Anda di halaman 1dari 24

TEORI POSITIVISME AUGUSTE COMTE

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Teori Sosial Budaya
Yang dibina oleh Bapak Dr. Blasius Suprapta, M.Hum.

Oleh
Devi Retno Nur Aini 160731614910
Dinda Prima Ananda 160731614884
Rica Filasari 160731614846
Tinto Pratama 160731614860

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
September 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Teori
Positivisme Auguste Comte ini tepat pada waktunya. Makalah ini diajukan guna
memenuhi tugas matakuliah Teori Sosial Budaya yang diampu oleh Bapak Dr.
Blasius Suprapta, M.Hum.
Segala upaya telah kami dilakukan untuk menyempurnakan makalah ini,
namun bukan tidak mungkin dalam penulisan makalah ini masih terdapat
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran
yang dapat dijadikan masukan dalam menyempurnakan makalah lain di masa
yang akan datang.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan
bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua, serta
menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi
kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amin.

Malang, Oktober 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografis Auguste Comte................................................................... 3
B. Pengertian Positivisme........................................................................ 5
C. Positivisme Auguste Comte................................................................ 9
D. Pengaruh Positivisme......................................................................... 14
E. Ktitik atas Positivisme....................................................................... 16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................... 19
B. Saran................................................................................................. 20
DAFTAR RUJUKAN....................................................................................... 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau
lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta-fakta tersebut
merupakan sesuatu yang dapat diamati daripada umumnya dapat diuji secara
empiris oleh orang lain.
Pada umumnya orang melihat sosiologi sebagai pembimbing dan pengarah
dasar-dasar ilmiah bagi kemajuan dan perkembangan ilmu sosial. Auguste Comte
adalah orang yang pertama memakai istilah sosiologi dengan membedakan antara
ruang lingkup isi sosiologi dan isi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Masa Auguste Comte dipakai sebagai patokan karena sebagaimana
dinyatakan di muka Comte yang pertama kali memakai istilah atau pengertian
sosiologi. Sosiologi dapatlah dikatakan merupakan suatu ilmu pengetahuan yang
relatif muda usianya karena baru mengalami perkembangan sejak masanya Comte
tersebut
Setelah mendapatkan gambaran dan pokok-pokok tentang ruang lingkup
sosiologi berserta hubungannya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya dan teori-
teorinya, perlu dijelaskan cara-cara sosiologi mempelajari obyeknya, yaitu
masyarakat. Pada dasarnya terdapat dua jenis cara kerja atau metode, yaitu metode
kualitatif dan metode kuantitatif. Unsur-unsur sosiologi tidak digunakan dalam
suatu ajaran atau teori yang murni sosiologi akan tetapi sebagai landasan untuk
tujuan lain.
Banyak orang yang mengenal kata positif dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka mengartikan positif sebagai kata yang mengandung arti baik atau berguna.
Sesuatu yang baik maka itu sesuatu yang positif, begitu sebaliknya, jika sesuatu
yang buruk maka sesuatu itu dianggap negatif, yang merupakan lawan kata dari
positif.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang positif yang artinya berbeda
dengan arti yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kata positif
pertama kali digunakan oleh Auguste Comte yang berperan penting dalam
mengafirkan filsafat dan sains di Barat, dengan memisahkan keduanya dari unsur

1
agama dan metafisis, yang dalam kasus Comte berarti mengingkari hal-hal non-
inderawi. Ada perbedaan makna positif antara makna positif dalam kehidupan
sehari-hari dan makna positif dalam positivisme August Comte. Bagi orang
awam, pasti belum mengetahui arti positivisme, oleh karena itu dalam makalah ini
akan membahas tentang arti positivisme, positivisme August Comte, apa
pengaruh positivisme, dan yang lainnya pada bab pembahasan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup August Comte?
2. Bagaimana pengertian tentang teori positivisme?
3. Bagaimana teori positivisme menurut August Comte?
4. Bagaimana pengaruh teori positivisme Auguste Comte?
5. Bagaimana kritik atas teori positivism Auguste Comte?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui riwayat hidup August Comte.
2. Untuk mengetahui pengertian tentang teori positivisme.
3. Untuk mengetahui teori positivisme menurut August Comte.
4. Untuk mengetahui pengaruh teori positivisme Auguste Comte.
5. Untuk mengetahui kritik atas teori positivism Auguste Comte.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Auguste Comte


Augustee Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Augustee
Francois Xavier Comte. Pada tahun terjadinya revolusi, filsuf ini di lahirkan di
Montpellier dari sebuah keluarga bangsawan yang beragama katolik pada tanggal
19 Januari 1798 M. Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan
Universitas Montpellier, pada usia 25 tahun, dia studi di Ecole Polytechnique di
Paris dan sesudah dua tahun dia mempelajari pikiran-pikiran ideolog, tapi juga
hume dan condorcet. Saint-Simon menerimanya sebagai sekretarisnya, dan sulit
dipungkiri bahwa pemikiran Saint-Simon mempengaruhi perkembangan
intelektual Comte. Mereka cocok dengan pandangan bahwa reorganisasi
masyarakat bisa dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan baru tentang
perilaku manusia dan masyarakatnya.
Augustee Comte memulai karir profesionalnya dengan memberi les privat
bidang matematika. Meskipun ia sudah memperoleh pendidikan dalam
matematika, perhatian yang sebenarnya adalah pada masalah-masalah
kemanusiaan dan sosial, minat ini tumbuh dan berkembang dibawah penggaruh
Saint Simon, yang memperkerjakan Augustee sebagai sekertarisnya dan dengan
Augustee menjalin kejarasama erat dalam mengembangkan karya awalnya sendiri.
Sesudah tujuh tahun lamanya pasangan sahabat ini pecah karena
perdebatan mengenai kepengarangan karya bersama, dan Augustee pun menolak
pembimbingnya ini. Kondisi ekonomi Comte sangat pas-pasan, dan hampir terus
menerus hidup dalam kemiskinan. Dia tidak pernah mampu menjamin posisi
profesional yang dibayar dengan semestinya dalam sistem pendidikan tinggi
perancis, Banyak karirnya berupa les prifat, menyajikan ide-ide teoretisnya dalam
suatu kursus prifat yang dibayar oleh peserta-peserta dan menjadi pengguji
akademik kecil.
Selain dalam bidang akademik, dalam pergaulanya Comte dengan gadis-
gadis justru mendatangkan malapetaka, tetapi relevan untuk memahami evolusi
dalam pemikiran Comte, khususnya perubahan dalam tekanan tahap-tahap akhir

3
kehidupanya dari positivisme ke cinta. Sementara Comte sedang mengembangkan
filsafat positifnya yang komprehensif, disamping itu dia telah menikah dengan
seorang bekas pelacur bernama Carolme Massin, seorang wanita yang lama
menderita, serta menaggung beban emosional dan ekonomi dengan Comte
sesudah Comte keluar dari rumah sakit karena penyakitnya yaitu “keranjingan
(mania)”, dengan sabar dia mengurus dan merawat Comte sampai sembuh dan
kadang-kadang disertai perlakuan kasar setelah pisah beberapa saat, istrinya pergi
dan membiarkan dia sengsara dan gila.
Pada tahun 1842 ia menyelesaikan karya besarnya yang berjudul Course of
positive philosophy dalam 6 jilid dan juga karya besar yang cukup terkenal adalah
system of positive polities yang merupakan persembahan Comte bagi pujaan
hatinya Clothilde de vaux, yang begitu banyak mempengaruhi pemikiran Comte
di karya besar keduanya itu. Tetapi sayangnya wanita pujaanya itu meninggal
karna mengidap penyakit TBC, kehidupan Comtepun tergoncang. Dia bersumpah
untuk membaktikan hidupnya untuk mengenang bidadarinya itu.
Karena dimaksudkan untuk mengenang “bidadari”nya itu, Karya Comte
dalam politik positif itu didasarkan pada gagasan bahwa kekuatan yang
sebenarnya mendorong orang dalam kehidupiaan adalah perasaan, bukan
pertumbuhan intelegensi manusia yang mantap, Dia mengusulkan suatu
teorganisasi masyarakat, dengan sejumlah tatacara yang dirancang untuk
membangkitkan cinta murni dan tidak egoistis, demi “kebesaran kemanusiaan”.
Comte hidup pada masa akhir revolusi perancis termasuk didalamnya
serangkaian pergolakan yang terus berkesinambungan sehingga Comte sangat
menekankan arti pentingnya keteraturan sosial. Pada akhir hidupnya, ia berupaya
membangun agama baru tanpa teologi atas dasar filsafat positifnya. Agama baru
tanpa teologi ini mengagungkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan
semboyan “Cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis, kemajuan sebagai tujuan”.
Sebagai istilah ciptanya yang terkenal altruisim yaitu menganggap bahwa soal
utama bagi manusia ialah Usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain.
Pada saat Comte tinggal bersama Saint-Simon, dia telah merencanakan
publikasi karyanya tentang filsafat positivisme yang diberi judul Plan de Travaux
Scientifiques Necessaires pour Reorganiser la Societe (Rencana Studi Ilmiah

4
untuk Pengaturan kembali Masyarakat). Tapi kehidupan akademisnya yang gagal
menghalangi penelitiannya. Dari rencana judul bukunya kita bisa melihat
kecenderungan utama Comte adalah ilmu sosial. Augustee Comte meninggal pada
tahun 1857 dengan meninggalkan karya-karya seperti Cours de Philosophie
Possitive, The Sistem of Possitive Polity, The Scientific Labors Necessary for
Recognition of Society, dan Subjective Synthesis

B. Pengertian Positivisme
Positivisme diperkenalkan oleh Comte. Istilah itu berasal dari kata
“Positif”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Positif: 1. Pasti; Tegas; Tentu;
2. Yakin. Selanjutnya istilah Positif diartikannya sebagai “Teori yang bertujuan
untuk ‘penyusunan fakta – fakta yang teramati’”. Dengan kata lain, “Positif”
sama dengan “Faktual”, apa yang berdasarkan fakta – fakta. Pada dasarnya
positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya
pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal.
Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori
melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.
Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak
Yunani Kuno dan juga digunakan oleh Ibn al-Haytham dalam karyanya Kitab al-
Manazhir. Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah
filsafat pertama kali dilakukan Comte di abad kesembilan belas.
Adapun yang menjadi  titik tolak dari pemikiran positivis ini adalah yang
telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di
sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa
adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh,
fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam
asumsi (proyeksi) ke masa depan. Positivisme diturunkan dari kata positif, filsafat
ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang factual, yang positif.
Positivisme hanya membatasi diri pada apa yang tampak, segala gejala.
Dengan demikian positivisme mengesampingkan metafisika karena
metafisika bukan sesuatu yang real, yang tidak dapat dibuktikan secara empiris
dan tidak dapat dibuktikan. Positivisme suatu aliran filsafat yang menyatakan
ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak

5
aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi,
semua didasarkan pada data empiris.
Positivisme merupakan bentuk lain dari empirisme, yang mana keduanya
mengedepankan pengalaman. Yang menjadi perbedaan antara keduanya adalah
bahwa positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang
objektif, tetapi empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman yang bersifat
batiniah atau pengalaman-pengalaman subjektif.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu
sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme
khususnya idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang
dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena
pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain
bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap
dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi,
walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang
diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill.
Tokoh-tokohnya Augustee Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan
Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme–empirio-positivisme– berawal
pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius.
Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata
obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme,
masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme
ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran
Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan
lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan
tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua
kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis,
positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga

6
ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan
ilmiah dan lain-lain.
Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir
pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan
dikembangkan oleh Augustee Comte. Adapun yang menjadi  titik tolak dari
pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan
positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif”
adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-
pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur
sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa
depan.
Sebenarnya, tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu,
Augustee Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat
Positivisme.  Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme,  ilmu
pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak
metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang
sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan
dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara
fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang
bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Augustee Comte mencoba
mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal
ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang
memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya
dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang
bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa
serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte
berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai
dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak
sesuai dengan data empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak

7
membakar. Model pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori
Korespondensi.
Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan
pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Comte, yakni sebagai
suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata
"positif". Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek
pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat
dijangkau oleh akal.
Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek
ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak
dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu
bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan, dan
nantinya berujung kepada penataan atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya
Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari
otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber
tidak langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu
objek secara indrawi.
Dari model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis
demarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah
veriviable, dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna
atau tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu
gejala dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang
dimaksud. Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah
Induktif-Verivikatif, yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang
bersifat khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte
juga menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi,
eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif.
Singkatnya, filsafat Comte  merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana
dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan
menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif.
Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya
siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan

8
hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan apa
yang akan terjadi.
Filsafat positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis,
bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak
mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan
pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus
dikaitkan dengan suatu teori.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau
subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan
untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme
mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan
manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu,
yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi.
Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia.
Bahkan ia juga menolak nilai (value).
Apabila dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Augustee
Comte  berpendapat bahwa:
1. gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami,
2. ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau
generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam,
3. berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah
berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam
ilmu-ilmu sosial budaya.

C. Positivisme Auguste Comte


Filsafat positivisme yang dikemukakan Auguste Comte (1798 – 1857)
berpangkal dari apa yang diketahui, yang faktual, yang positif. Segala uraian dan
persoalan yang di luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan di sampingkan
Oleh karena itu metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara positif adalah
segala yang tampak, segala gejala.
Demikianlah positivisme membatasi filsafat dan ilmu pengetahuan kepada
bidang gejala-gejala saja. Apa yang dapat kita lakukan ialah: segala fakta, yang

9
menyajikan diri kepada kita sebagai penampakan atau gejala, kita terima seperti
apa adanya. Sesudah itu kita berusaha untuk mengatur fakta-fakta tadi menurut
hukum tertentu; akhirnya dengan berpangkal kepada hukum-hukum yang telah
ditemukan tadi kita mencoba melihat ke masa depan, ke apa yang akan tampak
sebagai gejala dan menyesuaikan diri dengannya. Arti dari segala ilmu
pengetahuan ialah mengetahui untuk apa dapat melihat ke masa depan. Jadi, kita
hanya dapat menyatakan atau mengkonstatir fakta-faktanya, dan menyelidiki
hubungan–hubungannya yang satu dengan yang lain. Maka tiada gunanya untuk
menanyakan kepada hakekatnya atau kepada sebab- sebab yang sebenarnya dari
gejala-gejala itu. Yang harus diusahakan orang ialah menentukan syarat-syarat di
mana fakta-fakta tertentu tampil dan menghubungkan fakta-fakta itu menurut
persamaannya dan urutannya. Hubungan yang tetap tampak dalam persamaan itu
disebut “pengertian”, sedang hubungan-hubungan yang tetap tampak pada
urutannya disebut “hukum- hukum”
Kesamaan positivisme dengan empirisme seperti yang timbul di inggris,
terdapat di dalam hal ini, bahwa keduanya mengutamakan pengalaman,
perbedaannya terletak di sini, bahwa positivisme hanya membatasi diri pada
pengalaman-pengalaman obyektif, tetapi empirisme menerima juga pengalaman-
pengalaman batiniah atau pengalaman-pengalaman yang subyektif.
Augustee Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian yaitu Social
Statics dan Social Dynamic.
1. Social Dynamic
Social dynamic adalah teori tentang perkembangan dan kemajuan
masyarakat, karena social dinamic merupakan study tentang sejarah yang akan
menghilangkan filsafat yang spekulatif tentang sejarah itu sendiri.  
a. The law of three stages (hukum tiga tahap)
Comte berpendapat bahwa di dalam masyarakat terjadi
perkembangan yang terus-menerus, namun perkembangan umum dari
masyarakat tidak terus-menerus berjalan lurus. Ada banyak hal yang
mengganggu perkambangan suatu masyarakat seperti faktor ras, iklim,
dan tindakan politik. Comte berpendapat jawaban tentang
perkembangan sosial harus dicari dari karakteristik yang membedakan

10
manusia dan binatang yaitu perkembangan inteligensinya. Comte
mengajukan tentang tiga tingkatan inteligensi manusia, yakni teori
evolusi atau yang biasa disebut hukum tiga tahap yaitu:
1) Tahap teologis
Dimulai sebelum tahun 1300 dan menjadi ciri dunia. Tahap
ini meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini
dikendalikan oleh kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para
dewa, roh atau tuhan. Pemikiran ini menjadi dasar yang mutlak
untuk menjelaskan segala fenomena yang terjadi di sekitar
manusia, sehingga terkesan irasional. Dalam tahap teologis ini
terdapat tiga kepercayaan yang dianut masyarakat. Yang pertama
fetisysme (semuanya) dan dinamisme yang menganggap alam
semesta ini mempunyai jiwa.
Kemudian animisme yang mempercayai dunia sebagai
kediaman roh-roh atau bangsa halus. Yang kedua politeisme
(memilih), sedikit lebih maju dari pada kepercayaan sebelumnya.
Politeisme mengelompokkan semua dan kejadian alam berdasarkan
kesamaan-kesamaan diantara mereka. Sehingga politeisme
menyederhanakan alam semesta yang beranekaragam. Contoh dari
politeisme, dulu disetiap sawah di desa berbeda mempunyai dewa
yang berbeda. Politeisme menganggap setiap sawah dimanapun
tempatnya mempunyai dewa yang sama, orang jawa mengatakan
dewa padi yaitu yaitu dewi sri. Yang terakhir, monoteisme yaitu
kepercayaan yang menganggap hanya ada satu Tuhan. Dalam tahap
teologis kami dapat mencontohkannya sebagai berikut
bergemuruhnya Guntur disebabkan raksasa yang sedang berperang.
2) Tahap metafisik
Tahap ini terjadi antara tahun 1300 sampai 1800. Pada
tahap ini manusia mengalami pergeseran cara berpikir. Pada tahap
ini, muncul konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak selain
tuhan yakni alam. Segala kejadian di muka bumi adalah hukum
alam yang tidak dapat diubah. Contoh, pejabat negara adalah orang

11
yang berpendidikan dan telah mengenal ilmu pengetahuan namun
ia masih saja bergantung dan mempercayai kekuatan dukun.
Pada tahap ini manusia mulai mengadakan perombakan
atas cara pikir lama, yang dianggapnya tidak lagi memenuhi
keinginan manusia, untuk menemukan jawaban yang memuaskan
tentang kejadian alam semesta. Pada tahap ini semua gejala dan
kejadian tidak lagi diterangkan dalam hubungannya dengan
kekuatan yang bersifat supranatural atau rohani. Manusia kini
mulai mencari pengertian dan penerangan yang logis dengan cara
membuat abstraksi-abstraksi dan konsepsi-konsepsi metafisik.
Manusia pada tahap ini berusaha keras untuk mencari
hakikat atau esensi dari segala sesuatu. Mereka tidak puas hanya
dengan mencari pengertian-pengerian umum, tanpa dilandasi oleh
pemikiran- pemikiran dan argumentasi-argumentasi logis. Zaman
metafisika, sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja
dari zaman teologis. Sebab kekuatan yang adikodrati atau dewa-
dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak,
dengan pengertian-pengertian, atau dengan pengada-pengada yang
lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat
umum, yang disebut alam, yang dipandang sebagai asal segala
penampakan atau gejala yang khusus.
3) Tahap positivisme
Pada tahap ini semua gejala alam atau fenomena yang terjadi
dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan peninjauan, pengujian
dan dapat dibuktikan secara empiris. Tahap ini menjadikan ilmu
pengetahuan berkembang dan segala sesuatu menjadi lebih
rasional, sehingga tercipta dunia yang lebih baik karena orang
cenderung berhenti melakukan pencarian sebab mutlak (Tuhan
atau alam) dan lebih berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia
sosial dan fisik dalam upayanya menemukan hukum yang
mengaturnya. Contoh, tanaman padi subur bukan karena akibat

12
kehendak Dewi Sri melainkan akibat dari perawatan dan
pemupukan yang baik.
Tahap positif, tahap ketika orang tahu, bahwa tiada gunanya
untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang
mutlak, baik pengenalan teologis maupun pengenalan metafisis. Ia
tidak mau lagi melacak asal tujuan akhir seluruh alam semesta ini,
atau melacak hakekat yang sejati dari segala sesuatu yang berada di
belakang segala sesuatu.
Tahap positif pada dasarnya merupakan tahap peralihan saja
dari cara berpikir lama (teologis) ke cara berpikir baru dan final,
yakni cara berpikir positif.seperti halnya proses alam yang lazim
terjadi, sebelum sampai pada masa dewasa, dari masa anak-anak,
manusia harus mengalami masa transisi pada masa
remaja.demikian pula, sebelmu sampai pada tahap positif, akal
budi manusia harus gerak lebih dulu dari tahap teologis ke tahap
transisi, yakni tahap metafisis. Untuk menerangkan tahap
perkembangan akal budi manusia secara individual, Comte
menulis: “Sebagai anak kita menjadi seorang teolog, sebagai
remaja kita menjadi ahli metafisika, dan sebagai orang dewasa kita
menjadi ahli ilmu alam”.
b. The law of the hierarchie of the sciencies (hierarki dari ilmu
pengetahuan)
Di dalam menyusun susunan ilmu pengetahuan, Comte
menyadarkan diri kepada tingkat perkembangan pemikiran manusia
dengan segala tingkah laku yang terdapat didalamnya. Sehingga sering
kali terjadi didalam pemikiran manusia, kita menemukan suatu tingkat
pemikiran yang bersifat scientific. Sekaligus pemikiran yang bersifat
theologies didalam melihat gejala-gejala atau kenyataan-kenyataan.
c. The Law of the correlation of practical activities
Comte yakin bahwa ada hubungan yang bersifat natural antara cara
berfikir yang teologis dengan militerisme. Cara berfikir teologis
mendorong timbulnya usaha-usaha untuk menjawab semua persoalan

13
melalui kekuatan (force). Karena itu, kekuasaan dan kemenangan selalu
menjadi tujuan daripada masyarakat primitif dalam hubungan satu sama
lain. Pada tahap yang bersifat metafisis, prinsip-prinsip hukum
(khususnya hukum alam) menjadi dasar daripada organisasi
kemasyarakatan dan hubungan antara manusia. Tahap metafisis yang
bersifat legalistic demikian ini merupakan tahap transisi menuju ke
tahap yang bersifat positif.
d. The Law of the correlation of the feelings
Comte menganggap bahwa masyarakat hanya dapat dipersatukan
oleh feelings. Demikianlah, bahwa sejarah telah memperlihatkan
adanya korelasi antara perkembangan pemikiran manusia dengan
perkembangan dari sentimen sosial. Di dalam tahap yang teologis,
sentimen sosial dan rasa simpati hanya terbatas dalam masyarakat lokal.
Tetapi dalam abad pertengahan, sosial sentimen berkembang semakin
meluas seiring dengan perkembangan agama Kristen. Abad
pertengahan adalah abad yang oleh Comte dianggap sebagai abad
dalam tahap metafisis. Namun dalam tahap yang positif/ scientific,
social simpati berkembang menjadi semakin universal. Comte yakin
bahwa sikap positif dan scientific pikiraan manusia akan mampu
memperkembangkan semangat alturistis (rasa mengahargai orang yang
lebih tinggi) dan menguniversilkan perasaan sosial (social simpati).
2. Social Static
Fungsi social static dimaksudkan sebagai suatu studi tentang hukum-
hukum aksi dan reaksi dari berbagai bagian di dalam suatu sistem sosial. Dalam
sosial static terdapat empat doktrin, yaitu doktrin tentang individu, keluarga,
masyarakat dan negara. Mengarah pada struktur yang ada dalam masyarakat.
Diibaratkan sebagai sebuah bangunan dan segala sesuatu yang menyusun
bangunan itu.

D. Pengaruh Positivisme
Amatlah sulit mengukur pengaruh suatu pemikiran filsafat seperti
positivisme Auguste Comte. Rentang waktu antara tahun pertama diterbitkannya
buku utama Comte, Cours de philosophie positive ( 6 volume, 1830 – 1842)

14
hingga hari ini, adalah rentang waktu yang sangat panjang sehingga sangat
mustahil untuk menilai daya jangkau dan kontribusi positivisme Comte pada
berbagai unsur kebudayaan hari ini. Selama itu, telah bermunculan isme – isme
lain dari berbagai bidang adn disiplin, yang sangat mungkin jauh lebih
berpengaruh dari positivisme sendiri dalam memberi bentuk dan warna pada
kebudayaan kita. Namun demikian di bawah ini akan sebutkan beberapa
“pengaruh” positivisme ( meskipun, tentu saja tentu saja pengaruh itu belum tentu
secara langsung), yang saya acu dari Koento Wibisono, dalam disertasinya yang
berjudul Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte.
Menurut pengamatan ahli filsafat barat ini, kontribusi filsafat positivisme
Comte terhadap kebudayaan barat, paling tidak, tampak dari:
1. Semakin tebalnya optimisme masyarakat barat yang telah timbul sejak
jaman Aufklarung mengenai hari depan umat manusia yang semakin baik
atau maju.
2. Semangat eksploratif dan ilmiah para ilmuan sedemikian rupa, sehingga
mendorong lahirnya model-model ilmu pengetahuan yang positif, yang
lepasa dari muatan-muatan spekulatif.
3. Konsepsi yang semakin meluas tentang kemajuan atau modernisasi yang
menitik beratkan pada kemajuan dan modernisasi dalam bidang ekonomi,
fisik dan teknologi (model masyarakat industri).
4. Menguatnya golongan teknorat dan industriawan dalam pemerintahan.
Tiga puluh lima tahun lalu, Bertrand Russel dalam komentarnya yang
bernada kritik terhadap positivisme telah meramalkan kenyataan itu: “...
positive humanity will be ruled by the moral authority of a scientific elite,
while the executive power will be entrusted to technical experts”.
Beberapa pengaruh yang baru disebut, tentu saja, di luar pengaruh
positivisme Comtedi dalam sejarah filsafat, di samping kontribusinya dalam
melahirkan sebuah ilmu yang disebut “fisika sosial” atau sosiologi,serta positivasi
ilmu – ilmu sosial dan humaniora. Diperlukan sebuah karangan tersendiri yang
cukup panjang untuk membahas hal itu.
Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan
intelektual abad sembilan belas. Di Inggris, sahabat Comte, Jhon Stuart Mill,

15
dengan antusias memerkenalkan pemikiran Comte sehingga banyak tokoh di
Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte, diantaranya G.H. Lewes, penulis
The Biographical History of Philosophy dan Comte’s Philosophy of Sciences;
Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian mengkritisi pandangan-
pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli paling berpengaruh pada abad
sembilan belas; dan John Morley, seorang politisi sukses. Namun dari orang-
orang itu hanya Mill dan Lewes yang secara intelektual terpengaruh oleh Comte.
Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul
Tannery, yang meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun.
Ilmuwan lain yang dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof
ilmu, yang mengkritisi dengan hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-
hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah satu dari
pembaca pemikiran Comte yang serius selama setengah abad pasca kematiannya.
Karya besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah
bacaan wajib.
Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim
yang pada 1887 merupakan orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar
sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte, di universitas Prancis. Dia
merekomendasikan karya Comte untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi dan
mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation into the study of
sociology”.
Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak sosiologi dan
pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat secara umum. Namun
Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim yang pada 1887
merupakan orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu yang
diwariskan Comte, di universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte
untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai ”the best
possible intiation into the study of sociology”. Dari sinilah kemudian Comte
dikenal sebagai bapak sosiologi dan pemikirannya berpengaruh pada
perkembangan filsafat secara umum
Sebagai akibat dari pandangan tersebut, maka ilmu sosial budaya menjadi
bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan

16
ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang
ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia,
masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis. Demikianlah
beberapa pemikiran Augustee Comte tentang tiga tahapan perkembangan manusia
dan juga bagaimana positivisme Augustee Comte memandang sumber ilmu
pengetahuan

.
E. Kritik atas Positivisme
Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang
dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses
dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan
bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-
tindakan individu” dan bahwa ”organisme biologis dapat direduksi kedalam
sistem fisika”.
Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain.
Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi
sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan
mendukung status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara
sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta
sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk
dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial.
Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas
sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan
realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh
orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik
kedua menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya
berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di
lingkaran politik tertentu.
Positivisme Augustee Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan
peradaban dan pemikiran manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan
positivistik. Pada tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama,

17
pada tahap metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada
tahap positivistik manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman
positivistik yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru
dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode
positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek
metodologis.
Selain itu, model filsafat positivisme-nya Augustee Comte tampak begitu
mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur “kebenaran”.
Sebenarnya “kebenaran” sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah
bukan sepebuhnya milik manusia. Akan tetapi hanya merupakan kewajiban
manusia untuk berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan “cara tertentu”.
Kata cara tertentu merujuk pada pemikiran Karl Popper mengenai
“kebenaran” dan sumber diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan
manusia terhadap objek melalui rasio (akal) dan pengalamannya, namun selalu
bersifat tentatif. Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus
dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan
cara pengujian “trial and error” (proses penyisihan terhadap kesalahan atau
kekeliruan) sehingga “kebenaran” se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur dan
refutasi dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan pemikiran Rasionalisme-
kritis dan Empirisme-kritis. Atau dengan meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah
“kebenaran” akan selalu mengalami proses tesis, sintesis, dan anti tesis, dan
begitu seterusnya.
Pandangan mengenai “kebenaran” yang demikian itu bukan berarti
mengisyaratkan bahwa Penulis tergolong penganut Relativisme, karena menurut
Penulis, Relativisme sama sekali tidak mengakui “kebenaran” sebagai milik dan
tangkapan manusia terhadap suatu objek. Penulis berkeyakinan bahwa manusia
mampu menangkap dan menyimpan “kebenaran” sebagaimana yang
diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi manusia, “kebenaran” selalu
bersifat sementara karena harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan
pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi seperti apa yang diyakini oleh
Augustee Comte. Hal demikian karena suatu teori, hukum ilmiah atau hipotesis

18
tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara positif, melainkan dapat disangkal
(difalsifikasikan). 
Jelasnya, untuk menentukan “kebenaran” itu bukan perlakuan verifikasi
melainkan melalui proses falsifikasi dimana data-data yang telah diobservasi,
dieksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-induktif berhenti sampai di situ
karena telah dianggap benar dan baku (positif), melainkan harus dihadapkan
dengan pengujian baru.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau
lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta-fakta tersebut
merupakan sesuatu yang dapat diamati daripada umumnya dapat diuji secara
empiris oleh orang lain. Masa Auguste Comte dipakai sebagai patokan karena
sebagaimana dinyatakan dimuka Comte yang pertama kali memakai istilah atau
pengertian sosiologi. Sosiologi dapatlah dikatakan merupakan suatu ilmu
pengetahuan yang relatif muda usianya karena baru mengalami perkembangan
sejak masanya Comte tersebut.
Dalam pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa August Comte
merupakan seorang yang menggunakan positivisme pertama kali sebagai sebuah
filsafat pada abad ke Sembilan belas. Menurutnya, positivisme adalah sebuah
filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang
didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal, yang faktual dan positif, sehingga
metafisika ditolaknya.
Menurut August Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung
tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah atau positif.
Dalam  hukum tiga zaman atau tiga tahap ini bukan hanya berlaku bagi
perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tiap orang
sendiri-sendiri. Auguste comte membagi sosiologi menjad menjadi dua bagian
yaitu Social Statics dan Social Dynamic.
Social statics dimaksudkannya sebagai suatu studi tentang hukum-hukum aksi
dan reaksi antara bagian-bagian dari suatu sistem sosial. Sedangkan sosial

19
dynamic adalah teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat, karena
social dynamic merupakan study tentang sejarah yang akan menghilangkan
filsafat yang spekulatif tentang sejarah itu sendiri. Auguste Comte juga mendapat
kritikan atas teori positivismenya karena tampak begitu mengagungkan akal dan
panca indera manusia sebagai tolok ukur “kebenaran”

B. Saran
Dalam pembahasan makalah ini, terdapat keterbatasan sumber serta
pemahaman dalam bahasa. Sumber yang kami gunakan sangatlah terbatas, oleh
karena itu pembaca hendaknya dapat mengkritisi apa yang ada dalam pembahasan
makalah ini. Supaya dalam pembuatan makalah kami selanjutnya dengan tema
seperti ini dapat lebih baik lagi.
Teori yang dikemukakan oleh Auguste Comte adalah hasil dari
pemikirannya yang dipengaruhi oleh berbagai keadaan dan tokoh pemikir lainnya
yang mendominasi pada saat itu. Model filsafat positivisme Auguste Comte
tampak begitu mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur
“kebenaran”.  Padahal “kebenaran” sebagai masalah pokok pengetahuan manusia
adalah bukan sepenuhnya milik manusia, akan tetapi hanya merupakan kewajiban
manusia untuk berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan “cara tertentu”.
Oleh karena itu kita sebagai manusia yang mempelajarinya janganlah menerima
teori-teori secara mentah, namun kita harus mengkajinya dan menyesuaikan teori
tersebut dengan keadaan yang kita alami.

20
DAFTAR RUJUKAN

Coser, L.A. 1971. Master of Sociological Thought. New York: Columbia


University

Hotman, M.S. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta:
Erlangga

Hotman, M.A. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta:
Erlangga

Koentjaraningrat. 2014. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.

Soekanto, S. & Budi, S. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Thoriq. 2011. Teori Auguste Comte, (Online), (http://thoriqs.blogspot.co.id/2


011/04/bab-i-pendahuluan-latar-belakang.html), diakses 2 Oktober 2016
pukul 17:30.

21

Anda mungkin juga menyukai