Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

METODOLOGI PENELITIAN

Dosen Pengampu:

Dr. Syarifah Aminah, S.Sos.I., M.Si.

Di susun oleh;

Rosi : 12105065
Abdurrohman. :
Firmansyah Purnama Aji : 11905073

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

2023
2
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin kami tidak akan sanggup
menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW. Makalah ini di susun agar pembaca dapat
memperluas ilmu tentang “Metodoligi penelitian” yang kami sajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber.
Namun dengan penuh kesabaran dan terutama kerja sama dari kelompok kami
akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Semoga makalah ini dapat memberikan
pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan
kekurangan. Maka dari itu kami membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang
membangun. Terimakasih.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................1
C. Tujuan..........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2
A. Paradigma positivisme.......................................................................................................2
B. Analisis paradigma positivisme dalam ilmu sosial ...........................................................3
C. Paradigma Kontruktivisme........................................................................................6
D. Analisis paradigma Kontruktivisme dalam ilmu sosial...........................................8
E. Paradigma kritis ................................................................................................................4
F. Analisis paradigma kritis ilmu sosial dan komunikasi .....................................................4
BAB III PENUTUP.....................................................................................................................7
A. KESIMPULAN...............................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
. PARADIGMA POSITIVISME Paham positivisme muncul di Perancis yang dipelopori
oleh Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte, atau yang lebih dikenal dengan
sebutan August Comte. Ia lahir pada tahun 1798 di kota Monpollier Selatan, ia berasal dari
keluarga kelas menengah, ia anak seorang pegawai kerajaan dan penganut agama Katholik
yang saleh. Ia menikahi Caroline seorang bekas pelacur yang nampaknya dari
perkawinan itu adalah satu-satunya kesalahan besar yang ada dalam kehidupannya. Pada
tahun 1814 一 1817, Comte belajar di sekolah Politeknik di Paris. Pada tahun 1817, dia
diangkat menjadi sekretaris Saint Simon, akan tetapi kemudian Comte memisahkan diri
ketika dia menerbitkan buku“sistem politik positif”di tahun 1824. pada tahun 1830 buku yang
berjudul “Filsafat positif” diterbitkan, dan disusul dengan karangan-karangan selanjutnya
sampai pada tahun 1842 M. dari sini, kemudian Comte dianggap sebagai orang yang
pertama kali memakai istilah sosiologi meski ada yang beranggapan lain, misalnya
adalah Erikson yang mengatakan bahwa yang lebih tepat menjadi sumber awal sosiologi
adalah Adam Smith ataukaum Morallis Scottish padaumumnya Auguste Comte, atau nama
lengkapnya Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte (1798-1857), pendiri aliran
filsfat positivisme, telah menampilkan ajaran yang sangat terkenal, yaitu apa yang disebut
hukum tiga tahap (law of three stages).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian paradigma positivisme?
2. Bagaimana pentingnya paradigma posotivisme dalam ilmu sosial?
3. Bagaimana paradigma kritis?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian paradigma positivisme
2. Agar mengetahui pentingnya paradigma positivisme dalam ilmu sosial
3. Untuk mengetahui paradigma kritis

BAB II
PEMBAHASAN

1
A. Paradigma Positivisme

Paham positivisme muncul di Perancis yang dipelopori oleh Isidore Auguste Marie
Francois Xavier Comte, atau yang lebih dikenal dengan sebutan August Comte. Ia lahir
pada tahun 1798 di kota Monpollier Selatan, ia berasal dari keluarga kelas menengah, ia anak
seorang pegawai kerajaan dan penganut agama Katholik yang saleh. Ia menikahi Caroline
seorang bekas pelacur yang nampaknya dari perkawinan itu adalah satu-satunya kesalahan
besar yang ada dalam kehidupannya. Pada tahun 1814 一 1817, Comte belajar di sekolah
Politeknik di Paris. Pada tahun 1817, dia diangkat menjadi sekretaris Saint Simon, akan tetapi
kemudian Comte memisahkan diri ketika dia menerbitkan buku sistem politik positif di tahun
1824. pada tahun 1830 buku yang berjudul Filsafat positif” diterbitkan, dan disusul dengan
karangan-karangan selanjutnya sampai pada tahun 1842 M. dari sini, kemudian Comte
dianggap sebagai orang yang pertama kali memakai istilah sosiologi 一 meski ada
yang beranggapan lain, misalnya adalah Erikson yang mengatakan bahwa yang lebih
tepat menjadi sumber awal sosiologi adalah Adam Smith ataukaum Morallis Scottish
padaumumnya Auguste Comte, atau nama lengkapnya Isidore Auguste Marie Francois
Xavier Comte (1798-1857), pendiri aliran filsfat positivisme, telah menampilkan ajaran
yang sangat terkenal, yaitu apa yang disebut hukum tiga tahap (law of three stages). Melalui
hukum inilah ia menyatakan bahwa sejarah umat manusia, baik secara individual maupun
secara keseluruhan, telah berkembang menurut tiga tahap, yaitu tahap teologi atau fiktif,
tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif atau ilmiah atau riel. secaraeksplisit pula ia
tekankan bahwaistilahpositif suatuistilah yang iajadikan nama bagian aliran filsafat yang ia
bentuknya sebagai sesuatu yang nyata, pasti, jelas, bermanfaat serta sebagai lawan dari
sesuatu yang negatif.

Aguste Comte, pengertian perkembangan merupakan proses dari


berlangsungnya sejarah umat manusia, diberi arti isi dan arti yang positif, dalam arti sebagai
suatu gerak yang menuju ke arah tingkat yang lebih tinggi atau lebih maju. Baginya
perkembangan merupakan penjabaran segala sesuatu sampai pada obyeknya yang tidak
personal.melalui pemahaman ajaran tentang hukum tiga tahap, karena hukum inilah yang
ternyata merupakan unsur pokok seluruh pandangan filsafatnya, sehingga melalui hukum itu
pula, akan dapat dilacak garis-garis pembatas yang telah ia berikan tentang ajaran mengenal,
penjelasan tentang masyarakat di Barat serta sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, serta
dasar-dasar yang ia berikan untuk memperbaharuikeadaan masyarakat.

2
Dengan memahami ajaran-ajaran Auguste Comte yang tercakup dalam satu aliran
filsafat yang ia sendiri memberikan namanya yaitu filsafat positivisme. Pandangan
positivisme ini, yang secara garis besar dapat digambarkan sebagaiberikut (Wibisono,
1983 : 2).

 Ketidakpuasan terhadap dominasi positivisme, terutama terhadap latar


belakangnya yang naturalistik dan deterministik.
 Reaksi terhadap kepercayaan akan apa yang disebut sebagai kemajuan (progres)abad
ke-19.
 Timbul reaksi terhadap pengertian mengenai perkembangan yang telah menjadi mitos
yang mencakup segala-galanya.

Aguste Comte adalah tokoh aliran positivisme, pendapat aliran in adalah indera
amatlah penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat
bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Karena kekurangan inderawi dapat dikoreksi dengan
eksperimen (Riyanto, 2011 53).

Positivisme merupakan pradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam
dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi yang
menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum
alam (natural laws). Upaya penelitian dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran
realitas yang ada dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan. Positivisme muncul
abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah yang ada dan bagaimana
realitas tersebut senyatanya berjalan. Positivisme muncul abad ke-19 dimotori oleh sosiolog
Auguste Comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The course
of positive philosophy (1830-1842).

Positivisme merupakan peruncingan tren pemikiran sejarah barat modern yang telah
mulai menyingsing sejak ambruknya tatanan dunia Abad pertengahan,melalui rasionalisme
dan empirisme. Positivisme adalah sorotan yang khususnya terhadap metodologi dalam
refleksi filsafatnya. Dalam positivisme kedudukan pengetahuan diganti metodologi, dan
satu-satunya metodologi yang berkambang secara menyakinkan sejak renaissance, dan
sumber pada masa Aufklarung adalah metodologi ilmu-ilmu alam. Oleh karena itu,
positivisme menempatkan metodologi ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi wilayah
refleksi epistemology, yaitu pengetahuan manusiatentang kenyataan (Budi Hardiman, 2003:
54).

3
B. Analisis paradigma positivisme dalam ilmu sosial

Positivisme sebagai pendekatan, cara pandang, perspektif, paradigma, ataupun filsafat


ilmu, telah memberikan banyak warna khas dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial.
Walaupun sudah lama mendapat kritikan tajam, serangan gencar, kecaman garang, dan
kemudian bermunculan pendekatan-pendekatan baru, hingga saat ini positivisme masih laku
dikunyah dan ditelan para ilmuwan. Clifford Geertz (1973) pernah menyatakan bahwa masa
keemasan positivisme, sebagai sebuah dogma metodologis, telah usai dalam ilmu- ilmu sosial
dan telah digantikan perspektif-perspektif baru (Mulyana, 1999:19). Namun, kenyataan
menunjukkan bahwa, khususnya di Indonesia, perspektif ini masih cukup dominan. Bahkan,
hasil pengamatan Hidayat (1999:35-36), dominasi positivisme di Universitas Indonesia —
salah satu perguruan tinggi terkemuka di tanah air— masih tampak menonjol, dan terasa
kental, meskipun sudah mulai bermunculan paradigma lain yang lebih variatif.

Asumsi-asumsi positivisme diformulasikan dengan rumusan yang sangat beragam.


Rakhmat (1990:5; 1999:66-68) mengidentifikasi lima asumsi dasar positivisme:

(1) realisme naif,

(2) dualisme peneliti-obyek,

(3) generalisasi,

(4) kausalitas linear, dan

(5) bebas nilai.

Kelima asumsi positivisme ini, sebetulnya, bisa dilacak dalam uraian sebelumnya. Perlu
dipahami, kelima asumsi itu bukan hal yang terpisah-pisah, tetapi memiliki keterkaitan satu
sama lain.

Realisme naif. Istilah lainnya adalah objektivisme. Realisme naif mengemukakan bahwa
positivisme dibangun di atas pandangan asumsi ontologis, mengenai realitas tunggal dan
objektif. “Di sana” ada realitas yang dapat diamati dan diketahui. Semua realitas —fisikal,
temporal, dan sosial— dapat diketahui dengan menghimpun hasil penelitian individual, yang
berupa perkiraan. Realitas dapat dipecah menjadi bagian-bagian kecil, yang dapat diteliti
secara terpisah. Keseluruhan adalah jumlah bagian-bagian itu (Rakhmat, 1990:4).

4
Fakta itu berada “di sana”, merupakan barang “asing”, yang akan dikenali oleh si
pengamat. Jika fakta itu berupa masyarakat, misalnya, maka masyarakat dipandang sebagai
barang objektif yang tak dikenali asal-usulnya (Hardiman, 1993:130). Dengan kata lain,
realisme naif mempertahankan kualitas-kualitas yang dirasakan itu secara formal, lepas dari
sensasi dan cara subjek menerimanya (Hadi, 1994:57). Setiap orang dianggap memiliki
pemahaman yang sama tentang suatu fakta dan realitas. Lagi-lagi hal ini didasarkan pada
pendekatan ilmu-ilmu alam, seperti tercermin dari pendapat May (1997:10), "Objectivity is
defined by positivism as being the same as that natural science and social life may be
explained in the same way as natural phenomena.”

Berdasarkan asumsi ini, Mach menegaskan bahwa pengetahuan yang sahih adalah
pengetahuan yang diperoleh dengan cara menyalin fakta (Hardiman, 1993:129); karena fakta
itu jelas tampak “di sana”, dapat diraba, dan dicerap alat inderawi. Selain itu, dari kerangka
asumsi ini dipahami pula bahwa realitas itu dapat dikontrol, dikendalikan, sebagaimana
dikehendaki peneliti tanpa mengurangi tingkat objektivitasnya. Dengan demikian, ilmu itu
dipandang sangat objektif. Ilmu pengetahuan itu memiliki objektivitas yang tak bisa diganggu
gugat.

Lebih jauh, implikasinya, klaim objektivitas ini pengetahuan menjadi terpisahkan dari
praksis kehidupan manusia, tidak terikat dengan etika; karena ilmu pengetahuan menjadi
barang yang obyektif dan netral. Hal ini melahirkan asumsi positivisme yang lain: bebas
nilai.

C. PARADIGMA KONTRUKTIVISME

Dalam Ilmu Komunikasi terdapat 5 paradigma penelitian komunikasi, antara lain

(a) Paradigma Positivis,

(b) Paradigma Postpositivis,

(c) Paradigma Konstruktivis,

(d) Paradigma Kritis, dan

(e) Paradigma Partisipatoris.

Pada Sub bab ini akan dibahas lebih lanjut mengenai Paradigma Konstruktivisme.
Paradigma Konstruktivisme pertama kali diperkenalkan oleh Peter L Berger dan Thomas
Luckmann. Bagi Berger dan Luckmann, paradigma ini penting sebagai salah satu perspektif

5
atau sudut pandang dalam melihat gejala sosial atau realitas sosial. Konsep Konstruktivisme
sejalan dengan konsep konstruksi realitas sosial, konstruksionisme, construktivis sosial,
construksionist sosial. Dalam hal ini bisa disebut sebagai konsep konstruksi sosial (social
construction). Berger dan Luckmann menjelaskan bahwa konstruksi sosial/realitas terjadi
secara stimulan melalui tiga tahapan, yaitu tahap eksternalisasi, objektivasi, dan terakhir
tahap internalisasi. Paradigma konstruktivisme oleh Peter L Berger dan Luckmann kemudian
dikenal dengan teori konstruksi realitas sosial atau teori dialektika (Karman, 2015). Mereka
menjelaskan bahwa proses sosial didapatkan melalui aksi dan interaksi yang diciptakan
oleh individu secara terus menerus sehingga menghasilkan suatu realitas yang
dimiliki dan dialami secara perorangan. Pendapat lain oleh Goffman lebih menganggap
konsep kostruksi sosial atas realitas itu sederhana.

Ia berpendapat bahwa setiap orang secara terus menerus dapat mengubah definisi
dalam melambangkan sesuatu baik tindakan maupun tentang individu lain ketika kita
bergerak melewati ruang dan waktu. Setiap orang memiliki beragam perlambangan hanya
saja terkadang kita tidak menyadarinya. Setiap orang dapat berpindah dari satu realitas
pengalaman ke realitas lainnyatanpamenyadaribahwakitatelahmelewati batasnya. Oleh
karena itu ia menganggap bahwa setiap orang tidak memiliki stok kemampuan
pengetahuan yang dikontrol oleh institusi sebagaimana yang diyakini oleh para ahli
konstruksionisme sosial. Goffman menyatakan bahwa pengalaman seorang individu
terhadap realitas tergantung pada kemampuannya dalam mengartikan kondisi di kehidupan
sehari-hari. (Tamburaka, 2012).

Constructivism paradigm merupakan paradigma dalam komunikasi yang menganggap


bahwa realitas sosial bersifat relative, yaitu realitas sosial merupakan hasil dari konstruksi
sosial. Pada kenyataanya realitas sosial tidak bisa berdiri sendiri tanpa peran dari individu,
baik di luar maupun di dalam realitas itu sendiri. Subjek mengkonstruksi realitas sosial
kemudian mengkonstruksinya dalam dunia realitasnya. Setelah itu menyempurnakan
realitas tersebut berdasarkan subjektifitas individu lain dalam lingkup sosialnya.
Pengetahuan juga merupakan konstruksi dari seseorang yang memahami suatu hal yang tidak
dipahami oleh individu yang pasif. Sehingga pemahaman tersebut tidak dapat
ditransfer. Konstruksi harus dilakukan sendiri oleh individu tersebut berdasar
pengetahuannya, sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi itu.
Pengetahuan dalam pandangan realism hipotesis merupakan sebuah hipotesis dari
struktur realitas yang mendekati dan menuju pada pengetahuan realitas yang haqiqi.

6
Construktivism dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu dalam menafsirkan dunia
realitas yang ada (Bungin, 2011).

Dalam buku yang berjudul Agenda Setting Media Massa oleh Ardian Tamburaka,
Severinn & Tannkard, JR. (2010:400-401) menyebutkan nama Gaye Tuchmann dalam
bukunya Making News (1978) yang menjelaskan : “Berita merupakan konstruksi atas
realitas sosial. Tindakan membuat berita adalah tindakan mengkonstruksi realitas,
bukan penggambaran berita”.

Mengkonstruksi realitas dalam konteks berita ialah Wartawan memiliki sudut


pandang yang berbeda dalam memaknai suati isu. Pandangan Jurnalis dalam
mengkonstruksi berita dituangkan kedalam sebuah naskah berita. Disini realitas merupakan
produk interaksi antara wartawan dengan fakta. Paradigma konstruktivisme
menilai fakta/peristiwa merupakan hasil konstruksi dari konsepsi pemahaman realitas oleh
seorang Jurnalis. Sehingga pemberitaan cenderung berbeda Fakta yang dihasilkan bisa
berbeda. Jurnalis/Wartawan dianggap sebagai agen konstruksi realitas karena proses dan
hasil konstruksi atas berita selalubersifat subjektif (Eriyanto, 2002.

Seorang pengajar Jurnalistik, Alex Sobur mengatakan bahwa “Tidak semua peristiwa
dianggap penting sebagai sebuah berita, dan tidak semua kejadian pantas dikategorikan
sebagai berita.” Harus kita ketahui bahwa berita hasil media massa diragukan kebenarannya
karena realitas yang ditampilkan merupakan hasil dari konstruksi fakta yang dilihat wartawan
melalui engel menarik dari peristiwa tersebut. Fakta yang dihasilkan media tidak
sebagaimana harapan public. Tak sedikit media massa yang sengaja melakukan kebohongan
demi meraih sebuah kemenarikan berita. Sehingga kita sebagai pembaca baiknya
mempertimbangkan dan mencermati terlebih dahuluberita yang disajikan (Wazis, 2012).

Pendekatan konstruktivisme atau konstruksionis melihat berita sebagai hasil kontruksi


dari realitas. Berita senantiasa melibatkan pandangan ideology dan penilaian tersendiri dari
seorang Jurnalis maupun media. Semua itu merupakan hasil kerja dari konstruksi seorang
jurnalistik. Setiap proses dalam pembuatan berita seperti pemilihan kata, narasumber, kata
dan foto hingga proses editing menunjukkan bahaimana fakta tersebut ditampilkan kepada
khalayak. Berita merupakan produk konstruksi realitas yang subjektif sertapemaknaan
atas realitas.

7
Maksud sifat berita yang subyektif yaituketikameliput suatukejadian, pandangan
wartawan tidak bisa dikesampingkan karena ia menangkap peristiwa dengan
perspektifnya dan penuh pertimbangan (Eriyanto, 2002).

D. Analisis paradigma kontruktivisme dalam ilmu sosial

Di dalam Pendekatan Konstruktivis Sosial (social constructivist approach)


menekankan konteks sosial dalam belajar dan bahwa pengetahuan dibangun serta
dikonstruksikan secara bersama-sama menurut Horowitz (dalam Santrock, 2009).
Keterlibatan dengan orang lain akan menciptakan kesempatan bagi peserta didik untuk
mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman mereka, sebagaimana mereka terbuka pada
pemikiran orang lain dan berpartisipasi dalam menciptakan pemahaman bersama menurut
Gauvain (dalam Santrock, 2009). Dengan cara ini, pengalaman dalam konteks sosial
memberikan mekanisme yang penting untuk perkembangan pemikiran peserta didik.
Teori konstruktivis sosial dari Vygotsky memasukkan seorang anak secara sosial
dalam konteks sosiohistoris. Pendekatan sosiohistoris menekankan pentingnya budaya
dalam pembelajaran. Sebagai contoh, budaya dapat menentukan keterampilan apa yang
penting (seperti keterampilan komputer, keterampilan komunikasi, keterampilan
kerjasama tim, serta keterampilan dalam kesenian). Pendekatan konstruktivis sosial
Vygotsky menekankan bahwa peserta didik-peserta didik membangun pengetahuan
melalui interaksi sosial dengan orang lain (Santrock, 2009). Isi daripengetahuan ini
dipengaruhi oleh kultur tempat dimana peserta didik itu tinggal, yang berhubungan
dengan bahasa, keyakinan, dan keterampilan. Guru harus menciptakan banyak
peluang bagi peserta didik untuk belajar dengan membangun pengetahuan secara
bersama-sama, baik dengan guru maupun denganteman sebaya.

Pendekatan konstruktivis sosial juga menekankan Situated Cognition, yang


merupakan asumsi penting dalampendekatankonstruktivis sosial dalam kognisi yang
merujukpada ide bahwa berfikir ditempatkan (disituasikan) dalamkonteks sosial dan fisik,
bukandalam fikiran individu menurut Gauvain (dalam Santrock, 2009). Dengan kata lain,
pengetahuan ditanamkan dan dihubungkan dalam konteks dimana pengetahuan
berkembang. Oleh karena itu, masuk akal untuk sebisa mungkin menciptakan
situasipembelajaranyang mendekati dunia nyata. Sebagaicontoh, untuk memperluas
pengetahuan dan pemahaman peserta didik tentang masalah-masalah sosial yang terjadi
pada masyarakat, maka para peserta didik turun lapangan dengan didampingi oleh guru

8
untuk memantau permasalahan sosial yang terjadi di daerah sekitar. Misalnya
permasalahan sosial kemiskinan, kelaparan, lingkungan kumuh, pengangguran dll. Para
peserta didik dibagi menjadi beberapa tim untuk langsung memantau kejadian sebenarnya
tentang masalah yang diajukan oleh guru. Tim-tim tersebut akan berfikir bagaimana akar
daripermasalahanyang terjadi dan memikirkan bagaimana solusitentang masalah tersebut.

Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis sosial ini berpusat pada peserta didik dalam
keaktifan berfikir dan ketrampilan memecahkan masalah sehingga tercipta
pembelajaran yang mandiri sehingga hasil belajar peserta didik dapat meningkat.
Pendekatan konstruktivisme memiliki beberapa prinsip diantaranya adalah:

(1) pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif,

(2) tekanan dalam proses belajar terletak pada peserta didik,

(3) mengajar adalah membantu peserta didik belajar,

(4) tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir,

(5) kurikulum menekankan partisipasi peserta didik, dan

(6) pendidik adalah fasilitator. Suparmo (dalam Fitriani dkk, 2015)

E. PARADIGMA KRITIS

Ilmu komunikasi dapat dikategorikan dalam ilmu pengetahuan yang mempunyai


aktivitas penelitian yang bersifat multi paradigma. Ini berarti, ilmu komunikasi merupakan
bidang ilmu yang menampilkan sejumlah paradigma atau perspektif dasar pada waktu
bersamaan (Hidayat, 1999:431-446). Istilah paradigma sendiri dapat didefinisikan sebagai: “a
set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world
view that defines, for its holder, the nature of the ‘world (Guba, dalam Denzin & Lincoln,
1994:107).

Paradigma merupakan orientasi dasar untuk teori dan riset. Pada umumnya suatu
paradigma keilmuan merupakan sistem keseluruhan dari berfikir. Paradigma terdiri dari
asumsi dasar, teknik riset yang digunakan, dan contoh seperti apa seharusnya teknik riset
yang baik. Ilmu sosial kritis sering dikaitkan dengan teori konflik, analisis feminis, dan
psikoterapi radikal serta dikaitkan dengan teori kritis yang pertama kali dikembangkan oleh
Frankfurt School di Jerman pada tahun 1930an. Ilmu sosial kritis mendefinisikan ilmu sosial
sebagai proses kritis penyelidikan yang melampaui ilusi permukaanuntuk mengungkap

9
struktur nyata di dunia material dalam rangka membantu orang mengubah kyang lebih baik
dari kondisi dan membangun dunia bagi diri mereka sendiri (Neuman, 2013:123-124).

Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan
epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan
bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari
warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak
merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels
(Denzin, 2000: 279-280).

Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan keyakinan bahwa ada kekuatan
laten dalam masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini
berarti paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi masyarakat.
Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa
mengontrol? Ada kepentingan apa ?. Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa
teori kritis melihat adanya proses dominasi dan marginalisasi kelompok tertentu dalam
seluruh proses komunikasi masyarakat. Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran dan
aktivitas komunikasi massa juga sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat
yang bersangkutan.

Paradigma kritikal melihat bahwa pengkonstruksian suatu realitas itu dipegaruhi oleh
faktor kesejarahan dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan media yang
bersangkutan. Kritik sosial yang berkaitan dengan munculnya budaya massa dimulai
setidaknya sejak pertengahan abad ke-19, dan pada pertengahan abad ke-20 terjadi di Inggris
dengan munculnya teori kritis (critical theory) yang lebih radikal (dan populis) seperti yang
disampaikan oleh Richard Hoggart, Raymond William, dan Stuart Hall (McQuail, 2012:125).

Paradigma kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan kontruktivisme yang kurang sensitif
pada proses produksi dan reprosuksi makna yang terjadi secara historis maupun intitusional.
Analisis teori kritis tidak berpusat pada kebenaran atau ketidakbenaran sebuah struktur tata
bahasa, simbol, atau proses penafsiran seperti pada konstruktivisme.

Paradigma kritis bersifat realism historis, sesuatu realitas diasumsikan harus dipahami
sebagai sesuatu yang plastis (tidak sebenarnya). Artinya realitas itu dibentuk sepanjang waktu
oleh sekumpulan faktor, seperti: sosial, politis, budaya, ekonomik, etnik, dan gender; yang
justru bahkan dikristalisasikan (direikasi) ke dalam serangkaian stuktur yang sekarang ini (hal

10
yang tidak sesuai) dianggap sebagai sesuatu yang “nyata”, dan ini dianggap alamiah dan tetap
(Pambayun, 2013:24-25)

Meskipun terdapat banyak keragaman tradisi kritik, semuanya sama-sama memiliki tiga
keistimewaan pokok. Pertama, tradisi ini mencoba memahami sistem yang sudah dianggap
benar, struktur kekuatan, dan keyakinan – atau ideologi – yang mendominasi masyarakat,
dengan pandangan tertentu di mana minat-minat disajikan oleh struktur-struktur kekuatan
tersebut. Kedua para ahli teori kritik pada umumnya tertarik dengan membuka kondisi-
kondisi sosial yang menindas dan rangkaian kekuatan untuk mempromosikan emansipasi atau
masyarakat yang lebih bebas dan lebih berkecukupan. Memahami penindasan dalam
menghapus ilusi-ilusi ideologi dan bertindak mengatasi kekuatan-kekuatan yang menindas.
Teori kritik yang ketiga, menciptakan kesadaran untuk menghubungkan teori dan tindakan.
Teori-teori tersebut bersifat normatif dan bertindak untuk mendapatkan atau mencapai
perubahaan dalam kondisi-kondisi yang mempengaruhi masyarakat (Littlejohn dan Foss,
2011:68-69).

Dapat dikatakan bahwa pendekatan teori kritis pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Karl Marx. Bisa juga dikatakan bahwa gagasan-gagasan pemikiran Marx ini
merupakan gerakanPost Pencerahan, kebalikan dari jaman Pencerahan di abad 18 yang
dipandang titik kulminasi rasionalisme barat yang yakin dengan individualisme dan
kebebasan universal (positivisme).

Max Horkheimer dan rekan-rekannya di Mazhab Frankfurt menjadikan pemikiran Marx


sebagai landasan mereka dalam mengkaji gejala, kasus dan permasalahan yang ada di
masyarakat. Mereka dapat dikatakan sebagai penginterpretasi pemikiran Marx dan sedikit
memodifikasinya sesuai dengan kajian mereka. Karena Marx sendiri misalnya tidak
menyinggung secara langsung atau barangkali sedikit membahas bagaimana peran dan posisi
media massa dan ranah komunikasi secara langsung.

F. Analisis paradigma kritis ilmu sosial dan komunikasi

Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Hokheimer pada tahun 30-an.
Awalnya teori kritis berarti pemaknaan kembali gagasan-gagasan ideal modernitas
berkaitan dengan nalar dan kebebasan. Pemaknaan ini dilakukan dengan mengungkap
deviasi dari gagasan-gagasan ideal tersebut dalam bentuk saintisme, kapitalisme,
industrikebudayaan, dan institusi politikborjuis.

11
Untuk memahami pendekatan teori kritis, tidak bisa tidak, harus
menempatkannya dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan
generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran
filosofis yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia dan sejarah.
Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat teoritis
Hegel. Menurut Marx, hal ini terjadi karena Marx menjadikan filsafat sebagai sesuatu yang
praktis; yakni menjadikannya sebagai cara berpikir (kerangka pikir) masyarakat dalam
mewujudkan idealitasnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang ,sosial,
dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim
filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya forma-forma
kehidupan.

Teori kritis menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara nalar dan
kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang
bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran,
moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan
tetap memertahankan penekanan terhadap normativitas dalamtradisi filsafat, teorikritis
mendasarkan carabacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang
digunakan untuk memahamiklaim normatif itudalam kontekskekinian.

Di zaman modern, filsafat secara ketat dibedakan dari sains. Locke menyebut filsafat
sebagai ,pekerjakasar,. Bagi Kant, filsafat, khususnya filsafat transenden, memiliki dua peran.
Pertama, sebagai ”hakim” yang dengannya sains dinilai. Kedua, sebagai wilayah untuk
memunculkan pertanyaan normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif,
dalam perspektif Kantian, sains tidak dibutuhkan, karena hal itu dijawab melalui analisis
transenden. Teori kritis yang berorientasi emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-
klaim filosofis tentang kebenaran dan universalitas moral tanpa mereduksinya menjadi
sekedar kondisi sosial yang menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari hilangnya
kebenaran yang telah dicapai oleh pengetahuan masa lalu. Tentang hal ini Horkheimer
menyatakan ”Bahwa semua pemikiran, benar atau salah, tergantung pada keadaan yang
berubah sama sekali tidak berpengaruh pada validitas sains” .

Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam
perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif
terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya

12
kita, dan dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat epistemologis yang dibutuhkan
dalam studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu
yang alamiah dan langsung. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan
ide- ide tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang
berpengaruh dan menentukan jenis-jenisidedan pengalaman manusia.

Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, dan manusia


diasosiasikan dengan makna-makna tertentu, teori kritis memertanyakan legitimasi
anggapan umum tentang pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam interaksi sehari-
hari dengan orang lain dan alam, dalam kepala seseorang selalu menyimpan
seperangkat kepercayaan dan asumsi yang terbentuk dari pengalaman — dalam arti luas
— dan berpengaruh pada cara pandang seseorang, yang sering tidak tampak. Teori
kritis berusaha mengungkap dan memertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam
usahanya, teori kritis menggunakan ide-ide dari bidang lain untuk memahami pola-pola dimana
teks dan cara baca berinteraksi dengan dunia. Hal ini mendorong munculnya model
pembacaan baru. Karenanya, salah satu ciri khas teori kritis adalah pembacaan kritis dari dari
berbagai segi dan luas. Teori kritis adalah perangkat nalar yang, jika diposisikan dengan
tepat dalam sejarah, mampu merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak dalam tesis
Marx terkenal yang menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan dunia, tujuannya untuk
merubahnya”. Ide ini berasal dari Hegel yang, dalam Phenomenology of Spirit,
mengembangkan konsep tentang objek bergerak yang, melalui proses refleksi- diri,
mengetahui dirinya pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi.

BAB III

13
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Paradigma adalah pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi subyect
matter (pokok persoalan) yang dipelajari suatu disiplin ilmu. Didalam sosiologi
terdapat tiga paradigma yaitu paradigma fakta sosial, paradigma devinisi sosial, dan
paradigma perilaku sosial.

Paradigma merupakan orientasi dasar untuk teori dan riset. Pada umumnya suatu
paradigma keilmuan merupakan sistem keseluruhan dari berfikir. Paradigma terdiri
dari asumsi dasar, teknik riset yang digunakan, dan contoh seperti apa seharusnya
teknik riset yang baik. Ilmu sosial kritis sering dikaitkan dengan teori konflik, analisis
feminis, dan psikoterapi radikal serta dikaitkan dengan teori kritis yang pertama kali
dikembangkan oleh Frankfurt School di Jerman pada tahun 1930an. Ilmu sosial kritis
mendefinisikan ilmu sosial sebagai proses kritis penyelidikan yang melampaui ilusi
permukaanuntuk mengungkap struktur nyata di dunia material dalam rangka
membantu orang mengubah kyang lebih baik dari kondisi dan membangun dunia
bagi diri mereka sendiri (Neuman, 2013:123-124).

Berdasarkan asumsi ini, Mach menegaskan bahwa pengetahuan yang sahih adalah
pengetahuan yang diperoleh dengan cara menyalin fakta (Hardiman, 1993:129);
karena fakta itu jelas tampak “di sana”, dapat diraba, dan dicerap alat inderawi.
Selain itu, dari kerangka asumsi ini dipahami pula bahwa realitas itu dapat dikontrol,
dikendalikan, sebagaimana dikehendaki peneliti tanpa mengurangi tingkat
objektivitasnya. Dengan demikian, ilmu itu dipandang sangat objektif. Ilmu
pengetahuan itu memiliki objektivitas yang tak bisa diganggu gugat.

DAFTAR PUSTAKA

14
https://www.researchgate.net/publication/
334701737_Positivisme_Auguste_Comte_Analisa_Epistemologis_Dan_Nilai_Etisnya_Terhadap_Sain
s

1999. “Kritik Paradigma Pasca-Positivisme terhadap Positivisme,” dalam Jurnal Ikatan Sarjana
Komunikasi Indonesia. Vol. III/April 1999 (hal. 66-71).

Adisusilo, Sutarjo. "Konstruktivisme dalam Pembelajaran." Tersedia pada:


http://veronikacloset. files. wordpress. com/2010/06/konstruktivisme. pdf (diakses tanggal 18
Maret 2023).

salesseven.blogspot.com,"paradigmakritis"<http://saleseven.blogspot.com/2014/12/paradigma-
kritis.html?m=1>[diakses 18 Maret 2023]

15

Anda mungkin juga menyukai