Anda di halaman 1dari 41

HUKUM PIDANA

AMIR SH MH

Pengertian Hukum Pidana

Pengertian hukum pidana secara tradisional adalah “Hukum yang


memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan
terhadap pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa
badan” Pengertian lain adalah, “Hukum pidana adalah peraturan hukum
tentang pidana”.

Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan”, yaitu :

“Hal yang dilimpahkan oleh instansi yang berkuasa kepada seorang


oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakan dan juga hal yang tidak
dilimpahkan sehari-hari,”.

Menurut Moeljatno, menguraikan berdasarkan dari pengertian istilah


hukum pidana bahwa :

“Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku


disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
untuk menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana
tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut,”
Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana
yang telah diancamkan;

Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat


dilakasanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan
tersebut “.

Berkenaan dengan pengertian dari hukum pidana, C.S.T. Kansil


juga memberikan definisi sebagai berikut:

“Hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-


pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum,
perbuatan yang diancam dengan hukuman yang merupakan suatu
penderitaan atau siksaan, selanjutnya ia menyimpulkan bahwa
hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-
norma baru, melainkan hanya mengatur pelanggaran-pelanggaran
dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum mengenai
kepentingan umum,“

Adapun yang termasuk kepentingan umum menurut C.S.T kansil


adalah badan peraturan perundangan negara, seperti negara, lembaga-
lembaga negara, pejabat negara, pegawai negeri, undang-undang,
peraturan pemerintah dan sebagainya.

Kepentingan umum tiap manusia yaitu, jiwa, raga, tubuh,


kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik/harta benda.
Ruang Lingkup Hukum Pidana

Dilihat dari ruang lingkupnya hukum pidana dapat dikelompokkan


sebagai berikut:

Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis,

Hukum pidana sebagai hukum positif,

Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik,

Hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif,

Hukum pidana material dan hukum pidana formal,

Hukum pidana kodifikasi dan hukum pidana tersebar,

Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus,

Hukum pidana umum (nasional) dan hukum pidana setempat.

Hukum pidana objektif (ius peonale) adalah seluruh garis hukum


mengenai tingkah laku yang diancam dengan pidana jenis dan macam
pidana, serta bagaimana itu dapat dijatuhkan dan dilaksakan pada waktu
dan batas daerah tertentu. Artinya, seluruh warga dari daerah (hukum)
tersebut wajib menaati hukum pidana dalam arti objektif tersebut.
Hukum pidana objektif (ius peonale) ialah semua peraturan yang
mengandung/memuat larangan/ancaman dari peraturan yang diadakan
ancaman hukuman. Hukum pidana objektif ini terbagi menjadi dua, yaitu:

Hukum pidana material, yaitu peraturan-peraturan yang mengandung


perumusan: perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, siapa yang dapat
dihukum, hukum apakah yang dapat dijatuhkan.

Hukum pidana formal, yaitu disebut juga sebagai hukum acara,


memuat peraturan-peraturan bagaimana cara negara beserta alat-alat
perlengkapannya melakukan hak untuk menghukum (mengancam,
menjatuhkan, atau melaksanakan).

Hukum pidana subjektif (ius puniendi) merupakan hak dari penguasa


untuk mengancam suatu pidana kepada suatu tingkah laku sebagaimana
digariskan dalam hukum pidana objektif, mengadakan penyidikkan,
menjatuhkan pidana, dan mewajibkan terpidana untuk melaksanakan
pidana yang dijatuhkan. Persoalan mengenai apakah dasarnya atau
darimana kekuasaan penguasa tersebut, jawabannya menurut E.Y Kanter
terletak pada falsafah dari hukum pidana.

Hukum pidana umum (alegemen strafrecht) adalah hukum pidana


yang berlaku untuk tiap penduduk, kecuali anggota militer, nama lain dari
hukum pidana umum adalah hukum pidana biasa atau hukum pidana sipil
(commune strafrecht). Akan tetapi dilihat dari segi pengkodifikasiannya
maka KUHP pun disebut sebagai hukum pidana umum, dibanding dengan
perundang-undangan lainnya yang tersebar. Hukum pidana khusus adalah
suatu peraturan yang hanya ditunjukkan kepada tindakkan tertentu (tindak
pidana subversi) atau golongan tertentu (militer) atau tindakkan tertentu,
seperti pemberantasan tindak pidana ekonomi, korupsi, dan lain-lain.

Menurut Samidjo, hukum pidana khusus dapat disebut:

Hukum pidana militer,

Hukum pidana fiskal (pajak),

Hukum pidana ekonomi,

Hukum pidana politik.

Jika suatu perbuatan termasuk dalam suatu aturan pidana umum,


diatur pula dalam peraturan pidana khusus, yang khusus itulah yang
dikenakan, Adagium untuk itu adalah, “Lex specialis derograt lex generalis”
jadi, hukum pidana khusus lebih diutamakan daripada hukum pidana
umum. Hal dapat kita lihat pada KUHP nasional yang ditentukan dalam
pasal 63 ayat 2 KUHP dan pasal 103 KUHP. Hukum pidana militer
merupakan ketentuan-kententuan pidana yang tercantum dalam KUHP
militer atau disebut KUHPT, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Tentara dan dikenal juga KUHDT, Kitab Undang-undang Displin Tentara.

Hukum pidana fiskal (pajak) merupakan ketentuan-ketentuan pidana


yang tercatum dalam undang-undang mengenai pajak.

Hukum pidana ekonomi merupakan ketentuan yang mengatur


pelanggaran ekonomi yang dapat mengganggu kepentingan umum.

Hukum pidana politik merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur


kejahatan-kejahatan politik, misalnya menghianati rahasia negara,
intervensi, pemberontakan, sabotase.
Hubungan Hukum Pidana

Dengan Ilmu Lain.

Hukum pidana adalah teori mengenai aturan-aturan atau norma-


norma hukum pidana. Dalam ruang lingkup sistem ajaran hukum pidana,
yamg dinamakan disiplin hukum pidana sebenarnya mencakup ilmu hukum
pidana, politik hukum pidana, dan filsafat hukum pidana. Ilmu hukum
pidana mencakup beberapa cabang ilmu, ilmu hukum pidana merupakan
mencakup ilmu-ilmu sosial dan budaya.

Ilmu-ilmu hukum pidana tersebut mencakup ilmu tentang kaedah dan


ilmu tentang pengertian yang keduanya disebut sebagai dogmatika hukum
pidana serta ilmu tentangkenyataan.

Politik hukum pidana mencakup tindakkan memilih nilai-nilai dan


menerapkan nilai-nilai tersebut didalam kenyataan. Politik hukum pidana
merupakan pemilihan terhadap nilai-nilai untuk mencegah terjadinya
delikuensi dan kejahatan.

Filsafat hukum pidana pada hakekatnya merenungkan nilai-nilai


hukum pidana, berusaha merumuskan dan menyerasikan nilai-nilai yang
berpasangan, tetapi yang mungkin bertentangan. Objek dalam dogmatik
hukum pidana adalah hukum pidana positif, yang mencakup kaidah-kaidah
dan sistem sanksi. Ilmu tersebut bertujuan untuk mengadakan analisis dan
sistematisasi kaidah-kaidah hukum pidana untuk kepentingan penerapan
yang benar.
Ilmu tersebut juga berusaha untuk menemukan asas-asas hukum
pidana yang menjadi dasar dari hukum pidana positif., yang kemudian
menjadi patokan bagi perumusan serta penyusunan secara sistematis.
Sosiologi hukum pidana memusatkan perhatian pada sebab-sebab
timbulnya peraturan-peraturan pidana tertentu, serta efektifitasnya di dalam
masyarakat. Oleh karena itu ruang lingkup sosiologi hukum pidana sebagai
berikut:

Proses mempengaruhi antara kaidah-kaidah hukum pidana dan


warga masyarakat;

Efek dari proses kriminalisasi serta deskriminalisasi;

Identifikasi terhadap mekanisme produk dari hukum pidana;

Identifikasi terhadap kedudukkan serta peranan para penegak


hukum;

Efek dari peraturan-peraturan pidana terhadap kejahatan, terutama


pola prilakunya. Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang meneliti
delikuensi dan kejahatan, sebagai suatu gejala sosial. Jadi, ruang
lingkupnya adalah proses terjadinya hukum pidana, penyimpangan
terhadap hukum atau pelanggarannya, dan reaksi terhadap pelanggaran-
pelanggaran tersebut.
Kriminologi

Kriminolog mencakup tiga bagian pokok yaitu:

a. Sosiologi hukum pidana yang meneliti dan menganalisis kondisi-


kondisi tempat hukumpidana berlaku;
b. Etiologi kriminal yang meneliti serta mengadakan analisis terhadap
sebab-sebabterjadinya kejahatan;
c. Penologi yang ruang lingkupnya mencakup pengendalian terhadap
kejahatan

Kriminologi merupakan teori tentang gejala hukum. Dari pengertian


ini nampak adanya hubungan antara hukum pidana dengan kriminologi
bahwa keduanya sama-sama bertemu dalam kejahatan, yaitu
perbuatan/tingkah laku yang diancam pidana. Adapun perbedaan hukum
pidana dan kriminologi terletak pada objeknya.

Objek hukum pidana menunjuk pada apa yang dipidana menurut


norma-norma hukum pidana yang berlaku. Sedangkan objek kriminologi
tertuju pada manusia yang melanggar hukum pidana dan kepada
lingkungan manusia-manusia tersebut. Dengan demikian, wajarlah bila
batasan luas kedua objek ilmu itu tidak sama. Hal ini melahirkan kejahatan
sebagai objek hukum pidana dan kejahatan sebagai objek kriminologi.

Hukum pidana memperhatikan kejahatan sebagai pristiwa pidana


yang dapat mengancam tata tertib masyarakat, serta kriminologi
mempelajari kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang melibatkan
individu sebagai manusia. Dengan demikian, hukum pidana melihat bahwa
perbuatan melanggar ketentuan hukum pidana disebut sebagai kejahatan,
sedangkan kriminologi melihat bahwa perbuatan bertentangan dengan hati
nurani manusia disebut kejahatan.

Titik tolak sudut pandang hukum pidana memiliki dua dimensi yaitu,
“unsur kesalahan dan unsur melawan hukum”.

Demikian pula kriminologi memiliki dua dimensi, yaitu faktor motif


(mental, psikologi, penyakit, herediter) dan faktor sosial yang memberikan
kesempatan bergerak. Hukum pidana menekankan pada
pertanggungjawaban, sedangkan kriminologi menekankan pada
accountabillity apakah perbuatan tersebut selayaknya diperhitungkan pada
pelaku, juga cukup membahayakan masyarakat.

Dalam kriminologi, unsur kesalahan tidak relevan. Interaksi hukum pidana


dan kriminoligi disebabkan hal-hal berikut:

a. Perkembangan hukum pidana akhir-akhir ini menganut sistem yang


memberikan kedudukkan penting bagi kepribadian penjahat dan
menghubungkan dengan sifat dan berat-ringannya (ukuran)
pemidanaannya.
b. Sejak dulu telah ada perlakuan khusus bagi kejahatan-kejahatan
yang dilakukan orang- orang gila dan anak-anak yang menyangkut
perspektif-perspektif dan pengertian- pengertiannya.
c. Kriminologi terwujud sedemikian rupa dalam hukum pidana sehingga
Criminale science sekarang menghadapi problema-problema dan
tugas-tugas yang sama sekali baru dan berhubungan erat dengan
kriminologi. Kriminologi tidak tergantung pada perspektif-perspektif
dan nilai-nilai hukum pidana. Hubungan yang erat dengan
kriminalitas merupakan syarat utama sehingga berlakunya norma-
norma hukum pidana dapat diawasi oleh kriminologi. Dalam
hubungan dengan dogmatik hukum pidana, kriminologi memberikan
kontribusinya dalammenentukkan ruang lingkup kejahatan atau
prilaku yang dapat dihukum.
Kejahatan

1.Pengertian Kejahatan

Adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai
perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian
maka si pelaku disebut sebagai penjahat.

Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian


yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan
penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu
diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula.

Kalaupun misalnya semua anggota dapat menerima sesuatu itu


merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih
menimbulkan perbedaan pendapat.

Pengertian dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat


diantara para sarjana. R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan
secara yuridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari
segi yuridis. pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku

yang bertentangan dengan undangundang.


Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan
adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita,
juga:

Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus


dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana :

a. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian.


b. Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan
yang disengaja atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat
yang merugikan.
c. Harus ada maksud jahat (mens rea).
d. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu
hubungan kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan.
e. Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang
undang-undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan
sendiri.
f. Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.

Berdasarkan pendapat-pendapat sarjana tersebut diatas dapat


diuraikan tentang pengertian kejahatan menurut penggunaannya masing-
masing:

a. Pengertian secara praktis: kita mengenal adanya beberapa jenis


norma dalam masyarakat antara lain norma agama, kebiasaan,
kesusilaan dan norma yang berasal dari adat istiadat.
b. Pelanggaran atas norma tersebut dapat menyebabkan timbulnya
suatu reaksi, baik berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan.
Norma itu merupakan suatu garis untuk membedakan perbuatan
terpuji atau perbuatan, yang wajar pada suatu pihak, sedang pada
pihak lain adalah suatu perbuatan tercela. Perbuatan yang wajar
pada sisi garis disebut dengan kebaikan dan kebalikannya yang
diseberang garis disebut dengan kejahatan.
c. Pengertian secara religius: mengidentikkan arti kejahatan dengan
dosa. Setiap dosa diancam dengan hukuman api neraka terhadap
jiwa yang berdosa.
d. Pengertian dalam arti yuridis: misalnya dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP). Walaupun KUHP sendiri tidak membedakan
dengan tegas antara kejahatan dan pelanggaran, tapi KUHP
memisahkan kejahatan dan pelanggaran dalam 2 buku yang
berbeda.

Menurut Memorie van Toelichting, sebagai dasar dari pembedaan


antara kejahatan dan pelanggaran adalah perbedaan antara rechtsdelicten
(delik hukum) dan wetsdelicten (delik undang-undang). Pelanggaran
termasuk dalam wetsdelicten, yaitu peristiwa-peristiwa yang untuk
kepentingan umum dinyatakan oleh undang-undang sebagai suatu hal
yang terlarang.

Misalnya mengendarai sepeda pada malam hari tanpa lampu


merupakan suatu delik undang-undang karena undang-undang
menyatakannya sebagai perkaitan yang terlarang. Sedangkan kejahatan
termasuk dalam rehtsdelicten (delik hukum), yaitu peristiwa- peristiwa yang
berlawanan atau bertentangan dengan asas-asas hukum yang, hidup
dalam keyakinan manusia. dan terlepas dari undang-undang. Contohnya
adalah pembunuhan dan pencurian. Walaupun perbuatan itu (misalnya)
belum diatur dalam suatu undang-undang, tapi perbuatan itu sangat
bertentangan dengan hati nurani manusia, sehingga dianggap sebagai

suatu kejahatan.

Upaya untuk melakukan pendekatan terhadap latar belakang


terjadinya kejahatan ditempuh dengan 4 (empat) pendekatan. Empat
pendekatan yang pada dewasa ini masih ditempuh dalam menjelaskan
latar belakang terjadinya kejahatan adalah:

a. Perdekatan biogenik, yaitu suatu pendekatan yang mencoba


menjelaskan sebab atau sumber kejahatan berdasarkan faktor-faktor
dan proses biologis.
b. Pendekatan psikogenik, yang menekankan bahwa para pelanggar
hukum memberi respons terhadap berbagai macam tekanan
psikologis serta masalah-masalah kepribadian yang mendorong
mereka untuk melakukan kejahatan.
c. Pendekatan sosiogenik, yang menjelaskan kejahatan dalam
hubungannya dengan proses- proses dan struktur-struktur sosial
yang ada dalam masyarakat atau yang secara khusus dikaitkan
dengan unsur-unsur didalam sistem budaya.
d. Pendekatan tipologis, yang didasarkan pada penyusunan tipologi
penjahat dalam hubungannya dengan peranan sosial pelanggar
hukum, tingkat identifikasi dengan kejahatan, konsepsi diri pola
persekutuan dengan orang lain yang penjahat atau yang bukan
penjahat, kesinambungan dan peningkatan kualitas kejahatan, cara
melakukan dan hubungan pelaku dengan unsur-unsur kepribadian
serta sejauh mana kejahatan merupakan bagian dan kehidupan
seseorang.

Pengetahuan tentang tipologi penjahat, kejahatan dan kriminalitas


sangat diperlukan bagi usaha untuk merancang pola pencegahan dan
pembinaan pelanggar hukum. Dengan mengembangkan suatu tipologi
mengenai kejahatan dan penjahat, maka akan diperoleh gambaran yang
lengkap dan cermat mengenai pelaku dan kejadiannya serta sejumlah ciri
umum dari kejahatan dan penjahat yang lebih jauh dapat dipakai untuk
menentukan teknik-teknik yang lebih membawa hasil dalam rangka
pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum.

2. Kejahatan dengan Kekerasan

Kejahatan dengan kekerasan adalah perbuatan yang memenuhi


rumusan-rumusan ketentuan dalam buku ke-II KUHP yang dilakukan
dengan cara-cara yang berakibat luka atau matinya seseorang.

Beberapa Pasal dalam buku ke-II KUHP yang mengatur tentang kejahatan
dengan kekerasan, yaitu:

a. Pencurian (Pasal 365 KUHP)

b. Pemerasan (Pasal 368 KUHP)

c. Pemerkosaan atau rape (Pasal 285 KUHP)

d. Penganiayaan (Pasal 351 KUHP)


Terdapat empat macam kekerasan yang harus diperhatikan dalam
kriminologi, yaitu:

a. Kekerasan individual (kekerasan yang dilakukan oleh perorangan


seperti pembunuhan, penganiayaan).
b. Kekerasan institusional (kekerasan yang didukung oleh hukum,
seperti kekerasan yang dilakukan oleh polisi yang berupa
penekanan dalam kegiatan tertentu).
c. Kekerasan struktural (misalnya kemiskinan, kelaparan dan
pengangguran).
d. Kekerasan revolusioner (misalnya gerilya).

Martin L. Haskel dan Lewis Yablonsky mengemukakan ada empat


kategori yang mencakup hampir semua pola-pola kekerasan, yaitu
sebagai berikut:

a. Kekerasan Legal
b. Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum,
misalnya tentara yang melakukan tugas dalam peperangan, maupun
kekerasan yang dibenarkan secara legal, misalnya olahraga tinju
serta tindakan-tindakan tertentu untuk membela diri.
c. Kekerasan Secara Sosial Mempunyai Sanksi
d. Suatu faktor penting dalam menganalisis Kekerasan adalah tindakan
dukungan atau sanksi sosial terhadapnya, misalnya tindakan seorang
suami atas penzina akan memperoleh dukungan sosial.
e. Kekerasan Rasional
f. Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tidak ada
sanksi sosialnya, adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam
konteks kejahatan. Misalnya pembunuhan dalam kerangka suatu
kejahatan terorganisasi.
g. Kekerasan Yang Tidak Berperasaan (Irrational Violence)
h. Kejahatan yang menjadi dampak adanya provokasi terlebih dahulu,
tanpa memperlihatkan motivasi tertentu pada umumnya korban tidak
dikenal oleh pelakunya.
i. Dapat digolongkan kedalamnya adalah apa yang dinamakan raw
violence merupakan ekspresi langsung dari gangguan psikis
seseorang dalam saat tertentu di dalam kehidupannya.
Pelanggaran
Menurut Andi Hamzah menyatakan bahwa pembagian delik atas

Kejahatan dan Pelanggaran di dalam WvS Belanda 1886 dan WvS (KUHP)

Indonesia 1918 itu menimbulkan perbedaan secara teoritis. Kejahatan


sering disebut sebagai delik hukum, artinya sebelum hal itu diatur dalam
undangundang, sudah dipandang sebagai seharusnya dipidana,
sedangkan Pelanggaran sering disebut sebagai delik undang-undang,
artinya dipandang sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang.

Lebih lanjut Andi Hamzah menjelaskan bahwa mengenai jenis


pidana, tidak ada perbedaaan mendasar antara Kejahatan dan
Pelanggaran.Hanya pada Pelanggaran tidak

pernah diancam pidana.

Lamintang, dalam bukunya dasar-dasar hukum pidana di Indonesia

menyatakan bahwa Orang pada umumnya baru mengetahui bahwa


tindakan tersebut merupakan pelanggaran yang bersifat melawan hukum
sehingga dapat dihukum yaitu setelah tindakan tersebut dinyatakan
dilarang dalam undang-undang.8Kemudian pada pelanggaran Tidak
terdapat ketentuan adanya suatu pengaduan sebagai syarat bagi
penuntutan.
ASAS - ASAS HUKUM PIDANA

A. Pengertian Asas ,

Apabila kita sekarang sampai pada pembicaraan mengenai asas


hukum, maka pada saat itu kita membicarakan unsur penting dari
peraturan hukum. Barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa
asas hukum ini merupakan “jantungnya” peraturan hukum.

Ini berarti, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa


dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut landasan, asas
hukum ini layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum,
atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Asas hukum ini tidak
akan habis kekuatannya dengan melahirkan peraturan-peraturan
selanjutnya.

Menurut van Elkema Hommes,

“Asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum


yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau
petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku”.

Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas


hukum tersebut. Dengan kata lain, asas hukum ialah dasar-dasar atau
petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.
Sedangkan menurut P. Scholten,

“Asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang


disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-
sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan umum
itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada”

Kalau peraturan hukum yang konkrit itu dapat diterapkan secara


langsung pada peristiwanya, maka asas hukum diterapkan secara tidak
langsung. Untuk menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam
kaedah atau peraturan yang konkrit. Ini berarti menunjuk kepada
kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan yang
konkrit itu.

Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa,

“ Asas hukum pidana adalah pikiran dasar yang umum sifatnya atau
merupakan latar belakang dari peraturan-peraturan yang konkrit pada
hukum pidana”.

B. Asas-Asas Hukum Pidana

Ilmu pengetahuan tentang hukum pidana (positif) dapat dikenal


beberapa asas yang sangat penting untuk diketahui, karena dengan asas-
asas yang ada itu dapat membuat suatu hubungan dan susunan agar
hukum pidana yang berlaku dapat dipergunakan secara sistematis, kritis,
dan harmonis.

Pada hakekatnya dengan mengenal, menghubungkan, dan


menyusun asas di dalam hukum pidana positif itu, berarti menjalankan
hukum secara sistematis, kritis, dan harmonis sesuai dengan dinamika
garis-garis yang ditetapkan dalam hukum pidana.

1. Asas Legalitas

Asas legalitas tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Kalau


kata-katanya yang asli di dalam bahasa Belanda disalin ke dalam
bahasa Indonesia kata demi kata, maka akan berbunyi: “ Tiada suatu
perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.

Asas legalitas yang tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP


dirumuskan di dalam bahasa Latin:

“Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”,

Yang dapat disalin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata


dengan:

“Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang
mendahuluinya”.

Sering juga dipakai istilah Latin:

“Nullum crimen sine lege stricta”,

Yang dapat disalin kata demi kata pula dengan:

“Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”.

Ucapan nullum delictum nulla poena sine praevia lege berasal dari
Von Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang
merumuskannya dalam pepatah latin tadi dalam bukunya: “Lehrbnuch des
pein leichen recht” 1801.

Hal ini oleh Anselm von Feuerbach dirumuskan sebagai berikut:

“Nulla poena sine lege, Nulla poena sine Crimine, Nullum Crimen
sine poena legali”.

Artinya:

“Tidak ada hukuman, kalau tak ada Undang-undang,

Tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan, Tidak ada kejahatan,
kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan Undang-undang . Perumusan
asas legalitas dari von Feuerbach dalam bahasa Latin itu dikemukakan
berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori “vom
psychologian zwang”, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang
macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga
tentang macamnya pidana yang diancamkan.

Biasanya asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian,


yaitu:

a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana


kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan
undang-undang.
b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi. (kiyas)
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Asas dasar bahwa hukum pidana tidak berlaku surut sebagaimana
tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dibatasi dengan kekecualian yang
tercantum di dalam ayat 2 pasal itu. Ayat 2 itu berbunyi: “Apabila
perundang-undangan diubah setelah waktu perbuatan dilakukan, maka
terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan
baginya”.

Mengenai perubahan dalam perundang-undangan, ada tiga macam :

a. formil (formale leer)


b. materiel terbatas (beperkte materiele leer)
c. materiel yang tidak terbatas (onbeperkte materiele leer)

Menurut formil, dikatakan ada perubahan dalam undang-undang


kalau redaksi (teks) undang-undang diubah. Menurut materiel bahwa
perubahan dalam perundang-undangan terbatas dalam arti kata pasal 1
ayat 2 KUH Pidana, yaitu tiap perubahan sesuai dengan suatu perubahan
perasaan (keyakinan) hukum para pembuat undang-undang.

Adapun menurut materiel yang tidak terbatas, tiap perubahan adalah


mencakup perasaan hukum dari pembuat undang-undang maupun dalam
keadaan boleh diterimanya sebagai suatu perubahan dalam undang-
undang menurut arti kata pasal 1 ayat 2 KUH Pidana.

2. Asas Keberlakuan Hukum Pidana

Kekuasaan berlakunya KUHP dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi
negatif dan segi positif. Segi negatif dikaitkan berlakunya KUHP dengan
waktu terjadinya perbuatan pidana. Artinya bahwa KUHP tidak berlaku
surut. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan pasal 1 ayat 1 KUHP. Bunyi
pasal 1 ayat 1 KUHP yaitu :

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan


pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan
dilakukan,”.

Kekuasaan berlakunya KUHP ditinjau dari segi positif artinya bahwa


kekuatan berlakunya KUHP tersebut dikaitkan dengan tempat terjadinya
perbuatan pidana. Kekuasaan berlakunya KUHP yang dikaitkan dengan
tempat diatur dalam pasal 1 sampai 9 KUHP.

Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat


dapat dibedakan menjadi empat asas, yaitu territorial
(territorialiteitsbeginsel), asas personal (personaliteitsbeginsel), asas
perlindungan atau nasional yang pasif (bescermingsbeginsel atau passief
nationaliteitbeginsel), dan asas universal (universaliteitsbeginsel).

3. Asas Territorial atau Wilayah

Asas wilayah ini menunjukkan bahwa siapa pun yang melakukan


delik di wilayah negara tempat berlakunya hukum pidana, tunduk pada
hukum pidana itu. Dapat dikatakan semua negara menganut asas ini,
termasuk Indonesia. Yang menjadi patokan ialah tempat atau
wilayah sedangkan orangnya tidak dipersoalkan.
Asas wilayah atau teritorialitas ini tercantum di dalam pasal 2 dan 3
KUHP:

Pasal 2 yang berbunyi:

“Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi


setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia.

Pasal 3 yang berbunyi:

“Aturan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap


orang yang di luar Indonesia melakukan perbuatan pidana di dalam kapal
Indonesia.”

Pasal 3 KUHP ini sebenarnya mengenai perluasan dari pasal 2.

Undang-Undang Pidana Indonesia berlaku terhadap setiap orang


yang melakukan sesuatu pelanggaran/kejahatan di dalam wilayah
kedaulatan negara Republik Indonesia. Jadi bukan hanya berlaku terhadap
warga negara Indonesia sendiri saja, namun juga berlaku terhadap orang
asing yang melakukan kejahatan di wilayah kekuasaan Indonesia.

Yang menjadi dasar adalah tempat di mana perbuatan melanggar itu


terjadi, dan karena itu dasar kekuasaan Undang-Undang Pidana ini
dinamakan asas Daerah atau asas Territorial. Yang termasuk wilayah
kekuasaan Undang-Undang Pidana itu, selain daerah (territoir), lautan dan
udara territorial, juga kapal-kapal yang memakai bendera Indonesia (kapal-
kapal Indonesia) yang berada di luar perairan Indonesia.

Berlakunya hukum pidana terutama berdasarkan wilayah dibatasi


atau mempunyai kekecualian yaitu hukum internasional. Hal ini tercantum
di dalam pasal 9 KUHP, yang berbunyi pasal-pasal 2 – 5, 7 dan 8 dibatasi
oleh hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum internasional.

Kecualian-kecualian itu umumnya diakui ada 4 hal:

a. Kepala negara beserta keluarga dari negeri sahabat. Mereka


mempunyai hak ekteritorial. Hukum nasional tidak berlaku bagi
mereka.
b. Duta-duta negara asing beserta keluarganya. Mereka ini juga
mempunyai hak tersebut. Apakah konsul-konsul juga mempunyai hak
ini tergantung dari traktaat.
c. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu negara,
sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal
perang adalah teritoir negara yang mempunyainya.
d. Tentara negara asing yang ada di dalam wilayah negara dengan
persetujuan negara itu

4. Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif

Asas personalitas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat


delik. Hukum pidana Indonesia mengikuti warganegaranya kemana pun ia
berada. Asas ini bagaikan ransel yang melekat pada punggung warga
negara Indonesia kemana pun ia pergi. Inti asas ini tercantum di dalam
pasal 5 KUHP.

Ayat 1:

“ Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi


warga negara yang di luar Indonesia melakukan”
Salah satu perbuatan yang oleh suatu aturan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan sedangkan
menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan,
diancam dengan pidana.

Ayat 2:

“Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam ke-2 dapat


dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan
perbuatan”

Ini jangan dipandang sebagai imbangan dari prinsip bahwa


warganegara tidak diserahkan kepada pemerintah asing. Apa yang
mungkin dipidana menurut pasal ini adalah lebih luas daripada apa yang
mungkin menjadi alasan untuk menyerahkan seorang bukan warganegara.

Peraturan Penyerahan (uitleveringsbesluit) S. 1883-188, yang


mungkin menjadi alasan untuk menyerahkan seorang bukan warganegara
adalah terbatas pada kejahatan-kejahatan yang tersebut di situ saja.

Beberapa ketentuan-ketentuan yang penting dari Peraturan


Penyerahan itu adalah:

a. Penyerahan orang asing hanya mungkin jika memenuhi syarat-


syarat tersebut dalam peraturan ini.
b. Penentuan macam-macamnya perbuatan pidana memungkinkan
penyerahan.
c. Penyerahan tidak dilakukan, selama orang asing itu sedang dituntut
perkaranya, atau sesudahnya diadili atau sesudahnya diadili
dibebaskan atau dilepas dari segala tuntutan.
d. Penyerahan dimintakan dengan melalui jalan diplomatik.

Namun dalam pasal 6 KUHP membatasi ketentuan pasal 5 ayat (1)


agar tidak memberikan keputusan pidana mati terhadap terdakwa apabila
undang-undang hukum pidana negara asing tidak mengancam pidana
mati, sebagai asas keseimbangan politik hukum.

Bunyi pasal 6 KUHP yaitu:

“Berlakunya pasal 5 ayat (1) dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak


dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan negara di mana
perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak diancam dengan pidana mati,
diadakan untuk mencegah, bukan warganegara yang sesudah melakukan
perbuatan pidana di negeri asing, melarikan diri ke Indonesia lalu minta
dinaturalisasikan sebagai warganegara Indonesia, sehingga dengan
demikian tidak bisa diserahkan dan terluput dari penuntutan pidana.
Dengan adanya ayat tersebut, dalam hal demikian, mereka dapat dituntut
di sini karena perbuatannya di negeri asing”

5. Asas Perlindungan atau Asas Nasionalitas Pasif

Asas nasional pasif ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP


terhadap siapa pun juga baik WNI maupun WNA yang melakukan
perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Jadi yang diutamakan adalah
keselamatan kepentingan suatu negara.

Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara (juga


Indonesia) berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar
negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan negara
dilanggar di luar wilayah kekuasaan negara itu.
Di sini yang dilindungi bukanlah kepentingan individual orang
Indonesia, tetapi kepentingan nasional atau kepentingan umum yang lebih
luas. Jika orang Indonesia menjadi korban delik di wilayah negara lain,
yang dilakukan oleh orang asing, maka hukum pidana Indonesia tidak
berlaku. Diberi kepercayaan kepada setiap negara untuk menegakkan
hukum di wilayahnya sendiri.

Mengenai orang Indonesia yang di luar wilayah Indonesia melakukan


kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank
atau tentang materei atau merk yang dikeluarkan atau digunakan oleh
Pemerintah Republik Indonesia.

Mengenai orang Indonesia yang melakukan pemalsuan tentang


surat-surat utang atau sertifikat-sertifikat utang yang ditanggung oleh
Pemerintah Republik Indonesia , daerah atau sebagian daerah, pemalsuan
talon-talon, surat-surat utang sero (dividen) atau surat-surat bunga uang
yang termasuk surat-surat itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat
palsu atau yang dipalsukan seperti itu, seakan-akan surat itu asli dan tidak
dipalsukan.

Mengenai yang tercantum, pada kalimat yang pertama yang


berbunyi “melakukan kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara
atau uang kertas bank”, tidak termasuk asas nasionalitas pasif, melainkan
asas universalitas, yang akan diuraikan di belakang. Yang termasuk asas
perlindungan ialah kejahatan terhadap materei atau merk yang dikeluarkan
atau yang dipergunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Ketentuan yang tercantum di dalam pasal 8 KUHP juga termasuk


asas perlindungan. Pasal ini berbunyi:
“Peraturan hukum pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia
berlaku bagi nahkoda dan orang yang berlayar dengan alat pelayar
Indonesia di luar Indonesia, juga pada waktu mereka tidak berada di atas
alat pelayar, melakukan salah satu perbuatan yang dapat dipidana, yang
tersebut dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX Buku Ketiga, demikian
juga tersebut dalam undang-undang umum tentang surat-surat laut dan
pas-pas kapal di Indonesia dan yang tersebut dalam undang-undang
(ordonansi) kapal 1935.”

Kesimpulan :

Dasar pemikiran sehingga ketentuan ini diciptakan, ialah untuk melindungi


kepentingan hukum negara Indonesia di bidang perkapalan.

6. Asas Universalitas

Asas universalitas ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP


terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang
bertujuan untuk merugikan kepentingan internasional. Peristiwa pidana
yang terjadi dapat berada di daerah yang tidak termasuk kedaulatan
negara mana pun. Jadi yang diutamakan oleh asas tersebut adalah
keselamatan internasional.

Contoh:

“Pembajakan kapal di lautan bebas, pemalsuan mata uang negara tertentu


bukan negara Indonesia”

Jadi di sini mengenai perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan


dalam daerah yang tidak termasuk kedaulatan sesuatu negara mana pun,
seperti: di lautan terbuka, atau di daerah kutub.
Yang dilindungi dilindungi di sini ialah kepentingan dunia. Jenis
kejahatan yang diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan
saja dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia.

Secara universal (menyeluruh di seantero dunia) jenis kejahatan ini


dipandang perlu dicegah dan diberantas. Demikianlah, sehingga orang
Jerman menamakan asas ini weltrechtsprinzip (asas hukum dunia). Di sini
kekuasaan kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi pengadilan tidak
tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili
terdakwa.

Asas ini didasarkan atas pertimbangan, seolah-olah di seluruh dunia


telah ada satu ketertiban hukum.

7. Asas Kesalahan dan Asas-Asas Penghapusan Pidana

Pendapat para ahli pada umumnya mengakui berlakunya asas tidak


tertulis dalam hukum pidana, yaitu asas “geen straf zonder schuld”, atau
tiada pidana tanpa kesalahan. Di samping itu juga dikenal beberapa asas
yang berlaku dalam ilmu pengetahuan pidana, tetapi dalam beberapa hal
telah ada yang dirumuskan terbatas dalam undang-undang:

a. Alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden), yaitu menghapuskan


sifat

melawan hukumnya perbuatan, sehingga menjadi perbuatan yang


benar;

b. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden), yaitu menghapuskan sifat


kesalahan dari terdakwa meskipun perbuatannya bersifat melawan
hukum tetapi tidak pidana;
c. Alasan penghapusan penuntutan (onvervolgbaarheid), yaitu
pernyataan tidak menuntut karena tidak dapat diterima oleh badan
penuntut umum yang disebabkan konflik kepentingan dengan lebih
mengutamakan kemanfaatannya untuk tidak menuntut.

Kesimpulan:

“Dalam asas kesalahan dan asas-asas penghapusan pidana


yang sebagian besar masih berkembang di dalam doktrin ilmu
pengetahuan itu, apabila banyak para sarjana yang menganjurkan
untuk dirumuskan secara tertulis di dalam undang-undang hukum
pidana, akan mengalami kesulitan untuk membuat batasan
berhubung dengan sifatnya asas-asas itu terus menyesuaikan
(fleksibel) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Kedua asas
hukum pidana tentang kesalahan dan penghapusan pidana itu
mempunyai arti penting untuk menentukan dipidana atau tidak
dipidananya seseorang meskipun telah terbukti perbuatannya akan
tetapi tidak terpenuhi unsur dari asas-asas tersebut di atas”
SANKSI PIDANA DAN

PENERAPANNYA

AMIR. SH. MH

Prof. DR. Sudarto, SH MH menyatakan bahwa sanksi pidana


akan menemui kegagalan dan hanya akan mendatangkan
kecemasan belaka. Dalam hal ini, apabila terlalu banyak
menggunakan ancaman pidana dapat mengakibatkan devaluasi dari
undang-undang pidana itu sendiri.

Selain itu, sehubungan dengan sanksi pidana ini, Jeremy


Bentham, menyatakan hal yang serupa dimana ia menyatakan
bahwa sanksi pidana jangan digunakan apabila :

a. Groundless (tanpa dasar).


b. Needless (tidak berguna).
c. Unprofitable (tidak mendatangkan keuntungan)
d. Ineffective (tidak efektiv).

Demikian juga dengan Packer yang menyatakan hal serupa


dimana ia menyatakan bahwa sanksi pidana akan menjadi penjamin
yang utama apabila digunakan dengan cermat, dengan hati-hati dan
digunakan secara manusiawi.

Akan tetapi sebaliknya, sanksi pidana akan menjadi


pengancam yang membahayakan apabila digunakan secara
Indiscriminately (diskriminasi) dan coercively (dengan paksaan). Oleh
karena itu, lebih lanjut Packer menegaskan bahwa syarat-syarat
penggunaan sanksi pidana secara optimal harus mencakup hal-hal
sebagai berikut:

a. Perbuatan yang dilarang tersebut menurut pandangan


sebagian besar anggota masyarakat secara menyolok
dianggap membahayakan masyarakat dan tidak dibenarkan
oleh apa saja yang oleh masyarakat dianggap penting;
b. Penerapan sanksi pidana terhadap perbuatan tersebut
konsisten dengan tujuan-tujuan pemidanaan;
c. Pemberantasan terhadap perbuatan tersebut tidak akan
menghalangi atau merintangi perilaku masyarakat yang
diinginkan;
d. Perilaku tersebut dapat dihadapi melalui cara yang tidak
berat sebelah dan tidak bersifat diskriminatif;
e. Pengaturan melalui proses hukum pidana tidak akan
memberikan kesan memperberat baik secara kualitatif
maupun secara kuantitatif;
f. Tidak ada pilihan-pilihan yang beralasan daripada sanksi
pidana tersebut guna menghadapi perilaku yang
bersangkutan.

Dari berbagai pendapat sebagaimana disebutkan diatas, dapat


disimpulkan bahwa pidana hendaknya digunakan apabila memang
benar-benar mendasar dan apabila benar-benar dibutuhkan. Dan
pidana itu akan bermanfaat apabila digunakan secara cermat, secara
hati-hati, dan secara manusiawi serta digunakan dalam waktu yang
tepat dan keadaan yang tepat pula.

Sebaliknya, mengutip kembali pendapat dari Sudarto, Jeremy


Bentham, Packer, Clinard dan Yeagar diatas, apabila penggunaan
pidana tersebut tidak benar, tidak tepat, tidak cermat, tidak hati-hati
dan digunakan dengan tidak manusiawi atau digunakan secara
“sembarangan” akan membahayakan atau akan menjadi pengancam
yang utama.

Dan pidana pokok dan pidana tambahan yang berupa


pengumuman keputusan hakim (publication) dapat kepada setiap
orang dan korporasi serta merupakan sanksi yang paling ditakuti
khususnya korporasi.

Terkait dengan “corporate death penalty” sebagaimana


dikemukakan oleh Brickey diatas baik yang dilakukan secara
keseluruhan ataupun yang dilakukan secara sebagian, menurut
Yoshio, hal ini harus dilakukan secara sangat hati-hati oleh karena
dampak putusan dari “corporate death penalty” tersebut sangat luas,
dalam hal ini yang menderita tidak hanya pihak yang berbuat salah,
tetapi juga akan berdampak bagi orang-orang yang tidak berdosa
seperti buruh, pemegang saham dan para konsumen sebuah pabrik.

Apabila dibandingkan dengan stelsel pemidanaan yang ada


dalam hukum pidana Indonesia, tepatnya dalam KUHP yang berlaku
dewasa ini, Perlu dikemukakan dimuka bahwa korporasi tidak dikenal
sebagai subjek hukum pidana karena dalam KHUP yang berlaku
dewasa ini sangat dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non
potest” yaitu badan hukum (korporasi) tidak dapat melakukan tindak
pidana.

Namun demikian, didalam undang-undang yang tersebar diluar


KUHP (hukum pidana khusus) telah diatur korporasi sebagai subjek
hukum pidana. Hal ini menunjukan pula bahwa terdapat urgensi
untuk mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana dan dalam
rangka menghindari dualisme norma atau tumpang tindih aturan
diantara peraturan perundang-undangan yang tersebar diluar KUHP
dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum, maka , pengaturan
korporasi sebagai subjek hukum pidana seharusnya diatur dalam
buku I KUHP sehingga akan berlaku bagi seluruh tidak pidana (baik
yang diatur dalam KUHP maupun yang diatur diluar KUHP).

Sehingga dalam merumuskan sanksi pidana didalam KUHP


dikenal dengan sistem dua jalur (double track system) yaitu sebuah
stelsel pemidanaan disamping penjatuhan sanksi pidana dikenal juga
tindakan yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana. Hal ini
diatur secara tegas dalam pasal 10 KUHP yang berbunyi:

Pidana terdiri atas:

a. Pidana Pokok:
1. Pidana Mati;
2. Pidana Penjara;
3. Kurungan;
4. Denda;
5. Pidana Tutupan (berdasarkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1946 Berita RI II Nomor 247)
b. Pidana Tambahan :

1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu;


2. Perampasan Barang-Barang Tertentu;
3. Pengumuman Keputusan Hakim.

Dari ketentuan pidana diatas dapat dilihat dengan jelas


bahwa semua sanksi tersebut hanya ditujukan atau hanya dapat
diterapkan pada manusia alamiah (naturlijk person), sedangkan
sanksi yang dapat dikenakan pada korporasi hanyalah denda dan
pengumuman putusan hakim.

Hal ini merupakan hal yang wajar disebabkan karena


KUHP tidak mengenal korporasi sebagai subjek hukum. Lain
halnya dengan undang-undang yang tersebar diluar KUHP atau
yang dikenal dengan hukum pidana khusus, dalam hukum pidana
khusus ini sudah dengan tegas menyatakan bahwa korporasi
sebagai salah satu subjek hukum pidana. Salah satu Undang-
Undang khusus yang menyatakan dengan tegas bahwa korporasi
sebagai subjek hukum adalah Undang-Undang Tindak Pidana
Ekonomi yaitu Undang-Undang Nomor 7 Drt tahun1955.

Dalam pasal 15 ayat (2) Undang-Undang ini dinyatakan


bahwa:

Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh suatu, atas


nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan
orang, atau suatu yayasan, jika tindakan dilakukan oleh orang-
orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan,
perserikatan atau yayasan itu tidak peduli apakah orang-orang itu
masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu
atau pada mereka bersama-sama ada anasir-anasir tindak
pidana tersebut.

Sedangkan terkait dengan perumusan sanksi pidana dan


tindakan yang dapat dijatuhkan baik terhadap manusia alamiah
(naturlijk person) ataupun bagi suatu korporasi dinyatakan
sebagai berikut:

a. Hukuman Pokok Berupa :


1. Hukuman Penjara;
2. Hukuman Kurungan;
3. Denda.

b. Hukuman Tambahan Berupa :


1. Pencabutan Hak-Hak Tersebut Dalam Pasal 35 KUHP;
2. Penutupan Seluruhnya Atau Sebagian Perusahan
Terhukum Dimana Tindak Pidana Ekonomi Itu Dilakukan
Selama 1 (Satu) Tahun;
3. Perampasan Barang-Barang Tetap Yang Berwujud Atau
Tidak Berwujud:

a) Dengan Mana Atau Mengenai Mana Tindak Pidana


Itu Dilakukan
b) Yang Sebagian Atau Seluruhnya Diperoleh Dengan
Tindak Pidana Itu
c) Harga Lawan Yang Menggantikan Barang Itu; Tanpa
Memperhatikan Apakah Barang Atau Harga Lawan
Tersebut Milik Si Terhukum Atau Bukan Miliknya
4. Perampasan Barang-Barang Tidak Tetap Yang Berwujud
Atau Tidak Berwujud:

a) Yang Termasuk Perusahan Si Terhukum, Dimana


Tindak Pidana Itu Dilakukan ;
b) Harga Lawan Yang Menggantikan Barang-Barang
Itu; Tanpa Memperdulikan Apakah Barang Atau
Harga Lawan Itu Milik Si Terhukum Atau Bukan
Miliknya, Akan Tetapi :
 Sekedar Barang-Barang Itu Sejenis Dan
Mengenai Tindak Pidananya;
 Bersangkutan Dengan Barang Yang Dapat
Dirampas Menurut Ketentuan Tersebut Dalam
Pasal 7 Ayat (1) KUHP.

5. Pencabutan Seluruh Atau Sebagian Hak-Hak Tertentu Atau


Penghapusan Seluruh Atau Sebagian Keuntungan Tertentu
Yang Telah Atau Dapat Diberikan Kepada Si Terhukum
Oleh Pemerintah Untuk Waktu Selambat-Lambatnya 2
(Dua) Tahun;

6. Pengumuman Keputusan Hakim.


1) Perampasan
a. Perampasan Barang-Barang Yang Bukan
Kepunyaan Si Terhukum Tidak Dijatuhkan
Sekedar Hak-Hak Pihak Ketiga Dengan Itikad Baik
Akan Terganggu;
b. Dalam Perampasan Barang-Barang, Maka Hakim
Dapat Memerintahkan, Bahwa Seluruhnya Atau
Sebagian Akan Diberikan Kepada Si Terhukum.

c. Tindakan Tata Tertib Antara Lain :


1. Penempatan Perusahan Di Bawah Pengampuan;
2. Kewajiban Membayar Uang Jaminan;
3. Kewajiban Mengerjakan Apa Yang Dilalaikan Tanpa
Hak Atau Meniadakan Apa Yang Dilakukan Tanpa
Hak;
4. Kewajiban Membayar Sejumlah Uang Sebagai
Pencabutan Keuntungan

Wassalam

Anda mungkin juga menyukai