BOOK REPORT
Disusun oleh:
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
izin-Nyalah yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya, serta telah
memberikan ilmu dan wawasan, sehingga penulis dapat menyelesaikan book
report yang berjudul “Perbandingan Hukum Perdata” yang merupakan salah
satu tugas mata kuliah Hukum Perdata. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurah limpahkan kepada Nabi Muhamad Shalallahu ’alaihi Wassalam, kepada
keluarganya, para sahabatnya, serta mudah-mudahan sampai kepada kita selaku
umatnya.
Pada kesempatan kali ini, Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas
saran, bantuan dan bimbingan yang telah diberikan selama proses penulisan book
report ini. Khususnya penulis sampaikan terimakasih kepada:
1. Dr. H. Dadang Sundawa, M.Pd., Susan Fitriasari, M.Pd., Dede Iswandi,
M.Pd., Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H., dan Kanigara Hawari, S.H., M.H.
selaku dosen pembimbing mata kuliah Hukum Perdata.
2. Semua pihak yang turut membantu Penulis dalam penulisan book report ini
baik secara formil maupun materil.
Penulis mengharapkan semoga penulisan book report ini dapat bermanfaat
baik bagi penulis maupun bagi para pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
IDENTITAS BUKU................................................................................................ i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I MAKSUD DAN TUJUAN MEMPELAJARI PERBANDINGAN
HUKUM...................................................................................................................1
BAB II CARA BERPIKIR, PANDANGAN HIDUP, DAN KARAKTER SUATU
BANGSA................................................................................................................. 3
BAB III PERKEMBANGAN DALAM CARA BERPIKIR...................................5
BAB IV REFLEKSI PANDANGAN HIDUP.........................................................7
BAB V MACAM-MACAM SISTEMATIK........................................................... 9
BAB VI TENTANG ORANG DAN BADAN HUKUM...................................... 12
BAB VII PERKAWINAN.....................................................................................15
BAB VIII STATUS ANAK.................................................................................. 18
BAB IX HUKUM WARIS.................................................................................... 20
BAB X TENTANG BARANG..............................................................................22
BAB XI SOAL PEMINDAHAN HAK MILIK.....................................................24
BAB XII HUKUM PERJANJIAJIAN/PERIKATAN...........................................28
LAMPIRAN..........................................................................................................31
iii
BAB I
Dalam Burgerlijk Wetboek Belanda (yang lama), yang dalam hal ini adalah
sama dengan Burgerlijk Wetboek yang berlaku di Indonesia, bahwa tidak dikenal
pengangkatan anak atau adopsi, sedangkan Code Civil Perancis dan juga lain-lain
sistem hukum seperti hukum Anglo-Saxon, hukum Cina dan hukum adat bangsa
indonesia mengenalnya. Karena dalam pandangan orang Belanda anak itu harus
keturunan darah dan tidak mungkin keturunan itu disambung dengan mengangkat
anak.
Namun dalam Burgerlijk Wetboek Belanda yang baru (sejak 1956) terdapat
peraturan adopsi. Memang di Belanda sekarang dikenal adopsi, tetapi atas
pertimbangan lain, yaitu untuk memelihara anak-anak yang terlantar dan
bukannya untuk menyambung keturunan seperti yang dimaksudkan dengan adopsi
yang asli.
Suatu contoh lain dalam perkawinan menurut Burgerlijk Wetboek, jika tidak
diperjanjikan lain, semua kekayaan dari kedua belah pihak, suami dan isteri,
dicampur menjadi satu kekayaan bersama dan jika mereka kemudian bercerai,
kekayaan bersama itu dibagi dua masing-masing separuh. Sebaliknya dalam
perkawinan menurut hukum adat di Indonesia, masing-masing tetap memiliki
barang asalnya sedangkan yang dicampur hanya harta yang diperolehnya selama
perkawinan dari usaha bersama. Kalau dari perkawinan tidak dilahirkan anak,
maka si janda hampir selalu digugat oleh keluarga almarhum suaminya tentang
barang-barang asal suaminya. Perbedaan tersebut hanya dapat kita mengerti kalau
kita mengetahui tentang adanya perbedaan dalam alam pikiran dan pandangan
hidup antara orang Belanda (atau orang Barat pada umumnya) yang sudah sangat
individualistis dan liberal di satu pihak dan orang Indonesia (atau orang Timur
1
pada umumnya) yang mengutama kan kepentingan keluarga besar (clan) di lain
pihak. Dalam kehidupan orang Indonesia, kekuasaan keluarga besar (clan) itu
masih sangat kuat.
2
BAB II
Cara berpikir, pandangan hidup dan sifat (karakter) suatu bangsa tercermin
dalam kebudayaan dan hukumnya. Suatu contoh yang sangat tepat mengenai sifat
bangsa dapat kita lihat dalam ketentuan tentang "noodweer" atau "bela diri" dalam
K.U.H.P. (pasal 49) berasal dari Negeri Belanda, jika dibandingkan dengan
ketentuan yang sama dalam hukum pidana di Jerman, yang mencerminkan sifat
"burgerlijk" (menyukai pola kehidupan sederhana dan tenteram) dari rakyat
Belanda pada umumnya di satu pihak dan sifat militer atau keperwiraan rakyat
Jerman pada umumnya di lain pihak.
Tidak saja dalam hukumnya, tetapi juga dalam bahasanya kita ketemukan
refleksi-refleksi dari cara berpikir abstrak di satu pihak dan cara berpikir kongkrit
di lain pihak. Bandingkan saja perkataan Belanda "dragen" atau "to carry" dalam
bahasa Inggeris untuk perbuatan "membawa" pada umumnya dengan bahasa Jawa
yang mengenal "memikul", "menggendong" "ngempit" dan lain sebagainya.
3
Perkataan verbintenis (perikatan) adalah abstrak sedangkan yang kongkrit
adalah: perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan sebagainya. Pengertian zaak
atau benda dalam hukum Barat juga sudah menjadi abstrak sehingga ada “benda
yang tak bertubuh” yang tidaklah lain daripada hak atau pihutang
Sesuai dengan cara berpikir tersebut adalah pengertian bahwa dalam hukum
adat jual-beli adalah suatu penyerahan barang secara nyata untuk selama-lamanya
dengan penerima- an harganya. Begitu pula penghibahan adalah suatu penyerahan
barang secara nyata dengan cuma-cuma. Lain sekali dengan pe ngertian BW
bahwa jual-beli sebagai perjanjian obligatoir baru memberikan hak kepada
pembeli untuk minta diserahkannya suatu barang dan begitu pula penghibahan
merupakan perjanjian obligatoir yang masih harus dituntut pelaksanaannya.
4
BAB III
Dalam hukum Barat sendiri masih dapat kita trasir perkembangannya dari
cara berpikir kongkrit/riil/visuil/korporil ke arah cara berpikir abstrak. Lihat saja
perkembangan bezit yang mengandung suatu keadaan nyata (riil) yaitu adanya
orang yang "menduduki" (menguasai) suatu barang ke arah pengertian
"eigendom" (milik) yang sudah abstrak, di mana tidak diperlukan lagi kekuasaan
yang nyata-nyata di atas barang (corporeel element). Lihat juga perkembangan
dari gadai (pand) menurut B.W. yang memerlukan penarikan kekuasaan atas
barang dari tangannya debitur/pemberi gadai (pasal 1152 BW) ke arah "fiduciaire
eigendomsoverdracht" di mana tidak lagi diperlukan pemindahan kekuasaan itu.
5
Segala sesuatu yang diuraikan di atas harus kita lihat se bagai perkembangan
hukum perdata ke arah kecepatan dan praktisitas yang dibutuhkan manusia
modern. Pemisahan antara hak-hak kebendaan (buku II) dan hak-hak
perseorangan (buku III) sudah menjadi cair dengan timbul nya kemungkinan
bahwa hak perseorangan (pihutang, penagihan) dapat dijual, yang mana juga
merupakan suatu perkembangan, yang menemukan kulminasinya dalam wesel dan
cognosement.
6
BAB IV
Sebaliknya dalam hukum adat, seorang janda yang tidak punya anak, sering
kali digugat oleh anggota keluarga dari pihak suaminya tentang barang asal dari si
suami. Soal barang asal ini baru hilang apabila dilahirkan anak dalam perkawinan.
Dalam hukum BW tidak pernah seorang janda yang kawin dalam algehele
gemeenschap (dan ini yang lajim) digugat oleh sanak-keluarga dari pihak
suaminya.
Ordonansi perkawinan orang Indonesia Kristen (Stbl 1933 Nomor 74) atau
terkenal dengan nama H.O.C.I. mengatur perkawinan formal atas dasar pola BW
(perkawinan perdata monogam, perceraian dengan gugatan di muka hakim), tetapi
hukum harta-kawinnya diatur menurut pola hukum adat, yaitu dengan menetapkan
7
masing-masing tetap memiliki barang asalnya, dengan kemungkinan mengadakan
perjanjian perkawinan (pasal 50).
Ini memang juga sudah tepat, karena tujuan H.O.C.I adalah mengadakan
perkawinan perdata monogam yang sesuai dengan pendapat kaum Nasrani, tetapi
ordonansi tersebut tidak dapat merubah hukum adat yang sudah meresap dalam
masyarakat dan dianggap adil biarpun di kalangan mereka yang beragama
Nasrani.
Civil Code of the Philippines dalam pengaturan harta kawin adalah seperti
H.O.C.I. tersebut, dengan menetapkan bahwa bilamana tidak ada perjanjian
perkawinan maka berlaku: "conjugal partnership" yang mirip dengan gono-gini
kita ataupun mirip dengan "gemeenschap van winst en verlies" yang dapat
diperjanjikan menurut B.W. Jadi kalau orang menghendaki "absolute community"
maka itu justru harus diperjanjikan, jadi sebaliknya daripada peraturan BW Yang
penting bagi kita ialah terdapatnya asas kekeluargaan seperti dalam hukum adat
orang Indonesia.
Juga Civil Code of Japan dalam section (bab) tentang "Statutory Marital
Property System" menganut asas perpisahan barang asal antara suami-isteri dan
pemikulan bersama-sama semua perbelanjaan rumah tangga.
Dalam Civil and Commercial Code Thailand mengenai har- ta-kawin berlaku
semacam algehele gemeenschap seperti dari BW, kecuali apabila diperjanjikan
perpisahan harta ke- kayaan. Persatuan harta-kawin yang dimaksudkan itu terdiri
atas harta bawaan (asal) dan apa yang kita namakan gono-gini.
8
BAB V
MACAM-MACAM SISTEMATIK
Buku I : Perihal orang (mengatur perihal orang sebagai subjek hukum, hukum
perkawinan dan hukum keluarga);
Buku II : Perihal benda (mengatur perihal barang sebagai obyek hak manusia,
hak-hak kebendaan dan hukum waris);
Buku II: Perihal perikatan (mengatur tentang hak dan kewajiban yang terbit
dari perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan peristiwa-peristiwa lain yang
menerbitkan hak dan kewajiban perseorangan);
Buku III : Tentang berbagai cara untuk memperoleh kekayaan (des differentes
manieres dont on acquiert la propriéte), yaitu: pewarisan, perjanjian (termasuk
perjanjian perkawinan atau yang dalam bahasa Belanda dinamakan huwelijkse
voorwaarden), perbuatan melanggar hukum dan sebagainya, dan juga tentang
gadai dan hipotik dan akhirnya juga tentang pem. buktian (yang dinamakannya:
pembuktian tentang perikatan dan pembayarannya) dan daluwarsa.
9
Dengan demikian maka dalam Code Civil Perancis itu ada yang dalam ajaran
hukum Belanda dinamakan "hak kebendaan" dan "hak perseorangan"
bersama-sama diatur dalam satu buku, yaitu Buku III tersebut.
Dalam sistem hukum Belanda apa yang dinamakan hak kebendaan (zakelijk
recht) mempunyai ciri-ciri :
4. Yang lebih tua (dilahirkan lebih dahulu) lebih kuat dari yang dilahirkan
kemudian,
10
dan juga memuat ketentuan-ketentuan tentang perbuatan melanggar hukum
(Unerlaubte Handlungen);
Buku V: Hukum Waris, yang mengatur soal pewarisan pada umumnya dan
perihal surat wasiat atau testament.
The Civi Code of Japan menganut suatu sistematik atau pembagian yang
sama seperti Burgerliches Gesetzbuch Jerman tersebut di atas, hanyalah apa yang
di Jerman merupakan Buku II (hukum tentang hutang-piutang) dijadikan Buku III
dengan judul Claims sedangkan apa yang di Jerman merupakan Buku III (hukum
benda) dijadikan Buku II dengan judul Real rights. The Civil Code of the
Philippines (dari tahun 1949), yang terdiri atas empat buku (Book I : Persons,
Book II Property, ownership, and its modifications, Book III : Different modes of
acquiring ownership. Book IV: Obligations and Contracts) seperti halnya dengan
Code Civil Perancis, menggolongkan mortgage, pledge dan antichresis pada
perjanjian.
Mortgage adalah semacam hipotik atau gadai tanah. Kalau berbagai hipotik
lazim dibebankan di atas satu persil, tidak demikian halnya dengan mortgage.
Pledge adalah gadai (pand menurut B.W.) sedangkan antichresis adalah semacam
oogst verband Dalam Code Civil Perancis hipotik ditempatkan dalam bagian
privileges dan di situ dikenal hipotik menurut ketentuan undang-undang.
Sebagaimana diketahui, BW hanya mengenal hipotik konvensional, yaitu hipotik
yang diperjanjikan.
11
BAB VI
12
(bahasa Belanda : rechtspersoon, bahasa Inggris: juristic person) tersebut
disebabkan oleh keinginan/kebutuhan untuk mengadakan badan-badan yang
mempunyai kekayaan sendiri dan dapat bergerak dalam lalu-lintas hukum.
Contoh badan hukum yang sejati dalam hukum kita ada lah perseroan yang
berbentuk P.T. (perseroan terbatas) karena PT. ini selainnya mempunyai kekayaan
sendiri, para peseronya tidak nampak ke luar dan tidak bertanggung-jawab atas
hutang- hutang PT. Perkataan "terbatas" memang ditujukan pada tanggung jawab
para pesero yang terbatas pada saham yang diambilnya dan tanggung-jawab badan
hukum yang terbatas pada modal perseroan. Perkataan "terbatas" tersebut
mempunyai maksud yang sama dengan perkataan Inggris "limited" dalam "limited
company" ataupun perkataan "beschrankt" dalam "Gesellschaft mit beschränkter
Haftung" (disingkat G.m.b.H. Haftung berarti tanggung-jawab).
Dalam hukum adat juga sudah sejak lama dikenal badan hukum dalam bentuk
yayasan (bandingkan perkataan yayasan dengan perkataan Belanda stichting atau
perkataan Inggeris foundation yang semuanya adalah identik. Juga organisasi
"subak" di Bali yang terkenal itu dari dulu kala merupakan badan hukum.
13
Bentuk-bentuk kerjasama biasanya dibedakan dalam bentuk kerja-sama
dalam bidang sosial/kebudayaan (perkumpulan, bahasa Belanda: vereeniging,
bahasa Inggeris : association, bahasa Jerman : Verein) dan bentuk kerja-sama
untuk mencari keuntungan (persekutuan/perseroan/company, bahasa Jerman:
"Gesellschaft")
14
BAB VII
PERKAWINAN
Dalam hampir semua sistem hukum terdapat penetapan usia minimum untuk
dapat mengikatkan diri dalam perkawinan, yang didasarkan pada kematangan
physik (maturity) manusia untuk melakukan hubungan kelamin. Usia ini adalah di
sekitar 15 tahun bagi pihak wanita dan sekitar 18 tahun bagi pihak pria.
15
persetujuan, asal suami-isteri kedua-duanya sudah berusia lebih dari 23 tahun dan
mereka paling sedikit dua tahun dalam perkawinan. Code Civil Jepang
membolehkannya tanpa sesuatu syarat. Hukum Perdata Republik Rakyat Cina
juga membolehkan perceraian atas persetujuan kedua belah pihak.
Banyak sistem hukum mengenal suatu perpisahan meja dan tempat tidur,
yaitu membebaskan suami-isteri dari kewajiban tinggal bersama dan
harta-bersama dipisahkan pula, tetapi perkawinan tetap berlangsung (BW :
scheiding van tafel en bed, Code Civil Perancis: séparation de corps). Kalau dulu
hampir di mana-mana di benua Eropa si isteri selama dalam perkawinan
dinyatakan tidak cakap untuk bertindak sendiri dalam hukum dan harta-benda,
baik yang berupa harta bersama maupun yang berupa kekayaan sendiri, diurus
oleh suami
16
masing-masing terpisah, segala pendapatan atau pemberian dari pihak ketiga
selama perkawinan dicampur sedangkan pengeluaran untuk rumah tangga
ditanggung bersama. Pada hakekatnya dalam perjanjian semacam itu, yang terjadi
adalah suatu keadaan yang mirip dengan keadaan menurut hukum adat kita.
17
BAB VIII
STATUS ANAK
BW mengenal: anak sah, yaitu anak yang lahir dalam perkawinan yang sah;
anak luar kawin yang diakui dan anak yang disahkan. Pengakuan merupakan
perbuatan untuk meletakkan hubungan hukum antara anak dan orangtua yang
mengakuinya. Pengesahan hanya terjadi dengan perkawinan orang tuanya, yang
telah mengakuinya lebih dahulu atau mengakuinya pada saat perkawinan
dilangsungkan. Adopsi tidak dikenal oleh B.W meskipun Code Civil Perancis
yang merupakan sumber dari B.W mengenalnya. Ini disebabkan karena menurut
pendapat rakyat Belanda anak harus keturunan darah.
BW Belanda yang baru (sejak tahun 1956) sudah mengenal adopsi. Yang
menjadi pertimbangan untuk me-masukkan adopsi ini adalah terutama keinginan
yang dirasakan di kalangan rakyat untuk memberikan pemeliharaan kepada
anak-anak yang tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya kurang mampu.
Pada adopsi yang asli pertimbangannya adalah untuk men-dapatkan anak lelaki
yang dapat meneruskan keturunan.
18
diperingatkan bahwa pasal 284 (3) BW yang menentukan bahwa dengan
diakuinya anak luar kawin yang lahir dari ibunya yang termasuk golongan
Indonesia, hubungan dengan keluarga dari ibunya ini terputus, sudah lama
dianggap tak tertulis.
Dari berbagai sistem hukum yang kita kenal, lebih banyak yang mengenal
lembaga adopsi (pengangkatan anak) daripada yang tidak mengenalnya. Yang
mengenal adopsi: Code Civil Perancis, Bürgerliches Gezetzbuch Jerman, Hukum
Anglo Saxon, Hukum Perdata Cina, Civil Code of Japan, Civil and Commercial
Code of Thailand, Civil Code of the Philippines, Hukum Adat Indonesia
19
BAB IX
HUKUM WARIS
Dalam rangka perbandingan cara berpikir, abstrak di satu pihak dan kongkrit
di lain pihak, dapat dikemukakan bahwa juga mengenai persoalan tentang apa
yang diwarisi, terdapat perbedaan pengertian, yaitu dalam alam pikiran orang
Barat yang diwarisi adalah vermogen (kekayaan yang terdiri atas aktiva dan
posiva) sedangkan menurut pengertian orang Indonesia yang diwarisi adalah suatu
budel yang berarti suatu saldo. Dalam alam pikiran yang terakhir mewarisi suatu
minus adalah tidak mungkin.
Dalam hukum adat yang dibina oleh Jurisprudensi, dapat dilihat juga suatu
tendensi untuk menjadikan janda ahli waris dari suaminya, bersama-sama dengan
anak. Juga dengan menyempitkan pengertian barang asal/pusaka hingga hanya
meliputi barang pusaka tinggi saja, dapat dilindungi janda terhadap
gugatan-gugatan dari pihak keluarga suami bila tidak ada anak dari perkawinan
dengan almarhum suaminya.
Representasi atau penggantian (dari seorang ahli waris yang meninggal lebih
dahulu dari si pewaris, oleh anak/keturunannya) terdapat hampir di mana-mana.
Dalam hukum Anglo Saxon ini dinamakan "subtitution of heir".
20
Hukum adat juga mengenalnya, tetapi Hukum Islam tidak mengenalnya,
berdasarkan pertimbangan bahwa yang dinamakan waris adalah orang yang ada
(hidup) pada saat meninggalnya si pewaris Peraturan tentang Legitieme portie
atau bagian mutlak harus dilihat sebagai suatu cara untuk melindungi ahli waris
ahli waris tertentu terhadap kesewenang-wenangan si pewaris atau suatu cara
untuk membatasi kebebasan si pewaris untuk berbuat semaunya.
Dalam hubungan ini harus kita lihat larangan dalam hukum Islam untuk
menghibahkan/menghibah wasiyatkan lebih dari sepertiga bagian dari
harta-peninggalan kepada orang bukan waris. Hanyalah ini merupakan suatu
perlindungan terhadap semua ahli waris, sedangkan peraturan legitieme portie
memberikan perlindungan secara individual, yang pelaksanaannya juga
diserahkan kepada masing-masing ahli waris yang berkepentingan.
Dalam hukum adat tidak terdapat perlindungan semacam itu secara tegas,
hanyalah dikenal suatu larangan untuk mencabut seluruhnya hak waris seorang
anak. Hal yang demikian sudah barangtentu tidak diperkenankan baik dalam
hukum adat orang Indonesia maupun dalam hukum Islam.
Dalam sistem BW seorang legataris (yaitu orang yang me nerima suatu legaat)
adalah penagih terhadap para ahli waris (atau dikatakan: terhadap budel). Menjual
hak waris yang diperbolehkan oleh BW dan umumnya oleh hukum di Eropa,
merupakan suatu contoh dari sifat materialistis yang telah kita kemukakan. Begitu
pula hak untuk menuntut pembagian warisan “at any time” seperti ditegaskan
dalam pasal 1066 B.W.
21
BAB X
TENTANG BARANG
Dalam hukum adat diadakan perbedaan antara tanah (termasuk air) dan
barang-barang lainnya, sedangkan ternak ada kalanya memerlukan perlakuan
khusus.
Dalam hukum nasional yang akan datang, sudah disepakati oleh para sarjana
hukum kita, untuk menganut asas tetapi dengan memungkinkan
pengecualian-pengecualian.
22
Dalam sistem hukum yang terbanyak kita jumpai peraturan perihal bezit
(possession) yang dilawankan terhadap eigen dom (ownership). Pada umumnya
lembaga bezit tersebut diperlukan demi untuk ketertiban guna mencegah
masyarakat main hakim sendiri. Ini yang dinamakan fungsi polisionil dari bezit
atau yang dikatakan juga possession gives the right to protection.
Dalam hukum adat perbedaan antara bezit dan eigendom seperti tersebut di
atas, boleh dikatakan tidak ada horizontal, perbedaan antara hipotik dan gadai
tanah menurut hukum adat, memberikan kesimpulan tentang adanya perbedaan
mengenai sifat dan peranan masing-masing dalam lalu-lintas hukum yaitu, kalau
hipotik dimaksudkan sebagai suatu perjanjian acces soir, sebaliknya gadai tanah
menurut hukum adat merupakan suatu perjanjian yang berdiri sendiri (zelfstandige
overeenkomst).
Dalam gagasan orang Indonesia, gadai tanah adalah suatu transaksi tanah dan
bukannya jaminan untuk suatu transaksi uang Dalam pada itu dapat dikonstatir
adanya suatu kecenderungan untuk membuat suatu perjanjian jual-beli dengan hak
membeli kembali di muka notaris, padahal yang dimaksudkan adalah gadai tanah
menurut hukum adat.
23
BAB XI
Dalam sistem Code Civil Perancis, hak milik atas suatu ba rang berpindah
pada saat perjanjiannya jual-beli ditutup, sehingga yang dinamakan “penyerahan”
di situ adalah penyerahan barang (yang telah berpindah hak miliknya) dalam
kekuasaan yang nyata dari si pembeli (feitelijke levering).
Sebaliknya dalam sistem BW, di mana perjanjian jual-beli itu hanya bersifat
obligatoir (belum memindah kan hak milik) saja, penyerahan itu adalah perbuatan
hukum yang memindahkan hak milik itu. Selanjutnya, mengenai pemindahan
milik ini BW menganut yang dinamakan sistem causal yang artinya levering
(pemindahan milik secara juridis) adalah sah apabila ia berdasarkan suatu titel
yang sah dan dilakukan oleh orang yang berhak memindahkan milik (pada
umumnya si pemilik sendiri). Dianutnya sistem causal ini oleh BW disimpulkan
dari kata-kata pasal 584. Yang dimaksudkan dengan titel adalah perjanjian
obligatoirnya, yaitu jual-belinya, tukar menukarnya, hibahnya, dan sebagainya.
Dengan demikian maka apabila perjanjian obligatoirnya ini batal atau dibatalkan,
atau apabila orang yang menyerahkan barangnya tidak berhak
memindahtangankan barang tersebut, maka pemindahan hak milik menjadi batal
Lawan dari sistem causal adalah sistem abstrak yang dianut di Jerman. Dalam
sistem ini suatu pemindahan hak milik tidak akan dipengaruhi oleh pembatalan
perjanjian jual-belinya di kemudian hari. Perbedaan ini dapat kita mengerti karena
penyerahan barang tak bergerak menurut BW dilakukan di muka Pegawai Balik
Nama (Kadaster), yang bersikap passif, sedangkan di Jerman penyerahan
dilakukan di muka Hakim, yang secara aktif memeriksa titelnya yang menjadi
dasar dari pada penyerahan itu.
24
seperti itu dilahirkan dari kebutuhan untuk melancarkan lalu-lintas perdagangan.
Memang sungguh akan memperlambat lalu-lintas perdagangan itu, apabila pada
tiap-tiap transaksi di toko atau di pasar si pembeli harus meneliti dahulu apakah
betul si penjual adalah pemilik dari barang yang dijualnya. Mengingat asal
terjadinya peraturan, tepatlah ajaran Paul Scholten tentang penghalusan hukum
(rechtsverfijning) terhadap peraturan tersebut, yaitu supaya berlakunya pasal
tersebut dibatasi pada perbuatan perdagangan (jual-beli, barter) dan tidak
diterapkan dalam misalnya suatu penghibahan. Kalau si A menghibahkan barang
yang bukan miliknya kepada si B, maka biarpun si B ini beritikad baik (percaya
penuh bahwa barang adalah miliknya si A sendiri), ia tidak diperlindungi.
Pasal 1460 yang meletakkan risiko pada pundaknya pembeli sejak saat ditutu
pnya perjanjian jual-beli, tidak cocok dengan sistem di mana jual-beli itu belum
memindahkan hak milik seperti yang dianut oleh BW. Dalam surat edaran
Mahkamah Agung No. 1 tahun 1963 pasal ini termasuk pasal-pasal BW yang di
nyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 1471 yang menyatakan: “jual-beli barang orang lain adalah batal” juga
tidak cocok dengan sistem bahwa jual-beli hanya obligatoir saja. Adalah jelas
bahwa dalam sistem BW diperbolehkan kalau orang menjual barang yang sudah
dibelinya tetapi belum dilever kepadanya, kepada orang lain lagi. Untuk
mengatasi kesulitan ini, pernah oleh Hoge Raad Negeri Belanda ditafsirkan bahwa
perkataan “batal” dalam pasal 1471 tersebut hendaknya dibaca “dapat dimintakan
pembatalannya” (ver nietigbaar). Kalau seorang membeli barang yang belum ada
25
di tangannya si penjual, maka perjanjian dapat dimintakan pembatalannya, asal
pembeli pada saat ditutupnya perjanjian betul-betul tidak tahu bahwa barang itu
belum berada di tangannya penjual (dan karenanya, menurut sistem BW, belum
menjadi milik si penjual).
Kesamaan atau titik pertemuan antara BW dan hukum adat sudah ada sekedar
mengenai asas perlindungan si pembeli yang beritikad baik, yang berlaku dalam
kedua-duanya; dalam BW terhadap barang bergerak (pasal 1977), dalam hukum
adat terhadap semua macam barang.
26
bagi penentuan kemauan kedua belah pihak bahwa pemindahan hak milik mereka
kehendaki berlaku pada saat dilakukan pembayaran.
27
BAB XII
HUKUM PERJANJIAN/PERIKATAN
Dalam hukum Anglo Saxon yang tidak dikodifikasikan adalah lajim orang
berbicara tentang law of contracts dalam arti hukum perjanjian sedangkan di
samping itu ada law of torts dalam arti yang sama seperti hukum kita yang
mengatur tentang perbuatan melanggar hukum. Torts yaitu perbuatan perbuatan
melanggar hukum juga dinamakan unlawful acts.
Code Civil Perancis (yang menjadi sumber utama dari BW Belanda) untuk
Buku III-nya yang isinya sama dengan Buku III BW kita ditambah dengan
ketentuan-ketentuan tentang gadai dan hipotik, memakai judul: Tentang berbagai
cara untuk memperoleh kekayaan dan di dalam Buku III tersebut memuat suatu
bab tentang perikatan-perikatan yang terjadi tanpa persetujuan, yang diperinci
dalam: quasi contrats dan delits et quasi délits. Dengan quasi delits dimaksudkan
perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.
Civil Code Jepang sebagai disebutkan di atas dalam Buku III-nya yang
berjudul Claims memuat suatu bab tentang Unjust enrichtment yang mencakup
pengertian perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
28
Civil Code Philipina dalam Buku IV-nya memakai judul: Obligations and
Contracts dan mengadakan suatu bab tentang Extra contractual obligations yang
terdiri atas quasi contracts dan quasi delicts.
29
Cacad dalam sepakat (consent) dapat disebabkan oleh mistake atau error
(kekhilafan), fraud (penipuan), atau coercion (paksaan).
Dalam hukum adat suatu pihutang pada asasnya tidak dapat dipindahkan
kepada orang lain karena hutang-pihutang itu masih dianggap sangat pribadi,
namun kemungkinan memindahkan pihutang kami anggap tidak tertutup asal
dengan ijin dari si berhutang sendiri. Sebagaimana diketahui BW menganggap
cukup si berhutang itu diberitahu saja (pasal 613 ayat 2).
Dalam semua sistem hukum yang kita kenal dalam hukum perjanjian dianut
sistem terbuka sebagaimana termaktub dalam pasal 1338 (1) BW yaitu sistem
yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk membuat perjanjian dari
macam apa saja dan berisi apa saja dan hanya dibatasi oleh ketertiban umum
(public policy) dan kesusilaan (moral). Namun perlu dibicarakan beberapa
perjanjian-perjanjian khu sus dari hukum Anglo Saxon yang nampaknya berlainan
dari perjanjian-perjanjian yang dikenal dalam hukum Kontinental.
30
LAMPIRAN
31