Anda di halaman 1dari 7

Michael Christopher

NPM 110110170316

HUKUM TATA NEGARA


- Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., PhD. -

CRITICAL REVIEW

I. Identitas
Judul Jurnal : “Konstitusi dan Hak Asasi Manusia”
Penulis : Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti
Publikasi : Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum Vol. 3 No. 3 (2016)
Jumlah Halaman : 20 hlm

II. Rangkuman
Artikel “Konstitusi dan Hak Asasi Manusia” ini membahas mengenai hubungan
konstitusi dengan hak asasi manusia yang terbagi ke dalam lima bagian secara
keseluruhan: (A) Pendahuluan, (B) Isi dan Pengertian HAM, (C) Tempat Hak Asasi
dalam Konstitusi, (D) UUD 1945 dan Hak Asasi Manusia, dan terakhir, (E) Penutup.
Secara umum, pembahasan yang dilakukan merupakan upaya untuk menjawab 2
pertanyaan mendasar: “Mengapa HAM perlu diatur dalam konstitusi?” dan “Apa makna
pengaturannya dan apa akibat hukum pengaturan tersebut?”.
Penulis memulai jurnal dengan mendefinisikan konstitusi sebagai konstitusi yang
tertuang ke dalam tulisan, atau yang sering disebut ‘UUD’. Konstitusi tertulis ini
memuat berbagai materi muatan yang fundamental, termasuk kaidah-kaidah hak asasi
manusia yang dianggap sebagai peraturan tertinggi. Hal ini berlanjut dengan sebuah
kutipan: “high-ranking regulatory law, a ‘statute’ fraught with direct legal consequences” dari
pendapat Frank I. Michelman dalam bukunya yang berjudul “The Constitution,
social rights, and liberal political justification”. Selanjutnya, penulis sekali lagi
mengutip pendapat Frank bahwa konstitusi memiliki arti yang lebih filosofis yakni,
merupakan “refleksi jiwa daripada nasionalitas, ideologi, aspirasi, dan nilai-nilai
masyarakat, termasuk proses dari interpretasi dan diskresi yudisial dalam national legal
order.
Pada paragraf berikutnya, penulis menjelaskan bahwa pengaturan hak asasi
manusia dalam konstitusi memiliki sistematika yang berbeda-beda di setiap negara.
Secara umum, terdapat 2 kategori sistematika pengaturan hak asasi manusia pada
konstitusi: (1) terdapat pada bab khusus dan (2) tersebar pada pasal-pasal yang
berbeda. Pada kategori pertama, terdapat negara Afrika Selatan, Filipina, dan
Amerika Serikat. Di sisi lainnya, Australia menjadi salah satu negara yang
menempatkan pengaturan hak asasi manusia pada pasal-pasal yang tersebar. Hal yang
menarik dari bagian sistematika pengaturan ialah sistematika pengaturan yang dimiliki
oleh negara India; norma-norma hak asasi manusia terdapat pada bab khusus (Bab
III: Fundamental Rights) dan bab tersendiri (Bab IV: Derivative Principles).
Pada bab berikutnya, penulis membahas mengenai pengertian dan isi daripada
hak asasi manusia. Ia memulai bab ini dengan menyampaikan teori-teori perjanjian
yang dimulai dari John Locke. John Locke menganggap rakyat memiliki natural rights
sebagai inalienable rights. Hal ini berarti negara tidak boleh mengganggu atau
merampak hak-hak alamiah yakni, life, liberty, property. Kemudian, penulis
mengutarakan teori perjanjian menurut Thomas Hobbes dan Rousseau yang
memiliki perbedaan dengan teori perjanjian Locke. Menurut Hobbes, rakyat
menyerahkan seluruh hak dan kebebasannya kepada manusia yang merupakan ‘first
among equals’ (primus inter paris) yang berkuasa secara mutlak. Sedangkan Rousseau
meolak hak milik pribadi, bertentangan dengan Locke yang mengakui hak milik
pribadi. Konsep hak milik pribadi ini mendapat kecaman dari Marxisme karena
sistem hak milik dapat berujung pada kekuasaan kapitalis yang menguasai alat-alat
produksi dan menindas kaum proletar. Marxisme menawarkan cara menumpas
penindasan dengan meninggalkan sistem hak milik pribadi dan sistem kelas, serta
penolakan pada konsep penguasaan alat produksi.
Selanjutnya, penulis menguraikan hak asasi manusia yang tergolong ke dalam 3
generasi. Hak asasi manusia generasi pertama ialah Freedom of Expression, Freedom of
Religion, dan Non Discrimination. Hal ini berkenaan dengan ‘Four Freedom Roosevelt’
yakni: (a) Freedom of Speech and Expression, (b) Freedom of Worship, (c) Freedom from Want,
(d) Freedom from Fear. Generasi kedua – social welfare rights meliputi (a) the right to earn
enough to provide adequate food and clothing and recreation; (b) the right to adequate medical care;
(c) the right to decent home; (d) the right to good education; (e) the right to adequate protection from
economic fears of old age, sickness, accident, and unemployment. Kelima hak asasi sosial
ekonomi tersebut disampaikan oleh Roosevelt dalam ‘State Union’ pada tahun 1941.
Generasi ketiga merupakan hak budaya, hak kelompok minoritas dan perlindungan
lingkungan.

Menurut penulis, seluruh UUD selalu memuat aneka ragam hak asasi. Pada
umumnya, UUD memuat secara lengkap hak asasi sebagai sub-sistem paham negara
konstitusional demokratik dan berdasarkan atas hukum. Tempat hak asasi dalam
konstitusi tergantung pada bentuk konstitusi negara itu sendiri. Akibatnya, tempat
hak asasi dalam negara yang memiliki UUD terdapat pada bagian tersendiri.
Sedangkan negara tanpa UUD (Israel, Inggris, Selandia Baru) memiliki kumpulan
kaidah tentang hak asasi, baik dalam bentuk undang-undang ataupun keterikatan
terhadap organisasi internasional, seperti PBB yang memiliki Universal Declaration
Human Rights 1948, serta ICCPR dan ICESCR pada tahun 1966.
Hak asasi manusia memiliki hubungan langsung yang erat dengan salah satu dari
empat fungsi konstitusi, yakni ‘Guardian of Fundamental Rights’. Konstitusi, melalui
fungsi konstitusi sebagai ‘Guardian of Fundamental Rights‘, menjamin hak asasi manusia
dengan memasukkan norma-norma hak asasi ke dalam batang tubuh konstitusi.
Konstitusi dipengaruhi oleh motivasi perubahan konstitusi yang menurut K.C.
Wheare sebagai “the desire to make a fresh start”. Seperti halnya Afrika Selatan yang
banyak menempatkan norma-norma hak asasi manusia ke dalam konstitusinya
sebagai akibat politik apartheid sebagai manifestasi keinginan bangsanya untuk
memulai permulaan yang baru, yakni dengan menjamin hak asasi manusia. Konstitusi
Afrika Selatan mengatur hak asasi manusia ke dalam 27 pasal dan aturan-aturan
operasionalisasi hak tersebut ke dalam 6 pasal. Secara spesifik, Pasal 9 mengatur
tentang equality right yang terdiri dari 5 ayat, meliputi prinsip-prinsip HAM, salah
satunya larangan diskriminasi. Pengaturan hak asasi manusia ke dalam konstitusi
memberikan pemerintah 3 kewajiban yakni: (a) obligation to respect; (b) obligation to
protect; (c) obligation to fulfill.
Penulis kemudian menguraikan hubungan UUD 1945 dengan hak asasi manusia
dengan menyebutkan adanya perbedaan pandangan antara Supomo-Soekarno
dengan Hatta-Yamin. Ada pendapat bahwa Supomo-Soekarno menolak hak asasi
karena berakar pada liberalisme-individualisme. Sedangkan ada pula pendapat Hatta-
Yamin membela hak asasi dengan alasan tidak bertentangan dengan paham
kekeluargaan. Berkenaan dengan pertanyaan “apakah hak asasi mesti dimasukkan ke
dalam konstitusi?”, kedua belah ‘kubu’ tersebut pun tidak sependapat. Penempatan
HAM ke dalam UUD tidaklah tepat menurut Supomo-Soekarno. Sedangkan
menurut Hatta-Yamin, penempatan HAM ke dalam UUD tidak perlu seluruhnya,
melainkan hanya sebagian saja. Penulis melanjutkan kalimatnya dengan menjelaskan
2 ketentuan yang berkaitan dengan hak asasi dalam UUD: hak asasi yang secara
eksplisit dimuat sebagai kaidah konstitusi (Pasal 27, 29, 30, 31, 33, 34) dan yang
secara implied (Pasal 28). Pada era Orde Lama dan Orde Baru, pembatasan kebebasan
terjadi secara hebat dengan berbagai upaya membungkam kebebasan berpendapat.
KRIS (1949-1950) merupakan konstitusi federal yang pernah ada di Indonesia dan
tergolong rinci dalam menguraikan hak asasi manusia. KRIS juga dipengaruhi oleh
UDHR yang diadopsi pada tanggal 10 Desember 1948. Setelah KRIS, berlaku pula
UUD 1950 yang merupakan ‘perubahan KRIS’ dari perspektif hukum. Namun, pada
kenyataannya, ialah UUD tentang susunan baru RI dengan kembalinya ke pada
negara kesatuan. Sempat terjadi pengekangan kebebasan pada masa UUD 1950,
terutama ketika negara dinyatakan dalam keadaan darurat. Pengekangan ini pun
mulai reda pada masa Reformasi yang menyerukan banyak tentang kebebasan
individu dan politik.
Menutup artikel ini, penulis mencantumkan salah satu referensi pidato
The Spirit of Liberty yang menyatakan bahwa “Liberty lies in the hears of men or women.”.
Selain itu, terdapat pula pendapat Dr. BK Ambedkar yang menegaskan bahwa
sebaik-baiknya konstitusi, jika orang yang menjalankan konstitusi tersebut tidak
cakap, tidak akan ada hasil yang baik.
Berkenaan dengan 2 pertanyaan di atas, jawaban dari perlunya hak asasi manusia
diatur di dalam konstitus; makna pengaturan dan akibat hukum pengaturan tersebut
dapat ditemukan secara implisit di jurnal ini. Pengaturan hak asasi manusia ini perlu
diatur dalam konstitusi ini karena adanya gap antara das Sollen dan das Sein yang
tercermin dari sikap dari pemerintah yang menjalankan konstitusi tersebut. Selain itu,
hak asasi manusia yang memiliki predikat sebagai natural rights yang inalienable rights
perlu dicantumkan ke dalam konstitusi karena dirasanya penting sebagai ‘identitas’
nasional dalam halnya konsep bernegara. Kemudian, makna daripada pengaturan hak
asasi manusia di dalam konstitusi dapat ditemukan pada ‘beban’ daripada hak asasi
manusia setelah dicantumkan di konstitusi yakni, tidak hanya merupakan natural rights
atau pun legal rights, tetapi juga merupakan constitutional rights yang perlu ditaati oleh
setiap penguasa yang tunduk pada konstitusi tersebut. Mengutip pendapat Fank I.
Michelman: “…by naming something a constitutional right, you also name it a legal rights and
so… make the judiciary responsible for its effectuation”. Selaras dengan hal tersebut,
pengaturan tersebut memiliki akibat hukum yakni, timbulnya 3 kewajiban bagi
negara: (a) obligation to respect; (b) obligation to protect; (c) obligation to fulfill. Dalam
konteks hak asasi manusia, 3 kewajiban tersebut secara berurutan (a) melarang
pemerintah untuk melakukan tindakan yang melanggar HAM; (b) mewajibkan
pemerintah untuk melakukan pencegahan bagi pihak ketiga untuk melakukan
pelanggaran HAM; (c) dan mewajibkan pemerintah untuk melakukan tindakan
tertentu untuk memenuhi HAM.
III. Kritik
Meninjau secara objektif, terdapat beberapa kekuatan dan kelemahan pada tiap
materi serta ‘packaging’ jurnal tersebut. Dari segi struktur, jurnal ini telah disusun
dengan sangat rapih dan penuh detil, mengingat jurnal ini diawali dengan definisi
konstitusi secara singkat yang diambil dari buku C.F. Strong. Hal ini merupakan salah
satu kekuatan daripada artikel ini karena tidak lazim untuk sebuah jurnal memberikan
pembahasan awal dengan memperhatikan detil-detil seperti halnya ini. 1 Pemberian
perhatian kepada detil-detil seperti ini memudahkan pembaca untuk mengetahui
lingkup bahasan konstitusi sebelum ‘mencerna’ isi materi. Setelah itu, penulis
menguraikan terlebih dahulu mengenai teori-teori perjanjian yang membahas tentang
prinsip dasar hak asasi sebagai natural rights dan inalienable rights.
Kemudian, hal ini menuntun arah pembahasan menuju isi hak asasi manusia.
Bagian ini memuat berbagai referensi sebagai perbandingan antara satu dan lainnya.
Sebagai contoh, 3 generasi hak asasi manusia yang merupakan keseluruhan hak asasi
manusia. Hal ini menjadi salah satu kekuatan daripada jurnal ini karena cakupan
materi yang menyeluruh dan luas disajikan dengan contoh-contoh yang beragam
pula. Hal ini berkaitan dengan cara penyampaian materi pembahasan secara utuh
yang tetap menjaga kerapihan jurnal.
Materi pembahasan yang dilakukan telah secara rapih dirancang agar tetap
terfokus pada satu materi pembahasan saja dan tidak bertele-tele. Khususnya pada
bagian “Tempat Hak Asasi dalam Konstitusi”. Pada bagian ini, materi pembahasan
memiliki kaitan yang sangat erat dengan hukum publik internasional. Hal ini dikemas
dengan sangat rapih hanya mencantumkan beberapa kasus dari pengadilan di negara
lain. Terdapat 2 kelebihan pada bagian ini:

1
Lihat Yuli Asmara Triputra, “Implementasi Nilai-Nilai Hak Asasi Manusia Global ke dalam Sistem
Hukum Indonesia yang Berlandaskan Pancasila”, JH Ius Quia Iustum Vol. 24 Issue 2, 2017; M. Syafi’ ie,
“Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga Perlindungan HAM di Indonesia dan Peran
Mahkamah Konstitusi”, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indoensia, 2012.
Pertama, lingkup bahasan yang luas dengan referensi yang beragam mampu
menyediakan materi pembahasan yang tidak terpaku pada satu perspektif, melainkan
memberikan pandangan yang luas terhadap materi bahasan dengan berbagai contoh
kasus. Kedua, dengan lingkup pembahasan yang luas tidak membuat ‘kemasan’ dan
pembahasan materi menjadi bertele-tele sehingga pembaca lebih mudah membaca isi
materi pembahasan. Hal ini perlu ditekankan kembali karena tidak mudah untuk
secara selektif membahas materi yang memiliki lingkup materi yang luas.
Sebaliknya, jurnal ini memiliki beberapa kesalahan yang minor. Pertama, pada
bagian ‘Tempat Hak Asasi dalam Konstitusi’ penulis terlalu panjang menjelaskan
mengenai pasal per pasal dalam konstitusi Afrika Selatan. Hal ini membuat pembaca
tidak tertarik pada bagian tersebut. Kemasan pada bagian tersebut juga bermain
peran dalam hal ini. Dengan membuat pembahasan pasal per pasal, hal ini membuat
isi dari materi tidak tersampaikan dengan baik.
Pemaparan mengenai hubungan konstitusi dan HAM merupakan salah satu
jurnal yang jarang ditemukan namun dibutuhkan. Hal ini menjadi salah satu
kelebihan dalam pengambilan topik pembahasan yang tepat.

IV. Konklusi
Secara keseluruhan, jurnal ini memiliki kelebihan, yakni dari segi detil yang
diberikan pada pendahuluan dan materi bahasan yang lengkap dan menyediakan
berbagai perspektif yang luas. Selain itu, kemasan dari jurnal ini sangat rapih dan
konsisten. Penulis juga menyampaikan materi bahasan tidak dengan bertele-tele.
Sebagai rekomendasi, alangkah lebih baiknya jika penulis membahas konstitusi
Afrika Selatan hanya pada bagian yang relevan, lalu mengambil referensi dari
konstitusi lainnya. Mungkin pula akan lebih menarik jika melakukan perbandingan
antara ICCPR dan ICESCR dengan konstitusi sebuah negara lainnya.

Anda mungkin juga menyukai