Anda di halaman 1dari 21

Kata Pengantar

Assalamua’alaikum warrahmatuallahhi wabarokatuh,

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan

Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan

penyusunan makalah ini, dalam bentuk maupu isinya yang sangat sederhana.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk

maupun pedoman bagi penulis maupun pembacanya.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi saya atau pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk

maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang

saya miliki sangat kurang. Oleh karena itu saya harapkan kepada pembaca untuk

memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan

makalah ini.

Wa’alaikum sallam warallahmatuallahhi wabarokatuh.


DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

B.Perumusan Masalah

C.Tujuan Penelitian

BAB II PEMBAHASAN

A.Sejarah Kekuasaan Kehakiman

B.Penjelasan BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman pada UUD 1945

C.Kedudukan Kekuasaan Kehakiman

D. Pelaku Kekuasaan Kehakiman

E.Struktur Organisasi Kehakiman

F.Tugas dan Wewenang Pelaku Kekuasaan Kehakiman

G.Prinsip Pokok Kehakiman

H.Jaminan Keamanan & Kesejahteraan Hakim

BAB III PENUTUP

A.Kesimpulan
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan sarana untuk mengatur kepentingan masyarakat

dengan segala tegas dan fungsinya untuk menciptakan ketertiban dan perdamaian,

oleh karena itu maka diperlukan aparat/lembaga yang harus mengawasi

pelaksanaan/penegakan hukum tersebut. Dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3, Negara

Indonesia adalah negara hukum[1]. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka negara

hukum itu di artikan sebagai, Negara dimana tindakan pemerintah maupun

rakyatnya di dasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tidakan sewenang-

wenang dari pihak penguasa dan tindakan rakyat menurut kehendaknya sendiri.

B. Perumusan Masalah

1.Bagaiman sejarah Kekuasaan Kehakiman & apa pengertiannya?

2.Bagaimana penjelasan UUD 1945 pada BAB IX?

3.Apa saja Tugas dan Wewenang Pelaku Kekuasaan Kehakim?

C.Tujuan Penelitian

1.Mengetahui pengertian Kekuasaan Kehakiman.

2.Mengetahui penjelasan BAB IX pada UUD 1945.

3.Mengetahui Tugas dan Kewajiban Pelaku Kekuasaan Kehakiman.


BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Kekuasaan Kehakiman

Di Indonesia, kekuasaan kehakiman, sejak awal kemerdekaan juga

diniatkan sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-lembaga politik

seperti MPR/DPR dan Presiden. Namun demikian, sejarah juga mencatat

terjadinya berbagai penyimpangan dan pasang surut perjalanan kekuasaan

kehakiman di Indonesia dari waktu ke waktu, baik yang bersifat administratif

maupun yang bersifat teknis yustisi.

Sejarah lahirnya kekuasaan kehakiman yang merdeka pernah

dikesampingkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang

Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, di mana dalam Pasal 19 UU tersebut

ditentukan bahwa”demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau

kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut campur

dalam soal-soal pengadilan. Adanya penyelewengan dan intervensi kekuasaan lain

pada institusi kekuasaan kehakiman yang telah terjadi tersebut baik disadari

maupun tidak telah mengakibatkan pelumpuhan secara sistemik atas kekuasaan

kehakiman di Indonesia.

Hal ini pada akhirnya akan sangat berpengaruh pada terganggunya sistem

peradilan secara keseluruhan dan semuanya itu merupakan penyebab kerusakan

terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab.

Pada perkembangan berikutnya, muncul usaha untuk memperkuat prinsip

kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan dimulai dari terbitnya UU No. 14


Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Namun, sebenarnya

dapat dikatakan pada masa berlakunya UU No. 14 Tahun 1970 ini lembaga

peradilan masih belum independen sepenuhnya, karena menurut Pasal 11 UU

tersebut, 4 (empat) lingkungan peradilan yang terdiri dari peradilan umum,

peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, secara

organisatoris administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan masing-

masing departemen yang bersangkutan.

Hal ini menunjukkan masih ada campur tangan dari pihak eksekutif.

Namun demikian, perihal independensi, melalui perubahan UU No. 14 Tahun

1970 tersebut telah ditetapkan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang

menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi dan finansial

berada satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini dengan

istilah populer biasa disebut “kebijakan satu atap”.

Kemudian terbit lagi UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman yang mencabut kedua UU Kekuasaan Kehakiman sebelumnya. Dalam

UU No. 4 Tahun 2004 ini, proses peralihan (kebijakan satu atap) itu dipertegas

lagi dalam Ketentuan Peralihan Pasal 42 UU tersebut bahwa pengalihan

organisasi, administrasi dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan

peradilan tata usaha negara dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004.

Untuk peradilan agama dan peradilan militer selesai dilaksanakan paling lambat

tanggal 30 Juni 2004. Saat ini, UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman sudah mengalami pergantian lagi melalui UU No. 48 Tahun 2009

dengan judul sama.


B. Penjelasan BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman pada UUD 1945

Pasal 24

1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. ***).

Penjelasannya : Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya

terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah[3].

2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badanperadilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi. ***)

Penjelasannya : Maksud dari peradilan yang di bawahnya yaitu seperti :

1. Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) dalam lingkungan

peradilan umum.

2. Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dalam

lingkungan peradilan agama.

3. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha

Negara dalam lingkungan peradilan tata usaha negara.

4. Pengadilan Militer (PM) dan Pengadilan Tinggi Militer dalam lingkungan

peradilan militer[4].

3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman

diatur dalam undang-undang. ****)


Penjelasannya : Yang di maksud dengan badan-badan lain tersebut misalnya (a)

Kepolisian yang memegang kewenangan melakukan peneyelidikan dan

penyidikan kasus pidana, (b) Kejaksaan yang memiliki kewenangan penyidikan

dan penuntutan, (c) Komnas HAM untuk kasus pelanggaran, (d) Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kasus korupsi, serta beberapa profesi

hukum, seperti (e) Advokat dan Notaris yang bertugas menegakkan hukum dan

keadilan.

Kekuasaan negara untuk melakukan penuntutan suatu tindak pidana

setelah dilakukan penyelidikan oleh Polri, dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung

dan organ di bawahnya yang meliputi kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri[5].

Pasal 24A

(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-

undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-

undang. ***)

(2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak

tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. ***)

Penjelasannya : Hakim Agung adalah pimpinan dan hakim anggota

pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Hakim agung ditetapkan

oleh Presiden Republik Indonesia dari nama calon yang diajukan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat atas usulan Komisi Yudisial. Usia pensiun hakim agung

adalah 70 tahun. Jumlah hakim agung menurut undang-undang maksimal 60

orang. Hakim agung dapat berasal dari sistem karir atau sistem nonkarir[6].
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan

Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai

hakim agung oleh Presiden. ***)

(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim

agung. ***)

(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah

Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.

Pasal 24B

(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan

pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka

menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku

hakim. ***)

(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman

di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak

tercela.***)

(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden

dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)

(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan

undang-undang.***)

Pasal 24C

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga


negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,

memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang

hasil pemilihan umum. ***)

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau

Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. ***)

Penjelasannya : Dalam pasal 7B ayat 1 UUD 1945, pelanggaran yan di lakukan

oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu Penghiatan terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat, perbuatan tercela, presiden dan/ wakil presiden

tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan/wakil presiden[7].

(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim

konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing

tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan

Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. ***)

(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim

konstitusi. ***)

(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak

tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,

serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. ***)

(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta

ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-

undang. ***)
Pasal 25

Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan

dengan undang-undang.

C. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan

negara modern. Dalam bahasa Indonesia fungsi kekuasaan yang ketiga ini sering

kali disebut cabang kekuasaan “yudikatif”, dari istilah Belanda judicatie.

Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman

ataujudiciary merupakan cabang yang di organisasikan secara tersendiri. Baik di

negara-negara yang menganut tradisi civil law maupun common law, baik yang

menganut sistem pemerintahan parlementer maupun presidentil, lembaga

kekuasaan kehakiman selalu bersifat tersendiri.

Dalam kegiatan bernegara, kedudukan hakim pada pokoknya bersifat

sangat khusus. Dalam hubungan kepentingan yang bersifat triadik (triadic

relation) antara negara, pasar, dan masyarakat madani, kedudukan hakim haruslah

berada di tengah. Demikian pula dalam hubungan antara negara dan warga negara,

hakim juga harus berada di antara keduanya secara seimbang.

Oleh sebab itu, salah satu ciri yang di anggap penting dalam setiap negara

hukum yang demokratis ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum

adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak

(independent and impartial).

Pengadilan adalah lembaga kehakiman yang menjamin tegaknya keadilan

melalui penerapan undang-undang dan kitab undang-undang (wet en wetboeken)


dimaksud. Strukturnya dapat bertingkat-tingkat sesuai dengan sifat perkara dang

bidang hukum yang terkait.

Dalam sistem peradilan di Indonesia, terdapat empat lingkungan peradilan,

yang masing-masing mempunyai lembaga-lembaga pengadilan tingkat pertama

dan pengadilan tingkat banding.

Pada tingkat kasasi, semuanya berpuncak pada Mahkamah Agung (MA)

sesuai pasal 24A ayat 1. Pengadilan tingkat pertama dan kedua dalam ke-empat

lingkungan peradilan trersebut adalah:

1. Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) dalam lingkungan

peradilan umum.

2. Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dalam

lingkungan peradilan agama

3. .Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata

Usaha Negara dalam lingkungan peradilan tata usaha negara.

4. Pengadilan Militer (PM) dan Pengadilan Tinggi Militer dalam lingkungan

peradilan militer.

Di samping itu, dikenal pula beberapa pengadilan khusus, baik yang

bersifat tetap maupun Ad Hoc, di antaranya yaitu :

1. Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)

2. Pengadilan Hubungan Kerja Industrial

3. .Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

4. Pengadilan Pajak
5. Pengadilan Niaga

6. Pengadilan Perikanan

7. Pengadilan Anak

8. Pengadilan Adat di Papua.

Pada Pengadilan HAM, TiPiKor, Niaga, Perikanan, Anak, Hubungan,

Industrial serta Pengadilan Adat termasuk kedalam lingkungan peradilan umum.

Sedangkan Pengadilan Pajak dapat di golongkan termasuk lingkungan peradilan

tata usaha negara. Untuk Mahkamah Syar’iyah di golongkan pada Peradilan

Agama. Disamping itu, ada pula badan-badan quasi pengadilan yang berbentuk

komisi-komisi yang bersifat Ad Hoc. Misalnya, KPPU, KPI, Komisi Banding

Merek, dan sebagainya.

D. Pelaku Kekuasaan Kehakiman

1. Mahkamah Agung (MA)

MA adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

yang merupakan pemegang Kekuasaan Kehakiman bersama-sama dengan

Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya.

MA membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan

tata usaha negara[9].

2. Komisi Yudisial (KY)

KY merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam

pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan

lainnya.Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada publik melalui DPR, dengan


cara menerbitkan laporan tahunan dan membuka akses informasi secara lengkap

dan akurat

3. Mahkamah Konstitusi (MK)

MK adalah lembaga tinggi negara dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan

kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.

E. .Tugas & Wewenang Pelaku Kekuasaan Kehakiman

1. Mahkamah Agung (MA)

Mengawasi kegiatan-kegiatan peradilan yang dilakukan oleh lembaga

peradilan lain yang ada di bawahnya[12].

Wewenang

2. MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi.

1. Menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang

terhadap undang-undang.

2. Mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

3. Komisi Yudisial

1. Melakukan pendaftaran calon hakim agung;

2. Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung;

3. Menetapkan calon hakim agung;

4. Mengajukan calon hakim agung ke DPR.

Wewenang
Sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial,

Komisi Yudisial mempunyai wewenang :

1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah

Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;

2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku

hakim;

3. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-

sama dengan Mahkamah Agung;

4. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku

Hakim (KEPPH)

4. Mahkamah Konstitusi (MK)

 Mengadili sistem dan institusi negara[16].

Wewenang :

1) Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD.

2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya di

berikan oleh UUD.

3) Memutus pembubaran parpol, dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilu[17].

4) Memberikan putusan atas pendapat DPR mrengenai pelanggaran oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD


F. Struktur Organisasi Kehakiman

Dalam strukutur organisasi kekuasaan kehakiman, terdapat beberapa

fungsi yang dilembagakan secara internal dan eksternal. Terkait dengan jabatan-

jabatan kehakiman itu, terdapat pula pejabat-pejabat hukum yaitu :

(a) pejabat penyidik; (b) pejabat penuntum umum; dan (c) advokat yang

juga diakui sebagai penegak hukum.

Di lingkungan pejabat penyidik, terdapat (i)polisi; (ii)jaksa); (iii)penyidik

KPK; dan (iv)penyidik,pegawai negeri sispil, yang berjumlah kurang lebih 52

macam. Mereka yang menjalankan fungsi penuntutan adalah : (i) jaksa penuntut

umum; (ii) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam lingkungan organisasi pengadilan, dibedakan dengan tegas adanya

tiga jabatan yang bersifat fungsional yaitu : (i) hakim; (ii) panitera; (iii) pegawai

administrasi lainnya. Hakim adalah pejabat negara yang menjalankan kekuasaan

negara di bidang yudisial atau kehakiman. Panitera adalah pegawai negeri sipil

yang menyandang jabatan fungsional sebagai administratur perkara yang

berdasarkan sumpah jabatan untuk menjaga kerahasian setiap perkara. Pegawai

administrasi biasa adalah pegawai negri sipil yang tunduk pada ketentuan

kepegawainegerian pada umunya.

Hakim tidak bertanggung jawab kepada Ketua Majelis Hakim, kepada

Ketua Mahkamah Agung, ataupun kepada Ketua Mahkamah Konstitusi. Hakim

memutus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan karena itu bertanggung

jawab langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang wajib diyakini dan di imani

oleh setiap Hakim Indonesia. Panitera sebagai pejababat fungsional di bidang


administrasi tunduk dan bertanggung jawab kepada Ketua MK, Ketua Pengadilan,

atau Kepada Ketua Majelis Hakim dalam bidang administrasi perkara. Dari segi

Administrasi kepegawaian tunduk kepada Sekretaris MA atau Sekretaris Jendral

MK.

G. Prinsip Pokok Kehakiman

Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip yang di pandang sangat

pokok dalam sistem peradilan, yaitu (a) the principle of judicial independence

(Prinsip independesi peradilan) dan (b) the principle of judicial impartiality

(Prinsip imparsialitas peradilan). Kedua prinsip ini di akui sebagai prasyarat

pokok sistem di semua negara yang di sebut hukum modern atau modern

constitutional state.

Prinsip indepensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap

para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang di hadapinya.

Disamping itu independensi juga tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai

hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengenmbangan karir,

sistem pengajian, dan pemberhentian para hakim.

Sementara itu, prinsip kedua yang sangat penting adalah prinsip

ketidakberpihakkan (principle of judicial impartiality). Dalam praktik,

ketidakberpihakkan itu sendiri mengandung makna dibutuhkannya hakim yang

tidak saja bekerja secara imparsial (to be impartial), tetapi juga terlihat bekerja

secara imparsial (to appear to be impartial).

Namun di samping prinsip kedua tersebut dari perspektif hakim sendiri

berkembang pula pemikirian mengenai prinsip-prinsip lain yang juga di anggap


penting. Dalam The Banglore Principles of Judicial conduct , tercantum adanya

enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia,

diantaranya yaitu :

1. Independensi (Independency Principle)

Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan

keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. Independensi

melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan

pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi

pengadilan sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya.

2. Ketidakberpihakkan (Impartiality Principle)

Ketidakberpihakkan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat

fungsi hakim sebagai pihak yang di harapkan memberikan pemecahan terhadap

setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ketidakberpihakkan mencakup sikap

netral , menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait dengan

perkara, dan tidak mengutamakan salah satu pihak manapun, disertai

pengahayatan yang mendalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang

terkait dengan perkara.

3. Integritas (Integrity Principle)

Intergritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan

keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat

negara dalam menjalankan tugas jabatannya.


4. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety Principle)

Kepantasan dan Kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan

kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai

pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya,

yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan dan kepercayaan.

5. Kesetaraan (Equality Principle)

Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuaan yang sama

terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa

membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras,

warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan kondisi fisik,

6. Kecakapan dan Kesaksamaan

Kecakapan & Kesaksamaan hakim merupakan prasyarat penting dalam

pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dlam

kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan,

dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Keseksamaan merupakan sikap

pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian,

ketekunan, dan kesunguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.

H. Jaminan Keamanan & Kesejahteraan Hakim

Jaminan keamanan & kesejahteraan hakim di atur dalam UU NO.48

Tahun 2009 pada Bab VIII dalam pasal 48 dan pasal 49, yaitu :

Pasal 48
1) Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim

konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelanggaran

kehakiman.

2) Jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi sebagai

dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 49

1) Hakim ad hoc dalam menjalankan tugas dan tanggung penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman di berikan tunjangan khusus.

2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas

dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Kekuasaan kehakiman merupakan lembaga

Yudikatif yang kedudukannya dalam urutan ke-3 setelah Lembaga Eksekutif dan

Legistatif. Pada Kekuasaan Kehakiman juga telah di atur sendiri susunan

organisasinya serta fungsinya. Yang tugas & kewenanganya sudah di atur dalam

UUD 1945 ataupun UU NO.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam melaksanakan pengadilan hakim mempunyai kode etik yang di

jadikan pedoman yaitu Prinsip, yang seperti telah di bahas di atas. Kemudian

untuk menjamin keamanan & kesejahteraan hakim telah di atur kedalam UU

NO.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Bab VIII pasal 48 & 49.
DAFTAR PUSTAKA

http://islahilwathon.blogspot.co.id/2014/03/makalah-pthi-kekuasaan-

kehakiman.html

Penjelasan Bab IX UUD 1945 Amandemen ke-4

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT.Raja

Grafindo Persada, 2009

https://id.wikipedia.org/wiki/Hakim_Agung_Indonesia

Pasal 7 B ayat 1 UUD 1945 Amandemen ke-3

https://id.wikipedia.org/wiki/ Mahkamah_Agung_Republik_Indonesia

https://id.wikipedia.org/wiki/ Komisi_Yudisial_Republik_Indonesia

https://id.wikipedia.org/wiki/ Mahkamah_Konstitusi_Republik_Indonesia

http://fakta-inspiratif.blogspot.co.id/2015/10/tugas-dan-fungsi-mahkamah-

agung.html

[1] Pasal 24 A ayat 1 UUD 1945 Amandemen ke-3

http://www.komisiyudisial.go.id/statis-38-wewenang-dan-tugas.html

http://www.negarahukum.com/hukum/tugas-dan-wewenang-mk.html

Pasal 24 C ayat 1 UUD 1945 Amandemen ke-3

Pasal 24 C ayat 2 UUD 1945 Amandemen ke-3

UU Kekuasaan Kehakiman No.48 Tahun 2009

Anda mungkin juga menyukai