Anda di halaman 1dari 35

PERBANDINGAN HUKUM PERDATA

PROF. R. SUBEKTI, S.H.

BOOK REPORT

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata


Dosen Pengampu:
Dr. H. Dadang Sundawa, M.Pd
Susan Fitriasri, S.Pd., M.Pd
Dede Iswandi, M.Pd
Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H
Kanigara Hawari, S.H., M.H

Disusun oleh:

Rachma Dea Latifa


1805041

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2019
IDENTITAS BUKU

1. Judul Buku : Perbandingan Hukum Perdata


2. Jenis Buku : Non Fiksi
3. Penulis : Prof. R. Subekti, S.H.
4. Penerbit : Pradnya Paramita
5. Tahun terbit : 1983
6. Kota terbit : Jakarta
7. Tebal buku : 85 halaman
8. No. ISBN : 989-408-009-8

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
izin-Nyalah yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya, serta telah
memberikan ilmu dan wawasan, sehingga penulis dapat menyelesaikan book
report yang berjudul “Perbandingan Hukum Perdata” yang merupakan salah
satu tugas mata kuliah Hukum Perdata. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurah limpahkan kepada Nabi Muhamad Shalallahu ’alaihi Wassalam, kepada
keluarganya, para sahabatnya, serta mudah-mudahan sampai kepada kita selaku
umatnya.
Pada kesempatan kali ini, Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas
saran, bantuan dan bimbingan yang telah diberikan selama proses penulisan book
report ini. Khususnya penulis sampaikan terimakasih kepada:
1. Dr. H. Dadang Sundawa, M.Pd., Susan Fitriasari, M.Pd., Dede Iswandi,
M.Pd., Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H., dan Kanigara Hawari, S.H., M.H.
selaku dosen pembimbing mata kuliah Hukum Perdata.
2. Semua pihak yang turut membantu Penulis dalam penulisan book report ini
baik secara formil maupun materil.
Penulis mengharapkan semoga penulisan book report ini dapat bermanfaat
baik bagi penulis maupun bagi para pembaca.

Bandung, Agustus 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

IDENTITAS BUKU................................................................................................ i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I MAKSUD DAN TUJUAN MEMPELAJARI PERBANDINGAN
HUKUM...................................................................................................................1
BAB II CARA BERPIKIR, PANDANGAN HIDUP, DAN KARAKTER SUATU
BANGSA................................................................................................................. 3
BAB III PERKEMBANGAN DALAM CARA BERPIKIR...................................5
BAB IV REFLEKSI PANDANGAN HIDUP.........................................................7
BAB V MACAM-MACAM SISTEMATIK........................................................... 9
BAB VI TENTANG ORANG DAN BADAN HUKUM...................................... 12
BAB VII PERKAWINAN.....................................................................................15
BAB VIII STATUS ANAK.................................................................................. 18
BAB IX HUKUM WARIS.................................................................................... 20
BAB X TENTANG BARANG..............................................................................22
BAB XI SOAL PEMINDAHAN HAK MILIK.....................................................24
BAB XII HUKUM PERJANJIAJIAN/PERIKATAN...........................................28
LAMPIRAN..........................................................................................................31

iii
BAB I

MAKSUD DAN TUJUAN MEMPELAJARI PERBANDINGAN HUKUM

Hukum adalah sebagian dari kebudayaan suatu bangsa. Sudah menjadi


kenyataan bahwa setiap bangsa mempunyai kebudayaannya sendiri dan juga
mempunyai hukumnya sendiri, yang berbeda dari kebudayaan dan hukumnya
bangsa lain.

Dalam Burgerlijk Wetboek Belanda (yang lama), yang dalam hal ini adalah
sama dengan Burgerlijk Wetboek yang berlaku di Indonesia, bahwa tidak dikenal
pengangkatan anak atau adopsi, sedangkan Code Civil Perancis dan juga lain-lain
sistem hukum seperti hukum Anglo-Saxon, hukum Cina dan hukum adat bangsa
indonesia mengenalnya. Karena dalam pandangan orang Belanda anak itu harus
keturunan darah dan tidak mungkin keturunan itu disambung dengan mengangkat
anak.

Namun dalam Burgerlijk Wetboek Belanda yang baru (sejak 1956) terdapat
peraturan adopsi. Memang di Belanda sekarang dikenal adopsi, tetapi atas
pertimbangan lain, yaitu untuk memelihara anak-anak yang terlantar dan
bukannya untuk menyambung keturunan seperti yang dimaksudkan dengan adopsi
yang asli.

Suatu contoh lain dalam perkawinan menurut Burgerlijk Wetboek, jika tidak
diperjanjikan lain, semua kekayaan dari kedua belah pihak, suami dan isteri,
dicampur menjadi satu kekayaan bersama dan jika mereka kemudian bercerai,
kekayaan bersama itu dibagi dua masing-masing separuh. Sebaliknya dalam
perkawinan menurut hukum adat di Indonesia, masing-masing tetap memiliki
barang asalnya sedangkan yang dicampur hanya harta yang diperolehnya selama
perkawinan dari usaha bersama. Kalau dari perkawinan tidak dilahirkan anak,
maka si janda hampir selalu digugat oleh keluarga almarhum suaminya tentang
barang-barang asal suaminya. Perbedaan tersebut hanya dapat kita mengerti kalau
kita mengetahui tentang adanya perbedaan dalam alam pikiran dan pandangan
hidup antara orang Belanda (atau orang Barat pada umumnya) yang sudah sangat
individualistis dan liberal di satu pihak dan orang Indonesia (atau orang Timur

1
pada umumnya) yang mengutama kan kepentingan keluarga besar (clan) di lain
pihak. Dalam kehidupan orang Indonesia, kekuasaan keluarga besar (clan) itu
masih sangat kuat.

Dalam mempelajari perbandingan hukum, kita tidak semata mata ingin


mengetahui perbedaan-perbedaan itu, tetapi vang penting adalah untuk
mengetahui sebab-sebab adanya perbedaan perbedaan tersebut. Untuk itu kita
perlu mengetahui latar belakang dari peraturan-peraturan hukum yang kita jumpai.

Juga kita akan melihat adanya persamaan-persamaan mengenai berbagai hal


dalam sistem hukum mana saja, karena rasa hukum dan keadilan mengenai hal-hal
itu di mana-mana adalah sama. Misalnya, bahwa dalam hukum waris, kalau ada
anak dari si meninggal, anak ini menutup akhli-waris-akhli waris lainnya. Juga
misalnya, di mana-mana kita jumpai peraturan-peraturan yang melindungi
orang-orang yang beritikad baik.

Oleh karena peraturan hukum merupakan refleksi dari pada keadaan


masyarakat, maka pelajaran perbandingan hukum itu mempunyai banyak
persamaan dengan apa yang dinamakan sosiologi hukum.

2
BAB II

CARA BERPIKIR, PANDANGAN HIDUP DAN KARAKTER SUATU


BANGSA

Cara berpikir, pandangan hidup dan sifat (karakter) suatu bangsa tercermin
dalam kebudayaan dan hukumnya. Suatu contoh yang sangat tepat mengenai sifat
bangsa dapat kita lihat dalam ketentuan tentang "noodweer" atau "bela diri" dalam
K.U.H.P. (pasal 49) berasal dari Negeri Belanda, jika dibandingkan dengan
ketentuan yang sama dalam hukum pidana di Jerman, yang mencerminkan sifat
"burgerlijk" (menyukai pola kehidupan sederhana dan tenteram) dari rakyat
Belanda pada umumnya di satu pihak dan sifat militer atau keperwiraan rakyat
Jerman pada umumnya di lain pihak.

Pasal 49 K.U.H.P. menyatakan, bahwa seorang tak dapat dihukum, apabila ia


menjalankan suatu tindak pidana karena terpaksa untuk membela diri terhadap
suatu serangan yang secara langsung mengancam jiwanya. Ini berarti, bahwa
apabila orang yang diserang itu masih bisa lari untuk menghindarkan diri dari
serangan tersebut, maka undang-undang menghendaki supaya ia lari saja.
Berlainan sekali dengan pasal undang-undang hukum pidana Jerman, yang
membebaskan seseorang dari tuntutan hukum apabila ia membela diri terhadap
suatu serangan terpaksa atau tidak terpaksa.

Cara berpikir orang Barat digambarkan sebagai abstrak analitis, sistematis,


sedangkan cara berpikir orang Indonesia adalah kongkrit dan riil. Pandangan
hidup orang Barat seringkali digambarkan sebagai individualistis, liberal dan
materialistis, sedangkan bangsa kita lebih mengutamakan kepentingan keluarga
besar dan hidup dalam alam yang diliputi suasana magis-metaphysis.

Tidak saja dalam hukumnya, tetapi juga dalam bahasanya kita ketemukan
refleksi-refleksi dari cara berpikir abstrak di satu pihak dan cara berpikir kongkrit
di lain pihak. Bandingkan saja perkataan Belanda "dragen" atau "to carry" dalam
bahasa Inggeris untuk perbuatan "membawa" pada umumnya dengan bahasa Jawa
yang mengenal "memikul", "menggendong" "ngempit" dan lain sebagainya.

3
Perkataan verbintenis (perikatan) adalah abstrak sedangkan yang kongkrit
adalah: perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan sebagainya. Pengertian zaak
atau benda dalam hukum Barat juga sudah menjadi abstrak sehingga ada “benda
yang tak bertubuh” yang tidaklah lain daripada hak atau pihutang

Sesuai dengan cara berpikir tersebut adalah pengertian bahwa dalam hukum
adat jual-beli adalah suatu penyerahan barang secara nyata untuk selama-lamanya
dengan penerima- an harganya. Begitu pula penghibahan adalah suatu penyerahan
barang secara nyata dengan cuma-cuma. Lain sekali dengan pe ngertian BW
bahwa jual-beli sebagai perjanjian obligatoir baru memberikan hak kepada
pembeli untuk minta diserahkannya suatu barang dan begitu pula penghibahan
merupakan perjanjian obligatoir yang masih harus dituntut pelaksanaannya.

4
BAB III

PERKEMBANGAN DALAM CARA BERPIKIR

Dalam hukum Barat sendiri masih dapat kita trasir perkembangannya dari
cara berpikir kongkrit/riil/visuil/korporil ke arah cara berpikir abstrak. Lihat saja
perkembangan bezit yang mengandung suatu keadaan nyata (riil) yaitu adanya
orang yang "menduduki" (menguasai) suatu barang ke arah pengertian
"eigendom" (milik) yang sudah abstrak, di mana tidak diperlukan lagi kekuasaan
yang nyata-nyata di atas barang (corporeel element). Lihat juga perkembangan
dari gadai (pand) menurut B.W. yang memerlukan penarikan kekuasaan atas
barang dari tangannya debitur/pemberi gadai (pasal 1152 BW) ke arah "fiduciaire
eigendomsoverdracht" di mana tidak lagi diperlukan pemindahan kekuasaan itu.

Perkembangan tersebut juga dapat kita konstatir dalam pengertian levering


(penyerahan) yang kalau mengenai barang bergerak, harus nyata (riil), tetapi
kemudian mengenal penyerahan simbolis yaitu penyerahan kunci dari gudang di
mana barang-barang tersimpan, sampai pada penyerahan cognosement yang
memindahkan kekuasaan dan hak milik atas barang-barang yang sama sekali
belum dilihat oleh si pembeli.

Pemindahan hak milik dengan levering berdasarkan sistem causal yang


menjadi asas dari pada BW (pasal 584) dan berasal dari adagium kuno "nemo
plus" sudah mengalam perkembangan sekadar mengenai barang bergerak
sebagaimana diatur dalam pasal 1977 (1) di mana diutamakan perlindungan
kepada pihak ketiga yang jujur atau beritikad baik, sedangkan di Jerman dipakai
sistem abstrak yang sudah meninggalkan sama sekali prinsip "nemo plus" tersebut.
(Tentang artinya "sistem causal" dan "sistem abstrak" dalam soal pemindahan hak
milik, lihat Bab XI).

Pepatah dalam bahasa Romawi (Latin) yang selengkapnya berbunyi : "nemo


plus iuris transfere potest quam ipse haberet" yang artinya adalah : tiada seorang
pun dapat memindahkan hak yang lebih daripada yang ia punyai sendiri, bertujuan
melindungi si pemilik asli, sedangkan sistem abstrak di Jerman condong pada
melindungi si pembeli.

5
Segala sesuatu yang diuraikan di atas harus kita lihat se bagai perkembangan
hukum perdata ke arah kecepatan dan praktisitas yang dibutuhkan manusia
modern. Pemisahan antara hak-hak kebendaan (buku II) dan hak-hak
perseorangan (buku III) sudah menjadi cair dengan timbul nya kemungkinan
bahwa hak perseorangan (pihutang, penagihan) dapat dijual, yang mana juga
merupakan suatu perkembangan, yang menemukan kulminasinya dalam wesel dan
cognosement.

Dalam hukum perjanjian, adanya corporeel element "panjer” dalam hukum


adat di pedalaman, lambat laun sudah menjadi hilang dan cara berpikir dalam
pembentukan perjanjian juga kita bina ke arah konsensualisme di mana perkataan
sudah mengikat.

6
BAB IV

REFLEKSI PANDANGAN HIDUP

Perbedaan pandangan hidup antara Barat (individualistis/liberal) dan Timur


(kekeluargaan) menemukan refleksinya di berbagai bidang hukum perdata Hukum
harta-kawin menurut BW yang berasaskan "algehele gemeenschap" (persatuan
atau percampuran harta secara bulat) yang nampaknya sepintas lalu sangat ideal
bagi sepasang manusia yang telah berikrar sehidup semati, sama-sama kaya dan
sama-sama melarat, harus kita lihat sebagai suatu refleksi dari pandangan hidup
individualistis/liberal tersebut di mana anak yang sudah dewasa atau kawin sudah
harus lepas sama sekali dari keluarga atau famili, sedang hukum harta kawin
menurut hukum adat yang berasaskan perbedaan antara barang asal dan gono gini,
merupakan refleksi pula dari alam pikiran kekeluargaan di mana anak, meskipun
sudah kawin, tidak atau belum lepas dari pengawasan atau campur-tangan orang
tua/keluarganya.

Perkawinan dalam algehele gemeenschap van goederen menurut BW


masing-masing suami-isteri hak atas separuh gemeenschap. Ibarat biarpun baru
satu hari kawin, tanpa anak, apabila perkawinan dihapuskan, si miskin sudah
menjadi separuh jutawan, malahan kalau satu meninggal tanpa ada anak, seluruh
budel jatuh kepada pihak yang lainnya.

Sebaliknya dalam hukum adat, seorang janda yang tidak punya anak, sering
kali digugat oleh anggota keluarga dari pihak suaminya tentang barang asal dari si
suami. Soal barang asal ini baru hilang apabila dilahirkan anak dalam perkawinan.
Dalam hukum BW tidak pernah seorang janda yang kawin dalam algehele
gemeenschap (dan ini yang lajim) digugat oleh sanak-keluarga dari pihak
suaminya.

Ordonansi perkawinan orang Indonesia Kristen (Stbl 1933 Nomor 74) atau
terkenal dengan nama H.O.C.I. mengatur perkawinan formal atas dasar pola BW
(perkawinan perdata monogam, perceraian dengan gugatan di muka hakim), tetapi
hukum harta-kawinnya diatur menurut pola hukum adat, yaitu dengan menetapkan

7
masing-masing tetap memiliki barang asalnya, dengan kemungkinan mengadakan
perjanjian perkawinan (pasal 50).

Ini memang juga sudah tepat, karena tujuan H.O.C.I adalah mengadakan
perkawinan perdata monogam yang sesuai dengan pendapat kaum Nasrani, tetapi
ordonansi tersebut tidak dapat merubah hukum adat yang sudah meresap dalam
masyarakat dan dianggap adil biarpun di kalangan mereka yang beragama
Nasrani.

Civil Code of the Philippines dalam pengaturan harta kawin adalah seperti
H.O.C.I. tersebut, dengan menetapkan bahwa bilamana tidak ada perjanjian
perkawinan maka berlaku: "conjugal partnership" yang mirip dengan gono-gini
kita ataupun mirip dengan "gemeenschap van winst en verlies" yang dapat
diperjanjikan menurut B.W. Jadi kalau orang menghendaki "absolute community"
maka itu justru harus diperjanjikan, jadi sebaliknya daripada peraturan BW Yang
penting bagi kita ialah terdapatnya asas kekeluargaan seperti dalam hukum adat
orang Indonesia.

Juga Civil Code of Japan dalam section (bab) tentang "Statutory Marital
Property System" menganut asas perpisahan barang asal antara suami-isteri dan
pemikulan bersama-sama semua perbelanjaan rumah tangga.

Dalam Civil and Commercial Code Thailand mengenai har- ta-kawin berlaku
semacam algehele gemeenschap seperti dari BW, kecuali apabila diperjanjikan
perpisahan harta ke- kayaan. Persatuan harta-kawin yang dimaksudkan itu terdiri
atas harta bawaan (asal) dan apa yang kita namakan gono-gini.

8
BAB V

MACAM-MACAM SISTEMATIK

Sebagaimana diketahui Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk


Wetboek) terbagi atas empat buku, yaitu:

Buku I : Perihal orang (mengatur perihal orang sebagai subjek hukum, hukum
perkawinan dan hukum keluarga);

Buku II : Perihal benda (mengatur perihal barang sebagai obyek hak manusia,
hak-hak kebendaan dan hukum waris);

Buku II: Perihal perikatan (mengatur tentang hak dan kewajiban yang terbit
dari perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan peristiwa-peristiwa lain yang
menerbitkan hak dan kewajiban perseorangan);

Buku IV : Perihal pembuktian dan lewat waktu

Sistematik tersebut, yang didasarkan pada pembagian hukum kekayaan


(vermogensrecht) dalam hak-hak kebendaan (Buku II) dan hak-hak perseorangan
(Buku III), ternyata merupakan suatu ciri khas dari Kitab Undang-undang Hukum
Perdata kita dan Burgerlijk Wetboek Belanda, sebab Code Civil Perancis sendiri,
yang merupakan sumber dari Burgerlijk Wetboek Belanda, menganut suatu
sistematik lain, yaitu:

Buku I: Hukum perorangan (perkawinan, keluarga dan sebagainya);

Buku II : Tentang barang dan macam-macamnya kekayaan (des biens et des


differentes modifications de la propriété);

Buku III : Tentang berbagai cara untuk memperoleh kekayaan (des differentes
manieres dont on acquiert la propriéte), yaitu: pewarisan, perjanjian (termasuk
perjanjian perkawinan atau yang dalam bahasa Belanda dinamakan huwelijkse
voorwaarden), perbuatan melanggar hukum dan sebagainya, dan juga tentang
gadai dan hipotik dan akhirnya juga tentang pem. buktian (yang dinamakannya:
pembuktian tentang perikatan dan pembayarannya) dan daluwarsa.

9
Dengan demikian maka dalam Code Civil Perancis itu ada yang dalam ajaran
hukum Belanda dinamakan "hak kebendaan" dan "hak perseorangan"
bersama-sama diatur dalam satu buku, yaitu Buku III tersebut.

Dalam sistem hukum Belanda apa yang dinamakan hak kebendaan (zakelijk
recht) mempunyai ciri-ciri :

1. Memberikan kekuasaan langsung (tidak dengan perantaraan orang Iain)


atas suatu benda,

2. Berlaku (dapat dipertahankan) terhadap setiap orang,

3. Mempunyai sifat “melekat” (zaaksgevolg)

4. Yang lebih tua (dilahirkan lebih dahulu) lebih kuat dari yang dilahirkan
kemudian,

5. Biasanya ada registrasi (pendaftaran). Hak kebendaan adalah misalnya:


hak milik (eigendom), hak erfpacht, hak opstal, hak hipotik dan lain-lain.

Sebaliknya hak perseorangan (persoonlijk recht) adalah haknya satu oknum


terhadap seorang oknum lain, misalnya haknya si pembeli terhadap si penjual
barang, haknya seorang buruh terhadap si majikan, haknya seorang penyewa
terhadap si yang menyewa- kan barang, dan lain-lain.

Kalau hak-hak kebendaan itu dalam sistematik Kitab Undang-undang Hukum


Perdata (Burgerlijk Wetboek) diatur dalam Buku II, maka hak-hak perseorangan
menemukan pengaturannya dalam Buku III.

Bürgerliches Gesetzbuch Jerman (dari tahun 1896) terbagi atas:

Buku I: Bagian Umum, yang memuat ketentuan-ketentuan tentang orang,


tentang badan hukum, tentang pengertian ba-rang, tentang kecakapan melakukan
perbuatan-perbuatan hukum, tentang perwakilan dalam hukum, tentang daluwarsa
dan lain- lain;

Buku II: Tentang hukum mengenai hutang-piutang, yang memuat hukum


perjanjian (baik ketentuan-ketentuan umum mau pun perjanjian-perjanjian tertentu)

10
dan juga memuat ketentuan-ketentuan tentang perbuatan melanggar hukum
(Unerlaubte Handlungen);

Buku III : Hukum Benda, yang memuat ketentuan-ketentuan tentang hak


milik dan hak-hak kebendaan lainnya;

Buku IV: Hukum Keluarga, yang memuat ketentuan- ketentuan tentang


perkawinan (termasuk hukum harta-kawin, yang dalam Code Civil Perancis
digolongkan pada hukum perjanjian), tentang hubungan-hubungan kekeluargaan,
kekuasaan orangtua, perwalian dan sebagainya;

Buku V: Hukum Waris, yang mengatur soal pewarisan pada umumnya dan
perihal surat wasiat atau testament.

The Civi Code of Japan menganut suatu sistematik atau pembagian yang
sama seperti Burgerliches Gesetzbuch Jerman tersebut di atas, hanyalah apa yang
di Jerman merupakan Buku II (hukum tentang hutang-piutang) dijadikan Buku III
dengan judul Claims sedangkan apa yang di Jerman merupakan Buku III (hukum
benda) dijadikan Buku II dengan judul Real rights. The Civil Code of the
Philippines (dari tahun 1949), yang terdiri atas empat buku (Book I : Persons,
Book II Property, ownership, and its modifications, Book III : Different modes of
acquiring ownership. Book IV: Obligations and Contracts) seperti halnya dengan
Code Civil Perancis, menggolongkan mortgage, pledge dan antichresis pada
perjanjian.

Mortgage adalah semacam hipotik atau gadai tanah. Kalau berbagai hipotik
lazim dibebankan di atas satu persil, tidak demikian halnya dengan mortgage.
Pledge adalah gadai (pand menurut B.W.) sedangkan antichresis adalah semacam
oogst verband Dalam Code Civil Perancis hipotik ditempatkan dalam bagian
privileges dan di situ dikenal hipotik menurut ketentuan undang-undang.
Sebagaimana diketahui, BW hanya mengenal hipotik konvensional, yaitu hipotik
yang diperjanjikan.

11
BAB VI

TENTANG ORANG DAN BADAN HUKUM

Di mana saja orang adalah subyek hukum.atau pembawa hak, sejak ia


dilahirkan sampai ia mati. Tetapi apakah ia dibolehkan sendiri melakukan
hak-haknya adalah suatu persoalan lain. Ini mengenai soal kecakapan-hukum,
yaitu kecakapan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum (handelings
bekwaamheid, capacity to act, (Geschäftsfähigkeit). Dalam setiap sistem hukum,
kecakapan hukum tersebut diberikan pada saat tercapainya suatu usia tertentu
yang membuat orang menjadi dewasa, kebanyakan pada usia 21 tahun. Sebelum
itu si belum dewasa tidak dibolehkan bertindak sendiri melakukan perbuatan
hukum, tetapi adalah orang tua atau wali nya yang bertindak untuknya. Di Jerman
si belum dewasa boleh bertindak sendiri asal dengan persetujuan orang tua atau
walinya.

Juga wanita sering dibatasi dalam kebebasannya untuk bertindak sendiri,


yaitu tidak dibolehkan bertindak sendiri tanpa ijin atau bantuan dari suaminya,
seperti halnya dalam pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek). Tetapi sesudah Perang Dunia ke II pembatasan terhadap kebebasan
wanita tersebut di mana-mana telah dihapuskan, misalnya di Negeri Belanda dan
di Jerman sejak tahun 1956. Juga di Indonesia pasal 108 BW tersebut oleh
jurisprudensi telah dianggap tidak tertulis lagi. Perubahan tersebut didorong oleh
kemajuan wanita yang pesat (emansipasi), hingga Kitab-kitab Undang-ndang
(wetboeken, codes) yang kebanyakan dilahirkan lebih dari seratus tahun yang lalu
sudah tidak sesuai lagi. Dalam hukum adat orang Indonesia sudah sejak lama
kecakapan hukum seorang wanita sepenuhnya sama dengan kecakapan hukum
seorang pria, karena sudah sejak lama dikenal keadaan bahwa seorang wanita,
meskipun telah kawin, berdagang dan mencari nafkahnya sendiri. Juga
Undang-Undeng Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974) dalam pasal 31 (2)
mengatakan bahwa suami-isteri masing-masing berhak untuk melakukan
perbuatan hukum.

Dalam semua sistem hukum terdapat pengertian tentang badan hukum di


sampingnya orang manusia sebagai subyek hukum. Penciptaan badan hukum

12
(bahasa Belanda : rechtspersoon, bahasa Inggris: juristic person) tersebut
disebabkan oleh keinginan/kebutuhan untuk mengadakan badan-badan yang
mempunyai kekayaan sendiri dan dapat bergerak dalam lalu-lintas hukum.

Contoh badan hukum yang sejati dalam hukum kita ada lah perseroan yang
berbentuk P.T. (perseroan terbatas) karena PT. ini selainnya mempunyai kekayaan
sendiri, para peseronya tidak nampak ke luar dan tidak bertanggung-jawab atas
hutang- hutang PT. Perkataan "terbatas" memang ditujukan pada tanggung jawab
para pesero yang terbatas pada saham yang diambilnya dan tanggung-jawab badan
hukum yang terbatas pada modal perseroan. Perkataan "terbatas" tersebut
mempunyai maksud yang sama dengan perkataan Inggris "limited" dalam "limited
company" ataupun perkataan "beschrankt" dalam "Gesellschaft mit beschränkter
Haftung" (disingkat G.m.b.H. Haftung berarti tanggung-jawab).

“Maatschap" atau "vennootschap" menurut BW. (persekutuan) belum


merupakan badan hukum, hanya merupakan bentuk kerjasama intern antara
beberapa "sekutu" yang masing-masing melakukan aktivitas-aktivitas ke luar.
Terhadap dunia luar para sekutu bertanggung-jawab sendiri-sendiri dan
sepenuhnya untuk semua tindakan mereka. Perseroan firma yang dianggap
sebagai suatu bentuk khusus dari maatschap/vennootschap tersebut mula-mula
diragukan apakah ia merupakan badan hukum, karena meskipun ia mempunyai
kekayaan sendiri namun para peseronya masih juga dapat dipertanggungjawabkan
untuk hutang-hutang firma. Sekarang pada umumnya firma dianggap sebagai
badan hukum dan adanya para pesero dapat dipertanggungjawabkan dianggap
sebagai suatu tanggung-jawab cadangan (subsidiair).

Di Inggeris, perseroan yang merupakan badan hukum ada lah Limited


Company. Partnership adalah menyerupai maatschap (persekutuan) dalam BW
dan bukan badan hukum, Jika suatu perseroan memperoleh status sebagai badan
hukum, maka dikatakan bahwa perseroan tersebut sudah incorporated.

Dalam hukum adat juga sudah sejak lama dikenal badan hukum dalam bentuk
yayasan (bandingkan perkataan yayasan dengan perkataan Belanda stichting atau
perkataan Inggeris foundation yang semuanya adalah identik. Juga organisasi
"subak" di Bali yang terkenal itu dari dulu kala merupakan badan hukum.

13
Bentuk-bentuk kerjasama biasanya dibedakan dalam bentuk kerja-sama
dalam bidang sosial/kebudayaan (perkumpulan, bahasa Belanda: vereeniging,
bahasa Inggeris : association, bahasa Jerman : Verein) dan bentuk kerja-sama
untuk mencari keuntungan (persekutuan/perseroan/company, bahasa Jerman:
"Gesellschaft")

14
BAB VII

PERKAWINAN

Dalam sistem hukum yang terbanyak, apa yang dinamakan perkawinan


adalah perkawinan perdata, dalam arti bahwa syarat-syarat untuk sahnya suatu
perkawinan ditetapkan oleh hukum perdata dan bukan oleh agama yang
bersangkutan.

Setelah diterimanya Undang-Undang Perkawinan tahun 1974, maka bagi


orang-orang yang tunduk pada Kitab Undang- undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) dan Ordonansi Perkawinan Orang Indonesia Kristen (Staatsblad 1933
No. 74) tetaplah berlaku asas keperdataan dan monogami seperti yang terkandung
dalam pasal 26 dan 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

BW menganut asas monogami secara mutlak, sedangkan Undang-Undang


Perkawinan (Undang-Undang No.1 Tahun 1974) masih mengijinkan
penyimpangan dengan pemberian dispensasi (oleh Pengadilan Agama).

Dalam perkawinan perdata juga cara-cara berakhirnya suatu perkawinan


ditetapkan oleh hukum perdata. Yang dinamakan perceraian lazimnya diperoleh
dengan suatu gugatan berdasarkan alasan-alasan yang sah yang ditetapkan oleh
hukum perdata pula, melalui suatu proses di muka Pengadilan.

Dalam hampir semua sistem hukum terdapat penetapan usia minimum untuk
dapat mengikatkan diri dalam perkawinan, yang didasarkan pada kematangan
physik (maturity) manusia untuk melakukan hubungan kelamin. Usia ini adalah di
sekitar 15 tahun bagi pihak wanita dan sekitar 18 tahun bagi pihak pria.

Sistem hukum yang terbanyak melarang perceraian dengan persetujuan


(dalam BW pasal 208). Larangan ini didasarkan pada gagasan bahwa perkawinan
bukan suatu perikatan biasa, tetapi suatu perikatan suci yang dimaksudkan untuk
selama-lamanya.

Code Civil Perancis membolehkan perceraian atas persetujuan asal suami


sudah mencapai usia 25 tahun, si isteri 21 tahun, dan mereka sudah paling sedikit
dua tahun dalam perkawinan Code Civil Belgia membolehkan perceraian atas

15
persetujuan, asal suami-isteri kedua-duanya sudah berusia lebih dari 23 tahun dan
mereka paling sedikit dua tahun dalam perkawinan. Code Civil Jepang
membolehkannya tanpa sesuatu syarat. Hukum Perdata Republik Rakyat Cina
juga membolehkan perceraian atas persetujuan kedua belah pihak.

BW mengenal empat alasan untuk perceraian, yaitu perzinahan, ditinggalkan


dengan itikad yang tidak baik, penganiayaan berat dan penghukuman lebih dari
lima tahun (pasal 209). Jurisprudensi telah menambahkan satu alasan lagi, yaitu:
"ketegangan yang tidak dapat diperbaiki lagi", suatu alasan yang diambil dari
Ordonansi Perkawinan Orang Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 No. 74).

Dalam pada itu Undang-undang Perkawinan kita telah menyebutkan alasan


tersebut sebagai salah satu alasan yang sah untuk perceraian. Code Civil Belgia
memboleh kan sang isteri menuntut perceraian atas dasar perzinahan yang
dilakukan oleh suaminya, asal perzinahan itu dilakukan di rumah kediaman
bersama merek.

Banyak sistem hukum mengenal suatu perpisahan meja dan tempat tidur,
yaitu membebaskan suami-isteri dari kewajiban tinggal bersama dan
harta-bersama dipisahkan pula, tetapi perkawinan tetap berlangsung (BW :
scheiding van tafel en bed, Code Civil Perancis: séparation de corps). Kalau dulu
hampir di mana-mana di benua Eropa si isteri selama dalam perkawinan
dinyatakan tidak cakap untuk bertindak sendiri dalam hukum dan harta-benda,
baik yang berupa harta bersama maupun yang berupa kekayaan sendiri, diurus
oleh suami

Baik menurut BW maupun menurut Undang-Undang Perkawinan, calon


suami-isteri dibolehkan membuat perjanjian perkawinan untuk mengatur harta
kekayaan mereka. Yang artinya mengadakan perjanjian perkawinan ini adalah
selalu untuk menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan oleh Undang-Undang.

Dalam BW diberikan dua contoh perjanjian perkawinan yang dapat diadakan


untuk mengatur soal harta kawin, yaitu: perjanjian persatuan untung-rugi
(gemeenschap van winst en verlies) dan perjanjian persatuan hasil/pendapatan
(gemeen schap van vruchten en inkomsten). Menurut yang pertama, harta asal

16
masing-masing terpisah, segala pendapatan atau pemberian dari pihak ketiga
selama perkawinan dicampur sedangkan pengeluaran untuk rumah tangga
ditanggung bersama. Pada hakekatnya dalam perjanjian semacam itu, yang terjadi
adalah suatu keadaan yang mirip dengan keadaan menurut hukum adat kita.

17
BAB VIII

STATUS ANAK

BW mengenal: anak sah, yaitu anak yang lahir dalam perkawinan yang sah;
anak luar kawin yang diakui dan anak yang disahkan. Pengakuan merupakan
perbuatan untuk meletakkan hubungan hukum antara anak dan orangtua yang
mengakuinya. Pengesahan hanya terjadi dengan perkawinan orang tuanya, yang
telah mengakuinya lebih dahulu atau mengakuinya pada saat perkawinan
dilangsungkan. Adopsi tidak dikenal oleh B.W meskipun Code Civil Perancis
yang merupakan sumber dari B.W mengenalnya. Ini disebabkan karena menurut
pendapat rakyat Belanda anak harus keturunan darah.

Suatu peringatan, bahwa dalam lembaga "pengakuan" termasuk pula gagasan


bahwa yang diakui itu anaknya sendiri. Perkataan "natuurlijk kind" berarti anak
alam yaitu anaknya sendiri.

BW Belanda yang baru (sejak tahun 1956) sudah mengenal adopsi. Yang
menjadi pertimbangan untuk me-masukkan adopsi ini adalah terutama keinginan
yang dirasakan di kalangan rakyat untuk memberikan pemeliharaan kepada
anak-anak yang tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya kurang mampu.
Pada adopsi yang asli pertimbangannya adalah untuk men-dapatkan anak lelaki
yang dapat meneruskan keturunan.

Adapun yang dibolehkan mengadoptir anak hanyalah sepasang suami-isteri


yang tidak mempunyai anak sendiri dan sudah lebih dari lima tahun dalam
perkawinan. Tidak diperbolehkan mengadoptir anaknya sendiri yang lahir di luar
perkawinan (natuurlijk kind). Anak luar kawin ini dapat diakui dan disahkan
menurut ketentuan-ketentuan Undang-Undang yang sudah ada (er kenning dan
wettiging). Adopsi harus dilakukan di muka hakim dan berakibat bahwa
hubungan-hubungan hukum antara anak dengan keluarganya yang lama menjadi
putus.

Menurut hukum adat, pada umumnya, dengan diangkatnya seorang anak,


hubungan hukum dengan keluarganya yang lama tidak terputus, kecuali a.l
menurut hukum adat di Bali (pengangkatan "sentana"). Dalam hubungan ini

18
diperingatkan bahwa pasal 284 (3) BW yang menentukan bahwa dengan
diakuinya anak luar kawin yang lahir dari ibunya yang termasuk golongan
Indonesia, hubungan dengan keluarga dari ibunya ini terputus, sudah lama
dianggap tak tertulis.

"Pengakuan" dalam BW dianggap sebagai perletakan hu bungan hukum


antara yang mengakui dan yang diakui. Kalau dalam BW Belanda yang lama
(begitu pula dalam BW Indonesia) seorang ibu juga diharuskan mengakui
anaknya untuk meletakkan hubungan hukum antara dia dan anaknya, sekarang
dalam BW Belanda yang baru anak itu ipso iure (demi hukum) menjadilah ia
anaknya ibunya.

Dari berbagai sistem hukum yang kita kenal, lebih banyak yang mengenal
lembaga adopsi (pengangkatan anak) daripada yang tidak mengenalnya. Yang
mengenal adopsi: Code Civil Perancis, Bürgerliches Gezetzbuch Jerman, Hukum
Anglo Saxon, Hukum Perdata Cina, Civil Code of Japan, Civil and Commercial
Code of Thailand, Civil Code of the Philippines, Hukum Adat Indonesia

Meskipun dalam berbagai sistem hukum lainnya tidak diada-kan pembatasan


umur dari anak yang diangkat (Ordonansi tahun 1917-129 untuk golongan Cina
hanya menetapkan perbedaan umur antara anak yang diangkat dan orang tua yang
mengangkat, Code Civil Perancis dan Zivil Gezetzbuch Jerman hanya
menetapkan minimum umur bagi yang mengangkat dan perbedaan umur antara
yang mengangkat dan yang diangkat), namun dalam hukum adat kita adalah jelas
bahwa mengangkat anak dimaksudkan untuk menjadikan anak yang diangkat itu
anaknya sendiri. Oleh karena itu dalam hukum adat Indonesia pengangkatan anak
tersebut hanya bisa dilakukan terhadap anak pada usia di mana ia tidak akan ingat
bahwa ia diangkat (tiga tahun ke bawah). Sebagaimana diketahui, Hukum Islam
tidak mengenal adopsi.

Meskipun dalam peraturan tentang pengangkatan anak (adopsi) bagi


golongan Cina tersebut di atas (Staatsblad tahun 1917 No. 129) disebutkan bahwa
hanya anak laki-laki yang boleh diangkat, tetapi sekarang oleh jurisprudensi sudah
dibolehkan juga pengangkatan anak perempuan.

19
BAB IX

HUKUM WARIS

Dalam rangka perbandingan cara berpikir, abstrak di satu pihak dan kongkrit
di lain pihak, dapat dikemukakan bahwa juga mengenai persoalan tentang apa
yang diwarisi, terdapat perbedaan pengertian, yaitu dalam alam pikiran orang
Barat yang diwarisi adalah vermogen (kekayaan yang terdiri atas aktiva dan
posiva) sedangkan menurut pengertian orang Indonesia yang diwarisi adalah suatu
budel yang berarti suatu saldo. Dalam alam pikiran yang terakhir mewarisi suatu
minus adalah tidak mungkin.

Dalam BW terdapat suatu cara mewaris tanpa memikul risiko membayar


hutang-hutang yang melebihi activa, yaitu yang dinamakan mewaris secara
benificiair, yang memerlukan prosedur tertentu. Sudah merupakan suatu universal
prinsipal bahwa anak/ keturunan menutup lain-lain ahli waris. Hampir semua
sistem hukum janda/duda menjadi akhli waris dengan kedudukan yang sama
dengan anak. Dalam sistem BW dan Civil Code of the Philippines, kalau tidak ada
anak/keturunan, janda bisa menjadi waris tunggal, artinya mewaris semua harta
peninggalan.

Dalam Civil and Commercial Code of Thailand, bila tidak terdapat


anak/keturunan, si janda mewarisi separuh dari harta peninggalan. Dalam BW si
janda tidak dijamin dengan legitieme portie, di Pilipina ia dijamin dengan bagian
mutlak itu, sehingga ia termasuk golongan "compulsory heirs".

Dalam hukum adat yang dibina oleh Jurisprudensi, dapat dilihat juga suatu
tendensi untuk menjadikan janda ahli waris dari suaminya, bersama-sama dengan
anak. Juga dengan menyempitkan pengertian barang asal/pusaka hingga hanya
meliputi barang pusaka tinggi saja, dapat dilindungi janda terhadap
gugatan-gugatan dari pihak keluarga suami bila tidak ada anak dari perkawinan
dengan almarhum suaminya.

Representasi atau penggantian (dari seorang ahli waris yang meninggal lebih
dahulu dari si pewaris, oleh anak/keturunannya) terdapat hampir di mana-mana.
Dalam hukum Anglo Saxon ini dinamakan "subtitution of heir".

20
Hukum adat juga mengenalnya, tetapi Hukum Islam tidak mengenalnya,
berdasarkan pertimbangan bahwa yang dinamakan waris adalah orang yang ada
(hidup) pada saat meninggalnya si pewaris Peraturan tentang Legitieme portie
atau bagian mutlak harus dilihat sebagai suatu cara untuk melindungi ahli waris
ahli waris tertentu terhadap kesewenang-wenangan si pewaris atau suatu cara
untuk membatasi kebebasan si pewaris untuk berbuat semaunya.

Peraturan-peraturan dengan maksud yang sama terdapat hampir di semua


sistem hukum, biasanya untuk melindungi para waris dalam garis lencang. Dalam
BW si isteri bukan legitimaris (orang yang berhak atas suatu bagian mutlak),
tetapi dalam Code Civil Philipina ia sudah merupakan ahli waris yang dijamin
dengan bagian mutlak (compulsory heir). Dalam pada itu diterangkan bahwa
Code Civil Perancis memakai istilah "portion de biens disponible" yang berarti:
bagian harta yang secara bebas dapat diberi-berikan. Dalam pembicaraan sehari-
hari orang Belanda juga memakai istilah: beschikbare deel meskipun
undang-undang sendiri tidak pernah memakai istilah ini.

Dalam hubungan ini harus kita lihat larangan dalam hukum Islam untuk
menghibahkan/menghibah wasiyatkan lebih dari sepertiga bagian dari
harta-peninggalan kepada orang bukan waris. Hanyalah ini merupakan suatu
perlindungan terhadap semua ahli waris, sedangkan peraturan legitieme portie
memberikan perlindungan secara individual, yang pelaksanaannya juga
diserahkan kepada masing-masing ahli waris yang berkepentingan.

Dalam hukum adat tidak terdapat perlindungan semacam itu secara tegas,
hanyalah dikenal suatu larangan untuk mencabut seluruhnya hak waris seorang
anak. Hal yang demikian sudah barangtentu tidak diperkenankan baik dalam
hukum adat orang Indonesia maupun dalam hukum Islam.

Dalam sistem BW seorang legataris (yaitu orang yang me nerima suatu legaat)
adalah penagih terhadap para ahli waris (atau dikatakan: terhadap budel). Menjual
hak waris yang diperbolehkan oleh BW dan umumnya oleh hukum di Eropa,
merupakan suatu contoh dari sifat materialistis yang telah kita kemukakan. Begitu
pula hak untuk menuntut pembagian warisan “at any time” seperti ditegaskan
dalam pasal 1066 B.W.

21
BAB X

TENTANG BARANG

Dengan barang dimaksudkan segala sesuatu yang dapat menjadi objek


sesuatu hak. Dalam hampir setiap sistem hukum diadakan perbedaan antara
barang yang bergerak (roerende goederen, movables) dan barang yang tidak
bergerak atau barang tetap (onroerende goederen, immovable/real property).
Perbedaan ini membawa perbedaan dalam hal cara-cara untuk memperoleh, dalam
hal cara-cara penyerahan (pemindahan) dan juga dalam hal jaminan- jaminan
yang dapat diberikan untuk perutangan.

Misalnya, dalam BW barang tetap (tanah) dipindahkan hak miliknya dengan


balik nama dikadaster, sedangkan barang bergerak cukup dengan penyerahan
kekuasaan belaka atas barangnya. Barang tetap dapat diberikan dalam hipotik atau
mortgage barang bergerak dapat diberikan dalam gadai (pand) atau pledge. Dalam
hukum Anglo-Saxon ada juga mortgage untuk barang ber gerak, yang dinamakan
“chattel-mortgage” yang adalah mirip dengan apa yang kita kenal di sini dengan
“fiduciaire eigendomsoverdracht”. Namun, chattel-mortgage tersebut harus
didaftarkan. Bila pendaftaran ini tidak dilakukan, dan barangnya diserahkan, maka
yang terjadi adalah pledge.

Dalam hukum adat diadakan perbedaan antara tanah (termasuk air) dan
barang-barang lainnya, sedangkan ternak ada kalanya memerlukan perlakuan
khusus.

Sebagaimana diketahui, BW dalam hal tanah menganut apa yang dinamakan


asas vertikal, sedangkan Hukum Adat menganut asas horizontal. Menurut asas
vertikal maka hak milik atas sebidang tanah meliputi benda-benda yang berada di
atasnya (bangunan). Oleh karena itu asas vertikal itu juga dinamakan asas
absorpsi (menyedot segala yang berada di atasnya). Menurut asas horizontal hak
milik atas sebidang tanah tidak meliputi bangunan yang ada di atasnya.

Dalam hukum nasional yang akan datang, sudah disepakati oleh para sarjana
hukum kita, untuk menganut asas tetapi dengan memungkinkan
pengecualian-pengecualian.

22
Dalam sistem hukum yang terbanyak kita jumpai peraturan perihal bezit
(possession) yang dilawankan terhadap eigen dom (ownership). Pada umumnya
lembaga bezit tersebut diperlukan demi untuk ketertiban guna mencegah
masyarakat main hakim sendiri. Ini yang dinamakan fungsi polisionil dari bezit
atau yang dikatakan juga possession gives the right to protection.

Dalam hukum adat perbedaan antara bezit dan eigendom seperti tersebut di
atas, boleh dikatakan tidak ada horizontal, perbedaan antara hipotik dan gadai
tanah menurut hukum adat, memberikan kesimpulan tentang adanya perbedaan
mengenai sifat dan peranan masing-masing dalam lalu-lintas hukum yaitu, kalau
hipotik dimaksudkan sebagai suatu perjanjian acces soir, sebaliknya gadai tanah
menurut hukum adat merupakan suatu perjanjian yang berdiri sendiri (zelfstandige
overeenkomst).

Dalam gagasan orang Indonesia, gadai tanah adalah suatu transaksi tanah dan
bukannya jaminan untuk suatu transaksi uang Dalam pada itu dapat dikonstatir
adanya suatu kecenderungan untuk membuat suatu perjanjian jual-beli dengan hak
membeli kembali di muka notaris, padahal yang dimaksudkan adalah gadai tanah
menurut hukum adat.

Dapat diterangkan bahwa oleh Pengadilan perjanjian tersebut sudah mulai


dianggap sebagai perkembangan dalam gadai tanah menurıt hukum adat. Memang
menurut kenyataannya, larangan untuk memperjanjikan bahwa barang jaminan
akan menjadi miliknya si berpiutang (kreditor), terdapat di mana-mana, artinya
dalam banyak sistem hukum yang kita kenal.

23
BAB XI

SOAL PEMINDAHAN HAK MILIK

Dalam sistem Code Civil Perancis, hak milik atas suatu ba rang berpindah
pada saat perjanjiannya jual-beli ditutup, sehingga yang dinamakan “penyerahan”
di situ adalah penyerahan barang (yang telah berpindah hak miliknya) dalam
kekuasaan yang nyata dari si pembeli (feitelijke levering).

Sebaliknya dalam sistem BW, di mana perjanjian jual-beli itu hanya bersifat
obligatoir (belum memindah kan hak milik) saja, penyerahan itu adalah perbuatan
hukum yang memindahkan hak milik itu. Selanjutnya, mengenai pemindahan
milik ini BW menganut yang dinamakan sistem causal yang artinya levering
(pemindahan milik secara juridis) adalah sah apabila ia berdasarkan suatu titel
yang sah dan dilakukan oleh orang yang berhak memindahkan milik (pada
umumnya si pemilik sendiri). Dianutnya sistem causal ini oleh BW disimpulkan
dari kata-kata pasal 584. Yang dimaksudkan dengan titel adalah perjanjian
obligatoirnya, yaitu jual-belinya, tukar menukarnya, hibahnya, dan sebagainya.
Dengan demikian maka apabila perjanjian obligatoirnya ini batal atau dibatalkan,
atau apabila orang yang menyerahkan barangnya tidak berhak
memindahtangankan barang tersebut, maka pemindahan hak milik menjadi batal

Sebagaimana diketahui, mengenai barang bergerak diadakan penyimpangan


dari sistem causal tersebut, dengan mengadakan ketentuan (pasal 1977 ayat I)
bahwa "bezit berlaku sebagai suatu titel yang sempurna" (dianggap sebagai milik).

Lawan dari sistem causal adalah sistem abstrak yang dianut di Jerman. Dalam
sistem ini suatu pemindahan hak milik tidak akan dipengaruhi oleh pembatalan
perjanjian jual-belinya di kemudian hari. Perbedaan ini dapat kita mengerti karena
penyerahan barang tak bergerak menurut BW dilakukan di muka Pegawai Balik
Nama (Kadaster), yang bersikap passif, sedangkan di Jerman penyerahan
dilakukan di muka Hakim, yang secara aktif memeriksa titelnya yang menjadi
dasar dari pada penyerahan itu.

Sepanjang diketahui, peraturan mengenai barang bergerak, yang termaktub


dalam pasal 1977 (I) BW tersebut di atas, juga berasal dari Jerman. Peraturan

24
seperti itu dilahirkan dari kebutuhan untuk melancarkan lalu-lintas perdagangan.
Memang sungguh akan memperlambat lalu-lintas perdagangan itu, apabila pada
tiap-tiap transaksi di toko atau di pasar si pembeli harus meneliti dahulu apakah
betul si penjual adalah pemilik dari barang yang dijualnya. Mengingat asal
terjadinya peraturan, tepatlah ajaran Paul Scholten tentang penghalusan hukum
(rechtsverfijning) terhadap peraturan tersebut, yaitu supaya berlakunya pasal
tersebut dibatasi pada perbuatan perdagangan (jual-beli, barter) dan tidak
diterapkan dalam misalnya suatu penghibahan. Kalau si A menghibahkan barang
yang bukan miliknya kepada si B, maka biarpun si B ini beritikad baik (percaya
penuh bahwa barang adalah miliknya si A sendiri), ia tidak diperlindungi.

Sebagaimana diketahui dalam Hukum Adat dijunjung tinggi asas


perlindungan si pembeli yang beritikad baik (jujur), tanpa mengadakan perbedaan
apakah itu mengenai barang tetap atau barang bergerak. Berhubung dengan
adanya perbedaan mengenai saat berpindahnya hak milik antara sistem Code Civil
Perancis dan sistem BW. sebagaimana kita lihat di atas, sedangkan sebagian besar
pasal-pasal dari BW adalah kutipan dari Code Civil, maka dalam Bab tentang
jual-beli dari BW terdapat pasal-pasal yang tidak cocok dengan sistem bahwa
jual-beli itu hanya obligatoir saja. Pasal-pasal yang dimaksudkan adalah pasal
1460 dan pasal 1471.

Pasal 1460 yang meletakkan risiko pada pundaknya pembeli sejak saat ditutu
pnya perjanjian jual-beli, tidak cocok dengan sistem di mana jual-beli itu belum
memindahkan hak milik seperti yang dianut oleh BW. Dalam surat edaran
Mahkamah Agung No. 1 tahun 1963 pasal ini termasuk pasal-pasal BW yang di
nyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 1471 yang menyatakan: “jual-beli barang orang lain adalah batal” juga
tidak cocok dengan sistem bahwa jual-beli hanya obligatoir saja. Adalah jelas
bahwa dalam sistem BW diperbolehkan kalau orang menjual barang yang sudah
dibelinya tetapi belum dilever kepadanya, kepada orang lain lagi. Untuk
mengatasi kesulitan ini, pernah oleh Hoge Raad Negeri Belanda ditafsirkan bahwa
perkataan “batal” dalam pasal 1471 tersebut hendaknya dibaca “dapat dimintakan
pembatalannya” (ver nietigbaar). Kalau seorang membeli barang yang belum ada

25
di tangannya si penjual, maka perjanjian dapat dimintakan pembatalannya, asal
pembeli pada saat ditutupnya perjanjian betul-betul tidak tahu bahwa barang itu
belum berada di tangannya penjual (dan karenanya, menurut sistem BW, belum
menjadi milik si penjual).

Kesamaan atau titik pertemuan antara BW dan hukum adat sudah ada sekedar
mengenai asas perlindungan si pembeli yang beritikad baik, yang berlaku dalam
kedua-duanya; dalam BW terhadap barang bergerak (pasal 1977), dalam hukum
adat terhadap semua macam barang.

Kalau mengenai tanah, di masa yang lampau, diadakan peraturan-peraturan


antar-tatahukum (intergentil) yang menunjuk kan banyaknya perbedaan yang bisa
menimbulkan perselisihan, namun kita tidak pernah mendengar tentang adanya
perselisihan (konflik) antara kedua sistem hukum tersebut sekedar mengenai
barang yang bergerak. Menurut pendapat kami itu disebabkan karena pensyaratan
tentang penyerahan kekuasaan (bezit) yang diadakan oleh BW untuk peralihan
hak milik, secara kebetulan adalah sesuai dengan sifat tunai jual-beli menurut
hukum adat. Kalau barangnya sudah diserahkan secara fisik, maka dalam
kedua-duanya sistem hak milik berpindah. Namun bagaimanakah kalau harga
sudah dibayar oleh pembeli tetapi barangnya belum diserahkan? Menurut BW
teranglah bahwa hak milik belum berpindah. Apakah itu juga demikian menurut
hukum adat dan rasa hukum orang Indonesia? Apakah itu sesuai dengan sifat
tunai jual-beli menurut hukum adat? Di sinilah terasa adanya dualisme yang kami
maksudkan. Dalam hal pembeli sudah membayar itu, kalau barangnya adalah
yang tersedia dan tertentu (yang dalam bahasa Inggeris dimaksudkan dengan:
specific and in a deliverable state), maka rasa hukum orang Indonesia
menghendaki bahwa hak milik atas barang berpindah kepada pembeli yang sudah
melakukan perbuatan tunai membayar itu.

Perbedaan yang bisa menimbulkan konflik tersebut kiranya dapat dikurangi


dengan jalan mengkonstruksikan bahwa individualisasi plus pembayaran adalah
cukup untuk memindahkan hak milik. Sesuai dengan pola Inggeris yang luwes itu,
dapat didalihkan bahwa individualisasi plus pembayaran meru pakan petunjuk

26
bagi penentuan kemauan kedua belah pihak bahwa pemindahan hak milik mereka
kehendaki berlaku pada saat dilakukan pembayaran.

Dalam pengetrapan hukum BW sebaiknya para Hakim kita memberikan


interpretasi yang luwes dalam mengkonstruksikan terjadinya penyerahan
kekuasaan (bezit) yang diperlukan (disyaratkan) untuk memindahkan hak milik.

Penyelesaian yang mujarab dan integral adalah tentunya: pembentukan


Undang-Undang hukum perjanjian (nasional).

27
BAB XII

HUKUM PERJANJIAN/PERIKATAN

Dalam sistematik BW hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum


perikatan yang diatur dalam Buku III (Verbintenis senrecht). Hal yang sama
terdapat dalam Bürgerliches Gesetzbuch Jerman di mana Buku II memakai judul
Recht der Schuldver haltnisso (hukum tentang perutangan) sedangkan orang
Jerman juga berbicara tentang Obligation en recht.

Civil Code Jepang memakai judul Claims (pihutang/penagihan) untuk buku


III-nya sedangkan buku II-nya berjudul Real rights (hak-hak atas benda)

Dalam hukum Anglo Saxon yang tidak dikodifikasikan adalah lajim orang
berbicara tentang law of contracts dalam arti hukum perjanjian sedangkan di
samping itu ada law of torts dalam arti yang sama seperti hukum kita yang
mengatur tentang perbuatan melanggar hukum. Torts yaitu perbuatan perbuatan
melanggar hukum juga dinamakan unlawful acts.

Code Civil Perancis (yang menjadi sumber utama dari BW Belanda) untuk
Buku III-nya yang isinya sama dengan Buku III BW kita ditambah dengan
ketentuan-ketentuan tentang gadai dan hipotik, memakai judul: Tentang berbagai
cara untuk memperoleh kekayaan dan di dalam Buku III tersebut memuat suatu
bab tentang perikatan-perikatan yang terjadi tanpa persetujuan, yang diperinci
dalam: quasi contrats dan delits et quasi délits. Dengan quasi delits dimaksudkan
perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.

Bürgerliches Gesetzbuch Jerman dalam Buku II-nya yang berjudul tentang


Recht der Schuldverhältnisse sebagaimana disebutkan di atas memuat suatu bab
tentang Ungerechtfer tigte Vereichung (memperkaya diri secara tidak halal) dan
suatu bab lagi tentang Unerlau bte Handlungen (perbuatan- perbuatan yang tidak
diperbolehk an). Kedua-duanya ini sama dengan apa yang dalam BW Indonesia
namakan onrechtmatige daad yaitu perbuatan melanggar hukum.

Civil Code Jepang sebagai disebutkan di atas dalam Buku III-nya yang
berjudul Claims memuat suatu bab tentang Unjust enrichtment yang mencakup
pengertian perbuatan melanggar hukum pada umumnya.

28
Civil Code Philipina dalam Buku IV-nya memakai judul: Obligations and
Contracts dan mengadakan suatu bab tentang Extra contractual obligations yang
terdiri atas quasi contracts dan quasi delicts.

Perkataan contract dalam bahasa Inggris (bahasa Perancis: contrat, bahasa


Jerman: Vertrag) ditujukan kepada semua perjanjian yang pelaksanaannya
dijamin oleh hukum atau lebih tepat lagi: yang pelaksanaannya dapat dituntut di
muka hakim (Pengadilan). Dengan demikian maka perkataan contract adalah
lebih sempit dari perkataan agreement karena pengertian agreement juga meliputi
persetujuan-persetujuan yang tidak dapat dituntut di muka hakim.

Asas konsensualisme dalam hukum perjanjian, yaitu asas bahwa perjanjian


sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat (konsensus), adalah suatu
asas universal.

Begitu pula syarat-syarat untuk sahnya perjanjian sebagaimana ditetapkan


dalam pasal 1320 BW (sepakat, kecakapan hal tertentu dan causa yang halal)
terdapat di semua sistem hukum yang terkenal.

Law of Contracts di Amerika Serikat membagi perjanjian dalam informal


contracts (yaitu yang lajim) dan formal contracts yang memerlukan bentuk cara
tertentu. Formal contracts ini dibagi lagi dalam: contracts under seal (dapat
disamakan dengan akte otentik kita), recognizances yaitu acknowledgments atau
pengakuan instruments.

Tentang akibat-akibat tidak dipenuhinya syarat-syarat sahnya perjanjian


sebagaimana diutarakan di atas, kita jumpai peraturan-peraturan yang boleh
dikatakan di semua sistem hukum sama.

Dalam semua sistem hukum apabila isi perjanjian bertentangan dengan


Undang-Undang, ketertiban umum (public policy) atau kesusilaan (moral) maka
sanksinya adalah bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum (nietig, van
rechstswege nietig, void atau lebih tegas: null and void), Apabila cacadnya
terletak dalam hal kecakapan salah satu pihak atau dalam hal sepakat (consent)
maka perjanjiannya tidak batal demi hukum tetapi hanyalah dapat dimintakan
pembatalannya (vernietigbaar, voidable)

29
Cacad dalam sepakat (consent) dapat disebabkan oleh mistake atau error
(kekhilafan), fraud (penipuan), atau coercion (paksaan).

Pemberitahuan fakta-fakta atau keadaan yang berlainan dari yang sebenarnya,


menimbulkan apa yang dinamakan misrepresentation yang juga merupakan alasan
untuk meminta pembatalan perjanjiannya.

Semua sistem hukum mengenal kemungkinan memindahkan atau


melimpahkan pihutang/penagihan kepada orang lain (bahasa Belanda: overdracht
van schuldvorderingen, bahasa Inggeris: assignment of claims).

Dalam hukum adat suatu pihutang pada asasnya tidak dapat dipindahkan
kepada orang lain karena hutang-pihutang itu masih dianggap sangat pribadi,
namun kemungkinan memindahkan pihutang kami anggap tidak tertutup asal
dengan ijin dari si berhutang sendiri. Sebagaimana diketahui BW menganggap
cukup si berhutang itu diberitahu saja (pasal 613 ayat 2).

Wanprestasi atau breach of contract menurut Restatement of the Law of


Contracts (Amerika Serikat) dibedakan dalam total breach di mana pelaksanaan
contract menjadi sama sekali tidak mungkin lagi dan partial breach di mana
pelaksanaan itu masih mungkin. Sanksi utama terhadap breach of contract adalah
pembayaran compensation (ganti-rugi) yang terdiri atas costs and damages,
sedangkan juga dapat dituntut pembatalan (rescission) dari perjanjian.

Dalam semua sistem hukum yang kita kenal dalam hukum perjanjian dianut
sistem terbuka sebagaimana termaktub dalam pasal 1338 (1) BW yaitu sistem
yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk membuat perjanjian dari
macam apa saja dan berisi apa saja dan hanya dibatasi oleh ketertiban umum
(public policy) dan kesusilaan (moral). Namun perlu dibicarakan beberapa
perjanjian-perjanjian khu sus dari hukum Anglo Saxon yang nampaknya berlainan
dari perjanjian-perjanjian yang dikenal dalam hukum Kontinental.

30
LAMPIRAN

31

Anda mungkin juga menyukai