ilmiah dalam aliran ilmu ini apabila
bersifat konkrit, akurat, abstrak, dan manfaat yang mengantarkan manusia menuju
dan meraih kemajuan dalam hidupnya. Akibatnya, segala hal yang bersifat
inmateriil seperti moral bahkan agama, tidak menjadi landasan kebenaran dan
kemanfaatan. Disinilah urgensi filsafat ilmu mutlak diperlukan sebagai landasan
agar tidak mengarah pada hedonistik yang merusak tatanan hidup dan nilai
kemanusiaan.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Ilmu hendaknya dijauhkan dari tafsiran-tafsiran metafisis yang merusak


obyektivitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafsiran metafisis dari ilmu,
para ilmuan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap
dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat
kaitannya dengan tugas filsafat.

Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala


sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat adalah memberi penjelasan logis
terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah
teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasilkan proposisi-
proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan
oleh filsafat adalah penjelasan terhadap proposisi-proposisi.

. Peran filsafat ilmu sebagai kontrol terhadap ilmu akan lebih memberi arti
dan makna kebenaran ilmiah yang dikandungnya dalam menghadapi zaman
modern sekarang ini yang kian mengikis nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai
tersebut harus ditelaah secara filsafati, tidak hanya terbatas yang faktawi yang
khusus tetapi juga yang non faktawi bahkan lebih umum, yang
penelusurannya melalui proses pemikiran yang sangat mendalam.

10
B. Saran

Kami menyadari lemahnya pemahaman akan materi yang


diberikan oleh dosen pengampu.tetapi hal itu tidak menyurutkan keinginan
kami untuk lebih maksimal dalam mengolah dan memperkaya makalah
kami ini. Oleh sebab itu, kami meminta dengan setulus hati kepada para
pembaca yang budiman agar memberikan kritik dan saran yang
membangun supaya dengan kritik tersebut dapat membuat kami menyadari
kesalahan dan dapat memperbaiki kesalahan itu di makalah-makalah
selanjutnya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah Chaedar, 2010, Filsafat Bahasa dan Pendidikan


(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya).
Anshari Endang Saifuddin, 1987, Ilmu Filsafat dan Agama
(Surabaya: Bina Ilmu).
Asmoro Achmadi, 2012, Filsafat Umum (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada).
Idris, S. (2017). Kebenaran Ilmiah Menurut Perspektif Filsafat Ilmu. .
Praja Juhaya S, 2003, AliranAliran Filsafat dan Etika
Prenada (Jakarta: Media).
Samekto Adji, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme
dengan Ajaran Hukum Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol.
12 No. 1 Januari 2012),
Soegiono dan Tamsil Muis, 2012, Filsafat Pendidikan
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya).
Somantri Emma Dysmala, Kritik Terhadap Paradigma
Positivisme (Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari
2013),
Suriasumantri dan Jujun, 1994, Filsafat Ilmu: kebenaran ilmiah

dalam Perspektif, Gramedia, Jakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai