Anda di halaman 1dari 2

Beban pembuktian

Dalam pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa hakim menentukan apa yang harus
dibuktikan, bebab pembuktian , beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian
diperlukan sekuranng-kurangnyadua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan bahwa pasal ini mengatur ketentuan dalam
rangka usaha menemukan kebenaran materiil. Berbeda dengan sitem pembuktian dalam hukum
acara perdata, maka dengan memerhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa
tergantung pada fakta dal hal yang diajukan oleh para pihak. Hakim PTUN dapat menentukan
sendiri ;
1. Apa yang harus dibuktikan ;
2. Siapa yang hgarus dibebani beban pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak
yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri;
3. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian;
4. Kekuatan pembuktian bukti yang diajukan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 107 , maka hukum acara PTUN menganut ajaran pembuktian
bebas (vrije bewijsleer). Namun terdapat batas-batas tertentu trerhadap kebebasan dalam hukum
acara TUN itu, ialah misalnya syarat-syarat sekurang-kurangnya dua alat bukti untuk sahnya
pembuktian serta penyebutan alat-alat bukti limitatif. Pada ajaran pembuktian bebas murni tidak
dapat ketentuan tertulis yang mengikat bagi hakim atau pengadilan untuk menetukan berapa
banyaknya pembuktian yang dibutuhkan, pembebanan pembuktian, pemilihan alat bukti maupun
penilaiannya.
Dalam pasal 107 A UU No. 51 Tahun 2009 disebutkan sebagai berikut;
(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim harus bertanggung jawab atas penetapan
dan putusan yang dibuat;
(2) Penetapan dan putusan sebagaimana yang diatur pada ayat (1) harus memuat
pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat
dan benar.
Selanjutnya dalam penjelasannya menyebutkan Dalam membuat penetapan dan putusan ,
hakim harus bersandar pada keadilan hukum dan norma yang ada dan berlaku di masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, seorang hakim tidak dibenarkan untuk membuat penetapan atau
putusan yang didsarkan oleh adanya kepentingan dan/atau keuntungan pribadi.
Ketentuan pasal 107 UU No. 51 Tahun 2009, apabila dikaitkan dengan sitematika UU No. 5
Tahun 1986, maka masuk dalam Bab IV Bagian Ketiga tentang Pembuktian. Oleh karena itu,
ketentuan pasal 107 UU No. 51 Tahun 2009 tersebut harus dimaknai dalam konteks pembuktian.
Dengan kata lain, penetapan dan putusan hakim haruslah mengacu pada alat-alat bukti yang
diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Hakim tidak boleh mengabaikan alat-alat bukti yang

diajukian oleh salah satu pihak atas nama keadilan dan norma yang berlaku dimasyarakat,
padahal alat-alat bukti yang diajukan itu sangat kuat. Jika demikian halnya, maka hakim telah
mengabaikan asas kepastian hukum. Rumusan harus bersandar pada keadilan hukum dan
norma yang ada dan berlku dimasyarakat akan lebih tepat dikaitkan dengan kekuatan hukum
dari alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak. Hal itu rasanya lebih berjalan dengan substansi
pasal 107 ayat (2) UU No. 51 Tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai