Anda di halaman 1dari 2

Aturan Remisi Terhadap Terpidana Korupsi

Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak yang
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (Permenkumham No 7
tahun 2022). Pasal 10 huruf a Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2022 tentang
Pemasyarakatan menyatakan salah satu hak narapidana adalah mendapatkan remisi, maka hal
tersebut sudah sepatutnya diberikan kepada narapidana tanpa diskriminasi. Adapun jenis-jenis remisi
sebagai berikut :

1. Remisi umum, yang diberikan pada hari peringatan kemerdekaan Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus; dan
2. Remisi khusus, yang diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh narapidana atau
anak, dengan ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari 1 hari besar keagamaan
dalam setahun, maka yang dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut
agama yang bersangkutan
3. Remisi kemanusiaan, diberikan atas dasar kepentingan kemanusiaan. Dengan memperhatikan
beberapa syarat yakni :
- yang dipidana dengan masa pidana paling lama 1 tahun;
- berusia di atas 70 tahun; atau
- menderita sakit berkepanjangan
4. Remisi tambahan, diberikan kepada narapidana dan anak apabila yang bersangkutan:
- berbuat jasa pada negara;
- melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau
- melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lapas/LPKA.

Terkait pemberian remisi kepada narapidana memamang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat,
terlebih lagi jika pemberian remisi dilakukan terhadap terpidana korupsi. Bagi masyarakat yang pro
terhadap pemberian remisi untuk terpidana korupsi beranggapan bahwa hal tersebut adalah salah satu
hak asasi manusia dimana setiap terpidana memiliki hak untuk mendapat bimbingan, perawatan,
pengamanan, dan pengamatan. Sebagaimana hal ini juga di dukung oleh Konvensi yang Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan
Martabat Manusia sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998
tentang Pengesahan Conuention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment
or Punistment. Akan tetapi, bagi masyarakat yang kontra terhadap kebijakan tersebut beranggapan
bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan HAM luar biasa yang seharusnya pemidanaan
maksimal semestinya diberikan kepada pelakunya yakni tanpa remisi. Karena mereka telah merugikan
keuangan negara yang berujung pada kerugian jutaan warga negara, sehingga mereka tidak boleh
diistimewakan. Pemidanaan tersebut harusnya tidak hanya menjadi pelajaran bagi si narapidana, tetapi
juga menjadi pelajaran bagi jutaan warga negara di luar tembok penjara.

Terlepas dari pro dan kontra tersebut, Indonesia mengatur terkait pemberian remisi kepada terpidana
korupsi. Lantas bagaimana pengaturannya?

Terdapat syarat dan tata cara yang harus dipenuhi untuk mendapatkan hak remisi bagi terpidana
korupsi. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018
Pasal 5 menjelaskan tentang syarat-syarat pemberian remisi bagi narapidana yang harus dipenuhi.
Adapun syarat-syarat tersebut sebagai berikut:

1. Remisi dapat diberikan oleh Menteri kepada Narapidana yang telah memenuhi syarat:
a. berkelakuan baik; dan
b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan. (2)
2. Syarat berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuktikan dengan:
a. tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir,
terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan
b. telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh Lapas dengan
predikat baik.

Selain hal tersebut diatas, Permenkumham Nomor 7 tahun 2022 Pasal 10 menjelaskan bahwa
Narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi untuk mendapatkan Remisi, selain harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juga harus telah membayar lunas denda dan uang
pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.

Perlu diketahui syarat-syarat diatas merupakan isi dari peraturan terbaru yakni Permenkumham Nomor
7 tahun 2022 yang di terbitkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sebagai
tindaklanjut dari putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 atau
yang lazim dikenal PP pengetatan remisi koruptor.

Lantas bagaimana syarat-syarat remisi bagi koruptor sebelum dilakukannya pembatalan terhadap PP
Nomor 99 Tahun 2012?

Pemberian remisi bagi koruptor pada dasarnya sama, akan tetapi terdapat syarat yang dihapus yakni
bagi terpidana korupsi yang menginginkan untuk mendapat remisi maka harus bersedia bekerjasama
dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya,
Kesediaan untuk bekerjasama harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak
hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hal tersebut tentu sangat disayangkan, karena yang seharusnya tindak pidana korupsi yang
merupakan tergolong kasus kejahatan luar biasa akan tetapi dalam syarat pemberian remisinya di
permudah dan malah terkesan dan di perlalukan sebagai kejahatan biasa, bagaimana tidak kita tahu
bersama-sama kasus kontroverisal yang merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah yakni
kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang Djoko Tjandra yang menyeret mantan jaksa Pinangki.
Kini, Pinangki dapat menghirup udara bebas karena dianggap telah memenuhi syarat administratif dari
masa pidana untuk mengajukan bebas bersyarat.

Bagaimana pendapat rekan-rekan sekalian terkait aturan Pemberian remisi terhadap Terpidana
Koprupsi? Silahkan tulis di kolom komentar dan dan share artikel ini.

Jangan lupa Follow akun media sosial APP Lawfrim, untuk terus dapat notifikasi artikel & video
monolog terbaru.
Sekian dan Terimakasih
Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai