Anda di halaman 1dari 3

NAMA : SITI AISAH

NIM : 20170610198
TUGAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

RANGKUMAN PENGANTAR HUKUM INTERNASIONAL INDONESIA


BAB I
PENGERTIAN HUKUM ANTAR TATA HUKUM

Pengertian “Internasional” pada istilah Hukum Perdata Internasional (Private International Law)
tidak diartikan sebagai internationes bukan berarti bahwa sumber hukum HPI adalah
internasional. HPI adalah merupakan bagian dari hukum nasional . unsur internasional pada HPI
bukan diartikan sebgai hukum antar negara akan tetapi adanya hubungan dengan unsur asing.
Karena ada banyak negara di dunia yang memiliki sistim HPI nya sendiri. Oleh karena itu, tiap-
tiap negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai sistim HPI-nya sendiri. Maka, adalah tepat
pemakaian istilah “Hukum Perdata Internasional Indonesia” karena HPI Indonesia adalah tidak
bersifat supra nasional. Terdapat aneka ragam mengenai HPI yakni pertama, memandang HPI
sebagai Hukum perselisihan (rechtstoepassingsrecht) pandangan ini adalah pandangan pertama
dan terbatas. Kedua, HPI bukan hanya gabungan dari “conflict of laws” akan tetapi termasuk juga
“choice of jurisdiction” dengan demikian bukan hanya mengenai hukum manakah yang berlaku
akan tetapi hakim manakah yang berwenang untuk mengadili. Ketiga, HPI pada pandangan ini
adalah disamping masalah-masalah pilihan hukum dan pilihan hakim termasuk pula masalah-
masalah dengan tentang status orang asing. keempat, HPI adalah bagian dari Choice of Laws,
Choice of jurisdiction, condition des etranger dan nationalite. Pandangan ini merupakan
pandangan sistem yang paling luas karena ada penambahan unsur kewarganegaraan.

Perumusan Hukum Perdata Internasional (HPI) yakni keseluruhan peraturan dan keputusan hukum
yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum,
jika hubungan dan peristiwa antara warganegara pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik
pertalian dengan stelsel dan kaidah hukum dari dua negara atau lebih yang berbeda dalam
lingkungan-lingkungan kuasa tempat, pribadi dan soal-soal. Maka dari itu sebenarnya HPI
merupakan persoalan perdata sehari-hari yang ada unsur asing nya (foreign element).

Hukum Antara Tata Hukum (HATAH) dibagi menjadi itern dan extern. Perumusan HATAH
memakai landasan yang dinamakan “Ilmu Lingkungan kekuasaan Hukum” atau “geiedsleer”.
Karena HATAH di Indonesia berkerja dengan norma-norma hukum bukan bedasarkan Ambten
(jabatan-jabatan). Hans kelsen mengatakan tiap norma hukum mempunyai 4 lingkungan
kekuasaan atau rechsgeieden. Lingkungan kekuasaan yang pertama yaitu norma Hukum Antar
Waktu tertentu (The Sphere of Time). Hukum Antar Waktu (HAW) termasuk kedalam Hatah
intern, HAW sendiri memiliki artian yakni keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang
menujukkan hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-
hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga negara dalam satu negara dan satu tempat yang
memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum yang berbeda
dalam lingkungan-lingkugan kuasa waktudan soal-soal. Selanjutnya, Hukum Antar Tempat (The
Sphere of Spaces) hukum ini timbul karena siap orang dari suatu negara mengadakan hubungan
dengan orang dari negara lain yang memiliki hukum perdata yang berbeda. HAT dirumuskan
sebagai keseluruhan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum yang manakah yang
berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan dan peristiwa antar warganegara
dalam suatu negara dan satu waktu tertentu , memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsen
dan kaidah-kaidah huku yang berbeda dengan lingkungan-lingkungan kuasa tempat dan soal-soal.
Selanjutnya adalah Hukum Antar Golongan (HAG) atau Personal Sphere yang merupakkan
termasuk kedalam HATAH intern. Hukum Antar Agama (HAA) juga termasuk ke dalam HAG
karena permasalahan HAA dianggap tidak beda jauh dengan permasalahan-permasalahan HAG.
Perumusan HAG yaitu peraturan dan keputusan yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang
berlaku jika terdapat hubungan atau peristiwa antar warga negara dalam suatu negara, suatu
tempat, suatu waktu tertentu yang memperlihatkan adanya titik pertalian dengan stelsel dan kaidah
hukum yang berbeda dalam lingkungan kekuasaan dan persoalan pribadi. Selanjutnya yang
terakhir hukum yang mengatur mengenai persoalan tertentu (Material Sphere).

BAB II
PRINSIP KEWARGANEGARAAN DA PRINSIP DOMISILI
HATAH memiliki Titik Pertalian Primer (TPP) dan Titik Pertalian Sekunder (TPS). Faktor-faktor
dan keadaan-keadaan yang menciptakan bahwa suatu hubungan menjadi hubungan HATAH
termasuk dalam TPP sedangkan TPS merupakan titik taut yang menetukan hukum mana yang
berlaku.
TPP yang pertama dibidang HAG adalah untuk golngan rakyat yang menentukan status dari pihak
dan para subyek hukum, hal ini juga berlakupada status kewarganegaraan seseorang. Selanjutnya,
bendera-bendera kapal juga termasuk kedalam TPP karena kapal yang berbendera suatu negara
dianggap sebagai ekstrateritoral negara tersebut. Berikutnya adalah tanah sebagai TPP untuh HAG
yang biasa disebut faktor-faktor tanah akan tetapi hal ini hanya berlaku sebelum dikeluarkan nya
Undang-Undang Pokok Agraria di tahun 1960. Karena tahanah sebelum dikeluarkan nya UUPA
merupakan termasuk lingkungan hukum barat yang berarti Hukum B.W dan Hukum WvK berlaku
pada saat itu dan akte-akte tanah dikeluarkan oleh Kadaster dan untuk tanah-tanah yang belum
didaftarkan dan dipetakkan oleh Kadaster berada di bawah hukum adat. Akan tetapi setelah di
keluarkan nya UUPA dan dengan adanya unifikasi tanah bukan lagi menjadi faktor masalah HAG.
Selanjutnya adalah domisili. Domisili merupakan suatu pengertian hukum yang baru lahir apabila
terpenuhinya syarat-syarat tertentu, misalnya kediaman yang permanen di suatu tempat dan tidak
memiliki rencana atau niatan untuk pulang kembali ke daerah asal. Disamping domisili yang
merupakan pengertian yuridis terdapat TPP lain yang mengedepankan de facto dimana seseorang
berdiam di tempat kediamannya (Residence) yang memiliki artian seseorang tersebut hanya
menetap untuk sementara waktu. Selanjutnya adalah untuk TPP yang ke lima yakni tempat
kedudukan badan hukum.

TPS adalah faktor-faktor dan keadaan yang menentukan berlakunya sistim hukum tertentu. Pilihan
hukum mana yang berlaku untuk suatu perjanjian ditentukan merupakan kesepakatan dari para
pihak dalam membuat perjanjian hal ini dikenal di dalam HPI sebagai partijautonomie yang berarti
autonomie dari para pihak untuk menentukan hukum mana yang mereka kehendaki. Dalam
menentukan pilihan hukum ada 2 cara yakni memilih pilihan kukum secara tegas yakni dengan
dicantumkan nya pilihan hukum saat perjanjian terjadi dan memilih pilihan hukum secara diam-
diam yang dilihat dari keadaan-keadaan di dalam perjanjian dan di sekitar perjanjian tersebut.
Faktor TPS selanjutnya adalah tempat letaknya suatu benda (situs). Untuk benda-benda tetap
berlaku ketentuan bahwa hukum dari tempat letak benda itulah yang dipakai untuk hubungan-
hubungan hukum yang berkenan dengan benda tersebut. Tetapi bukan hanya benda-benda tetap
yang berlaku asas lex reisitae tetapi untuk benda-benda bergerak di bidang HPI. Faktor TPS yang
selanjutnya adalah tempat dimana perbuatan hukum dilangsungkan atau tempat perjanjian dibuat
(lex loci actus, lex loci contractus) akan tetapi dengan seiring dengan berkembang nya waktu asas
lex loci contractus untuk hukum internasional dianggap terlalu kolot karena perdagangan
internasional sekarang sudah menggunakan alat komunikasi modern. Selain pertalian sekunder lex
loci contractus terdapat juga asas yang memakai tempat dimana harus dilaksanakan nya suatu
kontrak hukum yang diberlakukan (Lex loci solutionis, lex loci executionis). Asas ini hanya dapat
dipertanggung jawabkan jika tempat pelaksanaan ini memiliki essensial hubungan hukum
bersangkutan dan bahwa memang hanya dapat dilakukan di tempat bersangkutan saja. Asas yang
selanjutnya dalah tempat terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang
dipakai menurut teori klasik, hukum dari tempat dimana perbuatan melanggar hukum dilakukan
(lex loci delicti commissi).

Pemakaian prinsip kewarganegaraan untuk HPI Indonesia menurut pasal 16 AB menentukan


bahwa prinsip nasionalitas yang dipakai untuk menentukan status personil dan serta untuk harta
benda perkawinan (huwelijksgoederenrecht) juga dipakai hukum nasional para pihak. Selanjutnya,
mengenai syarat-syarat perkawinan memakai ketentun hukum nasional seperti, jika yang akan
menikah sudah mencapai 21 tahun maka dapat dengan leluasa menikah tanpa memerlukan
persetujuan dari orang tua mereka, walaupun mereka belum berumur 30 tahun sehingga pasal 42
BW tidak berlaku. Selanjutnya mengenai perwarisan, hukum yang dipakai adalah hukum
nasionalitas pewaris.

Anda mungkin juga menyukai