Pengertian - Pengertian
Mazhab : (, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui
dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Menurut
para ulama dan ahli agama Islam, mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah
melalui pemikiran dan penelitian, kemudian menjadikannya sebagai pedoman yang jelas
batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah 1.
Pengertian lainnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) : Mazhab mengandung
pengertian : golongan pemikir yang sepaham di teori, ajaran atau aliran tertentu.
Sejarah: Kata sejarah secara harafiah berasal dari kata Arab (: ajaratun) yang
artinya pohon. Dalam bahasa Arab, sejarah disebut tarikh ( ) artinya kurang lebih
adalah waktu atau penanggalan. dalam bahasa Yunani yaitu historia yang berarti ilmu atau
orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi history, yang berarti masa lalu
manusia. Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah
terjadi. Secara umum sejarah menurut pemikiran beberapa ahli dapat dikatakan sebagai :
hasil dari pencatatan dan penelitian dari pemikiran, tindakan, perbuatan dan pengalaman
manusia pada masa yang lampau untuk dijadikan sebagai ilmu dan pengetahuan untuk
diajdikan sebagai pedoman, penilaian dan penentuan bagi arah proses masa depan. 2
Sosiologi Hukum :
Beberapa pengertian sosiologi hukum yang dikemukakan oleh beberapa ahli dalam bidang
sosiologi diantaranya : 3
Soerjono Soekanto : suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris yang
menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala
sosial lainnya
Satjipto Rahadjo : sosiologi hukum adalah pengetahuan hukum pada pola perilaku
masyarakat dalam konteks sosialnya.
R. Otje Salman : sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik
antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis
H.L.A. Hart : tidak mengemukakan tentang definisi sosiologi hukum, namun hanya
mengungkapkan bahwa suatu konsep tentang hukum yang mengandung unsur-unsur
kekuasaan yang terpusatkan kepada kewajiban tertentu didalam gejala hukum yang tampak
dari kehidupan bermasyarakat. Menurut Hart, inti dari suatu sistem hukum terletak pada
kesatuan antara aturan utama (primary rules) dan aturan tambahan (secondary rules).
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Sosiologi Hukum
adalah ilmu pengetahuan bidang hukum yang mempelajari aspek aspek; relasi, hubungan
timbal balik, gejala gejala social kehidupan bermasyarakat dan unsur - unsur kekuasaan
didalamnya untuk menemukan suatu konsepsi tentang hukum.
II.
Mazhab hukum historis didirikan oleh Gustav Hugo (1764-1844) 6, kemudian berkembang
pada awal abad XIX, yakni pada tahun 1814, dengan diterbitkannya suatu karangan dari F.
von Savigny yang berjudul : Vom Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und
Rechtswissenschaft (tentang seruan zaman kini akan undang undang dan ilmu hukum).7
Mazhab Sejarah8 ( Historische rechtsschule) merupakan reaksi terhadap tiga hal (Basuki,1989:
32), yaitu :
1. Rasionalisme Abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip prinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum, dengan terutama mengandalkan
jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan,dan kondisi nasional;
2. Semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan
misikosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk
mengatasilingkungannya, yaitu seruannya ke segala penjuru dunia (Soekanto, 1979: 26);
3. Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum karena
undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum. Code Civil
dinyatakan sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu sistem hukum
yang harus disimpan dengan baik sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alasanalasan yang murni.
Faktor lain, yaitu masalah kodifikasi hukum Jerman setelah berakhirnya masa Napoleon
Bonaparte, yang diusulkan oleh Thibaut (1772-1840), guru besar pada Universitas
Heidelberg di Jerman dalam tulisannya yang terbit tahun 1814, berjudul Uberdie
Notwendigkeit Allegemeinen Burgerlichen Rechts fur Deutchland (Tentang Keharusan Suatu
Hukum Perdata bagi Jerman9
4
Terjemahan penulis : penganut pemikiran teori hukum positif positivism analitis menganut pemikiran
bahwa hukum positif diatas segalanya, kecenderungan bahwa hukum itu adalah sebagai sebuah kaidah
(hukum yang berlaku :das sein, dan hukum yang seharusnya: das sollen) , otoritas murni, sebagai alat
penundukan, kekuasaan tertinggi. Penganut pemikiran positivism ini dalam perkembangannya terkemuka
antara lain oleh Austin. Selanjutnya oleh Kelsen dikembangkan dalam Teori Hukum Murni (Pure Theory
of Law) . Lihat Muhammad Erwin, Filsafat Hukum-Refleksi Kritis terhadap Hukum,Rajawali Press,
hal. 153 - 178
5
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Persfektif Historis, Nusa Media, 2008, hal. 64 65
6
Carl Joachim Friedrich, ibid, hal. 175
7
Dr. Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, 1982, hal 118
8
Lihat http://www.scribd.com/doc/57670124/filsafat-hukum, Irawan Djito, hal 38, diunduh pada tanggal
6 Juni 2012
9
Ibid, hal. 39
2.
Puchta (1798-1846)13
Puchta adalah murid von Savigny yang mengembangkan lebih lanjut pemikiran
gurunya. Sama dengan Savigny, ia berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat
pada jiwa bangsa (Volksgeist) baik menurut isinya maupun menurut ikatan materialnya.
Hukum tersebut, menurut Puchta, dapat berbentuk: (1) langsung berupa adat istiadat,
(2) melalui undang-undang, (3) melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli
hukum (Huijbers, 1988: 120).
Lebih lanjut Puchta membedakan pengertian "bangsa" ini dalam dua jenis: (1) bangsa
dalam pengertian etnis, yang disebutnya "bangsa alam", dan (2) bangsa dalam arti
rasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara.
Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional
(negara), sedangkan"bangsa alam" memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.
Menurut Puchta, keyakinan hukumyang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan
melalui kehendak umum masyarakat yangterorganisasi dalam negara.
Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang. Puchta
mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga
akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik
hukum dalam adat istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukun oleh ahli-ahli hukum.
Adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara.
Sama halnya, dengan pengolahan hukum oleh kaum yuris, pikiran-pikiran mereka
tentang hukum memerlukan pengesahan negara; supaya berlaku sebagai hukum. Di
lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkandukungan apa pun. Ia
13
Theo Huijbers, hal. 120 121 dan Irawan Djito, hal. 40, Opcit
4.
14
Ibid, hal. 6
Ibid, hal. 40
20
Ibid, hal. 133 - 137
21
Fase peralihan antusiasme kolektif Kristen di eropa pada abad XII, XIII kemunculan pemikiran
Skolastika mahasiswa di Paris yang melahirkan reformasi Renaissance abad XIX, ibid, hal. 234
22
Ibid, hal. 200
19
Tesis Durkheim menandai dirinya sebagai pemikir modern yang mencoba menjelaskan
gagasan sosiologi politik dan hukum berbasis historis masyarakat, kohesi morfologis
peralihan masyarakat primitive (tradisional) dengan kompleksitas pada masyarakat
modern.
Interprestasi terhadap Durkheim (sebagaimana diamati oleh P. de Gaudemar) .
Sebagai sebuah varian intelektual dalam humanism umum, atau-pun sebagai sebuah
penjelmaan positivism yang telah dibatis oleh Comte, atau bahkan dianggap sebagai
sebuah proyek ambisius, total dan menghancurkan, yaitu sosiologisme.23
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan
dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki
solidaritas mekanis hukum; yang dicirikan oleh masyarakat sederhana, homogeny..
biasanya dicontohkan oleh masyarakat adat di pedesaan atau masyarakat yang hidup
berkelompok dalam suatu keadaan pengalaman yang yang sama (misal: korban
bencana) seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku
menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif
yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan
keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic;
dicirikan oleh masyarakat di perkotaan (yang hidup bersama pada suatu waktu namun
memiliki latar belakang, pengalaman, profesi, pendidikan yang beragam), biasanya
relasi terbangun berdasarkan kepentingan, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan
23
bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu
masyarakat yang kompleks.24
5.
24
hidup zaman sederhana ke hidup bersama yang berbelit belit dalam zaman modern.
Dikatakannya bahwa mula mula pembentukan hukum lebih lebih berdasar pada
kharisma seorang nabi dalam bidang hukum, dalam tahap kedua pembentuykan hukum
menjadi tugas beberapa orang yang berwibawa, yakni para sepuh yang menyusun
kaidah bertolak dari situasi empiris pada masyarakat. Pada fase ketiga kemudian tugas
para sepuh beralih menjadi hak eksklusif seorang penguasa dalam konteks duniawi
maupun bidang keagamaan. Akhirnya dimasa modern hukum ini dibentuk secara
sistematik oleh orang orang yang sudah di didik secara formal sebagai Sarjana Hukum
(Fachjuristen) latar belakang proses ini menurut Weber adalah suatu proses yang
menjangkiti masyarakatr, yaitu proses rasionalisasi dan burokratisasi -- situasi ini
dipandang sebagai bahaya bagi Weber.27
Menurut Weber Sosiologi Hukum naturalistik, berarti bahwa norma norma hukum
harus dipandang sebagai kenyataan social. Menurut Weber : tata hukum ialah
keseluruhan peraturan yang ditemukan dalam suatu masyarakat, dan yang dijalankan
dengan paksaan, jika perlu28
6.
27
III.
31
Ahsanul Minan dan Indah Sari Septiani Putri Adi Muchtar, mengutip Friedmann dalam artikel Legal
RFealism http://kuliahfilsafathukum12.blogspot.com/2012/03/legal-realism.html, diunduh pada tanggal
10 Juni 2012
32
Edward Nicodimus Lontah, Pembentukan dan Perkembangan Mazhab Sejarah dalam Hukum, Materi
Diskusi Ilmu Hukum, Program Magister UKSW Salatiga, 2011,
http://mihuksw.edublogs.org/2011/01/28/pembentukan-dan-perkembangan-mazhab-sejarah-dalamhukum/ , diunduh pada tanggal 6 Juni 2012
10
Pemerintah Belanda menyikapi dalil Van Vollenhoven itu. Pada 1927, van Vollenhoven ditugaskan
Pemerintah Belanda untuk melakukan pencatatan sistematis terhadap hukum adat Hindia Belanda
melalui suatu penelitian yang dikerjakannya di Leiden. Sepanjang karirnya sebagai guru besar hukum
adat Hindia Belanda di Universitas Leiden, Van Vollenhoven tercatat hanya dua kali mengunjungi
Hindia Belanda, yaitu pada 1907 dan 1923. Pada 1 Januari 1926, lembaga legislatif Belanda mengakui
dan mempertahankan eksistensi hukum adat Hindia Belanda melalui Pasal 131 ayat 2b IS yang
bunyinya: bagi golongan Bumiputera, timur asing, berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas
agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka.
Berkat van Vollenhoven, hukum adat Hindia Belanda diperlakukan sebagai hukum yang berlaku bagi
golongan bumiputera asli. Pengaruh Mazhab sejarah yang dianut van Vollenhoven telah berhasil
menempatkan hukum kebiasaan rakyat di Indonesia sejajar dengan undang-undang yang tertulis.
Di Indonesia pengaruh ajaran madzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan lahirnya
cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori oleh Van
Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya.33
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa bagi Indonesia, pemikiran dan sikap madzab
ini terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan
(preservation) hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli)
penduduk pribumi dan mencegah terjadinya pembaratan (westernisasi) yang terlalu cepat,
kalau tidak hendak dikatakan berhasil mencegahnya sama sekali, kecuali bagi sebagian
kecil golongan pribumi.34
33
Nasri, Pengaruh Pemikiran Mazhab Sejarah dalam Pembaharuan Hukum, Makalah Kuliah Teori
Hukum - program Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram, Maret 2008
34
Zulkarnain, Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Madzab Sejarah, Digitized by USU digital library,
2003, Hal. 7, diunduh pada tanggal 7 Juni 2012
11
IV.
Kesimpulan
Berdasarkan wacana kajian teoritik dari berbagai sumber yang diantaranya pada beberapa
poin bagian telah kami lakukan proses ringkasan dan rangkuman, maka dapat diambil
kesimpulan antara lain, sebagai berikut :
1. Mazhab sejarah adalah sebuah kerangka kesadaran pemikiran teori hukum yang proses
kelahirannya didasari oleh factor factor, a.l ;
a)
b)
c)
Adanya pemikiran para ahli filsafati hukum pada fase sebelumnya yang mengemukakan
teori Hukum Alam, Hukum Positivism dan Hukum Positivis Analitik yang dipandang
sebagai bentuk dari arogansi kekuasaan hukum. 35
Adanya temuan bahwa tidak semua hukum positif dapat mencakup semua kepentingan dan
problem kontradiksi kohesi yang berlaku dalam semua masyarakat. 36 Padahal, menurut
kritik penganut teologi histories.. tiap tiap belahan masyarakat (eropa) memiliki karateristik
masing masing dalam konteks kebudayaan, bahasa, termasuk didalamnya muncul
persoalan terkait ethnic. Sehingga generalisasi hukum positif yang dikemukan oleh teolog
Hukum Alam dan Hukum Positif dipandang tidak relevan untuk dapat mencakup semua
problem hukum dan relasi relasi social di masyarakat.
Adanya kekakuan dalam konteks hukum Yurisprudensi, dimana pada saat itu Hakim tidak
boleh menterjemahkan hukum, kecuali harus sesuai dengan ketentuan Undang Undang.
Sementara itu kodifikasi hukum yang dipandang sebagai produk yang belum sempurna
membutuhkan peran intervensi Hakim dalam hal membuat keputusan hukum yang sesuai
dengan kepentingan warga sipil dan situasi social masyarakat di wilayah hukum suatu
daerah tertentu.
2. Mazhab Sejarah mencoba mengurai relasi relasi social dalam masyarakat, mengikuti
kajian latar sejarah, kohesi, hubungan morfologi didalam dan diantara masyarakat
garis garis representasi kolektif untuk kemudian menjadi rujukan dilakukannya
penemuan hukum menuju adanya system hukum yang merupakan representasi kehendak
rakyat.
3. Kecenderungan lahirnya Mazhab Sejarah ( Historische rechtsschule) dilakukan oleh para
sosiolog dan praktisi humanis di eropa. Tarikan dari teori ini dalam cabang berfikir ilmu hukum
memiliki kedekatan pada pola dan model analisa terhadap hukum, yaitu melalui pengamatan
terhadap sendi sendi kehidupan yang berlaku pada masyarakat. hal yang berbeda ditunjukkan
oleh para idiolog positivis yang hanya memandang hukum dalam persfektif penyelenggara
alat kekuasaan Negara.
4. Di Indonesia, penerapan Mazhab Hukum Sejarah pada kenyataannya mendapat apresiasi sebagai
kritik para ahli terhadap pola penundukan dan perlakukan yang dipandang dis-equality
diskriminatif terhadap masyarakat pribumi yang berlaku pada masa Imperialisme bangsa Barat
di Indonesia. Kemudian pada fase perkembangannya Mazhab Sejarah ini dianggap signifikan
sebagai alat bagi pencegahan upaya Westernisasi Pasifikasi terhadap Indonesia.
5. Adanya indikasi bahwa pola penelitian dalam konteks sosiologis antropologis dapat juga
dijadikan sebagai alat dan bahan untuk eksplorasi masyarakat dalam rangka penundukan sipil. 37
35
Pada fase pertengahan di belahan Eropa dan Amerika kecenderungan akibat dari menyebarnya mazhab
hukum alam dan positivism berakibat pada praktik Negara yang menjadi juru eksekusi sacral, dimana
proses penundukan terhadap kepentingan masyarakat sipil semakin menguat. Hal ini juga yang memicu
terjadinya gejolak Renaissance besar besaran di berbagai belahan eropa pada fase abad XV , munculnya
ide ide filsafat zaman Rasionalisme dan Aufklarung di Perancis pada abad XVIII
36
Pemikiran dan implementasi dari teori hukum alam dan teori positivis cenderung men-generalisir
hukum hukum di eropa, hal yang sebelumnya juga di kritik oleh Fortescue, Cicero, dan kemudian Von
Savigny yang membuat pemikiran Mazhab Sejarah di belahan Eropa dan Amerika
37
Pengalaman di Indonesia dapat kita petik dari Snouck Hurgronje pada abad 18 19 terhadap
kolonialisasi negeri kerajaan Belanda di Hindia
12
Daftar Pustaka :
Buku :
Bernard Lacroix, Sosiologi Politik Dukheim, (terjemahan dari Judul asli Durkheim
et Le Politique), Kreasi Warna Yogyakarta, 2005
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Persfektif Historis, Nusa Media, 2008
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum-Refleksi Kritis terhadap Hukum,Rajawali Press
Theo Huijbers, Dr. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, 1982
Link, Materi & Artikel :
Ahsanul Minan dan Indah Sari Septiani Putri Adi Muchtar, Legal Realism
http://kuliahfilsafathukum12.blogspot.com/2012/03/legal-realism.html
Edward Nicodimus Lontah, Pembentukan dan Perkembangan Mazhab Sejarah dalam
Hukum, Materi Diskusi Ilmu Hukum, Program Magister UKSW Salatiga, 2011,
http://mihuksw.edublogs.org/2011/01/28/pembentukan-dan-perkembangan-mazhabsejarah-dalam-hukum/
Irawan Djito, http://www.scribd.com/doc/57670124/filsafat-hukum
Nasri, SH, MH, Pengaruh Pemikiran Mazhab Sejarah dalam Pembaharuan Hukum,
Makalah Kuliah Teori Hukum - program Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram,
Maret 2008
Riza Yusmanda, SH, MH Mazhab Sejarah Sosiologi Hukum, Materi Kuliah Reguler
Sosiologi Hukum (25/05/2012)
Rusinah, Dra, Hj, M.H.I, Pangadilan Agama Banjarmasin http://pa-tanjung.ptabanjarmasin.go.id/
Wikipedia : http://id.wikipedia.org/wiki/
Zulkarnain, Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Madzab Sejarah, Digitized by USU
digital library, 2003
13