Anda di halaman 1dari 9

4.

IJTIHAD
Dari segi etimologi, ijtihad berasal dari kata al-jahdu yang berarti kemampuan atau al-
juhdu yang berarti kesukaran.1 Dua arti ini sesuai dengan realita ijtihad, karena memang ijtihad
itu sukar dan perlu kemampuan untuk melakukannya.
Dan dari segi terminologi, ijtihad didefinisikan seperti berikut:2

‫بذل المجتهد وساعه في نيل حكمم شرعي عملي بطريق الساتنباط‬


“Pengerahan mujtahid segenap kemampuannya untuk mendapatkan hukum syar’i yang
praktis dengan cara menyimpulkan (hukum dari sumber hukum).”
Orang yang mengerahkan segenap kemampuan di sini haruslah seorang mujtahid atau
ahli ijtihad. Dengan demikian orang yang tidak ahli ijtihad kalau ia mengerahkan segenap
kemampuannya maka usahanya itu dianggap sia-sia karena ijtihad itu harus dilakukan oleh
ahlinya saja. Mujtahid mengerahkan segenap kemampuan dan ilmu yang ada padanya untuk
memperolehi hukum syar’i yang amali atau praktis seperti hukum shalat, zakat, puasa, haji,
menikah, jual beli, sewa menyewa, dan lainnya. Jadi tujuan ijtihad adalah untuk mengethaui
hukum syar’i yang praktis, bukan hukum-hukum lainnya seperti hukum akal, hukum aqidah,
hukum akhlaq, hukum bahasa dan lainnya. Cara mengetahui hukum syar’i yang amali tersebut
disyaratkan dengan cara menyimpulkannya dari sumber hukum. Maksudnya dengan cara
meneliti dan mengkaji hukum syar’i tersebut dari sumber-sumber hukum Islam seperti al-Quran,
hadits, ijma’ qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan lainnya. Dengan demikian, cara-cara lain
seperti menghafal masalah-masalah hukum, atau menanyakannya kepada seorang mufti (ahli
fatwa), atau mengetahuinya dari kitab-kitab fiqih, itu semua tidak termasuk ijtihad.

HUKUM IJTIHAD
Hukum ijtihad ialah fardhu kifayah. Artinya harus ada sejumlah orang yang cukup untuk
melakukan ijtihad dalam berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat sehingga mereka
mengetahui hukum syar’inya dan menjalankan aktivitas mereka sesuai dengan hukum syar’i
tersebut. Jika sejumlah orang yang mampu berijtihad tersebut ada maka semua orang terlepas
dari tanggung jawab dan dosa, tapi jika jumlahnya kurang atau tidak ada sama sekali maka
semua orang ikut memikul dosa dan harus berusaha untuk memenuhi tuntutan agama ini.

1 Ibnu Mandhur, Op. Cit., 3/133.


2 Lihat Asy-Saukani, Irsyad al-Fuhul, 2/205.
Dalilnya adalah firman Allah berikut:

‫جهظوُّ اولرذيِ أظخخظرظج اولرذيظن ظكظفجروا رمخن أظخهرل اخلركظتارب رمخن ردظيارررهخم لوورل اخلظحخشرر ظما ظظظنخنجتخم أظخن ظيخخجرججوُّا ظوظظننوُّا‬
‫صوُّجنجهخم رمظن اولر ظفظأظتاجهجم اولج رمخن ظحخيجث ظلخم ظيخحظترسجبوُّا ظوظقظذظف رفي جقجلوُّربرهجم النرخعظب جيخخررجبببوُّظن‬
‫أظونجهخم ظمارنظعجتجهخم جح ج‬
‫جبجيوُّظتجهخم ربظأخيرديرهخم ظوأظخيرديِ اخلجمخؤرمرنيظن ظفاخعظتربجروا ظيا جأورلي الخب ظ‬
(٢) ‫صارر‬
“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar
dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari
(siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka
sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan
rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang Mukmin. Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
(QS. Al-Hasyr: 2).
Di dalam ayat ini Allah memerintahkan umat Islam untuk mengambil pelajaran atas
peristiwa yang terjadi pada orang-orang Yahudi Bani Nadhir. Oleh karena mereka kufur dan
membuat makar terhadap Rasulullah SAW. dan kaum Mukminin maka mereka diusir keluar dari
Madinah. Hal ini berarti bahwa apa yang terjadi pada mereka bisa juga terjadi pada orang lain,
dan apa yang terjadi pada sesuatu bisa juga terjadi pada yang semisalnya, karena sunnatullah
dalam kehidupan itu satu. Qiyas itu artinya tiada lain hanyalah seperti ini. Dengan demikian
qiyas itu merupkan hujjah atau dalil yang diakui oleh syara’. Dan qiyas adalah salah satu cara
ijtihad. Jadi dengan demikian ijtihad itu diperintahkan oleh Allah dan merupakan cara
mengetahui hukum syar’i yang amali.
Di dalam hadits, Rasulullah SAW. juga menyatakan hal yang sama, yaitu mengakui dan
memerintahkan umat Islam untuk melakukan ijtihad. Berikut ini hadis Muadz bin Jabal ra:

‫ وهوُّ أظون ظرجساوُّظل اولر صلى ال عليه وسالم ظلوما أظظراظد أظخن ظيخبظعببظث‬،‫حديث معاذ رضي ال عنه المشهوُّر‬
‫ ))ظفببرإخن‬:‫ ظقاظل‬.‫ل‬‫ضى ربركظتارب ا ور‬‫ أظخق ر‬:‫ ظقاظل‬.((ٌ‫ضاءء؟‬
‫ض ظلظك ظق ظ‬ ‫ ))ظكخيظف ظتخق ر‬:‫جمظعاذذا إرظلى اخلظيظمرن ظقاظل‬
‫ضى إرظذا ظعظر ظ‬
‫ ))ظفرإخن ظلخم ظترجبخد رفببى جسابونرة‬:‫ ظقاظل‬.‫ ظفربجسونرة ظرجساوُّرل اولر صلى ال عليه وسالم‬:‫ ظقاظل‬.((ٌ‫ل؟‬ ‫ظلخم ظترجخد رفى ركظتارب ا ور‬
‫ضببظرظب ظرجساببوُّجل‬ ‫ أظخجظترهجد ظرأخريى ظو ظ‬:‫ ظقاظل‬.((ٌ‫ل؟‬
‫ ظف ظ‬.ُّ‫ل آلجببو‬ ‫ل رفى ركظتارب ا ور‬
‫ظرجساوُّرل اولر صلى ال عليه وسالم ظو ظ‬
‫ ))اخلظحخمجد رولر اولرذىِ ظووفظق ظرجساوُّظل ظرجساوُّرل اولر رلظما جيخر ر‬:‫صخدظرجه ظوظقاظل‬
‫ضى ظرجساوُّظل‬ ‫ا ور‬
‫ل صلى ال عليه وسالم ظ‬
‫ا ور‬
.ِ‫ رواه أحمد وأبوُّ داود والترمذي‬.((‫ل‬
Hadits Mu’adz ra. yang masyhur, yaitu bahwa Rasulullah SAW. ketika akan mengutus Mu’adz
ke Yaman beliau bertanya: “Bagaimana kamu memutuskan hukum jika ada kasus dibawa
kepada?” Jawabnya: “Aku akan memutuskan dengan kitab Allah”. Beliau bersabda: “Jika tidak
kamu dapati di dalam kitab Allah?” Ia menjawab: “Maka dengan sunnah Rasulullah SAW.”
Beliau bersabda: “Jika tidak kamu dapati di dalam sunnah Rasulullah SAW. dan tidak pula di
dalam kitab Allah?” Ia menjawab: “Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak akan
malas”. Maka Rasulullah SAW. menepuk dadanya seraya bersabda: “Segala puji bagi Allah yang
telah memberi taufiq/bimbingan kepada utusan Rasulullah atas hal yang diridhai Rasulullah”
(HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).3
Berikut adalah hadits ‘Amru bin al-‘Ash:

‫ أظونجه ظسارمظع ظرجساوُّظل اولر ظ‬،‫ص‬


‫ ((إرظذا ظحظكظم اخلظحاركجم ظفاخجظتظهظد‬:‫صولى اولج ظعلظخيره ظوظسالوظم ظقاظل‬ ‫ظحرديرث ظعخمررو خبرن اخلظعا ر‬
‫ ظوإرظذا ظحظكظم ظفاخجظتظهظد جثوم أظخخظطظأ ظفلظجه أظخجءر)) رواه البخارىِ ومسلم‬،‫صاظب ظفلظجه أظخجظرارن‬ ‫جثوم أظ ظ‬
Hadits ‘Amr bin al-‘Ash, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Jika seorang
hakim membuat keputusan dan ia telah berijtihad, kemudian ternyata keputusannya itu benar,
maka baginya dua pahala. Dan jika ia membuat keputusan dan ia telah berijtihad, namun ternyata
keputusannya itu salah, maka baginya satu pahala” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).4

URGENSI IJTIHAD
Ijtihad itu bisa dikatakan sebagai usaha untuk menemukan hukum Islam mengenai
berbagai macam masalah yang dihadapi oleh umat Islam, seperti permasalahan dalam bidang
ekonomi, politik, sosial, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Semua aktivitas tersebut
berkembang setiap waktu, dan semua aktivitas tersebut perlu diketahui hukumnya masing-
masing agar umat Islam Islam selalu menjalankannya sesuai dengan ajaran Allah dan RasulNya.
Oleh karena itu, tampaklah di sini betapa pentingnya ijtihad tersebut. Tanpa ijtihad, hukum
semua aktivitas manusia –terutama yang baru dan tidak ada pada zaman dahulu—tidak dapat
diketahui. Jadi urgensi ijtihad itu dapat diringkas seperti berikut:

3 Ahmad, Op. Cit., 5/230, dan Abu Dawud, Op. Cit., 3/330, dan At-Tirmidzi, Op. Cit., 3/616.
4 Al-Bukhari, Op. Cit., 6/2676, dan Muslim, Op.Cit., 3/1342.
1. Teks agama terbatas sementara aktifitas manusia selalu berkembang. Tanpa ijtihad
aktivitas manusia tersebut tidak dapat diketahui hukumnya, padahal semua aktivitas
itu ada hukumnya dan hukumnya itu perlu diketahui dan ditaati oleh umat Islam agar
mereka selamat di dunia dan akhirat. Dengan demikian, ijtihad membuktikan
kedinamisan hukum Islam yang selalu mengikuti perkembangan zaman.
2. Ijtihad membuktikan bahwa hukum Islam sesuai untuk seluruh tempat dan waktu.
Pintu ijtihad tidak boleh tertutup. Tanpa ijtihad, Islam hanya sesuai untuk orang-orang
Arab di semenanjung Arab pada zaman dahulu.

MACAM-MACAM IJTIHAD
Ijtihad bisa dibagi menjadi beberapa kelompok, tergantung kepada sudut pandang. Dilihat
dari segi hukum yang dihasilkan, ijtihad dapat dibagi menjadi:5
1. Ijtihad Insyai: Yaitu ijtihad yang menghasilkan hukum baru, yang belum pernah
diutarakan maupun ditulis oleh para fuqaha terdahulu. Hal ini karena permasalahan-
permasalahan yang dibahas dan ditemukan hukumnya belum ada di zaman dahulu. Contohnya
sangat banyak antara lain seperti hukum-hukum bertransaksi melalui telepon atau internet atau
tele-conference, bayi tabung, donor darah, donor anggota tubuh, euthanasia, MLM, saham,
deposito, wakaf tunai dan lainnya.
2. Ijtihad Intiqai: Ijtihad dengan cara memilih dan menyaring pendapat paling rajih
(kuat) dalam berbagai permasalahan dari khazanah fiqih kita yang agung. Yaitu pendapat yang
paling bisa merealisasikan maqashid asy-syari’ah (tujuan syariat) dan maslahat umat, dan paling
sesuai dengan zaman kita ini. Pendapat-pendapat yang dipilih bisa yang berasal dari empat
madzhab fiqih yang besar yaitu madzhab-madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Seperti,
memilih dan mentarjih (menguatkan) pendapat madzhab Hanafi dalam mewajibkan zakat bagi
semua tanaman, mentarjih madzhab Syafi’i dalam memberi zakat kepada orang fakir miskin
yang mencukupinya selama hidupnya, dan mentarjih madzhab Maliki yang terus memberi zakat
kepada orang-orang muallaf. Dan bisa juga pilihan pendapat dari luar empat madzhab tersebut
jika ada argumen-argumen syar’i yang kuat, seperti mengambil dan memilih madzhab Umar bin
al-Khatthab ra. dalam mempersempit peluang umat Islam menikahi perempuan-perempuan Ahlul
Kitab jika dikhawatirkan kaum Muslimat tidak mendapatkan jodoh mereka atau jika
5 Al-Qaradhawi, Yusuf, Liqaat wa Muhawarat Haul Qadhaya al-Islam wa al-‘Ashr, (Cairo: Maktabah
Wahbah, cetakan pertama, 1992M), hal. 81-83.
dikhawatirkan keturunan mereka akan mengikuti agama ibu mereka atau jika dikhawatirkan
kurang hati-hati dalam memilih yang baik-baik di antara mereka. Atau mengambil pendapat
‘Athok dalam mewajibkan pemberian gono-gini bagi setiap perempuan yang diceraikan, atau
mengambil madzhab sebagian Salaf dalam masalah tidak terjadi talak yang diucapkan dalam
keadaan marah berat, atau madzhab sebagian mereka dalam menjatuhkan tiga talak dengan satu
lafaz atau satu majlis sebagai satu talak raj’i seperti pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-
Qayyim, demikian pula seperti tidak jatuhnya talak bid’i yaitu talak ketika sedang haid.
Dan dari segi pelaku ijtihad, ijtihad dapat dibagi menjadi:
1. Ijtihad al-Fardi: ijtihad individual, yaitu yang dilakukan oleh seorang mujtahid.
2. Ijtihad al-Jama’i: ijtihad kolektif, yaitu yang dilakukan oleh sekelompok mujtahid
atau sebuah lembaga ijtihad yang menghimpun para mujtahid dalam berbagai kompetensi ilmu
pengetahuan sehingga hasilnya diharapkan lebih komprehensif dan sempurna.

SYARAT-SYARAT IJTIHAD
Ijtihad tidak boleh dilakukan oleh sembarangan orang. Ijtihad hanya boleh dilakukan oleh
ahlinya saja. Seorang itu dapat dikatakan sebagai ahli dalam berijtihad jika memenuhi syarat-
syarat seperti berikut:6
1. Beragama Islam.
2. Berakal.
3. Baligh.
4. Adil, tidak fasiq.
5. Mendalami ilmu-ilmu al-Quran.
6. Mendalami ilmu-ilmu hadis.
7. Mengetahui ijma’.
8. Memahami qiyas.
9. Memahami bahasa Arab.
10. Mengetahui ilmu ushul fiqih.
11. Memahami maqasid syariah.
12. Mempunyai kesiapan diri menyimpulkan hukum, yaitu dengan cara latihan yang
berterusan.
6 Asy-Syahwad, Ali bin Nayif, Al-Khulashah Fi Ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid Faqath, (kitab ada di
dalam program al-Maktabah asy-Syamilah), 1/42-44.
13. Memahami permasalahan yang ditanyakan.
14. Memahami tabiat manusia.
Semua syarat di atas perlu dipenuhi oleh seorang mujtahid karena semua syarat tersebut
merupakan alat untuk berijtihad. Seorang mujtahid harus memahami bahasa Arab umpamanya,
karena ia akan berusaha untuk menyimpulkan hukum syar’i dari al-Quran dan hadits yang
tertulis dalam bahasa Arab. Bagaimana ia mampu melakukan hal itu jika ia tidak menguasai
bahasa yang digunakan oleh al-Quran dan hadits? Demikian pula syarat-syarat lainnya perlu
dikuasai oleh seorang mujtahid agar ijtihadnya itu menghasilkan hukum syar’i yang benar sesuai
al-Quran dan hadits.

MACAM-MACAM MUJTAHID
Mujtahid atau ahli ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori tergantung
kepada penguasaannya terhadap syarat-syarat ijtihad dan kemampuannya membuat kaidah
penyimpulan hukum. Berdasarkan hal itu maka mujtahid dapat dibagi seperti berikut:7
1. Mujtahid Mustaqill: Mujtahid yang memenuhi syarat-syarat ijtihad dan bisa
membuat kaidah penyimpulan hukum sendiri seperti imam 4 madzhab: Abu Hanifah,
Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal.
2. Mujtahid Mutlaq/Madzhab: Seperti Mujtahid Mustaqill, tapi belum bisa membuat
kaidah sendiri. Contohnya, murid-murid imam 4 madzhab, seperti Abu Yusuf,
Muhammad dan Zufar (dari madzhab Hanafi), Ibnu al-Qasim, Asyhub dan Asad bin
al-Furat (dari madzhab Maliki), al-Buwaithi dan al-Muzani (dari madzhab Syafi’i),
dan Abu Bakar al-Atsram dan Abu Bakar al-Marudzi (dari madzhab Hambali).
3. Mujtahid Muqayyad: Mujtahid dalam masalah-masalah yang belum ada nashnya di
dalam suatu madzhab. Contohnya, al-Khosshof dan at-Tohawi (dari madzhab Hanafi),
as-Syairazi dan al-Marudzi (dari madzhab Syafi’i), Abu Ya’la dan Abu Ali (dari
madzhab Hambali).
4. Mujtahid Tarjih: Mujtahid yang mampu mentarjih pendapat imamnya atas pendapat
yang lainnya. Contohnya, al-Quduri dan al-Mirghani (dari madzhab Hanafi), Khalil
(dari madzhab Maliki), ar-Rafi’i dan an-Nawawi (dari madzhab Syafi’i), Alauddin al-
Mardawi (dari madzhab Hambali).

7 Ibid, 1/25-26.
5. Mujtahid Fatwa: Mujtahid yang menghafal pendapat madzhabnya dan mampu
membedakan yang kuat dan lemah darinya, namun ia lemah dalam mengetengahkan
dalil-dalilnya. Contohnya, pengarang kitab al-Kanz dan pengarang kitab ad-Durr al-
Mukhtar (dari madzhab Hanafi) dan ar-Ramli dan Ibnu Hajar (dari madzhab Syafi’i).

SYARAT OBYEK IJTIHAD


Ketika akan melakukan ijtihad, mujtahid harus mempastikan terlebih dahulu obyek
ijtihad, yaitu permasalahan yang akan dilakukan ijtihad terhadapnya. Hal ini karena tidak semua
permasalahan boleh dilakukan ijtihad terhadapnya. Berikut ini syarat obyek ijtihad:8
1. Masalah yang diijtihad tidak mempunyai dalil yang qath’i dan ijma’, karena tidak
boleh ada ijtihad padahal sudah ada nash/dalil.
2. Masalah yang diijtihad jika mempunyai dalil maka ia harus dzonni. Contohnya, shalat
di Bani Quraidhah.
3. Masalah yang diijtihad bukan termasuk masalah aqidah yang pokok.
4. Masalah yang akan diijtihad adalah masalah yang benar-benar terjadi atau akan
terjadi pada umumnya dan memang diperlukan.

METODE IJTIHAD IMAM 4 MADZHAB


A. IMAM ABU HANIFAH (150H):
Metode atau cara imam Abu Hanifah berijtihad telah diterangkannya dengan kata-katanya
seperti berikut:9

- ‫ صلى ال عليه وسالم‬- ‫ فما لم أجده فيه أخذت بسنة رساوُّل ال‬،‫)) إني آخذ بكتاب ال إذا وجدته‬
‫ فإذا لم أجد في كتباب الب ول فبي سابنة رسابوُّل‬،‫والثار الصحاح عنه التي فشت في أيديِ الثقات‬
‫ ثببم ل أخببرج عببن‬،‫ وأدع مببن شببئت‬،‫ أخذت بقوُّل أصحابه من شببئت‬- ‫ صلى ال عليه وسالم‬- ‫ال‬
‫ فإذا انتهى المر إلى إبراهيم والشعبي والحسن وابن ساببيرين وساببعيد بببن‬،‫قوُّلهم إلى قوُّل غيرهم‬
.((‫المسيب فعليي أن أجتهد كما اجتهدوا‬
“Sungguh aku mengambil kitab Allah jika aku mendapati hukumnya. Hal yang tidak aku didapati
hukumnya di dalamnya maka aku mengambil sunnah Rasulullah SAW. dan riwayat-riwayat

8 Ibid, 1/48-58.
9 Al-Baghdadi, Op. Cit.,13/368.
sahih dari beliau yang tersebar di tangan para perawi tsiqah (terpercaya). Jika aku mendapati
hukumnya di dalam kitab Allah dan tidak pula di sunnah Rasulullah SAW. aku mengambil
pendapat para sahabatnya yang kukehandaki dan aku meninggalkan yang kukehendaki.
Kemuadian aku tidak keluar dari pendapat mereka untuk mengambil pendapat selain mereka.
Jika masalahnya sudah sampai kepada Ibrahim (an-Nakh’i), asy-Sya’bi, al-Hasan, Ibnu Sirin,
Said bin al-Musayyib, maka aku wajib berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.
Dari kata-kata tersebut dapat disimpulkan bahwa cara imam Abu Hanifah berijtihad ialah
dengan menggunakan Al-Quran, sunnah, ijma’, pendapat para sahabat, qiyas, istihsan, dan ‘urf.

B. IMAM MALIK BIN ANAS (179H)


Metode imam Malik bin Anas berijtihad ialah dengan menggunakan Al-Quran, sunnah,
ijma’, qiyas, amalan penduduk Madinah, istihsan, sadd adz-dzrzi, maslahah mursalah, pendapat
sahabat, istishab.

C. IMAM SYAFI’I (204H)


Metode imam Syafi’i berijtihad adalah sebagaimana diterangkannya dengan
perkataannya seperti berikut:10

‫ فبإن أعببوُّزه فعلببى الخبببار‬،‫قال الشافعي إذا رفعت إليه واقعة فليعرضها على نصوُّص الكتاب‬
‫ فإن وجد‬،‫ فإن أعوُّزه لم يخض في القياس بل يتلفت إلى ظوُّاهر القرآن‬،‫المتوُّاترة ثم على الحاد‬
‫ وإن لبم يعبثر علبى‬،‫ظاهرا نظر في المخصصات من قياس وخبر فإن لم يجد مخصصا حكم ببه‬
‫ وإن لبم يجبد‬،‫لفظ من كتاب ول سانة نظر إلى المذاهب فإن وجبدها مجمعبا عليهبا اتببع الجمباع‬
‫ ويلحظ القوُّاعد الكلية أول ويقدمها على الجزئيات‬،‫إجماعا خاض في القياس‬
Asy-Syafi’i berkata: Jika ada suatu kasus diketengahkan kepadanya maka hendaklah ia
memaparkannya kepada teks-teks al-Quran, jika kesulitan maka dipaparkan kepada hadits-hadits
mutawatir kemudian hadits-hadits ahad. Jika ia kesulitan maka ia tidak langsung mengambil
qiyas, tetapi memperhatikan makna-makna lahir dari al-Quran. Jika mendapati makna dhahir
maka meneliti mukhassis atau pengkhusus dari qiyas dan hadits. Jika tidak ada mukhassis maka
ia menghukumi dengannya. Jika ia tidak memperolehi lafaz dari al-Quran dan hadits maka ia
meneliti madzhab-madzhab. Jika ia mendapatinya telah diijma’ maka ia mengikuti ijma’. Jika ia
10 Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, 2/224.
tidak memperolehi ijma’ maka ia masuk ke dalam qiyas, dan mula-mula memperhatikan kaidah-
kaidah universal dan mendahulukannya atas juz’iyyat atau bagian-bagian.
Dari perkataan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa cara imam Syafi’i berijtihad
adalah dengan menggunakan Al-Quran, sunnah, ijma’ dan qiyas.

D. IMAM AHMAD BIN HAMBAL (241H)


Metode ijtihad yang dilakukan oleh imam Ahmad bin Hambal ialah dengan
menggunakan Nash-nash Al-Quran dan sunnah, fatwa para sahabat yang tidak bertentangan,
fatwa para sahabat yang bertentangan yang paling dekat dengan al-Quran dan sunnah, hadits
mursal dan hadis dho’if , qiyas, istishab, maslahah mursalah, dan sadd adz-dzrai’.

Anda mungkin juga menyukai