Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PIDANA DAN PEMIDANAAN

DISUSUN OLEH:

EVA VERONICA 61117017

FAKULTAS ILMU SOSIAL, POLITIK, DAN HUKUM

UNIVERSITAS SERANG RAYA

2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................2
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4
2.1 PIDANA DAN PEMIDANAAN...................................................................4
2.2 TUJUAN PEMIDANAAN.............................................................................5
2.3 CONTOH KASUS.........................................................................................6
BAB III PENUTUP...............................................................................................10
3.1 Kesimpulan...................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA 11

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Hukum pidana yang saat ini berlaku di Indonesia merupakan hukum warisan
penjajahan Belanda yang berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di
Indonesia. Secara yuridis formal pemberlakuan hukum pidana Belanda di
Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana yang dimana merupakan penegasan negara Indonesia
untuk memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 sebagai hukum pidana yang berlaku di
Indonesia.
Sangat disadari bahwa hukum pidana yang sekarang ini berlaku di Indonesia
sudah tidak dapat menampung aspirasi masyarakat yang berkembang sangat
dinamis serta tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia.
Pembaharuan hukum pidana dalam rangka menciptakan sistem hukum pidana
nasional menjadi sangat urgen dan mendesak untuk dikedepankan.
Pada dasarnya, hukum pidana itu dibangun di atas substansi pokok yaitu: (1)
tindak pidana, (2) pertanggungjawaban pidana, dan (3) pidana dan pemidanaan.
Dalam perkembangannya, pidana dan pemidanaan selalu mengalami perubahan
yang disebabkan oleh adanya upaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya demi meningkatkan kesejahteraan. Tingkat kriminalisasi dalam
masyarakat pun meningkat akibat kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat
disertai dengan kemiskinan yang relatif masih cukup tinggi. Hal tersebut
menyebabkan perlu adanya pembaharuan hukum pidana dalam penjatuhan suatu
sanksi pidana yang nantinya akan menjadi peringatan setiap orang agar berfikir
dua kali dalam melakukan suatu tindak pidana.
Terkait dengan jenis-jenis pidana di atas, pidana penjara merupakan pidana
yang sangat digemari oleh para perumus undang-undang dalam merumuskan
ancaman pidana maupun oleh para hakim dalam menjatuhkan pidana bagi pelaku
tindak pidana di kehidupan bermasyarakat. Pidana penjara dianggap menjadi

2
satusatunya pidana yang paling efektif untuk memberikan efek jera pada pelaku
tindak pidana. Pada hukum positif Indonesia sendiri, jenis pidana ini merupakan
jenis pidana terbanyak yang diancamkan dalam berbagai ketentuan pidana.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud Pidana dan Pemidanaan?
2) Apa tujuan Pemidanaan?

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PIDANA DAN PEMIDANAAN


Pemidanaan merupakan penjatuhan atau pengenaan penderitaan pada
seseorang yang melanggar hukum oleh petugas yang berwenang sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Terdapat tiga teori pemidanaan yaitu
sebagai berikut:
a) Teori Pembalasan/Teori Absolute (vergerldingstheorien)
Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk
yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang
mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada,
karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat
penjatuhan pidana. Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan
subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan
terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap
apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar.
Menurut J.E. Sahetapy, apabila pidana itu dijatuhkan dengan tujuan
semata-mata hanya untuk membalas dan menakutkan, maka belum pasti tujuan ini
akan tercapai, karena dalam diri si terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa
bersalah atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan ia menaruh rasa
dendam.
b) Teori Tujuan/Teori Relatif (doeltheorien)
Teori pembalasan kurang memuaskan, kemudian timbullah teori tujuan.
Teori ini memberikan dasar pemikirannya bahwa dasar hukuman dari
pidana adalah terletak dari tujuannya sendiri. Teori ini terbagi menjadi dua
bagian, pertama teori pencegahan umum (algemene preventive atau
general preventive). Teori ini ingin mencapai tujuan dari pidana, yaitu
semata-mata dengan membuat jera setiap orang agar mereka itu tidak
melakukan kejahatan-kejahatan. Sementara teori tujuan khusus (bijondere
preventie atau speciale preventie) mempunyai tujuan agar pidana itu

4
mencegah penjahat dalam mengulangi lagi kejahatannya, dengan
memperbaikinya lagi.

c) Teori Gabungan
Selain teori absolut dan teori relatif tentang hukum pidana, kemudian
muncul teori ketiga yaitu teori gabungan. Teori ini menggabungkan antara
teori absolut dan teori relatif. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut
di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan
pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan
yaitu:
1) Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena
dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti
yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang
melaksanakan.
2) Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan
karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukuman berat;
kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki
masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit
dilaksanakan.

2.2 TUJUAN PEMIDANAAN


Menurut Sholehuddin tujuan pemidanaan yaitu:
1) Memberikan efek penjeraan dan penangkalan. Penjeraan berarti
menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan
yang sama, sedangkan tujuan sebagai penangkal berarti di
pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan
menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat;
2) Pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan mengganggap
pemidanaan untuk jalan mencapai reformasi atau rehabilitasi pada
si terpidana. Ciri khas dari pandangan tersebut adalah pemidanaan

5
merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang
terpidana agar kembali berintegrasi dalam masyarakat secara
wajar; Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral, atau
merupakan proses reformasi. Karena itu dalam proses pemidanaan,
si terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui kesalahan
yang dituduhkan kepadanya.
CONTOH KASUS
Perampokan bersenjata api di Jalan Raya Gulon, Muntilan,
Magelang, Selasa (15/9) petang membuat geger warga Jawa Tengah.
Perampokan tersebut menimpa mobil jasa pengiriman uang milik PT
Kelola Jasa Arta (Kejar) dengan nomor polisi B 8399 MW. Tiga orang
yang berada dalam mobil tewas seketika dengan luka tembakan.
Tiga korban tewas Agus Sutrimo, warga Kebumen, Arif Wirahadi
(30) warga Dusun Gendol, Kelurahan Klopo, Kecamatan Tegalrejo,
Kabupaten Magelang, serta Brigadir Murdiono seorang anggota Brimob
Polda DIY, yang bertugas mengawal mobil Izusu Panther milik PT Kejar.
Sebelum terjadinya perampokan, ketiganya baru saja mengambil uang dari
Bank Danamon Kota Magelang dan Muntilan. Menurut saksi mata,
sebelum mobil menabrak tiang telepon terdengar suara rentetan tembakan.
Namun, perampok tak sempat mengambil uang yang ada dalam brankas
mobil sebab warga sudah banyak yang mendekati
Setelah ditangkap, pelaku, Edi, mengakui bahwa itu telah
direncanakan sebelumnya oleh Kusdarmanto. “Sehari sebelum eksekusi,
saya dan Kusdarmanto sempat rapat dua kali mau bagaimana nanti,” ujar
Edi. Saat eksekusi, Edi bertugas sebagai pembuka pintu belakang mobil
PT. Kelola Jasa Artha (Kejar) untuk mengambil uang senilai Rp 2 miliar
di brankas dengan sebelumnya membantu membunuh. Sedangkan
Kusdarmanto berperan sebagai pengeksekusi tiga penumpang mobil
tersebut yang kemudian ikut mengambil uang.
Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Polisi Resort Magelang
Inspektur Satu Aris Suwarno, Edi Syamsul Bahri ditangkap akan dijerat

6
hukuman dengan pasal 339 dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Saat penangkapan, pihaknya bekerja sama dengan Polres Makassar Barat,
Sulawesi Selatan. “Kami sudah berkoordinasi sebelumnya,” ujarnya.
Dua terdakwa kemudian divonis hukuman mati. Vonis untuk
Kusdarmanto dan Syamsul Bahri dijatuhkan majelis hakim dalam sidang
di Pengadilan Negeri Mungkid, Magelang, Jawa Tengah, Kamis(1/4).
Majelis hakim menilai, kedua terdakwa memenuhi unsur pasal
pembunuhan berencana sehingga pantas diganjar hukuman mati. Atas
putusan ini, kedua terdakwa melalui kuasa hukumnya menyakan naik
banding.
KAITAN DENGAN KASUS
Turut Serta
Dalam melakukan delik, sering pembuat (dader) dibantu oleh
orang lain, dan justru karena turut sertanya orang lain ini, menurut
POMPE,memberi bantuan tetapi tidak membuat, maka peristiwa pidana itu
mungkin dilakukan. Pelajaran umum turut serta, justru dibuat untuk
menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan pembuat
melakukan tindak pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak
memuat semua unsur delik tersebut, karena tanpa turut sertanya mereka,
sudah tentu peristiwa pidana tersebut tidak pernah terjadi.
Namun tidak semua peserta adalah strafbaar karena dalam pasal
60 KUHP bahwa “perbantuan melakukan pelanggaran, tidak dihukum”.
Pembujuk yang mempergunakan alat atau cara membujuk yang diluar
yang ditentukan pada pasal 55 KUHP, tidak dapat dihukum. Menurut Von
Feurbach, dua jenis peserta adalah :
a. Mereka yang langsung berusaha terjadinya peristiwa pidana,
yang melakukan inisiatif (urheber)
b. Mereka yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh
mereka yang disebut pada ad a, yaitu mereka yang tidak
langsung berusaha dan membantu saja (gehilfe)
Menurut pasal 55 KUHP, Urheber (pembuat) terbagi atas :

7
 Yang melakukan (pleger)
 Yang menyuruh supaya melakukan (doen pleger)
 Yang turut melakukan (medepleger)
 Yang membujuk supaya melakukan (uitloking)
Berdasarkan penjelasan diatas, maka kedua tersangka masuk dalam
katergori turut serta melakukan (Medeplegen), sebab tiap orang, yang
dalam kasus adalah kedua tersangka yaitu edi dan kusdarmanto, sengaja
(moedoet) atau turut berbuat dalam melakukan satu peristiwa pidana, yaitu
pencurian yang didahului dengan pembunuhan secara bersama-sama.
Kedua tersangka melakukan perbuatan masing-masing dan memenuhi
semua unsur delik yang bersangkutan (Pasal 365 ayat (4) KUHP)
Kemungkinan yang ada :
Semua dari mereka yang terlibat, masing-masing memenuhi semua
unsur delik
Dalam kasus, pelaku dikenai Pasal 365 ayat (4) KUHP tentang
pencurian, yaitu “Diancam dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu paling lama duapuluh tahun, jika
perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua
orang atau lebih dengan bersekutu, pula desertai oleh salah satu hal yang
diterangkan dalam no.1 dan 3”
Unsur-unsurnya :
1. Perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati
Dalam kasus, perbuatan kusdarmanto memembak dan edi mencuri
menyebabkan matinya 3 orang korban
2. Dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu
Dalam kasus, pelaku melakukan tindak pidana berdua dan telah
melakukan koordinasi sebelumnya mengenai perencanaan
pencurian yang didahului dengan pembunuhan terhadap para
korban yang menjaga uang tersebut
Daluarsa Penuntutan pidana

8
Pasal 78 KUHP (1) “kewenangan menuntut pidana hapus karena
daluarsa” dan pasal 3 “Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidna
penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun”
Berdasarkan perhitungan diatas, keduanya mendapatkan hukuman
pidana penjara limabelas tahun, sehingga daluarsa penuntutan mereka
adalah sesudah dua belas tahun Pasal 79 KUHP “Tenggang daluarsa
mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-
hal berikut :
Ke-1 Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai
berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang
dirusak digunakan oleh si pembuat
Ke-2 Mengenai kejahatan tersebut dalam pasal 328, 329, 330, dan 333,
tenggang dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh
kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia
Ke-3 Mengenai pelanggaran tersebut pasal 558a, tenggang dimulai pad
ahari sesudah daftar –daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu,
menurut aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register
burgerlijk stand harus dipindah ke kantor paniterasuatu pengadilan,
dipindah ke kantor tersebut.
Berdasarkan kasus, keduanya tidak memenuhi pengecualian dalam
ke-1 sanpai ke-3 Pasal 79 KUHP, sehingga tenggang daluarsa mulai
berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan pada tanggal 15 september
2009, dimana satu hari sesudah yaitu pada tanggal 16 September 2009
Kemudian Tanggal 16 September 2009 tersebut ditambahkan jumlah
waktu daluarsa penuntutan yang telah ditetapkan pada pasal 78 KUHP ayat
(1) ke-3 yaitu dua belas tahun, sehingga daluarsa penuntutan pidana pada
tanggal 16 September 2021.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pidana adalah istilah yuridis sebagai terjemahan dari bahasa
Belanda straf, dan dalam bahasa Inggris disebut sentence,  serta dalam bahasa
latin sanctio. Digunakannya istilah pidana di sini dan  bukan hukuman  adalah
bertujuan untuk memfokuskan makna yang terkandung dari istilah pidana
tersebut.
Dari  penjelasan  definisi pidana tersebut, tujuan pemidanaan ini
berkaitan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana yang mana aliran-aliran
ini berusaha untuk memperoleh suatu sistem hukum pidana positif  yang
prektis yang bermanfaat sesuai dengan perkembangan persepsi manusia
tentang hak-hak asasi manusia. 
Terdapat tiga hal yang menggugurkan pelaksanaan pidana yang diatur
di dalam KUHP. Pertama, terpidana meninggal dunia. Dalam hukum pidana
terdapat suatu doktrin yang menyatakan bahwa hukuman atau pidana
dijatuhkan semata-mata kepada pribadi terpidana, karenanya tidak dapat
dibebankan kepada ahli warisnya. Pasal 83 KUHP menyatakan bahwa
Kewenangan menjadikan atau melaksanakan pidana hapus jika terpidana
meninggal dunia.
Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan
manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami

10
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah kami.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

C.S.T Kansil, 2008. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet ke-8.
Jakarta: Balai Pustaka,
Wiryono Prodjodikoro, 1989 Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung:
Eresco.
INTERNET
http://www.fakultashukum-universitaspanjisakti.com/jurnal-kerta-
widya/146naskah-publikasi-dewa-gede-wirawan-pranajaya.html. (Diakses pada
tgl 20 Oktober pukul 20.25)
https://iceircrime.wordpress.com/2010/05/18/tugas-uas-analisis-kasus-pidana/
(Diakses pada tgl 20 Oktober pukul 20.25)

11

Anda mungkin juga menyukai