Anda di halaman 1dari 13

MAZHAB SEJARAH DALAM SOSIOLOGI HUKUM

Pengertian - Pengertian
Mazhab : (, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui
dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Menurut
para ulama dan ahli agama Islam, mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah
melalui pemikiran dan penelitian, kemudian menjadikannya sebagai pedoman yang jelas
batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah 1.
Pengertian lainnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) : Mazhab mengandung
pengertian : golongan pemikir yang sepaham di teori, ajaran atau aliran tertentu.
Sejarah: Kata sejarah secara harafiah berasal dari kata Arab (: ajaratun) yang
artinya pohon. Dalam bahasa Arab, sejarah disebut tarikh ( ) artinya kurang lebih
adalah waktu atau penanggalan. dalam bahasa Yunani yaitu historia yang berarti ilmu atau
orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi history, yang berarti masa lalu
manusia. Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah
terjadi. Secara umum sejarah menurut pemikiran beberapa ahli dapat dikatakan sebagai :
hasil dari pencatatan dan penelitian dari pemikiran, tindakan, perbuatan dan pengalaman
manusia pada masa yang lampau untuk dijadikan sebagai ilmu dan pengetahuan untuk
diajdikan sebagai pedoman, penilaian dan penentuan bagi arah proses masa depan. 2
Sosiologi Hukum :
Beberapa pengertian sosiologi hukum yang dikemukakan oleh beberapa ahli dalam bidang
sosiologi diantaranya : 3
Soerjono Soekanto : suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris yang
menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala
sosial lainnya
Satjipto Rahadjo : sosiologi hukum adalah pengetahuan hukum pada pola perilaku
masyarakat dalam konteks sosialnya.
R. Otje Salman : sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik
antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis
H.L.A. Hart : tidak mengemukakan tentang definisi sosiologi hukum, namun hanya
mengungkapkan bahwa suatu konsep tentang hukum yang mengandung unsur-unsur
kekuasaan yang terpusatkan kepada kewajiban tertentu didalam gejala hukum yang tampak
dari kehidupan bermasyarakat. Menurut Hart, inti dari suatu sistem hukum terletak pada
kesatuan antara aturan utama (primary rules) dan aturan tambahan (secondary rules).

Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Sosiologi Hukum
adalah ilmu pengetahuan bidang hukum yang mempelajari aspek aspek; relasi, hubungan
timbal balik, gejala gejala social kehidupan bermasyarakat dan unsur - unsur kekuasaan
didalamnya untuk menemukan suatu konsepsi tentang hukum.

Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab, diunduh pada tanggal 6 Juni 2012


Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah, diunduh pada tanggal 6 Juni 2012
3
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2024312-pengertian-sosiologi-hukum, diunduh pada tanggal
6 Juni 2012
2

II.

Perkembangan Pemikiran Penganut Mazhab Sejarah dalam Sosiologi Hukum


Munculnya pemikiran penganut mazhab sejarah (hukum sebagai fakta sejarah) adalah
reaksi kritis atas teologi dan filsafat hukum alam yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas
dan pemikiran positivism hukum4.
Antithesis dari kalangan Humanis berorientasi sejarah di abad ke 16, terutama Cicero, yang
antusias terhadap apa yang merupakan makna sesungguhnya dari bahasan yuristik yang sangat
dikenal dalam Corpus juris civilis.. Satu abad sebelum keberadaan kaum humanis yuristik
sudah terjadi perubahan menuju pandangan hukum yang lebih menyejarah dalam
yurisprudensi Sir John Forterscue, seorang Hakim Tinggi di Inggris (1400-1476) yang
merefleksikan situasi politik di Inggris yang berbeda dengan di Perancis, tentang kondisi
historis khusus hukum dalam perkembangan hukum Inggris. Khususnya dalam karyanya De
laudibus legume Anglie, Fortescue dengan jelas menyatakan bahwa perundang-undangan
Inggris adalah kinerja parlemen yang mewakili rakyat dalam kaitannya dengan praktik Inns of
Court yang sadar akan tradisi hukum kawasan itu.5

Mazhab hukum historis didirikan oleh Gustav Hugo (1764-1844) 6, kemudian berkembang
pada awal abad XIX, yakni pada tahun 1814, dengan diterbitkannya suatu karangan dari F.
von Savigny yang berjudul : Vom Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und
Rechtswissenschaft (tentang seruan zaman kini akan undang undang dan ilmu hukum).7
Mazhab Sejarah8 ( Historische rechtsschule) merupakan reaksi terhadap tiga hal (Basuki,1989:
32), yaitu :
1. Rasionalisme Abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip prinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum, dengan terutama mengandalkan
jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan,dan kondisi nasional;
2. Semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan
misikosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk
mengatasilingkungannya, yaitu seruannya ke segala penjuru dunia (Soekanto, 1979: 26);
3. Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum karena
undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum. Code Civil
dinyatakan sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu sistem hukum
yang harus disimpan dengan baik sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alasanalasan yang murni.

Faktor lain, yaitu masalah kodifikasi hukum Jerman setelah berakhirnya masa Napoleon
Bonaparte, yang diusulkan oleh Thibaut (1772-1840), guru besar pada Universitas
Heidelberg di Jerman dalam tulisannya yang terbit tahun 1814, berjudul Uberdie
Notwendigkeit Allegemeinen Burgerlichen Rechts fur Deutchland (Tentang Keharusan Suatu
Hukum Perdata bagi Jerman9
4

Terjemahan penulis : penganut pemikiran teori hukum positif positivism analitis menganut pemikiran
bahwa hukum positif diatas segalanya, kecenderungan bahwa hukum itu adalah sebagai sebuah kaidah
(hukum yang berlaku :das sein, dan hukum yang seharusnya: das sollen) , otoritas murni, sebagai alat
penundukan, kekuasaan tertinggi. Penganut pemikiran positivism ini dalam perkembangannya terkemuka
antara lain oleh Austin. Selanjutnya oleh Kelsen dikembangkan dalam Teori Hukum Murni (Pure Theory
of Law) . Lihat Muhammad Erwin, Filsafat Hukum-Refleksi Kritis terhadap Hukum,Rajawali Press,
hal. 153 - 178
5
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Persfektif Historis, Nusa Media, 2008, hal. 64 65
6
Carl Joachim Friedrich, ibid, hal. 175
7
Dr. Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, 1982, hal 118
8
Lihat http://www.scribd.com/doc/57670124/filsafat-hukum, Irawan Djito, hal 38, diunduh pada tanggal
6 Juni 2012
9
Ibid, hal. 39

Tokoh-tokoh penting Mazhab Sejarah Sosiologi Hukum adalah :


1. Friedrich Karl von Savigny (1779-1861)
Menurut von Savigny hukum merupakan salah satu factor dalam kehidupan bersama
suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, tata Negara. Oleh karena itu hukum adalah
suatu yang bersifat supra-individual, suatu gejala masyarakat.. suatu masyarakat lahir
dalam sejarah, berkembang dalam sejarah dan lenyap dalam sejarah masyarakat ikut
serta dalam perkembangan organis itu10
Seperti diungkapkannya, "Law is expression of the common consciousness or spirit of
people." Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (Das
Rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit demVolke). Pendapat Savigny seperti ini,
bertolak belakang pula dengan pandangan Positivisme Hukum. Ia mengingatkan, untuk
membangun hukum, studi terhadap sejarah suatu bangsa mutlak perlu dilakukan.Paton
(1951: 16) memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny sebagai berikut:
(1) Jangan sampai kepentingan dari golongan masyarakat tertentu dinyatakan sebagai
Volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya;
(2) Tidak selamanya peraturan perundang-undangan itu timbul begitu saja, karena dalam
kenyataannya banyak ketentuanmengenai serikat kerja di Inggris yang tidak akan
terbentuk tanpa perjuangan keras;
(3) Jangan sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat perhatian,
karena walaupunVolksgeist itu dapat menjadi bahan kasarnya, tetap saja perlu ada
yang menyusunnya kembali untuk diproses menjadi bentuk hukum;
(4) dalam banyak kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar daripada yang
diakui penganut Mazhab Sejarah.11

Pokok-pokok Pemikiran von Savigny sebagai berikut :12


a) Hukum itu lahir dari hukum kebiasaan (custom) merupakan salah satu manifestasi
dari hukum positif. Hukum adat menjadi symbol atau penanda dari adanya hukum
positif yang diakui oleh masyarakat.
b) Hukum tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (Das Rechts wird nicht
gemacht, es ist und wird mit dem Volke). Dengan kata lain, hukum itu ditemukan
tentang apa yang dianggap benar (right) dan proses pertumbuhannya tidak disadari,
c) Hukum itu berasal dari perasaan Rakyat (popular feeling), yaitu oleh sesuatu
kekuatan yang bekerja secara diam diam (silently operating forces) hukum
bukanlah sesuatu yang dapt diciptakan secara sewenang wenang dan terencana oleh
pembuat hukum.
d) Hukum itu merupakan produk dari bangsa yang genius. Sebagaimana bahasa, ia
terbentuk secara perlahan lahan dan menjelma menjadi karakteristik suatu rakyat
(bangsa).
e) Hukum itu hadir sebagai ekspresi jiwa suatu bangsa (Volkgeist) tentang apa yang
dianggapnya benar dan adil. Dipengaruhi oleh factor perbedaan dalam perjalanan
waktu, kebudayaan.
f) Hukum itu tidak bisa berlaku umum (general) dan tidak statis (dinamis),
g) Ahli hukum sebagai medium perkembangan hukum lebih baik dari pembuat undang
undang.
10

Theo Huijbers, Opcit, hal. 118


Irawan Djito, Opcit. Hal. 39 - 40
12
Muhamad Erwin, Opcit, hal 190 - 191
11

2.

Puchta (1798-1846)13
Puchta adalah murid von Savigny yang mengembangkan lebih lanjut pemikiran
gurunya. Sama dengan Savigny, ia berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat
pada jiwa bangsa (Volksgeist) baik menurut isinya maupun menurut ikatan materialnya.
Hukum tersebut, menurut Puchta, dapat berbentuk: (1) langsung berupa adat istiadat,
(2) melalui undang-undang, (3) melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli
hukum (Huijbers, 1988: 120).
Lebih lanjut Puchta membedakan pengertian "bangsa" ini dalam dua jenis: (1) bangsa
dalam pengertian etnis, yang disebutnya "bangsa alam", dan (2) bangsa dalam arti
rasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara.
Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional
(negara), sedangkan"bangsa alam" memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.
Menurut Puchta, keyakinan hukumyang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan
melalui kehendak umum masyarakat yangterorganisasi dalam negara.
Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang. Puchta
mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga
akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik
hukum dalam adat istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukun oleh ahli-ahli hukum.
Adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara.
Sama halnya, dengan pengolahan hukum oleh kaum yuris, pikiran-pikiran mereka
tentang hukum memerlukan pengesahan negara; supaya berlaku sebagai hukum. Di
lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkandukungan apa pun. Ia

13

Theo Huijbers, hal. 120 121 dan Irawan Djito, hal. 40, Opcit

berhak untuk membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris, tanpa


menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orarg dan dipraktikkan sebagai adat istiadat.
Oleh karena itu, menurut Huijbers (1988: 120-121), pemikiran Puchta ini sebenarnya
tidak jauh dari Teori Absolutisme negara dan Positivisme Yuridis. Buku Puchta yang
terkenal berjudul Geworhnheitsrecht.
3.

Sir Henry Sumner Maine (1822 - 1888)


Maine banyak dipengaruhi oleh pemikiran von Savigny sehingga ia dianggap
sebagai pelopor Mazhab Sejarah di Inggris. Pemikiran Savigny tersebut kemudian
dikembangkan lebihlanjut oleh Maine dalam berbagai penelitian yang dilakukannya.
Salah satu penelitiannya yang terkenal ialah tentang studi perbandingan perkembangan
lembaga-lembaga hukum yang ada pada masyarakat sederhana dan masyarakat yang
telah maju yang dilakukannya berdasarkan pendekatan sejarah.
Kesimpulan penelitian itu kembali memperkuat pemikiran von Savigny, yang
membuktikan adanya pola evolusi pada berbagai masyarakat dalam situasi sejarah
yang sama. Sumbangan Maine bagi studi hukum dalam masyarakat, terutama tampak
pada penerapan metode empiris, sistematis, dan sejarah untuk. menarik kesimpulankesimpulan umum.
Pendekatan ilmiahnya jauh berbeda dengan pendekatan yang lazim dipergunakan
dalam pemikiran-pemikiran filosofis dan spekulatif (Soekanto, 1985: 12-14). Karya
Maine yang penting berjudul: (1) Ancient Law, dan (2) Early Law and Custom.
Sir Henry Maine dipandang sebagai pendiri awal yang terkemuka dalam bidang
pendekatan historis terhadap hukum di Inggris14, berusaha menunjukkan bahwa dalam
perkembangan hukum selalu terjadi kemajuan dari status sebagai karakteristik
hubungan antara persona dalam masyarakat primitive menjadi kesepakatan sebagai
bentuk alami dari hubungan semacam itu dalam masyarakat yang maju. Karena alasan
ini, Maine memandang kebebasan bersepakat sebagai semacam prestasi puncak dari
perkembangan hukum.15

4.

David Emile Durkheim (1858 1917)


Dikenal sebagai salah satu pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas sosiologi
pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895, dan menerbitkan salah
satu jurnal pertama
yang
diabdikan
kepada ilmu
sosial, L'Anne
16
Sociologique pada 1896.
Tesis sosiologi politik pertama Emile Dukheim diolah dalam Montesquieu, Division du
Travail (Pembagian Kerja), dan Le Suicide (Bunuh Diri)17, tesis bahasa Latin ini tesis
utamanya menawarkan sebuah penjelasan tentang kohesi masyarakat berupa
pembagian kerja sebagai pencipta solidaritas melalui komplementaritas dalam
masyarakat-masyarakat modern..memainkan peran melalui kesadaran kolektif yang

14

Carl Joachim Friedrich, opcit, hal. 176


Ibid, hal. 177
16
http://id.wikipedia.org/wiki/Emile_Durkheim, diunduh pada tanggal 8 Juni 2012
17
Bernard Lacroix, Sosiologi Politik Dukheim, (terjemahan dari Judul asli Durkheim et Le
Politique), Kreasi Warna Yogyakarta, 2005, hal. 5
15

ada pada masyarakat-masyarakat primitive.18


Formes Elementaries merupakan karya pemikiran Durkheim yang nenawarkan
jawaban pertanyaan dalam Montesquieu19 tentang : 1) penemuan dualisme representasi
representasi kolektif , 2) menjelaskan asal usul kategori kategori kausalitasnya.
Sebagai produk dari tempo kehidupan social yang berganti dan terstruktur menurut
polaritas yang antagonistic semua representasi kolektif, kategori distribusi tanggung
jawab para pelaku social yaitu antara pelaku yang lebih rendah dengan yang lebih
tinggi.
Analisis Durkheim tentang peran politik dalam representasi politik dan peran Negara
di kemukakan dalam Division du Travail Social (Pembagian Kerja secara Sosial), Le
Suicide (Bunuh Diri), L Education Morale (Pendidikan Moral),
dan Formes
Elementaires (Les Formes Elementaires de la vie Religieuse Bentuk Bentuk
Elementer Kehidupan Religius), : 20
1. Setidaknya pada periode normal representasi kolektif menundukkan individu pada
tatanan yang ada dengan melarangnya (melakukan) perilaku-perilaku yang
menyimpang. Karena representasi kolektif juga mendominasi anak-anak (agar
patuh) pada tatanan yang berlaku dengan menanamkan paham tentang hal-hal yang
diizinkan dan yang dilarang, maka representasi social ini sekaligus juga merupakan
tempat dan sumber dari segala pemaksaan karena tidak ada satupun transformasi
(terutama transformasi morfologis manapun) yang mendadak muncul, maka tatanan
yang dijamin tidak berubah dari generasi ke generasi, selalu diproduksi dan
direproduksi tiada henti hentinya hingga menjadi identik. Tatanan ini lahir dari
opini. Opini berfungsi memelihara tatanan.
2. Pada dasarnya masyarakat mengkomunikasikan situasi-situasi jiwanya dengan
(permainan politik) dan membuat kodifikasi, karena mereka dapat menterjemahkan
situasi kebiasaan dengan situasi hukum, maka ini dianggap sebagai tafsiran tentang
masyarakat. Karena tiadak puas dengan kodifikasi hukum, maka (peran ini)
bertindak sebagai penghukum, pemenjara atau pengeksekusi mati. Negara
bertanggung jawab melalui dua fungsinya, yang dalam tipe social superior diberi
karakter melalui kewajiban dan eksistensi organ organ yang ditujukan khusus untuk
melanjutkan eksistensi organ tersebut, yakni sebagai represi social.
Kekuasaan milik Negara sendiri kemudian harus dipahami sebagai hasil dari sebuah
proses historis rangkap tiga serta proses social organisasi, delegasi, dan
otonomisasi. Ketika masyarakat politik sampai pada derajat kompleksitas tertentu,
mereka tidak bias lagi bertindak secara kolektif kecuali melalui intervensi Negara.
Durkheim menemukan gerakan sejarah dalam bentuk sebuah model diakronis dua
masa21 yang merupakan periode pergolakan kreatif dimana kesadaran-kesadaran
individual masuk dalam interaksi dan menghasilkan apa yang ideal. 22
18

Ibid, hal. 6
Ibid, hal. 40
20
Ibid, hal. 133 - 137
21
Fase peralihan antusiasme kolektif Kristen di eropa pada abad XII, XIII kemunculan pemikiran
Skolastika mahasiswa di Paris yang melahirkan reformasi Renaissance abad XIX, ibid, hal. 234
22
Ibid, hal. 200
19

Tesis Durkheim menandai dirinya sebagai pemikir modern yang mencoba menjelaskan
gagasan sosiologi politik dan hukum berbasis historis masyarakat, kohesi morfologis
peralihan masyarakat primitive (tradisional) dengan kompleksitas pada masyarakat
modern.
Interprestasi terhadap Durkheim (sebagaimana diamati oleh P. de Gaudemar) .
Sebagai sebuah varian intelektual dalam humanism umum, atau-pun sebagai sebuah
penjelmaan positivism yang telah dibatis oleh Comte, atau bahkan dianggap sebagai
sebuah proyek ambisius, total dan menghancurkan, yaitu sosiologisme.23
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan
dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki
solidaritas mekanis hukum; yang dicirikan oleh masyarakat sederhana, homogeny..
biasanya dicontohkan oleh masyarakat adat di pedesaan atau masyarakat yang hidup
berkelompok dalam suatu keadaan pengalaman yang yang sama (misal: korban
bencana) seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku
menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif
yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan
keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic;
dicirikan oleh masyarakat di perkotaan (yang hidup bersama pada suatu waktu namun
memiliki latar belakang, pengalaman, profesi, pendidikan yang beragam), biasanya
relasi terbangun berdasarkan kepentingan, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan

23

Ibid, hal. 248

bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu
masyarakat yang kompleks.24
5.

Max Weber (1864-1920)


Max Weber diakui sebagai tokoh besar sosiologi modern, karena teorinya mengenai
ilmu oengetahuan dan penyelidikan sosiologisnya dalam macam macam bidang tetap
berpengaruh sampai zaman kini. Bukunya yang terpenting tentang ilmu sosiologi
sebagai ilmu masyarakat berjudul Wirtschaft und Gessellschaft (Tata Negara dan
Masyarakat) yang baru diterbitkan sesudah meninggalnya (1922). Pada tahun 1960
sebagian dari buku ini diterbitkan kembali di bawah judul : Rechtssoziologi (Sosiologi
Hukum)25
Weber selalu
memandang problem di masyarakat dalam perspektif sejarah.
Menurutnya, hidup bermasyarakat mendapat bentuknya melalui nilai nilai
kebudayaan. Nilai itu diwujudkan dalam hidup bersama. Namun Ia berpendapat bahwa
ilmu sosiologi tidak berhak menilai kehidupan masyarakat. Ilmu sosiologi ditegaskan
Weber harus bebas nilai (wertfrei). Sumbangan Weber lainnya pada perkembangan
sosiologi adalah; bahwa ia mementingkan saat historis suatu kenyataan social, hal yang
belum ditemukan oleh Comte dan Spencer. Kebenaran ini diambil alih Weber dari
historisme Dilthey dan Nietzsche yang mulai mempengaruhi pandangan orang zaman
itu.26
Weber memulai sosiologi hukum dengan melukiskan perkembangan masyarakat dari

24

Riza Yusmanda, Mazhab Sejarah Sosiologi Hukum (25/05/2012) , lihat juga


http://id.wikipedia.org/wiki/emile_Durkheim, diunduh pada tanggal 10 Juni 2012,
25
Dr, Theo Huijbers, Opcit. Hal. 205
26
Ibid, hal. 208

hidup zaman sederhana ke hidup bersama yang berbelit belit dalam zaman modern.
Dikatakannya bahwa mula mula pembentukan hukum lebih lebih berdasar pada
kharisma seorang nabi dalam bidang hukum, dalam tahap kedua pembentuykan hukum
menjadi tugas beberapa orang yang berwibawa, yakni para sepuh yang menyusun
kaidah bertolak dari situasi empiris pada masyarakat. Pada fase ketiga kemudian tugas
para sepuh beralih menjadi hak eksklusif seorang penguasa dalam konteks duniawi
maupun bidang keagamaan. Akhirnya dimasa modern hukum ini dibentuk secara
sistematik oleh orang orang yang sudah di didik secara formal sebagai Sarjana Hukum
(Fachjuristen) latar belakang proses ini menurut Weber adalah suatu proses yang
menjangkiti masyarakatr, yaitu proses rasionalisasi dan burokratisasi -- situasi ini
dipandang sebagai bahaya bagi Weber.27

Menurut Weber Sosiologi Hukum naturalistik, berarti bahwa norma norma hukum
harus dipandang sebagai kenyataan social. Menurut Weber : tata hukum ialah
keseluruhan peraturan yang ditemukan dalam suatu masyarakat, dan yang dijalankan
dengan paksaan, jika perlu28
6.

Karl Nickerson Llewellyn (1893- 1962)29


Karl Llewellyn dikenal sebagai pemikir yang mempelopori gerakan realism hukum
(pragmatic legal realism), mengalisa perkembangan hukum di dalam kerangka
hubungan antara pengetahuan-pengetahuan hukum dengan perubahan-perubahan
keadaan masyarakat. Hukum merupakan bagian dari kebudayaan yang antara lain
mencakup kebiasaan, sikap-sikap maupun cita-cita yang ditransmisikan dari suatu
generasi tertentu ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, hukum merupakan bagian
kebudayaan yang telah melembaga. Lembaga-Lembaga tersebut telah terorganisir dan
harapannya terwujud di dalam aturan-aturan eksplisit yang wajib ditaati serta didukung
oleh para ahli.30

27

Ibid, hal. 209


Ibid, hal. 209
29
Rusinah, Pangadilan Agama Banjarmasin http://pa-tanjung.pta-banjarmasin.go.id/ , diunduh pada
tanggal 10 Juni 2012
30
Rusinah, Mengutip Sarjono Soekanto dalam bukunya Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam
Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta,1985, Cet I h. 33, Ibid
28

Menurut Karl Llewellyn:31


.. Ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum. Ciri-ciri dari gerakan
ini, Llewellyn menyebut beberapa hal, yang terpeting diantaranya:
1. Tidak ada mazhab realis, realisme adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
2. Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan sosial,
sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang
masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum.
3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang
seharusnya ada untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu diminta
agar tiap penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama penyelidikan, gambaran harus tetap
sebersih mungkin, karena keinginan-keinginan pengamatan atau tujuan-tuan etis.
4. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi- konsepsi hukum, sepanjang
ketentuan dan konsepsi itu menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilanpengadilan dan orang-orang. Realisme menerima peraturan-peraturan sebagai ramalanramalan umum tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.
5. Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingat akibatnya.

III.

Pengaruh Mazhab Sejarah dalam Konteks Indonesia


Sumbangan Pemikiran Mazhab Sejarah Bagi Sistem Hukum di Indonesia menurut Edward
Nocodimus Lontah32 :
Sejak jaman VOC hingga pemerintahan Raffles di Hindia Belanda, kedudukan hukum adat Indonesia
(Hindia Belanda) dianggap tidak sejajar dengan derajat hukum Eropa yang berlaku bagi kaum kolonial
Belanda. Pada 1838, Belanda melakukan kodifikasi terhadap semua aturan hukum, terutama dalam
bidang hukum perdata dan hukum dagang. Dalam hukum dikenal asas konkordansi. Asas ini yang
mendasari pemerintah kolonial Belanda untuk memberlakukan unifikasi hukum di daerah jajahannya
termasuk Hindia Belanda. Ide ini ditentang Van Der Vinne dengan dalil bahwa sebagian besar penduduk
Hindia Belanda beragama islam dan memegang teguh adat istiadat mereka. Bagi Van Der Vinne, adalah
suatu kejanggalan jika hukum eropa versi Belanda diterapkan di Hindia Belanda.
Pada 1848, kodifikasi hukum perdata dan hukum dagang telah selesai dikerjakan. Tugas ini dikerjakan
H.L Wichers, suksesor dari Paul Scholten, seorang ahli hukum Belanda yang ditunjuk untuk mengganti
Hageman yang dinilai pemerintah gagal menjalankan tugas kodifikasi hukum Belanda. Pada 1904, demi
kepentingan keamanan dan ekonomi di Indonesia, pemerintah Belanda mengusulkan suatu RUU untuk
mengganti hukum adat di Hindia Belanda dengan hukum Eropa. Usul itu dimentalkan Van
Vollenhoven. Van Vollenhoven tidak setuju dengan kodifikasi dan unifikasi hukum di Hindia Belanda. Ia
berdalil, tidak mungkin menerapkan suatu hukum yang hanya berlaku bagi sebagian kecil penduduk
dalam suatu bangsa.

31

Ahsanul Minan dan Indah Sari Septiani Putri Adi Muchtar, mengutip Friedmann dalam artikel Legal
RFealism http://kuliahfilsafathukum12.blogspot.com/2012/03/legal-realism.html, diunduh pada tanggal
10 Juni 2012
32
Edward Nicodimus Lontah, Pembentukan dan Perkembangan Mazhab Sejarah dalam Hukum, Materi
Diskusi Ilmu Hukum, Program Magister UKSW Salatiga, 2011,
http://mihuksw.edublogs.org/2011/01/28/pembentukan-dan-perkembangan-mazhab-sejarah-dalamhukum/ , diunduh pada tanggal 6 Juni 2012

10

Pemerintah Belanda menyikapi dalil Van Vollenhoven itu. Pada 1927, van Vollenhoven ditugaskan
Pemerintah Belanda untuk melakukan pencatatan sistematis terhadap hukum adat Hindia Belanda
melalui suatu penelitian yang dikerjakannya di Leiden. Sepanjang karirnya sebagai guru besar hukum
adat Hindia Belanda di Universitas Leiden, Van Vollenhoven tercatat hanya dua kali mengunjungi
Hindia Belanda, yaitu pada 1907 dan 1923. Pada 1 Januari 1926, lembaga legislatif Belanda mengakui
dan mempertahankan eksistensi hukum adat Hindia Belanda melalui Pasal 131 ayat 2b IS yang
bunyinya: bagi golongan Bumiputera, timur asing, berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas
agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka.
Berkat van Vollenhoven, hukum adat Hindia Belanda diperlakukan sebagai hukum yang berlaku bagi
golongan bumiputera asli. Pengaruh Mazhab sejarah yang dianut van Vollenhoven telah berhasil
menempatkan hukum kebiasaan rakyat di Indonesia sejajar dengan undang-undang yang tertulis.

Di Indonesia pengaruh ajaran madzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan lahirnya
cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori oleh Van
Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya.33
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa bagi Indonesia, pemikiran dan sikap madzab
ini terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan
(preservation) hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli)
penduduk pribumi dan mencegah terjadinya pembaratan (westernisasi) yang terlalu cepat,
kalau tidak hendak dikatakan berhasil mencegahnya sama sekali, kecuali bagi sebagian
kecil golongan pribumi.34

33

Nasri, Pengaruh Pemikiran Mazhab Sejarah dalam Pembaharuan Hukum, Makalah Kuliah Teori
Hukum - program Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram, Maret 2008
34
Zulkarnain, Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Madzab Sejarah, Digitized by USU digital library,
2003, Hal. 7, diunduh pada tanggal 7 Juni 2012

11

IV.

Kesimpulan
Berdasarkan wacana kajian teoritik dari berbagai sumber yang diantaranya pada beberapa
poin bagian telah kami lakukan proses ringkasan dan rangkuman, maka dapat diambil
kesimpulan antara lain, sebagai berikut :
1. Mazhab sejarah adalah sebuah kerangka kesadaran pemikiran teori hukum yang proses
kelahirannya didasari oleh factor factor, a.l ;
a)
b)

c)

Adanya pemikiran para ahli filsafati hukum pada fase sebelumnya yang mengemukakan
teori Hukum Alam, Hukum Positivism dan Hukum Positivis Analitik yang dipandang
sebagai bentuk dari arogansi kekuasaan hukum. 35
Adanya temuan bahwa tidak semua hukum positif dapat mencakup semua kepentingan dan
problem kontradiksi kohesi yang berlaku dalam semua masyarakat. 36 Padahal, menurut
kritik penganut teologi histories.. tiap tiap belahan masyarakat (eropa) memiliki karateristik
masing masing dalam konteks kebudayaan, bahasa, termasuk didalamnya muncul
persoalan terkait ethnic. Sehingga generalisasi hukum positif yang dikemukan oleh teolog
Hukum Alam dan Hukum Positif dipandang tidak relevan untuk dapat mencakup semua
problem hukum dan relasi relasi social di masyarakat.
Adanya kekakuan dalam konteks hukum Yurisprudensi, dimana pada saat itu Hakim tidak
boleh menterjemahkan hukum, kecuali harus sesuai dengan ketentuan Undang Undang.
Sementara itu kodifikasi hukum yang dipandang sebagai produk yang belum sempurna
membutuhkan peran intervensi Hakim dalam hal membuat keputusan hukum yang sesuai
dengan kepentingan warga sipil dan situasi social masyarakat di wilayah hukum suatu
daerah tertentu.

2. Mazhab Sejarah mencoba mengurai relasi relasi social dalam masyarakat, mengikuti
kajian latar sejarah, kohesi, hubungan morfologi didalam dan diantara masyarakat
garis garis representasi kolektif untuk kemudian menjadi rujukan dilakukannya
penemuan hukum menuju adanya system hukum yang merupakan representasi kehendak
rakyat.
3. Kecenderungan lahirnya Mazhab Sejarah ( Historische rechtsschule) dilakukan oleh para
sosiolog dan praktisi humanis di eropa. Tarikan dari teori ini dalam cabang berfikir ilmu hukum
memiliki kedekatan pada pola dan model analisa terhadap hukum, yaitu melalui pengamatan
terhadap sendi sendi kehidupan yang berlaku pada masyarakat. hal yang berbeda ditunjukkan
oleh para idiolog positivis yang hanya memandang hukum dalam persfektif penyelenggara
alat kekuasaan Negara.
4. Di Indonesia, penerapan Mazhab Hukum Sejarah pada kenyataannya mendapat apresiasi sebagai
kritik para ahli terhadap pola penundukan dan perlakukan yang dipandang dis-equality
diskriminatif terhadap masyarakat pribumi yang berlaku pada masa Imperialisme bangsa Barat
di Indonesia. Kemudian pada fase perkembangannya Mazhab Sejarah ini dianggap signifikan
sebagai alat bagi pencegahan upaya Westernisasi Pasifikasi terhadap Indonesia.
5. Adanya indikasi bahwa pola penelitian dalam konteks sosiologis antropologis dapat juga
dijadikan sebagai alat dan bahan untuk eksplorasi masyarakat dalam rangka penundukan sipil. 37
35

Pada fase pertengahan di belahan Eropa dan Amerika kecenderungan akibat dari menyebarnya mazhab
hukum alam dan positivism berakibat pada praktik Negara yang menjadi juru eksekusi sacral, dimana
proses penundukan terhadap kepentingan masyarakat sipil semakin menguat. Hal ini juga yang memicu
terjadinya gejolak Renaissance besar besaran di berbagai belahan eropa pada fase abad XV , munculnya
ide ide filsafat zaman Rasionalisme dan Aufklarung di Perancis pada abad XVIII
36
Pemikiran dan implementasi dari teori hukum alam dan teori positivis cenderung men-generalisir
hukum hukum di eropa, hal yang sebelumnya juga di kritik oleh Fortescue, Cicero, dan kemudian Von
Savigny yang membuat pemikiran Mazhab Sejarah di belahan Eropa dan Amerika
37
Pengalaman di Indonesia dapat kita petik dari Snouck Hurgronje pada abad 18 19 terhadap
kolonialisasi negeri kerajaan Belanda di Hindia

12

Daftar Pustaka :
Buku :
Bernard Lacroix, Sosiologi Politik Dukheim, (terjemahan dari Judul asli Durkheim
et Le Politique), Kreasi Warna Yogyakarta, 2005
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Persfektif Historis, Nusa Media, 2008
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum-Refleksi Kritis terhadap Hukum,Rajawali Press
Theo Huijbers, Dr. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, 1982
Link, Materi & Artikel :
Ahsanul Minan dan Indah Sari Septiani Putri Adi Muchtar, Legal Realism
http://kuliahfilsafathukum12.blogspot.com/2012/03/legal-realism.html
Edward Nicodimus Lontah, Pembentukan dan Perkembangan Mazhab Sejarah dalam
Hukum, Materi Diskusi Ilmu Hukum, Program Magister UKSW Salatiga, 2011,
http://mihuksw.edublogs.org/2011/01/28/pembentukan-dan-perkembangan-mazhabsejarah-dalam-hukum/
Irawan Djito, http://www.scribd.com/doc/57670124/filsafat-hukum
Nasri, SH, MH, Pengaruh Pemikiran Mazhab Sejarah dalam Pembaharuan Hukum,
Makalah Kuliah Teori Hukum - program Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram,
Maret 2008
Riza Yusmanda, SH, MH Mazhab Sejarah Sosiologi Hukum, Materi Kuliah Reguler
Sosiologi Hukum (25/05/2012)
Rusinah, Dra, Hj, M.H.I, Pangadilan Agama Banjarmasin http://pa-tanjung.ptabanjarmasin.go.id/
Wikipedia : http://id.wikipedia.org/wiki/
Zulkarnain, Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Madzab Sejarah, Digitized by USU
digital library, 2003

13

Anda mungkin juga menyukai