Anda di halaman 1dari 28

2.

SUMBER HUKUM ‘AQLI


A. IJMA’
Dari segi etimologis, ijma’ berasal dari bahasa Arab yang berarti “kemauan kuat untuk
melakukan sesuatu”.1 Dan menurut istilah para ulama ushul fiqh, ijma’ ialah kesepakatan
seluruh mujtahidin (ahli-ahli ijtihad) dari kalangan umat Islam pada suatu masa setelah
wafatnya Rasulullah SAW. atas suatu hukum syar’i. 2
Kesepakatan seluruh mujtahidin atas suatu hukum syara' itu wajib ditaati oleh kaum
Muslimin, karena ijma’ itu adalah dalil qath'i (pasti). Namun jika kesepakatan itu dicapai oleh
sebagian atau sebagian besar mujtahidin saja (yakni tidak keseluruhannya), maka kaum
Muslimin boleh mengikutinya dan boleh pula memilih selainnya selagi penguasa tidak
mewajibkan mentaatinya. Ini karena dalam keadaan demikian ia hanya merupakan dalil dhonni,
yakni dalil yang berdasarkan persangkaan kuat.
Setiap ijma' itu mempunyai sandaran dari al-Qur'an atau hadits, jadi ia tidak berdiri
sendiri. Dan pada dasarnya, al-Qur'an dan haditslah yang mengakui ijma’ itu sebagai instrumen
penetapan hukum yang mengikat, sehingga dengan demikian kekuatan hukum yang dihasilkan
oleh ijma’ itu sumbernya adalah al-Qur'an dan hadits.
Di dalam al-Qur'an Allah berfirman:

ْ ُ‫س ِبي ِل ْال ُمؤْ ِمنِينَ نُ َو ِلِّ ِه َما تَ َولَّى َون‬


‫ص ِل ِه‬ َ ‫سو َل ِم ْن َب ْع ِد َما تَ َبيَّنَ لَهُ ْال ُهدَى َو َيتَّ ِب ْع َغ ْي َر‬ُ ‫الر‬
َّ ‫ق‬ ِ ِ‫َو َم ْن يُشَاق‬
)١١٥( ‫يرا‬ ً ‫ص‬ِ ‫ت َم‬ َ ‫َج َهنَّ َم َو‬
ْ ‫سا َء‬
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali" (Q.S. an-Nisak: 115).
Dan di dalam sebuah hadits dinyatakan:

‫ ((ال تزال طائفة من أمتي ظ اهرين‬:‫عن المغيرة بن شعبة عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
.‫حتى يأتيهم أمر هللا وهم ظاهرون)) رواه البخاري ومسلم‬

1
Ibnu Mandhur, Op. Cit.,8/53.
2
Asy-Syaukani, Op. Cit., 1/193.
Dari al-Mughirah bin Syu’bah [diriwayatkan] dari Nabi SAW. bersabda: “Sekelompok umatku
masih selalu mendukung (kebenaran) sehingga datang kepada mereka janji Allah sedang mereka
masih dalam keadaan mendukung” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).3
Menurut imam al-Bukhari yang dimaksud dengan “sekelompok umatku” itu adalah ahli
ilmu (para ulama).4 Dan menurut Imam Nawawi hadits ini adalah sebaik-baik dalil bahwa ijma’
itu adalah dalil syar’i, dan hadits ini lebih baik dari hadits: "Umatku tidak (mungkin) bersepakat
atas sesuatu yang sesat", karena sanadnya lemah. 5
CONTOH-CONTOH IJMA’:6
Dalam masalah toharah:
1. Para ulama ijma’ bahwa bersentuhan itu hadats yang membatalkan toharah.
2. Mereka ijma’ bahwa tertawa di luar shalat tidak membatalkan toharah dan tidak
mewajibkan wudhuk.
3. Mereka ijma’ bahwa tertawa di dalam shalat itu membatalkan shalat.
4. Mereka ijma’ bahwa barangsiapa tayammum lalu shalat, kemudian mendapatkan air
setelah keluar waktu shalat, maka ia tidak perlu mengulangi shalatnya itu.
5. Mereka ijma’ bahwa orang yang bersuci dengan air boleh mengimami orang-orang
yang bertayammum.
Dalam masalah shalat:
1. Para ulama ijma’ bahwa orang yang tidak mampu berdiri boleh shalat dengan duduk.
2. Mereka ijma’ bahwa orang yang mampu, shalatnya tidak cukup melainkan ia ruku’ dan
sujud.
3. Mereka ijma’ bahwa perempuan yang haid tidak wajib shalat ketika haid, dan ia tidak
wajib mengqadhaknya.
4. Mereka ijma’ bahwa orang yang mabuk wajib mengqadhak shalatnya.
5. Mereka ijma’ bahwa di antara shalat isyak hingga terbitnya fajar itu adalah waktu
shalat witir.
Dalam masalah zakat:

3
Al-Bukhari, Op. Cit., 6/2667, dan Muslim, Op. Cit., 3/1523.
4
Al-Bukhari, Op. Cit., 6/2667.
5
An-Nawawi, Abu Zakariya, Sahih Muslim bi Syarh an-Nawawi (Beirut: Dar Ihyak al-Turats al-‘Arabi,
cetakan kedua, 1392H), 13/66/67.
6
Lihat Ibnu al-Mundzir, Abu Bakar bin Muhammad, al-Ijma’, tahqiq Fuad Abdul Mun’im Muhammad,
(Tanpa tempat penerbit: Dar al-Muslim, cetakan pertama, 2004M/1425H), 1/34-79.
1. Para ulama ijma’ atas kewajiban membayar zakat atas onta, sapi dan kambing.
2. Mereka ijma’ bahwa di dalam lima onta ada kewajiban membayar zakat satu kambing.
3. Mereka ijma’ bahwa tidak ada kewajiban membayar zakat atas kambing yang kurang
dari empat puluh ekor.
4. Mereka ijma’ bahwa dalam empat puluh hingga seratus dua puluh ekor kambing ada
kewajiban zakat satu ekor kambing. Jika lebih dari seratus dua puluh hingga dua ratus ekor
kambing maka ada kewajiban membayar zakat dua ekor kambing.
5. Mereka ijma’ bahwa hukum zakat kerbau adalah sama dengan hukum zakat sapi.
Dalam masalah puasa dan i’tikaf:
1. Para ulama ijma bahwa barangsiapa berniat puasa pada setiap malam bulan Ramadhan
lalu ia berpuasa maka puasanya itu sempurna.
2. Mereka ijma’ bahwa sahur itu sunat.
3. Mereka ijma’ atas batalnya puasa bagi siapa yang muntah secara sengaja.
4. Mereka ijma’ bahwa i’tikaf itu tidak wajib bagi manusia melainkan ia mewajibkannya
untuk dirinya sendiri (dengan cara nadzar), maka i’tikaf itu wajib baginya.
5. Mereka ijma’ bahwa mu’takif (orang yang beri’tikaf) itu boleh keluar masjid untuk
buang air besar atau kecil.
Dalam masalah haji:
1. Para ulama ijma’ bahwa seorang suami boleh melarang istrinya yang akan haji sunat.
2. Mereka ijma’ bahwa seseorang itu dalam seluruh umurnya hanya mempunyai satu
kewajiban haji, kecuali jika bernadzar maka ia wajib menunaikan nadzarnya itu.
3. Mereka ijma’ bahwa barangsiapa berihram sebelum miqat maka ia adalah muhrim.
4. Mereka ijma’ bahwa ihram boleh tanpa mandi.
5. Mereka ijma’ bahwa barangsiapa ingin bertalbiyah untuk haji tapi malah bertalbiyah
untuk umrah, atau sebaliknya, ingin bertalbiyah untuk umrah tapi malah bertalbiyah untuk haji,
maka yang mengikat adalah yang terketuk di dalam hatinya, bukan apa yang diucapkan oleh
lisannya.
Dalam masalah nikah:
1. Para ulama ijma’ bahwa seorang ayah yang menikahkan anak perempuannya yang
janda tanpa kerelaannya adalah tidak boleh.
2. Mereka ijma’ bahwa seorang ayah boleh menikahkan anak laki-lakinya yang masih
kecil.
3. Mereka ijma’ bahwa seorang ayah boleh menikahkan anak perempuannya yang masih
kecil jika dinikahkan dengan seorang yang sekufuk (sebanding).
4. Mereka ijma’ bahwa orang kafir tidak menjadi wali bagi anak perempuannya yang
Muslimah.
5. Mereka ijma’ bahwa seorang perempuan boleh melarang suaminya untuk
menyetubuhinya hingga ia memberinya maharnya.

B. QIYAS
Arti qiyas dari segi etimologi ialah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain. 7 Dan
menurut para ulama ushul, qiyas adalah penyamaan suatu kejadian yang belum ada nash
(teks al-Qur'an atau hadits) yang menghukuminya, dengan suatu kejadian yang sudah ada
nash yang menghukuminya, di dalam hukum yang dinyatakan, karena persamaan kedua
kejadian tersebut di dalam ‘illat (dasar penetapan) hukum. 8
Maksudnya, Pembuat hukum (Allah) itu kadang kala menetapkan hukum tertentu atas
suatu kejadian, dan mujtahid mengetahui ‘illat (dasar penetapan) hukum tersebut. Kemudian ada
kejadian lain yang tidak ada nash yang menghukuminya, akan tetapi kejadian ini sama dengan
kejadian pertama dalam ‘illat hukumnya. Maka mujtahid itu menyamakan keduanya di dalam
hukum, dan penyamaan ini disebut qiyas.
Dengan demikian, qiyas itu tidak menetapkan hukum, akan tetapi menampakkan hukum
yang sudah tetap pada al-maqis (sesuatu yang diqiyaskan) mulai waktu tetapnya pada al-maqis
‘alaih (sesuatu yang diqiyaskan kepadanya) karena keduanya mempunyai ‘illat hukum yang
sama. Jadi sebenarnya tampaknya hukum pada al-maqis itu datang terakhir sampai mujtahid
melihat adanya ‘illat hukum darinya. Oleh karena itu, pekerjaan mujtahid ialah mengetahui ‘illat
hukum lalu menerangkan perkongsian al-maqis dan al-maqis ‘alaih di dalamnya, lalu
menampakkan bahwa hukum keduanya itu satu.

RUKUN QIYAS

7
Ibnu Mandhur, Op. Cit., 6/185.
8
Zaydan, Al-Madkhal, hal. 167.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa rukun qiyas itu ada empat:
1. Al-Ashl : Yaitu yang disebut al-maqis ‘alaih, ialah sesuatu (kejadian atau barang)
yang terdapat nash mengenai hukumnya.
2. Hukum al-Ashl: Yaitu hukum syar’i yang terdapat nash di dalam al-ashl, dan akan
dikembangkan kepada al-far’u.
3. Al-Far’u : Yaitu yang disebut al-maqis, yaitu sesuatu (kejadian atau barang) yang
belum ada nash mengenai hukumnya, dan dikehendaki mempunyai hukum al-ashl dengan cara
qiyas.
4. Al-’illat : Yaitu sifat yang ada pada al-ashl, yang karenanya hukum itu ditetapkan,
dan atas dasar kewujudannya di dalam al-far’u ingin disamakan dengan al-ashl dalam hukum.
Adapun hukum yang tetap pada al-far’u dengan cara qiyas itu adalah hasil proses qiyas
atau buahnya, jadi bukan termasuk rukun qiyas.

CONTOH-CONTOH QIYAS:
1. Ada nash yang mengharamkan khamar. Nash tersebut ialah firman Allah:

ْ َ‫ان ف‬
ُ‫اجتَنِبُوه‬ ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬
َّ ‫س ِم ْن َع َم ِل ال‬ ْ ‫ب َو‬
ٌ ‫األزال ُم ِر ْج‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا إِنَّ َما ْالخ َْم ُر َو ْال َم ْيس ُِر َواأل ْن‬
ُ ‫صا‬
َ‫لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحون‬
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah: 90). Menurut
para ulama, khamar ialah nama minuman memabukkan yang dibuat dari anggur saja tanpa
selainnya. Ini adalah al-ashl yang terdapat nash mengenai hukumnya yaitu haram. Sementara
minuman keras lainnya yang terbuat dari kurma atau gandum adalah al-far’u yang belum
terdapat nash mengenai hukumnya, akan tetapi ternyata di dalamnya terdapat ‘illat hukum sama
yaitu memabukkan, maka ia diqiyaskan dengan khamar karena keduanya bersekutu dalam al-
’illat, maka ia juga memiliki hukum sama dengan khamar yaitu haram.
2. Pembunuhan ahli waris terhadap pewaris adalah al-ashl. Terdapat nash mengenai
hukumnya, yaitu ia dihalangi dari warisan. Nash tersebut adalah sabda Nabi SAW.: “Pembunuh
itu tidak mewarisi”. (HR. Ibnu Majah). 9 ‘Illat hukum tersebut ialah: Menjadikan pembunuhan

9
Ibnu Majah, Op. Cit., 2/913.
sengaja sebagai cara untuk mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka niatnya yang buruk
itu ditolak dan ia dihukumi dengan dihalangai dari warisan tersebut. Sementara pembunuhan
orang yang diwasiati terhadap pewasiat tidak terdapat nash yang menghukuminya, akan tetapi
dalam kejadian ini ada ‘illat hukum yang terdapat pada kejadian pertama, yaitu mendapatkan
sesuatu sebelum waktunya dengan cara jahat, maka kejadian kedua diikutkan dengan kejadian
pertama karena perkongsian keduanya di dalam ‘illat hukum dan disamakan hukumnya, yaitu
orang yang diwasiati tidak mendapatkan wasiat dari pewasiat.
3. Pembelian seseorang atas pembelian saudaranya atau lamaran seseorang atas lamaran
saudaranya itu tidak dibolehkan karena ada nash yang melarang demikian, yaitu sabda Nabi
SAW.: “Seorang Mukmin itu adalah saudara Mukmin yang lain, maka tidak halal bagi seorang
Mukmin membeli atas pembelian saudaranya atau melamar atas lamaran saudaranya sehingga ia
meninggalkan”. (HR. Muslim). 10 ‘Illat hukumnya ialah di dalam perbuatan tersebut terdapat
pelanggaran terhadap hak orang lain yang akan menimbulkan kemarahan dan permusuhan.
Sementara penyewaan seseorang atas penyewaan saudaranya adalah kejadian yang belum ada
nash yang menghukuminya, maka ia diqiyaskan dengan kejadian pertama karena perkongsian
keduanya di dalam ‘illat hukum, dan ia disamakan dengannya dalam hukum tersebut yaitu
dilarang.
4. Jual-beli waktu adzan shalat Jum’at dikumandangkan adalah dilarang, karena ada nash
yang menghukuminya yaitu firman Allah:

‫َّللاِ َوذَ ُروا ْالبَ ْي َع ذَ ِل ُك ْم َخ ْي ٌر‬


َّ ‫صالةِ ِم ْن يَ ْو ِم ْال ُج ُمعَ ِة فَا ْسعَ ْوا إِلَى ِذ ْك ِر‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا إِذَا نُود‬
َّ ‫ِي ِلل‬
َ‫لَ ُك ْم ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui’. (QS. Al-Jumu’ah: 9).
Dan ‘illat hukumnya ialah jual-beli itu menghalangi seseorang untuk bersegera shalat dan ada
kemungkinan bisa membuatnya terlewatkan. ‘Illat ini juga ada pada sewa-menyewa, gadai-
menggadai dan menikah pada waktu seperti itu, maka hukum perbuatan-perbuatan tersebut
adalah dilarang karena diqiyaskan dengan jual beli.

10
Muslim, Op.Cit., 2/1034.
SYARAT-SYARAT QIYAS:
Proses qiyas tidak sah melainkan terpenuhinya syarat-syarat yang ada pada setiap rukun
qiyas.
1. Syarat al-ashl: Hendaknya al-ashl tidak menjadi al-far’u pada al-ashl yang lain.
Dengan kata lain hendaknya hukum al-ashl itu ditetapkan dengan nash (al-Qur’an atau hadits)
dan ijma’.
2. Syarat hukum al-ashl: (a) Hendaknya merupakan hukum syar’i yang amali
ditetapkan dengan nash dari al-Kitab atau as-sunnah dan ijma’. (b) Hendaknya bisa difahami
oleh akal yaitu karena didasarkan kepada ‘illat yang bisa dimengerti oleh akal. Hal ini karena
qiyas itu asasnya adalah memahami ‘illat hukum. Oleh karena itu hukum-hukum dalam masalah
ibadah itu tidak bisa diqiyaskan karena ‘illat hukumnya hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. (c)
Hendaknya hukum al-ashl mempunyai ‘illat yang bisa ada di dalam al-far’u. Jika ia hanya
mempunyai ‘illat yang hanya khusus pada al-ashl maka qiyas tidak bisa dilaksanakan.
Contohnya, mengqosor shalat pada waktu safar atau membolehkan berbuka puasa bagi musafir.
‘Illat hukum keduanya adalah safar (dalam perjalanan). Tujuannya adalah menghilangkan
kesulitan. Akan tetapi ‘illat ini yaitu safar tidak bisa terwujud kecuali kepada musafir, maka tidak
mungkin diqiyaskan kepadanya orang-orang yang mempunyai pekerjaan berat. (d) Hendaknya
hukum al-ashl itu tidak khusus hanya untuk al-ashl saja. Contohnya, kekhususan atau
keistimewaan Rasulullah SAW. untuk boleh menikah lebih dari empat istri, dan pengharaman
menikahi istri-istri beliau setelah kewafatan beliau. Kedua hal ini tidak bisa diqiyaskan kepada
orang lain.
3. Syarat al-far’u: (a) Hendaknya al-far’u itu tidak dinyatakan hukumnya dalam nash,
karena tidak boleh ada qiyas jika sudah ada nash. (b) Hendaknya ‘illat hukum al-ashl ada pada
al-far’u, karena hukum itu disamakan jika ‘illatnya bisa disamakan.
4. Syarat al-’illat: (a) Hendaknya al-’illat itu berupa sifat yang jelas. Maksud jelas di sini
sifat tersebut harus bisa ada di dalam al-ashl dan al-far’u. (b) Hendaknya ia berupa sifat yang
tertentu. Maksud tertentu di sini sifat tersebut mempunyai hakikat tertentu dan terbatas tidak
berbeda dari seorang kepada orang lain dan dari suatu keadaan kepada keadaan lain. Atau boleh
juga sifat tersebut berbeda sedikit dengan perbedaan yang tidak diperhitungkan. (c) Hendaknya
ia berupa sifat yang sesuai dengan hukum. Maksud sesuai di sini ialah cocok yakni maslahat
yang dituju Pembuat hukum dalam pembuatan hukum akan terwujud dengan mengkaitkannya
dengan sifat ini. (d) Hendaknya ia berupa sifat yang bisa dilimpahkan. Artinya, sifat tersebut
bukan terbatas hanya pada al-ashl saja. (e) Hendaknya ‘illat itu termasuk sifat-sifat yang tidak
dihapus pengakuan Pembuat hukum terhadapnya. Artinya tidak ada dalil syar’i yang menghapus
sifat ini dan tidak mengakuinya.

PEMBAGIAN QIYAS DAN MACAM-MACAMNYA:


1. Qiyas Aula: Yaitu qiyas yang ‘illat al-far’u itu lebih kuat daripada ‘illat al-ashl.
Contohnya firman Allah: “maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya
(kedua orang tua) perkataan “ah”.” (QS. Al-Israk: 23). Ayat ini mengharamkan perkataan “ah”
kepada kedua orang tua. ‘Illatnya, perkataan tersebut menyakitkan. ‘Illat yang sama juga ada
pada pemukulan terhadap kedua orang dengan bentuk yang lebih kuat daripada yang ada pada al-
ashl. Oleh karena itu pengharaman memukul kedua orang tua dengan qiyas dengan cara yang
lebih aula (utama).
2. Qiyas Musawi: Yaitu qiyas yang ‘illat yang dibangun di atasnya hukum al-ashl ada
pada al-far’u dalam kadar yang sama ada pada al-ashl. Contohnya, firman Allah yang
mengharamkan memakan harta anak yatim secara zalim: “Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya
dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisak: 10). ‘Illat
hukumnya, pelanggaran dan perusakan terhadap harta anak yatim. Membakar anak yatim secara
zalim juga menyamai ‘illat kejadian pertama, sehingga hukumnya musawi (sama) dengan hukum
memakannya secara zalim, yaitu haram.
3. Qiyas Adna: Yaitu qiyas yang keberadaan ‘illat di dalam al-far’u lebih lemah dan
lebih samar daripada yang ada di dalam al-ashl. Contohnya, memabukkan. Ia adalah ‘illat
pengharaman khamar (minuman terbuat dari anggur), akan tetapi ia ada dalam bentuk yang lebih
lemah pada nabidz (minuman terbuat dari kurma dan lainnya), meskipun pada keduanya sifat
memabukkan.

KEHUJJAHAN QIYAS:
Qiyas merupakan hujjah syar’i dan salah satu dalil hukum menurut jumhur fuqaha. Yang
mempertentangkan kehujjahan qiyas hanyalah madzhab Dhohiri, sebagian Muktazilah dan
madzhab Ja’fari (Syiah).
Dalil jumhur fuqaha mengenai kehujjahan qiyas yang tidak bisa dibantah atau dipatahkan
oleh madzhab-madzhab yang menentang qiyas ialah:
1. Firman Allah: “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang
yang mempunyai wawasan.” (QS. Al-Hasyr: 2). Allah menyebutkan ayat ini setelah
menerangkan apa yang terjadi pada Yahudi Bani an-Nadhir akibat kekafiran mereka dan tipu
daya mereka terhadap Rasulullah SAW. sehingga mereka diusir dari Madinah dan rumah-rumah
mereka dimusnahkan. Penafsiran ayat ini: Pikirkanlah wahai orang-orang yang berpikiran waras
dan berhati-hatilah agar kamu tidak tertimpa seperti apa yang menimpa mereka jika kamu
melakukan seperti yang mereka lakukan, karena sunnatullah itu satu dan berlaku untuk semua.
Sementara arti qiyas tiada lain adalah seperti itu, karena mengambil pelajaran berarti berpindah
dari sesuatu kepada sesuatu yang lain, dan qiyas juga seperti itu yaitu berpindah dari suatu
hukum kepada hukum yang lain. Tambahan pula, mengambil pelajaran itu diperintahkan,
sementara qiyas adalah salah satu cara mengambil pelajaran, sehingga dengan demikian qiyas itu
diperintahkan dengan nash ayat ini. Oleh karena itu qiyas adalah hujjah syar’i dan dalil yang
harus diamalkan tuntutannya.
2. Nabi SAW. menyetujui qiyas tatkala beliau bertanya kepada Mua'dz bin Jabal ketika
beliau mengutusnya ke Yaman: “Dengan apa kamu menghukumi?” Jawab Mu'adz: ”Dengan
kitab Allah. Jika tidak kudapatkan maka dengan sunnah Rasulullah. Dan jika tidak kudapatkan
maka saya akan mengerahkan segenap kemampuanku untuk berijtihad.” Maka Nabi SAW.
menyetujui ucapannya: ”maka saya akan mengerahkan segenap kemampuanku untuk berijtihad.”
Ungkapan ini adalah mutlak. Maksudnya, boleh berijtihad dalam semua perkara. Jadi dengan
demikian qiyas dibolehkan dalam semua masalah yang tidak terdapat hukumnya di dalam al-
Quran dan hadits, karena qiyas adalah sebagian dari ijtihad.
3. Ketika para sahabat bermusyawarah mengenai hukuman minum khamar, Ali ra.
berkata: ”Jika ia minum arak maka ia mabuk, jika mabuk maka ia meracau, jika ia meracau maka
ia berdusta, maka hukumlah ia dengan hukuman pendusta.” Jadi dengan demikian Ali
mengqiyaskan hukuman peminum arak dengan hukuman pendusta (yakni qadzif atau penuduh
orang lain berbuat zina). Dan tidak ada seorang sahabatpun yang mengingkarinya sehingga
menjadi ijma'.
4. Umar bin Khattab pernah mendatangi Nabi SAW. lalu berkata: “Wahai Rasulullah hari
ini aku melakukan sesuatu yang besar, aku mencium (istriku) padahal aku berpuasa. Maka Nabi
bersabda kepadanya: “Apa pendapatmu kalau kamu berkumur dengan air pada waktu puasa?” Ia
menjawab: “Tidak mengapa” Nabi SAW. bersabda: “Kalau begitu itu juga tidak mengapa”. (HR.
Abu Dawud).11
5. Ada seorang perempuan dari Juhainah mendatangi Nabi SAW. lalu berkata: “Sungguh
ibuku bernadzar akan naik haji, akan tetapi beliau kini telah meninggal sebelum berhaji, apakah
aku naik haji atas namanya? Maka baginda bersabda: “Ya berhajilah atas namanya. Bagaimana
pendapatmu jika ia mempunyai hutang, apakah engkau akan membayarnya atas namanya?
Bayarlah hutang kepada Allah, karena Allah lebih utama untuk dibayar”. (HR. Al-Bukhari).12
6. Maksud menetapkan hukum adalah untuk mewujudkan maslahat hamba-hamba Allah,
dan ini adalah hikmah penetapan hukum. Dan di antara yang sesuai untuk tujuan ini adalah
mengambil qiyas.
7. Nash-nash dalam al-Kitab dan as-sunnah itu terbatas sementara peristiwa dan kejadian
yang dialami manusia itu tidak terbatas, sehingga sesuatu yang terbatas tidak mungkin meliputi
sesuatu yang tidak terbatas, maka harus diperhatikan ‘illat dan makna yang dikandung atau
diisyaratkan oleh nash-nash atau disimpulkan darinya, lalu setiap kejadian yang ada padanya
‘illat diberikan hukum yang dinyatakan dalam nash. Dengan cara ini syariat Islam tidak merasa
sempit dengan kejadian baru apa pun atau peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dan
belum ada nash yang menghukuminya.

C. ISTIHSAN
Istihsan dari segi etimologi berarti menganggap sesuatu itu baik. 13 Ia juga mempunyai
arti sesuatu yang disukai oleh seseorang meskipun buruk bagi orang lain. Dan dari segi
terminologi, istihsan mempunyai banyak definisi, antara lain:
1. Istihsan ialah menarik diri dari suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat
daripadanya, atau ia adalah mengkhususkan suatu qiyas dengan dalil yang lebih kuat
daripadanya. 14
2. Istihsan ialah meninggalkan qiyas karena adanya dalil yang lebih kuat daripadanya dari
al-Kitab atau as-sunnah atau al-ijma’. 15

11
Abu Dawud, Op. Cit., 2/284.
12
Al-Bukhari, Op. Cit., 2/656.
13
Ibnu Mandhur, Op. Cit., 13/114.
14
Asy-Syaukani, Op. Cit., 2/182-183.
Dari dua definisi ini dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan ishtihsan ialah
menarik diri dari qiyas yang jali (terang) kepada qiyas yang khafi (samar), atau
mengecualikan masalah yang ju’i (bagian) dari kaidah umum, karena suatu dalil yang
diyakini seorang mujtahid yang menuntutnya untuk menarik diri atau mengecualikan.
Jika seorang mujtahid menghadapi suatu masalah yang di dalamnya ada dua qiyas yang
saling tarik-menarik; yang pertama qiyas jali (terang) yang menuntut suatu hukum tertentu, dan
yang kedua qiyas khafi (samar) yang menghendaki hukum lain, sementara pada diri mujtahid
tersebut ada dalil yang menuntut untuk mentarjih atau menguatkan qiyas kedua daripada qiyas
pertama, atau menarik diri dari qiyas yang terang lalu mengambil qiyas yang samar, maka
penarikan diri ini dan pentarjihan di atas disebut istihsan.
Demikian pula, jika seorang mujtahid mendapatkan suatu masalah yang termasuk di
dalam kaidah umum atau prinsip universal, dan mujtahid ini mendapatkan dalil khusus yang
menuntut pengecualian masalah tersebut dari kaidah umum itu, sehingga hukumnya berbeda
dengannya karena ada dalil khusus tersebut, maka pengecualian ini disebut istihsan.

MACAM-MACAM ISTIHSAN DAN CONTOH-CONTOHNYA:


Berdasarkan sandarannya (yakni dalilnya atau sering disebut di dalam kitab-kitab fiqih
“wajh al-istihsan”, istihsan itu ada beberapa macam seperti berikut:
1. Istihsan berdasarkan nash. Contohnya, menurut kaidah umum dan prinsip universal
bai’ al-ma’dum (jual beli sesuatu yang belum ada) itu hukumnya batal, akan tetapi as-salam (jual
beli sesuatu yang belum ada pada waktu akad yaitu dengan cara pesanan) dikecualikan,
berdasarkan nash khusus, yaitu sabda Rasulullah SAW.: “Barangsiapa melakukan salaf
(salam/pesanan) pada sesuatu, hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas, untuk waktu
yang jelas” (HR. Al-Bukhari). 16 Demikian pula seperti khiyar asy-syarth (hak pilih dengan
syarat). Khiyar ini dibolehkan karena istihsan berdasarkan adanya nash di dalam hadits yang
membolehkannya hingga tiga hari. Hal ini berarti mengecualikan prinsip universal yang
menyatakan bahwa semua akad itu mengikat.
2. Istihsan berdasarkan ijma’. Contohnya, akad al-istishna’ (yaitu kontrak penjualan
antara pembeli dan pembuat barang). Istishna’ ini dibenarkan berdasarkan istihsan. Padahal

15
Ibid, 2/182-183.
16
Al-Bukhari, Op. Cit. 2/781.
menurut qiyas tidak dibenarkan karena merupakan akad atas sesuatu yang belum ada.
Sandarannya adalah hal tersebut sudah biasa dilakukan oleh manusia tanpa ada yang
mengingkarinya sehingga menjadi ijma’. Demikian pula seperti masuk toilet umum dengan
membayar sejumlah uang tertentu. Menurut kaidah umum hal ini tidak boleh karena tidak
diketahui berapa liter air yang digunakan dan berapa lama orang itu masuk toilet, akan tetapi ia
dibenarkan berdasarkan istihsan, karena orang-orang biasa melakukannya tanpa ada yang
mengingkarinya untuk menghindari kesulitan sehingga menjadi ijma’.
3. Istihsan berdasarkan ‘urf (adat kebiasaan). Seperti bolehnya mewakafkan sesuatu
yang bisa dipindahkan seperti buku, bejana dan lainnya menurut pendapat sebagian fuqaha. Hal
ini mengecualikan prinsip umum dalam wakaf yaitu hendaknya wakaf itu untuk selama-lamanya
sehingga tidak sah melainkan wakaf terhadap al-‘iqar (barang yang tidak bisa dipindahkan
seperti tanah dan bangunan), bukan al-manqul (barang yang bisa dipindahkan seperti buku dan
alat-alat). Bolehnya wakaf terhadap barang yang bisa dipindahkan karena sudah menjadi adat
kebiasaan.
4. Istihsan berdasarkan adh-dhorurat (keadaan darurat). Contohnya adalah seperti
dimaafkannya percikan air kencing dan tipuan kecil di dalam muamalat, karena hal itu tidak bisa
dihindari. Contoh lain mensucikan sumur yang kemasukan najis dengan mengeluarkan air
secukupnya, tanpa harus membuang keseluruhan air. Hal ini berdasarkan istihsan dan supaya
menghindarkan kesulitan dari manusia.
5. Istihsan berdasarkan maslahat. Misalnya kewajiban petugas penyimpanan
menanggung barang orang yang rusak yang ada padanya, kecuali jika kerusakan itu karena
sesuatu yang di luar kekuasaannya atau tidak bisa dihindarinya. Padahal menurut prinsip umum
ia tidak menanggung, melainkan jika karena permusuhan atau kelalainnya, karena ia adalah
pemegang amanah. Banyak fuqaha yang memberikan fatwa bahwa ia wajib menanggung --
berdasarkan istihsan-- untuk memelihara maslahat orang banyak dengan cara menjaga harta
mereka, karena rusaknya tanggung-jawab, tersebarnya khianat dan lemahnya kesadaran terhadap
agama pada akhir zaman.
6. Istihsan berdasarkan qiyas khafi (samar). Contohnya seperti hukum sucinya air liur
burung liar. Padahal menurut qiyas jali (terang), ia diqiyaskan dengan air liur binatang buas
sehingga hukumnya najis. Para fuqaha menghukuminya sebagai suci karena diqiyaskan dengan
air liur manusia, karena burung liar itu minum dengan paruhnya yang merupakan tulang suci. Ini
adalah qiyas khafi (samar), sehingga dengan demikian berhukum dengannya itu karena
berdasarkan istihsan.

KEHUJJAHAN ISTIHSAN
Banyak ulama menganggap istihsan itu sebagai salah satu dalil hukum. Akan tetapi
fuqaha madzhab Syafi’i mengingkarinya. Hanya saja pengingkaran ini disebabkan karena
sebagian fuqaha itu menganggap istihsan sebagai pembentukan hukum dengan hawa nafsu,
padahal istihsan itu bukan seperti itu.17

D. MASLAHAH MURSALAH
Maslahah atau maslahat ialah mendatangkan manfaat dan menolak madharrat (bahaya).
Dari definisi ini didapati bahwa maslahah itu mempunyai dua sisi; Sisi positif yaitu
mendatangkan manfaat, dan sisi negatif yaitu menolak madharrat atau bahaya.
MACAM-MACAM MASLAHAH:
1. Maslahah Mu’tabarah: Yaitu maslahah yang diakui oleh Pembuat hukum, dengan
cara menetapkan hukum baginya yang menyampaikan kepadanya. Seperti pemeliharaan terhadap
agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta. Pembuat hukum telah menetapkan hukum jihad untuk
memelihara agama, hukum qisas untuk memelihara jiwa, hukum hudud minuman keras untuk
menjaga akal, hukum hudud zina dan qadzaf (menuduh orang lain berzina) untuk memelihara
kehormatan, dan hukum hudud pencurian untuk memelihara harta.
2. Maslahah Mulghah: Yaitu maslahah yang diada-adakan, tidak hakiki atau tidak kuat,
yang dibatalkan oleh Pembuat hukum dan tidak diakuiNya, dengan cara menetapkan hukum
yang menujukkan bahwa ia tidak diakui. Contohnya antara lain adalah maslahah wanita dalam
persamaannya dengan saudara laki-lakinya dalam warisan. Maslahah ini telah dihapus oleh
Pembuat hukum dengan dalil firmanNya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua
orang anak perempuan” (QS. An-Nisak: 11). Dan seperti maslahah pelaku riba dalam masalah
bertambahnya hartanya dengan cara riba. Maslahah ini telah dihapus oleh Pembuat hukum

17
Zaydan, Al-Wajiz, hal. 233-235.
dengan menyatakan keharaman riba dalam firmanNya: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli
dan telah mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).
3. Maslahah Mursalah: Yaitu maslahah yang tidak dinyatakan oleh Pembuat
hukum sebagai maslahah yang dihapus atau diakui. Jadi maslahah mursalah itu ialah
maslahah yang dibiarkan. Ia maslahah karena mendatangkan manfaat dan menolak madharrat,
dan ia mursalah atau dibiarkan, karena ia mutlak tidak diakui atau dihapuskan oleh Pembuat
hukum. Dengan demikian maslahah mursalah ini ada pada peristiwa atau perbuatan yang
didiamkan, tidak mempunyai misal atau contoh yang dinyatakan dalam nash mengenai
hukumnya sehingga bisa diqiyaskan, namun di dalamnya ada sifat yang sesuai untuk menetapkan
hukum tertentu yang bisa mendatangkan manfaat atau menolak madharrat. Contohnya ialah
maslahat kodifikasi al-Quran, pencatatan urusan negara, penjaminan para pembuat barang, dan
hukuman mati bagi jama’ah yang membunuh satu orang manusia.

KEHUJJAHAN MASLAHAH MURSALAH:


Para ulama sepakat bahwa di dalam masalah-masalah ibadah maslahah mursalah tidak
boleh dipakai karena urusan ibadah itu cara mengetahuinya adalah at-tauqif (yaitu dari Allah),
sehingga ijtihad atau pandangan manusia tidak dibenarkan.
Sementara dalam masalah-masalah muamalat para ulama berbeda pendapat mengenai
kehujjahan maslahah mursalah dan kelayakannya sebagai salah satu dalil hukum. Tetapi
perbedaan pendapat ini hanya dari segi teori dan hanya terdapat di dalam kitab-kitab ushul fiqih,
sementara dari segi praktek dan di dalam kitab-kitab fiqih kebanyakan para ulama menjadikan
maslahah mursalah sebagi dalil hukum, termasuk yang menolaknya di dalam kitab-kitab ushul
fiqih seperti fuqaha madzhab Hanafi dan Syafi’i. Adapun yang jelas-jelas menjadikan maslahah
mursalah sebagai dalil hukum adalah imam Malik, kemudian imam Ahmad bin Hambal.

SYARAT MENGGUNAKAN MASLAHAH MURSALAH SEBAGAI DALIL


HUKUM:
Para ulama madzhab Maliki –sebagai fuqaha yang paling banyak menggunakan maslahah
mursalah—menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi di dalam maslahah mursalah
supaya bisa dijadikan sandaran hukum. Syarat-syarat tersebut seperti berikut:
1. Kesesuaian. Maksudnya, maslahah itu hendaknya sesuai dengan maksud-maksud
Pembuat hukum (Allah), tidak menyalahi prinsip-prinsipNya, dan tidak menafikan dalil-dalil
hukumNya. Akan tetapi justru termasuk salah satu jenis maslahah yang akan dituju oleh Pembuat
hukum untuk diperolehi atau paling tidak mendekatinya dan tidak asing darinya.
2. Hendaknya maslahah mursalah itu logis. Artinya dapat diterima oleh akal sehat.
3. Hendaknya tujuan menggunakannya adalah untuk memelihara sesuatu yang dhoruri
(asasi) atau untuk menghilangkan kesulitan karena Allah berfirman: “dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78).
4. Hendaknya maslahah yang menyebabkan pembentukan hukum itu maslahah yang
hakiki, bukan diada-adakan.
5. Hendaknya maslahah tersebut umum, bukan khusus. Maksudnya, hukum itu dibuat
untuk maslahat banyak orang, bukan untuk maslahat individu atau kelompok tertentu.

CONTOH-CONTOH IJTIHAD BERDASARKAN MASLAHAH MURSALAH:


Fuqaha madzhab Maliki mengeluarkan fatwa: Bolehnya melantik orang yang baik bukan
dari kalangan ijtihad sebagai pemimpin jika yang ahli ijtihad tidak ada. Bolehnya menarik pajak
dari orang-orang kaya jika perbendaharaan negara tidak ada atau kekurangan harta untuk
memenuhi kebutuhan negara. Bolehnya persaksian sebagian anak-anak atas sebagian yang lain
dalam masalah pencederaan demi maslahat.
Fuqaha madzhab Syafi’i membolehkan pemusnahan binatang-binatang yang digunakan
oleh musuh untuk berperang serta pemusnahan pohon-pohon mereka jika diperlukan demi
mengalahkan musuh.
Dan menurut fuqaha madzhab Hanafi, boleh membakar harta rampasan perang yang
diperolehi umat Islam jika tidak bisa dibawa supaya tidak dimanfaatkan oleh musuh.
Sedang imam Ahmad bin Hambal memfatwakan pengasingan orang-orang yang
melakukan kerusakan ke suatu negeri yang aman dari kejahatan mereka. Beliau juga
memfatwakan bolehnya memberi hibah kepada sebagian anak karena ada maslahat tertentu
seperti umpamanya ia sakit, atau miskin, atau banyak tanggungan atau sedang menuntut ilmu.
Dan fuqaha madzhab Hambali berpendapat bahwa pemimpin boleh memaksa orang-orang yang
menimbun barang keperluan umum untuk menjual apa yang mereka timbun dengan harga
pasaran ketika orang-orang memerlukannya.
E. SADD ADZ-DZARAI'
Sadd itu artinya menutup. Sementara adz-dzarai’ itu plural dari ad-dzari’ah yang berarti
jalan. 18 Jadi sadd adz-dzarai’ itu adalah menutup jalan-jalan. Maksudnya ialah menutup atau
melarang jalan-jalan yang menyebabkan atau menuju kepada kerusakan. 19
Para ulama sepakat bahwa perbuatan-perbuatan yang haram jelas dilarang karena
menyebabkan kepada kerusakan. Tapi ada juga perbuatan-perbuatan halal yang menyebabkan
kepada kerusakan, yaitu seperti berikut:
Pertama: Perbuatan halal yang mengantarkan kepada yang haram secara sedikit dan
jarang, sehingga maslahatnya lebih banyak daripada kerusakannya, seperti melihat tunangan dan
menanam anggur. Perbuatan seperti ini tidak dilarang hanya karena alasan bisa menimbulkan
keburukan, karena keburukannya itu tertutupi oleh masalahatnya yang jelas. Dan seperti
penerimaan Pembuat hukum (Allah) terhadap kabar dari seorang wanita mengenai habisnya
masa iddahnya atau belum habis masa iddahnya itu meskipun ada kemungkinan
ketidakjujurannya. Dan Pembuat hukum juga menerima kabar dari perawi tunggal meskipun ada
kemungkinan ia tidak hafal. Akan tetapi karena kemungkinan-kemungkinan ini tidak kuat maka
Pembuat hukum tidak menghiraukan dan tidak mengakuinya.
Kedua: Perbuatan halal yang menyebabkan kepada kerusakan secara banyak, sehingga
kerusakannya itu lebih kuat daripada maslahatnya. Contohnya seperti menjual senjata pada
waktu huru-hara, dan menyewakan rumah kepada orang yang akan menjadikannya sebagai
tempat perjudian, dan mencaci-maki tuhan-tuhan kaum musyrikin di depan orang-orang yang
suka mencaci-maki Allah ketika mendengar cacian tersebut, dan seperti menjual buah anggur
kepada orang yang terkenal sebagai pembuat minuman keras.
Ketiga: Perbuatan halal yang mengantarkan kepada kerusakan karena mukallaf
menggunakannya tidak sesuai dengan tujuannya sehingga menimbulkan kerusakan. Seperti
orang yang menggunakan nikah untuk tujuan menghalalkan perempuan yang ditalak tiga oleh
orang yang mentalaknya, dan seperti orang yang menggunakan jual-beli untuk mencapai riba
yaitu menjual barang seharga seribu secara angsuran, lalu membelinya dari pembelinya itu
seharga sembilan ratus secara tunai. Kerusakannya di sini jelas lebih kuat.

18
Ibnu Mandhur, Op. Cit., 3/207 dan 8/93.
19
Zaydan, Al-Wajiz, hal. 245.
Perbuatan kedua dan ketiga itu diperselisihkan oleh para ulama, apakah dilarang karena
menyebabkan kepada kerusakan atau tidak?
Para ulama madzhab Maliki dan Hambali berpendapat: Dilarang. Alasannya, Sadd adz-
dzarai’ itu adalah salah satu dalil syar’i yang berdiri sendiri dan salah satu dalil hukum yang
dibangun di atasnya hukum-hukum. Oleh karena itu, selama suatu perbuatan itu menyebabkan
kerusakan yang rajih (kuat/pasti) –sedang syariat Islam itu datang untuk melarang kerusakan dan
menutup jalan-jalan yang menuju kepadanya—maka perbuatan tersebut harus dilarang.
Sementara para ulama selain mereka, seperti ulama madzhab Syafi’i dan Dhohiri
berpendapat: Tidak dilarang. Alasannya, perbuatan-perbuatan tersebut halal, sehingga tidak
dilarang hanya karena kemungkinan menyebabkan kerusakan. Kemungkinan itu bisa terjadi, bisa
juga tidak terjadi.
Para ulama madzhab Maliki dan Hambali melihat kepada maksud perbuatan dan
akibatnya sehingga mereka melarang, sementara ulama madzhab Syafi’i dan Dhohiri melihat
kepada kehalalan perbuatan tersebut tanpa melihat kepada akibat dan hasilnya sehingga mereka
berpendapat tidak dilarang.
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang melarang. Hal ini karena alasan
madzhab Syafi’i dan Dhohiri itu lemah, karena yang diperselisihkan di sini bukan kerusakan
yang mungkin terjadi. Ini memang tidak dilarang, seperti dalam contoh melihat tunangan,
menanam anggur, dan menerima kabar dari perawi tunggal. Akan tetapi kerusakan yang pasti
atau hampir pasti terjadi itulah yang dimaksudkan di sini. Ini harus dilarang, karena tidak
mungkin Pembuat hukum (Allah) mengharamkan sesuatu lalu membolehkan sebab-sebab dan
semua jalan yang menuju kepadanya. Oleh karena, sesuatu itu hukumnya mubah atau halal,
harus dengan syarat ia tidak menyebabkan kerusakan yang rajih (kuat/pasti). Jika ia
menyebabkan kerusakan karena keadaan tertentu maka ia wajib dilarang dan menjadi terlarang.
Contohnya, jual beli itu halal, tetapi pada waktu adzan shalat Jum’at ia dilarang. Mencaci tuhan
orang-orang musyrik itu boleh, tapi dilarang jika menyebabkan mereka mencaci Allah.
Memotong tangan pencuri itu wajib, namun harus ditangguhkan pada waktu perang dan jihad.
Memberi hadiah itu halal dan mustahab, akan tetapi orang yang berhutang memberi hadiah
kepada orang yang menghutanginya itu dilarang jika sebelumnya tidak ada kebiasaan saling
memberi hadiah supaya tidak menyebabkan riba. Nahi munkar atau melarang yang mungkar itu
wajib, namun jika menyebabkan kemungkaran yang lebih dahsyat maka boleh ditinggalkan.
Pembuat hukum juga melarang seseorang meminang atas pinangan orang lain, menawar atas
tawaran orang lain, menjual atas penjualan orang lain, supaya keduanya tidak saling marah dan
bermusuhan. Pembuat hukum juga melarang penimbunan barang supaya tidak menyusahkan
orang, dan melarang orang yang berzakat membeli zakatnya sendiri meskipun dijual di pasar
supaya menutup jalan mengembalikan zakat tersebut dari orang miskin dengan harga murah.
Semua ini merupakan bukti kuat yang menjadikan sadd adz-dzarai’ sebagai salah satu
dalil hukum yang diakui. Tambahan pula, sadd adz-dzarai’ ini sebenarnya melengkapi,
menegaskan dan menguatkan maslahah mursalah karena ia melarang sebab-sebab dan jalan-jalan
yang menyebabkan kepada kerusakan. Bahkan sebagian bentuk sadd adz-dzarai’ itu adalah
bentuk maslahat mursalah. Contohnya, negara Islam boleh membayar sejumlah harta kepada
negara musuh untuk menghindarkan kejahatannya jika negara Islam masih lemah. Boleh
memberi suap atau sogokan jika hanya itu saja jalan untuk menghilangkan kezaliman atau
maksiat yang bahayanya lebih dahsyat daripada menyuap atau menyogok. Boleh membayar
sejumlah harta untuk menebus tawanan Muslim untuk mendapat maslahat yang besar atau
menghindari bahaya yang lebih besar.20

F. QAUL SOHABI
Arti qaul ialah perkataan atau pendapat. Sementara maksud sohabi ialah sahabat Nabi
SAW., yaitu menurut ulama ushul fiqih ialah orang yang menyaksikan Nabi SAW., beriman
kepada beliau dan menyertai beliau walaupun sedikit waktu yang cukup untuk dikatakan sebagai
sahabat secara adat kebiasaan. 21 Contoh sahabat Nabi SAW. ialah seperti Khulafa Rasyidin,
Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud dan lainnya yang beriman kepada beliau, menolong
beliau, mendengar dari beliau dan mengikuti petunjuk beliau hingga mereka wafat.
Setelah kewafatan Rasulullah SAW., para sahabat mulia yang terkenal dengan ilmu dan
fiqih (pemahamannya yang mendalam), mengeluarkan fatwa-fatwa dan keputusan-keputusan
hukum untuk masyarakat Islam pada waktu itu, sehingga fatwa dan keputusan mereka itu sampai
kepada kita. Pertanyaannya ialah, apakah fatwa-fatwa dan keputusan-keputusan hukum tersebut
bisa dijadikan sebagai salah satu sumber fiqih yang mengikat mujtahid sehingga ia tidak

20
Lihat Zaydan, Al-Wajiz, hal. 245-251.
21
Ibid, hal. 260.
melampauinya jika dalam suatu permasalahan ia tidak mendapatkan hukumnya di dalam al-
Quran, as-sunnah dan ijma’?
Hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Akan tetapi hal yang diperselisihkan bukan
pendapat sahabat secara mutlak, namun berikut rinciannya:
Pertama: Pendapat sahabat dalam masalah yang tidak mungkin diketahui dengan
pendapat dan ijtihad manusia adalah hujjah menurut para ulama. Hal ini karena ditafsirkan
didengar dari Nabi SAW. sehingga termasuk ke dalam as-sunnah, dan as-sunnah itu adalah
sumber hukum. Para ulama madzhab Hanafi memberi contoh dengan apa yang diriwayatkan dari
Abdullah bin Mas’ud bahwa ia berkata: “Masa haid paling sedikit adalah tiga hari”. Dan seperti
kata sebagian sahabat bahwa mahar itu paling sedikit adalah sepuluh dirham.
Kedua: Pendapat sahabat yang disepakati sebagai hujjah (dalil) syar’i karena berupa
ijma’. Demikian pula pendapat sahabat yang tidak ada yang menyalahkan atau
mempersoalkannya sehingga menjadi ijma’ sukuti.
Ketiga: Pendapat sahabat itu tidak dianggap hujjah yang mengikat sahabat lainnya.
Keempat: Pendapat sahabat yang muncul dari pemikiran dan ijtihad. Inilah yang
diperselisihkan para ulama, apakah menjadi hujjah bagi orang-orang yang datang setelah mereka
atau tidak?
Sebagian ulama mengatakan bahwa ia adalah hujjah syar’i. Seorang mujtahid harus
mengambil qaul sohabi sebagai dalil jika suatu hukum tidak ada di dalam al-Kitab, as-sunnah
dan ijma’. Dan jika qaul sohabi berbeda-beda hendaknya ia memilih.
Argumentasi mereka, kemungkinan benar dari ijtihad sahabat Nabi SAW. itu besar sekali
dan kemungkinan salah adalah kecil sekali. Hal ini karena sahabat itu menyaksikan turunnya
wahyu, mengetahui hikmah penetapan hukum dan asbab nuzul, menyertai Nabi SAW. dalam
waktu lama sehingga membuat mereka banyak mengetahui syariat dan memahami maknanya.
Semua ini membuat pendapat mereka itu menduduki derajat tinggi dibanding dengan pendapat
selain mereka, dan membuat ijtihad mereka itu lebih dekat kepada kebenaran dibanding dengan
ijtihad selain mereka.
Dan sebagian ulama lain mengatakan bahwa qaul sohabi bukan hujjah syar’i. Mujtahid
tidak harus mengambil qaul sohabi, akan tetapi ia harus mengambil apa yang dituntut oleh dalil
syar’i.
Alasan mereka, kita diwajibkan untuk mengikuti al-Kitab dan as-sunnah dan petunjuk
nash-nash keduanya. Sementara qaul sohabi bukan termasuk salah satu darinya. Tambahan pula
ijtihad dengan pemikiran itu bisa salah bisa benar, tidak beda dalam hal ini antara seorang
sahabat dengan selainnya, meskipun kemungkinan salah dari seorang sahabat lebih kecil.
Yang kita tarjihkan (kuatkan) dalam hal ini ialah qaul sohabi itu bukan hujjah yang
mengikat, akan tetapi kita lebih cenderung untuk mengambilnya selama tidak ada nash di dalam
al-Kitab, as-sunnah dan ijma’, dan di dalam suatu masalah itu dalil lainnya yang diakui. Dalam
keadaan seperti ini mengambil qaul sohabi lebih utama. 22

CONTOH-CONTOH QAUL SOHABI:


Yaitu seperti kata Ibn Abbas: “Orang-orang (yang naik haji) diperintahkan agar urusan
mereka yang terakhir itu di Masjidil Haram, hanya saja bagi wanita yang haid diringankan”. Dan
seperti kata Ummu ‘Athiyyah: “Kami dilarang mengikuti jenazah, tetapi baginda tidak
memaksa”.23

G. 'URF
‘Urf menurut terminologi ialah perkataan atau perbuatan yang menjadi kebiasaan
masyarakat dan dijalaninya dalam kehidupannya.24 ‘Urf dan adat-istiadat itu menurut para
fuqaha mempunyai arti sama.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa ‘urf itu bisa berupa ‘amal (perbuatan) atau
qaul (perkataan), bisa umum atau khusus, dan semuanya itu bisa jadi sahih (benar) atau fasid
(rusak).
Contoh ‘urf ’amali (kebiasaan berupa perbuatan): Jual beli secara ta’athi (serah terima),
pembagian mahar menjadi tunai dan hutang, masuk toilet umum tanpa menetukan lamanya di
sana dan berapa liter air yang digunakan, memesan perabot rumah tangga, dan menyuguhkan
makan kepada tamu sebagai tanda membolehkannya untuk memakannya dan seterusnya.
Contoh ‘urf qauli (kebiasaan berupa perkataan): Kebiasaan orang Arab menggunakan
kata “al-walad” dengan arti anak laki-laki saja, padahal sebenarnya artinya adalah anak laki-laki

22
Ibid, hal. 260-262.
23
Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Salih bin Muhammad, Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul, (Tanpa tempat terbit:
Dar Ibn al-Jauzi, 1426H), hal. 61.
24
Zaydan, Al-Wajiz, hal. 252.
dan anak perempuan. Kebiasaan mereka menggunakan kata “al-lahm” untuk semua daging selain
daging ikan. Kebiasaan mereka menggunakan kata “ad-Daabbah” untuk binatang berkaki empat,
padahal arti sebenarnya adalah semua binatang yang melata di atas bumi.
Yang dimaksud dengan ‘urf sahih ialah kebiasaan yang tidak menyalahi nash-nash syariat
(al-Quran dan hadits), dan tidak melewatkan maslahat yang diakui, serta tidak mendatangkan
kerusakan yang hampir pasti. Contohnya, kebiasaan orang-orang yang menganggap pemberian
laki-laki yang melamar kepada perempuan yang dilamarnya sebagai hadiah, bukan sebagai
mahar. Dan seperti kebiasaan mereka mengundang dan menjamu para tamu dalam akad nikah,
dan kebiasaan mereka memberi makan siang kepada para pekerja bangunan. Dan juga seperti
kebiasaan orang-orang bahwa orang yang menerima titipan boleh menyerahkan titipan tersebut
kepada orang yang biasa boleh menerima kembali titipan seperti istri penitip, anak-anak dan
pembantunya. Dan seperti mewakafkan barang yang bisa dipindah.
Dan yang dimaksud ‘urf fasid ialah kebiasaan yang menyalahi nash syariat, atau
mendatangkan bahaya, atau menolak maslahat. Contohnya seperti kebiasaan orang-orang
menggunakan akad-akad yang batal seperti pinjam-meminjam dengan riba, baik dari bank atau
individu. Dan seperti kebiasaan mereka berjudi dengan cara kupon, pertandingan kuda, kartu,
catur dan lainnya.

KEHUJJAHAN ‘URF:
Para ulama menganggap ‘urf sebagai salah satu kaidah penyimpulan yang dibangun di
atasnya hukum-hukum. Di antara kata-kata mereka yang menunjukkan kehujjahan ‘urf ialah: “al-
adatu muhakkamah” (Adat istiadat itu bisa dijadikan sebagai sumber hukum) dan “al-ma’ruf
‘urfan ka al-masyruth syarthon” (Yang diketahui secara adat kebiasaan itu seperti yang
disyaratkan dengan syarat).
“Urf itu diakui oleh syariat dan sah menjadi landasan hukum, akan tetapi ia bukan dalil
yang independen. Ia merujuk kepada dalil-dali syariat lain yang diakui. Buktinya adalah seperti
berikut:
Pertama: Pembuat syariat (Allah Ta’ala) memperhatikan adat kebiasaan orang Arab yang
baik. Contohnya, pengakuanNya terhadap macam-macam cara perniagaan dan perkongsian yang
baik bagi mereka seperti mudhorobah, jual-beli, dan sewa-menyewa yang bebas dari kerusakan.
Demikian pula, Pembuat syariat mengecualikan as-salam (pemesanan), karena sudah menjadi
kebiasaan penduduk Madinah, dari keumuman larangan jual beli seseorang terhadap sesuatu
yang tidak ada padanya. Dan Pembuat syariat melarang jual-beli kurma dengan kurma, namun
membenarkan al-‘araya, yaitu menjual kurma yang ada di tangkai pohon kurma dengan kurma
yang semisalnya denga cara perkiraan perhitungan karena sudah menjadi kebiasaan dan karena
kebutuhan mereka kepadanya. Ini semua membuktikan bahwa Pembuat syariat memelihara adat
kebiasaan yang baik. Sedang adat yang rusak atau buruk pasti akan dibatalkan oleh Pembuat
syariat seperti dalam masalah anak angkat dan tidak memberi warisan kepada anak perempuan.
Kedua: Pada hakikatnya, ‘urf atau kebiasaan itu merujuk kepada salah satu dalil syar’i
yang diakui seperti ijma’, maslahat mursalah dan sadd adz-dzarai’. Contoh adat yang merujuk
kepada ijma’: pemesanan dan masuk toilet umum. Kedua hal tersebut sudah menjadi kebiasaan
orang tanpa ada yang mengingkari sehingga menjadi ijma’ dan ijma’ itu diakui.
Ketiga: Para fuqaha di setiap zaman mengambil ‘urf sebagai dalil dan mereka
mengakuinya di dalam ijtihad mereka. Ini membuktikan kebenaran ‘urf sebagai dalil, karena
penggunaan mereka terhadap ‘urf membuatnya seperti ijma’ sukuti.

SYARAT-SYARAT ‘URF:
Ada empat syarat yang harus dipenuhi agar ‘urf atau adat istiadat dapat dipakai untuk
membentuk hukum di atasnya:
Pertama: Hendaknya ‘urf tidak menyalahi nash, dengan demikian hendaknya ia adalah
‘urf yang sahih.
Kedua: Hendaknya ‘urf itu umum atau mayoritas. Maksud umum ialah tersebar dan
diketahui di kalangan ahlinya, dan maksud mayoritas ialah ia tidak mungkin tidak berlaku
melainkan sedikit.
Ketiga: Hendaknya ‘urf yang suatu tindakan diberlakukan atasnya itu sudah ada pada
waktu pembuatannya. Dengan demikian terjadinya ‘urf atau kebiasaan itu lebih dulu daripada
waktu tindakan. Contoh, jika ada orang mewakafkan hasil tanahnya kepada para ulama dan para
penuntut ilmu, sementara menurut adat kebiasaan waktu itu yang dimaksud dengan para ulama
adalah para alim ulama dalam bidang agama dan demikian pula dengan para penuntut ilmu yaitu
para penuntut ilmu agama. Oleh karena, itu hasil wakaf itu diberikan kepada mereka saja, bukan
kepada yang lain, meskipun ada kebiasaan baru bahwa yang dimaksud dengan ulama dan
penuntut ilmu itu adalah mereka dan selain mereka dalam bidang-bidang lain.
Keempat: Hendaknya tidak ada perkataan atau perbuatan yang mengandung arti
kebalikan isinya. Contohnya, umpamanya menurut adat kebiasaan di pasar harga bisa dibayar
secara angsuran, namun penjual dan pembeli sepakat melakukannya secara tunai. Contoh lain,
misalnya biaya eksport dikenakan kepada pembeli, namun pembeli dan penjual sepakat bahwa
biaya tersebut ditanggung oleh penjual. Contohnya, biaya balik nama properti menurut adat
kebiasaan dikenakan kepada pembeli, namun penjual dan pembeli sepakat bahwa biaya tersebut
ditanggung penjual.
Perlu ditambahkan bahwa apa yang diwajibkan oleh Pembuat hukum namun belum
ditentukan kadarnya, maka penentuan kadarnya itu terletak pada ‘urf. Contohnya, Pembuat
hukum memerintahkan laki-laki untuk memberi nafkah kepada keluarganya, namun karena tidak
ada ketentuan mengenai jumlahnya, maka hal itu dikembalikan kepada ‘urf atau adat istiadat
setempat.
Demikian pula perlu ditegaskan bahwa hukum-hukum yang dibentuk atas dasar ‘urf dan
adat istiadat itu akan berubah jika adat-istiadat tersebut juga berubah. Dahulu mengajar al-Quran
itu tidak dibayar, tetapi hari ini wajib dibayar karena adat kebiasaan sudah berubah, jika tidak
dibayar maka tidak akan ada yang mengajar al-Quran.

H. SYAR'U MAN QABLANA


Maksud syar’u man qablana ialah hukum-hukum yang disyariatkan Allah Ta’ala
untuk umat-umat sebelum kita dan hukum-hukum tersebut diturunkan kepada para nabi
dan rasul untuk disampaikan kepada mereka. 25

MACAM-MACAM SYAR’U MAN QABLANA DAN KEHUJJAHANNYA:


Syar’u man qablana mempunyai beberapa macam bentuk yang berkaitan dengan kita
yang kehujjahannya berbeda seperti berikut:
Pertama: Ada beberapa hukum di dalam al-Quran dan as-Sunnah yang terdapat dalil
dalam syariat kita bahwa hukum-hukum tersebut juga diwajibkan atas kita sebagaimana
diwajibkan atas umat-umat terdahulu. Macam ini tidak ada perbedaan pendapat bahwa ia adalah
syariat kita juga, dan sumber kesyariatan dan kehujjahannya ialah nash-nash syariat kita sendiri.
Contohnya adalah seperti kewajiban puasa. Allah berfirman:

25
Zaydan, Al-Wajiz, hal. 263.
َ‫ب َعلَى الَّذِينَ ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ َ ِ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُكت‬
ِّ ِ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم‬
َ ِ‫الص َيا ُم َك َما ُكت‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).
Kedua: Ada beberapa hukum yang diceritakan oleh Allah di dalam al-Quran atau
diterangkan oleh Rasulullah SAW. di dalam hadits yang terdapat dalil dari syariat kita bahwa ia
telah dinasakh (dicabut) atas kita. Contohnya antara lain adalah binatang yang berkuku dan
lemak sapi dan domba dalam firman Allah:

‫ط َع ُمهُ ِإال أَ ْن يَ ُكونَ َم ْيتَةً أَ ْو دَ ًما َم ْسفُو ًحا أ َ ْو لَ ْح َم‬ْ َ‫طا ِع ٍم ي‬


َ ‫ي ُم َح َّر ًما َعلَى‬ َّ َ‫ي ِإل‬ ِ ُ ‫قُ ْل ال أ َ ِجد ُ فِي َما أ‬
َ ‫وح‬
‫ور َر ِحي ٌم‬ ٌ ُ‫ط َّر َغي َْر بَاغٍ َوال َعا ٍد فَإِ َّن َربَّكَ َغف‬ ُ ‫ض‬ ِ َّ ‫س أَ ْو فِ ْسقًا أ ُ ِه َّل ِلغَي ِْر‬
ْ ‫َّللا ِب ِه فَ َم ِن ا‬ ٌ ‫ير فَإِنَّهُ ِر ْج‬
ٍ ‫ِخ ْن ِز‬
ُ ‫ظفُ ٍر َو ِمنَ ْالبَقَ ِر َو ْالغَن َِم َح َّر ْمنَا َعلَ ْي ِه ْم‬
‫ش ُحو َم ُه َما ِإال َما‬ ُ ‫) َو َعلَى الَّذِينَ هَادُوا َح َّر ْمنَا ُك َّل ذِي‬١٤٥(
َ‫صا ِدقُون‬ ْ َ‫ط بِع‬
َ َ‫ظ ٍم ذَلِكَ َجزَ ْينَاهُ ْم بِبَ ْغيِ ِه ْم َوإِنَّا ل‬ ْ ‫ورهُ َما أَ ِو ْال َح َوايَا أَ ْو َما‬
َ َ‫اختَل‬ ُ ‫ت‬
ُ ‫ظ ُه‬ ْ َ‫َح َمل‬
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi --karena sesungguhnya semua itu kotor-- atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang". “Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala
binatang yang berkuku. Dan dari sapi dan domba Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua
binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus
atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan
mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha benar.” (QS. Al-An’am: 145-146).
Dan seperti harta rampasan perang sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi SAW.:
“dan dihalalkan bagiku harta rampasan perang, padahal tidak halal bagi satu orang pun
sebelumku”. (HR. Muslim). 26
Ayat di atas menunjukkan pengharaman beberapa hal bagi orang-orang Yahudi yang
ternyata dihalalkan untuk kita. Sementara hadits di atas menunjukkan penghalalan harta
rampasan perang bagi kaum Muslimin yang ternyata tidak halal bagi umat-umat terdahulu.

26
Muslim, Op.Cit., 1/370.
Ketiga: Hukum-hukum yang tidak disebutkan di dalam al-Quran dan di dalam as-sunnah.
Macam ini jelas tidak menjadi syariat kita tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Keempat: Hukum-hukum yang terdapat dalam nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, tapi
tidak ada dalil dari susunan nash-nash tersebut akan tetapnya hukum atau tidak tetapnya hukum
tersebut untuk kita. Contohnya seperti firman Allah berikut:

‫ف َواألذُنَ ِباألذُ ِن َوال ِس َِّّن ِبال ِس ِِِّّن‬ َ ‫س ِبالنَّ ْف ِس َو ْال َعيْنَ ِب ْال َعي ِْن َواأل ْن‬
ِ ‫ف ِباأل ْن‬ َ ‫َو َكتَ ْبنَا َعلَ ْي ِه ْم فِي َها أَ َّن النَّ ْف‬
‫اص‬
ٌ ‫ص‬ َ ِ‫َو ْال ُج ُرو َح ق‬
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,
dan luka-luka (pun) ada qisasnya.” (QS. Al-Maidah: 45).
Macam inilah yang terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama dan
diperselisihkan pula kehujjahannya bagi kita.
Menurut ulama madzhab Hanafi, ia adalah hujjah dan dianggap sebagai bagian dari
syariat kita. Sementara ulama madzhab lain berpendapat bahwa ia bukan syariat kita. Masing-
masing mempunyai dalil untuk menguatkan madzhabnya.
Namun setelah diteliti ternyata perbedaan pendapat ini tidak penting karena tidak
menimbulkan perbedaan dalam pelaksanaan. Hal ini karena tidak ada hukum bagi umat
terdahulu yang diceritakan Allah atau diterangkan Rasulullah SAW. kepada kita melainkan di
dalam syariat kita itu ada dalil yang menasakh (mencabut)nya atau menetapkannya bagi kita,
baik dalil pencabutan atau penetapan itu ada dalam susunan nash kisah orang-orang dahulu itu
sendiri, atau ada di tempat lain dari nash-nash al-Quran dan as-sunnah.
Dalam misal di atas umpamanya, masalah qisas itu dikuatkan dengan dalil-dalil berikut:
Firman Allah:

‫اص فِي ْالقَتْلَى‬


ُ ‫ص‬َ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ْال ِق‬
َ ِ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُكت‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh;” (QS. Al-Baqarah: 178).
Firman Allah:

‫علَ ْي ُك ْم فَا ْعتَدُوا َعلَ ْي ِه ِب ِمثْ ِل َما ا ْعتَدَى َعلَ ْي ُك ْم‬


َ ‫فَ َم ِن ا ْعتَدَى‬
“oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan
serangannya terhadapmu”. (QS. Al-Baqarah: 194).
Hadits Nabi SAW.:
َ َّ‫ (( َو َم ْن قُ ِت َل لَهُ قَ ِتي ٌل فَ ْه َو بِ َخي ِْر الن‬: ‫هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫ظ َري ِْن ِإ َّما‬ ُ ‫َع ْن أَ ِبي ه َُري َْرةَ قَا َل َر‬
ِ ‫سو ُل‬
‫يُودَى َو ِإ َّما يُقَادُ)) رواه البخاري‬
Dari Abu Hurairah [diriwayatkan] Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa (keluarganya)
dibunuh, maka baginya salah satu dari dua pilihan yang baik: diberi diat atau mengqisas”. (HR.
Al-Bukhari). 27
Hadits Nabi SAW.:

، ‫يب بِدَ ٍم أ َ ْو َخ ْب ٍل‬ َ ‫ص‬ ِ ُ ‫ َم ْن أ‬: ‫سلَّ َم‬


َ ‫صلَّى هللا َعل ْي ِه و‬ َ ِ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ي ِ قَا َل‬ ِّ ‫ْح ْال ُخزَ ا ِع‬
ٍ ‫ش َري‬ ُ ‫َع ْن أَبِي‬
‫ أَ ْن يَ ْقت ُ َل‬: ‫ فَ ُخذُوا َعلَى يَدَ ْي ِه‬, َ‫لرابِعَة‬ َّ ‫ فَإِ ْن أ َ َرادَ ا‬، ‫ث‬
ٍ َ‫ار َبيْنَ إِ ْحدَى ثَال‬ ِ َ‫ فَ ُه َو بِ ْال ِخي‬، ‫ح‬ ُ ‫ ْال ِج َرا‬: ‫َو ْال َخ ْب ُل‬
))‫ار َج َهنَّ َم خَا ِلدًا ُمخَلَّدًا فِي َها أَبَدًا‬ َ ‫ فَ َم ْن فَعَ َل‬، َ‫ أَ ْو يَأْ ُخذَ ال ِدِّيَة‬، ‫ أَ ْو يَ ْعفُ َو‬،
َ َ‫ فَإِ َّن لَهُ ن‬، َ‫ش ْيئًا ِم ْن ذَ ِلكَ فَعَاد‬
‫رواه ابن ماجة‬
Dari Abu Syuraih al-Khuza’i [diriwayatkan] berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa
dikeluarkan darahnya atau dilukai maka baginya pilihan salah satu dari tiga hal --jika ia ingin
yang keempat maka tahanlah kedua tangannya--: Mengqisas atau memaafkan atau mengambil
diat. Barangsiapa melakukan hal itu lalu mengulanginya lagi maka baginya neraka Jahannam, ia
kekal selama-lamanya di dalamnya”. (HR. Ibnu Majah). 28
Dengan demikian, jelaslah bahwa qisas yang disyariatkan untuk umat-umat sebelum kita
itu tetap hukumnya bagi kita dengan bukti dalil-dalil yang ada di dalam syariat kita. 29

I. ISTISHAB
Secara etimologis, istishab berarti minta pertemanan atau kesinambungan dalam hal
berkawan.30
Dan menurut istilah para ulama ushul fiqih, istishab ialah: "Tetapnya sesuatu itu pada
hukum asalnya selama belum ada yang mengubahnya".31 Dengan kata lain, istishab ialah
hukum tetapnya sesuatu sebagaimana asalnya dahulu sehingga ada dalil yang membuktikan

27
Al-Bukhari, Op. Cit., 6/2522.
28
Ibnu Majah, Op. Cit., 2/876.
29
Lihat Zaydan, Al-Wajiz, hal. 263-266.
30
Ibnu Mandhur, Op. Cit., 1/519.
31
Asy-Syaukani, Op. Cit., 2/174.
perubahannya. Lebih jelasnya, istishab ialah tetapnya hukum sesuatu yang telah tetap dahulu
sehingga ada dalil yang menghukuminya berubah.
Contohnya, jika Fulan itu terbukti suami Fulanah, maka hal itu dihukumi dengan tetapnya
hubungan suami istri di antara keduanya sehingga ada bukti yang menunjukkan hilangnya
hubungan tersebut. Contoh lain, jika kepemilikan seseorang atas suatu barang terbukti, maka
kepemilikan ini terus ada padanya sehingga ada bukti yang menunjukkan pindahnya kepemilikan
tersebut kepada orang lain. Dan jika seseorang itu terbukti berhutang kepada orang lain, maka
tanggungan hutang itu terus ada sehingga terbukti hilangnya tanggungan tersebut dengan
pelunasan atau pengguguran.
Dari definisi dan contoh di atas ada dua hal yang dapat diperhatikan dari istishab: 32
Pertama: Pada hakikatnya, istishab itu tidak menetapkan hukum baru, akan tetapi
meneruskan hukum yang telah ada berdasarkan dalilnya. Jadi dengan demikian, istishab itu
bukan dalil fiqh dan sumber hukum yang diambil darinya hukum, akan tetapi ia hanya sekedar
qarinah (tanda) atas tetapnya hukum terdahulu yang ditetapkan oleh dalilnya.
Kedua: Istishab itu tidak dipakai melainkan pada waktu tidak ada dalil khusus mengenai
hukum suatu permasalahan. Seorang ahli fiqh itu berusaha mencari dalil hukum suatu
permasalahan di dalam al-Qur'an, hadits dan sumber hukum lainnya, lalu jika ia tidak
mendapatkannya maka ia menggunakan istishab sebagai langkah terakhir.
Berdasarkan istishab, ada beberapa kaidah syar'i yang dibuat oleh para ulama yaitu
seperti berikut:33
1. Al-Ashlu Baqaau Maa Kaana 'Ala Maa Kaana (Hukum asal sesuatu itu ialah tetapnya
sesuatu itu pada hukum asalnya). Dengan demikian barangsiapa terbukti hidup maka
ia tidak dihukumi sebagai orang yang mati sehingga terbukti kematiannya dengan
bukti. Berdasarkan kaidah ini, hukum al-mafqud (orang hilang) di dalam fiqh
dibangun.
2. Al-Ashlu fi al-Asyyaai al-Ibahah (Hukum asal segala sesuatu itu adalah
dibenarkan/halal). Berdasarkan hal ini, setiap akad atau tindakan atau binatang atau
tumbuh-tumbuhan atau makanan yang tidak diketahui hukumnya di dalam al-Quran,

32
Lihat Zaydan, Al-Wajiz, hal. 269-270.
33
Lihat Zaydan, Al-Madkhal, hal. 178-179.
hadits dan sumber hukum lainnya, dihukumi boleh dan halal secara istishab yakni
kembali kepada hukum asal segala sesuatu yaitu halal.
3. Al-Yaqinu Laa Yuzaalu bi al-Syakk (Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan
keraguan). Sesuatu yang terbukti ada secara yakin tidak dihukumi hilang hanya
karena keraguan. Contohnya, barangsiapa yakin sudah berwudhuk kemudian ia ragu-
ragu batalnya wudhuk tersebut maka ia dihukumi tetap masih wudhuk. Wudhuk
tersebut baru dihukumi batal jika ia yakin telah batal dengan mendengar bunyi atau
mencium bau kentut umpamanya.
4. Al-Ashlu Barooat al-Dzimmah (Hukum asal sesuatu itu bebas tanggungan). Artinya,
manusia itu tidak mempunyai tanggungan apa-apa sampai terbukti ia mempunyai
tanggungan. Dengan demikian barangsiapa menuduh orang lain berhutang kepadanya
maka ia harus membuktikan.

Anda mungkin juga menyukai